Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN


“Rasio Keuangan Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah”
Dosen Pembimbing: Rini Puji Astuti, S.Kom., M.Si.

Disusun Oleh :

Kelompok :

Fatimatuz Zaimah (204105030019)

Rosyidatul Azizah (204105030042)

Dwi Anggraini (2041050300048)

Alfan Syahrizal Haqiqi (204105030051)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatkarunia
serta kasih sayang Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Rasio Keuangan Dan
Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah” dengan sebaik mungkin. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu
satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula kami ucapkan Terima
Kasih kepada Ibu Rini Puji Astuti, S.Kom., M.Si. selaku dosen mata kuliah Analisis Laporan
Keuangan.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik
pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
di harapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.

Jember, 14 Maret 2023

Kelompok 05

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan sistem ekonomi Islam (syariah) dewasa ini di Indonesia
terlihat semakin meningkat dengan pesat. Hal itu ditandai dengan berdirinya
blembaga-lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah. Bank sesungguhnya
banyak membawa manfaat, karena disitu bertemu para pemilik, pengguna, dan
pengelola modal. Bank merupakan lembaga yang berperan sebagai perantara
keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana
(surplus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta sebagai
lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Bank di Indonesia
terbagi dalam dua kelompok konsep, yaitu (Karim, 2001: 4):

1. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional, mayoritas bank yang berkembang di


Indonesia adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional.
2. Bank yang berdasarkan prinsip syariah, yaitu bank berdasarkan prinsip syariah
yang belum lama ini berkembang di Indonesia.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang melaksanakan perantara
keuangan dari pihak-pihak yang kelebihan dana kepada pihak-pihak lain yang
membutuhkan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran agama Islam, di antara prinsip-
prinsip tersebut yang paling utama adalah tidak diperkenankannya perbankan untuk
meminta atau memberikan bunga kepada nasabahnya (Utami, 2003: 2). Bank syariah
memiliki produk atau jasa yang tidak akan ditemukan dalam operasi bank
konvensional. Prinsip-prinsip seperti musyarakah, mudharabah, muarabahah, ijarah,
istishna dan sebagainya tidak memuat adanya prinsip bunga seperti yang
dikembangkan oleh bank konvensional.
Keberadaan bank syariah makin mantap setelah lahir UU Nomor 10 tahun
1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank syariah secara koeksistensial
dengan bank konvesional. Bila selama sekitar 6 tahun BM menjadi pemain tunggal
jasa perbankan syariah di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, setelah
lahir UU yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kesenjangan terhadap dunia
kehancuran dunia perbankan konvesioanal menyusul krisis moneter yang melanda
Indonesia sejak pertengahan 1997, marak berdiri bank-bank syariah seperti Bank
Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank IFI Syariah dan sejumlah BPRS. Hingga
pertengahan 2004 tercatat ada tiga bank umum syariah dan 92 BPRS.
Penilaian kinerja keuangan perbankan syariah merupakan topik yang tepat
untuk diteliti lebih lanjut. Karena dengan analisis tersebut dapa diketahui dan dinilai
kinerja keuangan perbankan syariah serta untuk memprediksi kesehatan bank di masa
yang akan datang. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 9 Tahun 2007 mengenai
Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah,
mengatur lebih lanjut tentang rasio-rasio yang digunakan. Rasio-rasio keuangan
tersebut dibedakan menjadi rasio utama, rasio penunjang dan rasio pengamatan. Rasio
utama merupakan rasio yang memiliki pengaruh kuat terhadap Tingkat Kesehata
Bank, sedangkan rasio penunjang adalah rasio yang berpengaruh secara langsung
terhadap rasio utama dan rasio pengamatan adalah rasio tambahan yang digunakan
dalam analisa dan pertimbangan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Rasio Keuangan Pada Bank Syariah?
2. Rasio apa saja yang digunakan dalam keuangan syariah?

3. Bagaimana Hubungan Surat Edaran Bank Indonesia dengan Rentabilita

Bank

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, tujuan dari


penelitian yang dicapai adalah untuk mengetahui kinerja keuangan pada suatu
perusahaan yaitu Bank Syariah ditinjau dari segi permodalan kualitas aset,
rentabilitas, likuiditas, dan sensitivias terhadap resiko pasar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rasio Keuangan Bank Syariah

Salah satu cara terpenting untuk melihat kinerja suatu perusahaan

adalah dari laporan keuangan yang telah disusun pada periode tertentu. Dalam

laporan keuangan akan terlihat aktivitas yang sudah dilakukan perusahaan

yang dituangkan dalam bentuk angka-angka. Angka-angka ini akan menjadi

lebih berarti jika dapat dibandingkan antara satu komponen dengan

komponen lainnya. Perbandingan inilah yang dikenal dengan nama analisis

rasio keuangan.1

James C. van Horne menyatakan bahwa rasio keuangan merupakan

indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan

membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk

mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio

keuangan ini akan kelihatan kondisi kesehatan perusahaan yang

bersangkutan.

Berdasarkan tujuan analisanya, para ahli mengklasifikasikan rasio

keuangan dalam bentuk-bentuk berikut:

1. Menurut J. Fred Weston, bentuk-bentuk rasio keuangan adalah sebagai

berikut: a. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)

− Rasio Lancar (Current Ratio)

− Rasio Sangat Lancar (Quick Ratio atau Acid Test Ratio)

b. Rasio Solvabilitas (Leverage Ratio)

1
Kasmir, Pengantar Manjemen Keuangan, (Jakarta: Kencana, 2010), 93.
− Total utang dibandingkan dengan total aktiva atau rasio utang (Debt

Ratio)

− Jumlah kali perolehan bunga (Times Interest Earned)

− Lingkup Biaya Tetap (Fixed Charge Coverage)

− Lingkup Arus Kas (Cash Flow Coverage)

c. Rasio Aktivitas (Activity Ratio)

− Perputaran Sediaan (Inventory Turn Over)

− Rata-rata jangka waktu penagihan/perputaran piutang (Average

Collection Period)

− Perputaran Aktiva Tetap (Fixed Assets Turn Over)

− Perputaran Total Aktiva (Total Assets Turn Over)

d. Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)

− Margin Laba Penjualan (Profit Margin on Sales)

− Daya Laba Dasar (Basic Earning Power)

− Hasil pengembalian total aktiva (Return on Total Assets)

− Hasil pengembalian ekuitas (Return on Total Equity)

e. Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) merupakan rasio yang

menggambarkan kemampuan perusahaan mempertahankan posisi ekonominya di tengah


pertumbuhan perekonomian dan sektor

usahanya.

− Pertumbuhan penjualan

− Pertumbuhan laba bersih

− Pertumbuhan pendapatan per saham


− Pertumbuhan deviden persaham

f. Rasio penilaian (Valuation Ratio), yaitu rasio yang memberikan

ukuran kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar

usahanya di atas biaya investasi.

− Rasio harga saham terhadap pendapatan

− Rasio nilai pasar saham terhadap nilai buku2

2. Sementara Leopald A. Bernstein dalam bukunya “Financial Statement

Analysis Theory, Application, and Interpretation” menyatakan bahwa

angka-angka rasio keuangan dapat dikategorikan menjadi:

a. Short-term Liquidity Ratios. Yaitu rasio-rasio untuk menilai likuiditas.

Misalnya: Current Ratio, Acid Test Ratio, Account Receivable

Turnover.

b. Capital Structure and Long-term Solvency Ratios. Rasio-rasio ini

digunakan untuk menilai struktur modal dan solvabilitas. Misalnya:

rasio antara modal sendiri dengan total hutang, rasio antara modal

sendiri dengan hutang jangka panjang, rasio antara modal sendiri

dengan aktiva tetap, dan lain-lain.

c. Return On Investment Ratios. Misalnya Return On Total Assets

(rentabilitas usaha) dan rentabilitas modal sendiri (return on equity

capital).

d. Operatig Performance Ratios. Adalah rasio-rasio untuk menilai hasil

operasi. Antara lain: Gross Margin Ratio, Net Profit Ratio, dan

2
Kasmir, Analisis Laporan Keuangan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), 107
sebagainya.

e. Assets Utilization Ratios. Yaitu rasio-rasio antara penjualan dengan

kas, persediaan, modal kerja, aktiva tetap atau aktiva-aktiva lainnya.

Rasio ini digunakan untuk menilai penggunaan aktiva.3

3. Drs. Bambang Riyanto dalam bukunya Dasar-dasar Pembelanjaan

Perusahaan, mengelompokkan rasio keuangan ke dalam:

a. Rasio Likuiditas. Antara lain: Current Ratio, Cash Ratio, Acid Test

Ratio, dan Working Capital To Tottal Assets Ratio.

b. Rasio Leverage. Antara lain: Total Debt To Equity Ratio, Total Debt

To Total Capital Assets, Long-term Debt To Equity Ratio, Tangible

Assets Debt Coverage, dan Time Interest Earned Ratio.

c. Rasio Aktivitas. Antara lain: Total Assets Turnover, Receivable

Turnover, Average Collection Period, Inventory Turnover, Average

Day‟s Inventory, serta Working Capital Turnover.

d. Rasio Keuntungan. Antara lain: Gross Profit Margin, Operating

Income Ratio, Operating Ratio, Net Profit Margin (Sales Margin), Earning Power of
Total Investment, Net Earning Power Ratio, serta

Rate of Return for The Owners.4

Di Indonesia, rasio keuangan yang digunakan oleh bank syariah

sebagaimana diatur Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.

9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Berdasarkan Prinsip Syariah meliputi:

3
Munawir, Analisa Laporan Keuangan, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 70.
4
bid., 71.
1. Peniliaian Permodalan (Capital). Merupakan penilaian terhadap kecukupan

modal Bank dan Unit Usaha Syariah (UUS) untuk meng-cover eksposur

risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang. Rasio

yang digunakan dalam aspek ini diantaranya Kewajiban Penyediaan Modal

Minimum (KPMM), Deviden Pay Out Ratio, dan lain-lain.

2. Peniliaian Kualitas Aset (Assets Quality). Merupakan penilaian terhadap

kondisi aset Bank atau UUS dan kecukupan manajemen risiko

pembiayaan. Rasio yang digunakan dalam aspek ini diantaranya rasio

Kualitas Aktiva Produktif bank (KAP), Konsentrasi risiko penyaluran dana

kepada debitur inti (KRDI), dan lain-lain.

3. Peniliaian Rentabilitas (Earnings). Merupakan penilaian terhadap kondisi

dan kemampuan Bank dan UUS untuk menghasilkan keuntungan dalam

rangka mendukung kegiatan operasional dan permodalan. Rasio yang

digunakan dalam aspek ini adalah Net Operating Margin (NOM), Rasio

Efisiensi Operasional (REO), Return On Assets (ROA), dan lain-lain.

4. Peniliaian Likuiditas (Liquidity). Merupakan penilaian terhadap kemampuan bank


untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai.

Rasio utama yang digunakan dalam aspek ini adalah rasio besarnya aset

jangka pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek, Short Term

Mismatch Plus (STMP), dan lain-lain.

5. Peniliaian sensitivitas atas risiko pasar (sensitivity to market risk).

Merupakan penilaian terhadap kemampuan modal Bank dan UUS untuk

meng-cover risiko yang ditimbulkan oleh perubahan nilai tukar. Penilaian


sensitivitas atas risiko pasar dilakukan dengan menilai besarnya kelebihan

modal yang digunakan untuk menutup risiko bank dibandingkan dengan

besarnya risiko kerugian yang timbul dari pengaruh perubahan risiko

pasar. Rasio yang digunakan adalah rasio kecukupan modal yang dibentuk

untuk meng-cover risiko pasar (fluktuasi nilai tukar).

B. Rentabilitas
Rasio keuangan yang sering kali digunakan untuk menilai kinerja bank
syariah adalah rasio rentabilitas. Rasio rentabilitas bank adalah alat untuk
menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang
dicapai oleh bank yang bersangkutan. Dalam perhitungan rasio-rasio
rentabilitas biasanya dicari hubungan timbal balik antar pos yang terdapat
pada laporan laba rugi ataupun hubungan timbal balik antar pos yang terdapat
pada laporan laba rugi bank dengan pos-pos pada neraca bank guna memperoleh
berbagai indikasi yang bermanfaat dalam mengukur tingkat
efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.5
Secara teoritis, rasio rentabilitas memiliki hubungan dengan rasio
keuangan lainnya. Contohnya, rasio rentabilitas ekonomi (kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh aktiva
perusahaan) bersifat positif dengan rentabilitas modal sendiri (kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendiri). Semakin
besar rentabilitas ekonomi atau return on assets, akan semakin besar pula
rentabilitas modal sendiri atau return on equity. Hubungan lainnya adalah
antara rentabilitas modal sendiri dengan rasio utang yang bisa bersifat positif
atau negatif. Pengaruh positif memiliki arti semakin besar rasio utang,
semakin besar pula rasio modal sendiri, dengan catatan jika rentabilitas
ekonomi lebih besar dari tingkat bunga. Pengaruh negatifnya adalah jika
rentabilitas ekonomi lebih kecil dari tingkat bunga, rasio utang bertambah
besar dan rasio modal sendiri menjadi kecil.6
Rentabilitas juga sering dikelompokkan menjadi satu dengan
profitabilitas karena keduanya sama-sama menunjukkan kemampuan
5
Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), 120.
6
Kasmir, Analisis Laporan…, 119.
perusahaan menghasilkan laba. Bedanya rentabilitas menjelaskan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dengan
menggunakan modal yang ditanam didalamnya sedangkan profitabilitas
menjelaskan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dari penjualan barang
atau jasa yang diproduksinya.7 Kemampuan perusahaan
menghasilkan keuntungan juga dipengaruhi oleh kemampuan manajemen
perusahaan mengendalikan risiko-risiko perusahaan. Selain berusaha untuk
menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara simultan manajer harus
juga memperhatikan adanya kemungkinan risiko yang timbul. Risiko tersebut
dapat berupa: (1) Risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang
diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro,
seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah,
perubahan situasi pasar, dan sebagainya; (2) Risiko yang tidak sistematis
(unsystemic risk), yaitu risiko yang unik, yang melekat pada suatu perusahaan
atau bisnis tertentu saja.8
Penilaian terhadap rentabilitas sangat penting dilakukan untuk
mengetahui kondisi suatu bank. Bank Indonesia, selaku lembaga pengawas
dan pembina bank syariah di Indonesia memasukkan faktor rentabilitas dalam
menilai tingkat kesehatan bank syariah sebagaimana disebutkan dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Adapun
komponen-komponen untuk menilai faktor rentabilitas menurut Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah meliputi:
1. Kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung
ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi.
2. Diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan
fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan
prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya.
Beberapa tujuan dilakukannya penilaian komponen-komponen
rentabilitas bank syariah tersebut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank

7
Budi Rahardjo, Keuangan dan Akuntansi untuk Manajer Non Keuangan, (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), 120.
8
Muhammad, Manajemen Bank …, 310.
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah adalah:
1. Mengetahui kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba.
2. Mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba.
3. Mengukur efisiensi kegiatan operasional bank syariah.
4. Mengukur besarnya aktiva bank syariah yang dapat
menghasilkan/memberikan pendapatan.
5. Mengukur kemampuan bank syariah dalam menghasilkan pendapatan
dari jasa berbasis fee. Semakin tinggi pendapatan berbasis fee
mengindikasikan semakin berkurang ketergantungan bank terhadap
pendapatan dari penyaluran dana.
6. Mengukur besarnya pelaksanaan fungsi sosial bank syariah.
7. Mengetahui kemampuan bank dalam mengelola dana investasi untuk
menghasilkan pendapatan.
Sedangkan kriteria penetapan peringkat faktor rentabilitas berdasarkan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yaitu :
− Peringkat 1 : Kemampuan rentabilitas sangat tinggi untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 2 : Kemampuan rentabilitas tinggi untuk mengantisipasi
potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 3 : Kemampuan rentabilitas cukup tinggi untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 4 : Kemampuan rentabilitas rendah untuk mengantisipasi
potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 5 : Kemampuan rentabilitas sangat rendah untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal
C. Return On Assets (ROA)

Salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur rentabilitas bank

syariah menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS adalah Return

On Assets (ROA). Rasio ini mengukur keberhasilan manajemen dalam

menghasilkan laba. Untuk mengetahui besarnya ROA suatu bank digunakan


rumus berikut:

Dimana,

- Perhitungan laba sebelum pajak disetahunkan

Contoh: Untuk posisi Juni = (akumulasi laba per posisi Juni

dibagi 6) x 12.

- Perhitungan rata-rata total aset sebagai berikut :

Salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur rentabilitas bank

syariah menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS adalah Return

On Assets (ROA). Rasio ini mengukur keberhasilan manajemen dalam

menghasilkan laba. Untuk mengetahui besarnya ROA suatu bank digunakan

rumus berikut:

Dimana,

- Perhitungan laba sebelum pajak disetahunkan

Contoh: Untuk posisi Juni = (akumulasi laba per posisi Juni

dibagi 6) x 12.

- Perhitungan rata-rata total aset sebagai berikut :

Contoh: Untuk posisi Juni = penjumlahan total asset posisi Januari

sampai dengan Juni dibagi 6.

- Rasio dihitung per posisi tanggal penilaian.

Rasio ROA disajikan dalam bentuk prosentase kemudian dinilai

berdasarkan pemeringkatan Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS

berikut ini:

− Peringkat 1: ROA > 1,5%


− Peringkat 2: 1,25% < ROA ≤ 1,5%

− Peringkat 3: 0,5% < ROA ≤ 1,25%

− Peringkat 4: 0% < ROA ≤ 0,5%

− Peringkat 5: ROA ≤ 0%

Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan

manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan

pendapatan dan atau menekan biaya serta semakin buruk pula tingkat

rentabilitasnya. Kemampuan bank untuk memperoleh pendapatan yang besar

sekaligus mampu menekan biaya akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.

Bank yang selalu menjaga tingkat keuntungan yang tinggi dan mampu

membagikan deviden dengan baik, maka ada kemungkinan nilai saham dari

bank yang bersangkutan di pasar sekunder dan jumlah Dana Pihak Ketiga

(DPK) yang berhasil dikumpulkan akan naik. Kenaikan nilai saham dan

jumlah DPK ini merupakan indikator naiknya kepercayaan masyarakat

kepada bank yang bersangkutan. Kepercayan dan loyalitas dana terhadap

bank merupakan faktor yang sangat membantu dan mempermudah pihak manajemen
bank untuk menyusun strategi bisnis yang baik. Begitu pentingnya kepercayaan ini
bahkan pemilik dana dapat menghancurkan

sebuah bank, apabila dana besar yang disimpan pada sebuah bank kemudian

pada suatu saat yang bersamaan ditarik seluruhnya secara serentak.9

Memperoleh keuntungan optimal merupakan tujuan fundamental

bisnis perbankan tak terkecuali bank syariah karena bank syariah merupakan

9
Mudrajad Kuncoro, Suhardjono, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta,
2002), 539.
lembaga keuangan syariah yang berorientasi pada laba (profit). Motif profit

mendapat legitimasi karena termasuk dalam lima maqasidul syari‟ah, yakni

hifdzul maal atau menjaga harta. Secara harfiah maqasidul syariah dapat

diartikan sebagai tujuan syariah. Dalam hal ini Al Asyatibi berpendapat,

“Sesungguhnya syari‟ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia

di dunia dan akhirat.” Kemaslahatan disini diartikan Asyatibi sebagai segala

sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia,

dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan

intelektualitas.10 Semua aktivitas yang memiliki maslahah bagi umat manusia

disebut needs atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.

Begitu pula dengan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban

dalam beragama.11 Mustafa Anas Zar juga menjelaskan bahwa tidak

terpenuhinya aspek dharuriyat (pemenuhan aspek agama, jiwa, akal, harta,

dan keturunan) dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan.12
Allah SWT mengingatkan manusia unruk mencari

kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia dalam firman-Nya

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah

(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,

kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat


10
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 280
11
Budi Setyanto, et al., Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,2006), 63.
12
Nur Chamid, Jejak Langkah ...., 282.
kerusakan.13

Bahkan semasa hayatnya Rasulullah SAW sering menebarkan nasehat

ekonomi kepada kaum muslimin, seperti yang dikemukakan dalam hadits

riwayat Nasa‟i, “Berusahalah untuk mendapatkan perlindungan Tuhanmu dari

kekafiran, kekurangan, dan kehinaan.”.

Berdasarkan ungkapan dalil-dalil tersebut jelas menunjukkan bahwa

harta (kekayaan materi) merupakan bagian yang sangat penting dalam

kehidupan kaum muslimin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam

tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan

ekonomi sejalan dengan ungkapan, “Sungguh kefakiran itu dekat kepada

kekafiran.”14

D. Rasio Efisiensi Operasional (REO)


Rasio Efisiensi Operasional (REO) yaitu rasio yang digunakan untuk
mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan
operasionalnya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No. 9/24/DPbS, rasio ini termasuk rasio penunjang untuk mengukur tingkat
rentabilitas bank syariah. REO membandingkan antara beban operasional
dengan pendapatan operasional. Oleh karena itu rasio ini juga sering disebut
dengan BOPO, yakni rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional.
PO pada rumus di atas adalah pendapatan operasional setelah distribusi
bagi hasil sedangkan BO beban operasional termasuk kekurangan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Sebagaimana rasio-rasio keuangan
lainnya, rasio ini juga disajikan dalam bentuk prosentase. Semakin tinggi
prosentase REO suatu bank menunjukkan semakin inefisien kegiatan operasi
bank tersebut yang artinya semakin buruk rentabilitasnya.
Berikut kriteria penilaian peringkat REO dalam rangka penilaian
13
Q.S. Al-Qashash: 77.
14
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 2.
tingkat kesehatan bank syariah sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia No. 9/24/DPbS:
− Peringkat 1: REO ≤ 83%
− Peringkat 2: 83% < REO ≤ 85%
− Peringkat 3: 85% < REO ≤ 87%
− Peringkat 4: 87% < REO ≤ 89%
− Peringkat 5: REO > 89%
Semakin kecil rasio ini semakin baik rentabilitas bank atau dapat pula
dikatakan semakin efisiennya kegiatan operasional suatu bank. Bank yang
dalam kegiatan usahanya tidak efisien akan mengakibatkan ketidakmampuan
bersaing dalam menghimpun dana masyarakat maupun dalam menyalurkan
dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai modal usaha.
Dengan adanya efisiensi pada lembaga perbankan terutama efisiensi biaya
maka akan diperoleh tingkat keuntungan yang optimal, penambahan jumlah
dana yang disalurkan, biaya lebih kompetitif, peningkatan pelayanan kepada
nasabah, keamanan dan kesehatan perbankan yang meningkat.15
Islam memandang larangan inefisien atau berlebih-lebihan atau israf merupakan salah
satu nilai instrumental ekonomi Islam yang menjadi acuan dalam praktek ekonomi
Islam. Berlebih-lebihan dalam segala hal merupakan perilaku yang dilarang dalam
syariat Islam. Firman Allah SWT,
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, Makan
dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.16
Dalam pandangan Islam, israf bukan saja dipandang negatif secara spiritual, tetapi
juga akan membawa dampak buruk dalam kehidupan di dunia. Sebaliknya
kesederhanaan dan kerendahan hati juga bukan saja terpuji
secara spiritual, tetapi juga akan membawa banyak manfaat bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ia akan mendorong manusia untuk memanfaatkan sumber
daya ekonomi secara lebih efisien, lebih optimal, dan lebih adil.17
E. Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/7/DPbS
Surat Edaran Bank Indonesia adalah surat yang diedarkan oleh Bank

15
Kuncoro, Manajemen Perbankan…., 569.
16
QS. Al-A‟raf: 31.
17
Ahmad Syakur, Dasar-Dasar Pemikiran Ekonomi Islam, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), 156.
Indonesia (BI) sebagai bentuk implementasi tugas BI untuk mengatur dan
mengawasi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
tercantum dalam UU BI No. 23 tahun 1999, pada Bab III pasal 7 tentang
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS dikeluarkan oleh
Bank Indonesia pada tanggal 29 Februari 2012 tentang Produk Qardh
Beragun Emas Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang
isinya adalah sebagaimana terlampir.
F. Gadai Emas
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XX Pasal 1150
Gadai diartikan sebagai suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai
piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada
orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang
lain atas nama orang yang mempunyai utang.18
Muhammad Syafi‟i Antonio mengartikan bahwa gadai syariah (rahn)
adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.
Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.19
Diperbolehkannya menggadaikan barang sebagai jaminan merujuk dari
firman Allah SWT,
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”20

Sebenarnya menyimpan barang sebagai jaminan atau gadai tidak harus

18
Subekti, Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya, 2003), 297
19
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik , (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 128.
20
Q.S. Al-Baqarah, 283.
dilakukan.21 Firman Allah farihaanun maqbuudhah pada ayat di atas adalah

irsyad (anjuran baik) saja bagi orang yang beriman, sebab lanjutan ayat

tersebut dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian

yang lain, hendaklah yang percaya itu menunaikan amatnya (utangnya)”.22

Tujuan dari akad gadai atau rahn sendiri hanya dimaksudkan untuk

mendapatkan kepastian dan menjamin utang bukan untuk menumbuhkan

harta atau mencari keuntungan. Karena karakteristik yang demikian, akad ini

digolongkan sebagai akad tabarru‟ (non profit oriented) yang berorientasi

pada ta‟awun (tolong-menolong). Menurut Ahmad Baraja, rahn adalah

jaminan, bukan produk dan semata-mata untuk kepentingan sosial, bukan

kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra. Jadi, menurutnya, uang hasil gadai

syariah tidak boleh dipakai untuk berinvestasi.23

Walau menurut QS. Al-Baqarah ayat 283 di atas disyari‟atkannya

memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman dikaitkan dengan

perjalanan, tetapi bukan berarti bahwa gadai hanya dibenarkan dalam

perjalanan. Ummul Mu‟minin Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW.

pernah membeli gandum dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi beliau kepadanya.
Perkataan Aisyah ini dijadikan dasar para ulama tentang

diperbolehkannya melakukan gadai meskipun tidak dalam perjalanan karena

Nabi SAW. pernah melakukannya ketika beliau tinggal di Madinah.24

Menurut Syafi‟i Antonio ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an Volume 1, (Jakarta: Lentera
Hati: 2002), 610.
22
Abdul Rahman Ghazaly, et. al., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 266.
23
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Iplementasi, dan Institusionalisasi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006), 137.
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Terj. Mujahidin Muhayan, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), 94.
pelaksanaan akad rahn, yaitu:

1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan

fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

2. Memberi keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito

bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam

ingkar janji karena ada suatu asset/ barang (marhun) yang dipegang

oleh bank.

3. Membantu orang-orang yang kesulitan dana.25

Sedangkan gadai (rahn) emas adalah rahn dengan menjadikan emas

sebagai barang yang digadaikan. Syarat dan ketentuan rahn emas adalah sama

dengan syarat dan ketentuan rahn.26

Alasan diperbolehkannya emas dijadikan obyek gadai mengacu pada

pendapat para imam mazhab tentang syarat marhun atau obyek gadai. Para

ulama dari keempat mazhab sepakat bahwa marhun haruslah barang yang sah

untuk diperjualbelikan. Ulama mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali

menambahkan bahwa marhun harus berbentuk barang yang berwujud, jadi

tidak sah menggadaikan suatu manfaat. Sedangkan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa
marhun disyaratkan barang yang bisa diambil

manfaatnya, bukan termasuk benda najis, dan dikuasai oleh rahin

(penggadai).

Pelaksanaan Pembiayaan Gadai Emas di Indonesia diatur dalam: (1)

25
5 Antonio, Bank Syariah …, 50.
26
Ahmad Ifhan Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 687.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. No. 25/DSNMUI/III/2002, tentang
Rahn; (2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis

Ulama Indonesia. No. 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas; (3) Fatwa

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 09/DSNMUI/III/2000 tentang


Pembiayaan Ijarah; (4) SE BI No. 14/7/DPbS, tentang

Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Dalam praktiknya, gadai emas mengkombinasikan tiga akad sekaligus,

yaitu rahn, qardh, dan ijarah.

a. Rahn

1) Pengertian

Dalam Bahasa Arab ar-rahn diartikan ats-tsubut wa addawam, yaitu tetap dan kekal.27 Secara
terminologi Ulama

Malikiyah mengartikan rahn sebagai sesuatu yang bernilai harta

(mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan

pengikat atas utang yang tetap (mengikat).28

2) Dasar Hukum a) QS. Al-Baqarah ayat 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

b) Hadits dari Aisyah ra, “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim
AlHanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin

27
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 1.
28
Ibid., 3.
Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari „Aisyah berkata, “Bahwasanya Rasullah
SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.”” (HR.
Muslim) 3) Syarat dan Rukun

a) Rukun Rahn Rukun rahn antara lain29:

i. Orang yang menggadaikan (rahin)

ii. Yang menerima gadai (murtahin)

iii. Barang yang digadaikan (marhun/rahn)

iv. Utang (marhun bih)

v. Ucapan sighah ijab dan qabul

b)Syarat Rahn

Syarat-syarat rahn adalah30:

i. Aqid (rahin dan murtahin)

Rahin dan murtahin haruslah memenuhi kriteria al-ahliyah

yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan 4) Aplikasi pada Pembiayaan
Gadai Emas

Akad rahn inilah yang menjadi ciri utama kegiatan gadai

syariah. Aplikasinya bisa dilihat dalam konsep umum gadai

syariah, yaitu memberikan pembiayaan dengan menahan barang

yang dijaminkan oleh nasabah. Oleh karena itu dalam lembaga

keuangan syariah produk gadai emas biasa disebut dengan rahn

emas.

b. Ijarah

1) Pengertian
29
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 162.
30
Ibid.,
Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-„Iwadh atau

penggantian.31 Adapun ijarah secara terminologis adalah transaksi

atas suatu manfaat yang mubah yang berupa barang tertentu atau

yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam waktu tertentu,

atau transaksi atas suatu pekerjaan yang diketahui dengan upah

yang diketahui pula.32

2) Dasar Hukum

mumayiz.

ii. Shighah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighah tidak boleh

memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.

iii. Marhun bih

Marhun bih hendaklah berupa barang yang wajib diserahkan

dan memungkinkan pemanfaatannya, serta harus bisa

dikuantitatifkan atau dihitung jumlahnya.

iv. Marhun

Menurut ulama Syafi‟iyah marhun haruslah berupa barang,

bisa diperjualbelikan, dan kepemilikan penggadai atas barang

tersebut tidak terhalang.

2) Dasar Hukum a) QS. At-Thalaq ayat 7

“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
31
Abdul Rahman Ghazaly, et. al., Fiqh …, 277
32
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, et. al., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab,
terj. Miftahul Khairi, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), 311.
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".”

b) Hadits Rasulullah SAW,

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR.

Ibnu Majah dari Ibnu Umar)

3) Syarat dan Rukun

a) Rukun Ijarah

Rukun Ijarah ada empat, yaitu33:

i. Muta‟aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi)

ii. Shigah akad (Ijab dan Qabul)

iii. Ujrah (upah)

iv. Ma‟qud „alaih (manfaat)

b) Syarat-syarat Ijarah

Syarat-syarat ijarah antara lain34:

i. Syarat Al-inqad (terjadinya akad)

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang melakukan akad

disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun).

ii. Syarat An-nafadz (pelaksanaan)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki atau dalam

kekuasaan aqid, barang dapat dipegang atau dikuasai. Untuk ujrah atau upah sewa
disyaratkan berupa harta tetap yang

dapat diketahui serta tidak boleh sejenis dengan barang


33
bid., 316.
34
yafei, Fiqih …., 131
manfaat dari ijarah.

iii. Syarat Sah Ijarah

Syarat sah ijarah diantaranya adalah adanya keridhaan dari

kedua pihak yang berakad, ma‟qud „alaih bermanfaat dengan

jelas dan dibolehkan oleh syara‟.

iv. Syarat Kelaziman

Syarat kelaziman ijarah ada dua, yaitu, ma‟qud „alaih terhindar

dari cacat dan tidak ada uzur (sesuatu yang menyebabkan

kemudharatan bagi pihak yang berakad) yang dapat

membatalkan akad.

4) Aplikasi pada Pembiayaan Gadai Emas

Dalam pembiayaan gadai syariah, penerima gadai

(murtahin) dapat menyewakan tempat penyewaan barang (deposit

box) kepada nasabahnya. Dan atas jasa tersebut murtahin dapat

menetukan ujrah atau upah sewa atas barang yang dititipkan

(digadaikan) oleh rahin. Islam mensyaratkan bahwa ujrah atau

biaya sewa harus diketahui terlebih dahulu, sesuai sabda Nabi

SAW yang disampaikan Abu Sa‟id Al-Khudri r.a., “Rasulullah

SAW melarang penyewaan pekerja hingga upahnya dijelaskan

kepadanya.” (HR. Ahmad).

c. Qardh

1) Pengertian

Qardh secara etimologi berarti al-qoth‟ (terputus). Harta


yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia

terputus dari pemiliknya.35 Secara definitif para fuqaha

menjelaskan bahwa qardh merupakan akad yang bertujuan untuk

menyerahkan (mengutangkan) harta mitsliyat kepada pihak lain

untuk dikembalikan dengan yang sejenis dengannya.36 Dalam akad

qardh tidak diperkenankan mengambil keuntungan apapun

terhadap utang yang diberikan karena termasuk riba atau tambahan

(keuntungan) yang diharamkan oleh Islam.

2) Dasar Hukum a) QS. Al-Hadid ayat 11

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang
banyak.”

b) Hadits Nabi Muhammad SAW,

“Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat pada waktu malam
diisra‟kan pintu surga tertulis, „Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali.‟ Aku
bertanya, „Wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari shadaqah?‟ Ia menjawab,
„Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan
meminjam kecuali karena keperluan‟”. (HR Ibnu Majah dan Baihaqi).

3) Syarat dan Rukun

a) Rukun Qardh

Rukun Qardh adalah37:

i. Shighah (ijab qabul)

ii. „Aqidain (dua pihak yang bertransaksi)

35
Ghufron A. Mas‟adi. Fiqh Muamalah Konstektual. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 170.
36
Ibid., 171.
37
Abdullah, et. al., Ensiklopedi Fiqih …, 159.
iii. Harta yang diutangkan

b) Syarat-syarat qardh

Yang termasuk syarat-syarat qardh yaitu38:

i. Shighah

Menurut para fuqaha shighah bisa dilakukan dengan lafal

hutang atau semua lafaz yang menunjukkan maknanya.

ii. „Aqidain

Pemberi utang (muqridh) diwajibkan orang yang termasuk

ahli tabarru‟ (orang yang boleh memberikan derma), yakni

merdeka, baligh, berakal sehat dan rasyid (dapat

membedakan yang baik dan yang buruk). Sedangkan syarat

untuk muqtaridh atau penerima utang yaitu harus memiliki

ahliyah at-tasharrufat (kelayakan membelanjakan harta),

yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.

iii. Harta yang diutangkan

Harta yang diutangkan berupa harta yang ada padanannya,

berupa benda (tidak sah mengutangkan jasa), dan diketahui

kadar serta sifatnya.

4) Aplikasi pada Pembiayaan Gadai Emas

Penerapan akad qardh ini diterapkan pada utang yang

diberikan oleh lembaga gadai kepada nasabah mengingat

peruntukan dari produk gadai sendiri adalah untuk tujuan sosial.

38
Ibid.
G. Hubungan Surat Edaran Bank Indonesia dengan Rentabilitas Bank
Tingkat keuntungan bank juga dipengaruhi oleh risiko sistematis dan risiko yang tidak
sistematis. Risiko sistematis itu dapat berupa perubahan situasi politik, perubahan
kebijakan ekonomi pemerintah, dan perubahan situasi pasar. 39 Surat Edaran Bank
Indonesia merupakan salah satu contoh kebijakan pemerintah yang bisa
mempengaruhi tingkat keuntungan bank. Fluktuasi yang terjadi pada keuntungan bank
menunjukkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba atau rentabilitas bank.
Kesimpulannya bahwa Surat Edaran Bank Indonesia bisa mempengaruhi rentabilitas
bank.

39
Muhammad, Manajemen Bank…, 310.

Anda mungkin juga menyukai