PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perilaku menyakiti diri sendiri atau non-suicidal self-injury telah menjadi masalah
Non-suicidal self-injury atau NSSI adalah perilaku merusak jaringan tubuh sendiri
secara langsung dan disengaja tanpa ada niat untuk mati dan di luar konteks prosedur
14% sampai 24% remaja pernah terlibat perilaku non-suicidal self-injury setidaknya
remaja di Kanada menemukan bahwa 15% sampel remaja terlibat non-suicidal self-
Amerika Serikat, terdapat 46,5% remaja terlibat NSSI dimana 28% diantaranya
itu, pada penelitian Wan dkk.(2020)di China, sebesar 38,5% remaja setidaknya satu
(2019dalam Ho, 2019)telah menemukan bahwa lebih dari sepertiga orang Indonesia
pernah melakukan perilaku menyakiti diri sendiri (36%), adapun di kalangan anak
muda, sebanyak 45% pernah terlibat perilaku melukai diri sendiri ini.
nya yang didukung pula dengan kombinasi perkembangan otak yang belum matang,
sehingga remaja berpotensi mengalami risiko yang impulsif (Martin dkk., 2016).
Beberapa faktor determinan dari perilaku NSSI sendiri diantaranya adalah faktor
pelecehan emosional dan fisik, serta perpisahan atau perceraian orang tua.
Pengalaman tersebut menimbulkan tekanan dan distress yang tinggi kepada individu,
Kondisi ini ditemukan mempengaruhi keterlibatan remaja dalam NSSI, dimana ketika
mengalami disregulasi emosi dan emosi yang tidak diekspresikan, sehingga mengarah
pada koping maladaptif seperti perilaku non-suicidal self-injury (Baetens dkk., 2014;
Paivio & McCulloch, 2004; Tang dkk., 2016). Selain faktor-faktor tersebut, faktor
Stressinterpersonal seperti perasaan tidak dianggap, kesepian, dan merasa ditolak oleh
remaja, mengingat perilaku teman sebaya memiliki peran penting pada periode
Sejalan dengan peran penting teman sebaya bagi remaja, adanya dukungan sosial
dapat menjadi faktor protektif bagi individu dengan NSSI, khususnya pada remaja
(Christoffersen dkk., 2015; Wedig & Nock, 2007; Xin dkk., 2020). Bagi remaja yang
timbulnya perilaku NSSI serta terlibat dalam pemeliharaan dan keparahan NSSI itu
dibagi menjadi dua bentuk, yakni receive social support dan perceived social support.
Receive social support merupakan bentuk dukungan sosial yang diterima oleh
individu dan didasari oleh jumlah dukungan sosial yang diberikan orang
social support adalah dukungan yang individu percayai tersedia untuknya, dimana
mempersepsikan atau mempercayai bahwa dirinya diberi dukungan oleh orang lain.
Perceived social support dapat bersumber dari keluarga, orang tua, teman sebaya, dan
significant others atau orang yang dianggap istimewa oleh individu(Zimet dkk.,
dengan perceived social support yang tinggi akan lebih mungkin terlibat dalam
bahwa perceived social support meningkat ketika tindakan NSSI diungkapkan kepada
orang lain, sehingga dalam beberapa kasus dapat meningkatkan intensi NSSI di masa
fungsi potensial yang dikelompokkan menjadi dua kategori, fungsi intrapersonal dan
atau Four Factor Model (FFM)yang terdiri dari (1) automatic negative reinforcement,
seperti mencoba mendapat reaksi dari seseorang, bahkan jika itu adalah reaksi
negatif. Temuan Turner dkk. (2016)dapat menjelaskan fungsi keempat yakni social
positive reinforcement, sehingga membuat dukungan sosial, dalam hal ini perceived
social support,dapat berperan sebagai faktor risiko dari keterlibatan individu dalam
Masa remaja merupakan fase dimana individu mulai mengalami peralihan dari anak-
anak menjadi dewasa. Masa remaja juga dapat dikatakan masa-masa sulit bagi
individu karena dalam fase ini banyak sekali fenomena yang menunjukan perilaku
khusus para remaja seperti bullying, membolos, tawuran dan perilaku melukai diri
sendiri. Beberapa literatur mengatakan bahwa hal ini terjadi karena remaja tidak
Namun diantara perilaku khusus remaja lainnya, perilaku melukai diri sendiri yang
akan sangat sulit dihadapi bagi remaja itu sendiri karena perilaku melukai diri sendiri
bersifat berkelanjutan.2 Selain itu orang orang terdekat pun seringkali tidak
menyadari bahwa ada teman atau keluarga mereka yang mengalami perilaku self-
injury, oleh karena itu tanpa adanya kemauan dari individu tersebut untuk meminta
bantuan, maka akan sulit mendeteksi atau menolong individu dengan perilaku self-
injury.
Perilaku melukai diri sendiri atau yang disebut self-injury menurut literatur usia awal
munculnya perilaku ini adalah di usia 13 atau 14 tahun yang dimana individu sedang
berada pada masa remaja. Tentu saja tidak semua remaja mengalami hal tersebut,
pada remaja akan tetapi persentase remaja yang mengalami self-injury cukup banyak.
Hal ini pun dipertegas oleh penelitian Son, Kim & Lee Secara keseluruhan dari 516
siswa kelas enam di sekolah dasar dan siswa kelas satu hingga tiga di sekolah
menengah pertama secara nasional, 166 peserta (32,2%) melaporkan perilaku melukai
perilaku ini menjadi fenomena yang dapat dikatakan marak dialami oleh remaja.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti di Desa Aikmel Kabupaten Lombok Timur.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan subjek, di peroleh informasi bahwa
self injury mampu menyalurkan apa yang tidak dapat di lakukan secara verbal dan
orang lain dengan mengarahkannya pada bagian tubuh sendiri. Perilaku self injury
yang merak lakukan adalah melukai tubuh, Mukul tembok, membenturkan kepala dan
memukul diri sendiri. Perilaku self-injury sendiri adalah tindakan melukai diri-sendiri
dengan sadar atau disengaja tanpa adanya niat menghilangkan nyawa untuk
dirinya dengan tujuan melampiaskan emosi yang akirnya menyebabkan diri terluka
maka itu termasuk kedalam tindakan atau perilaku self- injury. Perilaku self-injury
untuk melakukan penelitian yang berjudul : gambaran perilaku Non Suicidal Self
Berdasarkan uraikan latar belakang di atas, maka permasalahan yang ditemukan pada
Masalah dalam penelitian ini adalah Gambaran prilaku Non Suicidal Self Injury
1. Bagaimana tingkat pengetahuan remaja pada kasus Non suicidal self injury
(ngebarcode)?
2.Apakah kasus Non suicidal self injury (ngebarcode) Bisa diatasi dan apa solusi
apakah menurut mereka kasus ini hal yang sangat wajar mereka
melakukan ngebarcode
1.4.1 Teoritis
Dan memberikan edukasi cara mengatasi masalah yang Baik dan benar
1.4.2 Praktis
Sejauh mana tingkat pengetahuan kita tentang fenomena kasus ngebarcode dan
menjaga kesehatan mental untuk menghadapi suatu masalah dan mencari solusi yang
Hasil penelitian ini remaja dapat pengetahuan Dampak negatif orang yang
Hasil penelitian ini dapat menjadi Pemahaman bagi guru guru dan staf sekolah
masa remaja berkaitan dengan kasus ngebarcode yang saat ini tranding.
1.1 Keaslian Penelitian