Budaya Perundungan Di Lingkungan Sekolah Menurut Pandangan Hukum 2
Budaya Perundungan Di Lingkungan Sekolah Menurut Pandangan Hukum 2
HUKUM
Nama kelompok:
Luqman Hakim Habibulloh
Muhammad Faizin
Fakultas syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
kiminakoon@gmail.com
Abstrak: Perundungan terhadap anak di sekolah atau yang lebih dikenal dengan bullying sudah lama
terjadi di Indonesia, termasuk di Kota Malang. Bahkan media menyatakan bahwa Indonesia sudah
dalam kondisi “darurat” di sekolah. Tanggungjawab negara Indonesia dalam mencegah perundungan
sudah dilakukan melalui peraturan perundang-undangan berskala nasional seperti Undang-Undang
Perlindungan Anak dan Permendikbud 82 Tahun 2015, akan tetapi dalam pelaksanaannya sebagai
sebuah bentuk kepedulian masih sangat bersifat spasial dan terbatas melalui norma hukum dan
perubahan perilaku melalui kerjasama antara pemerintah dengan seluruh elemen. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perundungan,
upaya pencegahan. Data diperoleh melalui studi pustaka dan empiris terkait dengan pengalaman para
siswa di sekolah menengah pertama dan atas terhadap perundungan dan semua informasi terkait
dengan upaya pencegahan perundungan.
Kata Kunci: Pencegahan, perundungan/bullying, faktor penyebab, institusi pendidikan, norma
hukum, perubahan perilaku
PENDAHULUAN
Perundungan atau dalam bahasa inggris disebut bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang melalui secara sengaja dan berulang dengan tujuan agar orang lain
merasa tidak nyaman maupun hingga menimbulkan dampak buruk lain seperti cedera secara
psikologis, fisik, dan sosial. Perundungan bisa berupa tindakan verbal, fisik, dan psikologis.
Perundungan sendiri juga bisa berupa tindakan permusuhan yang intensif, berulang kali, dan
dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap seseorang yang dianggap lebih lemah. Dalam
praktiknya, fenomena perundungan ini melibatkan tiga pihak yaitu pelaku, korban dan bystanders.
Bystanders pada perilaku perundungan merujuk pada individu yang melihat terjadinya perilaku
bullying baik secara online atau cyberbullying, maupun offline yang mana bullying bisa berupa
teman, kolega, guru, atasan, pelatih, orang tua dan masih banyak lagi Selayaknya bystanders
maupun saksi mata dalam kejadian lainnya, bystanders pada perundungan dapat memberikan efek
positif terutama menghentikan perbuatan para pelaku. Namun demikian, apabila ia tidak bertindak
dan hanya melihat maka perbuatan pelaku bullying tidak akan berhenti dan cenderung semakin
intens.
Budaya perundungan atau bullying merupakan masalah sosial yang sering terjadi di lingkungan
sekolah.
Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti fisik, verbal, ataupun psikologis. Menurut
pandangan hukum, tindakan perundungan ini dapat dianggap sebagai tindakan kekerasan yang
melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk tidak disiksa atau disiksa secara mental maupun
fisik. Hukum mengatur tentang tindakan bullying dalam berbagai peraturan dan undang-undang yang
berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dan juga Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015
tentang Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Pendidikan.
Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tercatat ada enam kasus tindak
perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, pada dua
bulan pertama pada tahun 2023. Salah satu kasus perundungan yakni kasus perundungan santri
berusia 13 tahun di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kronologi dari kasus ini berawal dari senior
yang berinisial MHM (16 Tahun) yang kehilangan sejumlah uang dan menduga bahwa korban
berinsial INF (13 Tahun) merupakan pelaku pencurian tersebut. Oleh karena itu, pelaku dan beberapa
rekannya yang terlanjur kesal karena sering kehilangan uang, lebih memilih mengadili langsung
korban daripada melaporkan ke pengasuh. Kemudian, pelaku tersebut mengambil botol yang berisi
bahan bakar dan menakuti korban agar mau mengakui kesalahannya. Botol yang berisi bahan bakar
tersebut dilempar sehingga korban terkena cipratan dari bahan bakar tersebut. Kemudian pelaku
keluar kamar dan mengambil korek api, dan tersulutlah api yang membakar tubuh korban tersebut.
Karena peristiwa tersebut, barulah ketahuan oleh pengurus pondok dan segera memadamkan api
tersebut. Akibat peristiwa tersebut, korban mengalami luka bakar sekitar 65%. Terkait perkembangan
hukum, kasus tersebut telah diserahkan ke Kejari Kabupaten Pasuruan. Kasi Intel Kejari Kabupaten
Pasuruan Jemmy Sandra mengatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melimpahkan berkas
perkara tersebut ke PN Bangil, beberapa hari lalu. Pelaku disangkakan Pasal 80 ayat 2 UU RI nomor
35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo
UU RI nomor 11 tahun 2012.1
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa perundungan terhadap anak-anak sekolah,
khususnya siswa-siswi sekolah menengah atas benar-benar terjadi.13 Dari sepuluh sekolah, ada
empat sekolah yang prosentasenya menunjukkan 30%-50% lebih siswa-siswi yang menjadi
responden dalam penelitian ini pernah menjadi korban perundungan.14 Para siswa yang menjadi
responden dalam penelitian ini pernah mengalami perundungan oleh guru, teman sekelas dan kakak
kelas. Pelakunya laki-laki dan perempuan baik sendiri-sendiri maupun laki-laki dan perempuan
bersama-sama. Pelaku perundungan masih didominasi oleh laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Akan tetapi perundungan juga dilakukan oleh laki-laki dan perempuan bersama-sama
dan jumlahnya lebih banyak daripada yang dilakukan oleh anak laki-laki secara perorangan.2
Sebagai sebuah budaya, perundungan dapat terus berlanjut apabila tidak ada upaya dari pihak
sekolah dan masyarakat untuk mengatasinya. Oleh karena itu, pihak sekolah dan masyarakat perlu
bekerja sama untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi tentang bahaya dari budaya perundungan
dan bagaimana cara mencegahnya. Dengan demikian, dapat tercipta lingkungan sekolah yang aman
dan nyaman bagi semua siswa.
1
Kompasiana, “Maraknya Kasus Perundungan Yang Terjadi Di Indonesia,” Kompasiana.Com, last modified 2023,
https://www.kompasiana.com/nabhielprasetyai6188/649464af4addee3b766f0bc2/maraknya-kasus-perundungan-yang-
terjadi-di-indonesia?page=1&page_images=2.
2
Rika Saraswati and V. Hadiyono, “Pencegahan Perundungan/Bullying Di Insititusi Pendidikan: Pendekatan Norma
Hukum Dan Perubahan Perilaku,” Jurnal Hukum, Politik Dan Kekuasaan 1, no. 1 (2020): 1.
PEMBAHASAN
Faktor-faktor pelaku pembullyan melakukan aksinya
Penyebab perilaku bullying bisa bermacam-macam dan tidak diketahui secara pasti. Namun, ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan mengapa individu terlibat dalam bullying. Beberapa faktor
ini termasuk:
1. Merasa tidak berdaya. Pengganggu mungkin merasakan kekuatan dan kontrol ketika mereka
melakukan dominasi atas orang lain.
2. Kurang percaya diri. Pengganggu mungkin memiliki harga diri yang rendah dan menggunakan
intimidasi sebagai cara untuk merasa superior atau mendapatkan validasi.
3. Keinginan untuk mengendalikan orang lain. Beberapa pengganggu memiliki keinginan kuat untuk
memanipulasi dan mengendalikan orang lain, yang menyebabkan mereka terlibat dalam perilaku
intimidasi.
4. Kurangnya empati. Pengganggu mungkin mengalami kesulitan memahami dan berhubungan
dengan perasaan orang lain.
5. Mencari perhatian. Perilaku bullying juga dapat berasal dari keinginan untuk mendapatkan
perhatian atau membangun dominasi sosial.
Adapun beberapa faktor eksternal yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
pembullyan:
1. Kecemasan dan perasaan rendah diri: Seorang pelaku pembullyan mungkin mengalami kecemasan
dan perasaan rendah diri, yang mengarahkan mereka untuk menekan orang lain demi merasa lebih
kuat
2. Persaingan yang tidak realistis: Pelaku pembullyan sering memiliki persepsi yang tidak realistis
mengenai persaingan sosial dan ingin memenangkan pertempuran kekuasaan
3. Perasaan dendam: Pelaku pembullyan dapat merasa marah atau dendam terhadap korban mereka,
baik karena permusuhan atau karena mereka sendiri pernah menjadi korban pembullyan sebelumnya
4. Influenza media: Terkadang, pelaku pembullyan meniru tindakan kekerasan yang mereka lihat di
media atau meniru perilaku agresif seseorang terhadap orang yang lebih lemah
5. Pendidikan yang buruk: Lingkungan yang didominasi oleh kekerasan di sekolah atau keluarga
dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan pembullyan
4
Saraswati and Hadiyono, “Pencegahan Perundungan/Bullying Di Insititusi Pendidikan: Pendekatan Norma Hukum Dan
Perubahan Perilaku.”
Ada komitmen nasional yang kuat dari pemerintah Indonesia sekarang ini untuk menghapuskan
semua bentuk kekerasan, termasuk perundungan, di sekolah-sekolah. Upaya ini dilakukan dengan
lebih menekankan pada perubahan norma sosial saat ini yang menerima, mentolerir, dan
mengabaikan perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh UNICEF di Semarang dan Klaten, serta di Gowa menunjukkan
bahwa perundungan di sekolah terkait erat dengan perilaku dan sikap para guru di sekolah yang
menganggap dan menerapkan hukuman fisik sebagai sesuatu hal yang perlu dan efektif ketika
berhadapan dengan siswa yang terlibat dalam perundungan. Selanjutnya, sikap guru terhadap
siswaperilaku sering kurang wawasan; sebagai contoh Temuan kualitatif kami menyarankan bahwa
guru dipandang bullying sebagai normatif, dan sesuatu itu tidak bisa diubah. Pelatihan guru di
Indonesia terikat dengan kurikulum inti dan belajar. Disiplin positif diberikan kepada para guru agar
mereka mampu membangun kapasitas diri sebagai guru untuk menghindari hukuman fisik dengan
memberi keterampilan untuk menerapkan disiplin positif. disiplin positif mengajarkan keterampilan
sosial dan kehidupan yang penting bagi anak-anak dan orang dewasa, termasuk orang tua, guru dan
pendidik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA