Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN

Nazwa Delaila Anwar¹


1
Mahasiswa Semester II STIT Makrifatul Ilmi
Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Pos-el: nazwadelailaanwar1925@gmail.com

Abstrak
Sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an merupakan aspek penting dalam pemahaman
sejarah dan agama Islam. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, diyakini sebagai wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama periode 23 tahun. Proses penulisan
Al-Qur’an dimulai dengan pengungkapan wahyu kepada Nabi Muhammad di Mekah
dan Madinah, yang kemudian ditulis oleh para sahabat beliau dalam bentuk tulisan
tangan, tulisan diatas daun kurma, dan hafalan. Setelah wafatnya Nabi Muhammad,
penulisan Al-Qur’an menjadi semakin penting untuk menjaga keaslian dan keotentikan
teks suci tersebut. Khalifah pertama, Abu Bakar, memerintahkan penulisan Al-Qur’an
dalam satu volume tunggal oleh Zaid bin Thabit, yang kemudian disusun dalam bentuk
mushaf oleh Khalifah Utsman. Mushaf Utsman menjadi standar utama Al-Qur’an yang
berlaku hingga saat ini. Pemahaman yang mendalam terhadap sejarah turun dan
penulisan Al-Qur’an memberikan wawasan yang penting dalam menghargai dan
memahami keaslian serta otoritas teks suci Islam. Proses penulisan yang cermat dan
penjagaan terhadap keotentikan teks Al-Qur’an menunjukkan pentingnya kitab suci
dalam pandangan umat Islam. Dengan memahami sejarah turun dan penulisan Al-
Qur’an, umat Muslim dapat menghargai nilai-nilai spiritual dan historis yang terkandung
dalam teks suci mereka, serta memperkuat keyakinan mereka terhadap wahyu Ilahi.
Kata-kata kunci: Al-Qur’an, sejarah turun, penulisan, wahyu, keaslian, otoritas.

Abstract
The history of the Qur’ān’s revelation and composition is an important aspect of
understanding the history and religion of Islam. The Qur’ān, the holy book of Muslims,
is believed to be a revelation revealed to the Prophet Muhammad over a period of 23
years. The process of writing the Qur’ān began with the revelation to Prophet
Muhammad in Mecca and Medina, which was then written down by his companions in
the form of handwriting, writing on date leaves, and memorization. After the death of the
Prophet Muhammad, writing down the Qur’ān became increasingly important to
preserve the authenticity and authenticity of the sacred text. The first caliph, Abu Bakr,
ordered the writing of the Qur’ān in a single volume by Zaid bin Thabit, which was later
compiled into a mushaf by Caliph Uthman. Uthman’s Mushaf became the gold standard
of the Qur’ān to this day. A deep understanding of the history of the Qur’ān’s
transmission and composition provides important insights into appreciating and
understanding the authenticity and authority of Islam’s sacred text. The meticulous
process of writing and preserving the authenticity of the Qur’ānic text demonstrates the
importance of the holy book in the eyes of Muslims. By understanding the history of the
Qur’ān’s transmission and composition, Muslims can appreciate the spiritual and
historical values contained in their sacred text and strengthen their faith in divine
revelation.
Keywords: Al-Qur'an, history, writing, revelation, authenticity, authority.

PENDAHULUAN
Sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an memiliki signifikansi yang mendalam
dalam pemahaman sejarah dan agama Islam. Al-Qur’an dianggap sebagai wahyu
terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama periode 23 tahun. Proses
penulisan Al-Qur’an dimulai dari masa kenabian di Mekah dan Madinah, ketika wahyu
diterima oleh Nabi Muhammad, hingga masa pasca-wafat beliau. Penulisan Al-Qur’an
menjadi penting untuk menjaga keotentikan dan keaslian teks suci Islam, serta untuk
menyebarkan ajaran Islam kepada generasi berikutnya.
Memahami sejarah turun dan penulisan Al- Qur’an memungkinkan umat Islam
untuk menghargai dan memahami keaslian serta otoritas teks suci mereka. Pengetahuan
tentang proses pengungkapan wahyu, penulisan awal Al-Qur’an, dan penyusunan
mushaf oleh para sahabat Nabi Muhammad membantu umat Islam memperkuat
keyakinan mereka terhadap wahyu Ilahi dan ajaran Islam secara keseluruhan.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an
dengan lebih mendalam. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis proses
turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, perkembangan penulisan Al- Qur’an pada
masa Nabi Muhammad dan para sahabatnya, serta penyusunan mushaf oleh Khalifah
Utsman. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih
jelas dan komprehensif tentang sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an. Penelitian ini
akan fokus pada analisis sejarah turun wahyu dan proses penulisan Al-Qur’an selama
masa kenabian Nabi Muhammad, serta peran para sahabat beliau dalam menyusun dan
menjaga keotentikan teks suci tersebut. Penelitian ini juga akan meliputi tinjauan
terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan otoritas dan keaslian Al-Qur’an setelah
wafatnya Nabi Muhammad.

PEMBAHASAN
Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Proses wahyu dan penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW
merupakan salah satu aspek penting dalam studi agama Islam. Menurut keyakinan umat
Islam, Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan secara langsung oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Proses ini terjadi
selama periode 23 tahun, mulai dari tahun 610 M sampai 632 M, saat wafatnya Nabi
Muhammad.

Wahyu dalam konteks Islam adalah komunikasi langsung antara Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW. Proses ini diawali dengan munculnya pengalaman spiritual
yang disebut dengan istilah “Ilham” atau “Firash” yang dialami oleh Nabi Muhammad
SAW saat berada di gua Hira pada usia 40 tahun. Malaikat Jibril kemudian muncul di
hadapannya dan menyampaikan perintah Allah untuk membaca. Kata pertama yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah ayat pertama dari Surah Al-Alaq (96:1),
yang berbunyi “ ‫( ” ِاْقَر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذ ْي َخ َلَۚق‬Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang

menciptakan).
Setelah itu, wahyu berlanjut secara berkala selama sisa hidup Nabi Muhammad.
Wahyu-wahyu tersebut mencakup berbagai topik, mulai dari ajaran moral, hukum,
ibadah, sejarah, dan petunjuk tentang kehidupan manusia. Nabi Muhammad menerima
wahyu baik dalam bentuk ucapan langsung dari Malaikat Jibril maupun dalam bentuk
ilham.
Proses penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW kemudian dibukukan
oleh para sahabatnya, yang mencatatnya dalam bentuk lisan dan tertulis. Setelah
wafatnya Nabi Muhammad, para sahabatnya mengumpulkan seluruh wahyu yang telah
diturunkan dalam satu kitab yang kemudian dikenal sebagai Al-Qur’an. Proses ini
dipimpin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan diteruskan oleh Umar bin Khattab, serta
difinalisasi oleh Usman bin Affan.
Periode Mekkah dan Madinah adalah dua periode penting dalam proses
penurunan wahyu Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap periode memiliki
konteks historis, sosial, dan politik yang berbeda, yang memengaruhi isi dan tujuan
wahyu yang diturunkan.
1. Periode Mekkah:
 Periode Mekkah adalah masa di mana Nabi Muhammad menerima
wahyu di kota Mekkah, sebelum hijrah ke Madinah. Ini dimulai sejak
awal kenabian beliau pada tahun 610 M dan berlangsung hingga tahun
622 M.
 Selama periode ini, fokus wahyu adalah untuk mengukuhkan keyakinan
umat Islam dalam tauhid (kepercayaan kepada satu Allah) dan
menentang praktik-praktik paganisme dan kekafiran yang dominan di
Mekkah.
 Surah-surah yang diturunkan selama periode Mekkah seringkali
menekankan ajaran moral, keadilan sosial, keutamaan kesabaran, dan
pentingnya iman yang teguh.
 Konteks sosial di Mekkah pada masa itu penuh dengan tantangan dan
persekusi terhadap Muslim. Wahyu dalam periode ini memberikan
dorongan moral dan spiritual kepada umat Islam yang sedang
menghadapi kesulitan.
2. Periode Madinah:
 Periode Madinah dimulai setelah hijrah Nabi Muhammad ke kota Madinah
pada tahun 622 M dan berlangsung hingga wafatnya beliau pada tahun 632
M.
 Wahyu yang diturunkan selama periode Madinah menangani masalah-
masalah yang berkaitan dengan pembentukan masyarakat dan negara
Islam di Madinah, termasuk hukum, peraturan, dan organisasi sosial.
 Selama periode ini, wahyu juga memberikan petunjuk tentang berbagai
aspek kehidupan sehari-hari, termasuk aturan tentang ibadah,
perdagangan, pernikahan, dan konflik antar suku.
 Konteks politik di Madinah ditandai oleh konflik antara Muslim dan suku-
suku pagan serta Yahudi. Wahyu dalam periode ini memberikan arahan
kepada umat Islam dalam menangani situasi politik dan sosial yang
kompleks.
Faktor-faktor yang mempengaruhi turunnya wahyu atau sebab turunnya ayat
dalam Al-Qur’an dapat bervariasi, dan sering kali berkaitan dengan konteks historis,
sosial, dan individual pada saat itu. Beberapa faktor yang memengaruhi inklusifnya:
1. Kehendak Allah SWT: Sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam, setiap
wahyu yang diturunkan adalah kehendak Allah SWT untuk menyampaikan
petunjuk, hukum, atau penghiburan kepada umat manusia. Oleh karena itu,
faktor utama yang mempengaruhi turunnya wahyu adalah kehendak dan rencana
Allah SWT.
2. Kondisi Sosial: Kondisi sosial di Mekkah dan Madinah pada masa itu memiliki
dampak langsung terhadap turunnya wahyu. Misalnya, dalam menghadapi
ketidakadilan sosial, perlakuan buruk terhadap kaum lemah, atau pergumulan
politik, wahyu turun untuk memberikan petunjuk moral dan hukum yang
relevan.
3. Tantangan dan Ujian: Beberapa ayat turun sebagai respons terhadap tantangan
atau ujian yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan umat Islam pada saat
itu. Wahyu memberikan bimbingan dan kekuatan moral untuk menghadapi
cobaan tersebut, seperti dalam menghadapi perang atau persekusi terhadap umat
Islam.
4. Konsultasi dengan Nabi Muhammad: Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang
turun sebagai respons terhadap pertanyaan atau permintaan konsultasi dari Nabi
Muhammad SAW atau sahabat-sahabatnya. Wahyu memberikan jawaban atau
petunjuk atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Kritik terhadap Praktik Sosial dan Kultural: Al-Qur’an sering kali turun untuk
menegur atau mengoreksi praktik-praktik sosial, budaya, atau adat yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Wahyu memberikan arahan untuk
memperbaiki perilaku dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
6. Peristiwa Tertentu: Beberapa wahyu turun sebagai respons terhadap peristiwa-
peristiwa tertentu yang terjadi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW atau
dalam sejarah umat Islam. Wahyu memberikan penjelasan, bimbingan, atau
hukum terkait peristiwa tersebut.

Proses penulisan Al-Qur’an


Proses penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an selama hidup Nabi Muhammad
SAW dimulai sejak awal menerima wahyu di gua Hira. Nabi Muhammad SAW tidak
bisa membaca atau menulis, sehingga ia mengandalkan para sahabatnya untuk mencatat
wahyu yang diturunkan kepadanya. Beberapa sahabat seperti Zaid bin Thabit, Abdullah
bin Amr bin Al-As, dan Ali bin Abi Thalib memiliki peran penting dalam menuliskan
wahyu-wahyu tersebut.
1. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Nahi Muhammad Saw
Penulisan al-Qur’an sudah dimulai pada masa Nabi SAW, berjalan
seiring dengan penghafalan dan penyebarannya. Penghafalannya dimungkinkan
mengingat bangsa Arab dikenal sangat kuat ingatan dan hafalannya, terutama
dalam merekam silsilah keturunan dan riwayat dan sejarah kabilah-kabilah
mereka. Sedangkan penulisan al-Qur’an dimungkinkan mengingat budaya tulis
menulis juga sudah dikenal pada masa itu, seperti syair-syair Arab yang ditulis
dan digantung (mu‘allaqât) di dinding Ka‘bah (S. Al-Munajjid, 1972; M.
Hamidullah, 1986/1406; Beatrice Gruendler, 1993; Nabia Abbot, 1938). Jadi,
walaupun tingkat literasi masyarakat Arab waktu itu masih sangat rendah, tidak
berarti tulis menulis sama sekali tidak dikenal.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama
Islam, bangsa Arab – tempat diturunkannya al-Qur’an tergolong ke dalam
bangsa yang buta huruf; sangat sedikit di antara mereka yang pandai menulis
dan membaca. Mereka belum mengenal kertas, sebagaimana kertas yang dikenal
sekarang (Zainal Abidin S, 1992). Bahkan, Nabi Muhammad Saw sendiri
dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan
menulis. Buta huruf bangsa Arab pada saat itu dan ke-ummi-an Nabi
Muhammad Saw, dengan tegas disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah
ayat 2, yaitu : Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf,
seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka alKitab
(al-Qur’an) dan hikmah; dan sesungguhnya mereka itu sebelumnya benar-benar
(berada) dalam kesesatan yang nyata (Q. S alJumu’ah: 2).
Kendatipun bangsa Arab pada saat itu masih tergolong buta huruf pada
awal penurunan al-Qur’an, tetapi mereka dikenal memilki daya ingat (hafal)
yang sangat kuat. Mereka terbiasa menghafal berbagai sya’ir Arab dalam jumlah
yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak.Dengan demikian, pada saat
diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah menganjurkan supaya al-Qur’an itu dihafal,
dibaca selalu, dan diwajibkannya membacanya dalam shalat (Zainal Abidin S,
1992). Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an, Rasulullah Saw mengangkat
beberapa orang sahabat, yang bertugas merekam dalam bentuk tulisan semua
wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Di antara mereka ialah Abu
Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, (Kamaluddin Marzuki, 1994) dan beberapa
sahabat lainnya.
Adapun alat yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu masih
sangat sederhana. Para sahabat menulis al-Qur’an pada ‘usub (pelepah kurma),
likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab
(bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta) (Kamaluddin
Marzuki, 1994). Salah seorang sahabat yang paling banyak terlibatdalam
penulisan al-Qur’an pada masa nabi adalah Zaid bin Tsabit. Dan juga Ia terlibat
dalam pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an masing-masing di masa Abu
bakar dan Utsman bin Affan. Untuk menghindari kerancuan akibat
bercampuraduknya ayat-ayat alQur’an dengan lainnya, misalnya hadis
Rasulullah, maka Beliau tidak membenarkan seseorang sahabat menulis apapun
selain al-Qur’an.
Menurut riwayat para ahli tafsir, ketika Nabi Muhammad masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menulis Al-Qur’an yakni Zaid bin
Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan.
Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain al-Qur’an ini, oleh
Dr. Adnan Muhammad, yang disebutkan oleh Kamaluddin Marzuki dalam
bukunya, dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin
nilai akurasi (keakuratan) al-Qur’an (Kamaluddin Marzuki, 1994).Setiap kali
turun ayat al-Qur’an, Rasulullah memanggil juru tulis wahyu dan
memerintahkan sahabatnya agar mencatat dan menempatkan serta
mengurutkannya sesuai dengan petunjuk Beliau. Pada masa Rasulullah,
Keseluruhan al-Qur’an telah ditulis, namun masih belum terhimpun dalam satu
tempat artinya masih berserak-serak.
Mengingat pada masa itu belum dikenal zaman pembukuan, maka
tidaklah mengherankan jika pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan pada kertas-
kertas seperti dikenal pada zaman sekarang, melainkan dicatat pada benda-benda
yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis terutama pelepah-pelepah
kurma, kulit-kulit hewan, tulang belulang, bebatuan dan juga dihafal oleh para
hafizh muslimin.
Adapun penyebaran al-Qur’an secara massal terjadi seiring penyebaran
Islam itu sendiri. Jadi sejak dari awal diturunkannya, alQur’an telah didengar
dan diperdengarkan, dihafal dan dicatat, dipelajari dan diajarkan, serta
disebarluaskan dengan cara-cara tersebut di atas. Sudah tentu penulisan al-
Qur’an dilakukan secara berangsur-angsur (Al-Suyuthi ; Abu ‘Ubayd al-Qasim
bin Sallam, 1995; al-Bukhari, S{ah}îh} al-Bukhârî, No. 4986). Kemudian
supaya tidak terjadi kekeliruan dan pencampuradukan, beliau dengan tegas
melarang para Sahabat waktu itu agar tidak menulis atau mencatat perkataan
(hadis) beliau: “Jangan mencatat apapun dariku. Jika ada yang mencatat sesuatu
dariku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.” (Muslim, S{ah}îh}
Muslim, Hadis No. 3004; Muhammad Musthafa alA‘zami, 1978). Maksudnya
cukup jelas, supaya dibedakan dan dipisahkan antara catatan al-Qur’an dan
catatan hadis beliau. Proses perekaman dengan cara ini berlangsung selama
bertahun-tahun, sejalan dengan terjadinya penghafalan, pengajaran, dan
penyebaran al-Qur’an yang merupakan inti ajaran Islam.
Sebelum wafat, Rasulullah telah mencocokkan al-Qur’an yang
diturunkan Allah kepada Beliau dengan al-Qur’an yang dihafal para hafizh, surat
demi surat, ayat demi ayat (Ibrahim Al lbyariy, 1993). Maka al-Qur’an yang
dihafal para hafizh itu merupakan duplikat al-Qur’an yang dihafal oleh
Rasulullah Saw.
Dengan demikian terdapatlah di masa Rasulullah Saw tiga unsur yang
saling terkait dalam pemeliharaan al-Qur’an yang telah diturunkan, yaitu:
Hafalan dari mereka yang hafal al-Qur’an, Naskah-naskah yang ditulis untuk
nabi, dan naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan
membaca untuk mereka masing-masing.
Setelah para penghafal dan menguasai dengan sempurna, para hafizh
(penghafal ayat-ayat al-Qur’an) menyebarluaskan apa yang telah mereka hafal,
mengajarkan-nya kepada anak-anak kecil dan mereka yang tidak menyaksikan
saat wahyu turun, (Abdullah al-Zanjani, 2000) baik dari penduduk Makkah
maupun Madinah dan daerah sekitarnya.
Penulisan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan serta diselesaikan pada masa
nabi Muhammad yang merupakan seorang Arab, Pertanggungjawaban isi Al-
Qur’an berada pada Allah, sebab kemurnian dan keaslian Al-Qur’an dijamin
oleh Allah. Sementara itu sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa transformasi
Al-Qur’an menjadi teks saat ini tidak diselesaikan pada zaman nabi Muhammad,
melainkan proses penyusunan Al-Qur’an berlangsung dalam jangka waktu lama
sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga Khalifah Ustman Bin Affan. Syekh Ali
Jum’ah menambahkan, Allah SWT menugaskan bahasa Arab agar menjadi
bahasa Alquran. Sebab, bahasa Arab memiliki ciri khas yang dikandungnya
sehingga Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.Artinya, satu kata dalam
bahasa Arab bisa memiliki banyak makna.
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat baik dari kalangan Anshar
maupun Muhajirin sepakat mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah
bagi kaum muslimin. Pada masa awal pemerintahannya, banyak di antara orang-
orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Yaman banyak di antara
mereka yang menjadi murtad dari agamanya, (Zainal Abidin S, 1992)dan banyak
pula yang menolak membayar zakat. Di samping itu, ada pula orang-orang yang
mengaku dirinya sebagai nabi seperti Musailamah al-Kahzab. Musailamah
mengaku nabi pada masa Rasulullah.Melihat fenomena yang terjadi, Abu Bakar
ash-Shiddiq sebagai khalifah mengabil ketegasan dengan memerangi mereka
yang yang ingkar zakat dan mengaku sebagai nabi beserta pengikutnya. Maka
terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan
pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi. Peperangan itu dikenal
dengan perang Yamamah.
Dalam peperangan itu tujuh puluh penghafal al-Qur’an dari kalangan
sahabat gugur(Manna’ Khalil al-Qathan, 2004). Hal ini menimbulkan
kekhawatiran dalam diri Umar bin Khattab (yang kemudian menggantikan Abu
Bakar sebagai khalifah kedua). Karena orang-orang ini merupakan penghafal al-
Qur’an yang amat baik, Umar merasa cemas jika bertambah lagi angka yang
gugur (W. Montgommery Watt, 1991). Kemudian Umar menghadap Abu Bakar
dan mengajukan usul kepadanya agar pengumpulkan dan membukukan al-
Qur’an dalam satu mushaf karena dikhawatirkan akan musnah, karena dalam
peperangan Yamamah telah banyak penghafal al-Qur’an yang gugur.
Di sisi lain, Umar juga merasa khawatir kalau peperangan di
tempattempat lain akan terbunuh banyak penghafal al-Qur’an sehingga al-
Qur’an akan hilang dan musnah Manna’ Khalil al-Qathan, 2004). Pada awalnya
Abu Bakar menolak usul Umar untuk mengumpulkan dan membukukan al-
Qur’an, karena hal ini tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Walaupun demikian Umar tetap membujuk Abu Bakar, hingga akhirnya
Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan dari Umar bin
Khattab untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an. Kemudian Abu
Bakar meminta kepada Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat,
penulisan, pemahaman, dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan
al-Qur’an terakhir kali oleh Rasulullah Saw. Abu Bakar menceritakan
kepadanya kekhawatiran Umar dan usulan Umar.
Pada mulanya, Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu,
bahkan ia mengungkapkan bahwa pekerjaan itu sangat berat dengan mengatakan
seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu
tidak lebih berat bagiku daripada mengumpulkan al-Qur’an yang engkau
perintahkan. Keduanya kemudian bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid bin
Tsabit dapat menerima dengan lapang dada permintaan penulisan al-Qur’an itu.
Ada sebuah riwayat menyebutkan bahwa untuk kegiatan yang dimaksud
yaitu pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an, Abu Bakar mengangkat semacam
panitia yang terdiri dari empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai
berikut: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan tiga orang lainnya yaitu Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab, masing-masing sebagai anggota
(Muhammad Amin Suma, 2000).
Panitia penghimpun yang semuanya penghafal dan penulis al-Qur’an
termsyur, itu dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun,
yakni sesudah peristiwa peperangan Yamamah (12 H/633 M) dan sebelum wafat
Abu Bakar ashShiddiq.Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, Zaid
bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal al-Qur’an seluruhnya, tapi
untuk kepentingan pengumpulan al-Qur’an yang sangat penting bagi umat
Islam, masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-
sahabat yang lain dengan menghadirkan beberapa orang saksi.
Dengan selesainya pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf
dengan urutan-urutan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, Zaid bin
Tsabit kemudian menyerahkannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah pada saat
itu. Muzhaf ini tetap dipegang khalifah Abu Bakar hingga akhir hayatnya.
Kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab selama pemerintahannya.
Sesudah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar,
dan juga sebagai istri Rasulullah Saw sampai masa pembukuan di masa khalifah
Utsman bin Affan.
Mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah sesudah Umar, alasannya
adalah sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam orang
sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib untuk bermusyawarah memilih seorang
di antara mereka menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada
padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, Ia khawatir dipahami
sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf(Kamaluddin
Marzuki, 1994). Padahal Umar ingin memberikan kebebasan kepada para
sahabat untuk memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah.

Pembagian Al-Qur’an
Pembagian Al-Qur’an menjadi surah (bab) dan ayat adalah salah satu
karakteristik utama dari struktur Al-Qur’an yang memberikan kerangka organisasi dan
pengaturan terhadap teks suci Islam tersebut. Pembagian ini memainkan peran penting
dalam memudahkan pemahaman, mempelajari, dan merujuk kepada ayat- ayat Al-
Qur’an.
1. Pembagian Al-Qur’an Menjadi Surah dan Ayat:
Al-Qur’an terbagi menjadi 114 surah, yang masing-masing memiliki jumlah
ayat yang berbeda. Surah adalah unit terbesar dalam Al-Qur’an dan sering kali
memiliki tema, gaya, dan tujuan tertentu. Setiap surah memiliki nama yang unik
yang sering kali mencerminkan inti pesan atau topik yang dibahas di dalamnya.
Setiap surah kemudian dibagi menjadi ayat-ayat, yang merupakan satuan terkecil
dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an biasanya terdiri dari beberapa kata atau
kalimat dan merupakan unit teks terkecil yang memiliki makna sendiri.
Pembagian Al-Qur’an menjadi surah dan ayat tidaklah acak, tetapi didasarkan
pada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama periode
kenabian. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dalam bentuk surah dan
ayat, dan para sahabatnya mencatatnya sesuai dengan instruksi beliau.
2. Fungsi dan Tujuan Pembagian Al- Qur’an:
 Memudahkan Pembacaan dan Pemahaman: Pembagian Al-Qur’an
Menjadi surah dan ayat memudahkan Pembacaan dan pemahaman teks
suci tersebut. Pembaca dapat merujuk langsung ke ayat tertentu atau
menemukan tema tertentu dalam surah tertentu dengan mudah.
 Memfasilitasi Penghafalan: Pembagian Al-Qur’an menjadi surah dan
ayat juga memfasilitasi penghafalan Al-Qur’an. Para penghafiz (orang
yang menghafal Al- Qur’an) dapat membagi teks menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil dan mudah Diingat.
 Mendorong Kontemplasi dan Refleksi: Pembagian Al-Qur’an
memungkinkan pembaca untuk merenungkan makna dan pesan yang
terkandung dalam setiap ayat atau surah secara terpisah. Ini memfasilitasi
proses kontemplasi dan refleksi spiritual.
 Memberikan Kerangka Organisasi: Pembagian Al-Qur’an menjadi surah
dan ayat memberikan kerangka organisasi yang jelas terhadap teks suci
tersebut. Ini membantu dalam mempelajari konteks historis, sosial, dan
keagamaan dari setiap bagian Al-Qur’an.

PENUTUP (15%)
Penutup merupakan jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam bab
PENDAHULUAN. Penutup bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan
ringkasan, melainkan penyampaian singkat jawaban permasalahan dalam bentuk satu
atau dua paragraf utuh.

DAFTAR PUSTAKA
Siddiqi, M. Z. “History of Compilation of the Qur’an.” Islamic Studies, vol. 14, no. 4,
1975, pp. 223-237.
Khan, M. M. “The History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilation: A
Comparative Study with the Old and New Testaments.” Journal of Qur’anic
Studies, vol. 12, no. 1, 2010, pp. 65-83.
Hamidullah, M. “The Compilation of the Qur’an: A Process of Revelation and
Preservation.” Islamic Quarterly, vol. 5, no.1, 1960, pp. 1-15.
Aslan, Edip. “The Revelation of the Qur’an and its Compilation.” Journal of Islamic
Studies, vol. 12, no. 2, 2001.
Mustafa, Abdul Rahman. “The Role of Angel Gabriel in the Revelation of the Qur’an:
A Historical Analysis.” Islamic Quarterly, vol. 42, no. 3, 1998.
PAKHRUJAIN, Pakhrujain; HABIBAH, Habibah. Jejak Sejarah Penulisan Al-Qur’an.
Mushaf Journal: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 2022, 2.3: 224-231.
Pakhrujain, P., & Habibah, H. (2022). Jejak Sejarah Penulisan Al-Qur’an. Mushaf
Journal: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 2(3), 224-231.

Anda mungkin juga menyukai