Instrumen Dan Komponen Kebijakan Fiskal Islami-Kelompok 9
Instrumen Dan Komponen Kebijakan Fiskal Islami-Kelompok 9
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
Nurfadillah (90500120087)
Fithri Azizah (90500120095)
Ervie Yuniarti (90500120126)
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya kita dapat menyelesaian makalah “Instrumen dan Komponen Kebijakan Fiskal
Islami”. Dan kami berterima kasih kepada bapak Samsul, S.A.B., M.A. sebagai Dosen mata
kuliah Ekonomi Makro Syariah yang telah memberikan tugas makalah kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita sebagai penulis maupun pembaca. Kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata kata yang kurang berkenan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk menyempurnakan makalah ini untuk menjadi lebih baik lagi.
Kelompok 9
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan fiskal berarti kebijakan untuk mengatur pendapatan dan
pengeluaran negara dalam rangka menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Suatu pemerintahan setiap tahun menyusun suatu Rencana Anggaran Pendapatan
Belanja negara (RAPBN) yang diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi APBN.
Dimana pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada kebijakan fiskal yang
terwujud pada APBN. Lahirnya kebijakan fiskal ini karena adanya kesadaran terhadap
pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal ini merupakan
salah satu pembahasan dalam kajian ekonomi Islam. Pada ekonomi Islam, kebijakan
fiskal telah dikenal sejak masa Rasulullah dan para shahabat. konsep ekonomi Islam
yang telah ada sejak pemerintahan Islam Madinah merupakan konsep siap pakai yang
tinggal dijadikan alternatif pengganti sistem fiskal modern. Penerimaan begitu saja
dari konsep klasik fiskal Islam tanpa mereformulasikan dalam konteks kontemporer
hanya akan memutar waktu ke zaman primitif. Bila hanya menerima zakat sebagai
tulang punggung fiskal Islam, lalu menolak pajak, maka hal itu hanya akan berujung
pada konsep fiskal Islam yang utopis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan fiskal?
2. Bagaimana kebijakan fiskal dalam Islam itu?
3. Bagaimana instrmen kebijakan fiskal dalam Islam itu?
4. Bagaimana kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari kebijakan fiskal.
2. Mengetahui kebijakan dalam Islam.
3. Mengetahui instrumen kebijakan fiskal dalam Islam.
4. Mengetahui kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Fiskal
Ditinjau secara etimologi, kebijakan fiskal berasal dari dua kata, yaitu
kebijakan dan fiskal. Kebijakan (policy) memiliki arti yang bermacam-macam,
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah .Seorang ahli,
James E. Anderson merumuskan kebijakan adalah sebagai perilaku dari sejumlah
aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu
bidang kegiatan tertentu. 1
Kebijakan fiskal atau yang disebut juga dengan kebijakan anggaran adalah
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal seperti
pengaturan pengeluaran negara maupun pendapatan negara yang ditujukan untuk
mempengaruhi tingkat permintaan agregat di dalam perekonomian. Kebijakan fiskal
dibedakan menjadi dua yakni kebijakan fiskal aktif dan kebijakan fiskal pasif.
1
Turmudi, I. (2019). Kajian Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter dalam Islam. Jurnal Studi Islam, I(2), 74-90.
2
Dwiyanti, S., Wahyudi, A., & Setianto, A. W. (2021). Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi
Syariah, II(2), 109-118.
2
Kebijakan fiskal aktif adalah kebijakan pemerintah dimana pemerintah
melakukan perubahan tingkat pajak atau program-program pengeluarannya.
Sementara itu, kebijakan fiskal pasif adalah segala sesuatu yang menurunkan
marginal propensity to spend dari pendapatan nasional, sehingga mengurangi
besarnya pengganda. Dengan kata lain, kebijakan ini adalah segala sesuatu yang
cenderung meningkatkan defisit pemerintah (menurunkan surplus pemerintah)
ataupun cenderung meningkatkan surplus pemerintah (menurunkan defisit
pemerintah) tanpa harus ada tindakan eksplisit oleh para pembuat kebijakan.
3
dan pengelolaan dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, negara memiliki peran aktif
demi tereralisasinya tujuan material dan spiritual. Dalam Islam, terpenuhinya
pekerjaan dan kepentingan publik bagi rakyat merupakan kewajiban keagamaan dan
moral penguasa. Tegaknya suatu Negara bergantung pada kemampuan pemerintah
mengumpulkan pendapatan dan mendistribusikannya pada kebutuhan kolektif
masyarakat.
Keuangan publik yang dipraktekkan pada masa Islam awal memiliki basis
yang jelas pada filsafat etika dan sosial Islam yang menyeluruh. Keuangan publik
bukan sekedar proses keuangan di tangan penguasa saja. Akan tetapi sebaliknya, ia
didasarkan pada petunjuk syara’.
Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi
hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan
untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat saja, akan
tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Karena hakikat
permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari bagaimana
distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi. Jadi uang publik dipandang
sebagai amanah di tangan penguasa dan harus diarahkan pertama-tama pada lapisan
masyarakat yang lemah dan orang-orang miskin, sehingga tercipta keamanan
masyarakat dan kesejahteraan umum.
4
2. Sistem pajak proporsional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan
berdasarkan tingkat produktifitas. Misalnya kharaj, besarnya pajak
ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, metode irigasi
maupun jenis tanaman.
Dari rekaman historis sejarah Islam awal, ditemukan bahwa para perancang
keuangan dan pembuat kebijakan mencoba memahami masalah-masalah keuangan
yang ada di wilayah taklukan dan menilainya berdasarkan al-Quran dan sunnah.
Karya lain yang terkenal adalah al-Amwal. Dari catatan sejarah sekurang-
kurangnya ada enam buku dengan judul al-Amwal. Salah satunya adalah karya Abu
3
Aini, I. (2019). Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam. Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, XVII(2), 43-50.
5
‘Ubaid, yang membahas masalah keuangan dan pengelolaan keuangan negara dalam
konteks historis dan fikih.
4
Nafi'ah, B., Arifin, N. R., & Haq, F. (2021). Model Instrumen Kbijakan Fiskal Islam dalam Penanganan Covid-19.
Jurnal Studi Keislaman, I(1), 71-89.
6
b. Pajak penghimpunan dana yang umum dilakukan adalah dengan cara menarik
pajak dari masyarakat. Pajak dikenakan dalam berbagai bentuk seperti pajak
pendapatan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. Pajak yang
dikenakan kepada masyarakat tidak dibedakanterhadap bentuk usahanya sehingga
dapat menimbulkan ketidakstabilan.
c. Meminjam uang pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat atau sumber-
sumber yang lainnya dengan syarat harus dikembalikan di kemudian harinya.
Masyarakat harus mengetahui dan mendapat informasi yang jelas bahwa di
kemudian hari mereka harus membayar pajak yang lebih besar untuk membayar
utang yang dipinjam hari ini. Meminjam uang hanya bersifat sementara dan tidak
boleh dilakukan secara terus-menerus.
Sementara itu, di antara beberapa kebijakan fiskal di dalam Islam antara lain
meliputi:
a. Pendapatan negara
Di antara instrumen kebijakan fiskal yang termasuk kedalam kebijakan
anggaran pendapatan negara antara lain :
1) ZISWA
Zakat menurut istilah agama Islam adalah kadar harta yang tertentu yang
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat. Zakat
merupakan sedekah wajib bagi seorang muslim yang dikumpulkan kepada amil
zakat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Zakat sebagai salah satu pendapatan
negara Islam yang digunakan sebagai pemerataan, walaupun hasil zakat tergolong
kecil dibandingkan dengan pajak, tetapi zakat cukup membantu dalam
perekonomian karena akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Zakat membantu mendekatkan hubungan antara si kaya dan si miskin dan
menghindari kesenjangan yang terjadi antara keduanya ataupun golongan
golongan lain yang membutuhkan. Tujuan zakat dipandang dari sudut pandang
ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Infaq menjadi salah satu pendapatan negara sebagai suatu pemerataan
terhadap distribusi pendapatan, namun infaq bukanlah sebuah kewajiban, namun
merupakan sebuah anjuran, semenetara itu, sedekah adalah salah satu komponen
penting dalam metode penanggulangan kesejahteraan rakyat.
7
Sedekah ialah segala pemberian yang dengan kita mengharapkan pahala
dari Allah SWT. Pemberian yag dimaksud dapat diartikan secara luas, baik itu
pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa perbuatan atau
sikap baik.
Wakaf adalah suatu distribusi kekayaan kepada suatu instansi atau
lembaga untuk keperluan bersama dan tidak dimiliki secara pribadi. Selain untuk
tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar
dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi
sumber daya ekonomi dan stabilitas kegiatan ekonomi.
2) Ghanīmah
Ghanīmah adalah harta hasil rampasan perang yang berasal dari hasil
memerangi orang kafir atau yang memusuhi Islam. Secara khusus, distribusi
ghaimah sudah diatur dalam QS : Al- Anfāl : 41
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat
rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam konteks perekonomian modern, ghanimah juga bisa berasal dari
barang sitaan pemerintah akibat dari pelanggaran hukum, barang temuan dan
barang tambang. Dalam istilah lain Ghanimah dikenal dengan khums
3) Jizyah
Jizyah adalah pajak perlindungan dari negara muslim terhadap warganya
yang non muslim yang mampu. Perlindungan yang dimaksud baik dalam maupun
gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan secara adil dengan penduduk
Muslim sendiri, yang telah dibebani beberapa instrumen biaya yang harus
dikeluarkan ke negara, seperti zakat. Selain itu, pemerintah juga harus memenuhi
kebutuhan pendidikan maupun kesehatan non muslim tersebut.11
4) Kharraj
Kharâj merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas tanah-
tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, kharâj sebagai
pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar ditaklukkan. Tanahnya
diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik menawarkan untuk mengolah tanah
8
tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil
produksi kepada negara. Jumlah dari kharâj bersifat tetap, yaitu setengah dari
hasil produksi. Kharraj merupakan kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh
Rasulullah saw. Di Indonesia, kharraj sama dengan PBB. Perbedaan yang paling
mendasar antara sistem kharraj dengan PBB adalah bahwa kharraj ditentukan
berdasarkan tingkat produktivitas dari tanah, bukan zoning. Hal ini berarti tanah
yang bersebalahan dengan jenis tanaman atau produktivitas yang berbeda maka
akan terjadi perbedaan juga dalam jumlah pajaknya. Kharraj dibayarkan oleh
seluruh anggota masyarakat, baik muslim maupun non-muslim.
5) ‘Ushur
‘Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang
masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku
sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak
ini. Di indonesia, istilah ini lebih dikenal dengan cukai.
6) Pendapatan lain
Pendapatan lain dapat berupa kaffarat (denda) atau juga orang yang
meninggal yang tidak mempunyai pewaris.
b. Pengeluaran Negara
Secara umum, pengeluaran negara di dalam islam dibagi menjadi :
1) Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin. Kebijakan belanja rutin
pemerintah harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan
dengan kemaslahatan seseorang terlebih pada kepentingan pribadi.
2) Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3) Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat
beserta pendanaannya. Seperti pembangunan jalan, jembatan, lembaga pendidikan
dan lain sebagainya
c. Utang Negara
Setiap perubahan mengenai pendaptan ataupun penerimaan negara
memberikan dampak terhadap anggatan pemerintah, selayaknya anggaran
pemerintah disesuaikan dengan kemampuan negara. Ketika terjadi defisit
anggaran maka akan berusaha untuk memenuhi defisit atau kekurangan tersebut.
9
Untuk menutupi kekurangan tersebut, cara yang paling umum digunakan adalah
meningkatkan pendapatan melalui pajak ataupun dengan meminjam dana (utang).
Utang negara dapat berasal dari dalam negri maupun luar negeri. Utang
saat ini tidak lagi sebagai pemenuh anggaran, tetapi sebagai instrumen kebijakan
fiskal guna menstimulasi perekonomian suatu negara.
1) Sukuk
Sukuk berdasarkan Fatwa Dewan Syariah (DSN) Nomor 32/DSN-
MUI/IX/2002 menjelaskan, yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah sebuah
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
2) Pinjaman dalam negeri
Pinjaman dalam negeri bisa berasal dari pinjaman kepada bank sentral
maupun bank bank lain didalam negeri.
3) Pinjaman luar negeri
Pinjaman luar negeri bisa berasal dari pinjaman kepada bank dunia mapun
negara negara lain yang bersedia memberi piutang. Seperti yang pernah dilakukan
Indonesia untuk menanggulangi krisis pada tahun 1998 dengan meminjam kepada
IMF (International Monetery Found) .
10
kekayaan material, yang setiap tahun dapat diukur dengan statistik pendapatan
nasional, tetapi termasuk juga kesejahteraan rohani di dunia dan akhirat. 5
Dalam sistem ekonomi konvensional, sumber penerimaan pemerintah
terdiri dari tiga bagian. Pertama, dan merupakan sumber penerimaan primer,
berasal dari pungutan pajak. Kedua, berasal dari penerimaan negara bukan
pajak. Ketiga, adalah hibah atau bantuan dan pinjaman luar negeri.
5
Rahmawati, L. (2016). Sistem Kebijakan Fiskal Modern dan Islam. Journal Of Economics, I(1), 21-48.
11
menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran
negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang,
komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin
berhak memilikinya sesuai hukum syara’ dan tidak ditentukan individu
pemiliknya walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya maka
harta tersebut menjadi hak Baitul Mal, yakni sudah dianggap sebagai
pemasukan bagi Baitul Mal. Secara hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul
Mal, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat penyimpanan
Baitul Mal maupun yang belum.
Terdapat sekitar empat puluh sahabat yang bertugas sebagai pegawai
sekretariat Rasulullah. Saat itu, Baitul Mal dipusatkan di Masjid Nabawi,
sehingga pada masa pemerintahan Rasulullah masjid selain digunakan sebagai
tempat ibadah juga digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus
tempat tinggal Rasulullah. Harta-harta yang merupakan sumber pendapatan
negara disimpan di masjid dalam waktu singkat kemudian didistribusikan
kepada masyarakat. Sedangkan binatang-binatang milik negara tidak
ditempatkan di Baitu Mal tetapi di padang terbuka sesuai alamnya.
Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang
sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada
masa al-khulafa’ al-rashidun. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw
hingga al-khulafa’ al-rashidun terjadi perkembangan yang cukup pesat baik
dalam penggalian sumber dana maupun pemanfaatannya.
Mengenai sumber pendapatan negara (Baitul Mal) dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok: pertama, bersumber dari kalangan
muslim (zakat, zakat fitrah, wakaf, nawa’ib, sedekah, dan amwal fadla).
Kedua, penerimaan yang bersumber dari kalangan nonmuslim seperti jizyah,
Kharaj, dan ushur. Dan ketiga, penerimaan dari sumber lain seperti ghanimah,
fai’, uang tebusan, hadiah dari pimpinan negara lain dan pinjaman pemerintah
baik dari kalangan muslim maupun nonmuslim.
1. Zakat
12
Inti dari sumber keuangan negara dalam ekonomi yang islami adalah
zakat. Pendapatan zakat didistribusikan untuk mustah}ik zakat yang meliputi
delapan golongan, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah (9): 60. Dana
yang berasal dari zakat sama sekali tidak diperbolehkan untuk menarik laba
atau modal pembangunan.
Zakat sebagai sumber penerimaan utama memiliki potensi yang besar
mengingat hukumnya yang wajib. Selain itu objek zakat dalam dunia modern
saat ini bertambah luas dengan dimungkinkannya menarik zakat profesi selain
zakat pertanian dan peternakan, zakat perusahaan dan sebagainya. Ajaran
Islam dengan rinci telah menentukan syarat, kategori harta yang harus
dikeluarkan zakatnya, dan lengkap dengan tarifnya. Pemerintah dapat
memperluas objek yang wajib dizakati dengan berpegang pada nas umum
yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.
Dalam konteks Indonesia, agar dana zakat secara kuantitatif ataupun
kualitatif cukup banyak, maka untuk mengoptimalkannya pemerintah
seharusnya lebih serius. Keseriusan tidak hanya dalam hal perumusan
Undang-Undang zakat yang telah ditetapkan pada pemerintahan BJ Habibie,
namun pemerintah perlu membentuk kementrian khusus atau lembaga khusus
dalam rangka pemungutan dan alokasi dana zakat. Upaya yang dilakukan BJ
Habibie dalam masa pemerintahannya terkait persoalan zakat telah mampu
membangkitkan euforia masyarakat untuk menyalurkan dana zakat kepada
lembaga-lembaga, baik swasta maupun negeri. Lembaga-lembaga swasta
tumbuh bak jamur di musim hujan.
Meskipun lembaga zakat tumbuh dengan pesatnya, namun jumlah dana
yang didapatkan tidak mampu dijadikan sebagai pendapatan utama negara.
Tidak seperti pada pemerintahan Islam pada masa Nabi dan al-khulafa’ al-
rashidun. Zakat dan sedekah saat itu sebegai pendapatan utama Negara dan
dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu sudah selayaknya
demi mendongkrak pendapatan negara, pemerintah Indonesia serius dalam
menangani zakat ini.
2. Wakaf
Wakaf dari pandangan hukum syara’ berarti “menahan harta yang
mungkin diambil manfaatnya”. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada
13
Allah swt. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan,
diberikan atau dijual kepada pihak lain. Tanah sebagai wakaf telah memainkan
peran besar dalam masyarakat Islam, misalnya:
a. Lahan yang ditanami di Daulah Turki Utsmani 75% adalah tanah
wakaf.
b. Pada masa penjajahan Perancis di Aljazair pertengahan abad 19,
separuh dari lahan yang ada adalah tanah wakaf.
c. Di Tunisia pada abad ke-19, sepertiga lahan yang ada adalah tanah
wakaf.
d. Di Mesir pada tahun 1949, sekitar seperdelapan dari lahan pertanian
adalah tanah wakaf.
e. Di Iran pada tahun 1930, sekitar 30% lahan yang ditanami adalah
tanah wakaf.
Dalam menunaikan wakaf, bisa dilakukan dengan harta bergerak
maupun tidak bergerak. Mazhab Ma>liky membuka kesempatan untuk
memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk yang paling liquid.
Yaitu dalam bentuk uang tunai.
3. Nawa’ib/D{ara>ib
Nawa’ib merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara
untuk menanggung kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi
darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat. Hal ini terjadi dalam masa perang
Tabuk. Pajak ini dimasukkan dalam Baitul Mal. Dasar hukum atas kewajiban
ini adalah QS. Ar-Ruum (30): 38.
4. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim
sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta
jaminan keamanan yang mereka terima dari Negara Islam. Jizyah diambil dari
orang-orang nonmuslim selama mereka tetap pada kepercayaannya. Namun
apabila mereka telah memeluk agama Islam, maka kewajiban membayar
jizyah tersebut gugur. Jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan
tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau
14
kemiskinannya. Kewajiban membayar jizyah diatur dalam QS at-Taubah
(9):29.
Pada masa Rasulullah besarnya jizyah adalah 1 dinar per tahun untuk
orang dewasa yang mampu membayarnya. Sedangkan ketetapan pada masa
‘Umar adalah 48 Dirham untuk orang kaya yang berpenghasilan tinggi, 24
dirham untuk yang berpenghasilan menengah dan 12 dirham unutk orang
miskin yang bekerja.
6. Khums
Khums adalah dana yang diperoleh dari seperlima bagian rampasan
perang. Khums juga merupakan suatu sistem pajak proporsional, karena ia
adalah persentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh tentara Islam
sebagai ghanimah setelah memenangkan peperangan. Persentase tertentu dari
pendapatan sumber daya alam, barang tambang, minyak bumi dan barang-
barang tambang lainnya juga dikategorikan khumus.
15
Permulaan ditetapkannya ‘ushur di negara Islam adalah di masa
khalifah dengan landasan penegakan keadilan, karena ‘ushur dikenakan pada
para pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Tempat
berlangsungnya pemungutan ‘ushur adalah pos perbatasan negara Islam, baik
pintu masuk maupun pintu keluar sebagaimana bea cukai pada saat ini.
8. Kaffarah
Kaffarah merupakan denda yang dulu dikenakan kepada suami istri
yang melakukan hubungan di siang hari pada bulan puasa (Ramadhan). Denda
tersebut dimasukkan dalam pendapatan negara.
9. Pinjaman
Pinjaman atau utang baik luar negeri maupun dalam negeri dalam
Islam sifatnya adalah hanya sebagai penerimaan sekunder. Alasannya,
ekonomi Islam tidak mengenal bunga, demikian pula untuk pinjaman dalam
Islam haruslah bebas bunga, sehingga pengeluaran pemerintah akan dibiayai
dari pengumpulan pajak atau bagi hasil. Dalam pengertian ini, Islam tidak
melarang untuk melakukan utang-piutang asalkan tidak membebani
pengutang, karena sifatnya hanya membantu dan harus segera diselesaikan
dalam waktu yang singkat.
Sepanjang sejarah pemerintah Islam, negara pernah melakukan utang
hanya dua kali, yaitu pada masa kepemimpinan Rasulullah saw dan
kepemimpinan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b. Pinjaman-pinjaman yang pernah
dilakukan meliputi pinjaman setelah penaklukan kota Makkah untuk
pembayaran diyat kaum muslimin kepada Judzaimah atau sebelum
pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham kepada ‘Abdullah ibn Rabi>’ah,
dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari S{ufya>n
ibn ‘Umayyah.
16
2. Kebijakan Fiskal Sebagai Fungsi Alokasi, Distribusi, dan Stabilisasi
Perekonomian
Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi, distribusi
dan stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka digunakan untuk apa
sajakah sumber-sumber keuangan negara, sedangkan distribusi menyangkut
bagaimana kebijakan negara mengelola pengeluarannya untuk menciptakan
mekanisme distribusi ekonomi yang adil di masyarakat, dan stabilisasi adalah
bagaimana negara menciptakan perekonomian yang stabil. Kebijakan fiskal
dalam Sistem Ekonomi Kapitalis hanyalah merupakan suatu kebutuhan untuk
pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk menggenjot
perekonomian.
Pembelanjaan pemerintah dalam koridor Negara Islam berpegang pada
terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap-tiap
individu dan kebutuhan sekunder dan luks (al-h}a>ja>t al-kama>liyyah)nya
sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat.
Menurut al-Ma>liky kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi
dua. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara
menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian)
dan papan (tempat tinggal). Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat
secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan,
kesehatan dan pendidikan.
Negara menjamin pendidikan dengan menyediakan tenaga pengajar
(guru/dosen), tempat pendidikan dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk
penyelenggaraannya. Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan
hidup yang layak bagi para guru. Pada masa Khalifah ‘Umar ibn al-
Khat}t}a>b, seorang guru diberi gaji 15 dinar setiap bulannya. Di jaman
kejayaan Islam dulu, sumber-sumber ekonomi terutama dari sumber daya
alam, juga produksi barang dan jasa serta perkembangan sains dan teknologi
belum semaju dan sebanyak seperti sekarang ini. Akan tetapi jaminan
pendidikan gratis dengan berbagai fasilitasnya, serta taraf hidup para guru jauh
lebih baik pada masa Islam dibandingkan masa hegemoni ekonomi Kapitalis
sekarang.
Concern suatu Negara Islam harus lebih difokuskan kepada
pendistribusian ekonomi secara merata. Dengan pendistribusian yang merata
17
akan terjamin keadilan di tengah masyarakat, dan juga tidak akan ada jurang
pemisah yang tajam antara si kaya dan miskin. Dengan prinsip keadilan
tersebut, akan terjamin kebutuhan primer secara menyeluruh bagi tiap individu
rakyat, di samping masing-masing individu akan mampu memenuhi
kebutuhan sekundernya dan luksnya.
Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran
utama kebijakan fiskal dibandingkan anggaran yang lainnya, maka Negara
tidak boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab ia merupakan
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan merupakan hak setiap individu
yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan.
Juga hak seluruh rakyat untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan
dan pelayan kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi
membiayai anggaran ini, padahal perkara ini merupakan kewajiban negara
terlepas apakah ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak, maka kewajiban
untuk membiayai anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum Muslimin.
Artinya, ada kewenangan negara untuk memungut pajak (daribah) terhadap
kaum Muslimin yang mempunyai kelebihan harta.
Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan
primer di atas, maka negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan
dengan itu terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga
negara telah membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil, karena orang-
orang yang kurang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh
negara dengan penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Juga
setiap orang mendapatkan hak yang sama dalam keamanan akan hartanya,
akan usahanya (pertanian, industri dan perdagangan, jasa, dan lain-lain),
jiwanya dan keluarganya. Hak yang sama akan pendidikan, sehingga semua
orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
ilmu dan keahlian (skill). Dengan ilmu dan keahlian inilah modal dasar bagi
seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, serta untuk
meningkatkan kekayaannya.
Pengeluaran dalam negara Islam harus diupayakan untuk mendukung
ekonomi masyarakat muslim. Jadi pengeluaran pemerintah akan diarahkan
pada kegiatan-kegiatan pemahaman terhadap Islam dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Sedangkan pendapatan pemerintah harus secara merata
18
terdistribusikan kepada rakyat. Dalam QS. al-Dhariyat (51): 19 disebutkan,
“Dan pada harta-harta mereka ada hak umtuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Sedangkan dalam QS. al-
Baqarah (2): 219 Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadanya apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah “yang lebih dari keperluan”
demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu
berpikir”. Juga, dalam QS. al-H{ashr (59): 7 disebutkan, “Supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Terdapat beberapa hadis Nabi yang menguatkan beberapa ayat di atas.
Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sebaik-
baik sedekah adalah sesuatu yang (diberikan) dari seseorang yang tidak
membutuhkan dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
Demikian pula al-Hakim meriwayatkan dari Abu al-Ah}wash, bahwa
Rasulullah bersabda, “Apabila engkau telah dianugerahi harta oleh Allah,
maka hendaknya tanda-tanda nikmat dan kemudian (yang diberikan) Allah
kepadamu tersebut ditambahkan.”
19
d. Kaidah ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib. Yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa “sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan
tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun,
maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi waib
hukumnya”.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk
mengelola perekonomian kekondisi yang lebih baik dengan cara mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal adalah kebijakan
pemerintah dalam memungut pajak dan membelanjakan pajak tersebut untuk
membiayai kegiatan ekonomi. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah
dalam mengatur setiap pendapatan dan pengeluaran negara yang digunakan untuk
menjaga stabilitas ekonomi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan
pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal
tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan pendapatan, yang tercermin
dalam kebijakan pajak, kedua kebijakan belanja. Kedua instrumen tersebut akan
tercermin dalam anggaran belanja negara. Kebijakan fiskal akan sangat tergantung
pada dua instrumen tersebut, yaitu pendapatan dan pengeluaran.
1. Zakat
2. Wakaf
3. Nawa’ib/D{ara>ib
4. Jizyah
6. Khums
8. Kaffarah
9. Pinjaman
22
B. Saran
Dengan membaca makalah ini, diharapkan kita mampu memahami lebih jauh
tentang Kebijakan Fiskal Islami lebih dalam lagi walaupun penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis
menyarankan agar mencari referensi-referensi bacaan lebih banyak lagi selain dari
makalah ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aini, I. (2019). Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam. Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum,
XVII(2), 43-50.
Azharsyah. (2011). Maksimalisasi Zakat sebagai Salah Satu Komponen Fiskal dalam Sistem
Ekonomi Islam. Jurnal Syari'ah, III(1), 1-10.
Dwiyanti, S., Wahyudi, A., & Setianto, A. W. (2021). Kebijakan Fiskal dalam Perspektif
Islam. Jurnal Ekonomi Syariah, II(2), 109-118.
Nafi'ah, B., Arifin, N. R., & Haq, F. (2021). Model Instrumen Kbijakan Fiskal Islam dalam
Penanganan Covid-19. Jurnal Studi Keislaman, I(1), 71-89.
Priyono, S. (2017). Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jurnal Hukum dan
Pranata Sosial Islam, I(2), 126-142.
Rahmawati, L. (2016). Sistem Kebijakan Fiskal Modern dan Islam. Journal Of Economics,
I(1), 21-48.
Turmudi, I. (2019). Kajian Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter dalam Islam. Jurnal
Studi Islam, I(2), 74-90.
24