Hubungan Antar Manusia (Konseling)k.2
Hubungan Antar Manusia (Konseling)k.2
OLEH : KELOMPOK 2
KELAS : VI1-C
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
2017
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
1. Pengertian dan Sejarah Human Relation (Hubungan Antar Manusia)
Hanya saja, disini sifat hubungan sesama manusianya tidak seperti orang
berkomunikasi biasa, bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh
seseorang kepada orang lain, tetapi hubungan antara orang-orang yang
berkomunikasi dimana mengandung unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.
Dikatakan bahwa hubungan manusiawi itu merupakan suatu komunikasi karena
sifatnya yang orientasi pada perilaku (action oriented), hal ini mengandung
kegiatan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang (Onong,
2001).
Human relation dalam kegiatannya ada teknik yang bisa digunakan untuk
membantu mereka yang menderita frustasi yakni apa yang disebut konseling,
yang bertindak sebagai konselor bisa pemimpin organisasi, kepala humas, atau
kepala-kepala lainnya. Konseling bertujuan membantu konseli, yakni pegawai
yang menghadapi masalah atau yang menderita frustasi, untuk memecahkan
masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan
keberanian untuk memecahkan masalahnya. Human relation dalam kegiatannya
terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan yang dilakukan. Kedua
jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang langsung
terarah, dan non directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah
(Onong, 2009).
1) Tindakan sosial
Kontak sosial adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang
merupakan terjadinya awal interaksi sosial.
3) Komunikasi sosial
Persepsi kita tentang seseorang boleh jadi sesuai dan boleh juga tidak
sesuia dengan kepribadian orang itu. Kita mengambil kesimpulan tentang orang
lain dari stimuli yang sampai kepada kita, betapapun tidak lengkap nya informasi
yang kita terima. Mulai dengan pembahasan tentang faktor-faktor personal (yaitu
pengalaman, motivasi, dan kepribadian) dan faktor-faktor situasional (yaitu
deskripsi verbal, petunjuk proksemik/penggunaan jarak, petunjuk kinesik/gerakan
tubuh, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik/cara pengucapan, petunjuk
artifaktual/penampilan) yang mempengaruhi persepsi kita tentang orang lain
disebut persepsi interpersonal (Rakhmat, 2007).
Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar
objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat
papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita
amati. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak
tampak pada alat indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga
melihat mengapa ia berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan saja
tindakan tetapi juga motif tindakan itu. Dengan demikian, stimuli kita menjadi
sangat kompleks. Kita tidak akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain
dan berbagai dimensi perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja.
Ini jelas membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek
(Rakhmat, 2007).
Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita;
kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Dalam persepsi
interpersonal faktor-faktor personal anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi
serta hubungan anda dengan orang tersebut menyebabkan persepsi interpersonal
sangat cenderung untuk keliru. Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang
dapat menentukan persepsi siapa yang keliru: persepsi anda atau persepsi saya
(Rakhmat, 2007).
Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda
lihat minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini.
Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di
sudut sudah hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah.
Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok
hari. Kemarin anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari
ini sedih karena sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena
ujian anda lulus. Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid.
Perubahan ini kalau tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang
salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah (Rakhmat,
2007).
Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil
juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka,
masih dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku
mereka. Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal
(external cues) yang dapat diamati. Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal
dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik dan
artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non
verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor situasional (Rakhmat,
2007).
(Suranto, 2011).
4. Penerima pesan. Pesan yang dikirim oleh komunikator oleh diterima oleh
komunikan.
Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi
diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus
(Rakhmat, 2007).
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek
persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam
benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-
akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana
kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin.
Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana
orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak
menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin
merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79) (Rakhmat, 2007).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian
diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama
psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep
diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri
yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada
psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh
Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan
memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah
Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi,
konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E.
Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow
(1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama
Psikologi Humanistik (Rakhmat, 2007).
Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan
komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri
(self image), dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem) (Rakhmat,
2007).
Harga diri (self esteem) adalah perasaan percaya diri dan layak menjadi
pribadi. Penelitian psikologis telah menunjukkan bahwa rendahnya harga diri
terkait dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk alkoholisme,
kegelisahan, dan depresi, yang semuanya menyebabkan masalah pada pekerjaan.
Harga diri yang tinggi, di sisi lain, memperbaiki sikap, moral kerja, dan kualitas
hidup secara keseluruhan. Di tempat kerja, harga diri yang sehat adalah kunci
untuk kinerja terbaik dan pekerjaan berkualitas tinggi, terutama bila pekerjaan
secara langsung mempengaruhi orang lain. Harga diri adalah inti dari sebagian
besar masalah dalam hubungan manusia (Lamberton, 2014).
Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan.
Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk
menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung
menghindari sifat defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain
(Rakhmat, 2007).
Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan
Johari Window. Dalam Johari Window diungkapkan tingkat keterbukaan dan
tingkat kesadaran tentang diri kita (Rakhmat, 2007)
.
(Liliweri, 1991).
Bidang 1, melukiskan suatu kondisi di mana antara seorang dengan yang lain
mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling
mengetahui masalah tentang hubungan mereka.
Bidang 2, melukiskan bidang buta, masalah hubungan antara kedua pihak hanya
diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri.
Davis, Keith. (1989). Human Behaviour At Work, 8th ed. Singapore: McGraw
Hill, Inc.
Lamberton, lowell. (2014). Human Relations; Strategies for Success, 5th ed. New
York: McGraw-Hill Education.
Onong, Uchjana Effendi. (2009). Human Relation dan Public Relation. Bandung:
Mandar Maju.
Onong, Uchjana Effendy. (2001). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Jakarta:
Erlangga.