Dasar Dasar Epidemiologi
Dasar Dasar Epidemiologi
Penulis:
Marlynda Happy Nurmalita Sari, Rasmaniar
Ashriady, Mubarak, I Gede Purnawinadi
Rahmatillah Razak, Anggun Budiastuti, Widi Hidayati
Efendi Sianturi, Suryana, Niken Bayu Argaheni, Sugih Wijayati
Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176
IKAPI: 044/SUT/2021
Marlynda Happy Nurmalita Sari., dkk.
Dasar-Dasar Epidemiologi
Yayasan Kita Menulis, 2021
xiv; 182 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-623-342-148-5
Cetakan 1, Juli 2021
I. Dasar-Dasar Epidemiologi
II. Yayasan Kita Menulis
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan kehendak-Nya buku "Dasar-Dasar Epidemiologi" ini
dapat disusun dan diselesaikan dengan baik.
Gambar 11.5: Prinsip Surveilans Respons Untuk Kematian Ibu dan Anak.147
Gambar 11.6: Indeks Responsiveness.............................................................148
Gambar 11.7: Perhitungan Indeks Responsiveness .......................................149
Daftar Tabel
1.1 Pendahuluan
Era globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif bagi derajat kesehatan
negara-negara yang sedang berkembang. Dampak negatif bagi suatu negara
adalah perkembangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit
menular seperti spesies bakteri, virus, jamur yang mengalami peningkatan dan
penambahan jenis. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya peningkatan
jumlah populasi pada ekosistem dan kemampuan hidup mikroorganisme yang
lebih panjang akibat mutasi genetik. Mutasi genetik menyebabkan jumlah
penyakit menular yang ada di dunia saat ini menjadi lebih beragam. Oleh
karena itu ilmu epidemiologi mempunyai peran yang penting untuk membantu
kita menemukan penyebab masalah kesehatan dan pencegahannya.
Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu (epi=pada atau tentang,
demos=penduduk, logos=ilmu) dengan demikian epidemiologi adalah ilmu
yang mempelajari hal-hal yang terjadi pada rakyat atau penduduk.
Epidemiologi tidak terbatas hanya mempelajari tentang epidemi (wabah).
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari peristiwa atau kejadian atau
masalah kesehatan yang terjadi pada penduduk (Prevention, 2012).
2 Dasar -Dasar Epidemiologi
terjadinya masalah kesehatan yang ada pada suatu penduduk sehingga dapat
mencegah dan mengatasi masalah tersebut.
1. Frekuensi (Besarnya Masalah Kesehatan)
Menyatakan banyaknya penyakit atau masalah kesehatan yang
dinyatakan dalam ukuran epidemiologi seperti rasio, proporsi dan
angka (insiden dan prevalensi).
Gambar 1.2: Penularan Penyakit Pada Manusia (Eliana and Sri Sumiati,
2016)
Ruang lingkup epidemiologi dalam masalah kesehatan meliputi 6E, yaitu:
Etiologi (Penyebab):
1. Efikasi (untuk melihat efek atau daya optimal yang dapat diperoleh
dari adanya intervensi kesehatan ex. Vaksinasi),
2. Efektivitas (untuk mengetahui efek intervensi dalam berbagai kondisi
lapangan yang berbeda),
3. Efisiensi (untuk mengetahui kegunaan dan hasil yang diperoleh
berdasarkan besarnya biaya yang dikeluarkan),
4. Evaluasi (melihat dan memberikan nilai keberhasilan suatu program),
5. Edukasi (salah satu bentuk intervensi berupa upaya peningkatan
pengetahuan kesehatan)
Epidemiologi merupakan ilmu yang tidak hanya penting bagi ilmu kesehatan,
tetapi juga erat hubungannya dengan disiplin ilmu lainnya. Sehingga tidak
jarang epidemiologi dikembangkan pada berbagai bidang.
1. Epidemiologi Penyakit Menular
Epidemiologi berperan dalam memantau munculnya atau tren suatu
penyakit menular yang terjadi. Surveilans dalam epidemiologi
menjadi alat untuk pencatatan dan pelaporan penyakit menular yang
terjadi terutama yang menjadi perhatian pemerintah. Contoh:
surveilans terpadu penyakit HIV/AIDS, TBC dan malaria.
Bab 1 Konsep Dasar Epidemiologi 7
Gambar 1.3: Studi Riwayat Kasus (Eliana and Sri Sumiati, 2016)
2. Studi Kohort (Kohort Studies) Dalam studi ini sekelompok orang
dipaparkan (exposed) pada suatu penyebab penyakit (agent).
Kemudian diambil sekelompok orang lagi yang mempunyai ciri-ciri
yang sama dengan kelompok pertama, tetapi tidak dipaparkan atau
dikenakan pada penyebab penyakit. Kelompok kedua ini disebut
kelompok kontrol. Setelah beberapa saat yang telah ditentukan kedua
kelompok tersebut dibandingkan, dicari perbedaan antara kedua
kelompok tersebut bermakna atau tidak.
Contoh: untuk membuktikan bahwa oral kontrasepsi kemungkinan
merupakan faktor penyebab kanker payudara (Ca payudara), diambil
dua kelompok ibu-ibu yang satu kelompok terdiri dari ibu-ibu yang
menggunakan oral kontrasepsi dan satu kelompok lagi terdiri dari
ibu-ibu yang tidak menggunakan oral kontrasepsi. Kemudian
diperiksa apakah ada perbedaan pengidap, kanker payudara antara
14 Dasar -Dasar Epidemiologi
Gambar 1.4: Studi Riwayat Kasus Kohort (Eliana and Sri Sumiati, 2016)
3. Epidemiologi Eksperimen
Studi ini dilakukan dengan mengadakan eksperimen (percobaan)
kepada kelompok subjek, kemudian dibandingkan dengan kelompok
kontrol (yang tidak dikenakan percobaan) Contoh: untuk menguji
keampuhan suatu vaksin, dapat diambil suatu kelompok anak
kemudian diberikan vaksin tersebut.
Sementara itu diambil sekelompok anak pula sebagai kontrol yang
hanya diberikan placebo. Setelah beberapa tahun kemudian dilihat
kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksin tersebut, kemudian dibandingkan antara kelompok
percobaan dan kelompok kontrol.
Bab 2
Konsep Penyebab Timbulnya
Penyakit
Ternyata kemudian setelah penyakit menular mulai dapat diatasi pada negara-
negara maju, muncullah masalah baru dengan munculnya penyakit tidak
menular yang unsur dan faktor penyebabnya banyak berkaitan dengan
berbagai faktor seperti faal tubuh, proses degenerasi, faktor genetika dan
berbagi faktor lainnya yang sangat berkaitan satu sama lain (Bustan,M.N,
2006)
Dewasa ini semakin disadari dan dianut teori bahwa faktor penyebab penyakit
tidak dapat dilepaskan dengan adanya berbagai faktor yang saling berkaitan
dan berperan dalam proses terjadinya penyakit. Manusia berinteraksi dengan
berbagai faktor penyebab itu dan jika faktor itu dapat mengalahkan
kemampuan faali tubuh manusia maka seseorang menjadi jatuh sakit (Bustan,
M.N, 2006)
Bab 2 Konsep Penyebab Timbulnya Penyakit 17
2.2.1 Agen
Pada dasarnya tidak satu pun penyakit yang dapat timbul hanya disebabkan
oleh satu faktor penyebab tunggal semata. Pada umumnya, kejadian penyakit
disebabkan oleh berbagai unsur yang secara bersama-sama mendorong
terjadinya penyakit.
Namun demikian, secara dasar, unsur penyebab penyakit dapat dibagi dua
bagian utama, yaitu:
1. Penyebab Primer
Unsur ini dianggap sebagai faktor kausal terjadinya penyakit, dengan
ketentuan bahwa walaupun unsur ini ada, belum tentu terjadi
penyakit, tetapi sebaliknya. Pada penyakit tertentu, unsur ini dijumpai
sebagai penyebab kausal. Unsur penyebab kausal ini dapat dibagi 5
kelompok:
a. Unsur penyebab biologis yaitu semua unsur penyebab yang
tergolong makhluk hidup termasuk kelompok mikroorganisme
seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan insekta. Unsur
biologis ini umumnya dijumpai pada penyakit infeksi dan
penyakit menular.
b. Unsur penyebab nutrisi yaitu semua unsur penyebab yang
termasuk golongan nutrisi dan dapat menimbulkan penyakit
tertentu karena kekurangan dan kelebihan zat nutrisi tertentu
seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air.
18 Dasar -Dasar Epidemiologi
2. Lingkungan fisik
Keadaan fisik yang berada di sekitar manusia yang berpengaruh
terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak, maupun
terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia.
Lingkungan fisik bersifat abiotik, meliputi:
a. Udara, keadaan cuaca, geografis, dan geologis;
b. Air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai bentuk
pencemaran pada air;
c. Unsur kimiawi lain pada pencemaran udara, tanah dan air, radiasi
dan lain sebagainya.
3. Lingkungan sosial
Semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, sistem
organisme, serta institusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu
yang membentuk masyarakat tersebut. Lingkungan sosial ini
meliputi:
a. Sistem hukum, administrasi dan kehidupan sosial politik, serta
sistem ekonomi yang berlaku.
b. Bentuk organisasi masyarakat yang berlaku setempat.
c. Sistem pelayanan kesehatan serta kebiasaan hidup sehat
masyarakat setempat.
d. Kepadatan penduduk, kepadatan rumah tangga, serta berbagai
sistem kehidupan sosial lainnya.
Model Segitiga
Dalam konsep ini timbulnya penyakit didasarkan pada hubungan interaksi
antara Host, Agent dan Environment. Hubungan antara ketiga unsur tersebut
dalam menimbulkan penyakit amat kompleks dan majemuk. Disebutkan
bahwa ketiga faktor tersebut saling memengaruhi, di mana pejamu dan bibit
penyakit saling berlomba untuk menarik keuntungan dari lingkungan.
maka terjadinya suatu penyakit tidak hanya ditentukan oleh unsur penyebab
semata, tetapi yang utama adalah bagaimana rantai penyebab dan hubungan
sebab akibat dipengaruhi oleh berbagai faktor maupun unsur lainnya.
Model Roda
Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat model roda
memerlukan identifikasi dari beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya
penyakit dengan tidak menekankan pentingnya agen. Disini yang dipentingkan
adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya
peranan dari masing-masing lingkungan bergantung pada penyakit yang
bersangkutan.
Sebagai contoh, peranan lingkungan fisik lebih besar dari yang lain pada
“sunburn”, peranan lingkungan biologis lebih besar dari yang lainnya pada
penyakit yang penularannya melalui vektor (vector borne diseases), peranan
genetik lebih besar dari yang lain pada penyakit keturunan seperti Diabetes
Mellitus.
3.1 Pendahuluan
Hal yang mendasar untuk diketahui dalam membuat diagnosis penyakit adalah
perhitungan terhadap faktor waktu perlangsungan penyakit atau dalam istilah
yang lain disebut riwayat alamiah penyakit (natural history of disease).
Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama pentingnya dengan
pengetahuan terkait kausa penyakit dalam rangka mencegah dan
mengendalikan penyakit. Dapat dikembangkan sebuah intervensi yang tepat
untuk mengidentifikasi maupun mengatasi masalah penyakit dengan
mengetahui perilaku dan karakteristik masing-masing penyakit tersebut
(Gordis, 2013).
Berikut ini akan disajikan beberapa pandangan para ahli terkait dengan
pengertian riwayat alamiah penyakit untuk memudahkan kita dalam
memahami istilah tersebut:
1. Riwayat alamiah penyakit adalah perjalanan penyakit yang dimulai
dari munculnya penyakit (onset atau inception) sampai penyakit
selesai (resolution) (Last, 2001).
26 Dasar -Dasar Epidemiologi
Gambar 3.1: Natural History of Disease (Centers for Disease Control and
Prevention, 2012)
28 Dasar -Dasar Epidemiologi
3. Pejamu menjadi lebih rentan atau agen menjadi lebih kuat (virulen)
apabila terjadi perubahan pada interaksi host, agen dan environment,
hal ini dapat memudahkan agen masuk ke tubuh host (memasuki
tahap inkubasi).
Tahap ini biasa disebut dengan nama fase susceptible atau stage of
susceptibility atau tahap awal proses etiologis.
latensi atau dikenal dengan juga dengan istilah masa inkubasi multi kausal
pada penyakit tidak menular.
Pada tahap ini dikenal juga istilah proses promosi. Istilah ini merupakan
sebuah proses peningkatan keadaan patologis yang irreversibel dan asimtom,
sampai akhirnya kondisi ini menampakkan manifestasi klinis. Pada tahap ini,
terjadi transformasi atau disfungsi sel, yang pada akhirnya menimbulkan gejala
atau klinis diakibatkan oleh agen penyakit yang meningkat aktivitasnya dan
masuk ke dalam tubuh.
4. Kronis
Perjalanan penyakit tampak berhenti karena gejala penyakit tidak
mengalami perubahan. Penyakit tidak bertambah berat ataupun tidak
bertambah ringan. Keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang
menggembirakan, karena pada dasarnya pejamu tetap berada dalam
keadaan sakit.
5. Meninggal Dunia
Perjalanan penyakit berhenti bukan karena faktor kesembuhan, tetapi
karena pejamu mengalami kematian. Keadaan seperti ini bukanlah
sesuatu yang diharapkan dari setiap intervensi kedokteran.
Jenis intervensi yang dapat diberikan pada ketiga model pencegahan ini dapat
ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 3.3: Jenis Intervensi Berdasarkan Tingkat Pencegahan (Kleinbaum,
Kupper and Morgenstern, 1982)
Tingkat Pencegahan Jenis Intervensi Tujuan Intervensi
Modifikasi determinan/faktor Mencegah atau
risiko/kausa penyakit, menunda kejadian
Pencegahan Primer
promosi kesehatan, dan baru
perlindungan spesifik penyakit
Memperbaiki
prognosis kasus
Deteksi dini penyakit dengan
(memperpendek durasi
Pencegahan Sekunder skrining dan pengobatan
penyakit,
segera
memperpanjang
hidup)
Mengurangi dan
mencegah
disfungsi, mencegah
Pengobatan, rehabilitasi,
Pencegahan Tersier serangan ulang,
pembatasan kecacatan
meringankan akibat
penyakit, dan
memperpanjang hidup
4.1 Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan
mendorong para ahli mengadakan riset terhadap berbagai penyakit termasuk
penyakit menular demi mengatasi jumlah angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit. Epidemiologi menurut asal kata, berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari kata Epi yang berarti pada atau tentang, Demos yang berarti
penduduk dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi Epidemiologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang penduduk. Sedangkan dalam pengertian masa
kini adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi
(penyebaran) serta determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang atau
masyarakat serta faktor determinasinya.
Penyakit menular timbul akibat dari berbagai faktor baik dari agen, host atau
lingkungan. Faktor ini dikenal dengan istilah penyebab majemuk (multiple
causation of disease) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation).
Dalam epidemiologi ada tiga faktor yang dapat menerangkan penyebaran
(distribusi) penyakit atau masalah kesehatan yaitu orang (person), tempat
(place), dan waktu (time). Informasi ini dapat digunakan untuk
menggambarkan adanya perbedaan keterpaparan dan kerentanan. Perbedaan
ini bisa digunakan sebagai petunjuk tentang sumber, agen yang bertanggung
jawab, transisi, dan penyebaran suatu penyakit.
42 Dasar -Dasar Epidemiologi
Karakteristik Agen
Agen adalah penyebab penyakit yang dapat terdiri dari berbagai jenis yaitu
agen biologis (virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa); Agen nutrien
(Protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air); Agen fisik: Panas,
radiasi, dingin, kelembaban, tekanan; Agen kimia (Dapat bersifat endogenous
seperti asidosis, diabetes (hiperglikemia), uremia, dan eksogenus (zat kimia,
allergen, gas, debu, dll.); dan agen mekanis (Gesekan, benturan, pukulan yang
dapat menimbulkan kerusakan jaringan).
Adapun karakteristik dari agen berupa (Irwan, 2017):
1. Infektivitas: kesanggupan dari organisme untuk beradaptasi sendiri
terhadap lingkungan dari pejamu untuk mampu tinggal dan
Bab 4 Epidemiologi Penyakit Menular 45
anak yang tidak diberi imunisasi, para migrasi musiman, kaum nomaden,
pengungsi dan masyarakat miskin perkotaan (Chin, 2000).
Anak-anak yang tidak mempunyai kekebalan yang memadai dapat terinfeksi,
dan sebagian kecil di antaranya lumpuh, atau meninggal (1 dalam 100). Untuk
setiap anak yang menderita lumpuh karena infeksi polio, kira-kira terdapat 100
– 1000 anak yang tertular tetapi tidak sakit lumpuh. Akan tetapi, anak-anak ini
dapat menyebarkan virus polio ke anak-anak yang lain (WHO, 2016).
Sanitasi yang kurang baik seperti tidak ada toilet, toilet tanpa septik tank,
buang air besar (BAB) di sembarang tempat sangat rentan terhadap
penyebaran virus Polio. Di negara berkembang, umumnya vaksin yang
digunakan adalah vaksin Polio melalui tetes di mulut atau dikenal dengan Oral
Polio Vaccine. Virus ini bisa berkembang biak di usus dan dikeluarkan melalui
tinja. Sehingga, virus Polio dapat ditularkan dari orang ke orang melalui mulut,
atau benda-benda yang telah terkontaminasi virus Polio (seperti air atau
makanan), tidak mencuci tangan dengan sabun dan lalu berkembang biak di
usus manusia (WHO, polio eradication). Dengan kata lain, perilaku hidup
bersih dan sehat sangat memengaruhi penyebaran virus Polio jika OPV tetap
digunakan karena vaksin ini umumnya murah, efektif dan mudah diterima oleh
masyarakat (Chin, 2000; WHO, 2015, 2019b).
Kasus polio ditemukan di negara maju yang menyerang orang-orang yang
belum pernah diimunisasi yang mengadakan perjalanan ke negara endemis
atau juga kasus polio di negara maju umumnya berkaitan dengan jenis vaksin
yang digunakan, yaitu yang disebabkan oleh virus vaksin. Di daerah endemis,
kasus polio muncul secara sporadis ataupun dalam bentuk KLB. Jumlah
penderita meningkat pada akhir musim panas dan pada saat musim gugur di
daerah beriklim dingin. Di negara-negara tropis, puncak musiman terjadi pada
saat musim panas dan musim hujan, namun jumlah kasus tidak begitu banyak.
Polio masih merupakan penyakit yang menyerang bayi dan anak-anak (Chin,
2000).
relatif tahan terhadap fenol dan bahan kimia lainnya. Spora tersebar luas di
tanah dan di usus dan kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus,
marmut, dan ayam.
Clostridium tetani menghasilkan dua exotoxins, tetanolysin dan tetanospasmin.
Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanospasmin adalah
neurotoxin dan menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin adalah
salah satu racun yang dikenal paling kuat. Diperkirakan dosis yang mematikan
manusia minimum adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan (nano gram
adalah satu miliar gram), atau 175 nano gram untuk 70-kg (154lb) manusia.
Organisme ditemukan terutama di saluran tanah dan usus hewan dan manusia
(Tiwari, Moro and Acosta, 2020)
Lingkungan yang bersih dan sehat adalah faktor utama upaya pencegahan
penularan DPT. Tidak meletakkan bahan-bahan yang tajam dan berkarat di
lingkungan anak bermain dapat mencegah penularan tetanus. Pelayanan ibu
hamil sebaiknya dilakukan dengan tenaga kesehatan yang memiliki alat-alat
membantu proses persalinan yang steril. Lingkungan rumah dan sekolah yang
terkena matahari langsung dan ventilasi udara cukup serta bersih dapat
mengurangi risiko penularan Difteri dan Pertusis. Anak- anak dibiasakan untuk
mencuci tangan dan peralatan makan minum yang bersih sebelum digunakan
(Najmah, 2016).
54 Dasar -Dasar Epidemiologi
Bab 5
Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular
5.1 Pendahuluan
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat kompleks akibat dari berbagai
keterkaitan antara ketidakseimbangan baik dari lingkungan yang bersifat
alamiah maupun dampak dari ulah manusia itu sendiri. Secara umum
pandangan banyak orang bahwa timbulnya suatu penyakit yang diderita
individu merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun
sesungguhnya hal tersebut dapat dicegah. Kondisi pola penyakit secara global
bahkan khususnya di Indonesia mengalami transisi epidemiologi selama dua
dekade terakhir, dari masalah penyakit menular yang dahulu merupakan beban
utama kemudian beralih situasi menjadi masalah dalam hal penyakit yang
sifatnya tidak menular (Silalahi, Prabawati and Hastono, 2021).
Data dari badan kesehatan dunia tahun 2019 menunjukkan penyebab kematian
global teratas, berdasarkan jumlah total kematian, terkait dengan tiga topik
besar yaitu: kardiovaskular (penyakit jantung iskemik dan stroke), pernapasan
(penyakit paru obstruktif kronis, infeksi saluran pernapasan bawah) dan
kondisi neonatus termasuk kelahiran asfiksia dan trauma lahir, sepsis dan
infeksi neonatus, dan komplikasi kelahiran prematur. Penyebab kematian
56 Dasar -Dasar Epidemiologi
dimodifikasi. Faktor ini menjadi bagian yang krusial perlu diperhatikan dalam
upaya menekan morbiditas dan mortalitas akibat PTM itu sendiri. Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi ini merupakan faktor yang sebenarnya ada dan dibuat
atau sejatinya dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar oleh individu.
Faktor tersebut dapat berupa pola hidup yang menjadi kebiasaan buruk yang
memicu terjadinya suatu penyakit.
Kondisi ini sangat signifikan kaitannya dengan perilaku individu, seperti
kebiasaan makan yang buruk baik dari segi jenis maupun frekuensi dan
kuantitasnya. Begitu pula dengan faktor aktivitas fisik yang buruk berupa
kebiasaan kurang olahraga yang sering dikesampingkan akibat tuntutan
kehidupan yang lain yang lebih diprioritaskan (Beale, 2017).
Berbagai studi telah dilakukan mengenai faktor risiko terkait penyakit tidak
menular. Faktor risiko yang mendasari secara kolektif menyebabkan sejumlah
besar penyakit tidak menular dalam populasi. Kondisi ini terjadi di sebagian
besar negara berpenghasilan tinggi di dunia, dan sekarang memiliki dampak
yang meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah juga.
Menurut Haggart (2009) faktor risiko terbagi menjadi tiga: kelompok: perilaku
(mis. pola makan yang buruk, merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol
berlebih), biologis (mis. peningkatan kolesterol serum, gen dan tekanan darah
tinggi) dan lingkungan (mis. mikroorganisme, radiasi, dan asbes). Klasifikasi
seperti itu adalah cara tradisional untuk membagi faktor risiko penyakit untuk
studi deskriptif atau tujuan analitis. Kenyataannya jauh lebih kompleks karena
faktor-faktor dalam tiga domain luas ini berinteraksi dan saling memengaruhi,
serta mendorong hasil penyakit tertentu.
Ada juga sejumlah determinan sosial kesehatan yang mendukung
perkembangan faktor risiko ini. Usia mungkin merupakan faktor risiko
terbesar dari semuanya. Sebagian besar PTM dapat dicegah melalui
pengurangan empat faktor risiko perilaku utama: penggunaan tembakau,
aktivitas fisik, penggunaan alkohol yang berbahaya, dan pola makan yang
tidak sehat. Oleh karena itu sangat dibutuhkan untuk melaksanakan survei
populasi umum yang diimplementasikan secara ketat yang memperkirakan
faktor risiko PTM (Srivastava et al., 2013).
Sebagai contoh, faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskular adalah usia
yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga (genetik), diabetes,
merokok, diet, hipertensi dan aktivitas fisik. Dari sebuah populasi perspektif
kesehatan, semakin umum faktor risiko ini, maka semakin umum penyakitnya.
Bab 5 Epidemiologi Penyakit Tidak Menular 59
Usia, jenis kelamin, dan genetika kurang diminati karena tidak dapat
dimodifikasi meskipun ruang lingkup intervensi genetik dalam perkembangan
ilmiah sulit diprediksi (Haggart, 2009). Misalnya, obesitas merupakan faktor
risiko diabetes, yang selanjutnya secara berkesinambungan merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskular.
Faktor risiko yang dijelaskan di sini adalah bagian besar dari riwayat penyakit
tidak menular. Jika mungkin untuk menghilangkan masing-masing dari faktor
risiko ini dari populasi, ini akan secara substansial mengurangi beban penyakit
tidak menular – tetapi tidak sampai nol. Oleh karena itu, sistem perawatan
kesehatan yang mampu mendeteksi dan mengobati penyakit tidak menular
sangat dibutuhkan.
Kemudian masalah yang masih erat berkaitan dengan PTM adalah penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), yang merupakan pertemuan hiperaktivitas
saluran napas bronkial dan keterbatasan aliran udara kronis dan telah
digambarkan sebagai penyebab fungsi paru-paru yang lebih buruk dan kualitas
hidup daripada yang ditemukan dengan salah satu proses penyakit tunggal.
Studi Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) telah lama
dimulai secara multicenter yang berkaitan dengan masalah perilaku merokok
(Bhatt et al., 2019).
dekade kedua dan ketiga kehidupan, bunuh diri adalah penyebab kematian
nomor dua. Bunuh diri total tiga kali lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita; untuk upaya bunuh diri, rasio terbalik dapat ditemukan. Upaya bunuh
diri hingga 30 kali lebih umum dibandingkan dengan bunuh diri; namun
mereka adalah prediktor penting dari upaya berulang serta bunuh diri yang
diselesaikan.
Metode yang paling umum digunakan adalah menggantung, meracuni diri
sendiri, dan menggunakan senjata api. Mayoritas bunuh diri di seluruh dunia
terkait dengan penyakit kejiwaan, di antaranya seperti depresi, penggunaan zat,
dan psikosis merupakan faktor risiko yang paling relevan, tetapi kecemasan,
gangguan kepribadian, dan trauma terkait serta gangguan mental organik
secara signifikan menambah penyebab kematian yang tidak wajar
dibandingkan dengan populasi umum (Bachmann, 2018).
utama yang berkaitan dengan penyakit tidak menular (Haregu et al., 2019).
Penelitian dalam area layanan kesehatan dapat memengaruhi pembuatan suatu
kebijakan. Hal tersebut dapat mengidentifikasi masalah kritis, meneliti manfaat
dan bahaya dari solusi kebijakan, memperkirakan biaya dan konsekuensi dari
rencana kebijakan, dan secara aktif berpartisipasi dalam proses kebijakan
untuk membantu pengambilan keputusan.
Peran penelitian dalam menginformasikan kebijakan dimulai dengan
mendefinisikan suatu masalah. Mengidentifikasi masalah adalah langkah
penting, dalam pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dapat
mengidentifikasi potensi kekuatan dan kelemahan dalam pilihan kebijakan
yang akan dibuat, sehingga pengambilan keputusan yang baik memerlukan
pemahaman tidak hanya tentang apa yang mungkin terjadi, tetapi juga tentang
apa yang paling mungkin terjadi (Clancy, Glied and Lurie, 2012).
Masalah penyakit tidak menular (PTM) berkembang pesat sehingga
pentingnya kapasitas dan peran penelitian yang relevan secara kontekstual
dalam menginformasikan kebijakan dan praktik menjadi sangat penting.
Dalam hal ini, inisiatif penguatan kapasitas penelitian (Research Capacity
Reinforcement/RCS) menjadi sangat penting. Untuk menghasilkan basis bukti
dalam memilih dan menerapkan program dan kebijakan penyakit tidak
menular, diperlukan investasi. Investasi ini harus dipandu oleh agenda
penelitian nasional untuk pencegahan dan pengendalian penyakit tidak
menular baik secara nasional maupun global.
Temuan dari berbagai penelitian terkait kebijakan dalam penanganan masalah
kesehatan dapat menjadi tulang punggung agenda penelitian nasional untuk
penyakit tidak menular yang dapat disempurnakan dan kemudian diadopsi
oleh lembaga pemerintah, sektor swasta, organisasi non-pemerintah dan
organisasi berbasis masyarakat (Kataria et al., 2020).
Penelitian dan pengembangan memiliki peran strategis dalam merumuskan
dan mengimplementasikan kebijakan. Kompetensi, intelektualitas, sinergitas
akademisi serta praktisi diperlukan untuk menentukan dan membaca arah
kebijakan dan konsekuensi dari risiko di masa depan. Kajian dan hasil
penelitian diperlukan untuk menjadi dasar perumusan kebijakan. Idealnya
setiap hasil penelitian dan pengembangan dapat dijadikan acuan pemerintah
dalam merumuskan setiap kebijakan.
68 Dasar -Dasar Epidemiologi
Bab 6
Studi Deskriptif Epidemiologi
Dari penyajian tabel 6.2 diatas kita dapat melihat angka kematian balita
menurut umur dan jenis kelamin berdasarkan populasi berisiko. Secara
deskriptif dapat terlihat bahwa kematian cenderung lebih tinggi pada jenis
kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Dengan dasar tersebut,
kita sebagai peneliti dapat mengembangkan analisis hingga melihat kira-kira
apa penyebabnya.
Bab 6 Studi Deskriptif Epidemiologi 73
Ras
Ras dan etnis memiliki kontribusi yang penting dalam bidang kesehatan
masyarakat. Di negara maju seperti Jepang dan Amerika, variabel ras atau
etnis terbukti menjadi salah satu determinan yang berpengaruh terhadap
beberapa masalah kesehatan. Ras dan etnis sangat erat kaitannya dengan
budaya dan hal tersebut sangat memengaruhi sebagian besar kehidupan suatu
negara.
Mulai dari makanan pokok, cara pengolahan makanan, gaya hidup serta sikap
dan persepsi mereka terhadap pelayanan kesehatan sehingga dapat juga terlihat
variasi intervensi dan upaya preventif yang ditempuh terhadap masalah
kesehatan yang dihadapi (Riegelman and Kirkwood, 2019).
Berikut merupakan salah satu contoh penyajian data terkait distribusi penyakit
dan kematian berdasarkan ras (Smigal et al., 2006):
Tabel 6.3: Estimasi Kasus Kanker Payudara dan Kematian Berdasarkan
Ras/Etnis di United States Tahun 2006
Ras/Etnis Kasus In Situ Kasus Invasive Kematian
Semua Ras 61980 212920 40970
White 49150 182130 34320
African American 4700 19620 5670
Hispanic/Latina 2730 12450 1950
Asian American 2790 7200 870
American Indian 200 560 160
Dari penyajian data 6.3 tersebut terlihat bahwa kasus kematian akibat kanker
payudara paling banyak pada ras kulit putih. Meskipun mungkin karena
penduduk United States didominasi oleh etnis tersebut namun dengan
informasi dasar ini maka para peneliti dapat menelusuri lebih jauh
determinannya.
Pekerjaan
Variabel pekerjaan biasanya selalu dilihat utamanya dalam distribusi
karakteristik dasar subjek karena berhubungan dengan status sosial ekonomi
subjek yang dipelajari. Selain itu juga dalam jenis pekerjaan tertentu biasanya
menjadi faktor risiko yang spesifik karena berkaitan dengan lingkungan
kerjanya (Harlan, 2008).
74 Dasar -Dasar Epidemiologi
Jika dibandingkan dengan desain studi lain dalam epidemiologi, laporan kasus
dianggap menempati tingkat terendah dalam pembuktian, tapi juga merupakan
baris pertama dalam memberikan informasi dasar, karena dari data tersebut
dapat muncul isu atau ide baru. Laporan kasus yang disusun dengan baik akan
memperlihatkan esensi pengamatan tersebut dilaporkan. Apabila dari beberapa
laporan kasus memperlihatkan kesamaan, maka studi lanjut seperti case-
control dapat dilakukan untuk melihat faktor penyebabnya (Library, 2019).
Laporan kasus memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagaimana
berikut ini (Heale and Twycross, 2018)
Kelebihan laporan kasus:
1. Dapat mengidentifikasi tren baru atau penyakit
2. Dapat mengidentifikasi efek samping obat dan potensial
penggunaannya (kekurangan dan kelebihannya)
3. Dapat mengidentifikasi manifestasi penyakit langka
Case Series
Laporan seri kasus merupakan laporan tentang pengalaman menarik dari
sekelompok orang (group) dengan diagnosis yang sama yang berisi detail
laporan atau profil dari pasien (kasus). Laporan ini juga bisa berupa kumpulan
laporan kasus yang terjadi dalam waktu yang singkat. Laporan seri kasus
adalah pengelompokan laporan kasus yang serupa secara bersama-sama.
Studi cross sectional biasanya disebut survei prevalensi karena studi ini
memotret frekuensi, karakteristik penyakit serta dalam analisis lebih lanjut
dapat mengidentifikasi paparan faktor risiko pada satu populasi dalam satu
waktu tertentu. Dari studi ini kita dapat memperoleh gambaran pola penyakit
di populasi.
78 Dasar -Dasar Epidemiologi
Bab 7
Studi Epidemiologi Analitik
dalam kebidanan
7.1 Pendahuluan
Salah satu tujuan studi epidemiologi adalah untuk menilai etiologi dari suatu
penyakit dengan menjawab pertanyaan: ‘‘apakah penyakit tertentu merupakan
efek yang timbul akibat adanya jenis paparan tertentu yang diduga sebagai
penyebab (causa) penyakit?“, untuk menjawab pertanyaan ini, studi
epidemiologi akan menilai hubungan antara paparan-penyakit dengan
beberapa pendekatan desain studi analitik.
Studi epidemiologi analitik dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yaitu
apakah subjek penelitian diambil berdasarkan perannya (exposure) ataukah
status penyakit (outcome) yang menjadi perhatian studi, dan berdasarkan
dimensi waktu studi (Elwood, 2007; Murti, 2003). Secara garis besar studi
epidemiologi analitik, dapat dibagi menjadi studi observasional dan studi
eksperimental, yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara faktor
risiko dan kejadian penyakit atau masalah kesehatan dengan membandingkan
perbedaan risiko antarkelompok.
80 Dasar -Dasar Epidemiologi
mana pengumpulan data dilakukan pada satu titik waktu yang sama maka
pendekatan ini bersifat analitik(Murti, 2003).
2003). Jika penyakit jarang terjadi, maka studi memerlukan sampel yang lebih
besar (Elwood, 2007).
kasus dari rumah sakit atau klinik (hospital based) akan lebih praktis dan
murah, pasien di rumah sakit cenderung lebih kooperatif dan menyadari
kondisi yang dialaminya sehingga bias recall dapat diminimalkan. Pemilihan
kasus dari masyarakat (population-based) dapat memberikan gambaran
karakteristik populasi di mana kasus diambil akan tetapi membutuhkan biaya
yang lebih besar.
Pemilihan kelompok kontrol dilakukan dengan mempertimbangkan populasi
sumber kontrol, pertimbangan praktis dan ekonomis. Kontrol dapat diambil
dari pasien di RS atau klinik, populasi umum, tetangga, dan kerabat. Studi
kasus kontrol tidak dilakukan untuk menggambarkan distribusi penyakit dan
paparan di populasi akan tetapi menganalisis hubungan paparan-penyakit di
populasi, jadi yang paling penting adalah kompabilitas antara kelompok kasus
dan kontrol dalam semua karakteristik faktor-faktor perancu di luar dari
paparan dan penyakit yang diteliti (Murti, 2003).
yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Subjek dapat merupakan mereka yang
menderita penyakit tertentu dan atau mereka yang bersedia berpartisipasi
sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian (Murti, 2003).
Alokasi subjek ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dapat
dilakukan dengan cara randomisasi dikenal dengan istilah alokasi random atau
penunjukan random (randomized trial) atau dengan cara non-randomisasi (non
randomized trial). Perlu menjadi catatan bahwa alokasi random berbeda
dengan random sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel secara
random.
Secara garis besar ada dua jenis desain studi eksperimental yang digunakan
dalam epidemiologi yaitu eksperimen klinis dengan kontrol random dan
eksperiment quasi (Friis, 2010).
Eksperimen klinis dengan kontrol random atau dikenal dengan istilah
randomized control trial (RCT) adalah salah satu desain studi eksperimen
klinis yang pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan
yang kemudian berkembang dan digunakan juga untuk menilai program
pencegahan penyakit. Pada studi RCT, subjek penelitian dipilih berdasarkan
kriteria eligibilitas-inklusi dan eksklusi-penelitian, kemudian subjek yang
eligible dialokasikan ke dalam kelompok intervensi dan kelompok
pembanding menggunakan prosedur random (randomisasi).
Secara umum formulir persetujuan (informed consent) –persetujuan sukarela
untuk mengikuti penelitian- diperoleh dari subjek penelitian sebelum proses
randomisasi dilakukan sehingga setiap subjek setuju untuk kemungkinan
intervensi yang akan diberikan selama proses penelitian dan proses
randomisasi, akan tetapi pada eksperimen klinis dengan skala yang besar,
persetujuan dapat diperoleh hanya pada subjek yang mendapatkan intervensi
pengobatan yang baru setelah proses randomisasi (Elwood, 2007).
Jika tujuan studi adalah untuk menilai efektivitas pengobatan dengan terapi
yang baru maka kelompok perlakuan adalah mereka yang mendapatkan terapi
yang baru dan kelompok kontrol adalah mereka yang mendapatkan placebo,
terapi terkini, atau sama sekali tidak diberikan terapi. Ilustrasi alur penelitian
RCT dapat dilihat pada gambar 7.4 berikut:
88 Dasar -Dasar Epidemiologi
8.1 Pendahuluan
Pada bab sebelumnya telah dipelajari mengenai studi deskriptif, studi analitik
dan eksperimen epidemiologi dalam kebidanan. Belajar mengenai studi
epidemiologi tidak terlepas dari kegiatan menghitung masalah kesehatan misal
frekuensi penyakit, proporsi penyakit, laju kecepatan kejadian penyakit pada
populasi maupun besar risiko untuk terkena penyakit pada seseorang dengan
karakteristik tertentu dan jangka waktu tertentu bahkan probabilitas untuk
hidup pada seseorang yang terkena suatu penyakit dengan karakteristik tertentu
yang melekat pada seseorang tersebut.
Menghitung frekuensi penyakit dapat dilakukan secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah individu yang sakit di suatu wilayah. Ukuran frekuensi
penyakit meski dihitung secara sederhana sangat bermanfaat bagi para
perencana dan pelaksana kesehatan di dalam mengalokasikan sumber daya
dengan tepat pada populasi/ komunitas tersebut. Namun hanya dengan
menghitung jumlah individu yang sakit saja tidak dapat secara rinci
menyajikan informasi terkait bagaimana laju penyakit menyebar di tengah
90 Dasar -Dasar Epidemiologi
Gambar 8.1: Perbandingan Antara Rasio, Proporsi, dan Rate (Murti, 2003)
Pada buku Principles of Epidemiology in Public Health Practice (CDC, 2012)
disebutkan bahwa dalam menghitung rasio numerator dan denominator tidak
perlu berhubungan sedangkan dalam menghitung proporsi numerator
merupakan bagian dari denominator. Proporsi dapat ditampilkan dalam
desimal, pecahan, atau persentase.
Sebuah faktor penting dalam menghitung frekuensi penyakit adalah ketepatan
memperkirakan jumlah populasi studi. Individu yang masuk dalam populasi
studi harus individu yang berpotensi rentan terhadap penyakit yang sedang
diteliti. Contoh, laki-laki tidak boleh dimasukkan saat menghitung frekuensi
penyakit kanker serviks. Orang yang rentan terhadap penyakit tertentu disebut
populasi berisiko dan dapat ditentukan oleh faktor demografis, geografis atau
lingkungan (Bonita et al., 2006).
Misal, kecelakaan kerja hanya akan terjadi pada orang-orang yang bekerja
sehingga populasi berisiko adalah tenaga kerja; kejadian preeklamsi hanya
akan terjadi pada ibu hamil sehingga populasi berisiko adalah ibu hamil.
Visualisasi prinsip penentuan populasi berisiko dapat dilihat pada gambar 8.2.
Dalam gambar 8.2 dicontohkan penentuan populasi berisiko untuk penyakit
kanker serviks. Keseluruhan populasi/ total populasi adalah semua penduduk
baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian, karena penyakit berupa kanker
92 Dasar -Dasar Epidemiologi
Gambar 8.2: Populasi Berisiko Studi Penyakit Kanker Serviks (Bonita et al.,
2006)
Dari ukuran dasar frekuensi penyakit, kita dapat melanjutkan ke penghitungan
ukuran frekuensi penyakit yang lebih kompleks berdasarkan riwayat alamiah
penyakit. Riwayat alamiah penyakit yaitu perkembangan proses penyakit pada
individu dari waktu ke waktu tanpa adanya pengobatan (CDC, 2012). Ukuran
frekuensi morbiditas mencirikan orang dalam populasi yang menjadi sakit
(insidensi) atau orang dalam populasi yang sakit pada waktu tertentu
(prevalensi).
8.2.1 Insidensi
CDC (2012) menyebutkan bahwa insidensi adalah terjadinya kasus baru baik
penyakit maupun cedera dalam populasi selama periode waktu tertentu.
Beberapa ahli epidemiologi menggunakan insiden untuk mengartikan jumlah
kasus baru dalam suatu komunitas, sedangkan yang lain menggunakan insiden
untuk mengartikan jumlah kasus baru per unit populasi. Dari sudut pandang
riwayat alamiah penyakit insidensi diartikan kejadian atau kasus penyakit yang
baru saja memasuki fase klinik dalam riwayat alamiah penyakit (Murti, 2003).
Bab 8 Ukuran-Ukuran Morbiditas Epidemiologi 93
Jumlah orang yang baru terkena penyakit dalam suatu jangka waktu
IR =
Ʃ orang yang berisiko terkena penyakit x lamanya orang dalam risiko
Dalam perhitungan proporsi ini harus diperhatikan penentuan jumlah orang
dalam risiko dan lamanya ia dalam risiko tersebut. Hasil penjumlahan
perkalian orang dengan lamanya tiap orang dalam risiko disebut sebagai total
risiko populasi. Penghitungan incidence rate biasanya digunakan pada studi
kohort karena objek diikuti perkembangannya dari waktu ke waktu dan akurasi
kasus baru terdokumentasikan dengan baik selama proses studi (CDC, 2012).
Dalam penerapannya, jumlah populasi dapat berubah selama periode waktu,
sehingga umumnya yang dipakai adalah jumlah pada pertengahan periode,
namun untuk kasus atau penyakit yang nilainya relatif stabil maka dapat
diambil dari titik waktu mana pun (Krickeberg et al., 2012). Contoh, kita ingin
mengetahui incidence rate abortus spontan selama bulan Januari 2021, maka
populasi orang berisiko dihitung di pertengahan bulan Januari 2021.
8.2.2 Prevalensi
Prevalensi adalah proporsi individu-individu yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu (Murti, 2003). Dalam kamus
epidemiologi (IEA, 2008), prevalensi diartikan ukuran kejadian penyakit yang
berupa proporsi, dihitung dari jumlah total individu yang sakit pada waktu/
periode tertentu dibagi populasi berisiko penyakit pada saat yang sama atau di
tengah jalannya periode. Ketika digunakan tanpa klasifikasi, istilah prevalensi
digunakan pada situasi dalam titik waktu tertentu (prevalensi titik).
96 Dasar -Dasar Epidemiologi
Penerapan nilai PP lainnya dapat kita lihat pada contoh berikut ini:
Contoh penghitungan nilai Point Prevalence/ Prevalence (Smoller, 2003)
Berapa nilai prevalensi hipertensi tahun 1973 pada laki-laki ras kulit hitam,
usia 30-69, dengan tekanan darah di atas 95mmHg menggunakan alat deteksi
hipertensi dengan populasi adalah orang ras kulit hitam yang belum, sedang
maupun telah mengikuti program deteksi dini hipertensi. Maka nilai prevalensi
titik dapat dihitung sebagai berikut:
Jumlah orang yang terkena penyakit
=
Ʃ orang yang berisiko terkena penyakit dalam jangka waktu tertentu
=.?@A BCDEFD GCHFDFD BFIFJKLMNNOE
= PM.PLQ RFHSTRFHS IFU HVRSG JSGFN VUSF WQT@L x 100 = 28,1 per 100 penduduk
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai prevalensi hipertensi 28,1 per 100
penduduk, atau dapat diinterpretasikan risiko seorang laki-laki ras kulit hitam
usia 30-69 tahun untuk terkena hipertensi adalah 28%.
Prevalensi periode
Prevalensi periode yaitu probabilitas individu dari populasi untuk terkena
penyakit pada saat dimulainya pengamatan, atau selama jangka waktu
pengamatan (Murti, 2003).
Rumus prevalensi periode adalah sebagai berikut:
CQ + I(GQ,G)
Prevalensi periode(GQ,G) =
N
Dengan:
C 0 = jumlah kasus saat ini
I
(t0,t) = jumlah kasus baru (t0,t)
pengamatan)
Interpretasi prevalensi periode sulit dibuat karena nilai ini merupakan
perpaduan antara kasus lama dengan kasus baru. Contoh prevalensi periode
yaitu prevalensi periode dari pasien yang didiagnosis diabetes di suatu rumah
sakit dari 1 Januari 2021 sampai 1 September 2021.
98 Dasar -Dasar Epidemiologi
Dalam kasus berbeda akan kita lihat bagaimana hubungan antara insidensi
dengan prevalensi. Kita misalkan kita punya sebuah penginapan. Rumah
tersebut akan kedatangan 2 orang tamu setiap harinya yang setiap tamunya
akan menetap selama 5 hari. Kita lihat dari hari kehari. Pada hari pertama, 2
orang datang dan menginap, artinya sampai hari pertama berakhir ada 2 orang
di rumah kita. Di hari kedua, datang lagi 2 orang dan mereka pun menginap.
Di akhir hari kedua artinya ada 4 orang dalam rumah kita. Dan seterusnya
sampai ada 6 orang, 8 orang, dan 10 orang di dalam rumah kita. Kemudian di
hari keenam, ada 2 orang lagi yang datang dan menginap, dan 2 orang yang
sudah 5 hari menginap meninggalkan rumah kita. Di hari ke enam ini jumlah
orang yang ada di rumah kita masih tetap 10 dan seterusnya apabila yang
datang selalu 2 orang dan yang pergi juga 2 orang (Kleinbaum et al., 2007).
Ilustrasi tersebut dapat memperlihatkan perbedaan mendasar antara insidensi
dan prevalensi, sekaligus menjadi gambaran bagaimana hubungan antara
insidensi dan prevalensi. Dua orang yang datang kita catat sebagai insidensi,
jumlah orang yang berada di rumah kita sampai hari berakhir kita catat sebagai
prevalensi, dan 5 hari sebagai durasi penyembuhannya. Sehingga dapat kita
menyimpulkan bahwa prevalensi merupakan hasil perkalian antara insidensi
dengan durasi penyembuhan penyakit (Kleinbaum et al., 2007).
Semakin lama suatu penyakit dapat disembuhkan dan atau semakin kecil
tingkat fatalitas penyakit maka semakin tinggi nilai prevalensinya. Contoh
penggunaan antidiabetik pada pasien diabetes dewasa tidak akan menurunkan
angka prevalensi karena efek konsumsi obat ini adalah menurunkan risiko
kematian namun tidak menyebabkan kesembuhan permanen pada pasien. Hal
ini menyebabkan waktu yang digunakan seseorang berada di kolam prevalensi
semakin panjang sehingga prevalensi justru meningkat (Murti, 2003).
Pada penyakit kronis, angka prevalensi lebih tinggi dari angka insidensi karena
nilai prevalensi merupakan jumlah dari kasus baru dan kasus yang sudah ada
sejak dulu namun pasiennya belum sembuh dan atau belum meninggal dunia.
Sebaliknya pada penyakit infeksi dengan fatalitas tinggi atau tingkat
penyembuhan cepat, nilai prevalensi hampir sama dengan nilai insidensi
(Smoller, 2003).
100 Dasar -Dasar Epidemiologi
Penggambaran insidensi dan prevalensi dapat pula dilihat pada ilustrasi kasus
pada gambar 8.4 berikut ini
9.1 Pendahuluan
Dokumen International Conference on Population and Development (ICPD)
yang dirumuskan pada 1994 dan disepakati oleh 179 negara menyebutkan
bahwa permasalahan kependudukan yang terjadi di sebagian besar penduduk
dunia harus segera diselesaikan. Permasalahan tersebut meliputi pertumbuhan
penduduk yang tinggi, IMR dan CMR yang tinggi, fertilitas dan KB, kesehatan
reproduksi dan ibu hamil, akses pendidikan yang terbatas, permasalahan lansia
serta permasalahan imigrasi dan urbanisasi. Dari permasalahan-permasalahan
tersebut, mortalitas menjadi salah satu kajian yang sangat menarik untuk
dibahas karena selalu menjadi salah satu target dalam pembangunan manusia
satu negara (UNFPA, 2004).
Berbagai indikator disusun untuk melihat seberapa besar pencapaian
pembangunan manusia dalam kaitannya dengan mortalitas. Tercatat dalam
beberapa kesepakatan internasional target beberapa indikator mortalitas
menjadi pagu yang harus dicapai bagi tiap-tiap negara di dunia, termasuk di
dalamnya adalah dokumen ICPD pada 1994 dan MDGs pada tahun 2000.
Indikator mortalitas yang digunakan sebagai kesepakatan tersebut meliputi
104 Dasar -Dasar Epidemiologi
angka harapan hidup, angka kematian bayi, angka kematian balita, angka
kematian ibu dan HIV/AIDS.
Indonesia sebagai bagian dari negara-negara dunia memiliki kewajiban untuk
mencapai target yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini target dari
indikator mortalitas sebagai salah satu komponen pembangunan manusia harus
dicapai sebagai wujud komitmen terhadap dunia internasional. Misalnya salah
satu target mortalitas adalah angka harapan hidup. Pada 1977 dalam “Resolusi
WHO dengan tema Health for all by 2000” menyatakan bahwa pada tahun
2000 seluruh negara-negara di dunia harus mencapai rata-rata angka harapan
hidup bagi warganya menjadi 60 tahun. Target pencapaian angka harapan
hidup tersebut kemudian meningkat pada kesepakatan global berikutnya yaitu
ICPD tahun 1994.
Dalam kesepakatan bersama dalam ICPD disebutkan bahwa seluruh negara-
negara di dunia harus mencapai rata-rata angka harapan hidup bagi warganya
menjadi berumur lebih dari 65 tahun pada tahun 2005 dan pada tahun 2015
rata-rata angka harapan hidup menjadi lebih dari 70 tahun. Target angka
harapan hidup yang telah ditetapkan tersebut harus dipenuhi bagi Indonesia
agar pembangunan manusianya tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain di
dunia. Selain angka harapan hidup, target indikator lainnya juga harus
dipenuhi. Tabel 1 merupakan target indikator-indikator mortalitas dalam
kesepakatan global dari 1977-2000 (Alfana, Iffani and Hanif, 2017).
Kematian atau mortalitas merupakan salah satu dari tiga komponen proses
demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk, dua komponen yang
lainnya adalah kelahiran (fertilitas) dan mobilitas penduduk (Mantra, 2000).
Menurut (Utomo, 1985) kematian dapat diartikan sebagai peristiwa hilangnya
semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat
setelah kelahiran hidup.
Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda
kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran
hidup. Stillbirth dan keguguran tidak termasuk dalam pengertian kematian.
Perubahan jumlah kematian (naik turunnya) di tiap daerah tidaklah sama,
tergantung pada berbagai macam faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat
kematian ini dapat merupakan petunjuk atau indikator bagi tingkat kesehatan
dan tingkat kehidupan penduduk di suatu wilayah.
Ukuran morbiditas dan mortalitas digunakan sebagai dasar untuk menentukan
tinggi rendahnya tingkat kesakitan dan kematian suatu komunitas penduduk.
Bab 9 Ukuran - Ukuran Mortalitas Epidemiologi 105
Adanya beberapa ukuran kesakitan dan kematian yang dikenal, dari yang
paling sederhana sampai dengan yang cukup kompleks Angka kematian
(Mortalitas) dan angka kesakitan (Morbiditas) digunakan untuk
menggambarkan pola penyakit yang terjadi di masyarakat. Kegunaan dari
mengetahui angka kesakitan dan kematian ini adalah sebagai indikator yang
digunakan sebagai ukuran derajat kesehatan untuk melihat status kesehatan
penduduk dan keberhasilan pelayanan kesehatan serta upaya pengobatan yang
dilakukan.
Data kematian yang terdapat pada komunitas dapat diperoleh melalui survei,
karena sebagian besar kematian terjadi di rumah, sedangkan data kematian
pada fasilitas pelayanan kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan
(Ditaningtias and Umi Ma’rifah, 2017).
Oleh sebab itu data kematian yang sering dipakai di Indonesia adalah data
kematian bentuk tidak langsung dan biasanya yaitu data ‘Survivorship’ anak.
Selain sumber data di atas, data kematian untuk penduduk golongan tertentu di
suatu tempat, kemungkinan dapat diperoleh dari rumah sakit, dinas
pemakaman, kantor polisi lalu lintas dan sebagainya (Alfana, Iffani and Hanif,
2017).
Bab 9 Ukuran - Ukuran Mortalitas Epidemiologi 107
Penelitian
Penelitian kematian penduduk biasanya dilakukan bersamaan dengan
penelitian kelahiran yang disebut dengan penelitian statistik vital (Alfana,
Iffani and Hanif, 2017).
Perkiraan (estimasi)
Tingkat kematian dapat diperkirakan menggunakan pendekatan tidak
langsung. Pendekatan tidak langsung tersebut dilakukan dengan cara
mengamati tahapan kehidupan dari waktu ke waktu. Pendekatan tidak
langsung ini memiliki tiga kesulitan utama yaitu terbatasnya sumber daya
untuk memastikan data dan disertai kesalahan pada sampling, tingkat mobilitas
remaja yang tinggi menyebabkan remaja terhindar dari sampling, dan tidak
perkiraan struktur kematian yang tidak mudah (Wood and Nisbet, 2013).
Contoh perhitungan:
Banyaknya kematian di Provinsi A pada tahun 2005 adalah 57884 orang,
sedangkan banyaknya penduduk pada pertengahan tahun 2005 sebesar
3.526.900 orang. Dengan demikian, CDR Provinsi A pada tahun 2005 adalah:
(57884/3526900) x 1000 = 16,4 x = per seribu penduduk
Tingkat Kematian Menurut Umur dan Jenis Kelamin (Age Specific Date
Rate, atau ASDR)
Tingkat Kematian Menurut Umur dan Jenis Kelamin (Age Specific Date Rate,
atau ASDR) merupakan Angka yang menunjukkan banyaknya kematian pada
kelompok usia tertentu (i) untuk setiap 1000 orang penduduk pada kelompok
usia tertentu (i) tersebut yang terjadi pada suatu daerah pada waktu tertentu.
Angka Kematian menurut Usia dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dan
menggambarkan derajat kesehatan masyarakat dengan melihat kematian
tertinggi pada golongan umur, untuk membandingkan taraf kesehatan
masyarakat di berbagai wilayah dan merupakan komponen untuk menghitung
angka harapan hidup (BPS, 2021c).
Kematian yang digolongkan berdasarkan kelompok umur tertentu dan jenis
kelamin. Biasanya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, umur,
jenis kelamin, pekerjaan dan status kawin, dengan rumus sebagai berikut:
ASDR = Di/ Pmi x 1000
Keterangan:
Di :Jumlah Kematian Penduduk Kelompok Umur i
Pmi :Jumlah Penduduk Kelompok Umur i Pada Pertengahan Tahun
K :Angka Konstan Biasanya 1.000
Sumber: (Mantra, 2000)
Tingkat Kematian Bayi (Infant Mortality Rate atau IMR)
Bayi (infant) merupakan orang yang berumur 0 (nol) tahun atau dalam kata
lain anak-anak yang masih belum sampai pada hari ulang tahunnya yang
pertama. Angka kematian bayi merupakan variabel sosial ekonomis dan
demografis yang sangat penting karena data tersebut dapat menunjukkan
banyaknya fasilitas medis dan taraf kehidupan penduduk.
Bab 9 Ukuran - Ukuran Mortalitas Epidemiologi 111
Tingkat Kematian Bayi (Infant Mortality Rate atau IMR) adalah Angka yang
menunjukkan banyaknya kematian bayi usia 0 tahun dari setiap 1000 kelahiran
hidup pada tahun tertentu atau dapat dikatakan juga sebagai probabilitas bayi
meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (dinyatakan dengan per seribu
kelahiran hidup).
Kegunaannya Angka kematian bayi merupakan indikator yang penting untuk
mencerminkan keadaan derajat kesehatan di suatu masyarakat, karena bayi
yang baru lahir sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan tempat orang tua
si bayi tinggal dan sangat erat kaitannya dengan status sosial orang tua si bayi.
Kemajuan yang dicapai dalam bidang pencegahan dan pemberantasan
berbagai penyakit penyebab kematian akan tercermin secara jelas dengan
menurunnya tingkat AKB (BPS, 2021a).
Dengan demikian angka kematian bayi merupakan tolok ukur yang sensitif
dari semua upaya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di
bidang kesehatan. dengan rumus sebagai berikut:
IMR = Do/ B X k
Keterangan:
Do = Jumlah Kelahiran Hidup Pada Tahun tertentu
B = Jumlah Lahir Hidup Pada Tahun Tertentu
K = Bilangan konstan biasanya 1.000
Sumber: (Mantra, 2000)
Tingkat kematian bayi Golongan:
• 125 Sangat Tinggi
• 75-125 Tinggi
• 35-75 Sedang
• < 35 Rendah
Misalnya IMR di Provinsi A pada tahun 2005 adalah sebesar 86. Ini berarti
pada tahun 2005 terjadi kematian bayi berumur kurang dari 1 tahun sebanyak
86 orang untuk setiap 1000 kelahiran hidup pada tahun tersebut.
112 Dasar -Dasar Epidemiologi
Keterangan
AKI :Jumlah kematian ibu karena kehamilan, kelahiran dan nifas
P : Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Faktor Penyebab Kematian Ibu Masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan, termasuk AKI tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang
memengaruhinya, antara lain status kesehatan ibu dan kesiapan untuk hamil,
pemeriksaan antenatal (masa kehamilan), pertolongan persalinan dan
perawatan segera setelah persalinan, serta faktor sosial budaya (Poerwandari
and Akmal, 2000).
Bab 9 Ukuran - Ukuran Mortalitas Epidemiologi 113
10.1 Pendahuluan
Pengendalian penyakit merupakan landasan kesehatan masyarakat (Joseph S.
Lombardo, 2007a). Setiap peningkatan insiden penyakit harus dilakukan
penyelidikan. Intensitas dan upaya penyelidikan tergantung pada tingkat
keparahan penyakit, jumlah orang yang terpapar, potensi penyebaran, dan
efektivitas penanggulangan yang tersedia (Pavlin, 2003). Surveilans adalah
bagian penting dari setiap program pengendalian penyakit (Horstmann, 1974).
Berbagai metode surveilans telah digunakan selama berabad-abad untuk
menginformasikan tentang keberadaan dan penyebaran penyakit pada
masyarakat. Praktik surveilans penyakit telah berkembang menjadi pelaporan
wajib, baik pada kasus penyakit menular, maupun penyakit tidak menular
kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kesehatan populasi (WHO,
2006).
Istilah “Surveilans” berasal dari kata Perancis yang berarti “mengawasi, dapat
didefinisikan sebagai sistem pengamatan yang cermat terhadap semua aspek
insiden dan distribusi penyakit tertentu melalui sistematika pengumpulan data,
tabulasi, analisis, dan diseminasi hasil data yang relevan berkaitan dengan
penyakit tersebut (Brachman, 1998). Jika diterapkan pada kesehatan
masyarakat berarti melakukan pemantauan ketat terhadap terjadinya kondisi
116 Dasar -Dasar Epidemiologi
Pada penyakit menular, sistem surveilans memiliki dua fungsi utama yaitu
peringatan dini potensi ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan
monitoring program penyakit spesifik atau multi-penyakit bawaan (WHO,
2006).
Tujuan:
• Penekanan pada variasi mingguan • Penekanan pada tren selama
atau bulanan untuk mendeteksi bertahun-tahun,
wabah • Fokusnya adalah mendeskripsikan
• Fokusnya adalah mengidentifikasi beban dan risiko populasi
individu dengan penyakit • Kerangka waktu yang lebih lama
Bab 10 Surveilans Penyakit 119
Data
• Penggunaan yang lebih besar dari
• Ketergantungan data dari
database yang ada, misalnya data
pelayanan kesehatan masyarakat
dari populasi survei, statistik vital, di
dan laboratorium
luar rumah sakit, dll
Analisis data
• Penekanan pada jumlah rata-rata
• Penekanan pada jumlah kasus
populasi
Diseminasi data
• Lebih sering • Jarang
kebijakan secara tepat waktu. Ciri dari sistem surveilans adalah informasi yang
dikumpulkan dan penggunaannya untuk memengaruhi kebijakan kesehatan
dan sistem surveilans juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi
kebijakan kesehatan dan intervensi pencegahan World Health Organization
(WHO) (2003) (Gambar 10.1).
Informasi yang dikumpulkan adalah salah satu produk yang dihasilkan pusat
kesehatan masyarakat untuk melindungi komunitas kesehatan,
mempromosikan kesehatan, dan mencegah penyakit, cedera dan kecacatan
yang membutuhkan monitoring dan surveilans yang ketat (Joseph S.
Lombardo, 2007b). Sehingga, informasi kesehatan masyarakat dapat
mendukung kegiatan, program, dan kebutuhan mereka yang dipercayakan
untuk menilai dan memastikan bahwa status kesehatan seluruh populasi
dilindungi dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Tujuan akhir dari surveilans adalah penggunaan data yang dikumpulkan untuk
perumusan kebijakan dan program peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit (WHO, 2003). Hal tersebut karena berkaitan dengan surveilans
penyakit juga merupakan alat penting untuk mengukur dampak upaya
pencegahan suatu penyakit (Joseph S. Lombardo, 2007a). Tujuan surveilans
khusus memandu pembuat kebijakan dalam memilih data yang paling berguna
untuk dikumpulkan dan digunakan untuk menetapkan prioritas, perencanaan
intervensi, memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya, dan memprediksi
atau menyediakan deteksi dini wabah, serta semua strategi untuk pengendalian
dan pencegahan penyakit (Government of Ghana, Ministry of Health, 2002).
Menurut Groseclose and Buckeridge, surveilans memberikan informasi secara
terus menerus dan tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, dan
deteksi dini penyakit, serta faktor risiko penyebab penyakit, maka respons
pelayanan kesehatan akan menjadi lebih efektif dan efisien (Groseclose and
Buckeridge, 2017).
seseorang memiliki penyakit tertentu. Hal ini juga berkaitan dengan tanda
“sign” dan gejala “symptom” dari penyakit. Sign adalah ciri atau karakteristik
penyakit yang secara objektif ditentukan oleh dokter, sedangkan symptom
adalah ciri atau karakteristik penyakit yang bersifat subjektif yang dilaporkan
pasien kepada dokter (Joseph S. Lombardo, 2007a). Sindrom secara medis
dalam surveilans dapat didefinisikan sebagai pola gejala, tanda, atau kelainan
lain yang dapat dikenali yang menunjukkan ciri-ciri dengan penyebab tunggal
yang mendasari, penyakit tertentu, atau peningkatan kemungkinan
pengembangan penyakit tertentu.
Deteksi kasus membutuhkan monitoring melalui registrasi penyakit dan proses
evaluasi diperlukan untuk memeriksa validasi dan kualitas informasi yang
tercatat serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Beberapa sumber informasi
yang digunakan dalam tujuan surveilans penyakit dapat dilihat dalam tabel
10.2. Selanjutnya konfirmasi kasus atau penyakit outbreak mengacu pada
kapasitas epidemiologis dan laboratorium.
Tabel 10.2: Sumber Informasi untuk Tujuan Surveilans (WHO, 2003)
Sumber Informasi
Survei Populasi-data base
Registrasi penyakit Indikasi dan kasus fatality
Data rumah sakit Indikator penggunaan layanan
kesehatan dan morbiditas
Data administrasi kelahiran, kematian, klaim asuransi,
penggunaan obat, kinerja sistem
kesehatan, audit rumah sakit
Konsumsi data Konsumsi per kapita
Data aktivitas ekonomi Indikator ekonomi
10.4.4 Melaporkan
Proses pelaporan mengacu kepada kasus yang dicurigai dan penyakit outbreak
(wabah) yang dikonfirmasi (WHO, 2003). Untuk penyakit yang rentan secara
epidemik, perlu dilakukan penyelidikan dan diberi respons segera. Ada dua
prosedur utama untuk melaporkan penyakit yaitu pelaporan langsung berbasis
kasus dan pelaporan ringkasan rutin (Government of Ghana, Ministry of
Health, 2002).
Pelaporan berbasis kasus, diperlukan segera untuk penyakit yang rawan
epidemik dan beberapa penyakit yang ditargetkan untuk pemberantasan dan
hilangkan. Artinya, fasilitas kesehatan melapor ke kabupaten dengan cara
secepat mungkin. Laporan awal, diperlukan di tingkat kabupaten dalam waktu
Bab 10 Surveilans Penyakit 129
Untuk itu, memberikan umpan balik kepada semua level atau tingkatan
penting dilakukan agar semua pihak menjadi termotivasi untuk
mengumpulkan dan melaporkan data yang dapat dipercaya. Umpan balik
dapat dilakukan dengan cara penyampaian secara lisan, tertulis dan
menggunakan metode lain untuk memberikan umpan balik (Government of
Ghana, Ministry of Health, 2002).
10.4.8 Evaluasi
Evaluasi dalam surveilans adalah menilai efektivitas sistem surveilans dalam
hal ketepatan waktu, kualitas informasi, kesiapan, ambang batas, manajemen
kasus dan kinerja keseluruhan, serta mengambil tindakan untuk memperbaiki
masalah dan melakukan perbaikan (WHO, 2003). Evaluasi dilakukan
bertujuan untuk peningkatan kualitas dan tangan surveilans, serta memantau
kualitas sistem surveilans.
11.1 Pendahuluan
Kematian ibu dan kematian neonatal di Indonesia masih tergolong tinggi
dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di Asia. Hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, Indonesia didapatkan AKI
sebesar 305/100.000 KH yang artinya ada 38 ibu meninggal setiap harinya.
Angka ini masih jauh dari target Millennium Development Goal’s (MDGS)
yaitu AKI: 102/100.000 KH, sedangkan target Sustainable Development Goals
(SDGs) di tahun 2030 mendatang ditargetkan AKI: 70/100.000 KH. Demikian
pula Angka Kematian Bayi Baru Lahir/Neonatal (AKN) menurut Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 yaitu bayi berusia 0- 28
hari sebesar 15/1.000 KH. Dan untuk Angka Kematian Angka Kematian Bayi
(AKB) sebesar 24/1.000 KH. Adapun target SDGs Untuk AKN sebesar
7/1.000 KH dan AKB sebesar 12/1.000 KH.
Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada ibu hamil, bersalin dan nifas
(sampai 42 hari setelah bersalin), sebagai akibat dari kelainan yang berkaitan
dengan kehamilannya atau penyakit lain yang diperburuk oleh kehamilan, dan
bukan karena kecelakaan. Beberapa ahli menyebut kematian ibu adalah ukuran
penting dari kematian suatu bangsa dan masyarakat serta mengindikasikan
kesenjangan dalam kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan (Daniel, dkk,
2002).
136 Dasar -Dasar Epidemiologi
Di samping faktor tiga terlambat tersebut, bagi wanita usia subur untuk
menghindari empat terlalu (4T), yaitu: Terlalu mudah untuk melahirkan,
Terlalu tua untuk melahirkan, Terlalu rapat jarak kelahiran dan Terlalu banyak
melahirkan..
Salah satu tujuan utama surveilans kematian ibu adalah untuk mengambil
tindakan berdasarkan hasil analisis data. Hasil ini akan membantu menentukan
permasalahan, menentukan ruang lingkup masalah, mengidentifikasi faktor
medis dan non medis yang berhubungan dengan penyebab, dan menentukan
intervensi yang penting untuk pengendalian masalah dan untuk mencegah
kejadian berulang di masa mendatang.
Tujuan lainnya adalah untuk membantu dan memandu para pengambil
kebijakan di berbagai tingkat untuk mengawasi, merencanakan, mengevaluasi
program-program kesehatan ibu yang ada dan mengalokasikan sumber daya
serta sebagai alat advokasi.
Pengukuran kematian ibu dinyatakan dalam tiga ukuran, yaitu (Graham et al,
2008):
1. Maternal Mortality Ratio (MMR) atau angka kematian ibu,
menggambarkan risiko yang mungkin terjadi pada setiap kehamilan
sebagai risiko obstetrik yang dihitung dari seluruh jumlah ibu
meninggal pada tahun tertentu per 100.000 kelahiran hidup pada
periode yang sama.
2. Maternal mortality rate- Jumlah ibu yang meninggal pada periode
waktu tertentu per 100.000 wanita usia subur (usia 15-49 tahun).
3. Lifetime risk atau risiko kematian seumur hidup adalah hasil dari
suatu perhitungan kemungkinan hamil dan kemungkinan meninggal
sebagai dampak dari kehamilan tersebut selama seorang wanita
berada pada usia reproduktif.
5. Analisis
6. Umpan balik
7. Respons segera
8. Respons terencana
Gambar 11.5: Prinsip Surveilans Respons Untuk Kematian Ibu dan Anak
(Sumber: http://www.kesehatan-ibuanak.net/kia/index.php/perpustakaan/89-
bl-kia-2/370-surveilans-respons-dalam-program-kia)
Deteksi kasus dalam KIA adalah adanya kematian ibu dan kematian bayi,
sedang konfirmasi kasusnya dalam bentuk audit maternal perinatal (AMP).
Banyak negara telah mengembangkan AMP termasuk Indonesia. Namun
belum menggunakan prinsip surveilans respons.
Prinsip yang harus diperhatikan:
1. Menghubungkan surveilans kematian dengan aksi segera merupakan
sebuah kerangka kerja yang perlu diperhatikan
2. Action dapat berupa:
a. respons segera;
b. respon terencana, termasuk penelitian lebih mendalam mengenai
penyebab kematian.
3. Indonesia belum maksimal memanfaatkannya untuk keputusan di
daerah dan di pusat
148 Dasar -Dasar Epidemiologi
depan. Untuk itu perlu adanya plan of action termasuk dana untuk respons
sehingga dengan adanya indeks responsiveness akan meningkatkan adrenalin
pengelola program dan masyarakat, mampu menggerakkan masyarakat, lintas
sektoral, dan tenaga kesehatan dan siapa penanggung jawabnya, mampu
menggalang dana dari berbagai sumber untuk mengatasi masalah.
12.1 Pendahuluan
Sejarah dirintisnya metode investigasi wabah sudah dimulai dengan adanya
penemuan kuman kolera oleh John Snow sehingga terkenal dengan metode
investigasi wabah kolera di London pada tahun 1854 (Rajab, W., & Epid,
M,2009). Wabah merupakan suatu kondisi di mana kasus penyakit atau
peristiwa terjadi lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya pada suatu
waktu tertentu pada area tertentu dan terjadi pada kelompok tertentu (UU No.
4. Tahun 1984).
Dugaan wabah ataupun Kejadian Luar Biasa( KLB) pada fasilitas kesehatan
muncul di saat aktivitas surveilans rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya
klaster kasus yang tidak biasa atau terjadinya peningkatan jumlah kasus yang
signifikan. Kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular, keracunan makanan,
dan keracunan bahan berbahaya lainnya masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat seperti Diare, campak, dan demam berdarah dengue (DBD).
Penyebab utama KLB di Indonesia di antaranya daerah risiko tinggi KLB
penyakit tertentu dapat diidentifikasi, ditetapkan prioritasnya dan disusun
152 Dasar -Dasar Epidemiologi
Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau
tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan
laboratorium).
Tujuan epidemiologi deskriptif adalah mendeskripsikan frekuensi dan pola
penyakit pada populasi menurut karakteristik orang, tempat, dan waktu.
Dengan menghitung jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan
risiko, peneliti wabah mendeskripsikan distribusi kasus menurut orang, tempat,
dan waktu, menggambar kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan
158 Dasar -Dasar Epidemiologi
(trends) kasus sepanjang waktu, luasnya daerah wabah, dan populasi yang
terkena wabah. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti wabah bisa
mendapatkan hipotesis penyebab dan sumber wabah.
Melaksanakan penanganan wabah
Bila investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta tentang penyebab,
sumber, dan cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera
dilakukan, tidak perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Prinsipnya,
makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang keberhasilan
pengendalian. Makin lambat respons pengendalian, makin sulit upaya
pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit
kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip intervensi untuk menghentikan wabah
sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade proses
transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan.
Eliminasi sumber patogen mencakup:
1. Eliminasi atau inaktivasi patogen.
2. Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction).
3. Pengurangan kontak antara pejamu rentan dan orang atau binatang
terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan sebagainya).
4. Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan,
memasak daging dengan benar, dan sebagainya).
5. Pengobatan kasus.
Pelacakan KLB
Garis Besar Pelacakan KLB menurut Nelwan, J. E. (2020). adalah sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di
lapangan tempat kejadian
2. Analisa data yang diteliti dengan ketajaman pemikiran.
3. Adanya suatu garis besar tentang sistematika langkah-langkah yang
pada dasarnya harus ditempuh dan dikembangkan dalam setiap usaha
pelacakan.
Bab 12 Penyelidikan Wabah/Kejadian Luar Biasa(KLB) 161
Analisis lanjutan:
1. Usaha penemuan kasus tambahan
2. Adakan pelacakan ke rumah sakit dan dokter praktik untuk
menemukan kemungkinan adanya kasus diteliti yang belum ada
dalam laporan.
3. Pelacakan intensif terhadap mereka yang tanpa gejala, gejala ringan
tetapi mempunyai potensi menderita atau kontak dengan penderita.
Penanggulangan KLB
Menurut Rokhmayanti, R penanggulangan KLB meliputi 3 hal sebagai
berikut;
1. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB
2. Penyelidikan dan penanggulangan KLB
3. Pengembangan sistem surveilans (termasuk pengembangan jaringan
informasi), koordinasi kegiatan surveilans: lintas program dan lintas
sektoral.
162 Dasar -Dasar Epidemiologi
Daftar Pustaka
Nangi G., Fitri Y., and Sari AL (2019). Dasar Epidemiologi. Deepublish:
Yogyakarta
Nelwan, J. E. (2020). Surveilans Kesehatan Masyarakat: Suatu Pengantar. Insan
Cendekia Mandiri.
Noor, N. N. (2006) Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Cetakan II.
Jakarta: Rineka Cipta.
Noor, N.Nur . (2008 ). Epidemiologi (Edisi Revisi ). Rineka Cipta . Jakarta .
Notoatmodjo (2003) ‘Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar’,
Rineka Cipta, pp. 57–65.
Nugent, R. et al. (2018) ‘Investing in non-communicable disease prevention and
management to advance the Sustainable Development Goals’, The Lancet.
Lancet Publishing Group, pp. 2029–2035. doi: 10.1016/S0140-
6736(18)30667-6.
Nugrahaeni, D. K. (2010) Konsep Dasar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.
Nugrahaeni, DK., (2010). Konsep Dasar Epidemiologi. Jakarta: EGC
Olsen, J. et al. (2015) Teaching Epidemiology. New York: Oxford University
Press. doi: 10.1097/00006223-200205000-00009.
PAEI (2021) Epidemiologi Deskriptif. Available at:
https://www.paei.or.id/epidemiologi-deskriptif/.
Pavlin, J. A. (2003) ‘Investigation of Disease Outbreaks Detected by “
Syndromic ” Surveillance Systems’, Journal of Urban Health: Bulletin of
the New York Academy of Medicin, 80(2), pp. 107–114.
Paxton, A.,et al. (2003). Using The UN Process Indicators of Emergency
Obstetric Services.
Pedoman Pengembangan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
(PONED) di Puskesmas. Jakarta: Depkes RI.
Penyusun Kerangka Manual Rujukan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta.
(2012). Manual Rujukan Kehamilan, Persalinan, dan Bayi Baru lahir.
Diakses di www.kebijakankesehatanindonesia.net (Juli 2012).
Person, D. and Shelters, T. (2012) Guidelines for Disease Surveillance.
172 Dasar -Dasar Epidemiologi
kritik dan saran yang membangun tentunya sangat diperlukan dalam perbaikan
penulisan chapter buku ini, silahkan mengontak penulis di
anggun_budiastuti@fkm.unsri.ac.id