Anda di halaman 1dari 3

PENGAPLIKASIAN TEORI EMILE DURKHEIM TERHADAP FENOMENA

KEAGAMAAN YANG ADA DI DAERAH SEKUMPUL, MARTAPURA


Oleh: Rizki Oktavian (23105050051)

BAB I Pendahuluan
Dalam mata kuliah Islam dan Sosial Humaniora, terdapat banyak tokoh-tokoh sosiolog
barat yang membahas tentang agama yang berkembang di masyarakat. Contohnya saja Emile
Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan lainnya. Mereka mengemukakan pendapat pribadi
dengan menggunakan metode penelitian yang mereka jalani dan tekuni. Contoh Emile
Durkheim yang menggunakan sempel agama totemisme di suku di Australia. Di pembahasan
ini saya mencoba menggali kembali Teori yang Emile Durkheim kemukakan beserta dengan
contoh pengaplikasiannya di dalam konteks Studi Islam, yang tentunya berkaitan dengan
fenomena keagamaan yang berkembang di masyarakat muslim Indonesia.
Menurut perspektif Emile Durkheim, dasar dari kepercayaan terhadap agama yang
berkembang di masyarakat adalah berasal dari konsep Yang Sakral dan Yang Profan. Yang
dimaksud Yang Sakral menurut Durkheim adalah sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa,
dihormati dan suci, sehingga disakralkan di dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang proban
adalah unsur keagamaan yang ada di kehidupan sehari-hari yang sifatnya individual dan
bersifat duniawi dan tidak memiliki kekuatan.
Untuk membuktikan asal usul agama, Durkheim meneliti tentang keadaan dan
menemukan fakta-fakta mengenai asal usul kepercayaan terhadap kekuatan impersonal di
agama totemisme yang ada di daerah Australia. Pada agama totemisme, simbol-simbol hewan
dan tumbuhan dijadikan pujaan disakralkan karena dianggap sesuatu hal yang suci, sehingga
dihormati pada setiap klan-klan di suku-suku tertentu. Kesakralan itu simbol-simbol itu
mutlak dalam masyarakat dan kesuciannya dapat dirasakan oleh setiap individu.
Konsep agama kemukakan oleh Durkheim dinamakan dengan Konsep Fungsionalisme
Struktural atau fungsi sosial dalam membentuk individu. Hal yang penting dari konsep
Durkheim ini adalah Bagaimana sistem sosial membentuk individu, dalam arti
mempengaruhi, menentukan cara berpikir dan cara bertindak, yang menurutnya individu
adalah cerminan dari masyarakat, dimana di dalamnya kita dijelaskan bahwasanya setiap
individu itu tidak kapasitas, melainkan hanya sebagai refleksi dimasyarakat dimana seseorang
hidup. Dalam konsep sakral bertolak belakang dengan yang profan, yang menganggapnya
sebagai efek dari konstruksi sosial masyarakat yang bertujuan agar masyarakat kohesif.
BAB II Pengaplikasian di Masyarakat
Bila kita terapkan teori pemikiran Durkheim di atas pada konteks studi Islam dalam
mempelajari fenomena-fenomena keagamaan yang ada di masyarakat terutama pada ajaran
agama Islam, kita dapat menemukan beberapa contoh kasus, diantara-Nya; mengkaji
mengenai bagaimana orang yang tinggal di daerah Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan
sangat dipengaruhi untuk menjadi seseorang yang cinta dengan para ulama di sana? Mengapa
perasaan mereka akan menjadi lebih tenteram ketika dekat dengan para ulama? Dan
bagaimana penduduk di sana menjadi rukun dalam bermasyarakat setelah mereka dekat
dengan para ulama? Fenomena yang terjadi tersebut tidak lepas dari alasan daerah di sana
adalah tempatnya para ulama dan penuntut ilmu agama, yang secara tidak langsung akan
memberikan pengaruh secara luas kepada masyarakat di sana. Dengan banyaknya ulama
besar yang berkumpul di sana menjadikan masyarakat menjadi sangat menghormati mereka,
baik karena keilmuan nya, ataupun dari pengaruh orang-orang di sekitarnya.
Selain itu, mereka menjadikan merasa lebih tenang dalam beribadah dan mudah mencari
ilmu, yang memang ulama di sana sangat mengedepankan ketenangan spiritual. Sehingga
daerah Dan juga menjadikan seluruh warga di sana menjadi rukun serta banyak dari mereka
paham agama karena mau tidak mau mereka akan mengikuti adat atau budaya di sana yang
sudah menjadi hal yang tak dapat terpisahkan ketika berhubungan dengan ulama seperti Abah
Sekumpul ataupun Guru Zuhdi.
BAB III Kesimpulan
Agama menurut Emile Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik-praktik
yang berhubungan dengan hal yang sakral yang dianggap suci, memiliki kekuatan, yang
dipersatukan dalam komunikasi pengikutnya. Solidaritas akan terbentuk di dalam konteks
seperti ini, karena pada dasarnya normal-normal yang dianggap sakral, akan mempererat
solidaritas mereka di dalam komunitas keagamaan tersebut. Dan contoh inilah yang terjadi di
masyarakat Sekumpul, Martapura, yang notabenenya sebagai kota para wali yang sangat
Mashur dan disakralkan oleh penduduk di sana. Dapat kita lihat bagaimana komunitas
mempengaruhi setiap individu, dan juga karena sebagai tempat perkumpulannya para ulama
dan ahli agama. Sehingga kerukunan dan persatuan masyarakat di sana menjadi sangat
terjaga, karena mereka berada pada kelompok yang sama.
Sumber:
Pals, D.L. (2011). Seven theories of religion: Tujuh teori agama paling komprehensif.
IRCiSoD, Yogyakarta.
REFLEKSI PENGALAMAN PEMBELAJARAN ISLAM DAN SOSIAL
HUMANIORA
Oleh: Rizki Oktavian (23105050051)
Selama pembelajaran dikelas mengenai bagaimana Islam dikaji dan diteliti berdasarkan
perspektif ilmu sosial dan humaniora, saya menjadi lebih mengenal ilmu yang ternyata sangat
luas dalam memahami Agama Islam yang tidak hanya dipelajari dari perspektif normatifnya
saya, namun juga melalui berbagai ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, teologi,
sejarah, budaya dan lain sebagainya. Hal inilah yang membuat saya merasa memiliki
wawasan yang luas mengenai studi Islam, bagaimana Islam berkembang, bagaimana
sejarahnya. Yang tak kalah penting menurut saya adalah keilmuan Islam yang dikaji
berdasarkan perspektif ilmuan barat, yang notabenenya mereka adalah orang-orang yang
menjadi panutan dalam ilmu sosial, yang masih terus digunakan hingga saat ini.
Banyak sekali manfaat yang saya dapatkan selama di kelas, contohnya kita di tuntut
untuk mendengarkan, dan memperhatikan secara saksama materi yang disampaikan dosen.
Hal ini menjadikan saya menjadi lebih terbuka dalam berpikir dan dituntut untuk selalu
fokus, sehingga saya menjadi lebih bisa terbiasa dengan metode seperti itu, yang melatih
fokus pikiran dan harus tanggap ketika mendapatkan pertanyaan. Metode diskusi juga
menurut saya bisa membantu kita dalam lebih memahami materi, dengan kita berdiskusi dan
berlatih memberikan argumen yang tentunya melatih mental dan publik speaking.
Ketika saya mendapatkan penyampaian dari dosen pembimbing dengan bahasa yang
agak tinggi kerumitannya, karena banyaknya penggunaan bahasa ilmiah, mungkin untuk
sebagian teman ini adalah sebuah kesulitan namun menurut saya ini adalah hal yang sangat
positif untuk memotivasi saya untuk bisa seperti beliau, baik pemikirannya maupun
kemampuan berbicaranya. Di dalam kelas beliau juga kami dituntut untuk lebih terbiasa
dalam membiasakan membaca buku, dan menulis, ini hal yang positif juga bagi saya.
Pembelajaran ini akan menjadi pembelajaran yang sangat penting menurut saya, karena
kedepannya mungkin akan lebih sulit pembelajaran yang akan kami lalui, namun beliau
sebagai dosen telah memberikan effort yang sangat berguna bagi bekal kita di semester
berikutnya, terutama menyangkut pembelajaran Islam dan ilmu sosial di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai