Anda di halaman 1dari 20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif.

Fokus penelitian ingin melihat bagaimana pengaruh budaya pop Korea yang saat ini tengah mewabah di tengah masyarakat diadopsi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi gaya hidup mereka, baik itu dari segi fashion, selera mereka dalam memilih produk serta hubungan mereka dengan lingkungan sekitar. Dalam penelitian kualitatif, data utama diperoleh dari peneliti sendiri yang secara langsung mengumpulkan informasi yang didapat dari subjek penelitian yaitu Korea Lovers di Serang dan ditambah dengan bantuan orang lain. Penelitian ini dilakukan secara intensif lewat observasi di lapangan, wawancara dengan narasumber, penelaahan melalui literature. Design penelitian ini pada tahap pembahasan penelitian, akan berisi uraian uraian tentang objek yang menjadi fokus penelitian yang ditinjau dari sisi sisi teori yang relevan dengannya dan tidak menutup kemungkinan bahwa design penelitian ini akan berubah sesuai dengan kondisi atau realitas di lapangan. 3.2 Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam studi kasus ini terdiri atas enam orang yang merupakan anggota dari fandom Korea Lovers di Serang. Keenam orang ini

memiliki kriteria yang berbeda-beda karena pengaruh latar belakang sosial, agama, gender, usia maupun tingkat pendidikan. Subjek terdiri atas empat perempuan dan dua laki-laki. Hal ini dikarenakan jumlah anggota fandom perempuan jauh lebih besar dibanding laki-laki sehingga peneliti mengambil dua kali lipat jumlah sampel perempuan dibandingkan laki-laki. Data informan yang menjadi sampel dalam studi kasus Korea Lovers adalah sebagai berikut: a. Subjek 1 (Rifa): Perempuan, usia 23 tahun, Islam, menikah dengan dua anak, pegawai swasta, mengenal Korea sejak 2004. penggemar kpop sebagai prioritas utama, juga menyenangi drama, film dan variety show Korea. Ketua ELF Serang b. Subjek 2 ( Didi): Perempuan, usia 21 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswi, mengenal Korea sejak 2003, penggemar film Korea sebagai prioritas utama, juga menyukai drama, k-pop dan variety show Korea. Anggota ELF, Triple S, Shawol, Shone, V.I.P, Cassiopea c. Subjek 3 (Firman): Laki-laki, usia 20 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswa, mengenal Korea sejak 2009, penggemar k-pop sebagai prioritas utama juga film, drama dan fashion Korea, anggota ELF, Triple S, dan Shawol d. Subjek 4 (Fitrah): Laki-laki, usia 23 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswa, mengenal Korea sejak 2008, penggemar film Korea

sebagai prioritas utama, juga k-pop dan drama Korea, anggota ELF dan Shawol e. Subjek 5 (Iga): Perempuan, usia 15 tahun, Protestan, belum menikah, pelajar, mengenal Korea sejak 2009, penggemar film Korea sebagai prioritas utama, juga drama, k-pop dan fashion Korea, anggota Primadona, Shawol, ELF f. Subjek 6 (Mitha): Perempuan, usia 19 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswi, mengenal Korea sejak 2006, penggemar k-pop sebagai prioritas utama, juga drama dan film Korea, Ketua Cassiopea dan anggota ELF, Shawol, Triple S, Shone

3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berpatokan pada kebutuhan penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan adalah: 1. Penelitian Pustaka (library research) atau studi literature. Dengan

jalan mempelajrai dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dikaji. 2. Melakukan survey khalayak diantaranya melalui observasi secara langsung pada fandom Korea Lovers di Serang, wawancara mendalam (in-depth interview) yang sifatnya informal terhadap narasumber serta

menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang dibutuhkan yang akan mendukung kelengkapan data 3. Dokumentasi, yaitu pengumpulan foto-foto kegiatan Korea Lovers di Serang. 3.4 Teknik Pemilihan Subjek Penentuan subjek berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis sebelum permasalahan yang dikaji ditetapkan. Subjek berjumlah enam orang yang diambil dari anggota fandom Korea Serang. Subjek ini dipilih mengacu pada representativitas informasi atau data. Penelitian ini menghindari generalisasi, tiap-tiap subjek mewakili dirinya sendiri. Pemilihan subjek lebih ditekankan pada alasan dan pertimbanganpertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk itu, peneliti akan memilih subjek dengan teknik purposive sampling dimana peneliti telah membuat kriteria atau kategorisasi tentang jenis subjek yang layak dijadikan sample. Selain itu, metode penarikan sample untuk memilih subjek adalah dengan metode snowball yaitu suatu cara dimana peneliti akan memilih satu subjek kunci sebagai titik awal penelitian dan untuk informan berikutnya akan didasarkan pada rekomendasi dari subjek pertama.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan selama penelitian. Hal ini dimaksudkan agar fokus penelitian tetap diberi perhatian khusus melalui wawancara mendalam, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Proses analisa data mulai dilakukan ketika peneliti masih berada di lapangan dan setelah peneliti tidak berada di lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dipelajari dan ditelaah. Setelah itu dibuat abstraksi yang merupakan rangkuman inti dari proses wawancara. Hal ini diperlukan untuk menyempurnakan pemahaman terhadap data yang diperoleh kemudian menyajikannya kepada orang lain dengan lebih jelas tentang apa yang ditemukan dan didapat dari lapangan. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik analisis data dalam dua level. Hal ini dikarenakan penelitian studi kasus merupakan penelitian yang multi-level analysis. Dua level analisis tersebut adalah: 1. Level Mikro yaitu menganalisis dari media mana awal mengkonsumsi budaya pop Korea, seberapa besar informan terpengaruh oleh terpaan media yang didapat dari mengkonsumsi tayangan-tayangan Korea terhadap gaya hidupnya. Di dalam analisis ini juga, peneliti akan mengidentifikasi bagaimana individu penggemar budaya pop Korea memilih dan membentuk identitasnya. 2. Level Meso yaitu menganalisis komunitas penggemar budaya pop Korea sebagai sebuah sub-kultur yang menciptakan suatu fanatisme yang luar biasa terhadap budaya pop Korea.

3. Level Makro yaitu mengenalisis bagaimana anggota sub-kultur budaya pop Korea mengonsumsi budaya pop Korea dalam lingkup sosialnya. 3.6 Kerangka Konseptual a. Globalisasi Budaya dan Terbentuknya Budaya Media Fenomena McWorld!!!. Sebuah jargon yang sangat akrab di

telinga generasi yang lahir pada dekade 70-an dan 80-an. McWorld merupakan gabungan dari tiga ikon besar yang menggenggam dunia yaitu MTV untuk musik, McDonald untuk perut, dan Macintosh sebagai pusat informasi. Fenomena McWorld merupakan salah satu fakta bahwa dunia mengalami globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses dimana antarindividu,

antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi bisa juga diartikan sebagai penyusutan ruang dan waktu, dimana jarak dalam interaksi untuk motif-motif apapun menjadi tidak berarti. Menurut Wijendaru, globalisasi yang terjadi sejak akhir abad ke-20 mengharuskan masyarakat dunia bersiap-siap menerima masuknya pengaruh budaya barat terhadap seluruh aspek kehidupan. Aspek kebudayaan menjadi isu penting globalisasi karena budaya pop (film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai dan ideologi barat seperti pleasure, hiburan, gaya hidup modern (Muharrominingsih,2006:49)

Berbicara mengenai globalisasi yang hanya menekankan pada bahaya amerikanisasi, sepertinya hanya merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya

mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari pelbagai belahan dunia (Badruddin,2006:77). Korea merupakan salah satu contoh sukses eksporter program televisi, khususnya di wilayah Asia bahkan mulai merambah Eropa dan Amerika. Tidak bisa dipungkiri, Korea pada abad 21 dapat dikatakan berhasil menjadi saingan berat Hollywood dan Bollywood dalam melebarkan sayap budayanya ke dunia internasional melalui tayangan hiburan seperti film, drama dan musik yang bernuansa Asia. Budaya pop Korea dengan segala kemajuan yang dialaminya tetap mengemas nilainilai Asia di dalamnya. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri,

terutama bagi masyarakat Asia yang merasa ada kedekatan tersendiri saat menyaksikannya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional, tayangan Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat. Di dalam wilayah yang telah lama didominasi oleh budaya populer dari Hollywood, budaya pop dari Seoul ini menjadi fenomena yang unik serta mengejutkan. Para jurnalis dan media dari berbagai negara kini ramai membicarakan fenomena ini, sementara para akademisi dan peneliti mulai membuat teori-teori ilmiah untuk menjelaskan gelombang tersebut. Memang tidak terduga, Korea Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak berpengaruh dalam bidang industri budaya populer dan bahkan berposisi marginal dalam bidang tersebut, kini telah berhasil menjadi salah satu negara cultural exporter di Asia. Korea telah menjadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat, mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan menyebarkan pengaruh kultural. Tidak bisa dipungkiri, media menjadi pelaku utama globalisasi budaya. Sebuah budaya media telah hadir, dimana citra, suara dan lensa

membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang dan memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas pribadi, seperti yang diungkapkan Kellner dalam bukunya Budaya Media : Radio, televisi, film dan berbagai produk lain dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau kegagalan , berkuasa atau tidak berkuasa. Budaya media juga memberikan bahan yang digunakan banyak orang untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya media membantu membentuk apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif bermoral atau biadab (Kellner,2010:1) Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap media. Media menempati posisi primer dalam kehidupan manusia. Orang menghabiskan amat banyak waktu mendengarkan radio, menonton televisi, pergi menonton bioskop, menikmati musik, membaca majalah dan koran, serta bentuk-bentuk budaya media lainnya. Maka, budaya media akhirnya mendominasi kehidupan sehari-hari sebagai latar belakang yang selalu hadir dan menggoda kita.

b. Media Massa dan Penggemar Budaya Pop Korea Kehidupan masyarakat di awal abad ke-21 diwarnai dengan beragam cara manusia menerima dan menggunakan teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang mewarnai kehidupan manusia di masa sekarang adalah bentuk-bentuk beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antarmanusia di seluruh dunia yaitu media massa.

Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya, karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film. (Vivian,2008:505). Budaya pop yang diproduksi secara massa untuk pasar massa dan dipublikasikan melalui media massa yang di dalamnya bersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis maupun pemerintah disebut budaya massa. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak dapat diproduksi secara massa (Strinati,2007:12). Media massa mempunyai peranan penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu fungsi yang dijalankan media massa, yaitu fungsi transmisi, dimana media massa digunakan sebagai alat untuk mengirim warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi transmisi, media dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut Dominick, sebagai konsekuensi dari fungsi transmisi ini, media massa mempunyai kemampuan untuk menjalankan peran ideologis dengan menampilkan nilai-nilai tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara orang mengdopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok (Setiowati,2008:537).

Budaya pop Korea yang marak di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya luar ke dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara, namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan kapitalisme Korea. Dengan semakin banyaknya penikmat budaya pop korea, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Hal inilah yang dimanfaatkan kapitalis untuk memproduksi budaya pop Korea secara massal di berbagai wilayah Asia termasuk Indonesia. Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat merupakan andil besar dari para pemegang modal (kapitalis) dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal membiayai produksi missal tayangan hiburan Korea dan memudahkan dalam penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung dengan pemberian bantuan modal bagi produksi tayangan tersebut. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan ideologi Korea melalui tayangan hiburan agar Korea dapat dengan mudah diterima di mata dunia.

c. Gaya Hidup dan Efek Terbatas Media Setiap manusia itu unik, maka gaya hidup mereka pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap

kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, cara kerja, dan bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Ketika suatu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai satu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu , tetapi menjadi sesuatu yang populer diadopsi oleh sekelompok orang. Sifat unik tak lagi dipertahankan. Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif mengandung pengertian bahwa gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup (Hujatnikajennong,2006:38-39) Gaya hidup tentu tidak lepas dari konsumerisme. Dengan menjalankan gaya hidup, berarti kita telah mengkonsumsi produk-produk yang menunjang gaya hidup atau sering disebut gaya hidup konsumeristis. Baudrillard mengembangkan dan menyimpulkan pemikiran Galbraith bahwa sistem kebutuhan adalah hasil dari sistem produksi. Inilah yang disebut jalur terbalik dimana pihak pemilik modal (kapitalis)

mengendalikan perilaku pasar, memandu, dan memberi model akan sikap sosial serta kebutuhan (Ferica,2006:3). Dalam konstruksi gaya hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea, keberadaan komunitas menjadi vital. Komunitas penggemar

budaya pop Korea dapat dilihat sebagai sub-kultur. Mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik budaya ekslusif bersama, yang berada di luar masyarakat dominan. Para penggemar budaya pop Korea memiliki gaya bicara yang khas dengan campuran-campuran Korea yang biasa digunakan dalam tayangan-tayangan Korea yang mereka konsumsi. Selain itu, mereka juga mengadopsi fashion ala Korea. Tidak ketinggalan pula pemilihan produk baik kosmetik maupun gadget mengacu pada merek yang digunakan para ikon budaya pop Korea. Industri budaya pop Korea takkan seperti sekarang jika bukan karena basis penggemarnya. Dalam waktu singkat telah terjaring ratusan, ribuan, bahkan jutaan penggemar. Komunitas penggemar kemudian membentuk sub-kultur mandiri dan membuat industri budaya pop Korea tetap hidup sampai sekarang dan menjadi sebuah sub-kultur yang hadir secara global. Peran media massa dalam hal ini tentu sangat besar sebagai Transmission of Values atau penyebaran nilai-nilai, dalam hal ini penyebaran nilai-nilai yang ada pada tayangan-tayangan Korea yang kemudian diadopsi oleh khalayak penggemar. Hal ini juga sejalan dengan teori difusi inovasi yang diutamakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Difusi berkaitan erat dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru dimana difusi sebagai proses dimana suatu inovasi

dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota-anggota suatu sistem sosial, dalam hal ini komunitas penggemar tayangan Korea atau dikenal dengan sebutan Korea Lovers.

Pada dasarnya,

media

memegang

peranan

penting

dalam

penyebaran budaya pop Korea yang mengglobal beberapa tahun terakhir ini. Tetapi perlu diingat, media menurut McQuail bukanlah penentu atau sumber utama dari perubahan sosial dan budaya. Media secara bersama dengan latar belakang sejarah seseorang sedikit banyak menjadi sumber kedua untuk pembentukan gagasan-gagasan tentang masyarakat dan lingkungan tenpat ia tinggal. Hasil interaksi antara media dan perubahan sosial dan budaya sangat bervariasi, tak bisa diprediksi, dan sangat berbeda antara satu keadaan dengan keadaan lainnya. Stuart Hall dalam Setiowati (2008:542) juga memperkuat pernyataan bahwa media bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya perubahan sosial budaya, karena dalam hubungan antara produksi pesan dan penerimaan pesan akan dipengaruhi oleh banyak hal. Penerimaan pesan oleh khalayak bergantung pada bagaimana khalayak memroses dan menginterpretasikan pesan tersebut. Sebab dalam memroses dan menginterpretasikan pesan, khalayak bersifat aktif, dan keaktifan khalayak itu juga bergantung pula dari latar belakang khalayak itu sendiri, sehingga efek yang didapatkan oleh seseorang akan amat berbeda dengan orang lain (Setiowati,2008:542). Hal ini sejalan dengan teori Uses and Gratifications dimana khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka hanya mengonsumsi isi media yang yang dianggap penting dan dibutuhkan oleh mereka, dan jelas diantara individu terdapat

Berbagai pola penghadapan media

beragam kebutuhan yang berbeda. Hal ini lah yang menjadi salah satu faktor perbedaan pembacaan teks media diantara individu. Katz dan kawan-kawan menggambarkan logika yang mendasari penelitian Uses and Gratifications sebagai berikut :
Harapan-harapan terhadap media atau sumber lain yang mengarah pada

Faktor Sosial Psikologis menimbulkan

Kebutuhan yang melahirkan

Konsekuensi lain yang tidak diinginkan

Melalui bagan yang dibuat Katz dan kawan-kawan di atas dapat dipahami bahwa individu tertentu, seperti halnya sebagian besar manusia, mempunyai kebutuhan dasar untuk mengadakan interaksi sosial. Dari pengalamannya, individu ini berharap bahwa konsumsi atau penggunaan media massa tertentu akan memenuhi sebagian kebutuhannya. Hal ini menuntunnya pada kegiatan menonton televisi tertentu atau membaca majalah tertentu dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, kegiatan ini menghasilkan gratifikasi kebutuhan, tetapi dapat pula menimbulkan kebergantungan dan perubahan kebiasaan pada individu itu

(Ardianto,2007:72-73). Hall juga mengatakan bahwa teks media diinterpretasikan dengan cara berbeda oleh tiap individu. Pembacaan sebuah teks media dapat melibatkan proses penerimaan, penolakan atau negosiasi. Kemungkinankemungkinan yang bisa terjadi adalah: 1. dominant atau preferred reading (pembacaan dominan), dimana khalayak mengambil posisi yang ditawarkan oleh teks dan

menerima posisi tersebut dengan menghormati mitos-mitos yang membentuknya 2. negotiated reading (pembacaan negosiasi), dimana khalayak tidak sepenuhnya mengambil posisi yang ditawarkan dan

mempertanyakan beberapa mitosnya (Setiowati, 2008:542) 3. oppositional reading, dimana khalayak menolak sepenuhnya mitos-mitos dan peran yang disediakan. Dalam hal ini, peneliti hanya akan memetakan khalayak yang dominant dan negotiated saja, sebab peneliti beranggapan bahwa khalayak yang menolak (oppositional) tidak akan menjadi objek penelitian karena tidak memenuhi kategori sebagai penggemar budaya pop Korea. Menyinggung masalah identitas, Mary Jane Collier mengatakan, ketika kita menggunakan budaya sebagai pendekatan untuk melihat karakter atau identitas kelompok, kita harus menyadari bahwa tiap kelompok itu dibangun atas dasar pendapat-pendapat sekelompok individual. Selain itu, seseorang bisa mempunyai identitas yang beragam, tergantung peran apa yang sedang dijalankannya, sehingga kita harus menyadari bahwa identitas kultural itu kompleks dan diciptakan, dipelihara, dipertentangkan dan dipertandingkan pada saat kita melakukan hubungan dengan orang lain (Setiowati,2008:543). Martin dan Nakayama dalam Setiowati (2008:544) mengatakan terdapat tiga perspektif tentang identitas yaitu: perspektif psikologi sosial,

perspektif komunikasi dan persfektif kritis. Dalam kasus pembentukan identitas dari para penggemar budaya pop Korea, untuk menganalisis pada skala mikro yaitu pada tataran individu, peneliti menggunakan persfektif komunikasi dimana proses avowal dan ascription merupakan hal yang penting. Seorang penggemar budaya pop Korea bisa saja melakukan avowal tentang identitas dirinya, namun jika proses ascription dari orang lain di lingkungannya itu bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh dirinya, seorang penggemar budaya pop Korea yang termasuk dalam dominant reader akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan lebih memilih mencari teman bermain atau masuk dalam kelompok yang akan melakukan ascription yang sesuai dengan avovalnya. Sementara penggemar budaya pop Korea yang termasuk negotiated reader mungkin akan menegosiasikannya dan akan menyesuaikan identitas kulturalnya ke dalam identitas kultural yang dominan di lingkungannya, atau dengan kata lain ia akan menyesuaikan proses avowalnya dengan proses ascription orang-orang di lingkungannya. Sementara itu dalam analisis skala meso, peneliti akan

menggunakan persfektif kritis karena identitas para penggemar Korea ini tercipta karena latar belakang sejarah, ekonomi, politik dan wacana yang beredar saat ini. Maraknya serbuan hiburan budaya pop Korea saat ini akan menciptakan suatu identitas kultural bagi penggemar budaya pop Korea. Berdasarkan pengamatan, identitas para penggemar budaya pop Korea akan Ke-Korea-an mereka mereka memang berbeda-beda baik

dari segi jenis maupun tingkatannya. Hal ini tidak lepas dari latar belakang lingkungan sosialnya, pendidikan, agama dan lain-lain. Melihat fenomena efek terbatas media, maka peneliti menggunakan metode studi kasus dalam meneliti pengaruh budaya pop Korea terhadap gaya hidup melalui media massa. Hal ini sesuai dengan teori perbedaan individual yang berpendapat bahwa karena karakter psikologis pada setiap orang sangat beragam dan karena mereka memiliki persepsi yang berbedabeda terhadap sesuatu, pengaruh media berbeda-beda antara satu orang ke orang lain. Lebih spesifik, pesan media mengandung ciri stimulus tertentu yang memiliki interaksi yang berbeda dengan karakteristik pribadi masingmasing khalayak. Walaupun pada akhirnya individu tersebut membentuk suatu kelompok sosial atas dasar kesamaan, perbedaan individu dalam kelompok tetap ada. Kelompok sosial hanya menjadi penguat apa yang diyakini oleh individu, namun tingkat hegemoni di dalam kelompok tidak akan utuh. Mereka memang memiliki kesamaan namun tidak dalam segala hal karena ada faktor lain yang turut andil dalam membentuk individu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah bagan dari kerangka konseptual penelitian ini:

GLOBALISASI

BUDAYA POP KOREA (TAYANGAN

KAPITALIS DAN

KOREA)

PEMERINTAH

BUDAYA MEDIA

KOREA LOVERS DI SERANG

EFEK TERBATAS MEDIA DAN FAKTORFAKTORNYA 3.7

GAYA HIDUP

Definisi Operasional

1. Globalisasi: Suatu proses dimana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. 2. Budaya Pop Korea: Budaya yang banyak digemari yang diproduksi untuk masyarakat massa, dalam hal ini adalah tayangan-tayangan Korea baik berupa drama, film, musik yang pada akhirnya akan menciptakan fanatisme terhadap produk budaya tersebut 3. Budaya Media: Ketergantungan masyarakat terhadap media dimana dalam kehidupannya tidak mampu lepas dari media. Menonton televisi atau mendengarkan radio misalnya adalah sebuah kebutuhan mutlak yang harus terpenuhi 4. Kapitalis: Kelompok penguasa industri yang memanfaatkan media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui fanatisme khalayak media

5. Pemerintah: Sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara 6. Korea Lovers: Sebutan untuk para penggemar tayangan Korea 7. Gaya Hidup : adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain

3.8

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan berlangsung di Serang. Tepatnya di yang

merupakan tempat berkumpul fandom-fandom Korea. Waktu penelitian akan berlangsung dari bulan

Anda mungkin juga menyukai