Anda di halaman 1dari 35

Terapi Terbaru

Keratitis Bakteri

OLEH :
I MADE SURYA DINAJAYA

RINGKASAN

Penelitian ini ditujukan untuk meninjau pengobatan terbaru untuk


keratitis bakteri. Sumber data dari PubMed literature yang telah
dilakukannya pencarian sampai April 2012. Kata kunci yang
digunakan

sebagai

pencarian

literatur

yaitu

infectious

keratitis, microbial keratitis, infective keratitis, microbial


keratitis, infective keratitis, new treatment for infectious
keratitis, fourth generation fluoroquinolones, moxifloxacin,
gatifloxacin,
therapy.

collagen

cross-linking,

dan

photodynamic

PENDAHULUAN

Infectious

Keratitis

membutakan

kornea

adalah
yang

kondisi
dapat

mata

yang

berpotensi

menyebabkan

kehilangan

penglihatan berat jika tidak diobati pada tahap awal. Hal ini
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa dan
parasit. Faktor risiko umum untuk Infectious Keratitis termasuk
trauma okular, memakai lensa kontak, operasi mata yang telah
dilakukan, adanya penyakit pada permukaan mata, mata kering,
lid deformity, corneal sensational impairment, penggunaan
jangka panjang steroid dan penyakit imunosupresi sistemik.

Patogen umum termasuk Staphylococcus Aureus, coagulase-negative


Staphylococcus, Pseudomonas Aeruginosa, Streptococcus Pneumonia, dan
spesies Serratia. Kebanyakan kasus keratitis bakteri yang didapat bisa
sembuh dengan terapi empiris dan tidak diperlukan kultur bakteri. Hasil
kerokan dari kornea yang digunakan untuk kultur diindikasikan untuk
corneal ulcers yang besar, terletak di tengah, yang meluas dari tengah ke
dalam stroma, disertai nyeri, adanya reaksi peradangan di COA atau
hypopyon, penglihatan kabur, dan adanya abses pada kornea atau tidak
adanya respon pada pemberian antibiotic spektrum luas.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa adanya bukti resistensi pada


pemakaian antibiotik. Mikroorganisme mengembangkan resistensi dengan
cara mutasi kromosom, ekspresi gen kromosom laten dengan cara induksi
atau dengan pertukaran materi genetik melalui transformasi. Hal ini dapat
menyebabkan perkembangan lanjutan dari perjalanan penyakit meskipun
menggunakan antibiotik spektrum luas. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk meninjau pengobatan terbaru untuk Infectious Keratitis

METODE

Artikel ini melaporkan manfaat menggunakan fluoroquinolones generasi


keempat atau terapi photodynamic dalam pengobatan Infectious Keratitis
telah dipilih dan dianalisis. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitian
prospektif lebih baik daripada penelitian retrospektif dan juga penelitian in
vivo lebih baik dari penelitian in vitro.

TINJAUAN
PUSTAKA

INFECTIOUS KERATITIS

Ulkus kornea atau

Infectious Keratitis adalah kondisi serius dari kornea yang

memerlukan penanganan yang cepat. Pada pasien yang terdiagnosis Infectious


Keratitis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dikategorikan sebagai
resiko tinggi atau resiko rendah. Adanya riwayat trauma bola mata, penggunaan
lensa kontak, adanya penyakit pada permukaan mata, riwayat pemakaian steroid
dalam jangka panjang, ukuran ulkus yang besar dan letak ulkus di tengah
dianggap sebagai resiko tinggi. Berdasarkan panduan dari American Academy of
Ophthalmology untuk keratitis bakteri, sebagian besar kasus diperoleh bahwa
Infectious Keratitis merespon pengobatan empiris dengan antibiotik.

Kerokan kornea diindikasikan untuk ulkus kornea yang besar, yang terletak di
tengah, meluas dari tengah ke dalam stroma, disertai dengan nyeri, terdapat
reaksi peradangan pada COA atau hipopion, pandangan kabur dan adanya
abses kornea atau resisten terhadap antibiotik spektrum luas. Pada panduan
kultur, pengambilan sampel dari jaringan kornea dengan cara kerokan kornea
atau biopsi dan tes mikrobiologi dapat menentukan jenis bakteri dan
sensitivitas terhadap jenis antibiotik tertentu. Akan tetapi, penggunaan
antibiotik biasanya dimulai setelah pengambilan sampel bakteri atau jika
dicurigai adanya infeksi yang terlihat dari gejala klinis.

PILIHAN
TERAPI

FLUOROQUINOLONE

Fluoroquinolones merupakan antibiotik spektrum luas sintetis. Fluoroquinolones


menghambat DNA gyrase (topoisomerase II) dan enzim topoisomerase IV, yang
merupakan enzim yang bekerja pada replikasi dan transkripsi DNA. Inhibisi dari
enzim ini akan menyebabkan kematian sel bakteri. Topoisomerase IV terdapat
pada sebagian besar bakteri gram positif. Sedangkan DNA girase sebagian
besar terdapat pada bakteri gram negatif. Asam Nalidixic adalah generasi
pertama fluoroquinolone yang digunakan untuk infeksi saluran kemih. Karena
peningkatan

insiden

dari

resistensi

fluoroquinolone

menunjukkan bahwa diperlukan antibiotik generasi terbaru.

generasi

pertama

Fluoroquinolone

generasi

kedua

contohnya

ciprofloxacin

dan

ofloxacin,

Fluoroquinolone generasi ketiga, contohnya levofloxacin, dan fluoroquinolone


generasi keempat contohnya moxifloxacin dan gatifloxacin. Keunggulan dalam
struktur molekul fluoroquinolone generasi keempat seperti moxifloxacin dan
gatifloxacin menunjukkan inhibisi terhadap DNA girase dan topoisomerase IV
secara bersamaan pada bakteri gram positif. Perubahan ini meningkatkan potensi
antibiotik terhadap bakteri gram positif, sementara antibiotik spektrum luas
digunakan untuk bakteri gram negatif. Modifikasi struktural ini mengurangi resiko
perkembangan organisme yang resisten, saat terbentuknya mutasi bersamaan yg
diperlukan untuk pengembangan resisten dari organisme tersbut.

Struktur moxifloxacin tahan terhadap mekanisme efflux yg ada pada


bakteri untuk menghancurkan sel, karena itu potensi moxifloxacin untuk
membunuh bakteri meningkat. Pemakaian fluoroquinolone untuk bagian
mata, sudah dilakukan sejak tahun 1990 saat fluoroquinolone generasi
kedua seperti ciprofloxacin dan ofloxacin tersedia dalam bentuk topikal
dan digunakan untuk infectious keratitis dan conjungtivitis. Pada makalah
ini,

kami

meninjau

dan

memperhatikan

dalam

gejala

klinis

dari

fluoroquinolone generasi keempat pada pengobatan infectious keratitis.

POTENSI IN VITRO
FLUOROQUINOLONE

Potensi antibiotik terhadap bakteri terlihat oleh konsentrasi hambatan


minimum / minimum inhibitory concentration (MIC) yang diperoleh untuk
organisme
konsentrasi

yang

berbeda

hambatan

selama

minimum

analisis

mikrobiologi.

rendah

untuk

Obat

organisme

dengan
tertentu

menandakan bahwa obat itu memiliki efek antibiotik yang kuat terhadap
organisme tertentu. Kowalski et al. menentukan MIC90S dari 177 macam
bakteri yang menyebabkan keratitis dengan cara dikelompokkan dengan
menggunakan ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, gatifloxacin dan
moxifloxacin.

Mereka menemukan bahwa MIC90S untuk bakteri gram positif secara


signifikan lebih rendah untuk fluoroquinolone generasi ke empat dari
generasi kedua atau generasi ketiga, terutama untuk fluoroquinolone yang
resisten

terdapat

staphylococcus

aureus

(3.0ug/mL

moxifloxacin

dan

gatifloxacin dibandingkan dengan 64.0ug/mL levofloxacin, ciprofloxacin dan


ofloxacin)

Namun, ciprofloxacin generasi kedua masih lebih baik daripada generasi ketiga
dan keempat dalam melawan organisme gram negatif termasuk pseudomonas
aeruginosa (ciprofloxacin 0.125 ug/mL, ofloxacin 1.5 ug/mL, levofloxacin 0.5
ug/mL, moxifloxacin 0.75 ug/mL, gatifloxacin 0.38 ug/mL). Diantara kedua
fluoroquinolone generasi keempat, moxifloxacin menunjukkan secara statistik
MIC90S lebih rendah untuk kebanyakan bakteri gram positif, sementara itu
gatifloxacin tercatat memiliki MIC90S yang rendah untuk kebanyakan bakteri
gram negatif. Sueke et al. mengumpulkan 772 bakteri yang terisolasi dari
kasus keratitis bakteri di beberapa pusat penelitian di UK dan diuji lagi terhadap
antibiotik standard dan baru.

Diantara

macam

fluoroquinolone

(ciprofloxacin,

ofloxacin,

levofloxacin,

moxifloxacin), moxifloxacin menunjukkan MIC terendah untuk kedua bakeri


gram positif. Chawla et al. mengidentifikasi 292 bakteri yang terisolasi dari
beragam kasus keratitis bakteri dan mendapat respon dari cefazolin,
tobramycin, gatifloxacin, dan moxifloxacin. Kerentanan moxifloxacin dan
gatifloxacin 92,8 % dan 95,5% dari semua bakteri yg terisolasi, sedangkan
pada cefazolin dan tobramycin hanya 83,6% dan 90,1%.

Meskipun hasil yang konsisten diperoleh untuk organisme gram positif dalam
penelitian ini, menurut Oliveira et al. ciprofloxacin memiliki MIC yg lebih
rendah unutk bakteri gram negatif dari dua fluoroquinolone generasi
keempat diatas untuk bakteri gram negatif, terutama unutk spesies
Pseudomonas. Hasil penelitian in vitro tidak dapat langsung diterapkan
efektivitas klinis karena tidak ada bukti kerentanan untuk antibiotik topikal
yg diterapkan pada mata.

PERCOBAAN KLINIS PADA


FLUOROQUINOLONE

Tiga

uji

klinis

fluoroquinolone

ditemukan
generasi

dari

literature

penelitian

keempat

dalam

mengobati

tentang
infectious

efektivitas
keratitis.

Penelitian terbesar dilakukan oleh Constantinou et al. Mereka mengambil sampel


dari 229 pasien dengan keratitis dan membagi secara acak menjadi kelompok,
grup moxifloxacin (1%), grup ofloxacin (0,3%), dan kombinasi dari grup
tobramycin (1,33%) / grup cefazolin (5%).

Semua pasien diberikan antibiotik topikal satu jam sekali selama 48 jam
pertama, lalu di tapering off sesuai dengan protocol yang ada sampai hari ke7, lalu disesuaikan dengan respon klinis. Dari isolasi bakteri yang diperoleh,
tidak satupun dari bakteri itu tahan terhadap moxifloxacin, 2,5% resisten
terhadap ofloxacin, 2,8% terhadap ciprofloxacin, 14,8% terhadap cefazolin,
1,6% terhadap tobramycin, dan 17,5% terhadap kloramfenikol.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Parmar et al. membandingkan efek gatifloxacin
topikal

0,3%,

yang

merupakan

fluoroquinolone

generasi

keempat,

dengan

ciprofloxacin 0,3%, yang merupakan fluoroquinolone generasi kedua, untuk


pengobatan pasien dengan keratitis bakteri dan ulkus yang berukuran minimal 2
mm. Penelitian ini mengambil sampel total 104 pasien secara acak dan dibentuk
dua kelompok pengobatan, pasien diberikan antibiotik topikal setiap jam, sampai
ulkus mulai sembuh dengan frekuensi dosis yang disesuaikan. Hasil kultur
menunjukkan bahwa, sebagian besar dari kedua bakteri Gram-positif dan Gramnegatif rentan terhadap gatifloxacin daripada ciprofloxacin. 96,2% dari Gram-positif
kokus rentan terhadap gatifloxacin dibandingkan 60,4% terhadap ciprofloxacin.

Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan ulkus sama pada


kedua kelompok. Penelitian klinis terbaru dari jenis ini dilakukan oleh Shah
et al. pada tahun 2010. Sebanyak 61 pasien diambil secara acak dan dibagi
tiga kelompok untuk membandingkan efek klinis moxifloxacin sebanyak
0,5%, gatifloxacin sebanyak 0,5%, dan dikombinasikan dengan tobramycin
sebanyak 1,3% / cefazolin sebanyak 5% pada keratitis bakteri.

Semua pasien dengan keadaaan klinis dari keratitis bakteri dengan ulkus
yang berukuran antara 2 mm dan 8 mm. Dalam penelitian ini, 46% dari
subyek mengalami cedera mata sebelum episode tersebut. Antibiotik topikal
diberikan setiap jam selama 48-72 jam pertama dan kemudian ditapering-off
sesuai dengan protokol penelitian. Dari bakteri terisolasi yang diuji, 5,2%
resisten terhadap tobramycin dan 10,4% resisten terhadap cefazolin. Tingkat
kesembuhan dari kelompok antibiotik yang dikombinasi adalah 90% dan dari
gatifloxacin dan kelompok moxifloxacin 95%. Dua pasien mengeluhkan
ketidaknyamanan pada mata yang ringan setelah menerapkan gatifloxacin.
Tidak ada efek samping lainnya dilaporkan.

COLLAGEN CROSS LINKING

Sekitar 90% dari lapisan kornea terdiri dari stroma. Stroma kornea terdiri dari fibril
kolagen secara teratur dan keratosit. Bakteri dan jamur menghasilkan enzim yang
memiliki kemampuan untuk mencerna kolagen manusia dan menyebabkan kornea
menjadi rusak. Collagen cross-linking (CXL) adalah teknik yang menggunakan
riboflavin dan iradiasi Ultraviolet-A yang akan menguatkan rigiditas / kekakuan
pada jaringan kornea. Efek interaktif dari riboflavin dengan iradiasi UV-A
memperkuat pembentukan ikatan kimia antara fibril kolagen dalam stroma kornea
dan membantu dalam meningkatkan perlawanan terhadap pencernaan enzimatik.
Riboflavin atau vitamin B2 adalah zat alami. Aktivasi cahaya dari riboflavin
menyebabkan kerusakan RNA dan DNA mikroorganisme dengan cara proses
oksidasi dan menyebabkan lesi pada chromosomal strands. Selain itu, radiasi
ultraviolet itu sendiri memiliki efek sporisida dan virucidal.

Tujuan menghilangkan epitel kornea adalah untuk mencapai penetrasi yang


cukup dari tetes mata riboflavin. Riboflavin (riboflavin/dextran solution 0.5
0.1%) ditetesi di atas permukaan kornea untuk jangka waktu 20-30 menit
dengan selang waktu 2-3 menit. Lalu diikuti dengan pencahayaan ke kornea
menggunakan lampu UV-X, UV-A 365 nm, dengan radiasi dengan kekuatan 3,0
mW / cm2 dan dosis total 5,4 J / cm2.

Penelitian CXL secara in vitro

Spoerl et al. menunjukkan bahwa CXL memiliki resistensi yang tinggi untuk
melawan pencernaan enzimatik dengan proteinase dan kolagenase. Martins
et al. melakukan penelitian in vitro untuk menunjukkan sifat antimikroba
dari

riboflavin

UVA

(365

nm)

terhadap

patogen

umum.

Mereka

menemukan pengobatan ini efektif terhadap bakteri tertentu seperti


Staphylococcus aureus (SA), Staphylococcus epidermidis (SE), methicillinresistant S. aureus (MRSA), Pseudomonas aeruginosa, dan Streptococcus
pneumonia yang resistan terhadap obat, akan tetapi tidak efektif terhadap
Candida albicans.

STUDI KLINIS

CXL

kornea

awalnya

keratoconus.

Kolagen

membantu

dalam

digunakan
CXL

dalam

meningkatkan

menghentikan

kondisi

ectasia

kekuatan

perkembangan

kornea,

biomekanik

keratoconus.

misalnya,

kornea

Mller

et

dan
al.

menunjukkan bahwa CXL mampu meningkatkan penyembuhan pada pasien dengan


corneal melting secondary karena pemakaian lensa kontak yang terkait dengan
infectious keratitis. Iseli et al. dalam beberapa kasus mereka, dari 5 pasien dengan
pengobatan antibiotik infectious keratitis yang resisten, menunjukkan efektifitas
dari UVA / riboflavin dalam menghentikan perkembangan mencairnya kornea.
Dalam sebuah penelitian oleh Makdoumi et al. yang terdiri dari 7 mata, kornea
yang telah meleleh ditangkap dan epitelisasi lengkap dicapai dalam semua kasus
setelah dilakukannya CXL dengan riboflavin.

Pada dua pasien yang disertai dengan hypopyon, terjadi regresi hypopyon
setelah 2 hari dilakukan CXL. Dalam studi terbaru oleh Makdoumi et al., CXL
telah berhasil digunakan sebagai pengobatan utama pad mata pasien dengan
infectious keratitits. Hanya 2 dari 16 pasien dalam penelitian antibiotik
diperlukan; salah satunya diperlukan transplantasi membran amnion. Ferrari
et al. juga melaporkan kasus Escherichia coli keratitis dengan tidak ada
perbaikan dengan antibiotik topikal dan sistemik tapi mulai sembuh setelah
CXL digunakan.

DISKUSI

Penelitian in vitro yang dilakukan dengan cara MIC pada antibiotik yang
berbeda terhadap keratitis yang terisolasi, telah memberikan gambaran
tentang potensi dari fluoroquinolones generasi keempat moxifloxacin,
gatifloxacin, dan tobramycin-cefazolin terhadap patogen untuk infectious
keratitis. Namun, kita tidak bisa membandingkan potensi relatif antibiotik
tersebut karena antibiotik tersebut berbeda golongan (fluoroquinolones,
aminoglikosida, cefalosporin) yang memiliki mekanisme yang berbeda.

MIC dilaporkan memiliki hubungan dengan ukuran luka pada kornea


setelah sembuh dari infectious keratitis. Untuk setiap kenaikan dua kali
lipat dalam MIC, akan ada peningkatan 0,33 mm diameter pada bekas luka,
meskipun tidak ditemukan hubungan dengan ketajaman visus yang telah
dikoreksi. Oleh karena itu, MIC lebih rendah dari fluoroquinolones generasi
keempat, ditampilkan dalam penelitian in vitro yang menyatakan potensi
penyembuhan fluoroquinolones lebih baik pada pengobatan ulkus kornea.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam penelitian oleh Constantinou et al.,
persentase bakteri Gram-positif merupakan 76,2% dari semua bakteri yang
terisolasi dan 23,8% bakteri gram negatif. Sebaliknya, Hong Kong dan
penelitian di Inggris melaporkan hal yang berbeda dari patogen di keratitis
bakteri, dengan 46,8% Gram-positif dan 53,2% Gram-negatif di Hong Kong, dan
38,9% Gram-positif dan 61,1% Gram -negatif di Inggris.

Teknik invasif minimal dari CXL awalnya digunakan dalam manajemen kondisi
ectatic

kornea

seperti

keratoconus,

pellucid

marginal

degeneration,

dan

keratectasia iatrogenic, Laser in situ keratomileusis (LASIK) telah efektif digunakan


untuk pengobatan infectious keratitis dengan atau tanpa risiko mencairnya
kornea. Studi terbaru telah menunjukkan kemanjuran modalitas pengobatan ini
dalam pengobatan utama infectious keratitis.

KESIMPULAN

Fluoroquinolones generasi keempat topikal, yaitu moxifloxacin dan gatifloxacin,


alternatif

yang

baik

untuk

kombinasi

antibiotik

yang

diperkaya

dalam

pengelolaan infectious keratitits. Mereka dapat digunakan sebagai terapi


empiris setelah kerokan kornea telah dilakukan. Antibiotik rendah resistensi ini
diharapkan dalam pandangan modifikasi struktural dan mekanisme inhibisi
ganda. Namun, karena moxifloxacin dan gatifloxacin mungkin tidak ampuh
sebagai ciprofloxacin atau tobramycin terhadap organisme Gram-negatif seperti
Pseudomonas

aeruginosa,

penelitian

lebih

lanjut

diperlukan

untuk

membandingkan respon dari infeksi Pseudomonas terhadap antibiotik ini


sebelum kita dapat menyimpulkan bahwa fluoroquinolones baru adalah sebagai
kombinasi standar antibiotik yang kuat dalam penanganan infectious keratitis.

Untuk saat ini, hanya beberapa makalah dalam literatur telah melaporkan efek
terapi photodynamic (kolagen CXL) dalam pengelolaan infectious keratitis. Hasil
uji coba ini menjanjikan dan menyiratkan bahwa ini modalitas pengobatan baru
mungkin berguna dalam pengobatan ulkus kornea infeksi yang resisten atau
sebagai tambahan untuk pengobatan antibiotik standar. Namun, karena semua
penelitian yang diterbitkan mengenai CXL sebagai pengobatan infectious
keratitis berdasarkan pada hewan atau sejumlah kecil pasien, percobaan skala
yang lebih besar harus dilakukan untuk mengevaluasi efek tambahan yang
menguntungkan CXL di infectious keratitis dan antibiotik topikal konvensional.
Selanjutnya,

lebih

banyak

bukti

diperlukan

sebelum

disarankan

untuk

menggunakan CXL sebagai pengobatan lini pertama untuk infectious keratitis.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai