Anda di halaman 1dari 8

Landasan Hukum dan Etika

Informed Consent
Landasan Hukum Informed Consent

Peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum bagi


informed consent adalah
Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran
Pasal 56 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
Pasal 32K UU No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/PER/III/2008
KUH Perdata Pasal 1338 dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang tenaga kesehatan
UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45
UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56
UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32K
KUH Perdata Pasal 1338
ETIKA INFORMED CONSENT
1. Beneficence (Berbuat baik)
Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari
prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah
atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh
kepuasan tertinggi.

2. Non-maleficence (Tidak berbuat yang merugikan)


Non-maleficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan perbuatan
yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien sendiri.
Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.

3. Justice (Keadilan)
Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata dan adil terhadap
untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan
politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak
dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.

4. Autonomy (Menghormati martabat manusia)


Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia, terutama hak
untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai