Pembimbing : Dr. Endang Mutiawati, SpS Pendahuluan Periodic paralysis merupakan suatu penyakit yang bersifat herediter (dominan) dan familial. Gejala pokok dari penyakit ini adalah suatu paralisis flaksid sejenak dengan reflek reflek yang negatif (areflexia). Berhubungan dengan miopati, yaitu suatu keluhan letih lemah pada anggota gerak tanpa disertai defisit sensorik. Definisi Periodik paralisis merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan kelemahan keempat anggota gerak yang terjadi secara tiba tiba, bersifat periodik (berkala), dan disertai dengan arefleksia. Kelumpuhan keempat anggota gerak ini bersifat Lower Motor Neuron (LMN). Klassifikasi Penyakit ini dapat dibagi dalam kelainan primer dan sekunder. Tabel Periodik paralisis primer Sodium channel Hiperkalemi Paramyotonia kongenital Potassium-aggravated myotonia Calcium channel Hipokalemik
Chloride channel Becker myotonia kongenital
Thomson myotonia kongenital Dikenal 3 macam bentuk klasik periodik paralisis, berdasarkan variasi kadar kalium serum yaitu: 1. Periodik paralisis hipokalemik 2. Periodik paralisis hiperkalemik 3. Periodik paralisis normokalemik Etiologi Idiopatik, diduga penyebabnya adalah pergeseran intraseluler dari kalium. Merupakan sekumpulan kelainan yang dihubungkan dengan mutasi gen yang mengkode ion channel pada membran otot. Patofisiologi Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya eksitabilitas membran otot yakni, sarkolema. Ion channel yang sensitif tegangan secara tertutup meregulasi pergantian potensial aksi (perubahan singkat dan reversibel tegangan mebran sel). Epidemiologi Di Amerika: Frekuensi hiperkalemik PP, PC, dan PAM tidak diketahui. Hipoklaemik PP mempunyai prevalensi 1 per 100.000. Becker MC mempunyai prevalensi sekitar 1 per 50.000. Thomson MC lebih jarang. Bangsa Tirotoksikosis PP paling sering pada laki laki (85%) dari keturunan asia dengan frekuensi kira kira 2 %. Gejala Klinik 1. Periodik paralisis hipokalemik familial Kadar kalium (K) dalam serum atau plasma < 3,5 mEq/liter. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Serangan berat dimulai pada pagi hari. Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat, sering dengan keterlibatan batang tubuh. Gejala klinik Dengan ciri-ciri sbb : 1. Kelemahan pada otot 2. Perasaan lelah 3. Nyeri otot 4. Tekanan darah dapat meningkat 5. Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat) 6. Gangguan toleransi glukosa 7. Gangguan metabolisme protein 8. Poliuria dan polidipsia 9. Alkalosis metabolik Gejala Klinik 2. Periodik paralisis hiperkalemik familial Kadar kalium (K) dalam plasma > 5 mEq/liter. Kelemahan terjadi selama istirahat setelah suatu latihan berat atau selama puasa. Hal ini juga bisa dicetuskan oleh kalium, dingin, etanol, karboidrat, atau stres. Kelemahan dimulai pada paha dan betis, yang kemudian menyebar ke tangan dan leher. Predominan kelemahan proksimal dan otot-otot distal mungkin bisa terlibat setelah latihan latihan yang melelahkan Penderita bisa sesak napas pada kadar kalium > 7 mEq/liter atau kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Tetapi dalam keadaan normal, jarang terjadi hiperkalemia karena adanya mekanisme adaptasi tubuh. Gejala Klinik 3. Periodik paralisis normokalemik. Manifestasi yang tidak berbeda dengan jenis hipokalemik tetapi massa kelumpuhannya saja yang jauh lebih lama. Paralisisnya sering bersifat fokal, dimana penderita terbaring lemah tanpa bisa berkutik. Gejala Klinik 4. Potassium-aggravated myotonia Kelainan terkait autosom dominan ini dibagi dalam 3 kategori, myotonia flunctuan, myotnia permanen, azetazolamide-responsive MC. Kelemahan jarang pada kelainan ini. Tetapi nyeri otot episodik kekakuan ketika kelainan itu berlanjut pada myotonia permanen. Serangan dimulai pada istirahat segera setelah latihan pada myotonia. Gejala Klinik 5. Paramyotonia congenital Pada kelainan terkait autosomal dominan ini, myotonia diperburuk dengan aktivitas (paradoxical myotonia) atau temperatur dingin. Gejala-gejala paling diperberat pada wajah. Kelemahan episodik juga bisa berkembang setelah latihan atau temperatur dingin. Biasanya berkangsung hanya beberapa menit, tetapi bisa berlangsung sepanjang hari. Pemasukan kalium biasanya memperburuk gejala, tetapi pada beberapa kasus, menurunkan kadar kalium serum mencetuskan serangan Gejala Klinik 6. Tirotoksikosis periodik paralysis Ini adalah hipokalemik PP yang paling banyak. Sering ada dewasa umur 20-40 tahun. Kelemahannya pada otot proksimal dan jika hiperinsulinemia, pemasukan karbohidrat, dan latihan penting dalam mencetuskan serangan paralitik berat otot pernapasan dan mata. Diagnosis Hipokalemik periodik paralisis Penurunan kadar serum, tetapi tidak selalu dibawah normal, selama serangan. Retensi urin dengan peningkatan kadar sodium, kalium dan klorida urin. Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga terjadi. Kadar Creatinin fosfokinase (CPK) meningkat selama serangan. Kadar Mg dalam serum. Elektrokardiografi menunnjukkan sinus bradikardi dan bukti hipokalemi (gelombang T datar, gelombang U di lead II, V2,V3 dan V4 dan depresi segment ST). Tekanan darah dapat meningkat 6. Gangguan toleransi glukosa 7. Gangguan metabolisme protein 8. Poliuria dan polidipsia 9. Alkalosis metabolik Diagnosis Hiperkalemik periodik paralisis Kadar kalium serum bisa meningkat setinggi 5-6 mEq /L. Kadang kalium bisa diatas batas normal, dan jarang mencapai kadar yang kardiotoksik. Kadar natrium serum bisa turun karena kenaikan kadar kalium. Diagnosis Differensial Hipokalemik Periodik Paralisis 1. Kehilangan melalui ginjal a.Kalium dalam urin > 15 mEq/24 jam. b.Ekskresi kalium disertai poliuria (obat-obat diuretik, diuretik osmotik) 2. Kehilangan tidak melalui ginjal (K dalam urin < 15mEq/24 jam) a. Kehilangan melalui saluran cerna (diare) b. Kehlangan melalui keringat berlebihan c. Diet rendah kalium d. Muntah e. Perpindahan kalium ke dalam sel (alkalosis, insulin agonis beta, paralisis periodik, leukemia, keracunan barium) Diagnosis Differensial Hiperkalemik periodik paralisis 1. Pseudohiperkalemia a. lisis sel (rabdomiolisis, luka bakar, hemolisis, lisis tumor) b. leukositosis berat c. bendungan vena terlalu kuat pada saat pengambilan sampel darah. 2. Peningkatan ekskresi K melalui ginjal 3. Penurunan ekskresi K melalui ginjal Tatalaksana Terapi pada hipokalemik periodik paralisis 1. Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah. Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L, sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L. 2. Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, atau kadar K serum < 3 mEq/L, koreksi K secara intravena 20 mEq/jam dalam 50-100 cc larutan dekstrosa 5%. 3. Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral. 4. Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama pada pemberian secara intravena. Tatalaksana Terapi Hiperkalemik periodik paralisis 1. Bila K mencapai 7 mEq/liter, keadaan darurat, segeralah ditanggulangi (keadaan akut): Langkah pertama: beri kalsium glukonat 10%, 10-20 ml diberikan intravena bolus dalam 3-5 menit. Langkah selanjutnya: Natrium bikarbonat 44 mEq (50 ml) intravena bolus dalam beberapa menit, dapat ditambahkan sesuai hasil analisis gas darah yang masuk. Dapat juga dengan memberikan 50 gram glukosa bersama insulin 15 unit intravena. 2. Bila K kurang dari 7 mEq/liter (keadaan sub-akut): a. Resin pengikat kalium, b. Hemodialisis pada gagal ginjal. Penyulit/ Komplikasi 1. Penyulit Hipokalemik 1. Lelah 2. Kejang atau kaku otot 3. Konstipasi 4. Ileus 5. Paralisis flaksid 6. Hiporefleksi 7. Rabdomiolisis 8. Tetanus Penyulit/ Komplikasi Penyulit Hiperkalemik. 1. Gangguan fungsi neuromuskuler (kelemahan, paralisis flaksid, distensi abdomen, diare) 2. Bradikardi 3. Fibrilasi ventrikel 4. Henti jantung Prognosis Serangan kronik pada akhirnya dapat mengakibatkan kelemahan otot yang progresif. Terapi dapat mencegah bahkan memulihkan kelemahan otot. Pada kasus yang berat, yang melibatkan otot-otot respirasi, penderita dapat mengalami kematian, tetapi kasus ini jarang terjadi.