Anda di halaman 1dari 47

Koefisien

Partisi
Kelas B 2018
Anggota Kelompok
Ajeng Pristicha 260110180092
Fadila Nur A. 260110180093
Salsa Aprilia T. 260110180094
Winda Meliani 260110180095
M. Lukman N. H. 260110180096
Destri Jauharotun 260110180097
Rekianarsyi A.N.W.P. 260110180098
Aida R. F. 260110180099
Wanda R. D. 260110180100
Christina Damayati 260110180101
Michelle Eka Putri 260110180104
--STRUKTUR--

paracetamol
Aspirin
• Koefisien Partisi
DEFINISI
Suatu tetapan kesetimbangan distribusi zat terlarut yang
terjadi di antara dua pelarut beda fasa (Oxtoby, 2001).

• Nilai log P
Suatu ukuran dari lipofilisitas atau hidrofobisitasnya.

Semakin tinggi nilai log P, semakin tinggi sifat


lipofilisitasnya.
(Comer dan Tam, 2001)
PENENTUAN
KOEFISIEN PARTISI
Penentuan koefisien partisi secara ekperimen
dilakukan dengan cara pendistribusian senyawa dalam
jumlah tertentu ke dalam sistem keseimbangan
termodinamik antara dua pelarut yang berbeda
kepolaran yaitu n-oktanol dan air (Tahir, 2001).
Penentuan koefisen partisi dalam biofarmasetika
dan kondisi umum yang merupakan suatu sistem
spesifik digunakan Apparent Partition Coefficient
(APC) (Ritschel, 1976).
Alasan Menggunakan
Oktanol
Alasan digunakannya oktanol adalah karena
pelarut ini memiliki sifat yang mirip dengan membrane
biologis, memiliki tekanan uap yang rendah, toksisitas
yang rendah.
Pengaruh Nilai KP dalam ADME
ABSORBSI
Semakin besar nilai kp = semakin lipofilik = semakin mudah
terabsorbsi
Semakin kecil nilai kp = semakin hidrofilik = semakin sulit diabsorbsi
(Soekardjo, 2008).
DISTRIBUSI
Semakin besar nilai kp = semakin lama waktu yang diperlukan untuk
mencapai kesetimbangan distribusi.
(Wirasuta dan Rasmaya,2006).
METABOLISME
Semakin besar nilai kp = semakin lama dimetabolisme
Semakin kecil nilai kp = semakin cepat dimetabolisme
(Gandjar dan Rahman,2007)
EKSKRESI
Semakin besar nilai kp = obat maka semakin sulit diekskresikan
Semakin kecil nilai kp = obat maka semakin mudah diekskresikan
(Soekardjo,2008)
ASPIRIN PARACETAMOL
Absorbsi Absorbsi
Tidak akan terionisasi dalam lambung, melainkan Oral : parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna
masih dalam bentuk utuhnya. Diikarenakan nilai log pada saluran cerna. Absorbsi terjadi secara pasif di
P asam salisilat sebesar 1,19 menyebabkan usus kecil. Penyerapan di usus kecil umumnya
aspirin mudah untuk menembus membran lebih cepat dibandingkan dengan di lambung.
lambung. Secara umum parasetamol diabsorbsi secara
Penyerapan aspirin tergantung pada bentuk lambat karena tingkat kelarutannya yang lambat
sediaan, ada tidaknya makanan, pH lambung dan (Rainsford, 2004).
faktor fisiologi lainnya. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam
waktu setengah jam dan masa paruh plasma
antara 1-3 jam (Katzung, 2004).

Distribusi Distribusi
Aspirin secara luas didistribusikan keseluruh Distribusi parasetamol tergolong cepat karena
jaringan ( SSP, ASI, Jaringan janin. 50% hingga parasetamol memiliki half-life yang singkat akibat
90% dari salisilat konsentrasi terapeutik normal tingkat absorbsi dari parasetamol yang lambat.
(metabolit utama dari label asam asetilsalisilat) Beberapa tempat distribusi parasetamol seperti
mengikat protein plasma, terutama albumin. Asam otak umumnya lebih lambat daripada di tempat lain
asetilsalisilat memiliki kemampuan untuk mengikat karena kelarutan parasetamol dalam lipid yang
dan mengasetilasi banyak protein, hormon, DNA, terbatas (Rainsford, 2004).
trombosit, dan hemoglobin.
(Rainsford, 2004)
Perbandingan ADME Aspirin dan
Paracetamol dengan acuan Kp
Aspirin Paracetamol
(Kp = 1,19) (Kp = 0,46)
Absorbsi Relatif Lebih Lebih Lambat
Cepat
Distribusi(dalam Lebih lambat Lebih cepat
mencapai
kesetimbangan
distribusi)
ASPIRIN PARACETAMOL
Metabolisme Metabolisme
Fase 1: menjadi asam salisilat, lalu didistribusikan menuju Terdapat 2 jalur metabolisme : oleh enzim sitokrom P450. Pada
reseptor siklo-oksigenase, sehingga menimbulkan efek. dosis terapi, NAPQI dikonjugasi oleh glutathione menjadi senyawa
Fase 2: mengubah metabolit reaksi pada fase satu yang inaktif (Malar dan Bai, 2012; Nambiar, 2012).
Non oksidatif : Terdiri atas dua jalur yaitu glukoordinasi dan sulfasi.
menjadi lebih polar sehingga mudah dieksresikan, asam
dan mekanisme oksidatif. Sebagian besar pada glukoordinasi dan
salisilat bertemu dengan glisin menjadi asam salisilurat sulfasi.
lalu bertemu glukoronat menjadi glukoronida yang Oksidatif : Obat dikonversi menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine
sifatnya lebih polar N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI, bersifat hepatotoksik)

Ekskresi Ekskresi
Setelah berubah menjadi polar terjadi perubahan 90% dari senyawa parasetamol dimetabolisme di hati
koefisien partisi menjadi lebih rendah sehingga mudah dengan cara dikonjugasikan dengan asam glukoronik (50-
diekskresikan melalui ginjal. Ekskresi salisilat yang tidak 60%), asam belerang (25-35%) dan sistein (sekitar 3%)
berubah menyumbang 10% dari total eliminasi salisilat. untuk membuat metabolit yang inaktif secara farmakologi
Ekskresi salisilat merupakan hasil dari filtrasi glomerulus, dan menjadi lebih polar sehingga dapat dieliminasi melalui
sekresi tubular proksimal aktif melalui transporter asam urin. NAPQI hasil metabolisme secara cepat diubat oleh
organik dan reabsorpsi tubular pasif. Ekskresi urin sangat gluthathione (golongan sulfihidril) menjadi senyawa inaktif
tergantung pada pH Metabolit salisilat juga diekskresikan untuk kemudian diekskresikan dalam bentuk asam
dalam urin (Rainsford, 2004). merkapturik (Bebenista & Nowak, 2014).
Metabolit Aktif Aspirin(hasil fase 1) Metabolit inaktif Aspirin (hasil konjugasi
dengan glukoronat) menjadi lebih polar

ASAM SALISILAT DAN ASAM ASETILSALISILAT


ASETAMINOFEN
SULFAT

Hasil Sulfasi fase 2 metabolism (menjadi lebih polar)


Perbandingan ADME Aspirin dan
Paracetamol dengan acuan Kp
Aspirin Paracetamol
(Kp = 1,19) (Kp = 0,46)
Metabolisme Melewati fase Langsung ke
1 fase 2
Eliminasi - -
*Tidak ada perbedaan kecepatan yang
“berarti”/signifikan pada proses eliminasi antara
aspirin dan paracetamol
Aspirin mempunyai nilai koefisien partisi yang lebih
besar dari paracetamol, yaitu 1.19 sedangkan
paracetamol 0.46. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan
bahwa aspirin lebih mudah di absorpsi, memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mencapai kesetimbangan
distribusi, dan tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam hal metabolism dan ekskresi

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Comer, J. dan Tam, K. 2001. Lipophilicity Profiles: Theory and Measurement. Pharmacokinetic Optimization
in Drug Research: Biological, Physochemical, and Computational Strategies. (secondary). Weinheim:
Wiley-VCH.
Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Eikelboom, J. W., J. Hirsh , F. A. Spencer, T. P. Baglin, and J. I. Weitz.2012 Antiplatelet drugs: Antithrombotic
Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines. Chest.
Katzung, Bertram. G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Miladiyah, Isnatin. 2012. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan Aspirin sebagai
Antireumatik. TDM Aspirin. 4(2) : 211-212.
Munaf, 2008. S. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
NCBI,2019. National Center for Biotechnology Information. PubChem Database. Acetaminophen,CID=1983,
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Acetaminophen (accessed on Oct.24, 2019)
Oxtoby, D.W. 2001.Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.
Rainsford, K. D. 2004. Aspirin and Related Drugs. Canada : CRC Press.
Rithschel, W.A. 1976. Handbook of Pharmocokinetics Edisi Kesatu. Hamilton : Drug Intelligence Publications
Tahir, I. 2001. Komparasi Nilai Koefisien Partisi Teoritik Berbagai Senyawa Obat Dengan Metode Hanch-Leo,
Metoda Rekker dan Penggunaan Program ClogP. Bandung: Makalah Seminar Nasional POKJANAS
Tanaman Obat Indonesia.
Terima
Kasih
LIST
PERTANYAAN
1. Mengapa menggunakan n-Oktanol sebagai pelarut fase organic?

Karena N-Oktanol dalam banyak hal menyerupai membrane biologis (Gandjar,


et.al,2007)

2. Koefisien partisi didalam tubuh nyata atau semu?


Koefisien partisi sejati dapat digunakan ketika suatu molekul zat tidak
terionisasi dan tidak terdisosiasi. Hal ini dipengaruhi oleh pH larutan. Namun, jika
senyawa mengalami asosiasi maupun disosiasi, atau ketika senyawa tidak dapat
memenuhi syarat koefisien partisi sejatati, digunakan persamaan koefisien partisi
nyata.(Martin et al, 1990).
Karena obat didalam tubuh pasti mengalami ionisasi maka koefisien partisi
yang terjadi didalam tubuh adalah koefisien partisis semu.
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN

Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman, 2007,Kimia Farmasi Anaisis: Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Martin, A., James S., Arthur C. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta : UI Press.
KERJA ASPIRIN DALAM ADME
ABSORPSI METABOLISME
• Aspirin dalam bentuk tidak terionisasi-nya cukup • Pada fase I aspirin dimetabolisme dalam hati
larut dalam lemak dengan nilai log P (logaritma menjadi bentuk aktifnya yaitu asam salisilat oleh
koefisien partisi dari bentuk tidak terionisasi enzim esterase.
antara oktanol dan air) adalah 1,19. Sedangkan
• Pada fase 2 reaksi ini mengubah fase 1 menjadi
asam salisilat jauh lebih larut dalam lemak
lebih polar supaya dapat diekskresikan. Asam
dengan nilai log P dari 2,26 (Rainsford, 2004).
salisilat kemudian berikatan dengan glycine
• Aspirin sediaan tablet dapat diserap dengan menjadi salicyluric acid. Lalu berikatan dengan
cepat di lambung dan duodenum. Bioavabilitas glukoronat menjadi glukoronida yang sifatnya
aspirin adalah 50-75% (Eikelboom et al., 2012). lebih polar.
DISTRIBUSI ELIMINASI
• Makin besar nilai kp makin panjang waktu yang • Obat atau metabolit polar diekskresikan lebih
diperlukan untuk mencapai kesetimbangan. cepat daripada obat larut lemak.
Molekul-molekul obat yang tidak terionisasi tidak
• Zat-zat lipofil dan zat tidak terionisasi lebih
mudah melewati membrane. Aspirin terionisasi
lambat diekskresikan sehingga adanya
99% pada plasma sehingga salisilat masuk ke
penambahan gugur polar.
cairan serebro spinalis sangat lambat (Munaf,
2008). (Raisford, 2004).
Kerja Paracetamol dalam ADME
Absorbsi
Diabsorbsi dari lambung – usus, namun efektif di usus halus karena pH yang lebih
sesuai.
Distribusi
Terdistribusi ke seluruh tubuh kecuali lemak
Metabolisme
Dimetabolisme dihati dalam tiga jalur : Konjugasi dengan asam glukoronat dan asam
sulfat, juga oksidasi lewat sitrokrom p450.
Ekskresi
90-98 % dosis paracetamol dieksresikan lewat urine kurang lebih 24 jam setelah
administrasi (5% dalam bentuk non-konjugat paracetamol)
(NCBI,2019)
Farmakodinamik Aspirin
1. Efek Anti-inflamasi 3. Efek Antipiretik
Aspirin menghambat enzim COX Aspirin menghambat enzim COX → sintesis asam
→ sintesis asam arakidonat arakidonat terhambat → sintesis prostaglandin
terhambat → penurunan sintesis E2 terhambat → penurunan prostaglandin E2
prostaglandin → efek yang berperan terhadap peningkatan set point
antiinflamasi pengaturan suhu di hipotalamaus → efek
antipiretik
2. Efek Analgesik
Aspirin menghambat enzim COX 4. Efek Antiplatelet
→ sintesis asam arakidonat Aspirin secara irreversibel menghambat sintesis
terhambat → sintesis platelet melalui asetilasi enzim COX dalam
prostaglandin E2 terhambat → trombosit → platelet tidak dapat membentuk
penurunan sensitisasi akhiran enzim COX →sintesis tromboksan A2 terhambat
saraf terhadap mediator non → efek antiplatelet aspirin bertahan selama 8-10
inflamasi → efek analgesik hari (sesuai dengan masa hidup trombosit).

(Khatzung, 2007).
Farmakodinamik Paracetamol
Paracetamol adalah turunan p-aminophenol yang
menunjukkan aktivitas analgesik dan antipiretik.
Paracetamol tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi.
Parasetamol diduga menghasilkan analgesia melalui
penghambatan sintesis prostaglandin (TGA, 2005).
Dari sudut pandang farmakodinamik, parasetamol
sering digunakan dalam kombinasi dengan opiat atau
NSAID, untuk meningkatkan aktivitas analgesik
(Bannwarth dan Péhourcq, 2003).
PROFIL OBAT Paracetamol (C8H9NO2)
Aspirin (C9H8O4) Pemerian = Serbuk hablur berwarna
putih, rasa sedikit pahit, tidak berbau
Pemerian = Hablur tidak
Kelarutan = Larut dalam 70 bagian
berwarna/serbuk hablur putih ; tidak
air, dalam 7 bagian etanol (95%) P,
berbau ; rasa asam
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
Berat Molekul = 180,16
bagian gliserol P, dan dalam 9 bagian
Kelarutan = Agak sukar larut dalam
Propilenglikol P
air, mudah larut dalam etanol (95%) P
Titik lebur = Antara 168˚C dan 172˚C
Titik Leleh = 156˚C-161˚C (FI III, hlm
pKa/pKb = pKa 9,5 pada 25˚C
42)
Stabilitas = Peningkatan suhu dapat
Stabilitas = Asetosal tidak tahan
mempercepat degradasi obat (FI III,
kelembaban dan pemanasan
hlm 37)
Antiplatelet dan Obat Antiinflamasi
Analgesik dan Antipiretik (Miladiyah,
Nonsteroid (OAINS)
2012).
Massa mol = 180,157 g/mol
Tablet
Pengaruh KP Terhadap ADME
Distribusi
Jika suatu jaringan dapat menampung
atau mengikat lebih banyak obat, dibutuhkan
waktu yanglebih lama untuk mencapai
keseimbangan distribusi.
Jadi jika suatu jaringan dapat mengikat obat
lebih banyak maka butuh waktu yang lebih
lama. Semakin besar nilai kp =semakin lipofilik=
makin bias diserap oleh jaringan=makin lama
waktu terserapnya
Pengaruh KP Terhadap ADME
Lanjutan distribusi
Obat yang bersifat hidrofobik dengan kp tinggi
akan didistribusikan ke kompartemen lipofilik
seperti lipid bilayer pada sel.
Obat yang hidrofilik dengan kp rendah akan
ditemukan dalam kompartemen hidrofilik seperti
serum darah.
Ekskresi
Obat lipofil dibuat menjadi lebih polar dalam
metabolism agar lebih mudah di ekskresikan.
Pengaruh KP Terhadap ADME
Absorbsi
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh
keofisien partisi. Hal ini disebabkan oleh komponen
dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida.
Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam
lipida akan dengan mudah melaluinya.Sebaliknya obat-
obat yang sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi.
Obat-obat yanglarut dalam lipida tersebut dengan
sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air
yang besar, sebaliknya obat-
obat yang sukar larut dalam lipid akan memiliki koefisien
partisiyang sangat kecil
Pengaruh KP Terhadap ADME
Metabolisme
Hal ini disebabkan dalam proses metabolism obat
didalam tubuh tedapat 2 fase yaitu fase 1 dan fase 2.
obat yang hidrofil hanya melewati fase 2 sehingga
lebih cepat sedangkan obat lipofil harus melewati 2
fase .
Metabolisme fase 1 membuat senyawa menjadi lebih
polar.
Fase 2 membuat senyawa obat yang masih aktif
menjadi tidak aktif.
Pengaruh KP Terhadap
Farmakodinamik dan Toksisitas
FARMAKODINAMIK TOKSISITAS
Nilai kp menentukan  Obat yang memiliki nilai kp
potensi obat karena untuk yang lebih besar
dapat masuk kedalam cenderung lebih toksik
organ dan mencapai karena bersifat lipofilik dan
reseptor dibutuhkan membuat ikatan dengan
konsentrasi yang cukup , reseptor lebih lama,
mampu melewati daerah
distribusi dalam tubuh
lipofilik dan hidrofilik
(Reksohadiprodjo,1985) lebih luas, dan lebih sulit
di metabolisme
Nilai kp juga menentukan (Pliska,et.al,1996)
durasi kerja obat
(Cairns,2004)
Kondisi normal reseptor COX
Aspirin terdiri dari
gugus asetil yang
menempel pada asam
salisilat. Ketika
berikatan pada
reseptornya (COX),
gugus asetil pada
aspirin akan terhubung
dengan asam amino
serin pada COX
sehingga
(National Science Foundation, 2018)
menginaktivasi enzim
COX
Pengaruh Koefisien Partisi Aspirin
Terhadap Aktivitas dan Toksisitas
Setelah pemberian oral, aspirin Aspirin dan salisilat dapat menyebabkan efek

melewati membran plasma dalam samping yang serius. Efeknya yaitu toksisitas

bentuk terionisasi cepat deasetilasi lambung usus (gastrointestinal) berkaitan

meninggalkan salisilat untuk dengan kemampuan obat ini untuk

mengerahkan efek pada sel berinteraksi dengan membran. Salisilat dapat

permukaan dan epitel. menurunkan hidrofobik dari lapisan membran


yang menutupi lambung mukosa,
Secara lokal, aspirin menghambat
menyebabkan membran menjadi lebih mudah
cyclooxygenase, mungkin
dibasahi. Karena salisilat efektif pada
mengurangi permukaan hidrofobik
penurunan kekakuan lentur membran, itu
dan lendir dan sekresi bikarbonat.
cenderung mengganggu struktural dari
(Lanza F. 1984. ) fosfolipid lapisan di saluran GI (Yong Zhouy
and Robert M. 2005)
Koefisien Partisi Sejati
Jika senyawa berupa asam atau basa, fase air harus menggunakan buffer kuat
agar pH selalu terjaga tetap. Larutan dapar harus memiliki pH paling sedikit 3 unit
dari pKa senyawa yang tidak terionkan. Maka, 99,9% molekul yang tidak terion
dalam fase air, sehingga di dapat nilai koefisien partisi sejati (IPC/True Partition
Coefficient) dalam persamaan sebagai berikut :

𝐻𝐴 𝑜 𝐶𝑜
IPC = =
𝐻𝐴 𝑤 𝐶𝑤

Keterangan :
[HA]o = Co yaitu kadar molar zat di fase minyak
[HA]w = Cw yaitu kadar molar zat yang tidak terionkan di air
Untuk senyawa berupa asam atau basa, yang tidak terionkan dalam fase air. Secara
khusus, pengukuran koefisien partisi asam karboksilat dilakukan dengan HCl 0.1 N
sebagai fase air, untuk turunan amina digunakan NaOH 0.1 N.
Syarat :
(1) Antara kedua pelarut benar-benar tidak
bercampur satu sama lain
(2) Bahan obatnya tidak mengalami asosiasi
atau disosiasi
(3) Kadar obatnya relatif kecil
(4) kelarutan solut dalam masing-masing
pelarut kecil.
Koefisien Partisi Nyata
Suatu senyawa harus stabil pada suasana yang dipilih. Penentuan
nilai koefisien partisi senyawa yang bereaksi dengan air membentuk
ion dengan persamaan sebagai berikut :
APC = 𝐻𝐴 𝑜
Keterangan : 𝐻𝐴 𝑤 + 𝐴 − 𝑤
APC (Apparent Partition Coefficient) adalah koefisien partisi semu
(nyata)
[A-]w : Kadar molar zat yang terionisasi di air yang dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch, sebagai
berikut :
Persen terionisasi =
(Lindawati, et.al., 2006).
Kadar molar zat yang terionisasi dalam air (A-)w
pada persamaan Ka, disubstitusikan ke dalam
persamaan APC, sehingga diperoleh :
Bagaimana koefisien partisi sejati
atau nyata yang digunakan?
Koefisien partisi sejati dapat digunakan ketika suatu
molekul zat tidak terionisasi dan tidak terdisosiasi. Hal ini
dipengaruhi oleh pH larutan. Namun, jika senyawa
mengalami asosiasi maupun disosiasi, atau ketika
senyawa tidak dapat memenuhi syarat koefisien partisi
sejatati, digunakan persamaan koefisien partisi nyata.

(Martin et al, 1990)


Bagaimana koefisien partisi sejati
atau nyata yang digunakan?
Terdapat pengaruh disosiasi ionic dan asosiasi molecular pada partisi.
Koefisien partisi umumnya digunakan untuk konsentrasi zat yang
umum pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari
zat terlarut. Jika suatu zat tidak berdisosiasi dan tidak terdisosiasi
dapat digunakan persamaan koefisien partisi (K):

C1 & C2 merupakan konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut 1


dan pelarut 2.
Koefisien partisi sejati dapat digunakan ketika suatu molekul zat tidak
terionisasi dan tidak terdisosiasi. Hal ini dipengaruhi oleh pH larutan.
Namun, jika senyawa mengalami asosiasi maupun disosiasi
digunakan persamaan koefisien distribusi nyata.
(Martin et.al., 1990).
BACKUP FARMAKODINAMIK
PCT
Parasetamol merupakan sintesis dari derivat
para aminofenol non-opiat yang ditujukan
untuk penggunaan analgesik dan antipiretik.
Mekanisme kerja dari Parasetamol ini mirip
dengan salisilat. Pada dosis lazim, daya
analgesik dan antipiretik Parasetamol mirip
dengan aspirin. Efek analgesik dari
Parasetamol diperkuat oleh kodein dan kofein
dengan kira-kira 50%.
BACKUP FARMAKODINAMIK
PCT
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu
Parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,
demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan
asam basa.

(Mahar Mardjono ,1971).


BACKUP FARMAKODINAMIK
PCT
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari
pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat
antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung
prostaglandin.
(Aris, 2009).
BACKUP FARMAKODINAMIK
PCT
Berbeda dengan golongan obat salisilat,
asetaminofen tidak mengganggu sekresi tubulus
asam urat dan tidak mempengaruhi keseimbangan
asam-basa jika diminum pada dosis yang disarankan.
Asetaminofen tidak mengganggu hemostasis dan
tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap
agregasi trombosit.
Reaksi alergi adalah kejadian yang jarang terjadi
setelah penggunaan asetaminofen.

(Drugbank, 2019).
BACKUP FARMAKODINAMIK
PCT
Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs
Kombinasi NSAID-parasetamol tradisional lebih
efektif melawan rasa sakit daripada parasetamol
saja, terlepas dari rute melalui mana yang terakhir
diberikan.
penelitian yang paling kuat telah menunjukkan
bahwa, pada dosis optimal, parasetamol
meningkatkan aktivitas analgesik NSAID pada nyeri
akut dan pasca operasi. Namun, belum jelas apakah
kesimpulan yang sama berlaku untuk NSAID inhibitor
siklo-oksigenase-2 selektif.
BACKUP FARMAKODINAMIK PCT

Antivitamin K
pada dosis terapi, parasetamol tidak menyebabkan
perubahan signifikan secara klinis pada INR pada
kebanyakan pasien yang diobati dengan antivitamin K.
Namun, faktor konstitusional atau lingkungan kadang-
kadang dapat menyebabkan interaksi yang signifikan
antara kedua obat.
Karena alasan ini, disarankan agar INR diperiksa selama
seminggu setelah inisiasi atau penghentian pengobatan
parasetamol.

(Bannwarth dan Péhourcq, 2003).


BACKUP FARMAKODINAMIK PCT

Overdosis paracetamol akan mengakibatkan


terjadinya nekrosis sel hepar daerah sentrolobuler
yang dapat menyebabkan gagal hepar akut. Ketika
terjadi overdosis, kadar glutathion-SH (GSH) dalam
sel hati menjadi sangat berkurang yang berakibat
kerentanan sel - sel hati terhadap cedera oleh
oksidan dan juga memungkinkan N-asetil-p-
benzokuinon (NAPQI) berikatan secara kovalen
pada makromolekul sel yang menyebabkan
disfungsi berbagai sistem enzim
(Goodman & Gilman, 2008).
DAFTAR PUSTAKA (BACKUP)
TGA, 2005. Paracetamol Product Information. Available at
https://www.tga.gov.au/sites/default/files/otc-template-pi-
paracetamol.rtf
Bannwarth, B dan Péhourcq, F. 2003. Pharmacological
Rationale for the Clinical Use of Paracetamol:
Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Issues. Drugs. 63
Special Issue 2: 1-9.
Drugbank, 2019. Acetaminophen. Available at
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00316
Goodman, L.S. and Gilman, A. 2008. Dasar Farmakologi Terapi.
Hardman KG, Limbird LE, Aisyah C. (eds). Edisi X. Jakarta:
EGC, pp: 682-684.
DAFTAR PUSTAKA (BACKUP)
National Science Foundation. 2019. molecule of the Month: Cyclooxygenase.
Diakses secara online di https://pdb101.rscb.org/motm/17 [Diakses pada 29
Oktober 2019]
Lanza F. 1984. Endoscopic studies of gastric and duodenal injury after the use of
ibuprofen. aspirin. and other non-steroidal antiinflammatory agents. Am J
Med. 77(Suppl lA):l9- 24.
Yong Zhouy and Robert M. 2005. Raphaelz. Effect of Salicylate on the Elasticity,
Bending Stiffness, and Strength of SOPC Membranes . Biophysical Journal.
89. 1789– 1801
Lindawati, et.al. 2006. Penetapan Nilai Parameter Lipofilisitas (Log P, Jumlah
Tetapan ∏ Hansch dan Tetapan F Rekker) Asam Pipemidat. Jurnal Ilmiah
Sains dan Teknologi. 1(2): 93-100.
Martin, A., James S., Arthur C. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta : UI Press.

Anda mungkin juga menyukai