Anda di halaman 1dari 17

Budaya Pandalungan

Jember
Identitas Pendalungan
• Pendalungan adalah istilah untuk menyebut
kebudayaan hasil asimilasi antara
budaya Jawa dan Madura. Asimilasi ini
membentuk suatu komunitas yang tersebar
di pesisir Pantai Utara Jawa
Timur (sebagian Tuban, Lamongan,
Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, hingga
Situbondo) dan sebagian Pesisir Selatan
Jawa Timur bagian timur (Lumajang, Jember,
dan sebagian Banyuwangi).
Identitas Pendalungan
• Komunitas Pandalungan terbesar tinggal
di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur,
meliputi Kabupaten dan Kota
Pasuruan, Kabupaten dan Kota
Probolinggo, Kabupaten
Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten
Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo,
serta sebagian utara dan
selatan Kabupaten Banyuwangi.
Mata pencaharian
• Matapencaharian masyarakat yang didiami oleh komunitas
Pandalungan ini sebagian besar bertani, buruh tani, berkebun, dan
nelayan. Pengaruh terbesar komunitas Pandalungan adalah
budaya Madura dan Islam, dengan bahasa sehari-hari
menggunakan campuran antara Bahasa Jawa dialek
Suroboyoan dengan Bahasa Madura, bahkan di sebelah
timur Kota Probolinggo hingga kecamatan Wongsorejo, paling
utara Banyuwangi, hampir semua penduduk lokalnya hanya bisa
berbahasa Madura dan sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa.
Kesenian yang tumbuh dan berkembang di wilayah ini bercorak
Pandalungan dengan karakter dasar nilai Islam yang sangat kuat
dalam berbagai corak kesenian rakyatnya.
Sejarah
• Konsep sebutan "Pendhalungan" mirip dengan konsep melting pot di
Amerika Serikat, yaitu percampuran beberapa etnik dalam suatu wilayah.
Pandhalungan berasal dari istilah Jawa ‘dhalung: periuk besar’ yang
bermakna sebuah kawasan besar yang menampung dua atau lebih
kelompok etnik dan melahirkan kebudayaan baru yang diadopsi dari
unsur-unsur budaya pembentuknya.
• Istilah "Pendalungan" ini selalu dikaitkan dengan sosial-budaya penduduk
kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur, yang meliputi wilayah Pasuruan bagian
timur, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan
Banyuwangi, dimana sebagian besar penduduknya merupakan campuran
etnis Jawa dan Madura. Bahkan pengaruh budaya Madura juga sangat
kuat di wilayah ini, khususnya di wilayah pesisir Pasuruan hingga
Probolinggo bagian timur, Situbondo, Bondowoso, sebagian besar
Lumajang, sebagian besar Jember, dan sebagian kecil wilayah
Banyuwangi. Kecuali Banyuwangi, yang memiliki kebudayaan sendiri, yaitu
etnis Osing. Juga pegunungan Tengger yang memiliki suku Tengger.
Dialek Bahasa
• Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
dialek Surabaya dan bahasa Madura. Bahasa
Madura sendiri merupakan bahasa mayoritas di
sebagian besar wilayah, khususnya wilayah pesisir
utara dari kota Probolinggo sepanjang Jalan Raya
Probolinggo-Situbondo hingga daerah sebelah utara
pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Kebanyakan
kosakatanya adalah kombinasi (campuran) bahasa
Surabayaan dengan bahasa Madura.
• Sedangkan wilayah pegunungan Tengger (Bromo-
Semeru) memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa
Tengger. Juga Banyuwangi, memiliki bahasa sendiri
pula, yaitu bahasa Osing.
Dialek Bahasa
• Beberapa kosakata yang digunakan cukup unik, karena hanya ditemukan
di daerah Tapal Kuda saja dan tidak bisa ditemukan di daerah lain.
Contoh kosakata khas Pendalungan sebagai berikut: (huruf ě dibaca
seperti pada kata "emas")
• ěběh, ungkapan heran (loh atau hah dalam bahasa Jawa baku atau
Indonesia),
– Contoh kalimat: "ěběh, kok iso?"="lo, kok bisa?"
• cek e/cekno, artinya "biarkan".
• cik, maknanya adalah "sangat" atau "betapa".
– Contoh kalimat: "cik gětune aku!!"="betapa menyesalnya aku!".
• godir (baca="goder") artinya "agar-agar" atau "jeli".
• guděr (atau "guyon" dalam bahasa Jawa baku) artinya "bercanda".
• tamběng, artinya, "nakal" atau "keras kepala".
• mělěr, artinya sama seperti "tamběng".
• ndak/gak ("ora" dalam bahasa Jawa baku) artinya "tidak".
• iděp, artinya "bulu mata", tapi kata "ndak iděp" bermakna "tidak paham".
• oměs, artinya "telaten", "sabar", atau "ulet" atau "peduli", tergantung
pada penggunaan;
– contoh kalimat: "pancen ndak oměs arek iki!"="memang tidak sabar anak ini!"
Foto-foto
• Berikut adalah foto-foto kegiatan Budaya Pendalungan
yang ada di Kabupaten Jember
Kesenian bernafaskan Islam, dengan
iringan dasar seperangkat alat musik
rebana/terbang, ini
masih cukup mudah ditemukan di seluruh
wilayah Tapal Kuda terutama di pondok-
pondok pesantren

Seni Barongsai dan Leang Leong, kesenian khas


masyarakat Tionghoa. Namun demikian para
pemainnya terdiri atas berbagai etnis.
Seni Janger Setyo Kridho Budoyo, Srono,
Banyuwangi. Pementasan di Jember, Januari
2017. Kesenian ini adalah produk khas
masyarakat Pendalungan Banyuwangi.

Seni Janger, sering mementaskan lakon Minak


Jinggo. Kesenian ini di Banyuwangi jumlahnya
mencapai lebih dari 100 grup,
Seni Jaranan, digemari masyarakat Jember
terutama di bagian selatan. Dari tahun ke tahun
jumlah kelompok kesenian ini cenderung
mengingkat. Dalam pementasannya sangat
diwarnai oleh musik campursari.

Seni Jaranan, para penonton muda sering


mengalami intrance
(kesurupan) secara massal. Para pawang
segera menyadarkan mereka yang kesurupan
Seni Ludruk, melibatkan banyak pemain laki-
laki yang berperan sebagai tokoh perempuan.
Tersebar di seluruh wilayah Jember. Selain
bahasa Jawa, bahasa Madura juga digunakan,
tergantung cerita yang diangkat.

Meskupun pada saat ini seni Ludruk masih


mendapat tempat cukup baik di kalangan
masyarakat Jember, namun kondisinya cukup
memprihatinkan. Jika tidak mendapat perhatian
serius, kesenian ini terancam punah.
Musik Patrol, salah satu produk kesenian khas
masyarakat Pendalungan. Kesenian ini terus
berkembang; kini selain dilengkapi kendang
(Banyuwangen), juga banyak yang
menggunakan elektone.

Musik Patrol, berkeliling kampung/kota di


malam hari pada bulan Ramadhan. Di Jember
terdapat tidak kurang dari 40 kelompok Musik
Patrol.
Opera Pandhalungan, hasil kreasi para seniman
Jember. Bupati Jember, dr. Faida, MMR.,
berperan sebagai Dewi Rengganis. Lakon Dewi
Rengganis diangkat dari cerita rakyat
setempat.

Tari Lahbako, menggambarkan para


perempuan Jember yang sedang memetik dan
mengolah tembakau. Tari ini dirancang sebagai
tari khas Jember, namun hingga kini kurang
mendapat respons positif masyarakat.
Seni Reyog Ponorogo, cukup digemari dan
berkembang dengan baik di Jember bagian
selatan. Kesenian ini memiliki basis massa yang
cukup fanatik, khususnya di kalangan
masyarakat keturunan etnis Jawa. (Foto Dok.
Pribadi)

Seni Reyog Ponorogo, tidak pernah kekurangan


dukungan, khususnya dari generasi muda. Di
beberapa sekolah (SD, SMP, dan SMA) kesenian
ini dijadikan kegiatan ekstra kurikuler dan
dikenalkan pada para pelaja
Wayang Kulit, salah satu kesenian yang paling
berhasil dalam melakukan regenerasi. Tidak
terlalu sulit merekrut bakat-bakat muda.
Beberapa dalang menekuni profesinya sebagai
dalang dan dapat hidup layak dari
berkesenian.

Dua dalang belia Jember yang baru tumbuh,


penuh talenta, dan berprestasi di tingkat
regional/nasional. Aditya Rizki Dwi Darmawan
dan Mohammad Nur Wicaksono.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai