Anda di halaman 1dari 13

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM ATAS

TINDAKAN FAKTUAL PEMERINTAH

OLEH : RIO SANDY PRIBADI, S.H


LATAR BELAKANG
TINDAKAN FAKTUAL TINDAKAN HUKUM

perbuatan pemerintah yang dimaksudkan perbuatan pemerintah yang dimaksudkan


untuk tidak melahirkan akibat hukum untuk melahirkan akibat hukum
perbuatan pemerintah dalam pembangunan Mengeluarkan KTUN, suatu penetapan
jalan, jembatan, dan pembangunan gedung tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
milik pemerintah tindakan pemerintah dalam pejabat tata usaha negara
penegakan hukum berupa paksaan
pemerintah (bestuurdwang) yang bertujuan
untuk mengakhiri keadaan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Sengketa Perbuatan melawan hukum oleh KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa
penguasa diajukan dengan dalil Pasal 1365 tata usaha negara di PTUN(Pasal 1 angka 4
KUHPerdata UUPTUN)
SEBELUM BERLAKUNYA UUAP BERLAKUNYA UUAP

Pasal 1 angka 9 dan 10 UUPTUN (51/2009) memberi kesan Keputusan Tata Usaha Negara menjadi diperluas tidak
bahwa tidak mungkin untuk membawa suatu sengketa hanya penetapan tertulis saja melainkan juga
tindakan faktual ke Peradilan Tata Usaha Negara, karena
mencakup tindakan faktual (UUAP Pasal 87 huruf a)
keputusan yang dimaksud pada ketentuan Undang-Undang SEMA No. 4 tahun 2016 menjabarkan bahwa Peradilan
Peradilan Tata Usaha Negara mensyaratkan memuat Tata Usaha Negara berwenang mengadili perbuatan
perbuatan/tindakan hukum tata usaha negara dan haruslah melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan pemerintahan yang biasa disebut dengan
hukum perdata. onrechtmatige overheidsdaad (OOD), yang objek
gugatan/permohonannya merupakan penetapan
tertulis dan/atau tindakan faktual.
(Pasal 85 UUAP), pengajuan gugatan sengketa
administrasi pemerintahan yang sudah didaftarakan
pada pengadilan umum tetapi belum diperiksa, dengan
berlakunya undang-undang ini dialihkan dan
diselesaikan oleh pengadilan.

Pasal 85 ayat (1) dan Pasal 87 huruf a UUAP, berdasarkan dua pasal tersebut, maka semua sengketa baik sengketa
yang timbulnya karena terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang tertulis ataupun tindakan faktual pemerintah
yang biasanya diadili di Peradilan Umum yang biasa dikenal dengan sebutan perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah berdasarkan pasal tersebut menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Masalah yang timbul akibat beralihnya kewenangan dalam mengadili tindakan faktual

menimbulkan ketidakpastian hukum:


Putusan PN Kota Baru Nomor 18/Pdt.G/2017/PN.KTB yang tidak menerima gugatan
onrechtmatig overheidsdaad dengan alasan tidak berwenang secara absolut,
namun kemudian PT Banjarmasin melalui Putusan Nomor 58/PDT/2018/PT BJM
membatalkan putusan tersebut dan menyatakan kompetensi absolut onrechtmatig
overheidsdaad tersebut masih masuk dalam kewenangan Peradilan Umum
standar amar putusan hakim PTUN yang berkaitan dengan Pasal 97 Undang-
Undang Peratun ayat (8) dan (9), Pasal-pasal tersebut mengenai jenis putusan
PTUN yang hanya dapat diterapkan untuk jenis-jenis perkara yang tuntutan
pokoknya berupa pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara
Besaran Ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada
Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam pokoknya mengatur bahwa ganti rugi
sebagaimana diatur dalam pasal 97 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
tersebut dibatasi sejumlah maksimal Rp. 5.000.000,-
dasar atau dalil apa yang akan digunakan untuk mengajukan gugatan di Peradilan
Tata Usaha Negara dalam hal sengketa tindakan faktual
Rumusan Masalah
1. Upaya perlindungan hukum atas keputusan tertulis yang mencakup tindakan faktual.
2. Pertimbangan hakim dalam penanganan sengketa Tata Usaha Negara atas keputusan tertulis
yang mencakup tindakan faktual.
BAB III
Kewenangan Pengadilan Umum untuk menyelesaikan perkara perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah pada awalnya didasarkan pada asas konkordansi.
SEJAK terbentuknya PTUN melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Surat Edaran
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 1991 sebagai petunjuk teknis, PTUN berwenang mengadili
sengketa perbuatan/tindakan hukum pemerintah yang dituangkan dalam bentuk KTUN,
sedangkan Peradilan Umum hanya berwenang mengadili Sengketa tindakan melawan hukum
oleh pengusa yang biasanya didasarkan atas perbuatan/tindakan faktual pemerintah.
Pergeseran kompetensi absolut dalam penyelesaian perkara tindakan pemerintah terjadi
kembali setelah disahkannya UUAP (30/2014). Berdasarkan undang-undang tersebut,
kewenangan untuk mengadili tindakan faktual yang merupakan kewenangan dari Peradilan
Umum melalui tuntutan perkara PMH dengan dalil Pasal 1365 KUHPerdata bergeser menjadi
kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 menjabarkan bahwa PTUN berwenang
mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan pemerintahan yang biasa disebut dengan
onrechtmatige overheidsdaad (OOD), yang objek gugatan/permohonannya merupakan
penetapan tertulis dan/atau tindakan faktual.
Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin
Nomor 58/PDT/2018/PT BJM
Sejak berlakunya UUAP gugatan terhadap pemerintah yang sengketanya dikarenakan adanya
unsur tindakan faktual masih dapat digugat di Peradilan Umum, hal ini bisa kita lihat dari
beberapa putusan yang sengketanya berasal dari tindakan faktual :
Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 58/PDT/2018/PT BJM berawal dari putusan
Pengadilan Negeri Kota Baru Nomor 18/Pdt.G/2017/PN.KTB yang tidak menerima gugatan
onrechtmatig overheidsdaad dengan alasan tidak berwenang secara absolut, namun kemudian
Pengadilan Tinggi Banjarmasin melalui Putusan Nomor 58/PDT/2018/PT BJM membatalkan
kopetensi putusan tersebut dan menyatakan kompetensi absolut onrechtmatig overheidsdaad
tersebut masih masuk dalam kewenangan Peradilan Umum.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jayapura Nomor : 11/G/2017/PTUN.JPR.
gugatannya diajukan pada tanggal 13 April 2017. Penggugat dalam gugatannya tersebut MENGAJUKAN DUA
TINDAKAN/PERBUATAN PEMERINTAH SEBAGAI OBJEK. Objek gugatan yang pertama yaitu Keputusan Tata
Usaha Negara berupa Surat Perintah Tugas Gubernur Papua Nomor 300/1534/SET tanggal 9 Februari 2017, dan
yang kedua adalah tindakan faktual memasuki toko melakukan penggeledahan dan penyitaan.
Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dalam putusannya Nomor : 11/G/2017/PTUN.JPR, memutus batal Surat
Perintah Tugas Gubernur Papua Nomor 300/1534/SET tanggal 9 Februari 2017 dan menyatakan batal tindakan
faktual melakukan penggeledahan dan penyitaan batal serta mewajibkan ganti kerugian yang diderita sebesar
Rp.5.000.000 (lima juta rupiah).
Dikarenakan tuntutan penggugat sebesar Rp.398.311.000,- (tiga ratus sembilan puluh delapan juta tiga ratus
sebelas ribu rupiah), melebihi jumlah yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991
Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaanya Pada Peradilan Tata Usaha Negara, maka berdasarkan Juklak
Ketua Muda Mahkamah Agung Republik Indonesia Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor
223/Td.TUN/X1993 (Angka V.2), maka tuntutan dapat diajukan ke peradilan umum.
Kewenangan Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa melawan hukum (onrechmatige daad) menurut
sejarahnya didasarkan pada asas konkordansi, yakni mengikuti praktek peradilan di Belanda. Konsep perbuatan
melawan hukum yang digunakan di Belanda maupun di Indonesia sama-sama berakar dari code civil napoleon, di
belanda baik hakim administrasi maupun hakim perdata sama-sama berkompeten menyelesaikan sengketa
onrechmatige daad. Hakim perdata di Belanda merupakan restrechter atau hakim-hakim yang mengadili
sengketa manakala hakim administrasi tidak berwenang mengadili dikarenakan kewenangan hakim
administrasi terbatas.
BAB IV
Sebelumnya gugatan dengan sengketa PMHdiajukan ke Peradilan Umum dengan menggunakan
dasar hukum atau dalil Pasal 1365 KUHPerdata. Beralihnya kewenangan mengadili tindakan
faktual tersebut menjadikan tanda tanya besar mengenai apakah Pasal 1365 KHPerdata dapat
dijadikan dasar hukum dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah di
Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal Pasal 1365 KUHPerdata merupakan ketentuan dalam
hukum Perdata.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa antara sengketa Tata Usaha Negara yang objek
sengketanya tindakan faktual supaya tidak disamakan dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh
Pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), alasannya bahwa isi hukum gugatan terhadap
tindakan/keputusan Tata Usaha Negara yang objek sengketanya tindakan faktual adalah
tentang legalitas (keabsahan) tindakan pemerintah, sedangkan dalam Perbuatan Melawan
Hukum oleh Pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) isu hukumnya adalah kerugian yang
timbul.
standar amar putusan hakim PTUN, hanya dapat diterapkan untuk jenis-jenis perkara yang tuntutan
pokoknya berupa pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, berbeda dengan sengketa
tindakan faktual yang tuntutan pokoknya berupa kompensasi ganti rugi, sedangkan tuntutan ganti
rugi dalam Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukuman tambahan yang nominalnya maksimal
Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), maka sangat tidak mungkin untuk mengajukan tuntutan ganti
rugi yang dasar gugatannya merupakan Pasal 1365 KHPerdata di Peradilan Umum.
Dasar gugatan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor : 11/G/2017/PTUN.JPR.
yaitu UUAP, dimana pasal yang digunakan dalam gugatan tersebut yaitu Pasal 5 UUAP mengenai
dasar penyelenggaraan administrasi, dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa dasar
penyelenggaraan administrasi itu berdasarkan asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan AUPB. Pasal 5 UUAP sebagai dasar gugatan tindakan faktual sejalan dengan standar
amar putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang jenis tuntutan pokoknya berupa
pembatalan suatu keputusan tata usaha negara.
Pasal 5 UUAP sebagai dasar gugatan tindakan faktual dikatakan merujuk pada jenis tuntutan yang
pokok tuntutannya berupa pembatalan suatu keputusan tata usaha negara dikarenakan asas-asas
yang terkandung di dalam Pasal 5 yaitu asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia,
dan AUPB mengidentifikasikan sah tidaknya suatu keputusan/tindakan administrasi
KTUN Berupa Surat Perintah Tugas Gubernur Papua No. 300/1534/SET bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi yaitu P. Presiden Nomor 74/2013 tentang pengendalian dan
pengawasan muniman beralkohol, sehingga berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Gubernur Papua telah menerbitkan Keputusan yang cacat yuridis.
Surat Perintah Tugas Gubernur Papua No. 300/1534/SET dinyatakan batal,
Tindakan faktual penyitaan barang dinyatakan batal.
Kesimpulan
1. pasca berlakunya UUAP membuat Peradilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili sengketa
gugatan tindakan faktual, namun tidak berarti membuat Peradilan Umum tidak mempunyai
kewenangan lagi untuk mengadili sengketa tindakan faktual, hal ini bisa dilihat dari beberapa
putusan pengadilan yang sengketanya berasal dari tindakan faktual, beberapa putusan tersebut
yaitu, Putusan Nomor 58/PDT/2018/PT BJM, dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura
Nomor : 11/G/2017/PTUN.JPR.

2. Dasar gugatan tindakan faktual yang digugat di Peradilan Tata Usaha Negara tidak menggunakan
Pasal 1365 KHPerdata sebagaimana biasanya tindakan faktual tersebut di gugat di Peradilan
Umum. Pasal yang digunakan dalam gugatan tersebut yaitu Pasal 5 UUAP mengenai dasar
penyelenggaraan administrasi, Pasal tersebut sejalan dengan standar amar putusan hakim
Peradilan Tata Usaha Negara yang jenis tuntutan pokoknya berupa pembatalan suatu keputusan
tata usaha negara. Penggunaan UUAP sebagai dasar gugatan ini dapat dilihat pada Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor: 11/G/2017/PTUN.JPR
saran
1. Perlu adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara untuk keselarasan
antara Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, dengan adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
diharapkan adanya pengaturan lebih jelas mengenai sengketa yang timbul dari tindakan
faktual baik secara tuntutan mengenai keabsahan maupun ganti rugi sebagai kompetensi
absolut Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Tindakan faktual meskipun bukan bagian langsung dari skema instrumen hukum
pemerintahan, namun tindakan faktual bagian inheren dari implementasi wewenang hukum
publik, maka Perlu adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memberikan rasa keadilan bagi warga masyarakat, sehingga membuat Peradilan Tata Usaha
Negara menjadi peradilan yang menangani seluruh sengketa administrasi termasuk sengketa
yang timbul dari tindakan faktual.

Anda mungkin juga menyukai