Anda di halaman 1dari 19

KERAJAAN

BULELENG
Keisha Diandra Ratna P. (X MIPA 1/13)
Muhammad Pandu Royyan (X MIPA 1/21)
Kerajaan Buleleng
LETAK GEOGRAFIS
Kerajaan Buleleng berada di Buleleng, Bali utara. Berlokasi di pesisir Buleleng
yang menyebabkan padatnya kapal komersial dari Sumatera dan Jawa. Ciri
khas wilayah Buleleng terbagi menjadi dua, yaitu dataran rendah di utara dan
dataran tinggi di selatan. Penyatuan pantai dan gunung ini menyebabkan
penduduk Buleleng selalu menjunjung slogan 'nyegara gunung'. Konsep nyegara
gunung berarti semua karunia alam baik dari laut maupun gunung harus
disyukuri dan selalu dijaga kesuciannya.
KEHIDUPAN POLITIK
Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa.
Berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa
merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal
menklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan
tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke
Bali dan mendirikan pemeerintahan baru.
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh
Udayana Warmadewa. Udayana memiliki 3 putra yaitu, Airlangga,
Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Yang nantinya Airlangga
akan menjadi raja terbesar di Medang Kemulan, Jawa Timur.
Menurut prasasti yang terdapat di pura Batu Madeg, Raja Udayan
menjlain hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur.
Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama
Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. Raja
Udayana digantikan oleh putranya Marakatapangkaja.
KEHIDUPAN POLITIK
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai
sumber kebenaran hukum karena selalu melindungi rakyatnya.
Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan
untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja adalah
kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan
Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya yaitu Anak Wungsu.
Anak Wungsu merupakan Raja terbesar dari Dinasti Warmadewa.
Ia berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi
berbagai gangguan dari dalam maupun luar kerajaan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh
badan penasehat pusat yang disebut pakirankiran I jro
makabehan. Badan ini berkewajiban memberikan tafsirandan
nasihat kepada raja atas berbagai permasalahan yang muncul.
Daftar raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Buleleng:
Wangsa Panji Sakti (1660-?)

Gusti Panji Gede Danudarastra 1660-1697/99 Gusti Anglurah Panji


Anak dari Gusti Anglurah Panji Sakti Sakti
1697/99-
1732
Gusti Alit Panji
Gusti Made Singaraja
Anak dari Gusti Panji 1732-1757/65
Gede Danudarastra Keponakan dari
Gusti Made Jelantik
1757/65-
1757/65

Gusti Ngurah Panji 1757/65-1780


Anak dari Gusti Alit Panji
Gusti Ngurah Jelantik
Anak dari Gusti Ngurah 1793-?
Panji
Wangsa Karangasem (?-1849)

Anak Agung Rai


Anak dari Gusti Gede
Gusti Gede Karang ?-1806 Ngurah Karangasem
Saudara dari Anak Agung Rai

1806-1818
Gusti Gede
Ngurah Pahang
Anak dari Gusti
1818-1822
Gede Karang

1822-1825

Gusti Made Oka Sori 1825-1849


Anak dari Gusti Gede Karang

Gusti Ngurah Made


Karangasem
Keponakan dari Gusti
Gede Karang
Wangsa Panji Sakti (1849-Sekarang)
Gusti Made Rahi
1849-1853 Keturunan dari Gusti
Ngurah Panji

Gusti Ketut Jelantik


Anak Agung Putu 1853-1872 Keturunan dari Gusti
Jelantik Ngurah Jelantik
Keturunan dari 1929-1944
Gusti Ngurah
Jelantik Anak Agung Nyoman Panji Tisna
Anak dari Anak Agung Putu
Jelantik; Periode Kedua
1944-1947
Anak Agung Ngurah Brawida

Anak Agung 1947-1950 Cucu dari Anak Agung


Nyoman Panji Tisna Nyoman Panji Tisna

Anak dari Anak Agung Putu


Jelantik; Periode Pertama Anak Agung Ngurah
Ketut Jelantik 1950-1978
Saudara dari Anak Agung
Nyoman Panji Tisna
2004-sekarang
Pada tahun 1846 Buleleng diserang
pasukan Belanda, tetapi mendapat
perlawanan sengit pihak rakyat
Buleleng yang dipimpin oleh Patih /
Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik.
Pada tahun 1848 Buleleng kembali
mendapat serangan pasukan angkatan
laut Belanda di Benteng Jagaraga.
Pada serangan ketiga,
tahun 1849 Belanda dapat
menghancurkan benteng Jagaraga dan
akhirnya Buleleng dapat dikalahkan
Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai
oleh pemerintah kolonial Belanda.
KEHIDUPAN EKONOMI
Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor
pertanian. Keterangan kehidupan masyarakat Buleleng dapat dipelajari
dari prasasti Bulian. Dalam prasasti Bulian terdapat bebrapa istilah yang
berhubungan dengan sistem bercocok tanam seperti sawah, parlak
(sawah kering), (gaga) ladang, kebwan (kebun), dan lain sebagainya.
Perdagangan antarpulau di Buleleng juga sudah cukup maju.
Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan
melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk Buleleng.
Komoditas yang terkenal di Buleleng adlah kuda. Dalam prasasti
Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi
perdagangan 30 ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok.
Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu
sudah maju sebab kuda merupakan binatang yang besar sehingga
memerlukan kapal yang besar pula untuk mengangkutnya.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng
pada masa Dinasti Warmadewa tidak begitu jauh berbeda
dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah
yang disebut wanua. Sebagian besar penduduk yang tinggal di
wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua
dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu
mengayomi masyarakat.
Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat
Buleleng dibagi menjadi dua kelompok besar yakni golongan
caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”, pembagian ini
didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat
Bali. Raja anak Wungus juga mengenalkan sistem penamaan
bagi anak pertama, kedua, ketiga dan keempat dengan nama
pengenal sebagai berikut.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
• Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan
berasal dari wayahan yang berarti tua.
• Anak kedua dinamakan made, kata made berasal
dari madya yang berarti tengah.
• Anak ketiha dinamakan nyoman, kata nyoman
berasal dari nom yang berarti muda.
• Anak keempat dinamakan ketut, kata ketut berasal
dari tut yang berarti belakang.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan dan hukum ditegakkan
dengan adil, masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat
ingin menyampaikan pendapat mereka didampingi pejabat desa untuk
menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut membuktikan
Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang
dipimpinnya.
Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan
kesenian, kesenian berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja
Udayana, pada masa ini kesenian dibedakan menjadi dua yakni seni
keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana
yang disebut pagending sang ratu, selain penyanyi dikenal pula
kesenian petapukan “topeng”, pemukul “gamelan”, banwal “gadelan”
dan pinus “lawak”. Adapun jenis kesenian yang berkembang di
kalangan rakyat antara lain awayang ambaran “wayang keliling”,
anuling “peniup suling”, atapukan (permainan topeng”, parpadaha
“permainan genderang” dan abonjing “permainan angklung”.
KEHIDUPAN AGAMA
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat
Buleleng. Tetapi tradisi megalitik masih mengakar kuat dalam
masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktukan dengan
ditemukannya beberapa bangunan pemujaan seperti punden
berundak di sekitar pura-pura di Hindu. Pada masa
pemerintahan Janasadhu Warmadewa agama Budha mulai
berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan penemuan
unsure-unsur Budha seperti arca Budha di Gua Gajah dan
stupa di pura Pegulingan.
Agama Hindu dan Budha mulai mendapat peranan penting
pada masa Raja Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan
brahmana Budha diangkat sebagai salah satu penasehat raja.
Masyarakat Buleleng menganut agama Hindu Waesnawa.
HASIL BUDAYA
1. Prasasti
2. Cap Materai kecil dari tanah liat yang disimpan dalam stupa kecil
3. Arca misalnya arca durga
4. Dua kitab undang-undang yang dipakai pada masa pemerintahan
Jayasakti yaitu Uttara Widdhi Balawan dan Rajawacana/Rajaniti
5. Pada zaman Jayasakti agam Budha dan Syiwa berlambang dengan
baik bahkan raja sendiri disebut sebagai penjelmaan dewa Wisnu
(airan Waisnawa)
6. Prasasti di Bali paling banyak menggunakan bahasa Jawa kuno
sehingga hubungan dengan Jawa diperkirakan terjalin dengan baik.
Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang
memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini
disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali.
Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang
raja Bali yang bernama Sri Kesari Marwadewa.
Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh,
di daerah Sanur , Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi
177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan
dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa
Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan Bahasa Sanskerta
Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi
pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.
Isi prasasti “Pada tahun 835 çaka bulan phalguna, seorang raja yang
mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keraton
Sanghadwala, bernama Çri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya
di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui sampai kemudian hari.”
Berdasarkan isi prasasti tersebut dipastikan prasasti Blanjong dikukuhkan
pada tahun 835 Caka (913 M) atas Raja Adipatih Cri Kesari Warmadewa
sebagai tanda kemenangan
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di
Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari
1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura
Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura
Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya
wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama
Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura
Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada
di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam
kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura
yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya,
terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua
pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran
Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat
Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan
Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta,
Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura
Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia
UNESCO sejak tahun 1995.
Candi Gunung Kawi atau Candi Tebing Kawi adalah situs
purbakala yang dilindungi di Bali. Terletak di Sungai Pakerisan,
Dusun Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia.Candi ini sangat unik
karena biasanya candi berupa batuan utuh yang terbuat dari bata
merah atau batu gunung, namun candi ini tidak seperti itu
melainkan pahatan di dinding tebing batu padas ditepi sungai.
Nama Gunung Kawi itu sendiri konon berasal dari kata Gunung
dan Kawi. Gunung berarti Gunung atau Pegunungan dan Kawi
Berarti Pahatan Jadi Candi Gunung Kawi berarti Candi yang
dipahat di atas gunung. Candi ini terletak sekitar 40 kilometer
dari Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam
menggunakan mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar
berjarak sekitar 21 kilometer atau sekitar setengah jam
perjalanan. Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, dari
Denpasar maupun Gianyar wisatawan dapat memanfaatkan jasa
taksi, bus pariwisata, maupun jasa agen perjalanan.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai