Anda di halaman 1dari 47

MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN

Oleh :
Joshua Caturputra Thio
Hairullah
Rezha Alvin Fadhilah

Program Studi Magister Manajemen


Universitas Lambung Mangkurat
2020
• Perbankan merupakan sektor usaha yang diatur
dengan sangat ketat karena alasan-alasan
tertentu.
• Bagian pertama bab ini membicarakan
manajemen risiko yang dirumuskan oleh Komite
Basel, yang berujung pada perhitungan modal
yang berbasis risiko. Pembicaraan diteruskan
dengan membahas peraturan manajemen risiko
bank di Indonesia.
• Bagian kedua membicarakan manajemen risiko
di Chase Manhattan Bank. Chase merupakan
bank dengan operasi global.
• Sedangkan bagian ketiga merupakan jurnal
artikel yang berkaitan dengan manajemen risiko
perbankan
RISIKO PERBANKAN
• Komite Basel merupakan komite yang terdiri dari perwakilan bank
sentral dari negara G10 plus dua negara lainnya, yang mempunyai
tiga tujuan dalam kaitannya dengan regulasi mengenai perbankan.
• Ketiga tujuan tersebut adalah:
1. Memperkuat kelayakan dan stabilitas sistem perbankan
internasional
2. Menciptakan kerangka yang adil untuk mengukur kecukupan modal
bank internasional
3. Mempunyai kerangka yang bisa diterapkan secara konsisten untuk
menyamakan ‘level playing field’ (ketidaksamaan landasan kompetisi)
antar bank internasional.
• Komite tersebut merumuskan regulasi perbankan, yang pada akhirnya
banyak diadopsi oleh regulator perbankan di negara lainnya. Bagian
ini membicarakan rumusan aturan yang dikembangkan oleh komite
Basel.
• Komite Basel 1 untuk pengawasan perbankan didirikan pada tahun
1974 oleh gubernur bank sentral Negara G10 plus 2 negara lainnya
(Spanoly dan Luxemburg).
• Salah satu rumusan Basel 1 untuk mencapai
tujuannya adalah konsep risk weighted assets
(Aset berbobot risiko). Aset berbobot risiko
adalah aset bank yang dikalikan dengan bobot
risiko (risk weight), yang kemudian dipakai untuk
perhitungan modal yang disyaratkan. Semakin
tinggi risiko aset bank, semakin tinggi bobot risiko
aset tersebut.
• Komite Basel menggunakan lima kategori kelas
aset, yang berarti menggunakan lima kategori
bobot risiko, yaitu 0%, 10%, 20%, 50%, dan
100%.
Tabel 2. Bobot Risiko Aset Bank
Kategori Aset Bobot Risiko (%)
Kas 0
Pinjaman kepada pemerintah pusat Negara OECD 0
Pinjaman kepada pemerintah local Negara OECD dan sektor
public Negara OECD 0-50
Pinjaman antar bank OECD dan bank pembangunan
internasional 20
Bank Non-OECD dengan jangka waktu kurang 1 tahun 20
Pinjaman hipotik (mortgage) 50
Pinjaman ke perusahaan dan personal 100
Bank Non-OECD jangka waktu lebih dari 1 tahun 100
Hutang pemerintah non-OECD 100
• Sebagai contoh, misal bank memberikan pinjaman kepada bank
non-OECD dengan jangka waktu enam bulan, sebesar Rp1
milyar. Aset berbobot risiko untuk pinjaman tersebut bisa
dihitung sebagai berikut ini.
Aset berbobot risiko = Rp1 milyar x 20% = Rp200 juta
• Selanjutnya, Komite Basel merumuskan target rasio modal
yang ditetapkan sebesar 8% dari aset berbobot risiko. Target
rasio modal bisa dirumuskan sebagai berikut ini.

Target rasio Eligible capital


Modal = ------------------------------- x 100% = 8%
Risk weighted assets

• Dalam contoh di atas, modal yang diperlukan (yang dipegang)


jika bank memberikan pinjaman kepada bank non-OECD
adalah:
Eligible capital = 0,08 x Rp200 juta = Rp16 juta
• Perhatikan bahwa jika bank mempunyai aset dengan risiko
yang tinggi, maka bank tersebut harus memegang modal yang
juga lebih besar.
Ekuivalen Risiko Kredit
• Item-item off-balance sheet (diluar neraca tetapi
mempunyai konsekuensi sama dengan item on-balance
sheet) harus dimasukkan dalam perhitungan modal.
• Contoh item on-balance sheet: hutang
• Contoh item off-balance sheet: menjamin (berjanji) akan
memberikan hutang
• Item off-balance sheet dirubah ke on-balance sheet
melalui faktor konversi
Tabel 2. Conversion Factor Item Off Balance Sheet
Item off-balance sheet CF
(Conversion
factor)
Penjaminan 100%
Item kontinjensi yang berkaitan dengan transaksi tertentu 50
Perjanjian jual beli dengan recourse (risiko kredit masih di bank) 100
Komitmen lainnya dengan jangka waktu kurang dari satu tahun 50
Komitmen lainnya jangka waktu kurang dari satu tahun,
Bisa dibatalkan setiap saat 0
• Kontrak derivative merupakan kontrak kontinjensi (off balance
sheet) lainnya, tetapi mendapat perlakukan khusus.
• Contoh kotrak tersebut adalah forward, futures, opsi, dan swap
(lihat bab mengenai derivative).
• Dalam kontrak derivative, besarnya kewajiban biasanya tidak
sebesar nilai nominal kontrak. Sebagai contoh, misal dua bank
melakukan swap tingkat bungan dengan nilai nominal Rp1 milyar.
Bank A membayarkan tingkat bunga tetap sebesar 10% kepada
bank B. Sebaliknya, bank B membayarkan tingkat bunga
mengambang ke bank A (misal LIBOR+1%). Jika tingkat bunga
LIBOR adalah 11%, maka bank A membayarkan 10%, dan
menerima 12%. Dalam hal ini bank A hanya menerima sisa
sebesar 2% (12% -10%), kemudian dikalikan dengan nilai
nominalnya sebesar Rp1 milyar, yaitu Rp20 juta. Bank A
menerima Rp20 juta meskipun nilai kontraknya adalah Rp1 milyar.
• Ada dua metode perhitungan credit equivalence untuk kontrak
derivative, yaitu:
Current exposure method
Originak exposure method
Current Method
• Credit equivalence (CE) untuk transaksi
derivative sebagai berikut ini.
CE = nilai pasar saat ini + (national amount x add
on)
• Tambahan (add on) dilakukan karena risiko kredit
dari transaksi derivative bisa berubah-ubah (tidak
konstan). Untuk mengantisipasi perubahan risiko
kredit tersebut, maka ada semacam ‘cadangan’
kompensasi untuk kenaikan risiko kredit.
Tabel 3. Add-on Perhitungan Derivatif
Sisa jangka waktu Tingkat bunga Kurs dan Saham Logam Komoditas
Emas berharga lainnya
(kecuali
emas)
< 1 tahun 0% 1,0 6,0 7,0 10,0
>1 dan < 5 tahun 0,5 5,0 8,0 7,0 12,0
> 5 tahun 1,5 1,5 10,0 8,0 15,0
Misalkan Bank A melakukan kontrak swap dengan bank OECD senilai
Rp1 milyar dengan jangka waktu enam tahun. Sisa kontrak adalah dua
tahun (kontrak sudah berjalan selama empat tahun). Bank A berjanji untuk
membayar bunga tetap 5%, dan akan menerima tingkat bunga LIBOR
(tingkat bunga mengambang, bisa berubah-ubah. Biasanya perubahan
diatur setiap enam bulan). Tingkat bunga saat ini mengalami kenaikan
sehingga swap tersebut bernilai positif, misal nilai pasar kontrak tersebut
adalah Rp150 juta. Berapa modal yang harus dipegang bank tersebut?
METODE ORIGINAL EXPOSURE

Tabel 4. Credit Equivalence Metode Original


Jangka waktu Kontrak tingkat bunga Kontrak Valas dan emas
< 1 tahun 0,5% 2%
1 < jk waktu < 2 tahun 1,0 5,0
Setiap tambahan 1 tahun 1,0 3,0

Untuk menghitung Credit Equivalence, angka tersebut


(dalam tabel di atas), dikalikan dengan nilai nominal untuk
perhitungan CE. Dengan metode tersebut, bank tidak perlu
untuk menghitung nilai pasar kontrak tersebut.
ELIGIBLE CAPITAL
• Tier 1: Saham biasa yang disetor penuh dan saham
preferen non-kumulatif perpetual, dan disclosed reserves
• Tier 2: Undisclosed reserves, cadangan dari revaluasi
aset, provisi umum, cadangan kerugian kredit, instrument
hybrid, dan hutang subordinasI
• Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari total modal.
Modal dasar tidak memasukkan:
• Goodwill
• Investasi pada perusahaan keuangan dan
banking yang tidak dikosolidasi
• Investasi pada modal bank lain dan perusahaan
keuangan (berdasarkan kebijakan pengawas di
Negara tersebut)
• Investasi minoritas di perusahaan/bank yang
tidak dikonsolidasi
Tier 3 hanya bisa digunakan hanya untuk
mendukung portofolio perdagangan.
Perbaikan Risiko Pasar (Market Risk
Amendment 1996)
• Metode yang dikembangkan Basel Accord tersebut masih
mempunyai kekurangan, terutama sensitivitas terhadap risiko yang
dirasa masih kurang. Pada tahun 1996 komite Basel mengeluarkan
Market Risk Amendment 1996.
• Amendment tersebut memfokuskan pada risiko pasar. Perbaikan
(amendment) tersebut dilakukan setelah komite melakukan
investigasi mengenai metodologi internal yang sering digunakan
oleh bank-bank besar untuk mengukur risiko perbankan. Metodologi
tersebut seringkali berbeda secara signifikan dengan metode aset
berbobot risiko yang dikembangkan oleh komite Basel. Investigasi
tersebut mengarah pada penerimaan metodologi internal yang
dikembangkan oleh bank-bank besar tersebut.
• Model kuantitatif yang banyak digunakan oleh bank dan akhirnya
diadopsi oleh komite Basel adalah VAR (Value At Risk). Bab
mengenai pengukuran risiko pasar membicarakan tehnik
perhitungan VAR.
Basel II
• Basel I mempunyai kelemahan seperti risiko yang dicakup
untuk perhitungan permodalan adalah risiko kredit, yang
kemudian diperbaiki dengan memasukkan risiko pasar.
• Bobot risiko untuk risiko kredit masih ‘kasar’ dimana untuk
pinjaman kepada perusahaan, hanya mempunyai satu tingkat
pembobotan, yaitu 100%. Padahal risiko kredit perusahaan
bisa berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, perusahaan
dengan rating rendah (misal AAA) mempunyai risiko yang
rendah. Menggunakan hanya satu tingkat risiko dengan
demikian kurang tepat.
• Pada tahun 1999, komite Basel bekerja sama dengan
beberapa bank besar untuk mengembangkan permodalan
bank yang baru. Basel II mempunyai kerangka permodalan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan Basel I. Dari sisi
risiko, jika Basel I hanya membicarakan risiko kredit dengan
risiko pasar, maka Basel II memasukkan risiko operasional
dan lainnya.
Kerangka (Tiga Pilar) Basel II
• Pilar 1: Modal minimum
Bank diwajibkan menghitung modal minimum yang harus dipegang
untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
• Pilar 2: Review Pengawasan
Proses review pengawasan ditujukan untuk memformalkan praktek
sekarang yang dilakukan banyak regulator, khususnya bank sentral
Amerika Serikat dan Inggris. Review pengawasan ditujukan untuk
memfokuskan perhatian pada perhitungan modal diatas modal
minimum pada pilar 1 dan tindakan awal yang diperlukan jika bank
mengalami kesulitan. Pilar 2 juga memasukkan review risiko spesifik
yaitu risiko tingkat bunga yang dihadapi perbankan (dituliskan pada
paper Juli 2004).
• Pilar 3: Disclosure
Pilar 3 memfokuskan pada disiplin pasar yang didefinisikan sebagai
mekanisme corporate governance internal dan eksternal di pasar
bebas diluar intervensi lansung dari pemerintah.
• Basel II untuk pertama kalinya mencantumkan risiko
operasional. Dengan demikian Pilar 1 Basel II mencantumkan
risiko kredit, pasar, dan operasional.
• Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian karena
proses internal yang tidak memadai atau gagal, sistem dan
orang, dan dari kejadian eksternal. Risiko operasional
mencakup aspek yang sangat luas.
• Beberapa contoh sumber risiko operasional adalah:
 Risiko eksekusi, gangguan bisnis, transaksi
 Risiko orang, manajemen yang jelek
 Risiko criminal, pencurian, perampokan, dan lainnya
 Risiko teknologi, aset fisik
 Risiko kepatuhan dan risiko legal
 Risiko informasi
• Risiko tersebut mencakup aspek yang luas, meskipun ada
beberapa risiko yang belum masuk dalam cakupan risiko
operasional, seperti risiko bisnis, risiko strategis, dan risiko
reputasi.
Review Pengawasan
• Basel II memasukkan review pengawasan sehingga
regulator bisa meminta bank tertentu untuk meningkatkan
modalnya jika regulator merasa bahwa bank tersebut
mempunyai risiko yang lebih tinggi (risiko lainnya atau
residual risks).
• Pilar 2 juga mencakup risiko yang spesifik yaitu risiko
perubahan tingkat bunga.
• Jika suatu bank mempunyai risiko tingkat bunga yang
tinggi, maka pengawas bank bisa meminta bank tersebut
untuk menambah modalnya. Di samping itu Pilar 2 juga
mencakup proses pengawasan sehingga tindakan dini
bisa dilakukan jika suatu bank mengalami kesulitan.
Manajemen Risiko Perbankan
Indonesia
• Perbankan di Indonesia awalnya diawasi oleh BI, namun
sejak akhir tahun 2011 perbankan diawasi oleh OJK
sebagai regulator dan Bank Indonesia, yang merupakan
bank sentral di Indonesia.
• Secara umum, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk
mempertahankan nilai Rupiah.
• Sedangkan OJK bertanggung jawab terhadap:
Mengatur dan mengawasi perbankan

• Manajemen risiko perbankan diatur melalui Peraturan


Bank Indonesia (PBI) 5/8/PBI/2003 yaitu mengenai
Pelaksanaan Manajemen Risiko Bank.
• Bank diharuskan mengelola risiko secara terintegarsi dan
membuat sistem, struktur manajemen yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
• Pihak regulator mengharuskan bank untuk mengelola
empat risiko berikut ini:
Pasar: risiko karena harga pasar yang bergerak ke arah
yang tidak menguntungkan
Kredit: risiko karena counterparty mengalami gagal bayar
(tidak bisa memenuhi kewajibannya)
Operasional: risiko yang terjadi karena proses internal
yang gagal, tidak memadai, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan masalah eksternal yang
mempengaruhi operasi bank
Likuiditas: risiko yang terjadi karena bank tidak bisa
memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo
• Untuk bank yang lebih besar dan kompleks, bank
juga diharuskan untuk mengelola risiko:
1. Risiko legal: risiko yang muncul karena tindakan
atau tuntutan hukum
2. Risiko reputasi: risiko yang muncul karena
publisitas dan persepsi negatif mengenai operasi
bank
3. Risiko strategis: risiko karena pelaksanaan
strategi yang kurang baik, pengambilan
keputusan yang kurang baik, kurangnya respons
terhadap perubahan eksternal
4. Risiko kepatuhan: risiko kegagalan bank patuh
terhadap hukum, peraturan, dan perundangan
yang berlaku
ILUSTRASI MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN

: CHASE MANHATTAN

• Chase Manhattan merupakan bank dengan bisnis global yang mencakup


tiga kelompok bisnis besar: Global Services, Consumer Services, dan
Global Bank
• Sebagai bank besar, kegiatan bisnis Chase Manhattan lebih luas
dibandingkan dengan kegiatan bisnis perbankan tradisional.
• Kegiatan bisnis perbankan tradisional memfokuskan pada menarik dana
dari masyarakat dan meminjamkan dana tersebut. Bank memperoleh
interest income dari bisnis tersebut. Kegiatan bank konvensional semacam
itu mendatangkan dua risiko, yaitu risiko kredit (jika kredit yang diberikan
macet) dan risiko likudiitas (jika masyarakat menarik dananya di luar
perkiraan bank).
• Chase menjual sebagian besar kredit yang diberikan (hampir 90%). Chase
kemudian memperoleh pendapatan dari fee (komisi) untuk memulai (credit
initiation) dan melayani (servicing) kredit tersebut. Chase mengurangi risiko
kredit, menghemat modal yang dipakai untuk bisnisnya (modal tidak perlu
terikat pada kredit yang diberikan). Hampir separuh dari laba Chase
berasal dari kegiatan pasar modal dan investasi saham individu (private
equity investment)  risiko pasar cukup besar.
• Chase percaya bahwa kunci untuk mengelola
risiko adalah diversifikasi dan pengendalian yang
kuat. Bagian penting dari proses pengendalian
adalah komite manajemen risiko.
• Chase meluncurkan program SVA sebagai
bagian dari manajemen risiko bank tersebut.
Chase ingin mengkomunikasikan konsep
manajemen risiko yang tidak terlalu kompleks,
mudah dipahami oleh semua tingkatan dalam
organisasi. SVA pada dasarnya merupakan
konsep residual income, yaitu menghitung laba
dengan mengurangkan beban untuk modal dari
pendapatan operasional.
• SVA = Pendapatan operasional – Beban untuk
modal
Bagaimana cara kerja SVA?
SVA = Pendapatan operasional – beban modal
Misalkan ada dua orang trader (A dan B) sama-sama
menggunakan dana sebesar Rp100 juta. Trader A
memperdagangkan surat berharga pemerintah yang risikonya
lebih rendah. Trader B memperdagangkan saham yang
risikonya lebih tinggi. Karena risikonya lebih rendah,
keuntungan yang disyaratkan (beban modal) untuk A adalah
6%, sedangkan untuk B adalah 11% (karena risikonya lebih
tinggi). Jika A ingin memperoleh SVA yang positif, maka ia
harus memperoleh keuntungan sebesar minimal 6%,
sementara bagi B, ia harus memperoleh keuntungan sebesar
minimal 11%. Melalui cara seperti itu, risiko akan secara
otomatis diperhitungkan dalam evaluasi kinerja trader
tersebut.
Risiko Pasar Chase
• Chase menggunakan beberapa ukuran risiko pasar, yaitu Value At
Risk (VAR), stress-testing, dan ukuran non-statistik lainnya.
• Ketiga ukuran tersebut diharapkan memberikan gambaran risiko
pasar yang komprehensif yang dihadapi oleh Chase.
• Chase menggunakan VAR harian dengan confidence level 99%.
Chase menghitung VAR dengan metode histories, yaitu dengan
menggunakan data satu tahun terbaru untuk indikator pasar seperti
tingkat bunga, perubahan kurs, harga pasar saham dan komoditas,
dengan asumsi indikator tersebut bisa memprediksi kondisi di masa
mendatang. Metode simulasi data histories digunakan dengan
menggunakan nilai indikator harian pada saat pasar tutup. Chase
menghitung VAR untuk setiap posisi individu, dan agregat
berdasarkan tipe bisnis, geografis, valuta asing, dan tipe risiko. Tentu
saja Chase juga menyadari bahwa validitas model tersebut
tergantung dari kualitas data yang dipakai, karena itu Chase juga
melakukan back-testing untuk melihat akurasi model VAR tersebut.
Tabel 7. Perhitungan VAR oleh Chase

Rata-Rata VAR VAR VAR VAR


VAR minimum maksimum 31Des99 31Des98
Tingkat bunga $20,2 $10,7 $36,5 $20,0 $20,1
Valuta asing 7,0 2,3 21,3 3,0 2,3
Saham 6,3 3,4 10,1 7,2 4,6
Komoditas 3,5 1,9 9,0 3,4 2,6
Investasi Hedge Fund 4,1 3,1 4,6 3,3 NA
Dikurangi:
Diversifikasi portofolio (17,0) NM NM (13,7) (8,9)
Total VAR $24,1 $12,3 $41,8 $23,2 $20,7
NM: not meaningful (tidak banyak artinya), karena maksimum dan minimum bisa
muncul pada waktu yang berbeda sehingga tidak bisa langsung dipakai untuk menghitung
efek diversifikasi
NA: not available (tidak tersedia)
Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
Chase melengkapi VAR dengan analisis stress-test yang
cukup rinci. Berikut ini contoh hasil analisis stress-test
yang dilakukan oleh Chase.

Tabel 8. Perhitungan Stress Test Oleh VAR

Rata-Rata VAR VAR VAR VAR


VAR minimum maksimum 31Des99 31Des98
Potensi Kerugian sebelum $(186) $(112) $(302) $(231) $(150)
pajak- melalui Stress Test
Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
Ukuran Risiko Pasar Non-Statistik
(Non-Kuantitatif)

• Indikator risiko pasar non-statistik digunakan untuk


melengkapi indikator kuantititaif. Indikator yang
digunakan antara lain adalah posisi terbuka bersih (net
open position), nilai basis poin, konsentrasi posisi, dan
perputaran posisi.
• Indikator tersebut diharapkan memberikan tambahan
informasi mengenai besar dan arah dari eksposur.
Sebagai contoh, nilai basis poin portofolio
menunjukkan apakah perubahan indikator pasar
sebesar satu basis poin (1 bps atau 1/100 dari 100%)
akan mengakibatkan kerugian atau keuntungan dan
seberapa besar.
Manajemen Risiko Pasar
• Beberapa manajemen risiko pasar yang digunakan oleh Chase adalah
penetapan batas VAR dan stress-test yang disetujui oleh Dewan Direksi
dan memasukkan ekspsur stress-test dalam metologi perhitungan alokasi
modal. Jika batas tersebut terlewati, maka secara otomatis portofolio
akan direview.
• Pengendalian yang pokok dilakukan melalui penetapan batas. Struktur
penetapan batas tersebut berlanjut sampai ke level bawah (level trading
desk), dan mencakup instrument yang bisa diperdagangkan, pengalaman
dari trader, batas non-statistik, dan konsultasi kerugian. VAR dihitung
baik pada level agregat maupun unit bisnis.
• Pembatasan non-statistik diperlukan karena dalam kondisi tertentu, misal
krisis keuangan, asumsi statistic tidak lagi berjalan sebagaimana
mestinya. Batas non-statistik memasukkan faktor-faktor likuiditas pasar,
strategi bisnis, kinerja sebelumnya, pengalaman manajer.
• Batas risiko direview secara regular minimal dua kali dalam satu tahun.
• Chase juga menggunakan anjuran stop-loss untuk mengendalikan risiko.
Dengan demikian, Chase menggunakan indikator statistic (VAR, stress-
test), non-statistik, anjuran stop-loss, untuk mengelola risiko pada kondisi
pasar normal dan tidak normal
Risiko Kredit
• Chase menggunakan teknik statistic untuk mengestimasi
kerugian yang diharapkan dan kerugian yang tidak diharapkan
(di luar perkiraan). Kerugian yang tidak diharapkan merupakan
penyimpangan dari kerugian yang diharapkan. Estimasi
tersebut menentukan alokasi biaya kredit untuk unit-unit bisnis,
yang kemudian dimasukkan ke dalam pengukuran SVA unit
bisnis.
• Untuk kredit ritel (consumer), Chase menggunakan model
portofolio yang canggih, model scoring kredit, dan alat
kuantitatif lainnya untuk menghitung dan menetapkan standar
risiko kredit ritel. Parameter ditentukan sejak awal, dan biaya
kredit (misal persentase yang macet) merupakan bagian
integral untuk penentuan haga dan evaluasi kredit. Portofolio
kredit ritel dimonitor untuk mengidentifikasi penyimpangan dari
standar yang diharapkan, dan pergeseran pola perilaku
nasabah.
• Untuk kredit komersial, proses manajemen risiko kredit
dimulai dengan proses pemilihan nasabah. Pendekatan
industri global yang dilakukan Chase membantu
pengenalan risiko industri yang muncul, sehingga
antisipasi bisa dilakukan lebih awal. Nasabah
internasional juga penting diperhatikan. Chase
memfokuskan pada perusahaan terbesar, pemimpin
dalam sektornya, dengan kebutuhan pendanaan
internasional. Manajemen konsentrasi kredit juga penting
dilakukan. Chase mengelola konsentrasi kredit
berdasarkan tingkat risiko, industri, produk, lokasi
geografis.
Manajemen Risiko Kredit
• 1. Mentransfer risiko kredit ke pihak lain melalui penjualan kredit.
Chase memberikan kredit sekitar $500 milyar setiap tahunnya,
tetapi hanya menahan sekitar 7% dari kredit tersebut. Penjualan
semacam itu secara signifikan mengurangi risiko kredit Chase.
Chase memperoleh fee dari kegiatan memulai kredit dan pelayanan
kredit. Disamping itu modal bisa cepat kembali, yang kemudian
diputar lagi.
• Meskipun penjualan kredit cukup gencar dilakukan oleh Chase,
tetapi Chase masih mempertahankan sebagian (kecil) dari kredit
tersebut. Chase berargumen bahwa dengan mempertahankan
sebagai kredit tersebut, Chase ingin menunjukkan bahwa Chase
masih mempunyai komitmen dengan bisnis kredit tersebut. Jika
ada kesulitan yang berkaitan dengan kredit, Chase masih bisa
membantu dan mempunyai keahlian untuk menangani kredit
tersebut.
• 2. Menggunakan metode SVA untuk mengevaluasi kinerja unit
pemberi kredit. Melalui metode SVA, manajer unit kredit akan
melihat risiko dari kredit yang akan diberikan sehingga mereka
akan berhati-hati dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
Risiko Operasional
• Kerugian dari risiko operasional lebih sulit
diprediksi dan lebih sulit untuk dikuantifisir. Risiko
operasional mencakup hal-hal seperti kejahatan
oleh karyawan atau pihak luar, transaksi yang
tidak diberi otorisasi, kesalahan pencatatan,
kesalahan karena sistem computer atau
telekomunikasi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
• Chase sudah melakukan pengendalian yang
cukup, tetapi tidak ada jaminan bahwa kerugian
akibat risiko operasional tidak terulang di masa
mendatang.
• Risiko operasional akan mempengaruhi
perhitungan SVA, tetapi metodologi pengukuran
risiko operasional masih relative sederhana.
• Perhitungan modal berdasarkan risiko
operasional dilakukan setiap kuartal. Perhitungan
risiko operasional didasarkan pada tiga hal:
Biaya operasional (dalam dolar)
Skor dari audit internal
Ranking evaluasi risiko
• Manajer unit yang memperoleh skor risiko A
(risiko rendah), maka modalnya (berbasis risiko)
akan diperhitungkan lebih rendah, sehingga akan
meningkatkan SVA manajer tersebut.
• Disamping audit internal untuk mengevaluasi risiko
operasional, Chase juga menggunakan COSO based self-
assessment program untuk mengevaluasi risiko
operasional.
• Melalui program tersebut, manajer diminta untuk
mengevaluasi risiko operasional di unit bisnis yang
dibawahinya, menggunakan kerangka yang
dikembangkan oleh COSO (Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission).
• Kuesioner tersebut menjadi salah satu masukan untuk
skor dari audit internal dan ranking evaluasi risiko.
• Bab mengenai risiko operasional menyajikan lebih
lengkap evaluasi diri (self-evaluation) yang dilakukan
untuk mengevaluasi risiko operasional Chase Manhattan
dengan menggunakan kerangka COSO tersebut.
Jurnal Artikel :
ANALISIS PENGARUH RISIKO KREDIT, RISIKO PASAR, EFISIENSI
OPERASI, MODAL, DAN LIKUIDITAS TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PERBANKAN
(Studi Kasus pada Bank Usaha Milik Negara yang Terdaftar di BEI Periode
2009-2012) oleh Pauline Natalia, 2015.
• Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan
menganalisis dampak risiko kredit, risiko pasar, efisiensi
operasi, permodalan, dan likuiditas terhadap kinerja keuangan
bank. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh bank BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI) dari tahun 2009-2012.
• Jenis data adalah data sekunder. Analisis teknis
menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa risiko pasar dan efisiensi operasi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan bank.
Sementara itu, risiko kredit, modal, dan likuiditas tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan bank.
• Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan
perbankan adalah risiko kredit, risiko pasar, efisiensi operasi,
modal, dan likuiditas. Risiko kredit adalah salah satu risiko
yang akan dihadapi bank dalam kegiatan operasionalnya.
Siamat (2005, 358) mengemukakan bahwa risiko kredit
didefinisikan sebagai risiko yang dikaitkan dengan
kemungkinan kegagalan klien membayar kewajibannya atau
risiko dimana debitur tidak dapat melunasi pinjamannya. Risiko
kredit diproksikan dengan rasio Non Performing Loan (NPL),
yang merupakan perbandingan total kredit bermasalah dengan
total kredit yang diberikan. NPL yang tinggi akan meningkatkan
biaya pencadangan aktiva produktif dan biaya-biaya lainnya,
sehingga akan berdampak pada penurunan kinerja keuangan
bank.
• Risiko Pasar

• Risiko pasar merupakan risiko yang timbul karena adanya


pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh
bank, dimana pergerakan tersebut dapat mengakibatkan
kerugian (dalam hal ini adalah pergerakan suku bunga dan
nilai tukar (Mahardian 2008). Risiko pasar dapat diproksikan
dengan Net Interest Margin (NIM). NIM merupakan
perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan total
kredit yang diberikan. Pendapatan bunga bersih didapat dari
pendapatan bunga yang diterima dari pinjaman dikurangi biaya
bunga dari sumber dana yang dikumpulkan. NIM yang tinggi
menunjukkan keefektifan bank dalam penempatan aktiva
produktif. Artinya, pendapatan bunga atas aktiva produktif yang
dikelola bank akan meningkat dan berdampak pada laba bersih
bank. Dengan demikian, semakin tinggi NIM akan
mengakibatkan ROA yang semakin tinggi pula.
• Efisiensi Operasi

• Mahardian (2008) mengemukakan bahwa efisiensi


merupakan kemampuan untuk menggunakan sumber daya
yang tidak perlu. Efisiensi operasi bank berdampak pada
kinerja perbankan, yaitu untuk menunjukkan apakah bank
telah menggunakan seluruh faktor produksinya dengan
tepat guna (Mawardi 2005). Rasio yang digunakan untuk
mengukur efisiensi operasi adalah BOPO. BOPO
menggambarkan kemampuan bank dalam mengelola
beban operasionalnya terhadap pendapatan
operasionalnya. Semakin tinggi BOPO, semakin tinggi
beban operasionalnya dibandingkan pendapatan
operasionalnya. Dengan demikian, BOPO yang tinggi akan
mengakibatkan menurunnya kinerja keuangan perbankan.
• Modal

• Peranan modal sangat vital dalam operasi perbankan. Suyono


(2005) mengemukakan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR)
menunjukkan kemampuan bank dalam menyediakan dana
untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung risiko
kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank.
• Angka CAR minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
adalah 8%. Angka CAR yang lebih dari 8% menunjukkan
solvabilitas bank yang baik. Artinya, semakin besar total modal
bank yang dapat digunakan, sehingga dapat memberi peluang
bagi bank untuk melakukan ekspansi kredit (Purwoko dan
Sudiyatno 2013). Bila ekspansi kredit dilakukan dengan baik,
maka pendapatan bunga akan meningkat sehingga kinerja
keuangan perbankan pun meningkat.
• Likuiditas

• Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam


memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu (Fahmi
2010, 177). Artinya, perusahaan dikatakan dalam keadaan likuid
apabila perusahaan tersebut memiliki aktiva lancar yang lebih besar
dibandingkan dengan hutang lancarnya.
• Salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas adalah
Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR merupakan perbandingan antara
total kredit yang diberikutan dengan total dana pihak ketiga. Bank
Indonesia menetapkan standar LDR di antara 80% sampai 110%.
LDR bank yang berada di bawah standar menunjukkan kurangnya
efektivitas bank dalam menyalurkan kredit.
• Sebaliknya, LDR bank yang berada di atas standar akan
meningkatkan risiko likuiditas bank. Idealnya, LDR bank berada pada
range yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sehingga laba yang
diperoleh bank akan meningkat. Peningkatan laba akan
meningkatkan kinerja keuangan perbankan (ROA).
Kesimpulan dari jurnal artikel
• Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris
mengenai pengaruh risiko kredit, risiko pasar, efisiensi operasi,
modal, dan likuiditas terhadap kinerja keuangan perbankan.
Berdasarkan uji statistik t, dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel
risiko kredit (NPL), modal (CAR), dan likuiditas (LDR) tidak
berpengaruh terhadap kinerja keuangan perbankan (ROA), variabel
risiko pasar (NIM) memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
keuangan perbankan (ROA), sedangkan variabel efisiensi operasi
(BOPO) memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja keuangan
perbankan (ROA).
• Bagi manajemen bank, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam rangka
meningkatkan kinerja keuangannya di masa yang akan datang. Bagi
kalangan akademisi, penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan
mengenai pengaruh karakteristik bank terhadap kinerja keuangan
perbankan. Selain itu, para pembaca juga dapat menggunakannya
sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang sejenis.
• Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan. Penelitian
ini terbatas pada bank umum milik pemerintah yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga belum mencakup
keseluruhan bank yang terdaftar di BEI. Penelitian ini hanya
menggunakan 5 variabel independen, sementara masih ada
faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan
perbankan, sehingga 5 variabel dalam penelitian ini belum
mencakup semua faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan
perbankan.
• Periode yang digunakan dalam penelitian ini juga relatif
singkat, yaitu tahun 2009-2012. Untuk mengatasi keterbatasan
yang ada pada penelitian ini, hal-hal yang disarankan untuk
penelitian berikutnya adalah agar peneliti berikutnya
memperluas objek penelitian sampai mencakup seluruh bank
umum yang terdaftar di BEI, menambahkan variabel lain yang
dapat mempengaruhi kinerja keuangan perbankan seperti Giro
Wajib Minimum (GWM), serta memperpanjang periode
penelitian sehingga periode observasi menjadi lebih lama.
Daftar Pustaka

•Darmawi Herman, Manajemen Risiko, Bumi Aksara, 2015.


•Hanafi, Mamduh M.. Manajemen Risiko, Yogyakarta:
Sekolah Tinggi ilmu manajemen YKPN, 2016
•Herry, SE, Manajemen Risiko Bisnis, Kompas Gramedia,
2019
•Irham Fahmi, Manajemen Risiko, Alfabeta, 2016.
•Kasidi, Manajemen Risiko, Ghana Indonesia, Bogor, 2017.
• Kasidi, Manajemen Risiko, Ghana Indonesia, Bogor,
2010.
• Paulina, Natalia, Analisis Pengaruh Risiko Kredit, Risiko
Pasar, Efesiensi Operasi, Modal dan Likuiditas Terhadap
Kinerja Keuangan Perbankan, Bandung, 2015.
• Robert Tampubolon, Risk Management, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2006.
• Sadgrove, Kid, The Complete Guide to Business Risk
Management, Gower Publishing Limited: Burlington,
2005.
• Uher, Thomas E, Introcustion to Risk Management,
NSW Faculty of The Built Enviroment, UNSW Press,
1996.

Anda mungkin juga menyukai