Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Binawan Jakarta, 2020 MAKANAN DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN
Makanan dalam konteks
kebudayaan dapat dilihat dalam bagaimana??
1. Kebudayaan dalam menentukan
makanan. 2. Nafsu makan dan lapar 3. Klasifikasi makanan dalam masyarakat 4. Peranan-peranan simbolik dari makan 1. KEBUDAYAAN DALAM MENENTUKAN MAKANAN Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk manusia, untuk mempertahankan hidup. Dalam setiap masyarakat, makanan dibentuk secara budaya.
Bagi sesuatu yang akan dimakan memerlukan pengesahan
budaya, dan keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan memperguna-kan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan agama, tahyul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan- bahan makanan begizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. NUTRIEN (NUTRIENT) VS MAKANAN (FOOD). Penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen suatu konsep biokimia suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Sedangkan makanan konsep budaya, yaitu suatu zat yang dianggap sesuai (diterima) bagi kebutuhan gizi kita”. LANJUT….. Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan bukan makanan, sehingga sangat sulit meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik. Kita mengenal variasi makanan yang sangat banyak untuk disantap akibat multi etnik dan sistem produksi makanan yang berlimpah ruah. Namun ada banyak makanan bergizi yang sangat dihargai oleh warga budaya lain yang kita kenal, tapi tidak kita anggap sebagai makanan. Mungkin sekali, suatu makanan yang dari segi gizi dapat diterima, dapat digolongkan sebagai makanan, tapi kita tidak menganggap itu sebaqgai makanan karena tidak pernah atau dilarang memakannya. LANJUT….. Pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak seorang pun dari kita yang menkmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui olh kebudayaan kita sebagai makanan . Pengalaman-pengalaman masa kecil, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada makanan di usia dewasa. Makanan yang kita kena semasa kanak-kanak tetap menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah untuk ditolak. Menurut Jelliffe dan Bennett: “Manusia di mana saja, bahkan dalam keadaan yang sukar sekalipun, hanya makan dari sebagian bahan-bahan yang sebenarnya dapat dimakan dan tersedia” 2. NAFSU MAKAN DAN LAPAR
Nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan,
namun berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya adalah konsep budaya yang sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan merupakan suatu konsep fisiologis LANJUT….. Dalam banyak masyarakat, definisi lengkap dari makanan tidak dapat dibuat tanpa merujuk pada konsep makanan dan waktu makan. Misalnya dalam survey gizi di pedesaan sering tidak diperhatikan konsep makan di temjpat yang diteliti. Waktu ditanyakan makanan apa yang sudah dimakan pada hari sebelumnya, jawaban yang diperoleh adalah sederet daftar makanan yang disantap pada setiap waktu makan di tempat tersebut. Akibatnya, banyak macam makanan yang bergizi dan penting termasuk makanan kecil tidak termasuk dalam analisis, sehingga hasil survey gizi mereka menjadi tidak seimbang dengan yang sebenarnya. LANJUT….. Contoh lain, misalnya orang Jawa mengaku belum makan sekalipun sudah makan roti atau jagung dan makan berat lainnya, karena belum makan nasi sekalipun roti atau jagung tersebut dimakan pada waktu makan siang. 3. KLASIFIKASI MAKANAN DALAM MASYARAKAT Dalam setiap masyarakat, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi dan berbeda-beda pada setiap kebudayaan. Pengklasifikasian bisa berdasarkan waktu makan, status dan prestise, menurut jenis pertemuan (sosial, usia, keadaan sakit dan sehat), menurut nilai-nilai simbolik dan ritual, dan lain-lain. Pertimbangan status memainkan peranan penting, terutama dalam merubah kebiasaan makan. Hasil penelitian Cussler dan deGive menemukan di kalangan rakyat kecil kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagian Tenggara, makanan yang berwarna terang lebih berprestise daripada makanan yang berwarna gelap. Pilihan di kalangan luas terhadap beras putih giling, misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik daripada beras coklat yang tidak digiling erat kaitannya dengan ide-ide prestise tersebut. LANJUT….. Contoh lain, makanan yang dipandang bermutu dan berkelas adalah makanan-makanan yang dibungkus secara modern dan diiklankan secara luas. Makanan seperti itu tampanya mempu- nyai daya tarik yang sangat besar bagi orang-orang di negara sedang berkem- bang, meskipun banyak dari makanan-makanan sejenis ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanan tradisional. LANJUT…..
Klasifikasi makanan yang paling tersebar luas dan yang
penting kaitannya dengan kesehatan adalah dikhotomi “panas dingin”. Melalui keseimbangan makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara panas dan dingin, maka kesehatan dapat dipertahankan sebaik- baiknya. LANJUT…..
Contoh, di sebuah desa di India bagian Utara, makanan
termasuk panas adalah kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur, ikan, daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena panas yang dihasilkannya. Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah. 4. PERANAN-PERANAN SIMBOLIK DARI MAKANAN
Selain merupakan hal pokok dalam hidup, makanan penting juga
bagi pergaulan sosial. Makanam dapat dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu & kelompok- kelompok atau dalam kelompok untuk meramalkan bagaimana kehidupan sosial terjadi. Ungkapan simbolis tersebut dapat dilihat dalam: 1. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial 2. Makana sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok 3. Makanan dan stres 4. Simbolisme makanan dalam bahasa a. MAKANAN SEBAGAI UNGKAPAN IKATAN SOSIAL Menawarkan makanan atau minuman sering dianggap menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui, menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya. Mengajak makan malam seseorang dapat diartikan ada perhatian khusus pada orang tersebut. Tidak memberi makanan atau gagal menawarkan makanan dalam suatu konteks di mana hal itu justru diharap-kan dari segi budaya, adalah menyatakan kemarahan atau permusuhan. Sama halnya menolak makanan yang ditawarkan adalah menolak tawaran kasih sayang atau persahabatan, atau mengungkapkan permusuhan pada si pemberi LANJUT….. Ungkapan simbolik berupa ajakan, undangan, tawaran makan yaitu erat kaitannya dengan peningkatan gizi karena makanan yang ditawarkan akan terseleksi karena menyangkut status yang mengundang atau menawarkan dan yang diundang atau ditawari makan. b. MAKANAN SEBAGAI UNGKAPAN DARI KESETIAKAWANAN KELOMPOK Ada beberapa jenis makanan yang berfungsi sebagai makanan untuk mempersatukan kelompok. Kelompok suku bangsa dan kelompok usia di Amerika memiliki makanan yang bagi mereka berfungsi sebagai lambang identitas, soul food (makanan jiwa) untuk orang kulit hitam, makanan dari jagung di daerah Amerika Barat Daya untuk masyarakat Chicano, dan makanan sehat, makanan alamiah serta macrobiotic untuk banyak orang muda. Makanan simbolis lainnya termasuk domba di negara-negara Arab, tuak pohon palma dari Afrika Barat, minuman teh dan sake dari Jepang, ikan lokal diacar dengan jeruk (ceviche) dan couscous di Saharan Afrika. c. MAKANAN DAN STRES Makanan-makanan khusus dapat merupakan pencerminan identitas dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya lainnya. Dengan demikian makanan memberi rasa kententraman dalam keadaan-keadaan yang menyebab kan stres. Kita akan merasa aman di saat kita jauh di tempat tinggal kita, bila kita bisa makan makanan kebiasaan kita yang kita bawa sebagai bekal. Nilai keamanan psikologis dari makanan juga dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil di antara waktu-waktu makan, apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami keadaan stres yang berat. d. SIMBOLISME MAKANAN DALAM BAHASA Pada tingkatan yang berbeda,bahasa mencer minkan hubungan- hubungan psikologis yang sangat dalam di antara makanan, persepsi kepribadian dan keadaan emosional. Kata-kata sifat dasar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan digunakan juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia: dingin, hangat, manis, asam, pahit, keras, empuk, kering, segar, lunak dsb LANJUT….. Kata-kata untuk mendeskripsikan persiapan makanan adalah juga kata-kata yang digunakan untuk melukiskan situasi kejiwaan seperti hangat artinya mulai marah, terbakar artinya marah, mendidih artinya sangat marah, menguap artinya panas hati dsb. Dalam bahasa Indonesia ada ungkapan yang berarti “manis, enak dipandang”, “semangat tempe” (= lemah), “orangnya dingin” , “muka manis”, “muka asam”, “sudah makan asam garam” (= banyak pengalaman), dan “si cabe rawit” (= anak yang cerdik). PEMBATASAN BUDAYA TERHADAP KECUKUPAN GIZI
Walaupun gizi buruk di dunia ini banyak disebabkan oleh
kekurangan pangan yang mutlak, masalahnya bertambah parah akibat berbagai kepercayaan budaya dan pantangan- pantangan yang sering membatasi pemanfatan makanan yang tersedia. Maka dalam perencanaan kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pada pencarian cara-cara untuk menyediakan lebih banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarikan cara-cara untuk memastikan bahwa bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif. LANJUT….. Pembatasan budaya tersebut dapat dilihat dalam: (1) Kegagalan Untuk Melihat Hubungan Antara Makanan Dan Kesehatan. (2) Kegagalan untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak.