ALAM UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2020 PENENTUAN KADAR AIR PADA BERAS Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Beras sebagai bahan makanan mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6.8 gr dan kandungan mineral seperti Ca dan Fe masing-masing 6 dan 0.8 mg. Beras adalah salah satu tanaman pangan utama dari hampir setengah populasi dunia. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terbesar mengkonsumsi beras di dunia (Pina, 2005). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor beras Indonesia dari Negeri Gajah Putih periode Januari-Oktober 2018 mencapai 780 ribu ton dengan nilai US$ 377,75 juta. Impor beras tersebut setara dengan 36,45% dari total impor beras yang mencapai 2,14 juta ton dengan nilai US$ 933 juta. Volume impor dari Thailand tersebut merupakan yang terbesar ketiga sejak 1999. Produksi beras nasional 2018 diprediksi mencapai 32,42 juta ton dari 56,54 juta ton produksi padi (gabah kering giling/gkg). Sementara konsumsi beras 29,57 juta ton sehingga diperkirakan surplus 2,85 juta ton. Penentuan Kadar Air dengan Pengeringan (Thermogravimetri)
Prinsip penentuan kadar air dengan
pengeringan adalah penguapan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian dilakukan penimbangan terhadap bahan hingga berat konstan yang mengindikasikan bahwa semua air yang terkandung dalam bahan sudah teruapkan semua.
• Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras jenis IR-64 dan akuades. Alat yang digunakan Rice cooker merk Yong Ma Mini Cook model MC300 kapasitas 0,3 Liter untuk memasak, timbangan digital untuk mengukur berat, gelas ukur untuk mengukur volume air, plastik klip untuk membungkus sampel, termometer untuk mengukur suhu nasi, meteran untuk mengukur volume nasi, oven untuk mengeringkan bahan, cawan aluminium sebagai wadah untuk pengeringan, stopwatch untuk menghitung waktu, ayakan untuk sortasi biji. • Metode Penelitian Percobaan dilakukan secara faktorial menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor. Faktor 1 adalah waktu pemasakan. Faktor II adalah jumlah air. Masing- masing perlakuan diulangi sebanyak 3 kali. Untuk beras yang digunakan pada semua perlakuan sebanyak 100 gram. Data yang diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui adanya pengaruh adanya interaksi dari variabel, yaitu variabel jumlah air dan lama pemasakan terhadap koefisian muai volume, kadar air, jumlah air yang diserap dan organoleptik. Kemudian akan dibandingkan hasil analisa masing-masing perlakuan dan diambil perlakuan mana yang terbaik dalam penelitian ini. Kadar air metode oven (AOAC, 1995). Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak mengalami degradasi pada suhu 100oC yaitu dengan suhu 105oC dalam waktu 12 sampai 24 jam. Nilai kadar air dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan terendah 50,889% pada perlakuan L3K1 yaitu pada lama pemasakan 16 menit dengan jumlah air 100 ml. Hal ini dikarenakan pemasakan nasi yang terlalu lama dan juga dikarenakan pada perlakuan ini pemberian air pada beras paling sedikit yaitu 100 ml menyebabkan air banyak yang menguap atau kehilangan air lebih banyak. Kadar air yang rendah juga menyebabkan tekstur nasi menjadi lebih keras. Sedangkan untuk kadar air terbesar yaitu sebesar 64,116% terdapat pada perlakuan L2K3 yaitu pada lama pemasakan 14 menit dengan jumlah air 200 ml. Hasil analisis rerata kadar air dapat dilihat pada Gambar : ANALISA BAHAN MAKANAN DARI BERAS. 1. ZAT ADITIF Ada beberapa pemutih pangan yang lazim digunakan yaitu nitrogen dioksida (NO2), nitrosil khlorida (NOCl), khlorin dioksida (ClO2). Masing-masing mempunyai daya pengoksidasi yang tinggi, sehingga tidak bisa digunakan sebagai BTM (Bahan tambahan makanan) mamin (makanan minuman) berlemak, karena akan memicu ketengikan. Khusus untuk khlorin sebenarnya merupakan salah satu unsur anorganik yang harus ada dalam tubuh sebanyak 0,15 persen dari berat, untuk membentuk jaringan tubuh, organ, dan sistem tubuh. Sementara itu khlorin (yang berfungsi sebagai pemutih) berupa gas, sehingga pada saat tepung diolah menjadi makanan, karena adanya pengaruh panas, maka gas akan hilang. Demikian pula khlorin yang kemungkinan ‘terjebak’ dalam beras adalah khlorin retensi. Artinya, bila beras dicuci, maka khlorin akan ikut dengan air pencuci, sehingga nasi yang dihasilkan, bebas khlorin. Kesimpulannya adalah umumnya BTM sintetik samacam pengawet mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil dan lebih murah. Namun demikian kelemahannya sering terjadi ketidaksempurnaan proses sintesisnya, sehingga berbahaya bagi kesehatan dan kadang-kadang mengandung zat yang karsinogenik, zat yang bisa memicu terjadinya kanker. Oleh sebab itu pemakaian pengawet dari pemutih beras harus jelas dan transparan. Artinya, harus mencantumkan kadar pengawet pada label kemasan harus jelas. 2. KONTAMINAN Besarnya kontaminasi sangat ditentukan oleh lama dan tidaknya beras berada dalam kemasan atau karung. Semakin lama beras dalam kemasan semakin besar peluang untuk terkontaminasi oleh jamur tersebut. Kontaminasi aflatoksin dan hubungannya terhadap lama penyimpanan jagung dan beras telah diamati di Provinsi Liaoning, China bagian Utara. Hampir semua sampel yang dikumpulkan mengandung aflatoksin, namun kandungannya masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah maksimum yang diatur di China dan negara lainnya. Dapat disimpulkan bahwa biji-bijian yang dikonsumsi oleh manusia dan ternak masih aman untuk dikonsumsi. 3. KANDUNGAN GIZI • Kandungan Serat • Kandungan Protein • Kandungan Gula Reduksi • Kualitas Beras Menurut SNI dan Inpres No.3/2012
Di sisi lain peningkatan konsumsi beras nasional dari tahun ke tahun akan makin terus bertambah seiring dengan adanya peningkatan jumlah penduduk. Penduduk Negara Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 252.162.786 jiwa dengan tingkat konsumsi nasional keselurahan 21.340.032.253,61 kilogram pertahun dan kebutuhan ini akan terus meningkat. Meskipun Indonesia adalah negara terbesar ketiga yang memproduksi beras terbanyak di dunia, Indonesia masih tetap merupakan negara importir beras. Situasi ini disebabkan karena para petani menggunakan teknik-teknik pertanian yang tidak optimal ditambah dengan konsumsi per kapita beras yang besar (oleh populasi yang besar). Bahkan, Indonesia memiliki konsumsi beras per kapita terbesar di dunia. Setiap orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 89 kilogram beras per tahun dan para petani kecil mengkontribusikan sekitar 90% dari produksi total beras di Indonesia, setiap petani itu memiliki lahan rata-rata kurang dari 0,8 hektar. Di sisi ekspor beras, Indonesia mengalami peningkatan volume ekspor dari tahun 2012 hingga 2014. Pada tahun 2012 volume ekspor Indonesia hanya 1.091 ton, naik menjadi 2.937 ton pada tahun 2013. Pada tahun 2014 Indonesia melakukan ekpor dengan volume ekspor tertinggi ke Negara Malaysia sebesar 1,23 ribu ton atau mencapai nilai perdagangan 36,18 ribu US$, ke dua ke Negara India dengan volume ekspor beras sebesar 1,19 ribu ton atau mencapai nilai 405,87 ribu US$. Beras Indonesia juga di ekspor ke beberapa Negara lainnya seperti Singapura, Timor Leste, Amerika Serikat, Jerman, Italia, dan Papua New Gini dengan masing-masing volume ekspor sebesar 317 ton, 159 ton, 60 ton, 19 dan 18 ton. Sedangkan di sisi impor, pergerakan angka impor beras dari tahun 2005 hingga tahun 2014 memperlihatkan pergerakan fluktuatif dengan kenaikan 320% atau setara dengan peningkatan volume hingga 607.297 ton. Pada tahun 2005 kuantitas impor berada pada angka 236.866,7 ton atau setara dengan nilai 61.752,8 ribu US Dollar. Angka impor ini mengalami penurunan dan kenaikan selama kurun waktu 9 tahun terakhir, dengan angka impor terbesar terjadi ketika tahun 2011 yang naik hingga mencapai 300% dari tahun sebelumnya, impor ini terjadi karena pada saat tahun 2011 tersebut produksi dalam negeri mengalami penurunan, maka pemerintah melakukan impor beras yang jumlahnya 2.750.476 ton, setelah itu volume impor beras Indonesia menurun perlahan hingga tahun 2014 hingga mencapai 844.164 ton.