Anda di halaman 1dari 5

KERANGKA METODOLOGIS-EPISTEMOLOGIS

ILMU KALAM
1. Metode: Agamis-Dialektis: sumber (wahyu/primer
dan akal/skunder; metode/agamis-dialektis),
berfikir yg berangkat dari keyakinan kebenaran
wahyu kemudian berujung pada penguatan oleh
akal. Dialektis: tesa-anti tesa-tesa-anti tesa dst.
2. Varian Met. Agamis: agamis-rasional (Mu’tazilah),
agamis tekstual (Ahlus Sunnah Salafiah---Ibn
Taimiah-Wahabiah—Muhamadiah dan
Salafi/Fundamentalis); dan agamis-sintesis (Ahlus
Sunnah-Khalafiah: Asy’ariah-Maturidiah—NU).
3. Agamis-tekstual. Bagi tekstualis, penjelasan ttg akidah Islam itu
sudah “selesai” di tangan generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in—pemegang otoritas, Qs. at-Taubah 100) sebagaimana tertuang
dalam “teks” yang ada berupa: teks al-Qur’an, as-Sunnah, qaul
sahabat dan tabi’in serta tabi’it tabi’in. Oleh karena itu, pemahaman
atas akidah Islam cukup dengan merujuk “teks-teks” yang telah ada
tersebut, tidak perlu melakukan penalaran mendalam-ijtihad. Dari
sinilah kemudian Ahlus Sunnah Salafiah menjadi aliran kalam yg paling
ketat berpegang pada teks dan paling minim menggunakan akal. Akal
hanya dipergunakan untuk “mensistematisasi teks” dan memberikan
“makna harfiah” ayat mutasyabihat---sesuai dg jargon mereka al-iman
wajib wa as-su’al bid’ah.
4. Agamis-rasional. Bagi rasionalis, Allah Mahapintar krn itu
ajaran akidah Islam sebagaimana tergelar dalam wahyu mesti
“rasional” dan karenanya harus dipahami secara rasional,
sehingga pemahaman akidah Islam bersifat rasional. Oleh karena
itu ketika ditemukan teks wahyu ttg akidah yang sepintas tidak
rasional maka wajib dilakukan takwil/dirasionalisasikan sehingga
makna-pemahamannya menjadi rasional. Misal: ayat
mutasyabihat seperti yadullahi fauqa aidihim, oleh kaum
rasionalis ditakwilkan (krn makna harfiahnya tidak rasional):
yadun ditakwilkan (dirasionalisasikan) dengan “kekuasaan”
sehingga makna ayat tersebut adalah “kekuasaan” Allah di atas
kekuasaan manusia.
5. Sintesis, dengan mengambil “jalan tengah” antara keduanya:
tidak seketat ahl as-Sunnah Salafi dlm berpegang pd teks dan
tak sebesar/sekuat kaum rasionalis-Mu’tajilah dlm
penggunaan akal. Kelompok sintesis ini bermaksud mangambil
hal positif dari keduanya, sekaligus bermaksud membuang hal
negatif dari keduanya; itulah sebabnya kelompok ini senantiasa
bermaksud berada di “jalan tengah” antara dua kutub ekstrims
tsb, sehingga mereka dikenal sbg teologi “jalan tengah”
(moderasi). Menurut Nurcholish Madjid, dg model “moderasi”
ini Asy’ariah menjadi teologi yg diterima banyak pihak, hingga
menjadi mayoritas hingga sekarang.
Meskipun metode agamis memiliki varian-varian,
namun semuanya bertemu dalam satu “fundamental
idea “ (Universa, Idea) yaitu sama-sama
menempatkn wahyu sbg sumber “primer” dan akal
sbg sumber “sekunder” (berfikir agamis)---benar,
benar, paling benar”. Karena itu berfikir agamis dlm
Ilmu Kalam sangat brgantung teks, dan itu sbbnya
dlm paradigma epistemologi Islam versi Abed al-
Jabiri (bayani, burhani dan ‘irfani) dsbt met. bayani .

Anda mungkin juga menyukai