Anda di halaman 1dari 48

HIPERTENSI

Vivi Sofia
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
Definisi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah


peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima
menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (JNC VIII,
2014)
JNC VIII: Evidence-based Guideline
JNC ~Joint National Committee on the prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure, yang berpusat di Amerika
DEFINISI HIPERTENSI

Berdasarkan pedoman terbaru American College of


Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
tahun 2017 mengenai pencegahan, diagnosis, evaluasi
dan tata laksana tekanan darah tinggi pada orang
dewasa, hipertensi didefinisikan sebagai hasil
pemeriksaan tekanan darah sistolik ≥130 mm Hg atau
diastolik ≥80 mm Hg.
Perubahan definisi ini menyebabkan peningkatan prevalensi
hipertensi di seluruh dunia, walaupun demikian hampir seluruh
pasien baru yang masuk kriteria hipertensi ini hanya
memerlukan tata laksana non-farmakologi untuk mengontrol
tekanan darahnya. Diagnosis dan tata laksana hipertensi secara
dini akibat perubahan definisi ini bertujuan untuk meningkatkan
keberhasilan kontrol tekanan darah dan membantu mencegah
timbulnya komplikasi
Note :
Ada 2 definisi, comparative yang lama (JNC VIII, 2014)
dan definisi terbaru menurut standar ACC/AHA,
2017. Perhatikan bedanya.
Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi HTN, PERHI 2019
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau
TDD ≥90 mmHg pada pengukuran berulang di klinik

KATEGORI TDS TDD


Optimal < 120 mmHg dan <80 mmHg

Normal 120-129 mmHg dan/atau 80-84 mmHg

Normal-tinggi 130-139 mmHg dan/atau 85-89 mmHg

Hipertensi derajat 1 140-159 mmHg dan/atau 90-99 mmHg

Hipertensi derajat 2 160-179 mmHg dan/atau 100-109 mmHg

Hipertensi derajat 3 ≥ 180 mmHg dan/atau ≥ 110 mmHg

Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 mmHg dan < 90 mmHg


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menunjukkan bahwa prevalensi
hipertensi di Indonesia mengalami
peningkatan dari 27,8% (Riskesdas 2013)
menjadi 34,1 % (Riskesdas, 2018)
GUIDLINE

Dalam penanganan hipertensi para ahli umumnya


mengacu kepada guideline-guideline yang ada. Data &
riset hipertensi berkembang → perubahan guidelines
hipertensi global ACC/AHA 2017 & ESC/ESH 2018.
Sebelumnya guideline yang dijadikan acuan dalam
penanganan hipertensi di Indonesia adalah Guideline
Joint National Committee JNC VIII yang dipublikasikan
pada tahun 2014
KONSESUS MEDIS
• Oleh karena itu, Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi PERHI merupakan
sintesa dari berbagai panduan internasional yang dibuat dengan
mengikutsertakan pertimbangan faktor lokal, kebijakan pemerintah, dan
kemudahan untuk diikuti.
• Konsensus Medis adalah kesepakatan tentang aspek tertentu dari
pengetahuan medis yang umumnya ditelaah dari berbagai artikel
berbasis bukti, state-of-the-art penelitian atau pengetahuan
dari sekelompok ahli yang kompeten dalam masalah
tersebut
Klasifikasi Hipertensi

1. Berdasarkan etiologinya : primer & sekunder


2. Berdasarkan bentuknya : HTN diastol, ISH (isolated
systolic hypertension), campuran
3. Jenis lain : Pulmonary hypertension
4. Hipertensi pada kehamilan
ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi :
1.Hipertensi primer/esensial
dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini tidak
diketahui penyebabnya.

2. Hipertensi sekunder/non esensial


adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10%
penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada
sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB), akibat penyakit lain
seperti feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya.
ETIOLOGI
HTN Pada Kehamilan

1. Hipertensi Gestasional
2. Hipertensi esensial Kronik (<20 minggu
kehamilan)
3. Pre-ekslampsia (>20 minggu kehamilan)
4. Ekslampsia (>20 minggu kehamilan)
Faktor resiko

Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi


1. Stress
1. Faktor genetik (riwayat keluarga 2. Obesitas
dengan hipertensi memberikan 3. Nutrisi
resiko terkena hipertensi 4. Serum lipid
sebanyak 75%). 5. Aktivitas fisik
2. Umur, jenis kelamin, dan etnis. 6. Asupan garam
Symptom

Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala


dapat bervariasi pada masing-masing individu
dan hampir sama dengan gejala penyakit
lainnya. Gejala-gejalanya itu antara lain sakit
kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo),
jantung berdebar-debar, mudah Ielah,
penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus),
dan mimisan.
Symptom
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi
nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit
penyerta lainnya. Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target
indeks massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2),
kontrol diet berdasarkan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang
disarankan adalah < 6 g/hari.
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

Waktu memulai terapi hipertensi, jenis antihipertensi


yang diberikan, pemantauan risiko kejadian penyakit
kardiovaskular dan target tekanan darah yang perlu
dicapai menjadi perhatian yang penting dan harus
disesuaikan berdasarkan kondisi komorbid yang
dimiliki pasien
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30
menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan
konsumsi alkohol.

Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga


mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi
didasarkan usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi
antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat

pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu
Jenis obat antihipertensi:
1.Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan
cairan tubuh (lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh
berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih
ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-
obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor
3. Calsium channel blocker
Kerja obat golongan ini menghambat Golongan obat ini berkerja

pembentukan zat angiotensin II (zat menurunkan menurunkan daya


yang dapat meningkatkan tekanan pompa jantung dengan
darah). Efek samping yang sering menghambat kontraksi otot
timbul adalah 10 batuk kering, pusing jantung (kontraktilitas). Contoh
sakit kepala dan lemas. Contoh obat
obat yang tergolong jenis obat ini
yang tergolong jenis ini adalah
adalah amlodipin, diltiazem dan
Catopril, enalapril, dan lisinopril .

nitrendipin.
5. Beta blocker
4. ARB
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi
penurunan daya pompa jantung. Jenis obat
penempelan zat angiotensin II pada
ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah
reseptornya yang mengakibatkan
diketahui mengidap gangguan pernafasan
ringannya daya pompa jantung. Obat-
seperti asma bronchial. Contoh obat yang
obatan yang termasuk golongan ini
tergolong ke dalam beta blocker adalah
adalah eprosartan, candesartan, dan
atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol
losartan.
STRATEGI
• Strategi A
– Dimulai dengan satu obat kemudian ditambah obat kedua setelah dilakukan titrasi obat
pertama sampai dosis maksimum yang direkomendasikan (maksimumkan dulu dosis
obat pertama)
• Strategi B
– Dimulai dengan satu obat, lalu ditambah obat kedua sebelum titrasi obat pertama
mencapai dosis maksimum yang direkomendasikan
• Strategi C
– Dimulai dengan dua obat dan dilakukan titrasi sampai dosis maksimum yg
direkomendasikan, baru ditambah obat ketiga
Catt : jangan lakukan kombinasi ACEI dan ARB
ARB
CCB
CCB
DIURETIK
BETA BLOKER
α1 - BLOKER
• Prazosin, terazosin, and doxazosin are selective α 1-receptor blockers that inhibit
catecholamine uptake in smooth muscle cells of peripheral vasculature, resulting in
vasodilation.
• A first-dose phenomenon characterized by orthostatic hypotension accompanied by
transient dizziness or faintness, palpitations, and even syncope may occur within 1 to
3 hours of the first dose or after later dosage increases. The patient should take the
first dose (and subsequent first increased doses) at bedtime. Occasionally, orthostatic
dizziness persists with chronic administration.
• Sodium and water retention can occur; these agents are most effective when given
with a diuretic to maintain antihypertensive efficacy and minimize edema.
• Because doxazosin (and probably other α1-receptor blockers) may not be as protective against CV events as other
therapies, they should be reserved as alternative
agents for unique situations, such as men with benign prostatic hyperplasia. If used
to lower BP in this situation, they should only be used in combination with first-line antihypertensives.
Direct Renin Inhibitor
• Aliskiren blocks the RAAS at its point of activation, resulting in reduced plasma
renin activity and BP. BP reductions are comparable to an ACE inhibitor, ARB, or
CCB. Aliskiren is approved for monotherapy or in combination with other agents.
It should not be used in combination with an ACE inhibitor or an ARB because of a
higher risk of adverse effects without additional reduction in CV events.
• Many of the cautions and adverse effects seen with ACE inhibitors and ARBs apply
to aliskiren. It is contraindicated in pregnancy.
• Use aliskiren only as an alternative therapy because of lack of long-term studies
evaluating CV event reduction and its significant cost compared with generic agents
that have outcomes data.
Central α 2-Agonists
• Clonidine, guanabenz, guanfacine, and methyldopa lower BP primarily by stimulating α2-adrenergic
receptors in the brain, which reduces sympathetic outflow from the
vasomotor center and increases vagal tone. Stimulation of presynaptic α2-receptors
peripherally may contribute to reduced sympathetic tone. Consequently, there may be
decreases in heart rate, cardiac output, total peripheral resistance, plasma renin activity,
and baroreceptor reflexes.
• Chronic use results in sodium and fluid retention. Other side effects include depression, orthostatic
hypotension, dizziness, and anticholinergic effects.
• Methyldopa rarely causes hepatitis or hemolytic anemia. A transient elevation in hepatic transaminases
occasionally occurs. Discontinue therapy if persistent increases in liver function tests occur, because this
may herald onset of fulminant, life-threatening hepatitis. Coombs-positive hemolytic anemia occurs rarely,
and 20% of patients exhibit a positive direct Coombs test without anemia. For these reasons,
methyldopa has limited usefulness except pregnancy
Direct Arterial Vasodilators
• Hydralazine and minoxidil cause direct arteriolar smooth muscle relaxation. Compensatory activation of
baroreceptor reflexes results in increased sympathetic outflow from the vasomotor center, increasing heart
rate,cardiac output,and renin release. Consequently, hypotensive effectiveness of direct vasodilators diminishes over
time unless the patient is also taking a sympathetic inhibitor and a diuretic.
• Patients taking these drugs for long-term hypertension therapy should first receive both a diuretic and a β-blocker.
The diuretic minimizes the side effect of sodium and water retention. Direct vasodilators can precipitate angina in
patients with underlying coronary artery disease unless the baroreceptor reflex mechanism is completely blocked with
a β-blocker. Nondihydropyridine CCBs can be used as an alternative to β-blockers in patients with contraindications to
β-blockers.
• Hydralazine may cause dose-related, reversible lupus-like syndrome, which is more common in slow acetylators.
Lupus-like reactions can usually be avoided by using total daily doses less than 200 mg. Because of side effects,
hydralazine has limited usefulness for chronic hypertension management. • Minoxidil is a more potent vasodilator
than hydralazine, and compensatory increases in heart rate, cardiac output, renin release, and sodium retention are
more dramatic. Severe sodium and water retention may precipitate congestive HF. Minoxidil also causes reversible
hypertrichosis on the face, arms, back, and chest. Reserve minoxidil for very difficult to control hypertension and for
patients requiring hydralazine who experience drug-induced lupus.
HTN PADA PASIEN PKV
Memulai Terapi Antihipertensi pada Pasien dengan Penyakit Kardiovaskular (PKV)
• Pedoman ACC/AHA tahun 2017 merekomendasikan untuk melakukan perhitungan risiko
penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun kedepan pada seluruh pasien dengan tekanan darah
sistolik ≥130 mm Hg atau diastolik ≥80 mm Hg.

• Pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥130-139 mm Hg atau diastolik ≥80-89 mm Hg
dan risiko penyakit kardiovaskular <10%, terapi dimulai dengan penerapan pola hidup sehat
dan pemantauan dalam 3-6 bulan.

• Pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥130-139 mm Hg atau diastolik ≥80-89 mm Hg
dengan risiko penyakit kardiovaskular >10% atau dengan riwayat penyakit kardiovaskular
sebelumnya terapi dilakukan dengan perubahan gaya hidup sehat ditambah dengan
pemberian 1 jenis obat penurun tekanan darah.
PENATALAKSANAAN HTN PADA PASIEN PKV

• Pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥140 mm Hg atau


diastolik ≥90 mm Hg direkomendasikan untuk melakukan
perubahan gaya hidup sehat dan penggunaan 2 jenis obat
antihipertensi dari 2 kelas yang berbeda.
• Penggunaan obat penurun tekanan darah pada pasien dengan
riwayat penyakit kardiovaskular dengan tekanan darah sistolik
≥130 mm Hg atau diastolik ≥80 mm Hg harus dilakukan sebagai
upaya pencegahan sekunder untuk mengurangi risiko serangan
jantung berulang
Penyakit jantung koroner

Betabloker merupakan obat pilihan pertama untuk tata laksana hipertensi


pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Betabloker memiliki sifat
inotropik dan kronotropik negatif sehingga menurunkan frekuensi denyut
jantung dan memberikan waktu yang lebih panjang untuk pengisian
ventrikel dan perfusi koroner jantung. Pada kondisi angina pektoris
 dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, pemberian betabloker dapat
ditunda sampai kondisi stabil. Pilihan betabloker yang disarankan yaitu
carvedilol, metroprolol, bisoprolol, propranolol dan timolol.
PENATALAKSANAAN HTN PADA PKV

Selain betabloker, obat lain seperti ACE inhibitor (ACEi)


atau angiotensin receptor blocker (ARB) sebaiknya
ditambahkan pada pasien dengan penyakit jantung
koroner yang disertai diabetes mellitus dengan atau
tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri. Selain itu
pemberian diuretik golongan tiazid dapat ditambahkan
apabila diperlukan.
PENATALAKSANAAN HTN PADA PKV

Apabila tekanan darah belum terkontrol, obat calcium


channel blocker (CCB) kerja panjang golongan
dihidropiridin (amlodipin) dapat ditambahkan.
Penggunaan CCB nondihidropiridin (verapamil atau
diltiazem) bersamaan dengan betabloker sebaiknya
dihindari pada pasien dengan penyakit jantung koroner
karena dapat menimbulkan gagal jantung dan bradikardi
yang signifikan.
Target Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi
dengan Penyakit Kardiovaskular 
• Sebelum adanya pedoman terbaru ACC/AHA tahun 2017,
pedoman tahun 2015 menetapkan target penurunan tekanan
darah pada pasien hipertensi dengan penyakit kardiovaskular
adalah <140/90 mm Hg. Pada pasien dengan penyakit jantung
koroner, penurunkan tekanan darah harus dilakukan secara
perlahan dan sebaiknya tekanan diastolik tidak <60 mm Hg
karena dapat berisiko menyebabkan perburukan iskemia
miokardium
PENATALAKSANAAN HTN PADA PKV

• Berdasarkan pedoman terbaru ACC/AHA tahun 2017,


target penurunan tekanan darah pada seluruh kondisi
baik secara umum ataupun dengan komorbid penyakit
kardiovaskular berubah menjadi <130/80 mm Hg.
Target tekanan darah <130/80 mm Hg tersebut
sebelumnya sudah pernah disebutkan pada pedoman
tahun 2015 namun sebagai saran tambahan dan
bersifat lebih fleksibel.
PENATALAKSANAAN HTN PADA PKV
Kesimpulan 
• Hipertensi meningkatkan risiko kejadian penyakit
kardiovaskular dan kematian.
• Pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular >10% atau
riwayat kejadian penyakit kardiovaskular sebelumnya,
pemberian obat penurunan tekanan darah sudah harus
dimulai pada TD ≥ 130/80 mm Hg.
• Pilihan obat antihipertensi disesuaikan dengan kondisi penyakit
kardiovaskular yang dialami pasien.
– Penyakit jantung koroner : betabloker + ACEI atau ARB + thiazid bila
perlu
– Gagal jantung : diuretik pada kondisi overload + ACEI atau ARB +
betabloker saat stabil
– Fibrilasi atrium : betabloker atau CCB nondihidropiridin + ARB
– Hipertrofi ventrikel kiri : ACEI atau ARB
– Penyakit arteri perifer : ACEI atau CCB
• Target penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan penyakit
kardiovaskular adalah <130/80 mmHg

Anda mungkin juga menyukai