PERUBAHAN FATWA 2. LANDASAN YURIDIS PERUBAHAN FATWA 3. FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN FATWA Perubahan fatwa adalah berbedanya hasil fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti dengan fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sebelumnya karena adanya hal-hal yang mempengaruhinya, apakah itu tempat, waktu, „urf (kebiasaan), dan lain sebagainya LANDASAN YURIDIS PERUBAHAN FATWA Surat al-anfal ayat 65-66 ُون َ صابِر َ ُون َ ال ۚ إِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْشر ِ َين َعلَى ْالقِت َ ِض ْال ُم ْؤ ِمن ِ يَا أَ ُّيهَا النَّبِ ُّي َح ِّر ين َكفَرُوا بِأَنَّهُ ْم قَ ْو ٌم اَل َ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَي ِْن ۚ َوإِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَةٌ يَ ْغلِبُوا أَ ْلفًا ِم َن الَّ ِذ َ يَ ْفقَه ُون
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. LANJUTAN AL-ANFAL: 66
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. HADIS 1. Hadis tentang mencium istri ketika berpuasa. صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن َ َن َر ُج ًل َسأ ََل النَّبِ َّي َّ أ،َع ْن أَبِي ُه َرْي َرَة فَِإذَا،»ُ « َفَن َهاه،ُسأَلَه ف َ ، ر خ آ اه تَ أو ،» هَل ص َّ خ ر ف َ « ، مِ ِ ائ لص َّ ِ ل ِ ة ال ُْمبَا َش َر َ َُ ُ َ َ ُ َ َ ٌّ َوالَّ ِذي َن َهاهُ َش،ص لَهُ َش ْي ٌخ اب َ َ َّ خ ر ي ِ َّال ذ “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw. tentang mencium istri ketika sedang berpuasa, maka Nabi memberikan rukhsah kepadanya. Kemudian datang lagi seorang laki-laki menanyakan hal yang sama, maka Nabi melarangnya. Laki-laki yang diberikan rukhsah itu adalah kakek-kakek yang sudah tua, sedangkan yang dilarang oleh Nabi itu adalah seorang syabab (pemuda)”. (HR. Abu Daud) Hadis di atas menunjukkan bahwa berbedanya jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW atas pertanyaan yang sama dari dua orang sahabat. Rasulullah SAW memberikan jawaban melihat kondisi orang yang bertanya terlebih dahulu, kepada orang yang masih muda tidak diperbolehkan oleh Nabi SAW untuk mencium istrinya ketika dia sedang berpuasa, sedangkan kepada orang yang sudah tua diperbolehkan oleh Nabi SAW mencium istrinya ketika dia sedang berpuasa, alasannya karena orang yang sudah tua itu bisa mengendalikan nafsunya. Ini menandakan adanya perubahan sabda yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. 2. Hadis tentang ziarah kubur « َن َه ْيتُ ُك ْم َع ْن:صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِ ُ ال رس َ ول اللَّه َ َ َع ْن أَبِ ِيه ق،ََع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن ُب َريْ َدة ُ َ َ َ ق:ال وها ِ ِِزيار َ ور ُ زُ ف َ ر و بقُ ُ ََْ ل ا ة Dari Abdullah Ibn Buraidah dari bapaknya, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarang kalian untuk melakukan ziarah kubur, sekarang lakukanlah ziarah kubur itu…” (HR. al-Nasa’i ) Hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah ini menunjukkan berbedanya sabda yang dikeluarkan oleh Nabi SAW, pada awalnya Rasul menyatakan tidak bolehnya melakukan ziarah kubur, setelah berlalu waktu kemudian Rasulullah saw memperbolehkan ziarah kubur. Dari ayat dan hadits-hadits di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bolehnya melakukan perubahan terhadap fatwa, dengan memperhatikan situasi dan kondisi, apakah fatwa yang sudah ada itu cocok untuk diterapkan atau tidak. Jika fatwa itu cocok, maka harus diterapkan, jika tidak cocok, maka harus diadakan kajian untuk melakukan perubahan terhadap fatwa tersebut supaya fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan situasi dan kondisi. KAIDAH-KAIDAH PERUBAHAN FATWA تغري الفتوى بتغري الزمان واملكان Perubahan fatwa disebabkan karena berubahnya zaman dan tempat تغري الفتوى واختالفها حيسب تغري األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعوائد Perubahan dan perbedaan fatwa tergantung pada berubahnya zaman, tempat, keadaan, niat, adat kebiasaan ال ينكر تغير االحكام بتغير الزمان Tidak dapat di pungkiri Perubahan fatwa disebabkan karena berubahnya zaman (waktu)
ال ينكر تغير االحكام المبينة على المصلحة والعرف بتغير الزمان
Tidak dapat pungkiri perubahan hukum atas kemashlahatan
dan urf bergantung pada berubahnya zaman (waktu) FAKTOR PERUBAHAN FATWA VERSI IBN QOYYIM AL-JAUZIYYAH 1. Zaman (waktu) 2. Al-Amkinah (tempat) 3. Al-Ahwalu (keadaan) 4. Al-Niatu (niat) 5. Al-’awaidu (adat kebiasaan) ADA 10 FAKTOR FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN FATWA VERSI YUSUF AL-QORDHOWI 1. Perubahan tempat Perubahan tempat dapat menjadikan perbedaan hukum. Orang yang bertempat tinggal di suhu dingin berbeda dengan tempat bersuhu panas. Orang yang tinggal di Indonesia beda dengan di kutub selatan yang hari-harinya diliputi salju. Dalam hal ini, hukum dapat saja berbeda dari satu tempat dan tempat yang lain. Suatu ketika, Amr bin Ash pernah junub lalu sholat dengan tayammum. Hal ini sampai kepada Rasulullah, dan Amr menjawab bahwa malam tersebut sangat dingin, sembari mengutip ayat Alquran, “dan jangalah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu” (Q.S: An- nisaa': 29) 2. Perubahan waktu (zaman) Yang dimaksud dengan perubahan waktu adalah perubahan manusia seiring perubahan waktu. Seperti hukuman orang yang minum khamar. Pada masa Rasulullah hukuman ini diterapkan dengan ta’zir, ada yang memukul dengan tangan, sandal dan baju. Hal ini disebabkan karena orang-orang dekat dengan waktu kebiasaan minum. Namun akhirnya hukum cambuk berlaku. Tetapi Rasulullah tidak memberikan batasan tertentu. Kadang 40 kali, kurang, bahkan lebih. Pada masa Abu Bakar, Khalifah menetapkan hukuman 40 kali. Sementara di masa Umar, ditetapkan hukum cambuk 80 kali. Mushtafa az-Zarqa mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukum ini dapat berasal dari kerusakan akhlak, hilangnya sifat wara’ dan kelemahan hati. Para ulama menyebutnya dengan kerusakan masa (zaman). 3. Perubahan Kondisi Perubahan kondisi menyebabkan perubahan hukum. Kondisi sempit tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak sama dengan sehat, kondisi perang tidak sama dengan aman, kondisi kuat tidak sama dengan lemah. Nabi sendiri pernah mengeluarkan putusan hukum yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Kondisi minoritas muslim di masyarakat non-Islam tentu beda dengan kondisi masyarakat mayoritas muslim. Dalam hal ini, kondisi minoritas muslim membutuhkan kemudahan (taisir) dan keringanan (takhfif) sehingga mereka bisa hidup dengan agamanya sendiri di tengah komunitas non-muslim. 4. Perubahan Tradisi Misalnya tradisi perdagangan dan ekonomi modern dimana dalam fikih klasik harus ada “taqabudh” (dari tangan ke tangan). Sementara sekarang ini pembayaran dilakukan dengan cek atau transfer uang. Dan masih banyak lagi perubahan tradisi dalam ekonomi, sosial dan politik yang membutuhkan perubahan hukum. Contoh lainnya adalah jual beli via internet. 5. Perubahan Pengetahuan Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi, pengetahuan modern menyuguhkan informasi-informasi yang akurat, misalnya saja tentang peredaran bulan (ilmu falak). Dengan demikian apakah penentuan hari raya harus memakai kesaksian melihat hilal? 6. Perubahan kebutuhan manusia Kebutuhan orang dulu berbeda dengan kebutuhan masyarakat modern. Apa yang menjadi pelenggap (hajiyat) bagi orang dulu dapat saja suatu hal yang dharuriy (pokok) bagi orang sekarang. Majelis Fatwa dan Riset Eropa mengeluarkan fatwa bahwa dibolehkannya membeli rumah dari bank riba bagi minoritas muslim. Landasannya adalah bahwa kebutuhan muslim terhadap itu sangat besar dan darurat. Kaidahnya yaitu, “al-hajah tanzilu manzilah adh-dharurah khassah kanat au ‘ammah” (kebutuhan menduduki posisi darurat, baik khusus ataupun umum) 7. Perubahan kemampuan manusia Perkembangan ilmu pengetahuan membuat manusia berkemampuan lebih mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini juga dapat mempengaruhi hukum itu sendiri. Contohnya, dizaman sekarang perjalanan jauh dapat ditempuh dengan singkat dengan kemampuan manusia menghadirkan teknologi transportasi seperti pesawat. Dengan demikian apakah perjalanan tersebut masih dapat dikategorikan dalam perjalanan jauh yang mendapatkan keringanan? Terlebih lagi tersedianya fasilitas untuk sholat. 8. Perubahan sosial, ekonomi dan politik. Ini sangat jelas sekali, misalnya dalam Negara mayoritas muslim, non-muslim tidak perlu lagi disebut ahl dzimmah, statusnya sama sebagai warga Negara dan tidak ada lagi kata jizyah. Hal ini pula yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. 9. Perubahan pendapat dan pemikiran Hukum dihasilkan dari proses ijtihad. Dalam berijtihad banyak manhaj, metode, perenungan dan sikap yang ditempuh ahli hukum. Ada yang bersikap syadid (keras) ada yang khafif (ringan). Dari literal kepada maksud- maksud dan illat-illat hukum. Tentu saja hal ini dapat merubah keputusan hukum (fatwa). Para ulama sendiri banyak mengoreksi kembali pendapatnya setelah berbagai perenungan dan pemikiran yang mendalam dari berbagai sudut.. 10. Musibah (ujian dan cobaan) Zaman sekarang, banyak sekali ujian dan cobaan terhadap kaum muslim. Misalnya televisi yang begitu marak menampilkan nyanyian tak layak, tontonan tidak halal, bercampurnya laki-laki dan wanita dalam institusi dan pekerjaan dan lain sebagainya. Keadaan-keadaan seperti ini menuntut hukum yang sesuai dengan itu. Karena musibah dapat menyebabkan keringanan hukum, selama keharamannya tidak qat’I apalagi termasuk dosa-dosa besar.