Anda di halaman 1dari 22

1.

TEORI DAN KAIDAH


PERUBAHAN FATWA 2.
LANDASAN YURIDIS
PERUBAHAN FATWA 3.
FAKTOR-FAKTOR
PERUBAHAN FATWA
Perubahan fatwa adalah berbedanya hasil fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang mufti dengan fatwa yang
dikeluarkan oleh mufti sebelumnya karena adanya hal-hal
yang mempengaruhinya, apakah itu tempat, waktu, „urf
(kebiasaan), dan lain sebagainya
LANDASAN YURIDIS PERUBAHAN
FATWA
Surat al-anfal ayat 65-66
‫ُون‬
َ ‫صابِر‬ َ ‫ُون‬ َ ‫ال ۚ إِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْشر‬ ِ َ‫ين َعلَى ْالقِت‬ َ ِ‫ض ْال ُم ْؤ ِمن‬ ِ ‫يَا أَ ُّيهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
‫ين َكفَرُوا بِأَنَّهُ ْم قَ ْو ٌم اَل‬
َ ‫يَ ْغلِبُوا ِمائَتَي ِْن ۚ َوإِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَةٌ يَ ْغلِبُوا أَ ْلفًا ِم َن الَّ ِذ‬
َ ‫يَ ْفقَه‬
‫ُون‬

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk


berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir
itu kaum yang tidak mengerti.
LANJUTAN AL-ANFAL: 66

ٌ‫ض ْع ًفا ۚ فَِإ ْن يَ ُك ْن ِمْن ُك ْم ِمائَة‬ ‫م‬ ‫ك‬


ُ ‫ي‬ِ‫َن ف‬َّ ‫أ‬ ‫م‬ ِ‫اآْل َن خ َّفف اللَّه عْن ُكم وعل‬
َ ْ َ ََ ْ َ ُ َ َ
ۗ ‫ف َي ْغلِبُوا أَلْ َفنْي ِ بِِإ ْذ ِن اللَّ ِه‬ ‫ل‬
ْ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ن‬‫م‬ِ
ٌ ْ ْ ْ َ َ ‫صابَِرةٌ َي ْغلُ ََ نْي‬
َ ‫ن‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬ ‫ن‬
ْ ِ
‫إ‬‫و‬ ۚ ِ ‫ت‬ ‫ائ‬ ‫م‬ِ ‫ا‬‫و‬ ‫ب‬ِ
َ
‫ين‬ ِ
‫ر‬ ِ‫الصاب‬ ‫ع‬ َّ
َ َّ َ َ ‫َوالل‬
‫م‬ ‫ه‬
ُ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah


mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada
diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan
dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
HADIS
1. Hadis tentang mencium istri ketika berpuasa.
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن‬
َ ‫َن َر ُج ًل َسأ ََل النَّبِ َّي‬
َّ ‫ أ‬،‫َع ْن أَبِي ُه َرْي َرَة‬
‫ فَِإذَا‬،»ُ‫ « َفَن َهاه‬،ُ‫سأَلَه‬ ‫ف‬
َ ، ‫ر‬ ‫خ‬ ‫آ‬ ‫اه‬ ‫ت‬َ
‫أ‬‫و‬ ،» ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ص‬ َّ
‫خ‬ ‫ر‬ ‫ف‬
َ « ، ‫م‬ِ ِ
‫ائ‬ ‫لص‬
َّ ِ
‫ل‬ ِ
‫ة‬ ‫ال ُْمبَا َش َر‬
َ َُ ُ َ َ ُ َ َ
ٌّ ‫ َوالَّ ِذي َن َهاهُ َش‬،‫ص لَهُ َش ْي ٌخ‬
‫اب‬ َ َ َّ
‫خ‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ِ َّ‫ال‬
‫ذ‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi Saw. tentang mencium istri ketika sedang
berpuasa, maka Nabi memberikan rukhsah kepadanya.
Kemudian datang lagi seorang laki-laki menanyakan hal yang
sama, maka Nabi melarangnya. Laki-laki yang diberikan
rukhsah itu adalah kakek-kakek yang sudah tua, sedangkan
yang dilarang oleh Nabi itu adalah seorang syabab
(pemuda)”. (HR. Abu Daud)
Hadis di atas menunjukkan bahwa berbedanya jawaban
yang diberikan oleh Rasulullah SAW atas pertanyaan yang
sama dari dua orang sahabat. Rasulullah SAW memberikan
jawaban melihat kondisi orang yang bertanya terlebih
dahulu, kepada orang yang masih muda tidak
diperbolehkan oleh Nabi SAW untuk mencium istrinya
ketika dia sedang berpuasa, sedangkan kepada orang yang
sudah tua diperbolehkan oleh Nabi SAW mencium istrinya
ketika dia sedang berpuasa, alasannya karena orang yang
sudah tua itu bisa mengendalikan nafsunya. Ini
menandakan adanya perubahan sabda yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW.
2. Hadis tentang ziarah kubur
‫ « َن َه ْيتُ ُك ْم َع ْن‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َ َ‫ َع ْن أَبِ ِيه ق‬،َ‫َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن ُب َريْ َدة‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫وها‬ ِ ِ‫ِزيار‬
َ ‫ور‬
ُ ‫ز‬ُ ‫ف‬
َ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ب‬‫ق‬ُ
ُ ََْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ة‬
Dari Abdullah Ibn Buraidah dari bapaknya, dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarang kalian untuk
melakukan ziarah kubur, sekarang lakukanlah ziarah kubur
itu…” (HR. al-Nasa’i )
Hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah ini menunjukkan
berbedanya sabda yang dikeluarkan oleh Nabi SAW, pada
awalnya Rasul menyatakan tidak bolehnya melakukan
ziarah kubur, setelah berlalu waktu kemudian Rasulullah
saw memperbolehkan ziarah kubur.
Dari ayat dan hadits-hadits di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa bolehnya melakukan perubahan
terhadap fatwa, dengan memperhatikan situasi dan kondisi,
apakah fatwa yang sudah ada itu cocok untuk diterapkan
atau tidak. Jika fatwa itu cocok, maka harus diterapkan,
jika tidak cocok, maka harus diadakan kajian untuk
melakukan perubahan terhadap fatwa tersebut supaya
fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan situasi dan kondisi.
KAIDAH-KAIDAH PERUBAHAN FATWA
‫تغري الفتوى بتغري الزمان واملكان‬
Perubahan fatwa disebabkan karena berubahnya zaman dan
tempat
‫تغري الفتوى واختالفها حيسب تغري األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعوائد‬
Perubahan dan perbedaan fatwa tergantung pada
berubahnya zaman, tempat, keadaan, niat, adat kebiasaan
‫ال ينكر تغير االحكام بتغير الزمان‬
Tidak dapat di pungkiri Perubahan fatwa disebabkan
karena berubahnya zaman (waktu)

‫ال ينكر تغير االحكام المبينة على المصلحة والعرف بتغير الزمان‬

Tidak dapat pungkiri perubahan hukum atas kemashlahatan


dan urf bergantung pada berubahnya zaman (waktu)
FAKTOR PERUBAHAN FATWA VERSI IBN
QOYYIM AL-JAUZIYYAH
1. Zaman (waktu)
2. Al-Amkinah (tempat)
3. Al-Ahwalu (keadaan)
4. Al-Niatu (niat)
5. Al-’awaidu (adat kebiasaan)
ADA 10 FAKTOR
FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN FATWA
VERSI YUSUF AL-QORDHOWI
1. Perubahan tempat
Perubahan tempat dapat menjadikan perbedaan hukum.
Orang yang bertempat tinggal di suhu dingin berbeda
dengan tempat bersuhu panas. Orang yang tinggal di
Indonesia beda dengan di kutub selatan yang hari-harinya
diliputi salju. Dalam hal ini, hukum dapat saja berbeda dari
satu tempat dan tempat yang lain. Suatu ketika, Amr bin
Ash pernah junub lalu sholat dengan tayammum. Hal ini
sampai kepada Rasulullah, dan Amr menjawab bahwa
malam tersebut sangat dingin, sembari mengutip ayat
Alquran, “dan jangalah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu” (Q.S: An-
nisaa': 29)
2.   Perubahan waktu (zaman)
Yang dimaksud dengan perubahan waktu adalah perubahan
manusia seiring perubahan waktu. Seperti hukuman orang yang
minum khamar. Pada masa Rasulullah hukuman ini diterapkan
dengan ta’zir, ada yang memukul dengan tangan, sandal dan baju.
Hal ini disebabkan karena orang-orang dekat dengan waktu
kebiasaan minum. Namun akhirnya hukum cambuk berlaku.
Tetapi Rasulullah tidak memberikan batasan tertentu. Kadang 40
kali, kurang, bahkan lebih. Pada masa Abu Bakar, Khalifah
menetapkan hukuman 40 kali. Sementara di masa Umar,
ditetapkan hukum cambuk 80 kali. Mushtafa az-Zarqa
mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukum ini dapat berasal
dari kerusakan akhlak, hilangnya sifat wara’ dan kelemahan hati.
Para ulama menyebutnya dengan kerusakan masa (zaman).
3.   Perubahan Kondisi
Perubahan kondisi menyebabkan perubahan hukum.
Kondisi sempit tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi
sakit tidak sama dengan sehat, kondisi perang tidak sama
dengan aman, kondisi kuat tidak sama dengan lemah. Nabi
sendiri pernah mengeluarkan putusan hukum yang berbeda
antara satu orang dengan yang lain. Kondisi minoritas
muslim di masyarakat non-Islam tentu beda dengan kondisi
masyarakat mayoritas muslim. Dalam hal ini, kondisi
minoritas muslim membutuhkan kemudahan (taisir) dan
keringanan (takhfif) sehingga mereka bisa hidup dengan
agamanya sendiri di tengah komunitas non-muslim.
4. Perubahan Tradisi
Misalnya tradisi perdagangan dan ekonomi modern dimana
dalam fikih klasik harus ada “taqabudh” (dari tangan ke
tangan). Sementara sekarang ini pembayaran dilakukan
dengan cek atau transfer uang. Dan masih banyak lagi
perubahan tradisi dalam ekonomi, sosial dan politik yang
membutuhkan perubahan hukum. Contoh lainnya adalah
jual beli via internet.
5. Perubahan Pengetahuan
Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi,
pengetahuan modern menyuguhkan informasi-informasi
yang akurat, misalnya saja tentang peredaran bulan (ilmu
falak). Dengan demikian apakah penentuan hari raya harus
memakai kesaksian melihat hilal?
6. Perubahan kebutuhan manusia
Kebutuhan orang dulu berbeda dengan kebutuhan
masyarakat modern. Apa yang menjadi pelenggap (hajiyat)
bagi orang dulu dapat saja suatu hal yang dharuriy (pokok)
bagi orang sekarang. Majelis Fatwa dan Riset Eropa
mengeluarkan fatwa bahwa dibolehkannya membeli
rumah dari bank riba bagi minoritas muslim. Landasannya
adalah bahwa kebutuhan muslim terhadap itu sangat besar
dan darurat. Kaidahnya yaitu, “al-hajah tanzilu manzilah
adh-dharurah khassah kanat au ‘ammah” (kebutuhan
menduduki posisi darurat, baik khusus ataupun umum)
7. Perubahan kemampuan manusia
Perkembangan ilmu pengetahuan membuat manusia
berkemampuan lebih mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya. Hal ini juga dapat mempengaruhi hukum itu
sendiri. Contohnya, dizaman sekarang perjalanan jauh
dapat ditempuh dengan singkat dengan kemampuan
manusia menghadirkan teknologi transportasi seperti
pesawat. Dengan demikian apakah perjalanan tersebut
masih dapat dikategorikan dalam perjalanan jauh yang
mendapatkan keringanan? Terlebih lagi tersedianya
fasilitas untuk sholat.
8. Perubahan sosial, ekonomi dan politik.
Ini sangat jelas sekali, misalnya dalam Negara mayoritas
muslim, non-muslim tidak perlu lagi disebut ahl dzimmah,
statusnya sama sebagai warga Negara dan tidak ada lagi
kata jizyah. Hal ini pula yang pernah dilakukan oleh Umar
bin Khattab.
9. Perubahan pendapat dan pemikiran
Hukum dihasilkan dari proses ijtihad. Dalam berijtihad
banyak manhaj, metode, perenungan dan sikap yang
ditempuh ahli hukum. Ada yang bersikap syadid (keras)
ada yang khafif (ringan). Dari literal kepada maksud-
maksud dan illat-illat hukum. Tentu saja hal ini dapat
merubah keputusan hukum (fatwa). Para ulama sendiri
banyak mengoreksi kembali pendapatnya setelah berbagai
perenungan dan pemikiran yang mendalam dari berbagai
sudut..
10. Musibah (ujian dan cobaan)
Zaman sekarang, banyak sekali ujian dan cobaan terhadap
kaum muslim. Misalnya televisi yang begitu marak
menampilkan nyanyian tak layak, tontonan tidak halal,
bercampurnya laki-laki dan wanita dalam institusi dan
pekerjaan dan lain sebagainya. Keadaan-keadaan seperti ini
menuntut hukum yang sesuai dengan itu. Karena musibah
dapat menyebabkan keringanan hukum, selama
keharamannya tidak qat’I apalagi termasuk dosa-dosa
besar.

Anda mungkin juga menyukai