Anda di halaman 1dari 34

PATOFISIOLOGI

SISTEM
REPRODUKSI
Dosen Pengampu:
apt. Mira Febrina, M.Sc
Kelompok 3

Della Vasmati 2001050


Irfan Maulan 2001058
Jesy Milianty 2001059
Rifani Karisma Putri 2001073
Silvia Sumbarita 2001081
Wiedya Alfitrya Zamri 2001088
Wulan Afril Lianto 2001091

Kelas S1-3B
SUB
PEMBAHASA
1 2 N 3
Infertilitas Dismenorea Endometriosis

4 5
PCOS BPH
SISTEM REPRODUKSI WANITA SISTEM REPRODUKSI PRIA

ANATOMI SISTEM
REPRODUKSI PADA WANITA
DAN PRIA
1. INFERTILITAS
Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum
mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali
seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi jenis
apapun.

Pembagian Infertilitas

1. Infertilitas primer berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah

<
memiliki anak setelah 1 tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali pe minggu tanpa
menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun >
2. Infertilitas sekunder berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak
sebelumnya, tetapi saat ini belum mampu memiliki anak setelah 1 tahun berhubungan
seksual sebanyak 2-3 kalipe minggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk
apapun

3. Infertilitas idiopatik/tak terjelaskan : setelah pemeriksaan lengkap kedua pasangan


dinyatakan normal, dan ditangani selama 2 tahun tidak juga berhasil hamil
Penyebab Infertilitas Pada Pria

1. masalah pada sperma: Kualitas sperma mungkin buruk,


bentuknya abnormal atau tidak mampu bergerak dengan benar.
2. Konsentrasi sperma rendah: Konsentrasi sperma yang normal
adalah 20 juta sperma/ml semen atau lebih.
3. Tidak ada semen: Semen adalah cairan yang mengantarkan
sperma dari penis menuju vagina.
4. Varikosel (varicocele): Varikosel adalah varises atau pelebaran
pembuluh darah vena yang berhubungan dengan testis.
5. Kekurangan hormon testosteron: Kekurangan hormon ini
dapat memengaruhi kemampuan testis dalam memproduksi
sperma
6. Testis tidak turun: Testis gagal turun adalah kelainan bawaan
sejak lahir, terjadi saat salah satu atau kedua buah pelir tetap
berada di perut dan tidak turun ke kantong skrotum.
7. Kelainan genetik: Dalam kelainan genetik yang disebut sindroma
Klinefelter, seorang pria memiliki dua kromosom X dan satu
kromosom Y, bukannya satu X dan satu Y.
Penyebab Infertilitas Pada Pria

8. Infeksi: Infeksi dapat memengaruhi motilitas sperma untuk sementara.


Penyakit menular seksual seperti klamidia dan gonore sering
menyebabkan infertilitas
9. Masalah seksual: Masalah seksual dapat menyebabkan infertilitas,
misalnya disfungsi ereksi, ejakulasi prematur, sakit saat berhubungan
(disparunia).
10. Antibodi pembunuh sperma: Antibodi yang membunuh atau
melemahkan sperma biasanya terjadi setelah pria menjalani vasektomi.
11. Ejakulasi balik: Hal ini terjadi ketika semen yang dikeluarkan justru
berbalik masuk ke kantung kemih, bukannya keluar melalui penis saat
terjadi ejakulasi.
12. Kanker Testis: Kanker testis berpengaruh langsung terhadap
kemampuan testis memproduksi dan menyimpan sperma. Penyakit ini
paling sering terjadi pada pria usia 18 – 32 tahun
13. Lubang kencing yang salah tempat (hipoepispadia): Kelainan
bawaan ini terjadi saat lubang kencing berada di bagian bawah penis. Bila
tidak dioperasi maka sperma dapat kesulitan mencapai serviks
14. Pencemaran lingkungan: Paparan polusi lingkungan dapat
mengurangi jumlah sperma dengan efek langsung pada fungsi testis dan
sistem hormon.
Gejala Dan Tanda Infertilitas Pada Pria

o Perubahan dalam pertumbuhan rambut


o Rasa nyeri, benjolan, atau pembekakan di testis
o Masalah ereksi dan ejakulasi
o Perubahan hasrat seksual
o Memiliki riwayat testis , prostat atau masalah seksual
< o Jumlah sperma sedikit ataua tidak sesuai standar yang
dipersyaratkan WHO yaitu 20 juta per militer air mani
>
(semen)
Abnormalitas adrogen dan testosteron
diawali dengan disfungsi hipotalamus dan
hifofisis yang mengakibatkan kelainan status
fungsional testis. Gaya hidup memberikan
peran yang besar dalam mempengaruhi
infertilitas diantaranya merokok, penggunaan
obat-obatan dan zat adiktif yang berdampak
pada abnormalitas sperma dan penurunan
libido. Komsumsi alkohol mempengaruhi
berkurangnya pancaran sperma. Suhu
disekitas areal testis juga mempengaruhi
abnormalitas retrograt misalnya, akibat
pembedahan sehingga menyebabkan sperma
masuk ke vesika urinaria yang mengakibatkan
komposisi sperma terganggu
2. DISMENORE

Pengertian

Dismenore adalah nyeri haid menjelang atau selama haid, yang


di sebabkan oleh kejang otot uterur. Nyeri tersebut terutama
dirasakan di daerah perut bagian bawah tetapi dapat menjalar
kepunggung atau permukaan dalam paha yang terkadang
menyebabkan penderitas tidak berdaya dalam menahan
nyerinya tersebut
Dismenore Berdasarkan Jenis Nyerinya

1.Nyeri Spasmodik 2.Disminore Kongestif

terasa di bagian bawah perut dan Penderita dismenore kongestif


berawal sebelum masa haid atau biasanya akan tahu sejak berhari-hari
segera setelah masa haid mulai. Ada sebelumnya, bahwa masa haidnya
di antara yang pingsan, merasa sangat akan segera tiba. Mengalami pegal,
mual, bahkan ada yang benar-benar perut kembung tidak menentu, sakit
muntah. Dismenore spasmodik dapat kepala, sakit punggung, pegal pada
diobati atau paling tidak dikurangi paha, merasa lelah, mudah
dengan lahirnya bayi pertama. tersinggung, kehilangan
keseimbangan, tidur terganggu.
Klafikasi

1. Dismenore Primer

Dismenore primer sering dimulai pada waktu wanita mendapatkan haid


pertama dan sering disertai rasa mual, muntah, dan diare. Dinamakan
dismenore primer karena rasa nyeri timbul tanpa ada sebab yang dapat
dikenali/idiopatik. Nyeri haid primer hampir selalu hilang sesudah wanita itu
melahirkan anak pertama, sehingga dahulu diperkirakan bahwa rahim yang
agak kecil dari wanita yang belum pernah melahirkan menjadi penyebabnya,
tetapi belum pernah ada bukti dari teori itu.
Selanjutnya..

Klafikasi

2. Dismenore Sekunder

Nyeri haid yang disebabkan karena kelainan nyeri haid yang baru timbul 1 tahun atau
lebih sesudah haid pertama. Jika pada usia 40 tahun ke atas timbul gejala nyeri haid
yang tidak pernah dialami, penting sekali baginya untuk memeriksakan diri.
Penyebab tersering dismenore sekunder adalah endometriosis dan infeksi kronik
genitalia interns. Penyebab dari dismenore sekunder adalah : endometriosis, fibroid,
adenomiosis, peradangan tuba falopii, perlengketan abnormal antara organ di dalam
perut, dan pemakaian IUD, faktor psikologis yaitu stres.
Gejala

Gejala-gejala nyeri haid di antaranya yaitu: rasa sakit datang


secara tidak teratur, tajam dan kram di bagian bawah perut yang
biasanya menyebar ke bagian belakang, terus ke kaki, pangkal paha
dan vulva (bagian luar alat kelamin wanita). Biasanya nyeri mulai timbul
sesaat sebelum atau selama menstruasi, mencapai puncaknya dalam
waktu 24 jam dan setelah 2 hari akan menghilang. Gejala-gejala
tersebut meliputi tingkah laku seperti kegelisahan, defresi,
iritabilitas/sensitif, lekas marah, gangguan tidur, kelelahan, lemah,
mengidam makanan dan kadang-kadang perubahan suasana hati yang
sangat cepat.
3. ENDOMETRIOSIS

Pengertian

Endometriosis adalah suatu kelainan di mana adanya


jaringan rahim (endometrium) yang berada di luar dari
rahim. Lokasi endometriosis yang paling sering adalah
pada organ-organ di dalam rongga panggul (pelvis), seperti
indung telur (ovarium) dan lapisan yang melapisi rongga
abdomen (peritoneum).
Etiologi

Ada teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli


sebagai berikut (Wood, 2008):
1. Metaplasia: Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal
menjadi tipe jaringan normal lainnya.
2. Menstruasi Mundur dan Transplantasi: Sampson (1920) mengatakan
bahwa aliran menstruasi mundur mengalir melalui saluran tuba (disebut
"aliran mundur") dan tersimpan pada organ panggul dan tumbuh
menjadi kista.
3. Predisposisi genetik: Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita
dengan riwayat keluarga menderita endometriosis lebih mungkin untuk
terkena penyakit ini.
Gejala

1. Nyeri di perut bagian bawah dan didaerah panggul


2. Menstruasi yang tidak teratur
3. Kemandulan
4. Dyspareunia (nyeri ketika melakukan hubungan seksual)
5. Jaringan endometrium yang melekat pada usus besar atau kandung
kemih biasa menyebabkan pembengkakan perut, nyeri ketika buang air
besar, perdarahan melalui rectum selama menstruasi atau nyeri perut
bagian bawah ketika berkemih
6. Jaringan endometrium yang melekat pada ovarium atau struktur di
sekitar ovarium bisa membentuk massa yang terisi darah
(endometrioma). Kadang endometrioma pecah dan menyebabkan nyeri
perut tajam yang timbul secara tiba-tiba. Kadang tidak ditemukan
gejala sama sekali
Patofisiologi Endometriosis
Endometriosis dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki ibu atau saudara perempuan
yang menderita endometriosis memiliki resiko lebih besar terkena penyakit ini juga. Hal ini disebabkan
adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut. Tubuh akan memberikan respon
berupa gangguan sekresi estrogen dan progesteron yang menyebabkan gangguan pertumbuhan sel
endometrium.

Faktor penyebab lain berupa toksik dari sampah-sampah perkotaan menyebabkan mikoroorganisme
masuk ke dalam tubuh. Mkroorganisme tersebut akan menghasilkan makrofag yang menyebabkan
resepon imun menurun yang menyebabkan faktor pertumbuhan sel-sel abnormal meningkat seiring
dengan peningkatan perkembangbiakan sel abnormal. Jaringan endometirum yang tumbuh di luar uterus,
terdiri dari fragmen endometrial. Fragmen endometrial tersebut dilemparkan dari infundibulum tuba falopii
menuju ke ovarium yang akan menjadi tempat tumbuhnya.

Oleh karena itu, ovarium merupakan bagian pertama dalam rongga pelvis yang dikenai
endometriosis. maka pada saat estrogen dan progesteron meningkat, jaringan endometrial ini juga
mengalami perkembangbiakan. Pada saat terjadi perubahan kadar estrogen dan progesteron lebih
rendah atau berkurang, jaringan endometrial ini akan menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan di daerah
pelvic. Perdarahan di daerah pelvis ini disebabkan karena iritasi peritonium dan menyebabkan nyeri saat
menstruasi (dysmenorea)
Penanganan Dan Pengobatan

1. Terapi Hormonal: Kontrasepsi oral selama 6-9 bulan untuk menekan menstruasi
dan menghilangkan nyeri menstruasi. Pengobatan ini dapat menekan atau
mengurangi sintesis dan pelepasan esterogen. Terapi ini menimbulkan
penghambatan pertumbuhan lesi lebih lanjut, sehingga memungkinkan
pertahanan tubuh untuk mengabsorpsi isi lesi dan menyebabkan fibrosis.
Pengobatan hormonal ini adalah : Danazol, Gonadotrophin-releasing hormone
agonist (GnRHa), dan Gestrinon

2. Pembedahan: Laparoskopi dilakukan untuk mengangkat implan endometrial dan


melepaskan perlekatan. Pembedahan laser untuk vaporisasi implan
endometrium atau mengkoagulasi implan dan menghancurkan endometriosis .
Prosedur pembedahan lainnya dapat mencakup laparotomi, suspensi uterin,
histerektomi, salpingo-ooforektomi bilateral, dan apendektomi
4. POLICYSTIC OVARIUM SYNDROM (PCOS)

Polycystic ovarian syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik adalah suatu


keadaan endokrinopati atau gangguan hormonal di mana seorang perempuan
mengalami gangguan produksi dan metabolisme androgen. PCOS adalah salah
satu gangguan endokrin yang paling umum terjadi pada perempuan usia
reproduktif. Berbeda dengan PCO (polycystic ovaries) atau ovarium polikistik,
PCOS tidak selalu disertai dengan kista multipel pada ovarium. PCOS dapat
disebabkan oleh gangguan dari aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium (HHO).
PCOS biasanya ditandai dengan disfungsi ovulasi (oligoovulasi/anovulasi), tanda-tanda
kelebihan androgen (hirsutisme), dan kista multipel pada ovarium. Perempuan
dengan PCOS biasanya juga mengalami dislipidemia dan resistensi insulin.
Diagnosis PCOS dapat ditegakkan menggunakan pemeriksaan kadar hormon dan
radiologi untuk melihat gambaran kista. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup, medikamentosa, pembedahan, dan terapi adjuvan
Patofisiologi

PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome) belum sepenuhnya dimengerti, terutama


mengenai di mana sebenarnya letak gangguan primernya. Ovarium, kelenjar adrenal,
hipotalamus, hipofisis, dan jaringan yang sensitif terhadap insulin berperan dalam
patofisiologi PCOS.

Resistensi Insulin, Hiperinsulinemia, Serta Obesitas


PCOS berhubungan dengan resistensi insulin perifer serta hiperinsulinemia, dan
obesitas memperkuat derajat abnormalitas kedua kondisi tersebut. Resistensi insulin
menyebabkan hipersekresi insulin kompensatorik untuk menjaga kondisi normoglikemik.
Resistensi insulin pada PCOS dapat disebabkan kerusakan pada jalur persinyalan reseptor
insulin. Selain itu, resistensi insulin ini juga diketahui memiliki hubungan dengan
adiponektin, hormon yang dihasilkan adiposit yang mengatur metabolisme lipid dan kadar
glukosa. Kondisi hiperinsulinemia mendorong produksi androgen dari ovarium dan dari
kelenjar adrenal. Kadar insulin yang tinggi juga menekan produksi hormon SHBG (sex
hormone binding globulin) yang diproduksi di hati. Kondisi ini turut memperburuk
hiperandrogenemia karena meningkatkan proporsi androgen yang bersirkulasi bebas.
Epidemiologi

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) sulit ditentukan karena data yang


ada sangat bervariasi tergantung kriteria diagnosis yang digunakan.
Global
Prevalensi PCOS beragam tergantung kriteria apa yang digunakan untuk
menegakkan diagnosisnya. Prevalensi 15-20% didapatkan jika
menggunakan kriteria diagnostik dari European Society of Human
Reproduction and Embryology/American Society for Reproductive
Medicine (ESHRE/ASRM). Di Amerika Serikat, PCOS adalah salah satu
kelainan endokrin yang paling umum terjadi pada perempuan usia
reproduktif dengan prevalensi 4-12%. Perempuan yang didiagnosis PCOS
pada saat konsultasi dengan dokter kandungan mencapai 10%. Pada
beberapa penelitian di Eropa, prevalensi PCOS dilaporkan 6.5-8%.
Etiologi

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah sindrom yang secara genetik bersifat


heterogen. Walaupun, etiologi genetik dari PCOS masih belum diketahui secara pasti, tetapi
riwayat keluarga dari penderita PCOS biasanya ditemukan. Telah diteliti bahwa keluarga
dengan penderita PCOS memperlihatkan pola pewarisan dominan autosomal. Seorang
perempuan dengan PCOS bisa memiliki ayah dengan rambut abnormal, saudara perempuan
dengan hirsutisme, atau ibu dengan oligomenore. Faktor risiko yang ditemukan pada
penderita PCOS dapat diperburuk dengan diet dan aktivitas fisik yang kurang baik padahal
gejala klinis reproduktif dan metabolik terkadang dapat diperbaiki dengan modifikasi gaya
hidup seperti mengurangi berat badan dan olahraga.[4,7]

Obesitas
Obesitas memang bukan penyebab langsung dari PCOS, tetapi obesitas memperberat
kondisi resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Obesitas juga meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, seperti intoleransi glukosa dan dislipidemia. Selain itu, kondisi obesitas
berhubungan dengan respon terhadap terapi infertilitas yang buruk.[9]
Diagnosis

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atay sindrom ovarium


polikistik masih merupakan sebuah tantangan. Hal ini sebagian disebabkan
oleh kurangnya tes diagnostik dari gangguan ini. Seringkali riwayat penyakit
dan beberapa pemeriksaan laboratorium sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding yang tampak sama.
Penatalaksanaan

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) lini pertama meliputi modifikasi


gaya hidup, seperti diet dan olahraga. Tata laksana farmakologis dibutuhkan
untuk kondisi gangguan metabolik, anovulasi, hirsutisme, dan
ketidakteraturan menstruasi. Obat-obatan untuk kondisi tersebut mencakup
kontrasepsi oral, metformin, prednison, leuprolide, clomiphene, dan
spironolactone. Terapi bedah dilakukan terutama untuk memulihkan ovulasi
dan biasanya digunakan sebagai salah satu terapi infertilitas pada penderita
PCOS yang ingin hamil.
Prognosis

PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome) sangat dipengaruhi oleh komplikasi


karena banyaknya kemungkinan komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada
penyakit ini.
Komplikasi
PCOS tidak hanya berefek pada sistem reproduksi, tetapi juga berefek ke seluruh
area tubuh. Abnormalitas metabolik yang berhubungan dengan PCOS seperti resistensi
insulin memiliki efek jangka panjang yang cukup serius seperti risiko 
DM (Diabetes Mellitus) tipe 2 dan gangguan kardiovaskuler. Efek jangka panjang PCOS
lainnya meliputi sindrom metabolik, infertilitas, komplikasi kehamilan, dan gangguan
kualitas hidup, dan kanker. Oligo atau amenorea pada perempuan dengan PCOS
menjadi predisposisi hiperplasia endometrium yang selanjutnya dapat menjadi kanker
endometrium. Namun, belum diketahui hubungan PCOS dengan kanker payudara dan
ovarium. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut.
Edukasi dan Promosi Kesehatan

Perempuan yang didiagnosis dengan PCOS (Polycystic Ovarian


Syndrome) harus mendapat edukasi dan promosi kesehatan yang
menyeluruh tentang kondisi yang dideritanya dan kemungkinan risiko
jangka panjang yang akan dihadapinya. Perempuan dengan PCOS
memerlukan pemeriksaan yang menyeluruh dan seksama agar dapat
dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk hasil yang optimal.
Obesitas
Salah satu saran yang dianjurkan kepada perempuan dengan PCOS
adalah modifikasi gaya hidup termasuk mengurangi berat
badan/menghindari kondisi obesitas. Tidak adanya obesitas berdampak
baik terhadap upaya menurunkan kadar insulin dan terapi infertilitas.
5. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Benign prostatic hyperplasia (BPH) atau hiperplasia tumor jinak merupakan pembesaran


kelenjar prostat yang bersifat jinak yang dapat menyebabkan sumbatan pada uretra pars
prostatika, sehingga menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit urologi yang paling sering ditemukan dalam
praktik kedokteran sehari-hari yang ditandai dengan adanya gejala saluran kemih
bawah/lower urinary tract syndrome (LUTS).
Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti ultrasonografi (USG) pelvic sebagai pilihan utama. Penggunaan sistem
skoring, seperti International Prostate Symptom Score (IPSS) atau American Urological
Association Symptom Score Index (AUA-7) untuk melihat derajat BPH. Tata laksana
pada benign prostatic hyperplasia terdiri dari terapi farmakologis dan tindakan
pembedahan.Pilihan metode terapi tergantung dari derajat keparahan gejala yang dialami
pasien berdasarkan nilai skoring. Dalam kasus BPH tanpa gejala, tidak diperlukan
pengobatan.
Patofisiologi 
benign prostatic hyperplasia (BPH) disebabkan karena beberapa faktor,
yaitu usia dan hormonal. Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan
mengalami pembesaran. Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon
androgen, terutama dihidrotestosteron dan testosteron. Kadar testosteron
dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya
usia, hal ini disebabkan karena adanya isoenzim alfa-5-reduktase
mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Penurunan kadar
testosteron ini kemudian akan mengakibatkan ketidakseimbangan hormon
androgen, sehingga terjadi peningkatan rasio estrogen/androgen dalam
serum serta jaringan prostat, terutama pada stroma. DHT juga akan
berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel, sehingga dapat
menyebabkan hiperplasia.
Etiologi

Etiologi terjadinya benign prostatic hyperplasia (BPH) belum diketahui


secara pasti. Menurut teori yang ada, peningkatan DHT (dihidrotestosteron),
penurunan kadar testosteron, dan ketidakseimbangan estrogen dan
testosteron, serta penurunan laju apoptosis sel dapat menyebabkan
terjadinya BPH.
Epidemiologi

benign prostatic hyperplasia (BPH) meningkat seiring dengan


bertambahnya usia. Di Indonesia, penelitian menunjukkan BPH mengenai
hamper 50% laki-laki di atas 50 tahun.
Global
Angka kejadian BPH meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Benign prostatic hyperplasia merupakan tumor jinak yang paling
sering terjadi pada pria, yaitu sekitar 8% pada pria usia 41-50 tahun, 50%
pada pria usia 51-60, dan >90% pada pria di atas 80 tahun. Pada usia 55
tahun, sekitar 25% pria mengalami gejala obstruktif saluran kemih dan
pada usia 75 tahun 50% pria mengalami pelemahan pancaran urin (weak
stream).
Diagnosis

benign prostatic hyperplasia (BPH) ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Sistem skoring
seperti International Prostate Symptom Score (IPSS) dapat digunakan
untuk membantu menilai derajat keparahan LUTS. Skoring IPSS terdiri atas
tujuh pertanyaan mengenai lower urinary tract symptoms (LUTS) yang
diberi nilai 0 hingga 5 dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup pasien
yang diberi nilai 1 hingga 7.
Berdasarkan skoring IPSS, gejala LUTS dapat dibagi menjadi 3 derajat,
yaitu:
Derajat 1 (ringan): skor 0-7,
Derajat 2 (sedang): skor 8-19, dan
Derajat 3: skor 20-25
Penatalaksanaan
benign prostatic hyperplasia (BPH) sangat bergantung dari derajat
keparahannya berdasarkan skoring IPSS (International Prostate Symptom
Score). Dalam kasus BPH tanpa gejala, tidak diperlukan pengobatan. 
Sebagai penatalaksanaan awal yang darurat, bila pasien mengalami retensi
urine akibat BPH maka pasien dapat diberikan kateterisasi uretra atau bila
gagal, kateterisasi suprapubik untuk mengatasi retensi urine.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai