Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

ANASTESI PADA GANGGUAN


FUNGSI GINJAL

Disusun Oleh :
Cindy Priskila Panjaitan (1965050049)

Pembimbing : dr. Raden Doddy Timboel, M.Biomed, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI


PERIODE 06 MEI 2020 – 13 JUNI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020
PENDAHULUAN
 Selama prosedur anastesi, oksigenasi pasien, ventilasi, sirkulasi dan suhu harus
dievaluasi terus menerus. Pemantauan tanda-tanda vital, seperti mean arterial
pressure (MAP), denyut jantung (HR), laju pernapasan, dan suhu tubuh selama
periode perioperatif penting untuk meninjau status hemodinamik pasien dan
untuk merencanakan perawatan kedepannya.
 Ginjal memainkan peran penting dalam mengatur volume dan komposisi
cairan tubuh, mengeliminasi racun, dan menguraikan hormon, termasuk
renin, erythropoietin, serta bentuk aktif vitamin D.
 Komplikasi akibat gangguan fungsi ginjal harus diidentifikasi dan diperbaiki
secara perioperatif
 Obat-obatan yang biasanya diekskresikan oleh ginjal dapat berakumulasi ke
tingkat toksik pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD).

Oleh karena itu, menyesuaikan dosis atau menghindari obat-obatan tersebut


pada pasien berisiko tinggi, adalah prinsip manajemen utama pada pasien
dengan CKD
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Ginjal Ginjal terdiri dari :
1. Lapisan luar, korteks
 Glomeruli
 Tubulus kontortus proksimalis
dan distalis
 Duktus kolektivus,
2. Lapisan dalam,medula yang
mengandung
 Bagian-bagian tubulus yang lurus
 Lengkung (ansa) Henle
 Vasa rekta
 Duktus koligens terminal
Anatomi Ginjal
Sirkulasi Ginjal

 Aliran darah pada kedua ginjal


merupakan 20-25% dari total curah
jantung
 Sekitar 80% dari RBF akan dialirkan
ke nefron kortikal, dan hanya 10-15%
yang menuju ke juxtamedullary
nefron
 Tekanan oksigen pada korteks sekitar
50 mmHg, sedangkan pada medulla
sekitar 15 mmHg
Aliran Darah Ginjal dan Filtrasi Glomerulus
Clereance Renal Blood Flow Glomerular Filtration Rate
 Pembersihan zat di ginjal  RBF sebanding dengan  GFR adalah jumlah cairan
didefinisikan sebagai volume perbedaan tekanan antara yang disaring dari glomerulus
darah yang dibersihkan arteri dan vena renalis, tetapi ke dalam kapsul Bowman per
sepenuhnya dari zat itu per berbanding terbalik dengan satuan waktu.
unit waktu (biasanya, per resistensi pembuluh darah.  GFR menunjukkan kondisi
menit).  Ginjal memiliki pembuluh ginjal dan digunakan untuk
 Konsep clearance sering darah yang parallel → membantu mengarahkan
digunakan dalam pengukuran resistensi total menurun → manajemen dalam kasus-kasus
RBF dan laju filtrasi saluran darah lebih tinggi  Nilai normal untuk GFR adalah
glomerulus (GFR)
sekitar 120 ± 25 mL/menit
pada pria dan 95 ± 20
mL/menit pada wanita
Fungsi Ginjal
FUNGSI EKSKRESI FUNGSI ENDOKRIN
 Mempertahankan osmolalitis  Menghasilkan renin-penting
plasma sekitar 258 m osmol untuk pengaturan tekanan
dengan mengubah-ubah sekresi darah.
air.  Menghasilkan eritropoietin-
 Mempertahankan pH plasma faktor penting dalam stimulasi
sekitar 7,4 dengan produk sel darah merah oleh
mengeluarkan kelebihan H+ dan sumsum tulang.
membentuk kembali HCO3.  Metabolisme vitamin D menjadi
 Mengekskresikan produk akhir bentuk aktifnya.
nitrogen dari metabolisme  Degenerasi insulin
protein, terutama urea, asam
urat dan kreatinin.  Menghasilkan prostaglandin
Evaluasi Fungsi Ginjal
Evaluasi kapasitas fungsi ginjal dapat dipastikan
melalui tes laboratorium yang dapat membantu
dokter dalam membuat diagnosis yang akurat.
Blood Urea Nitrogen (BUN)
 BUN mengukur komponen nitrogen dari urea serum
 Level BUN berkorelasi terbalik dengan penurunan fungsi ginjal
 Konsentrasi BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl.
 Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada penyakit hati.
Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR
atau meningkatnya katabolisme protein
 Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya
berhubungan dengan renal impairment
Kreatinin
 Penanda endogen paling umum untuk penilaian fungsi glomerulus. Klirens
kreatinin yang dihitung digunakan untuk memberikan indikator GFR
 Penurunan klirens oleh ginjal menghasilkan peningkatan kreatinin darah.
 Konsentrasi kreatinin serum normal adalah 0,8-1,3 mg/dL pada pria dan
0,6-1 mg/dL pada wanita.

KDIGO
Tahap 1 GFR > 90 ml / menit / 1,73 m
Tahap 2 GFR-antara 60 - 89 ml / menit / 1,73 m
Tahap 3a GFR 45 - 59 ml / mnt / 1,73 m
Tahap 3b GFR 30 - 44 ml / menit / 1,73 m
Tahap 4 GFR 15 - 29 ml / menit / 1,73 m
Stadium 5-GFR < 15 ml / menit / 1,73 m (penyakit ginjal stadium akhir)
BUN : Kreatinin Rasio
 Rasio BUN / kreatinin (BUN: Cr) adalah rasio dua nilai serum
laboratorim, blood urea nitrogen (BUN) dan serum kreatinin
 Rasio BUN: Cr adalah ukuran yang berguna dalam menentukan
jenis azotemia
Urinalisis
 Urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa
gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa
gangguan nonrenal
 Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan
kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan
mikroskopik terhadap sedimen urin
Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya
Terhadap Agen Anastesi
 Banyak obat yang biasa digunakan selama anestesi bergantung
ekskresi ginjal untuk eliminasi, sehingga harus
dipertimbangkan ketika merencanakan anestesi untuk pasien
dengan disfungsi ginjal. Oleh karena itu, modifikasi dosis harus
dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit
aktif
 Pada gagal ginjal : menurunnya ikatan protein dengan obat,
penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada
blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang
tertahan
Agen Intravena – Sedatif-Hipnotif
Propofol  Farmakokinetik Propofol tidak berubah oleh keadaan gagal
ginjal
Barbiturat  Peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan
dengan protein yang berkurang
 Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak
Ketamin  Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada
ekskresi ginjal, sehingga bisa terjadi potensial akumulasi
pada gagal ginjal
Benzodiazepin  Terdapat penurunan pengikatan protein plasma, peningkatan
volume distribusi dan peningkatan clearance sistemik
sekunder terhadap peningkatan fraksi bebas tak terikat
Diazepam  Potensi akumulasi metabolit aktifnya
Midazolam  CKD tidak mengubah distribusi, eliminasi, atau pembersihan
midazolam yang tidak terikat
Agen Intravena – Opioid
Morfin  Morfin dimetabolisme di hati menjadi sejumlah metabolit. Sekitar 5% dari
dosis morfin dimetabolisme menjadi morfin-6-glukuronida (M6G)
 Eliminasi M6G tergantung pada fungsi ginjal, dan pada pasien dengan
gagal ginjal, waktu paruh diperpanjang dari 2 hingga 27 jam
Fentanil  Sekitar 7% diekskresikan tidak berubah dalam urin.
 Klirens berkurang pada CKD
Alfentanil  Paruh eliminasi dan pembersihan plasma tidak berubah pada gagal ginjal,
meskipun pengikatan protein berkurang dengan peningkatan fraksi bebas
alfentanil.
 Tidak ada metabolit aktif
Remifentanil  Tidak bergantung pada fungsi ginjal untuk eliminasi
Oxycodone  Oxycodone dimetabolisme di hati menjadi noroxycodone dan
oxymorphone. Oxymorphone memiliki aktivitas analgesik yang
metabolitnya menumpuk pada gagal ginjal
 Dosis harus dikurangi
Meperidine  Dimetabolisme menjadi normeperidin yang bergantung pada fungsi ginjal
untuk eliminasi.
 Penggunaan meperidine pada pasien dengan CKD telah dikaitkan dengan
kejang, mioklonus, dan kondisi mental yang berubah
Antikolinergik
Atropin dan  50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di
Glycopyrolate urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.
 Biasanya diberikan dalam dosis tunggal, akumulasi dengan efek
toksik tidak mungkin menjadi masalah yang signifikan
Scopolamine  Kurang bergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf
pusat bisa dipertinggi oleh azotemia

Phenothiazines, H2 Blockers
Phenothiazine  Profil farmakokinetik mereka tidak berubah secara signifikan oleh
gangguan ginjal, potensiasi efek depresan sentral dari
phenothiazine oleh lingkungan fisiologis dari insufisiensi ginjal dapat
terjadi
H2 Blocker  Bergantung pada ekskresi ginjal, dan dosisnya harus dikurangi untuk
pasien dengan insufisiensi ginjal
 Dosis ppi tidak perlu dikurangi pada pasien dengan insufisiensi ginjal
NSAID
NSAID  Agen nefrotoksik yang memicu penurunan GFR akut dan juga
dapat menyebabkan nefritis interstitial akut
 Memperburuk hipertensi dan memicu edema, hiponatremia,
dan hiperkalemia

Agen Inhalasi - Volatile


Methoxyflurane  Mengakibatkan peningkatan kadar fluoride anorganik serum
dan gagal ginjal poliuri. Kadar fluoride serum >50 mmol liter -
1
dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan ginjal
Enflurane  Mengalami biotransformasi lebih besar menjadi fluoride
anorganik daripada isoflurane atau desflurane
 Menghasilkan penurunan 25% dalam kemampuan
berkonsentrasi urin dan pengurangan sementara dalam
pembersihan kreatinin sebesar 35%
Agen Inhalasi - Volatile
Desflurane dan  Tidak berhubungan dengan kejadian toksisitas ginjal dan
Isoflurane tampaknya aman untuk digunakan pada pasien dengan CKD
Sevoflurane  Penyebab cedera ginjal melalui toksisitas fluoride
 Konsentrasi fluoride intrarenal yang tinggi merusak
kemampuan ginjal dan secara teori dapat menyebabkan
gagal ginjal nonoligurik
 Para penulis menyimpulkan bahwa paparan, <4 MAC/h
sevofluran tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko
toksisitas ginjal. Sevoflurane anestesi telah dipelajari pada
pasien dengan CKD dan dibandingkan dengan kelompok
dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien CKD, kadar fluoride
anorganik serum dan laju eliminasi tidak berbeda secara
signifikan dari control
 Sevoflurane dianggap aman bahkan pada pasien dengan
gangguan ginjal selama anestesi aliran rendah yang
berkepanjangan dihindari
Muscle Relaxant
Succinylcholine  Digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum
kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih
tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan
Atracurium  Tidak tergantung pada fungsi ginjal atau hati untuk eliminasi,
karena mengalami kerusakan spontan pada suhu dan pH tubuh,
suatu proses yang dikenal sebagai Degradasi Hofmann, dan
metabolisme oleh non-spesifik esterase
 Farmakodinamik dan farmakokinetik atracurium tidak diubah oleh
CKD
Cisatracuranium  Didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik &
nonenzymatik hofman.
 Gagal ginjal mengubah farmakokinetik, tetapi berdampak kecil pada
farmakodinamik cisatracurium
Rocuronium  Gagal ginjal mengurangi pembersihan rocuronium sebesar 39%
Muscle Relaxant
Verocuronium  Eliminasi secara primer oleh hati, tapi lebih dari 20% dari obat
dieliminasi di urine
 Gagal ginjal menyebabkan berkurangnya clearance, peningkatan
paruh waktu eliminasi terminal, dan durasi aksi yang lama.
Akumulasi terjadi dengan bolus berulang atau infus konstan yang
mengakibatkan blok neuromuskuler yang berkepanjangan
Curare (d-Tubocurarine)  Eliminasi dari curare tergantung baik pada  ginjal maupun
ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara normal dieksresi di
dalam urin.
 Efek yang semakin lama diamati setelah pemberian dosis
berulang pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
Pancuronium  Terutama tergantung pada ekskresi ginjal (60-90%). Meskipun
pancuronium dimetabolisme oleh hati menjadi intermediet yang
kurang aktif, waktu paruh eliminasi masih tergantung pada
ekskresi ginjal (60-80%).
Obat-obat Reversal  Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi edrophonium,
neostigmine, dan pyridostigmine. Oleh karena itu, waktu paruh
agen ini pada pasien dengan gangguan ginjal diperpanjang
Anastesia Pada Pasien Dengan Gagal
Ginjal
 Pasien dengan gagal ginjal yang menjalani operasi memiliki risiko
besar untuk terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pasien
dengan gagal ginjal sering memiliki komorbid lainnya, termasuk
hipertensi, diabetes, penyakit pembuluh darah perifer, dan penyakit
jantung.
 Pasien-pasien ini dapat secara hemodinamik labil selama operasi dan
anestesi.
 Gagal ginjal memiliki berbagai konsekuensi pada homeostasis, yang
tidak hanya terbatas pada gangguan cairan dan elektrolit, tetapi
mempengaruhi banyak sistem organ, sehingga membuat manajemen
intraoperatif pasien ini sangat menantang
Evaluasi Preoperatif

Manajemen
Metabolisme Perioperatif
Pasien gagal ginjal
Katabolik optimal bergantung
pada DIALISIS

 Pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani operasi elektif harus menerima
perawatan dialisis sehari sebelum operasi yang direncanakan untuk mengoptimalkan
status elektrolit, metabolisme, dan volume mereka
 Hemodialisis lebih efektif daripada dialisis peritoneum dan dapat dilakukan dengan
mudah melalui kateter dialisis jugularis interna, subklavia, atau femoralis.
 Terapi penggantian ginjal berkelanjutan/continous renal replacement therapy (CRRT)
sering digunakan ketika pasien dalam keadaan hemodinamik tidak stabil untuk
mentoleransi hemodialisis intermiten.
Evaluasi Preoperatif
Penurunan
Pasien gagal
produksi ANEMIA
ginjal
erythropoietin

Perubahan fungsi
Gangguan
trombosit dan
Pasien disfungsi agregasi dan KOAGULOPATI
penurunan kadar
ginjal perlengketan UREMIK
faktor Von
platelet
Willebrand

 Dialisis pra operasi dapat diindikasikan jika dicurigai adanya uremia


 Atau desmopresin, analog vasopresin yang melepaskan faktor von Willebrand dan
meningkatkan kadar faktor VII, dapat diberikan sebelum operasi atau intraoperatif
untuk membantu memperbaiki koagulopati uremik
Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjal
dengan VENTILASI
Hiperventilasi
ASIDOSIS MEKANIS
METABOLIK

PEMERIKSAA
Pasien gagal Gangguan
N AGD dan
ginjal metabolisme
PANTAU EKG
hiperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfotemia, dan asidosis
metabolik
Evaluasi Preoperatif
 Mencari tanda-tanda cairan yang berlebihan atau hipovolemia. Perbandingan berat badan pasien saat
ini dengan bobot predialisis dan postdialisis sebelumnya mungkin membantu.
 Data hemodinamik dan foto thoraks, jika tersedia, berguna dalam mengkonfirmasikan kesan klinis.
 Elektrokardiogram harus diperiksa untuk melihat tanda-tanda hiperkalemia atau hipokalsemia serta
iskemia, blok konduksi, dan hipertrofi ventrikel.
 Ekokardiografi dapat menilai fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, kelainan gerak dinding, dan cairan
perikardium.
 Transfusi sel darah merah sebelum operasi biasanya diberikan hanya untuk anemia berat sesuai
kebutuhan klinis pasien. Transfusi cepat dari beberapa unit sel darah merah yang dikemas dapat
meningkatkan kadar kalium secara signifikan. Sejumlah besar sitrat yang diberikan melalui berbagai
transfusi darah dapat menurunkan kadar Ca ++, di mana kalsium glukonat 1 gm IV harus diberikan untuk
setiap 3 U darah.
 Waktu perdarahan dan koagulasi
 Elektrolit serum, BUN, dan pengukuran kreatinin bisa menilai kecukupan dialysis
 Pengukuran glukosa memandu kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif
 Obat-obatan eliminasi ginjal yang signifikan harus dihindari jika memungkinkan. Penyesuaian dosis dan
pengukuran kadar darah (saat tersedia) diperlukan untuk meminimalkan risiko keracunan obat
Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan
ada pada pasien dengan gangguan ginjal

Indikasi Dialisis
Premedikasi
 Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan
pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin.
 Profilaksis
untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan
pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna.
 Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus
dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.
Premedikasi
Jangan mengobati hiperkalemia kecuali kadar potasiumnya 6,0 mEq / L atau lebih,
dalam hal ini gunakan :
 Dekstrosa dalam air (D / W) 50% mL dorongan intravena (IVP) diikuti oleh 5 unit (U)
IVP insulin reguler sebagai cara tercepat untuk mengurangi kadar K + dengan
meningkatkan penyerapan seluler. Jangan gunakan glukosa hipertonik dengan kadar
gula darah> 200 mg / dL. Gunakan insulin biasa saja; koreksi hasil hiperglikemia
dalam peningkatan hiperkalemia.
 Sebaliknya, jika gula darah <100 mg / dL, hiperkalemia harus membaik dengan
pemberian glukosa hipertonik saja (50 mL D / W IVP 50%) tanpa insulin.
 NaHCO3 50 mEq (1 amp) IVP kecuali pH bersifat basa (pH> 7,48), dalam hal ini
tidak diberikan.
 Kalsium glukonat 1 mg IVP, terutama jika EKG menemukan hiperkalemia.
Monitoring
 Pasien dengan insufisiensi ginjal dan gagal ginjal berisiko
lebih tinggi mengalami komplikasi perioperatif, dan kondisi
medis umum serta prosedur operasi yang direncanakan
menentukan kebutuhan pemantauan/monitoring. Karena
risiko trombosis, tekanan darah tidak boleh diukur dengan
manset pada lengan dengan fistula arteriovenosa.
Pemantauan tekanan darah intraarterial berkelanjutan juga
dapat diindikasikan pada pasien dengan hipertensi yang tidak
terkontrol, terlepas dari prosedurnya
Induksi
 Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani
induksi cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat induksi harus dikurangi
untuk pasien yang sangat sakit atau untuk pasien yang sedang dalam hemodialisa
(dikarenakan hipovolemia relatif segera setelah hemodialisis). Propofol 1-2
mg/kg atau Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg sering digunakan.
 Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi
respon hipertensi pada instrumen jalan napas dan intubasi.
 Succinylcholine, 1,5 mg / kg, bisa digunakan untuk memfasilitasi intubasi
endotrakeal tanpa hiperkalemia atau jika kadar kalium darah kurang dari 5
meq/L
 Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg)
atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien
dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan
pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif,
namun efeknya harus diperhatikan
Pemeliharaan
 Teknik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal
pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang
prinsipil dalam mekanisme anemia.
 Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai
agen pemeliharaan yang memuaskan.
 Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat
rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.
 Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin
boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.
 Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi
spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi  dapat menyebabkan asidosis
respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah
yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan
aliran darah otak.
Terapi Cairan
 Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan
penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan
dengan kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan
kristalloid yang isotonik, koloid, atau keduanya.
 Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang
membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal
saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi
glukosa yang berhubungan dengan uremia.
 Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.
 Pada pasien dengan asidosis metabolik akut yang sedang berlangsung dan
asidemia (pH <7,30), D / 5W 1 liter dengan 3 amp NaHCO3 dapat digunakan
sebagai solusi pilihan
Kesimpulan
 Dapat disimpulkan bahwa sangat penting menangani
pasien dengan memantau keadaan umum, status generalis
dan tanda-tanda vital pasien sebelum memulakan tindakan
anestesi. Pada pasien dengan penyakit ginjal, harus
diperhatikan secara tepat tanda-tanda vital dan output
cairan pada saat pre operatif, intra operatif dan
pemeliharaan bagi memastikan keadaan umum dan tanda-
tanda vital pasien dapat dipertahankan secara baik dan
mencegah komplikasi akibat penggunaan obat-obat
anestesi yang tertentu pada pasien ginjal.
TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
o NIH. Anesthesia. NIGMS [Internet]. 2020;March(September):1–2. Available from:
https://www.nigms.nih.gov/education/Documents/Anesthesia.pdf
o Maher TJ. Anesthetic Agents : General and Local Anesthetics. Foye’s Princ Med Chem [Internet]. 2012;7:508–39. Available from:
http://downloads.lww.com/wolterskluwer_vitalstream_com/sample-content/9781609133450_Lemke/samples/Chapter_16.pdf
o Harpe SE, Zohrabi M, Barkaoui K, Lozano LM, García-Cueto E, Muñiz J, et al. Standards For Basic Anesthetic Monitoring. ASA
[Internet]. 2015;(2). Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijresmar.2010.02.004%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.snb.2016.01.118%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.jns.200
9.08.013%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-384947-2.00617-6%0Ahttp://www.un-ilibrary.org/economic-and-social-development/
the-su
o Min JY, Kim HI, Park SJ, Lim H, Song JH, Byon HJ. Adequate Interval for The Monitoring of Vital Signs During Endotracheal
Intubation. BMC Anesthesiol [Internet]. 2017;17(1):1–6. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5568307/
o Hospital BP. Anesthetic Monitoring Clinical Essential. Banfield [Internet]. 2017;(03). Available from:
https://www.banfield.com/Banfield/media/contenthub/files/Anesthetic-Monitoring_Job-Aid.pdf
o Morgan, Mikhail. Clinical Anesthesiology. Vol. 75, McGraw-Hill Education. 2013.
o Moro O Salifu, MD, MPH F. Perioperative Management of the Patient With Chronic Renal Failure. Medscape [Internet]. 2015; Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/284555-overview#a1
o Rhicard L. Drake, A. Wayne Vogl AWMM. Gray’s Anatomy For Students International Edition. Third Edit. Philadelphia: Churchill
Living Stone, Elsevier; 2013. 373–378 p.
o Paul M. Muchinsky. Renal Physiology : A Clinical Approach [Internet]. Vol. 53, Wolters Kluwer Health. 2012. 1689–1699 p. Available
from: http://zu.edu.jo/UploadFile/Library/E_Books/Files/LibraryFile_151620_46.pdf
o Dalal R, Bruss ZS, Sehdev JS. Physiology, Renal Blood Flow and Filtration [Internet]. StatPearls. 2019. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482248/
DAFTAR PUSTAKA
• Costanzo L. Clearance, RBF, and GFR. Available from:
https://ecurriculum.som.vcu.edu/portal/resources/2009/physio/ClearanceRBFGFR/lecture.pdf
• Ogedegbe HO. Renal Function Tests: A Clinical Laboratory Perspective. Lab Med [Internet]. 2007;38(5):295–304.
• Gounden V, Jialal I. Renal Function Tests [Internet]. StatPearls. 2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507821/
• Seki M, Nakayama M, Sakoh T, Yoshitomi R, Fukui A, Katafuchi E, et al. Blood urea nitrogen is independently associated with renal
outcomes in Japanese patients with stage 3-5 chronic kidney disease: A prospective observational study. BMC Nephrol [Internet].
2019;20(1):1–10. Available from: https://bmcnephrol.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/s12882-019-1306-1
• Suganya, Shanmuga Priya R, Rajini Samuel T, Rajagopalan B. A study to evaluate the role of Bun/creatinine ratio as a discriminator factor in
azotemia. Int J Pharm Sci Rev Res. 2016;40(1):131–4.
• Wagener G, Brentjens TE. Anesthetic Concerns in Patients Presenting with Renal Failure. Anesthesiol Clin [Internet]. 2010;28(1):39–54.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.anclin.2010.01.006
• Craig RG, Hunter JM. Recent developments in the perioperative management of adult patients with chronic kidney disease. Br J Anaesth
[Internet]. 2008;101(3):296–310. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18617576
• For A, Renal C, Update AN. Anaesthesia For Chronic Renal Disease and Renal Transplant : An Update. J Evol Med Dent Sci [Internet].
2015;4(19):3346–64. Available from:
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/ANAESTHESIA_FOR_CHRONIC_RENAL_DISEASE_AND_RENAL_TR.pdf
• Olivero JJ, Jose Olivero J. Administration Of Anesthesia To Patients With Renal Failure. NCBI [Internet]. 2015;(3):2015. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4666432/pdf/i1947-6094-11-3-197.pdf

Anda mungkin juga menyukai