Anda di halaman 1dari 177

Oleh :

Thamrin Husein
Nora Susanti

PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI PADANG

ALLPPT.com _ Free PowerPoint Templates, Diagrams and Charts


Bagian I Dari CSR dan Etika Bisnis Menuju Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan (SDGs)

• Bab 1 Etika dan Keadilan di Dunia Internasional: Masalah Globalisasi dan Pe


rlunya Semangat Kosmopolitan
• Bab 2 Keberlanjutan dan Etika Bisnis dalam Masyarakat Global
• Bab 3 Etika Administrasi: Menuju Keberlanjutan dan Kosmopolitanisme
• Bab 4 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Keberlanjutan, dan Manajemen
Pemangku Kepentingan
• Bab 5 Keberlanjutan Bisnis dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
PBB
Bagian II Filosofi Manajemen dan Etika Ekonomi Keberlanjutan

• Bab 6 Filsafat Manajemen dan Saling Ketergantungan Etis di Zaman Antrop


osen
• Bab 7 Bencana Lingkungan dan Tantangan untuk Pengambilan Keputusan
yang Etis
• Bab 8 Dari Krisis Finansial ke Ekonomi Baru yang Berkelanjutan
• Bab 9 Ekonomi Etis dan Lingkungan
PART 1
From CSR and Business Ethics to
Sustainable Development Goals
(SDGs)
Ch1. Ethics and Justice in the International World:
The Problem of Globalization and the Need for a Co
smopolitan Spirit

Dewasa ini globalisasi telah menjadi sebuah konsep yang menyangkut u


niversalisasi bahasa dan budaya di dunia yang sedang muncul sebagai
“Satu Dunia” (Rendtorff, 2017)

Dalam situasi saat ini, gagasan globalisasi menandai putusnya paradigm


a negara nasional dan dengan segala institusinya serta globalisasi mewa
kili munculnya sistem internasional dan kosmopolitan yang melampaui s
istem negara

kita sekarang berada dalam situasi ekonomi global di mana ekonomi pa


sar dengan berakhirnya perang dingin telah menjadi benar-benar intern
asional. . Untuk itu diperlukan teori baru dalam hubungan internasional,
yang juga mengangkat masalah keberlanjutan sebagai masalah etika
dan keadilan di tingkat internasional
Ketika berbicara tentang negara-negara Timur Tengah dan Afrika dan di bidang globalisasi,
perlu juga melampaui paradigma negara nasional. Penting untuk memikirkan Timur Tengah
dan Afrika dalam proses integrasi dalam sistem kosmopolitan, artinya, pencarian berkelanju
tan Kosmopolis di mana semua budaya bertemu di negara tertentu.

Salah satu aspek dari globalisasi ini adalah hubungan kritis dengan perusahaan yang dapat
beroperasi di mana saja di dunia (Rendtorff, 2009). Ini adalah globalisasi dengan konsekuen
si fatal bagi kehidupan bahagia orang-orang dalam budaya dan negara local.

Jadi, merupakan tantangan bagi filsafat globalisasi global untuk memikirkan keadilan bagi
masyarakat kosmopolitan yang melampaui tingkat negara nasional (Beck, 2001).
Adalah tugas filsafat politik untuk memikirkan globalisasi lain ini, tidak hanya sebagai utopia
bagi dunia, tetapi juga sebagai visi alternatif yang realistis dan terkini bagi masyarakat inter
nasional.

Impian globalisasi lain diungkapkan dalam pencarian struktur pemerintahan internasional da


n sipil yang dapat memberi makna pada globalisasi dan membantu mengatur arus barang d
an modal yang bebas. Tapi, di atas segalanya masalah keamanan dan stabilitas politik. Kita
membutuhkan visi integrasi demokrasi negara dan budaya ke dalam sistem internasional.
Menuju Filosofi Kritis Globalisasi

Dalam bukunya Power and Counter-Power in the Age of Globalization (2003) and What
 Is Cosmopolitanism? (2006) Ulrich Beck menjelaskan proses globalisasi dengan cara ya
ng dapat membantu kita menawarkan visi filosofi kritis globalisasi ini. Kita dapat menga
takan bahwa dengan globalisasi kita dihadapkan dengan bencana ekologi, kemanusiaa
n, pangan, dan militer dunia dan di atas semua itu, kita membutuhkan ruang refleksif di
mana kita dapat menghadapi globalisasi dengan filosofi kritis baru.

Filosofi globalisasi ini harus mempelajari konsekuensi globalisasi dan dimensi filosofis k
eterkaitan dan ketergantungan institusional yang berkembang di dunia, seperti yang dik
emukakan oleh profesor bahasa Inggris David Held (Brown & Held, 2010).
Free PPT Templates - Widescreen(16:9)

Realisme, yaitu Machiavellianisme kosmopolitan, secara khusus men


jawab dua pertanyaan. Pertama: bagaimana dan dengan strategi ap
a para pemain ekonomi global memaksakan hukum tindakan mere
ka kepada negara? Kedua, bagaimana negara, pada gilirannya, mer
ebut kembali kekuatan meta-politik untuk memaksakan rezim kosm
opolitan pada modal global yang juga mencakup kebebasan politik,
keadilan global, perlindungan sosial, dan pelestarian lingkungan?
(Beck, 2003, hal. 12)
Bagaimana mengatasi realisme dan bergerak menuju keadilan
internasional?

Beck berbicara tentang perlunya ekonomi politik global baru yang men
cakup ruang ekonomi transnasional di satu sisi dan dunia politik intern
asional di luar kebijakan negara nasional di sisi lain. Kebutuhan akan te
ori sosial kosmopolitan ini tercermin dalam banyak tanda globalisasi ya
ng digambarkan Beck: “Perubahan iklim, perusakan lingkungan, risiko k
euangan global, migrasi penduduk, dan konsekuensi yang diantisipasi
dari nanoteknologi dan inovasi genetik” (Beck, 2003, hal. 12)

Beck berpendapat bahwa kita harus mengatasi pembagian dunia oleh


negara dan budaya untuk menemukan "akal sehat kosmopolitan" untu
k menerima keberbedaan yang melampaui etnis, nasional
Pencarian semangat kosmopolitan inilah yang disebut Beck sebagai m
odernitas kedua. Selain itu, kita dapat menambahkan bahwa adalah tu
gas program refleksi filosofis baru untuk menghadapi modernitas kosm
opolitan baru ini dan memikirkan etika, politik, dan keadilannya (Beck,
2006).
Modernitas kosmopolitan terutama dihadapkan pada limpahan batas-bata
s negara yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi dan merupakan tugas
filsafat globalisasi untuk memikirkan konsekuensi sosial dan budaya dari gl
obalisasi ekonomi ini (Beck, 2006).

Kita dapat menekankan bahwa modernitas kedua telah mengusulkan meta


transformasi ekonomi dan politik negara (Held & McGrew, 2007).

Dihadapkan dengan pergolakan dunia oleh pergerakan modal yang bebas,


Beck mengusulkan “kekuatan tandingan masyarakat sipil global” (Beck, 200
3, hlm. 33). Di antara elemen masyarakat sipil ini, seseorang dapat memikir
kan konsumen politik, Beck melihat masyarakat konsumen sebagai masyar
akat dunia nyata: "Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang benar-b
enar global" (Beck, 2003, hlm. 35). Konsumen politik adalah kekuatan tandi
ngan bagi masyarakat ekonomi global.
Beck juga menunjukkan bagaimana teroris sebagai antitesis dari globali
sasi ekonomi adalah pemain global. Demikian juga aliansi internasional
melawan teroris sudah bersifat internasional meskipun tidak terlalu efe
ktif. Oleh karena itu, dari sudut pandang gerakan globalisasi ini, refleksi
filosofis dan pemikiran sosial tentang etika dan keadilan politik harus
menyediakan kerangka kerja untuk memahami internasionalisasi peristi
wa dan aktor politik dan sosial yang semuanya bekerja di tingkat globa
l dan internasional (Beck, 2006). )
Globalisasi, Kesengsaraan Dunia, dan
Perjuangan untuk Pengakuan

Tema-tema filsafat kritis harus dikembangkan dalam skala dunia untuk


memahami masalah keberlanjutan global dari sudut pandang filosofis. S
ebagai contoh, Ulrich Beck juga menunjukkan kepada kita bagaimana m
asyarakat risiko telah digeneralisasikan dan diglobalisasi dalam modernit
as kedua dan bagaimana ia telah menjadi kategori globalisasi yang me
mbutuhkan pemerintahan kosmopolitan (Beck, 2006).

Menurut Beck, perlu dikembangkan konsepsi baru tentang teori kritis, y


ang menyiratkan bahwa teori mengkritik bukan dari sudut pandang nasi
onalisasi tetapi khususnya dari globalisasi, yaitu teori kritis baru dari sud
ut pandang kosmopolitan.
Kita juga dapat menemukan landasan perlunya refleksi filosofis semacam itu pada par
a pemikir sosial lainnya. Zygmunt Bauman dan Anthony Giddens, misalnya, adalah dua
sosiolog yang mengambil titik awal yang sama dengan Beck pada saat yang sama keti
ka mereka mengusulkan visi baru globalisasi. Dalam sosiologi Bauman, kita menemuk
an perkembangan pemikiran kritis dan pesimistis yang hadir dalam refleksi globalisasi.

Dengan gagasan Bauman tentang pengaburan segala sesuatu di Liquid Modernity (20
00), kita dapat mengatakan bahwa kita sedang menghadapi globalisasi ketiga yang m
enunjukkan bahwa kita berada di dunia yang cair. Globalisasi menjadi dunia tanpa soli
ditas.
Menurut Bauman dalam Globalization: The Human Consequences
(1998), globalisasi menghasilkan keputusasaan dan ketidakotentik
an. Gelandangan, imigran, pengungsi, dan turis dapat disebut seb
agai kosmopolit yang putus asa mencari otentisitas dalam perger
akannya di ruang internasional. Menurut Bauman, globalisasi adal
ah zaman disorientasi dan hilangnya kohesi dalam kehidupan prib
adi seseorang. Dalam konsepsi globalisasi ini, merupakan bagian
dari pemikiran kritis globalisasi untuk menemukan caracara baru
menghuni dunia dalam ketidakjelasan urbanitas dalam proses glo
balisasi. Pendekatan Bauman sangat penting sebagai landasan krit
is bagi perlunya refleksi kritis terhadap globalisasi yang melibatka
n sudut pandang kosmopolitan yang menunjukkan apa yang dise
but Bourdieu sebagai “kesengsaraan dunia” (Bourdieu, 1993).
Anthony Giddens lebih optimis dari Bauman dan Bourdieu. Ia melihat kemungkinan
liberalisasi individu dalam kaitannya dengan dominasi tradisi.
Menurut Giddens dalam Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives
(1999) hilangnya tradisi nasional dapat menjadi syarat bagi emansipasi demokratis i
ndividu. Ini hampir seperti semacam pencerahan individu yang memungkinkan refle
ksi dan pembebasan diri. Dengan demikian, ada kekuatan untuk demokratisasi dan
pembebasan dunia yang terlibat dalam konsep globalisasi. Giddens memberi tahu
kita bagaimana filosofi kritis globalisasi tidak boleh melupakan potensi emansipator
is globalisasi, sementara globalisasi menjadi kondisi kemungkinan bagi pembebasa
n sejati individu
Kita dapat menghubungkan ini dengan refleksi filsafat kritis pada
tema pengakuan. Bagi ekonom politik Amerika Francis Fukuyam
a, dapat dikatakan bahwa globalisasi liberal adalah fenomena ak
hir sejarah sebagai pergulatan antara ideologi politik besar Marxi
sme dan liberalisme. Globalisasi menandai kemenangan liberalis
me ekonomi. Jadi, bagi Fukuyama, akhir sejarah ditandai dengan
gerakan ganda: pertama homogenisasi masyarakat liberal dan bu
daya Barat (Fukuyama, 1992). Kemudian, bertahannya masyarakat
dan budaya tertentu di negara-negara di dunia; misalnya budaya
Islam, Timur Tengah, dan Afrika Utara, negara-negara Afrika lainn
ya, dan budaya tertentu dunia Asia yang memadukan kemajuan
ekonomi dengan nilai-nilai tradisional masyarakat.
Oleh karena itu, bagi Fukuyama, tantangan besar pemikiran saat ini adalah kombinasi
pembangunan universal dengan munculnya konfrontasi antara budaya yang semakin
berbeda, yaitu, dalam pertempuran pengakuan global kita perlu menemukan pengak
uan sebagai orang yang sama dari berbagai budaya yang berbeda.

Dalam filsafat pengakuan pemikir tradisi teori kritis Jerman Axel Honneth di Die Kam
pf um die Anerkennung juga menekankan perjuangan untuk pengakuan sebagai hal
mendasar dalam politik internasional. Dia menekankan bahwa pengakuan dalam etik
a pasca-tradisional ditemukan melalui perjuangan untuk otonomi kebebasan. Ada pe
ncarian otonomi dalam perjuangan pengakuan, yang merupakan cara untuk memera
ngi patologi, ketidakadilan, dan keterasingan masyarakat modern dalam skala global.
Bagi Honneth, kita tidak boleh mengabaikan konfrontasi dan oposisi di ruang sosial
(Honneth, 1992).
Perjuangan untuk pengakuan menegaskan perbedaan sosial dan denga
n demikian, itu merupakan kritik terhadap tatanan sosial. Dalam teori pe
ngakuan sosialnya, Honneth menekankan bahwa perjuangan untuk pen
gakuan merupakan dimensi penting dari harapan normatif dan integrasi
moral masyarakat. Tanpa pengakuan, masyarakat akan mempermalukan
dan mengasingkan identitas individu. Integrasi sosial tentu terjadi melal
ui pelembagaan bentuk-bentuk pengakuan timbal balik dalam perjuang
an integrasi sosial. Perjuangan untuk pengakuan mewakili dimensi ident
itas dan pengakuan mewakili harapan normatif di balik gagasan tindaka
n komunikatif. Dapat dikatakan bahwa pengakuan menjadi perlu dari pe
ngalaman orang-orang yang tidak adil dalam institusi.
Dengan gagasan Politik Identitas, filsuf Amerika Nancy Fraser dalam bukunya Scales
of Justice (2009) mendefinisikan masalah pengakuan dalam situasi politik identitas d
i mana kelompok-kelompok sosial menyesalkan pengakuan sebagai sarana untuk dii
ntegrasikan ke dalam komunitas politik. Dia menekankan, seperti Fukuyama, bahwa
pengakuan tidak hanya berarti retribusi dalam tatanan ekonomi tetapi secara khusus
pengakuan dalam tatanan budaya di mana pengakuan berarti hak suatu budaya di
mana suatu masyarakat dapat melihat kekhasannya diakui oleh masyarakat di dunia.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan untuk pengakuan perbedaan buday
a dalam masyarakat berdasarkan identitas telah menjadi isu utama politik identitas.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengakuan melampaui politik tradisional sebag
ai perjuangan minoritas untuk diakui. Dengan demikian, tantangan pengakuan adala
h menemukan ekspresi keadilan sosial dan politik dengan toleransi minoritas.
Globalisasi Sebagai Ekspresi Hiper
modernitas dan Budaya Dunia

Filsuf dan sosiolog Gilles Lipovetsky berbicara tentang budaya dunia sebagai dimensi
esensial dari apa yang disebutnya hipermodernitas globalisasi. Menurutnya, kita tidak
lagi hidup dalam masyarakat post-modern saja, tetapi kita telah beralih hidup dalam
masyarakat konsumen yang hipermodern (Lipovetsky, 2006).

Masyarakat hipermodern merupakan metamorfosis dari budaya liberal. Kita hidup dala
m masyarakat konsumen massal yang telah menjadi global dan universal. Kita dapat b
erbicara tentang sistem konsumsi baru di era hipermodern. Yang menjadi ciri masyara
kat hipermodern adalah perkembangan budaya dunia, yaitu situasi dimana dunia dido
minasi oleh budaya pasar, media, dan budaya global. Waktu hipermodernitas dengan
demikian ditentukan oleh globalisasi neoliberal dan revolusi teknologi
Lipovetsky menjelaskan dalam kebahagiaan paradoks tiga fase per
kembangan masyarakat konsumen:
(1) waktu dari tahun 1880 hingga Perang Dunia Kedua
(2) periode 1950 sampai 1970
(3) waktu dari tahun 1970 hingga 1980-an di mana masyarakat konsumen berkembang.
Sejak tahun 1980-an, kita telah sampai pada masyarakat hiperkonsumsi. Ini adalah masyar
akat demokratisasi konsumsi tak terbatas. Tahap kedua adalah generalisasi masyarakat ko
nsumtif yang antara lain ditandai dengan generalisasi produk untuk perempuan. Masyarak
at konsumen ini menghasilkan produk-produk kenyamanan dan kesejahteraan yang ditan
dai dengan dinamika baru individualisasi. Secara khusus, kita dapat mengamati de-tradisio
nalisasi.

Konsumen membangun identitas mereka melalui konsumsi. Masyarakat hiperkonsumsi me


ngandung pembukaan etika. Masyarakat ini memasukkan moralitas ke dalam konsumsi. A
dalah sebuah paradoks bahwa ada juga peluang bagi planet dengan konsumsi hipermode
rn, misalnya, dalam pemasaran ekologis dan sosial dan dalam pencarian tanggung jawab s
osial perusahaan.
Lipovetsky mengatakan bahwa globalisasi budaya dimungkinkan oleh pergerakan bebas
modal, barang, dan orang. Individualisme dan narsisme masyarakat hipermodern menja
di penyebab transformasi budaya dunia ini.

Dalam dunia hiperkapitalisme yang disorientasi, budaya harus dilihat sebagai alat istime
wa yang memungkinkan realisasi diri dan perbaikan diri, keterbukaan kepada orang lain
dan akses ke kehidupan yang tidak terlalu berat sebelah daripada kehidupan pembeli.

Budaya dunia dengan demikian merupakan elemen pencarian diri dalam masyarakat hip
ermodern
Dengan analisis masyarakat hipermodern dan trans-estetika ini, Lipovetsky menunjukkan bagaima
na tugas filsafat kritis globalisasi untuk menekankan fenomena kapitalisme budaya pada masa hip
erkapitalisme umum dengan dominasi dunia hiperkonsumsi. Jika filosofi globalisasi adalah memi
mpikan globalisasi lain yang didasarkan pada penghormatan terhadap cita-cita keberlanjutan nyat
a dan keadilan etis pemikiran kosmopolitan, ia harus bekerja dengan kritik terhadap penghancura
n visi hidup yang baik, menyadari munculnya homo stheticus refleksif di generalisasi hiperkapitali
sme dalam globalisasi.
Kritik Globalisasi dan Harapan
Keluar dari Krisis

Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab etis untuk pembangunan berkelanjutan memaksa
kita untuk keluar dari memburuknya keuangan, politik, dan krisis lingkungan masyarakat gl
obal. Bahkan dalam menghadapi perjuangan ideologis pasca-faktual, situasi pasca-krisis ha
rus dipertimbangkan sebagai kemungkinan munculnya kosmopolitanisme sejati yang mem
bawa kita menuju emansipasi dan dialog tentang masa depan di masyarakat internasional.

Untuk keluar dari krisis global masalahnya adalah menghadapi krisis keuangan global saat
ini yang dapat digambarkan sebagai krisis yang merupakan bagian dari proses transforma
si kapitalisme kontemporer (Rendtorff, 2009, 2016)
Dengan globalisasi kapital dan bertambahnya ketimpangan sebagai akibat dari kapitalisme
turun-temurun (Piketty), kita mengalami globalisasi krisis sejauh ketidakstabilan finansial, s
osial, dan ekologi mengglobal.

Dengan krisis keuangan, kita juga mengalami krisis sosial dan ekonomi. Krisis sosial ini ter
utama terlihat di tingkat internasional di mana perbedaan antara negara miskin dan negar
a kaya akan semakin serius. Saat ini, misalnya ada jutaan orang yang ditandai dengan deg
radasi sosial dan kelaparan serta keputusasaan lingkungan dan sosial di dunia. Di Timur Te
ngah, perang bercampur dengan krisis ekonomi yang memburuk, dan ini meningkatkan ke
miskinan. Di Afrika khususnya, dalam situasi pasca-kolonial kemiskinan ini ditunjukkan dala
m konflik internal antara suku dan kelompok etnis, dalam jumlah pengungsi yang merupa
kan akibat dari perang dan pemiskinan umum negara-negara berikut eksploitasi melalui p
asar ekonomi internasional.
Bagaimana cara keluar dari krisis? Bagaimana cara mengetahui
keuangan?
Neoliberalisme Milton Friedman adalah salah satu pilar krisis, karena neoliberalisme
adalah kekuatan pendorong di belakang perkembangan globalisasi internasional. In
i harus diubah menjadi peran negara yang lebih aktif dalam semangat Keynesianis
me. Banyak suara menyarankan peran yang lebih besar bagi negara untuk keluar d
ari visi privatisasi liberalisasi-stabilisasi yang selama ini dominan. Hal ini disertai den
gan kritik terhadap hutang pengangguran yang berlebihan di Amerika Serikat yang
telah menggantikan model sosial Keynesian. Sudah menjadi tugas filosofi visioner k
eberlanjutan dan globalisasi untuk mengatasi neoliberalisme masyarakat pasca-fakt
ual dengan merumuskan visi globalisasi lain yang mengintegrasikan sosialisasi pasa
r dengan konsep “keseimbangan etis” dalam refleksi politik tentang keadilan dalam
globalisasi (Rendtorff, 2013).
Harapan Kosmopolitanisme di Era
Hipermodernitas

Dalam bukunya Citizen of the World: The Cosmopolitan Ideal for the Twenty-First
Century Peter Kemp menawarkan kepada kita sebuah filosofi politik kosmopolitan
isme yang menyatukan para filsuf Timur dan Barat dengan memberikan interpreta
si modern terhadap konsep kosmopolitanisme (Kemp, 2010).

Perspektif ini memadukan filosofi pendidikan dan politik globalisasi dengan visi k
osmopolitanisme dalam perspektif konseptual dan historis. Gagasan menumbuhk
an kemanusiaan untuk kewarganegaraan global bertumpu pada visi perlunya men
didik anak-anak muda menjadi warga dunia yang dapat menghadapi masalahmas
alah besar kemanusiaan bagi peradaban kita, yaitu masalah krisis keuangan, bent
uran peradaban, dan perlunya pembangunan berkelanjutan umat manusia untuk
bertahan hidup.
Cita-cita sosial dan politik ini berasal dari filsafat kuno dan merupakan citacita bag
i para filsuf seperti Diogenes, Cicero, dan Seneca. Filsafat Stoic telah berbicara tent
ang kewarganegaran global di dunia saat ini.

Dengan buku Daniele Archibugi Cosmopolitan Democracy. On the Road to a Glob


al Democracy (2009) kami menemukan jawaban atas pencarian struktur untuk men
ghadapi masalah globalisasi yang semakin serius. Archibugi menempatkan kita dal
am perspektif sejarah dengan menanyakan sejauh mana seseorang dapat menjadi
“warga dunia”. Ini mengambil ide lama warga negara Stoic di dunia dengan memb
ahas kondisi kemungkinan demokrasi kosmopolitan.
Menurut mimpi untuk globalisasi lain, kita dapat mengatakan bahwa demokrasi be
rarti tidak lebih dari menjadi warga dunia.
Yang penting dalam kosmopolitanisme adalah multikulturalisme tanpa buday
a. Krisis pengungsi di Eropa saat ini menunjukkan sulitnya mengatasi multikult
uralisme dengan kosmopolitanisme. Dapat dikatakan bahwa kosmopolitanism
e menghargai integrasi penghormatan multikulturalisme ini ke dalam kosmop
olitanisme. Dengan demikian, kosmopolitanisme adalah hak untuk melampaui
negara nasional seseorang. Kosmopolitanisme terkait dengan kosmopolitanis
me politik, yang dapat dipahami sebagai universalisasi filosofis gagasan keadil
an dan pemerintahan internasional, misalnya dalam kerangka Perserikatan Ban
gsa-Bangsa.
Di Cosmopolitans in All Countries. One More Effort (1992), Jacques Derrida m
embahas sosok kosmopolitanisme dengan cara yang dapat menerangi perlind
ungan harkat dan martabat manusia ini. Hal ini sangat penting sebagai pertah
anan ketenangan filosofis sebagai respon terhadap krisis pengungsi saat ini di
Eropa
Derrida mengatakan bahwa ide kota yang aman harus menjadi sesuatu yang lain dari
bab hukum internasional tetapi gagasan yang benar dari keramahan (Derrida, 1992)
Derrida berpendapat bahwa kota harus memilih jalan menjadi tempat berlindung yan
g aman bagi orang asing. Derrida berbicara tentang etika dan piagam baru untuk kot
a yang aman. Derrida lebih mengacu pada kota daripada negara karena ia ingin men
emukan figur baru negara untuk kosmopolitanisme

Visi masa depan kosmopolitanisme ini berpusat pada gagasan tentang kehidupan m
anusia yang baik dalam konteks hubungan yang berkelanjutan dengan alam dan ling
kungan. Dengan pemaparan kita tentang tantangan globalisasi dan kosmopolitanism
e, kita dapat menyebut PBB sebagai aktor terpenting untuk mewujudkan harapan da
n visi etika dan politik kosmopolitan.
Filosofi Manajemen dan Keberlanjutan

Gagasan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah dasar bagi kerja sama global untuk
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan di mana-mana di dunia dengan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari tahun 1948, yang merupakan tongga
k untuk perlindungan hak asasi manusia yang universal dan kosmopolitan. Ditind
ak lanjuti oleh perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966) da
n tentang hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (1966), Perserikatan Bangsa-Bang
sa telah mengembangkan bahasa yang penting untuk perlindungan kosmopolita
n individu dan budaya manusia. Memang, pengembangan visi global keberlanjut
an kosmopolitan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang menindaklanjuti peker
jaan perlindungan hak asasi manusia
Filosofi Manajemen dan Keberlanjutan

Deklarasi dari Rio pada tahun 1992, KTT keberlanjutan tahun 2002 di Johannesburg dan
pada tahun 2012 sebuah pertemuan yang mengevaluasi situasi dua puluh tahun setelah
pertemuan Rio

Laporan Brundtland tahun 1987 yang menggabungkan kebijakan keberlanjutan dengan


deklarasi hak asasi manusia untuk memberikan keadilan bagi generasi mendatang dan
memberi mereka kemungkinan kehidupan yang baik di bumi.

Akhirnya, dengan konferensi PBB di New York pada tahun 2015, inisiatif tentang keberla
njutan ini menggabungkan pekerjaan pada tujuan pembangunan dari tujuan Milenium
PBB tahun 2000 dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di sini, dengan SD
Gs kita menghadapi realisasi politik umum,
Ch 2. Sustainability and Business
Ethics in a Global Society
Metodologi Keberlanjutan dan Etika Bisnis

Konsep etika bisnis berkelanjutan ini mengadopsi metodologi etika bisnis


sebagai “hermeneutika kritis” yang dikombinasikan dengan pendekatan in
stitusionalis interdisipliner terhadap ilmu ekonomi dan sosial (Rendtorff, 2
009).

Hermeneutika kritis menengahi antara penjelasan struktural dan intension


alis tentang kausalitas tindakan dalam teori institusional (Ulrich, 2008) .

Etika telah didefinisikan sebagai studi normatif tentang norma-norma apa


yang harus memandu pengambilan keputusan dan CSR dalam bisnis dan
ekonomi (Sen, 1987; Solomon, 1997)
Etika bisnis mencakup evaluasi kritis terhadap formulasi pedoman dan kode etik bagi perusahaan
di pasar nasional dan internasional.

Pendekatan luas untuk etika bisnis yang berkelanjutan ini juga menyiratkan evaluasi kritis ekono
mi neoklasik efisiensi dan utilitas dan mengarah ke interdisipliner yang lebih luas, kelembagaan, d
an perspektif sejarah pada normanorma dan nilai-nilai perusahaan.

Argumennya bersifat teoretis, tetapi juga perlu ditindaklanjuti dengan mengerjakan banyak materi
empiris, yang dapat digunakan untuk ilustrasi kualitatif yang berorientasi pada kasus dari argume
n teoretis. Pendekatan materi tekstual ini – menurut metode hermeneutika kritis – berdasarkan tin
jauan pustaka dan interpretasi daripada analisis kuantitatif survei nilai-nilai dominan aktor utama
(Rendtorff, 2009).
Visi bisnis yang berkelanjutan harus mengadopsi konsep "etika bisnis integratif" untuk
menengahi antara etika, politik, dan rasionalitas ekonomi (Ulrich, 2008).

Dalam perspektif ini, etika bisnis mengintegrasikan rasionalitas hukum, ekonomi, dan p
olitik untuk mempromosikan keberlanjutan dan kehidupan umat manusia yang baik. Eti
ka bisnis integratif tidak hanya tentang batasan eksternal pada aktivitas bisnis, tetapi ju
ga menyiratkan panduan internal untuk penciptaan nilai ekonomi.

Etika bisnis integratif bertujuan untuk merumuskan prinsip-prinsip CSR dari korporasi
warga negara yang baik. Etika bisnis didefinisikan sebagai rasionalitas praktis kritis yan
g mengintegrasikan etika dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu sosial.
Kita dapat melihat munculnya hubungan erat antara etika dan ekonomi sebagai strategi
baru untuk CSR dan manajemen moral. Namun, tetap ada ketegangan antara etika dan
ekonomi (Sen, 1987)
Etika adalah dasar dari tindakan ekonomi. Pada saat yang sama, kita harus mengakui ba
hwa ada dimensi etika dalam pengertian ekonomi tentang utilitas dan efisiensi, yang ha
rus diperhitungkan ketika berhadapan dengan etika pasar ekonomi.

Antropologi ekonomi harus lebih dipertimbangkan dalam perspektif liberalisme etis di


mana individu berinteraksi dalam jaringan timbal balik yang kompleks dalam komunitas
sosial. Dengan demikian, tindakan ekonomi didasarkan pada visi “kehidupan yang baik
dalam komunitas untuk dan dengan orang lain dalam institusi yang adil” (Ricœur, 1990)
.
Nilai Perusahaan Bisnis

Manajemen moral dapat dianggap penting untuk merumuskan norma-norma univers


al untuk budaya yang berbeda dan untuk mengatasi perubahan dan perkembangan
ekonomi dan sosial di pasar internasional karena meningkatnya globalisasi (Donaldso
n & Dunfee, 1999).
Di era kapitalisme global, perusahaan telah meningkatkan kekuatan dan tanggung ja
wab untuk berkontribusi pada nilai-nilai sosial dan pembangunan berkelanjutan.
Dari perspektif kelembagaan, hasil dari ekspektasi sosial terhadap korporasi ini adala
h munculnya norma-norma masyarakat sipil global dengan hukum dan normanya se
ndiri (Dienhart, 2000).
Pengembangan kode etik dan kebijakan manajemen moral merupakan kontribusi per
usahaan terhadap pembentukan norma-norma masyarakat sipil ini untuk memperkua
t fondasi sosial dari interaksi ekonomi (Driscoll & Hoffman, 2000)
Ada banyak nilai yang berbeda dalam kehidupan organisasi dan itu adalah peran
etika bisnis untuk memperjelas hubungan antara nilai-nilai yang berbeda dalam pe
rspektif kelembagaan (Dienhart, 2000).

Nilai-nilai penghematan, peningkatan kekuasaan, dan ekologi telah diusulkan seba


gai nilai-nilai asli perusahaan (Frederick, 1995).

Kita membutuhkan pandangan reflektif tentang moralitas yang mencoba mengata


si bahaya ideologi manajemen dan memahami etika sebagai kekuatan mengintegr
asikan kehidupan bisnis (Lipovetsky, 1991).

Manajemen moral adalah tentang kehidupan yang baik dalam organisasi berdasar
kan norma-norma tanggung jawab universal yang berusaha menemukan keseimba
ngan yang tepat antara individu dan organisasi dan memang antara perusahaan,
masyarakat, dan demokrasi politik.
Di sini, dimungkinkan untuk mempertahankan pendekatan integratif terhadap teori
-teori ini, menggabungkan unsur-unsur teori pemangku kepentingan, manajemen
moral komunitarian, dan etika bisnis Kantian dalam teori etika bisnis republik berda
sarkan cita-cita demokrasi "perusahaan warga negara yang baik" (Crane & Matten,
2015).

Pergeseran dari teori pilihan rasional atas teori pemangku kepentingan, komunitari
anisme, universalisme Kantian, dan teori kontrak terintegrasi dengan teori etika bis
nis republik (atau kosmopolitan) dapat dilihat sebagai langkah menuju konsep etika
bisnis yang komprehensif sebagai dasar kewarganegaraan perusahaan yang baik da
lam masyarakat modern yang kompleks (Rendtorff, 2018a).
Tanggung jawab dan ketanggapan sosial ini berada di garis depan lisensi untuk
mengoperasikan perusahaan (Frederick, 1994).

Menanggapi harapan pemangku kepentingan yang berbeda, perusahaan warga


negara yang baik terlibat dalam penalaran publik dan komunikasi publik deliber
atif (Ulrich, 2008).

Etika bisnis republik atau liberalisme etis antara komunitarianisme dan universali
sme Kantian bertujuan menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai inti dari manaje
men moral perusahaan yang bertanggung jawab.
Penerapan di Berbagai Bidang
Keberlanjutan dan Etika Bisnis

Dalam kerangka konsep etika bisnis yang berkelanjutan, kita dapat memikirkan
kembali konsep CSR dan pembangunan berkelanjutan karena berdasarkan tripl
e bottom line dapat dipromosikan sebagai kerangka keadilan dan prinsip-prinsi
p etika dasar (Elkington, 1999; Rendtorff, 2009, 2018).

CSR, etika bisnis, moral manajemen, dan akuntansi sosial dan etika didasarkan
pada kebijakan kepemimpinan yang mencakup pemangku kepentingan yang b
erbeda (Caroll, 1979).

Konsep CSR, keadilan pemangku kepentingan, dan pembangunan berkelanjuta


n dapat dilihat sebagai aplikasi praktis dari konsep korporasi warga negara yan
g baik dalam etika bisnis
Prinsip-prinsip etika dasar otonomi, martabat, integritas, dan kerentanan merupakan
ekspresi penting dari konsep keadilan sebagai kewajaran (Rendtorff, 2009).

Prinsip-prinsip etika dasar ini dapat diarahkan pada perlindungan pribadi manusia d
alam struktur organisasi. Oleh karena itu dianggap penting untuk beralih dari CSR k
e corporate social responsiveness (Frederick, 1994; Rendtorff, 2018).

Responsivitas sosial perusahaan memberikan penekanan pada kontribusi praktis per


usahaan terhadap manajemen sosial daripada pada kapasitasnya untuk membicarak
annya (Carroll, 1979). Ini bukan hanya tentang inisiatif pemerintah untuk membuat i
nsentif untuk tanggung jawab sosial, tetapi juga proposal bagi perusahaan untuk m
emberikan kontribusi nyata untuk perbaikan sosial. Etika bisnis tidak hanya tentang t
eori ideal tetapi harus diwujudkan dalam praktik nyata dan membuat perbedaan unt
uk strategi manajemen yang baik.
Menganalisis hubungan dengan konstituen internal perusahaan, kita dapat melihat
bagaimana nilai-nilai etika dicampur dengan nilai-nilai asli dari penghematan, perl
uasan kekuasaan, dan ekologi (Frederick, 1994; Rendtorff, 2018a).
Selain perspektif prinsip-prinsip etika, hubungan dengan konstituen internal diselid
iki dalam terang ketegangan antara rasionalitas ekonomi dan rasionalitas etis.
Hubungan dengan pemangku kepentingan internal juga dapat dilihat dalam kaitan
nya dengan teori perusahaan dalam ekonomi bisnis.
Mengenai etika bisnis konstituen eksternal, kami dapat menekankan pentingnya
responsivitas sosial dan penerapan prinsip-prinsip etika pada etika tidak hanya k
onsumen dan pelanggan tetapi lebih umum lagi pada etika hubungan masyarak
at dengan pemerintah, komunitas lokal, dan terhadap bangunan norma dan hub
ungan kepercayaan dengan masyarakat sipil.

Etika akuntansi adalah instrumen untuk meningkatkan transparansi dan kepercay


aan, tetapi juga merupakan instrumen untuk menciptakan pengetahuan dan pers
epsi diri reflektif perusahaan.

Pengukuran kinerja perusahaan bertingkat seperti itu juga dapat dikembangkan


dalam strategi manajemen moral perusahaan yang menyiratkan dialog berulang
dengan pemangku kepentingan perusahaan yang berbeda.
Isu lingkungan yang terkait dengan pertanyaan pembangunan berkelanjutan
memang merupakan aplikasi yang sangat penting dari teori nilai keberlanjut
an, manajemen pemangku kepentingan, dan prinsip etika. Di sini, dapat dika
takan bahwa CSR dan manajemen moral juga memasukkan lingkungan seba
gai pemangku kepentingan (Rendtorff, 2009, 2018; Rendtorff & Kemp, 2000).
Dalam kerangka tanggung jawab dan keberlanjutan, prinsip-prinsip etika per
lindungan martabat, integritas, dan kerentanan muncul sebagai nilai-nilai se
ntral untuk etika bisnis lingkungan.

Dari sudut pandang etika lingkungan, CSR adalah tentang bagaimana organi
sasi berhubungan secara etis dengan hewan dan alam. Etika lingkungan me
miliki dimensi kelembagaan sejauh ini berkaitan dengan hubungan antara or
ganisasi dan alam mencari sarana untuk mengintegrasikan bioetika, etika lin
gkungan, dan etika bisnis
Perkembangan Hukum Internasional
Etika Bisnis dan CSR

Kita dapat melihat perkembangan hukum yang berbeda di Amerika Serikat, Eropa,
dan di komunitas internasional yang mendokumentasikan kerangka normatif untu
k peran korporasi dalam masyarakat.
Mereka mengungkapkan perbedaan antara pendekatan yang berbeda untuk mana
jemen moral dan CSR di berbagai negara.
Di Amerika Serikat, sistem hukum telah digunakan secara luas untuk menciptakan
kerangka hukum yang kuat untuk mempromosikan program etika dan kepatuhan,
dimana pada tahun 1991, Pedoman Penghukuman Federal Amerika Serikat untuk
Organisasi (FSGO) disahkan oleh Kongres. Program kepatuhan dan etika tersebut
merupakan perkembangan baru hukum perusahaan yang menganggap regulasi se
bagai dialog dan pengaturan sendiri daripada penegakan kekuasaan negara yang
ketat
Inisiatif Eropa berkaitan dengan manajemen moral dan CSR telah dipromosi
kan dari dokumen Mempromosikan Kerangka Eropa untuk CSR Green Pape
r dari 2002 (European Commission, 2001a,b). Dokumen ini ditindaklanjuti d
engan komunikasi tentang CSR dari komisi Eropa dan pembentukan Forum
Pemangku Kepentingan Eropa.

Paradigma CSR Eropa yang muncul berfokus pada pengembangan moralita


s baru dari kebajikan etis daripada penegakan hukum langsung. Dengan de
mikian pendekatan Uni Eropa mencoba untuk mencerminkan tradisi CSR da
n keterlibatan dalam komunitas lokal, yang merupakan pusat tradisi bisnis
masyarakat Eropa (Lipovetsky, 1991). Ada upaya untuk mengembangkan bu
daya kebajikan di mana etika merupakan bagian integral dari ekonomi dan
manajemen bisnis
Sebagai dasar normatif untuk perilaku bisnis internasional, Kantianisme komunitaria
n berkontribusi pada pembentukan rezim internasional seperti norma yang baik unt
uk manajemen moral dan praktik bisnis multinasional.
Banyak organisasi dan perusahaan internasional telah berkontribusi pada pembentu
kan rezim etika bisnis internasional semacam itu. Kita dapat menyebutkan prinsip-pr
insip OECD, World Economic Forum, dan UN Global Compact, karya komisi hak asas
i manusia PBB tentang CSR dan hak asasi manusia (Rendtorff, 2009, 2018).
Secara khusus kita dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip Meja Bundar Caux (did
asarkan pada konsep universal martabat manusia) sebagai upaya penting untuk me
mpromosikan norma-norma integritas tinggi yang diberlakukan sendiri oleh perusah
aan multinasional yang kuat dalam pedoman internasional untuk etika bisnis yang
menengahi dan menjembatani antara timur dan barat (Rendtorff, 2009, 2018)
Integritas, Kepercayaan, Akuntabilit
as, dan Legitimasi

Masalah ini menyangkut landasan etika dan hukum dari gagasan CSR yang
dipertimbangkan dalam kerangka konsep kelembagaan identitas dan keprib
adian perusahaan (Prancis, 1984; Laufer, 1996).

konsep identitas korporat kolektivis dan konstruktivis adalah landasan yang


berguna bagi integritas organisasi korporasi warga negara yang baik (atau
korporasi sebagai warga dunia).

Di tingkat institusi, integritas organisasi dapat dianggap sebagai hasil dari u


paya untuk menetapkan strategi manajemen moral yang berhasil (Paine, 19
94a, b). Hal ini juga menjadi dasar kepercayaan dan akuntabilitas korporasi
dan memungkinkan untuk merumuskan konsep kelembagaan dan komunik
atif legitimasi sosial korporasi.
Gagasan tentang integritas menyiratkan gagasan tentang organisasi yang berbudi
luhur dan bertanggung jawab (Paine, 2002). Ada hubungan erat antara integritas i
ndividu dan organisasi. Strategi integritas harus dibedakan dari strategi kepatuha
n karena mereka berurusan dengan nilai-nilai dan etika daripada aturan dan pera
turan (Paine, 1994a, b).
Dalam organisasi, harus ada strategi yang dirumuskan untuk implementasi progra
m nilai-nilai organisasi menurut nilai-nilai tertentu, sejarah, dan konteks perusaha
an tertentu. Selain itu, integritas mengungkapkan komitmen organisasi terhadap
keadilan dan kewajaran terkait dengan pemangku kepentingan yang berbeda. Me
mang, ada juga hubungan erat antara kepemimpinan, penilaian etis, manajemen t
riple bottom-line, dan perkembangan integritas organisasi (Paine, 1994a, b).
Kita dapat mengatakan bahwa program manajemen moral adalah alat yang berguna
untuk mempromosikan budaya integritas, akuntabilitas, dan kepercayaan dalam org
anisasi (Bidault, Gomez, & Marion, 1997).

Kebutuhan untuk membangun praktik bisnis yang dapat dipercaya mencakup penge
lolaan masalah tata kelola perusahaan, akuntabilitas, dan transparansi sebagai krisis
kepercayaan publik dan penerimaan sosial perusahaan yang mendalam.

Ide tanggung jawab, integritas, akuntabilitas, dan kepercayaan dapat dipromosikan s


ebagai elemen pembentuk teori legitimasi perusahaan dalam masyarakat modern. L
egitimasi dalam masyarakat global merupakan elemen penting dari persyaratan korp
orasi warga negara yang baik (Rendtorff, 2018a; Suchman, 1995).
Dalam konteks pengelolaan SDGs, konsep CSR strategis dan etika bisnis dapat
dimasukkan untuk mendefinisikan penciptaan nilai bersama dari SDGs. Denga
n fokus pada keberlanjutan, perusahaan berhak menciptakan nilai untuk keber
lanjutan, bisnis, dan masyarakat sebagai bagian terpadu dari strategi mereka.

Kita dapat melihat SDGs sebagai kontribusi untuk perumusan baru maksud da
n tujuan tata kelola perusahaan dan kewarganegaraan perusahaan dalam mas
yarakat global.
Ch. 3 Ethics of Administration: Towards
Sustainability and Cosmopolitanism

Kita membutuhkan etika keberlanjutan bagi profesional administrasi publik di


negara bagian dan negara bagian (Cox, 2015; Larsen, 2000; Rendtorff, 2011a,
e, 2018).
Etika administrasi publik berkaitan dengan perumusan teori dan prinsip etika
yang mendefinisikan etika administrasi dalam birokrasi publik dan institusi po
litik (Jordan & Gray, 2011). Kita dapat mengatakan bahwa etika administrasi
publik menyangkut perlunya alasan praktis dan kebijaksanaan dalam kaitanny
a dengan pengambilan keputusan yang kompleks.
Perubahan Kondisi untuk Etika
Administrasi: Negara Kompetisi
Tujuan kompetitif ini diterapkan di mana-mana di negara bagian, dan itu juga menjad
i tugas utama setiap warga negara untuk mengambil bagian dalam permainan kompe
titif ini. Dengan ini, kita dapat mengatakan bahwa sudah menjadi tugas administrator
dan birokrat untuk berkontribusi pada perkembangan negara persaingan ini.
Pedersen menekankan bahwa etika dan kode etik telah menjadi lebih penting di nega
ra persaingan daripada di negara kesejahteraan klasik karena administrator tidak lagi
dianggap sebagai birokrat Weberian tradisional, tetapi sebagai aktif pengelola organis
asi dan lembaga dalam persaingan menyatakan sebagai korporasi bisnis (Pedersen, 20
10).
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang etika seperti apa dan nilai-nilai apa yan
g seharusnya menjadi nilai-nilai penyelenggara dalam negara persaingan. Memang m
enarik dan sangat penting bahwa Pedersen menekankan bahwa etika dan kode etik te
lah menjadi lebih penting di negara persaingan daripada di negara kesejahteraan klasi
k karena administrator tidak lagi dianggap sebagai birokrat Weberian tradisional, teta
pi sebagai aktif pengelola organisasi dan lembaga dalam persaingan menyatakan seb
agai korporasi bisnis (Pedersen, 2010).
Tantangan terhadap Etika Administr
asi: Krisis dan Korupsi

Sekarang sepertinya dunia barat mengekspor konsep negara persaingan dan


manajemen publik baru ke semua negara lain di dunia. Dengan demikian, eti
ka administrasi telah menjadi tantangan global (Cox, 2015; Jordan & Gray, 20
11).
Selain itu, dalam konteks ini dunia menghadapi beberapa tantangan serius b
erkaitan dengan administrasi publik untuk menemukan solusi ekonomi dan p
olitik yang tepat. Secara khusus, kita dapat menyebutkan (1) krisis ekonomi d
an lingkungan global, (2) krisis global penyuapan dan korupsi, dan (3) global
krisis lembaga dan organisasi publik dalam masyarakat sipil sebagai masalah
yang dihadapi etika administrasi publik.
Secara gabungan, krisis keuangan dan krisis lingkungan merupakan krisis dunia da
n kita membutuhkan transformasi menuju keberlanjutan (Nielsen, 2013).

Hal ini dapat dirumuskan sebagai krisis bagi sistem ekonomi dunia saat ini, termas
uk konsep mainstream negara persaingan yang berfokus pada pertumbuhan ekon
omi.

Jadi masalah krisis ekonomi dan lingkungan juga menjadi masalah negara persain
gan sejauh gagasan negara persaingan adalah produk dari ekonomi arus utama
Korupsi dapat didefinisikan sebagai penggunaan uang atau hadiah untuk
mendapatkan manfaat dan keuntungan tertentu. Dalam kasus administrato
r publik, penerimaan atau persyaratan suap dalam profesilah yang menunj
ukkan tingkat korupsi (Rendtorff, 2010c). Masyarakat dengan korupsi adala
h masyarakat tanpa kepercayaan dan integritas dan dalam pengertian ini
masyarakat tanpa keadilan atau kejujuran.

Oleh karena itu, korupsi merupakan serangan terhadap ekonomi politik m


asyarakat dan ini terkait dengan struktur pemberian hadiah, pengakuan, d
an pertukaran ekonomi masyarakat tertentu.
Korupsi menyerang struktur politik dan sosial fundamental dari masyarakat yang adil. Korupsi poli
tik dan penyuapan politisi dan pejabat publik merupakan tantangan bagi persatuan demokratis m
asyarakat karena individu tidak mendapatkan hak istimewa atas dasar prestasi, transparansi, atau
kriteria yang berlaku secara universal, melainkan dalam hal kekuatan dan kemampuan mereka se
ndiri untuk menyuap sistem politik.

Pencarian kekuasaan yang tidak adil secara pribadi ini berada dalam bahaya menyuap sistem pub
lik (Etchegoyen, 1995).
Tanpa checks and balances yang tepat serta konsepsi keadilan dan keadilan, korupsi
akan menjadi bahaya bagi lembaga-lembaga masyarakat yang demokratis. Dalam p
engertian ini kita dapat menunjukkan pentingnya lembaga demokrasi dalam masyar
akat sebagai cara yang paling efisien untuk menghindari korupsi.
Ini mungkin juga menjadi alasan mengapa masyarakat demokratis paling aktif dala
m merumuskan undang-undang yang melarang segala jenis suap dan praktik korup
si.

Keutamaan penting dari etika administrasi dalam masyarakat sipil adalah komitmen
aktif terhadap masyarakat ini dan perlindungan warga negara dengan pengakuan da
n penghormatan terhadap kewarganegaraan mereka dan partisipasi aktif dalam mas
yarakat. Administrator publik harus secara aktif berkomitmen untuk mempromosikan
kegiatan dalam masyarakat sipil sebagai indikator tingkat koherensi sosial dan keper
cayaan dalam masyarakat.
Nilai Etika Administrasi: Kosmo
politanisme dan Keberlanjutan

Nilai-nilai etika profesional mendefinisikan identitas organisasi dala


m organisasi publik (Jørgensen, 2003).

Penting untuk dipahami administrasi publik adalah kekuatan etos at


au koherensi umum yang didasarkan pada integritas yang tersirat da
lam gagasan klasik pegawai negeri dengan nilainilai tanggung jawa
b, integritas, profesionalisme, dan keadilan yang mendefinisikan adm
inistrasi publik negara yang dibangun. pada supremasi hukum.

Kita juga dapat mengatakan bahwa munculnya manajemen publik b


aru dan tantangan globalisasi tampaknya menekankan perlunya tan
ggung jawab baru dari administrator publik.
Sebenarnya ide Peter Kemp dalam bukunya tentang The world citizen dapat
diusulkan sebagai nilai ideal untuk etika administrasi publik (Kemp, 2011; Ren
dtorff, 2018a).
Kita dapat mengatakan bahwa komitmen terhadap visi pemecahan masalah d
unia termasuk kepedulian terhadap keberlanjutan, lingkungan dan hak asasi
manusia harus diusulkan sebagai bagian penting dari kesadaran nilai-nilai un
tuk sektor publik.
Pendekatan kosmopolitan terhadap konsep kewarganegaraan dunia ini akan
diterapkan pada etika administrasi berarti bahwa administrator harus dididik
menjadi warga dunia yang melihat diri mereka bertanggung jawab untuk me
nangani masalah peradaban, termasuk masalah krisis ekonomi dan ekonom
i. , hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan kemanusiaan. Mengik
uti tema kosmopolitanisme ini, masalah utama etika administrasi adalah pen
didikan pejabat publik dalam cita-cita sosial dan politik kosmopolitanisme.
Akan menjadi nilai-nilai baru administrasi publik yang penting untuk menginter
nalisasikan kepedulian terhadap pembangunan berkelanjutan dalam perspektif
global dengan kemampuan untuk menggabungkan global dan lokal dalam pen
dekatan praktis untuk pekerjaan profesional sebagai administrator.

Dalam konteks ini, penting bahwa nilai-nilai administrator publik terkait denga
n pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang keberlanjutan di mana keberl
anjutan menurut Laporan Brundtland dari Komisi Dunia tentang lingkungan me
ncakup etika, sosial, ilmiah, ekonomi, dan hukum. dimensi pembangunan berke
lanjutan (Kemp, 2011).
Kerangka Teoritis untuk Etika
Administrasi

Mengikuti Foucault kita dapat mengatakan bahwa etika administrasi aka


n dimasukkan dalam biopolitik pemerintahan modern di mana administr
asi publik menjadi pemerintahan kehidupan dan individu manusia didom
inasi melalui rasionalitas pemerintahan yang ditentukan oleh biopolitik
(Gane, 2014).

Peningkatan kekuasaan di negara modern menyiratkan pemerintahan pu


blik baru sebagai ekspresi dari teknologi pemerintahan baru, pada tingka
t individu dan kolektif dengan teknologi pemerintahan pribadi dan sosia
l.
Dalam perspektif ini biopolitik pemerintahan etika administrasi berdasarkan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pengakuan manusia tidak l
ain adalah bentuk baru dari teknologi pemerintahan yang sesuai dengan k
ondisi pemerintahan yang berubah dalam masyarakat global (Foucault, 200
4).
Perspektif ini negara neoliberal menggunakan subjektivasi warga negara ya
ng bertanggung jawab melalui etika administrasi sebagai alat untuk menin
gkatkan kekuatan biopolitiknya atas kehidupan (Cheah, 2013).

Tidak ada etika administrasi yang mungkin tanpa analisis konsekuensi nega
tif dari biopower dan rasionalitas teknologi. Namun, tidak merumuskan etik
a administrasi justru akan lebih rentan terhadap dominasi teknologi pemeri
ntahan, kontrol, dan disiplin.
Isu Mendesak untuk Etika
Administrasi
Etika administrasi secara keseluruhan adalah tentang nilai-nilai seperti apa yang kit
a butuhkan di sektor publik (Frederickson 1993; Jordan & Gray, 2011).

beberapa isu atau topik yang penting untuk dibahas dalam etika administrasi yang
konkrit :
1. Kebutaan moral dan kejahatan administratif dalam birokrasi public
2. Dari birokrasi ke tata kelola pemangku kepentingan yang etis
3. Tata kelola pemangku kepentingan sebagai strategi umum untuk sektor public
4. Ketegangan antara etika normatif dan analisis institusional.
5. Ketegangan antara manajemen publik baru dan tanggung jawab etis
6. Etika profesional dalam administrasi public
7. Etika di berbagai tingkat organisasi dan institusi.
8. Tanggung jawab pribadi, manajemen diri, dan etika.
Tantangan etika keberlanjutan dalam politik dan administrasi adalah bagaimana
pemerintah dapat meningkatkan kebijakan hijau dan lingkungan dengan mengu
rangi emisi CO2 dan polusi di sektor-sektor penting masyarakat seperti industri,
pertanian, dan transportasi. Kebijakan etis administrasi harus membuat cita-cita
keberlanjutan dan kosmopolitanisme menjadi pusat visi pemerintah dikombinasi
kan dengan kebijakan ekonomi yang bertanggung jawab dari transisi lingkunga
n, pertumbuhan hijau dan transformasi ekologi masyarakat ke arah SDGs.

Dalam administrasi publik, ini membutuhkan tipe baru kepemimpinan dan kemi
traan SDG, tata kelola dan pemahaman baru tentang tanggung jawab dan kepe
mimpinan etis dalam bisnis, LSM, dan lembaga publik.
Ch. 4 Corporate Social Responsibility, Su
stainability, and Stakeholder Management

Strategi perusahaan tentang keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaa


n dapat dianggap sebagai aplikasi praktis dari konsep kewarganegaraan perusah
aan dan "perusahaan warga negara yang baik" dalam etika bisnis dan administra
si publik (Rendtorff, 2009, 2018a).
Keberlanjutan dan Kewarganegaraa
n Perusahaan

Konsep pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai tujuan luas dar


i bisnis etis dan muncul dari definisi kami tentang "kewarganegaraan perusahaa
n yang baik" (Crane & Matten, 2004, hal. 21).

Dalam kerangka kewarganegaraan perusahaan, dan dengan munculnya konsep


keberlanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan SDGs, konsep ini menjadi leb
ih luas untuk mencakup masalah sosial dan lingkungan dalam definisi keberlanj
utan perusahaan
Konsep keberlanjutan telah dikembangkan lebih lanjut dalam gagasan "the triple
bottom line," yang menurutnya perusahaan tidak hanya memperhitungkan peng
embalian ekonominya dalam evaluasi keberhasilan ekonomi dan kemakmuran pe
rusahaan, tetapi juga untuk dampaknya pada lingkungan dan hubungan sosial d
engan karyawan, masyarakat setempat atau pemerintah (Elkington, 1999; Rendto
rff, 2009, 2018a).

Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan konsep keberlanjutan perusahaan ke


dalam inisiatif global mengenai kebijakan publik yang berkaitan dengan pemban
gunan berkelanjutan, dan kita dapat membayangkan penerapan gagasan kewarg
anegaraan perusahaan dalam etika bisnis
Konsep keberlanjutan harus dipertimbangkan dari dalam perspektif tanggung jawa
b sosial perusahaan, yang merupakan konsep penting lainnya untuk etika bisnis ya
ng diterapkan dalam kaitannya dengan konstituen internal dan eksternal perusahaa
n. Konsep tanggung jawab tersirat dalam konsep perusahaan kami sebagai aktor p
olitik dan moral, yang merupakan hasil dari gagasan kewarganegaraan perusahaan.

Ini adalah dasar untuk konsepsi republik tentang korporasi sebagai warga negara y
ang baik yang selain menghasilkan uang juga memperhatikan lingkungan politik, s
osial, dan ekologis. Konsep tanggung jawab ini menyiratkan bahwa perusahaan tida
k hanya harus mematuhi hukum, tetapi juga terlibat secara konstruktif dalam perba
ikan sosial masyarakat
Konsep Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan

Filsuf Jerman Hans Jonas mendefinisikan konsep tanggung jawab dalam Prinzi
p Verantwortung. Versuch einer Ethik der technischen Zivilisation (1979) yang b
erpendapat bahwa perkembangan teknologi dan ilmiah telah menyebabkan ta
nggung jawab yang jauh lebih besar bagi umat manusia daripada yang terjadi
sebelumnya.
Hal ini karena peradaban teknologi dan ilmu pengetahuan memiliki begitu ban
yak kekuatan untuk menghancurkan bumi (Jonas, 1979)
Konsep tanggung jawab ontologis dan kategoris ini dapat dikatakan menjadi la
ndasan bagi konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Ini mencakup tidak ha
nya tanggung jawab individu tetapi juga dapat merujuk pada tanggung jawab i
nstitusional perusahaan sebagai aktor moral (Prancis, 1984).
Dalam pengertian moral ini, tanggung jawab terkait dengan kekuatan dan kapasitas
korporasi untuk menanggapi tindakannya sendiri.

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan ini muncul sebagai konsekuensi dari ko
nsep tanggung jawab moral yang lebih mendasar (Prancis, 1984). Gagasan ini dipro
mosikan terhadap mereka yang menentang tanggung jawab sosial perusahaan den
gan mengatakan bahwa belum terbukti bahwa perusahaan dapat dimintai pertangg
ungjawaban, bahwa hanya pemegang saham yang memiliki kepentingan sah dalam
perusahaan, dan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan menghilangkan kebebas
an perusahaan untuk bertindak dalam pasar sesuai dengan keinginannya sendiri.
Salah satu argumen ini menegaskan tanggung jawab sosial perusahaan adala
h untuk kepentingan bisnis sendiri karena, dengan berkontribusi pada peruba
han sosial, dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk transaksi bisn
isnya sendiri dan dengan demikian mengembangkan bisnis sambil bertanggu
ng jawab secara sosial (Buchholz & Rosenthal, 2002, hal. 304).

Menjadi bisnis yang bertanggung jawab secara sosial dapat memenuhi harapa
n masyarakat, dan bisnis dapat membantu memecahkan masalah, karena peru
sahaan memiliki kekuatan yang begitu besar di masyarakat, bahkan mungkin
dapat mengubah masalah sosial menjadi peluang bisnis.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Manajemen
Pemangku Kepentingan

Idenya adalah bahwa perusahaan harus dianggap sebagai bagian dari masyaraka
t, dan bahwa isu-isu lingkungan dan sosial harus diintegrasikan ke dalam manaje
men strategis perusahaan (Freeman, 1984).

Komisi komunitas Eropa mengikuti inisiatif PBB ketika berpendapat bahwa tanggu
ng jawab sosial perusahaan tidak hanya menunjukkan kepatuhan terhadap kewaji
ban hukum tetapi juga upaya sukarela untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk
hak asasi manusia, lingkungan atau untuk hubungan dengan pemangku kepentin
gan lainnya.
Pandangan tanggung jawab sosial perusahaan ini menyiratkan strategi umum
untuk manajemen berbasis nilai strategis di era globalisasi.

Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada pandangan institusional p


erusahaan (Scott, 1995, 1998), tetapi juga organisasi sektor swasta dan ketiga
publik lainnya sebagai bagian dari masyarakat dengan tugas dan kewajiban. T
anggung jawab sosial perusahaan adalah prinsip dasar manajemen yang diger
akkan oleh nilai di era globalisasi di mana ekspektasi sosial perusahaan menin
gkat.
Sebagai warga korporat yang baik, perusahaan tidak dapat mengabaikan masalah
hak asasi manusia, degradasi lingkungan, dan konflik dunia.
Dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, pandangan strategi perusa
haan ini memerlukan pemikiran ulang strategi perusahaan sesuai dengan peran p
erusahaan sebagai warga perusahaan yang baik.
Teori pemangku kepentingan etika bisnis membantu kita untuk menentukan dasa
r strategis untuk manajemen keberlanjutan triple bottom line (Elkington, 1999). D
alam teori ini, prinsip dan nilai etika muncul sebagai nilai penting dalam dialog a
ntara organisasi dan pemangku kepentingannya. Etika bisnis pemangku kepentin
gan mempertimbangkan komunikasi dengan pemangku kepentingan; ini analog d
engan dialog yang berlangsung dalam demokrasi politik. Konsepsi komunikasi ya
ng ideal dengan pihakpihak yang berkepentingan di perusahaan didasarkan pada
jenis alasan yang tersirat dalam pertimbangan politik di ruang publik yang kritis.
Teori Kelembagaan dan Manajemen
Pemangku Kepentingan

Manajemen pemangku kepentingan pertama-tama merupakan cara untuk mening


katkan cakupan tanggung jawab sosial perusahaan, karena membuka jalan bagi k
elompok pihak yang berkepentingan yang lebih besar.

Teori kepentingan pemangku kepentingan tidak cukup tanpa beberapa pandanga


n tentang kebaikan bersama. Oleh karena itu, kita perlu menemukan landasan teo
ri pemangku kepentingan dalam pandangan korporasi sebagai praktik mencari ke
baikan bersama.

Atas dasar ini, manajemen pemangku kepentingan dapat dipahami sebagai respo
ns terhadap harapan masyarakat tentang kewarganegaraan perusahaan dan kontr
ibusi untuk kebaikan bersama masyarakat
Dalam perspektif kewarganegaraan perusahaan, prinsip-prinsip tanggung jawa
b dan keberlanjutan harus dimasukkan dalam pertimbangan perlakuan yang ad
il terhadap para pemangku kepentingan. Karena itu, pemangku kepentingan ya
ng tidak bekerja sama secara langsung dengan perusahaan tidak memiliki klai
m normatif langsung dan kewajiban terkait untuk diperhitungkan karena konsti
tuen intinya mungkin memiliki klaim turunan yang diperhitungkan (Philips, 200
3, hlm. 124-127)

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa organisasi masyarakat sipil at


au aktivis sosial dapat memiliki klaim yang sah sejauh mereka mewakili konstit
uen inti perusahaan misalnya karyawan atau komunitas lokal (Philips, 2003, hl
m. 152)
Manajemen strategis tanggung jawab sosial perusahaan menggabungkan
perhatian terhadap kinerja ekonomi dengan perhatian terhadap legitimasi
sosial perusahaan. Dari sudut pandang institusional, korporasi adalah bagi
an yang terintegrasi dari masyarakat dan nilai-nilai organisasi dibentuk ol
eh persepsi aktor dan pemangku kepentingan internal dan eksternal (Cap
ron & Quairel-Lanoizeelée, 2004, hlm. 105). Tanggung jawab sosial diperl
ukan untuk manajemen strategis, karena memastikan legitimasi sosial kor
porasi sebagai warga korporasi yang baik.
Konsep keberlanjutan ini menggabungkan etika dengan ekonomi dalam visi
keberlanjutan. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial perusahaan dalam hu
bungan antara pemangku kepentingan, institusi dan keberlanjutan sangat p
enting untuk transisi menuju SDGs dalam manajemen dan bisnis. Bisnis perl
u mempertimbangkan batasan penggunaan sumber daya instrumental dan
utilitarian, yang termasuk dalam kritik ekologi dan lingkungan terhadap kap
italisme pertumbuhan. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan nil
ai-nilai baru pengelolaan bisnis para pemangku kepentingan, berdasarkan v
isi “kehidupan yang baik dengan dan untuk orang lain dalam institusi yang
adil”.
Dalam konteks ini, bisa dibilang, SDGs muncul sebagai kerangka baru untu
k legitimasi kelembagaan tanggung jawab sosial perusahaan dan manajem
en pemangku kepentingan.
Ch. 5 Business Sustainability and the UN Sust
ainable Development Goals (SDGs)
Dari Tujuan Milenium ke SDGs

SDGs jauh lebih rinci dan diadopsi oleh 193 negara anggota PBB, yang melanjutkan
konsensus tujuan Milenium, tetapi melibatkan masyarakat yang lebih luas termasuk
pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil.

SDGs terdiri dari 17 SDGs dan ditetapkan dengan 169 sub-target yang bersama-sa
ma berfokus pada manusia, planet, dan kemakmuran (United Nations, 2018a). Sekt
or swasta, bisnis, dan perusahaan sangat penting untuk mewujudkan Agenda transf
ormasi dunia untuk tahun 2030 untuk SDGs.

SDGs telah menjadi fokus utama pengembangan ekonomi yang tertanam secara lo
kal dan berkelanjutan untuk menghadapi pergerakan kapitalisme dan pertumbuhan
global dan universal
Tantangan SDGs

SDGs PBB fokus pada kebutuhan untuk mengubah dunia dan ini dianggap sebagai
upaya kolektif untuk semua pemangku kepentingan. Dengan 17 SDGs dan 169 targ
et, PBB telah mencoba untuk menentukan jalur yang jelas dari pembangunan berke
lanjutan yang menggabungkan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan tujuan mel
indungi hak asasi manusia dan menyelamatkan planet ini.

SDGs menekankan perlunya pengentasan kemiskinan dan kelaparan dengan meng


hormati hak asasi manusia, martabat, dan kesetaraan manusia.

SDGs menggabungkan ini dengan visi konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, t
ermasuk menjaga sumber daya alam, menghadapi perubahan iklim, dan melestarik
an planet ini untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
Kerangka kerja untuk visi ini adalah gagasan keterlibatan semua pemangku
kepentingan, masyarakat, dan negara dalam kemitraan global untuk pemba
ngunan berkelanjutan yang dibangun di atas penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan martabat.

Dengan wacana visi masa depan yang gemilang, perdamaian, dan kesetara
an ini, PBB berfokus pada tiga definisi keberlanjutan termasuk keberlanjuta
n ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang diusulkan sebagai tujuan yang sei
mbang dan terintegrasi untuk agenda dunia.

Dunia dengan damai dan tanpa kekerasan dipadukan dengan visi sehat, ikli
m yang baik, dan lingkungan yang bersih dengan energi dan sumber daya
alam yang berkelanjutan (PBB, 2015).
Inilah visi lingkungan dari agenda SDG (Agenda I). Selain itu, ada visi sosial dari visi sosial SDGs
(Agenda II). Visi ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia,
keadilan, dan non-diskriminasi yang memungkinkan semua manusia untuk mewujudkan potensi
mereka. Di sini, agenda menekankan perlunya menghormati kesetaraan antara laki-laki dan pere
mpuan. Dimensi ketiga dari agenda (Agenda III) adalah gagasan pertumbuhan berkelanjutan den
gan dunia di mana pertumbuhan ekonomi dan bekerja untuk semua dikombinasikan dengan supr
emasi hukum dan demokrasi dan pemanfaatan lingkungan yang berkelanjutan dengan tujuan me
ngentaskan kemiskinan dan menangani tantangan lingkungan dan perubahan iklim secara berkel
anjutan (PBB, 2015)
Bersama dengan pemerintah dan masyarakat sipil, bisnis harus terlibat dalam memenuhi tujuan p
embangunan PBB. Bentuk organisasi dan struktur tata kelola baru menggambarkan upaya dan ke
sulitan perusahaan transnasional dan usaha kecil dan menengah sehubungan dengan transformas
i menuju model bisnis progresif mengikuti tujuan keberlanjutan PBB. Tantangan masa depan etika
bisnis adalah untuk menemukan prinsip-prinsip etika yang tepat untuk mengatur co-creation dan
co-eksistensi antara organisasi dalam manajemen kemitraan. Yang penting adalah bagaimana ke
mitraan antara bisnis dan masyarakat sipil dapat berkontribusi pada implementasi SDGs yang bai
k.
Kritik terhadap Pembangunan
Berkelanjutan dan SDGs
Kritik dasar adalah bahwa pertahanan keberlanjutan adalah argumen untuk "kapi
talisme hijau," sebuah konsep pertumbuhan hijau yang menyiratkan konsepsi ek
onomi neo-liberal yang tidak ada hubungannya dengan keberlanjutan.

Perspektif kritis lebih lanjut tentang SDGs melihatnya sebagai semacam etnosent
risme Eropa, berdasarkan filosofi keunggulan pertumbuhan, kemajuan, dan pem
bangunan Barat. Keberlanjutan dari perspektif ini tidak cocok untuk sistem kapita
lis karena ini tentang pelestarian dan stabilitas.

Selain itu, para kritikus berpendapat bahwa negara-negara berkembang tidak da


pat benarbenar memanfaatkan keberlanjutan dalam ekonomi lokal, tetapi merek
a lebih memilih tunduk pada konsep pembangunan kapitalis, yang tidak dapat
mereka tanggung jawab. Dari sudut pandang ini, SDGs PBB menyiratkan konsep
barat yang tidak dapat dipertahankan tentang manipulasi teknokratis dunia, yan
g mengintegrasikan negara-negara berkembang dalam Agenda kapitalis neoliber
al negara-negara kaya.
Dari Pembangunan Berkelanjutan ke
Transformasi Menuju Ekonomi Lain

Kerangka kontemporer keberlanjutan perusahaan dimulai dengan Laporan Komisi Brund


tland dari tahun 1987 di mana SDGs adalah pengembangan selanjutnya (Komisi Dunia,
1987).
Tujuan pembangunan berkelanjutan dan kepedulian terhadap generasi mendatang adal
ah kelangsungan hidup umat manusia di planet bumi.
Selain teori keberlanjutan perusahaan Elkington berdasarkan kerangka kerja PBB, teori
manajemen pemangku kepentingan Edward Freeman merupakan revolusi konseptual da
ri model bisnis progresif yang berkontribusi untuk mengkonseptualisasikan model bisnis
keberlanjutan perusahaan (Bonnafous-Boucher & Rendtorff, 2016; Freeman, 1984). Deng
an ini, Freeman menekankan bahwa untuk manajemen pemangku kepentingan, pencipt
aan nilai bersifat relasional (Bonnafous-Boucher & Rendtorff, 2016; Freeman, 1984). Hub
ungan didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, dan cinta, dan ini adalah di
mensi baru dari bisnis dan ekonomi yang tertanam secara sosial
Penelitian CSR dan keberlanjutan telah difokuskan pada triple bottom line (Elkingto
n, 1997; Kashmanian, Wells, & Keenan, 2011; Norman & MacDonald, 2004) dan pad
a klarifikasi konsep bisnis yang bertanggung jawab, misalnya CSR politik (Rendtorff,
2018b ; Scherer & Palazzo, 2011), menciptakan nilai bersama (Porter & Kramer, 200
3, 2006, 2011). Sekarang penelitian ini harus fokus pada “gab frame” menerjemahka
n SDGs ke dalam tanggung jawab tertanam, institusional, dan kolektif dalam kasus b
isnis yang menciptakan nilai (Hammoudeh, 2018; Hess, 2017; Hildebrandt, 2016; Muf
f, Kapalka, & Dyllick, 2017; Nielsen, 2015; Rendtorff, 2018a).

Selain itu, penggunaan teori-teori ekonomi ini untuk memahami dan menganalisis S
DGs masih belum tercapai. Maka diperlukan penelitian yang terfokus untuk memaha
mi SDGs dan ekonomi berkelanjutan (Howard-Grenville, 2017).
Tujuan dari teori transisi ekonomi menuju keberlanjutan ini adalah untuk
mengembangkan teori dan konsep kepemimpinan etis dan CSR yang sec
ara khusus mencakup kepedulian terhadap keberlanjutan (Rendtorff, 200
9, 2013, 2014; Scherer & Palazzo, 2008, 2011). Dengan demikian, dari per
spektif ini kita dapat melihat bagaimana model bisnis progresif dalam or
ganisasi bisnis diperlukan untuk menghadapi potensi tantangan yang mu
ncul dalam kaitannya dengan kontribusi terhadap pembangunan berkela
njutan (Muff et al., 2017).
Masyarakat Sipil dan Kemitraan
untuk SDGs

Rumusan SDGs dalam kerangka ekonomi ekologis, filosofi manajemen,


manajemen pemangku kepentingan, CSR, dan paradigma bisnis yang et
is juga dapat dianggap sebagai kerangka teori tentang kemitraan SDG.
Kita telah melihat bagaimana SDGs terbuka untuk model bisnis progresi
f baru dari manajemen pemangku kepentingan relasional. Ini memang
dasar kemitraan untuk SDGs (Bonnafous-Boucher & Rendtorff, 2016; Fre
eman, 1984).

Negara-negara anggota PBB berkomitmen untuk mewujudkan SDGs de


ngan fokus pada tanggung jawab pemerintah (United Nations, 2018a)
Konsep kemitraan sangat penting untuk SDGs dan berbagai jenis kemitraan penting untuk penca
paian SDGs. Di sini, tujuan nomor 17, kemitraan untuk tujuan sangat penting sebagai tujuan yang
berbeda dari tujuan lain karena mengacu pada proses multi-stakeholder untuk menemukan tujua
n dan kepada lembaga, organisasi, dan orang-orang yang terlibat yang perlu bekerja sama dalam
rangka mewujudkan SDGs.

Dengan SDGs, masyarakat internasional mengusulkan pendekatan multi-stakeholder untuk meme


cahkan masalah global dan lokal.

Dalam konteks ini, penting untuk ditekankan bahwa SDGs juga merupakan hasil dari berbagai ke
mitraan dan interaksi. LSM, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil bekerja sama untuk merumus
kan SDGs seambisius mereka dan proyek diplomatik dan politik SDGs PBB telah didasarkan pada
proses kolektif untuk membentuk SDGs sebagai tujuan dunia yang ambisius.
Dengan demikian, konsep kemitraan itu sendiri berada di balik visi baru SDGs.
Proses perumusan tujuan telah menjadi kompleks dan penting untuk menging
at kompleksitas SDGs dengan 17 tujuan dan 169 target yang mencakup berba
gai variasi dalam lingkup, tujuan, dan konteks. Pada saat yang sama, penting
untuk diingat bahwa semua negara di PBB mengadopsi agenda 2030 dari SD
Gs.
tujuan akhir CSR dan kewarganegaraan perusahaan dalam pembangunan berk
elanjutan diwujudkan dengan SDGs melalui kemitraan manajemen pemangku
kepentingan relasional.
Dalam pengelolaan dan strategi SDG kita perlu menyadari hubungan antara k
eberlanjutan sosial, lingkungan dan ekonomi dengan fokus pada kebaikan unt
uk memastikan bahwa SDGs mengarah pada pertumbuhan hijau dan lingkung
an yang nyata.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan Saling Ketergantun
gan Etis di Zaman Antroposen

Untuk memahami landasan filosofis pergerakan dari etika bisnis dan


tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ke tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs), kita perlu menganalisis dimensi filosofis
interdependensi etis di zaman Antroposen.
Ini adalah dasar untuk transisi kontemporer dari sistem ekonomi kita
saat ini menuju sistem ekonomi sirkular dan ekologis dan lebih rama
h lingkungan.
Kita mengalami transformasi sistem ekonomi menghadapi era Antrop
osen dengan relasi baru antara manusia dan alam. Oleh karena itu, k
ita perlu memahami zaman Antroposen sebagai dasar perkembanga
n etika bisnis dan CSR saat ini.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Buku Latour merupakan kontribusi bagi filosofi perubahan iklim dan r
efleksi dari karya ilmiahnya tentang antropologi modern. Bagi Latour,
perubahan iklim merupakan tantangan besar bagi pemahaman tekno
sains, fisika, dan kimia tentang alam modern. Apalagi fondasi filsafat
alam modern menjadi tidak stabil (Latour, 2015, hlm. 12).

Dengan ceramahnya tentang Gaia, Latour berkontribusi dengan men


empatkan refleksi pada Antroposen dan pada batas-batas planet di s
eluruh epistemologi dan sosiologi ilmunya. Dapat dikatakan bahwa p
erkembangan iklim menegaskan bahwa pemisahan antara ilmu man
ajemen dan ilmu sosial dan ilmu alam tidak lagi bekerja. Rezim Iklim
Baru menjadikan alam dan iklim sebagai masalah tata kelola, manaj
emen, etika, dan praktik politik.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....

Dengan menganalisis hubungan antara Gaia dan Antroposen, Latour m


enunjukkan bagaimana alam dan bumi telah menjadi elemen sentral dar
i geopolitik modern. Perubahan iklim merupakan tantangan bagi epistem
ologi hubungan subjek-objek, dan objek sains telah menjadi hibrida yan
g dimiliki bersama antara alam dan budaya.

Konferensi Latour adalah titik awal yang baik untuk menganalisis tema I
nklusivitas. Tema Inklusivitas berkaitan dengan Etika dan Saling Keterga
ntungan dengan fokus pada membuka keprihatinan manajerial untuk hal
-hal lain di luar organisasi. Bagi saya usia Antroposen dengan perubaha
n iklimnya telah menekankan perlunya inklusivitas di masa saling keterg
antungan etika global. Saat ini membutuhkan manajemen yang tangguh
dan praktik organisasi untuk mengatasi kerentanan manusia dan alam t
erhadap ketidakstabilan alam dan sosial baru di dunia.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
1. Landasan Epistemologis Etika Antroposen
Saat ini kita membutuhkan lebih banyak tanggung jawab dan etika li
ngkungan dalam manajemen dan tata kelola organisasi. Kita perlu b
ergerak menuju tanggung jawab teknologi, politik, dan ekonomi untu
k pembangunan alam dan masyarakat yang berkelanjutan. Meman
g, kebutuhan akan tanggung jawab untuk pembangunan berkelanjut
an menjadi semakin penting ketika kita mengingat bahwa kita hidup
di era Antroposen.
Konsep zaman Antroposen adalah konsep geologi yang berarti bah
wa dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan di planet ini menj
adi lebih serius. Karena perubahan iklim dan perubahan lain dalam li
ngkungan alam umat manusia, geologi telah mulai mencirikan perio
de geologis yang ada sejak abad kedelapan belas sebagai usia Antr
oposen di mana manusia sebagai spesies dan kelompok kolektif ber
kontribusi pada modifikasi geologis alam.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....

Memang, konsep Anthropocene memungkinkan Latour untuk memp


erbarui epistemologi dan antropologi filosofisnya. Dia melanjutkan r
efleksi masternya Michel Serres tentang sains dan masyarakat. Ser
res mengatakan bahwa Hiroshima, dengan cara tertentu, adalah su
bjek sebenarnya dari filosofinya (Serres, 1992, hlm. 29). Setelah Hir
oshima, kami tidak lagi percaya pada optimisme ilmiah. Hal ini telah
mengubah hubungan antara sains dan masyarakat, pengetahuan d
an moralitas, dan telah berkontribusi untuk mematahkan kerangka p
emikiran sebelumnya dalam tradisi epistemologis
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
2. Antropologi Saling Ketergantungan Manusia dan Alam
Dalam bukunya, Kami Tidak Pernah Modern Latour melihat manusia d
an humanisme sebagai kebenaran mendasar dengan menunjukkan ke
senjangan antara dunia sosial dan dunia alam. Kami telah membagi du
nia antara manusia dan nonmanusia, antara manusia dan non-manusia
seperti dalam konstitusi hukum yang mendefinisikan badan hukum dan
tatanan hukum. Namun, kita lupa bahwa alam dipersepsikan oleh man
usia melalui “kacamata” tertentu dan ditafsirkan oleh sains.
Menurut filsuf ilmiah Gaston Bachelard, ditekankan bahwa kegiatan lab
oratorium ilmiah harus dipahami sebagai "pemalsuan fakta" (Latour, 19
93, hlm. 18). Alih-alih menerima perbedaan antara subjek dan objek be
gitu saja, perkembangan antropologi untuk dunia modernlah yang men
gungkapkan interaksi antara manusia dan alam, seperti yang dilakukan
Latour dalam analisis Pasteur. Pada saat yang sama, antropologi ini m
enolak reduksi dunia dekonstruksi dan semiotika menjadi sistem tanda.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....

Latour menekankan bahwa gagasan modernitas tentang kesenjangan mutlak


antara alam dan masyarakat tidak dapat dipertahankan. Setiap hari, lembaga
-lembaga ilmiah, politik, dan teknologi masyarakat bercampur dengan objek-o
bjek berbeda yang diciptakan oleh komunitas dan oleh objekobjek alam yang
diciptakan oleh masyarakat. Pada saat yang sama bahwa masyarakat adalah
konstruksi sosial, kami telah mencoba menciptakan alam sebagai objek trans
enden.
Namun demikian, hubungan antara alam dan masyarakat lebih kompleks. Ma
syarakat muncul sebagai struktur kokoh yang mendominasi orang, bahkan jik
a mereka telah menciptakannya melalui interaksi, sambil tetap berhubungan
dengan benda-benda alam. Akibatnya, upaya modernitas untuk mempertaha
nkan perbedaan antara manusia dan alam tidak dapat dipertahankan (Latour,
1993: 37).
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Oleh karena itu, Latour mengembangkan teori jaringan aktor untuk mem
ahami interaksi antara alam dan masyarakat. Dengan referensi kritis ke
Heidegger, dia menekankan bahwa kita harus meninggalkan sikap Heide
gger bahwa kita hidup dalam "kelupaan" keberadaan (Latour, 1993, hlm.
65). Alih-alih berfokus pada teknologi sebagai penghancur dunia kehidup
an, kita harus mendapatkan kembali kreativitas dalam mediasi teknologi
antara dunia dan manusia.
Persepsi postmodernisme yang terfragmentasi merupakan gejala dari
problematika modernitas dalam memahami hubungan antara masyaraka
t, alam, dan teknologi. Untuk memperoleh pemahaman yang baik tentan
g hubungan ini, Latour menekankan generalisasi metode antropologis. D
i sini, pembedaan antara Modernitas dan masyarakat tidak dilihat sebag
ai titik tolak yang kokoh, tetapi karena pelembagaan tertentu dari masyar
akat yang menghasilkan benda, manusia, alam, dan masyarakat pada s
aat yang bersamaan (Latour, 1993, hlm. 79).
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
3. Saling Ketergantungan Alam dan Sosial Budaya dari Rezim Iklim Baru

Bruno Latour menekankan bahwa ketidakstabilan iklim dan kehidupan k


ita sebagai orang-orang yang dapat bertindak melawan pemanasan glo
bal telah ditekankan sedemikian rupa sehingga kita berada dalam krisis
ekologi yang lebih dalam yang menyiratkan “perubahan besar dalam hu
bungan kita dengan dunia” (Latour, 2015). hlm. 16-17). “Perubahan hub
ungan dunia,” yang menurut Latour disebabkan oleh definisi kegilaan il
miah (Latour, 2015, hlm. 18), mencirikan “skeptisisme iklim”, “penentan
g iklim”, atau “pendiam iklim” yang ingin hidup dengan cara lain.

Untuk menguji kritik ini, Latour mengacu pada generalisasi Sloterdijk te


ntang Umwelt di von Uexküll dalam ilmu Spheres “sebagai disiplin antro
posenik pertama” (Laotur, 2015, hlm. 168).
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Bagi Sloterdijk, tidak mungkin memiliki pemahaman global dan kosmik.
Dia lebih berbicara tentang bola daripada filosofi Globe. Bagi Sloterdijk,
gagasan Globe dan kosmos adalah konsepsi Platonis dan metafisik ten
tang dunia ide yang ingin memiliki pengetahuan yang sempurna.
Dengan demikian, gagasan Globe adalah kosmopolitanisme dan sanga
t metafisik. Globe adalah gambaran teologis dan idealis sebagai model
ilmiah totaliter.
Memang, itu merupakan kritik terhadap pemikiran zaman Antroposen d
an Gaia yang mungkin menjadi model global. Namun, dengan mengkaji
konsep Gaia lebih dekat, kita mengamati, menurut Latour, bahwa itu ad
alah konsep yang bisa lepas dari metafisika. Ini bukan konsep totaliter,
karena pelajaran dari Anthropocene adalah bahwa manusia (Latour, 20
15, hlm. 179) tidak dapat menggenggam bumi secara
global.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....

Namun demikian, sains berkontribusi pada perusakan alam. Moderni


tas sejati menurut Toulmin dan Latour lebih didasarkan pada ekologi
dan masyarakat sipil di mana seseorang mengendalikan negara dala
m semangat kosmopolitan. Alih-alih hilangnya harapan dalam Kiamat
modernitas, Latour mengusulkan perpaduan "eskatologi dan ekolog
i," bukan sebagai irasionalisme atau sebagai mistik agama tetapi seb
agai momen untuk mengakhiri perang iklim dan percepatan pertumb
uhan. Bagi Latour, Gaia mewakili kekuatan historis untuk mendapatk
an kembali milik dunia manusia melawan pelarian ilmiah dan Gnostik
(Latour, 2015, hlm. 282–283)
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
4. Manajemen Ketahanan dan Tata Kelola pada Zaman Antroposen

Ketahanan juga berarti kemampuan untuk mendapatkan kembali ene


rgi dalam situasi kelimpahan. Ini tentang kemampuan untuk memulih
kan diri sendiri, untuk berkembang bagaimanapun, di lingkungan yan
g sulit. Kebijakan resiliensi telah menjadi kebijakan baru mengenai s
urvivability, coping, dan restitusi dalam situasi chaos, anarki, dan inst
abilitas (Slagmark, 2016).
Ide manajemen resiliensi adalah kritik terhadap ilmu-ilmu sosial positi
vis dan modernis dan kepercayaan mereka pada ilmu yang unik dan
tepat. Filsafat dan ilmu pengetahuan mencari paradigma baru pasca
modernisme dan pasca politik iklim pasca modernisme dan pasca lib
eral yang mampu memperhitungkan kompleksitas manajemen dalam
masyarakat menghadapi krisis pemanasan global.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
5. Menuju Geopolitik Baru Keberlanjutan
Dengan Latour kita dapat berbicara tentang munculnya bentuk baru ge
opolitik sebagai dasar manajemen dan tata kelola global di mana oran
g tertarik pada Gaia sebagai tempat politik (Latour, 2015, hlm. 359–36
0). Kita telah melihat bahwa landasan epistemologis dari etika Antropo
sennya ditemukan dalam sosiologi konstruktivis dan dalam antropologi
saling ketergantungan antara manusia dan alam.
Manajemen dan tata kelola menjadi aktivitas organisasi inklusif yang
merespons masalah iklim tanpa menjadi sistem sibernetik teknologi. In
i
bukan lagi kebijakan baru Leviathan. Latour menunjukkan bahwa Antro
posen menyiratkan pembatasan keuntungan Gaia, yang melebihi hege
moni negara-bangsa di bumi dan dengan demikian menandai akhir dar
i modernitas politik dan munculnya Rezim Iklim Baru. Saling ketergant
ungan alam dan sosial-budaya dari Rezim Baru memaksakan realitas
etika baru di dunia.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Apa konsekuensi bagi praktik organisasi dari kondisi Zaman Antropo
sen? Kondisi interdependensi etis menunjukkan perlunya pengelola
an berbasis SDGs. Tantangan Antroposen merupakan latar belakan
g SDGs di saat meningkatnya tekanan terhadap lingkungan alam. T
eori Latour dapat membantu untuk memahami bentuk-bentuk baru
manajemen dan tata kelola organisasi di saat geopolitik global peru
bahan iklim.
Dengan demikian, kita dapat berargumen bahwa Antroposen menyir
atkan manajemen dan tata kelola baru berdasarkan hubungan erat
antara alam dan budaya. Dengan dasar ontologis baru untuk tanggu
ng jawab iklim dan manajemen ketahanan dalam perspektif konstru
ktivis sosial, kita dapat menunjukkan visi penelitian dan inovasi yang
bertanggung jawab sebagai hal yang penting untuk manajemen SD
G di bidang Antroposen.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Dengan visi penelitian dan inovasi yang bertanggung jawab menekankan ko
mitmen manajemen puncak dan kepemimpinan sebagai hal yang penting un
tuk manajemen ketahanan, mencakup integrasi analisis dampak etika, huku
m, dan sosial dalam pengembangan produk. Termasuk keterlibatan pemang
ku kepentingan perusahaan dan responsif terhadap nilai-nilai publik dan sos
ial dari organisasi bisnis.
Penting untuk memiliki konsepsi holistik tentang penelitian dan inovasi yang
bertanggung jawab, di mana masalah ilmiah dan teknologi, etika dan sosial
serta strategis, organisasi dan ekonomi terintegrasi di semua tingkat inovasi
organisasi bisnis. Proses road-mapping ini mencakup kesadaran akan nilai
moral dan etika serta upaya perusahaan untuk menanamkannya dalam kegi
atannya. Lebih-lebih lagi, perusahaan harus secara aktif mengantisipasi da
mpak sosial dan lingkungan dari kegiatannya. Ini harus dikombinasikan den
gan keterlibatan pemangku kepentingan, transparansi dan akuntabilitas sert
a upaya aktif untuk bekerja untuk tujuan sosial dan lingkungan dan memant
au hal ini dalam pengembangan organisasi perusahaan.
Bab 7
Bencana Lingkungan dan Tantangan untuk Penga
mbilan Keputusan yang Etis
Bencana lingkungan ini mengingatkan kita secara literal tentang bagai
mana umat manusia telah membangun peradaban modern yang terlep
as dari segala kekuatan dan kemuliaannya, sangat dekat dengan peng
hancuran diri. Dalam bab ini, kita akan melihat kemungkinan penjelasa
n penyebab bencana dan menyajikan beberapa saran yang mungkin u
ntuk kerangka yang lebih baik dari eko-etika pengambilan keputusan d
alam sistem organisasi yang kompleks.
Bencana pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima di Jepang pada
musim dingin 2011 menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang batasan
dan kemungkinan pengambilan keputusan institusional dalam sistem or
ganisasi yang kompleks (Rendtorff, 2014a, 2014b). Dalam arti tertentu,
bencana ini adalah simbol dari semua kerapuhan dan paradoks teknolo
gi dan etika dalam masyarakat kapitalisme tekno-ilmiah.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......

Hal ini menjadi tantangan bagi filosofi sustainability di era Anthropoc


ene. Bencana adalah kasus khas dari situasi yang dihadapi umat m
anusia, dihadapkan dengan Antroposen.
Bencana lingkungan ini mengingatkan kita secara literal tentang ba
gaimana umat manusia telah membangun peradaban modern yang
terlepas dari segala kekuatan dan kemuliaannya, sangat dekat den
gan penghancuran diri. Dalam bab ini, kita akan melihat kemungkin
an penjelasan penyebab bencana dan menyajikan beberapa saran
yang mungkin untuk kerangka yang lebih baik dari eko-etika penga
mbilan keputusan dalam sistem organisasi yang kompleks
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
1. Tantangan Fukushima bagi Lingkungan

Jean-Luc Nancy membahas pertanyaan tentang etika dan filosofi s


etelah Fukushima. Idenya adalah bahwa tsunami terhadap pemba
ngkit nuklir di Jepang adalah contoh dari kondisi teknologi dan tind
akan manusia dalam modernitas. Bencana atom menunjukkan hub
ungan dan saling ketergantungan antara masalah teknis, ekonomi,
sosial, dan politik dalam masyarakat yang kompleks.
Fukushima adalah contoh kompleksitas sistem yang saling bergant
ung dan bagaimana masyarakat kapitalis tunduk pada kendala pro
duksi kekayaan dan pertumbuhan ekonominya sendiri. Inilah hubu
ngan antara teknologi dan akumulasi ekonomi kapital yang dinomi
nasikan oleh Marx sebagai “general equivalent” dalam arti segala s
esuatu diserap oleh nilai-nilai ekonomi dan finansial masyarakat (N
ancy, 2012, hlm. 16).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......

Dalam Perang Dunia Kedua penggunaan bom atom nuklir adalah


ekspresi dari ini. Dalam masyarakat modern yang kompleks, peng
gunaan teknologi yang berisiko merupakan ancaman manusia terh
adap dirinya sendiri di mana kiamat menjadi akibat dari saling kete
rgantungan yang rumit antara masyarakat manusia, alam, dan pen
ggunaan teknologi.
Penggunaan teknologi militer untuk penghancuran diri melampaui r
asionalitas dengan sosok Dr Strangelove yang melawan semua ra
sionalitas melemparkan bom pada kemanusiaan. Dengan penggun
aan teknologi secara sipil, maka rapuhnya kecelakaan teknologi m
aju akibat kesetaraan segalanya, tak terhitung, tak dapat dibanding
kan, dan saling ketergantungan kompleks dalam masyarakat yang
menjadi basis potensi penghancuran diri
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Kasus Fukushima adalah simbol dari kegagalan untuk menguasai
keberadaan dan takdir teknologi kita. Bencana ini bukanlah bencana a
lam tetapi bencana teknologi, ekonomi, sosial, dan politik yang menya
ksikan ketergantungan kita yang tidak disadari pada teknologi. Ada kai
tan fatal antara kemajuan teknologi dan pembebasan kekuatan yang l
ebih merusak kemanusiaan.
Tetapi pada saat yang sama Fukushima mengajukan pertanyaan tenta
ng kemungkinan akhir dari hubungan kita saat ini dengan teknologi da
n pekerjaan dengan masa depan lain yang menangani masalah denga
n cara yang lebih bermakna (Nancy, 2012, hlm. 63). Nancy berbicara t
entang penghormatan terhadap ekologi, martabat manusia, dan hak d
engan cara yang tidak mengurangi yang tidak dapat dibandingkan me
njadi setara.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Fukushima adalah contoh kompleksitas sistem yang saling bergantun
g dan bagaimana masyarakat kapitalis tunduk pada kendala produksi
kekayaan dan pertumbuhan ekonominya sendiri. Inilah hubungan anta
ra teknologi dan akumulasi ekonomi kapital yang dinominasikan oleh
Marx sebagai “general equivalent” dalam arti segala sesuatu diserap o
leh nilai-nilai ekonomi dan finansial masyarakat (Nancy, 2012, hlm. 1
6).

Logika ekonomi berarti bahwa tidak ada lagi malapetaka yang spesifik
dalam pengertian malapetaka Yunani yang tragis, yang membuat kita
mencari katarsis atau rekonsiliasi Konfusius, Tao atau Buddha, tetapi y
ang ada hanya malapetaka umum dengan kemungkinan rekonsiliasi s
ekarang.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Tak terhitung dalam teknologi dimanifestasikan oleh fakta bahwa kita tidak
dapat mengendalikan teknologi dan bahwa solusi teknologi mengarah pad
a masalah baru yang membuat kita membutuhkan solusi teknologi yang le
bih baik, misalnya, seperti halnya masalah keamanan di mobil dan kebutuh
an akan airbag (Nancy , 2012, hal. 44). Begitu juga dengan kompleksitas te
knologi kedokteran, misalnya kebutuhan untuk perawatan setelah transpla
ntasi jantung, atau memang dengan masalah perubahan iklim, polusi, atau
kasus penanganan masalah limbah teknologi nuklir.
Peningkatan ketidakterbandingan tidak dapat dipahami dalam hal ketidakte
rhitungan, tetapi itu berarti bahwa pada saat yang sama kita mengalami leb
ih banyak kesetaraan logika pasar, komunikasi, dan kemandirian, kita juga
dapat melihat bahwa ada ketidakterbandingan yang berkembang antara du
nia, rasionalitas teknologi, dan mode keberadaan. di dunia. Namun, untuk
mengatasi ketidakterbandingan ini, kami menggunakan perhitungan ekono
mi untuk mendominasi apa yang tidak dapat dibandingkan dan tidak dapat
dihitung (Nancy, 2012, hlm. 53).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
2. Fukushima Sebagai Simbol Logika Teknologi dalam
Modernitas
Fukushima sebagai ekspresi dari kontradiksi mendalam dari Masyara
kat teknologi. Kita membutuhkan teknologi canggih untuk mempertah
ankan standar hidup kita, tetapi ini membuat masyarakat sangat rent
an terhadap penghancuran diri sendiri. Kontradiksi ini telah dianalisis
dalam karya tentang kapitalisme industri oleh Bernard Stiegler.
Stiegler mendefinisikan bencana sebagai sesuatu yang mengakhiri s
atu sejarah dan memberi ruang bagi sejarah lain dan dalam pengerti
an ini Fukushima secara paradoks dapat memaksa masyarakat untuk
memikirkan sistem teknologinya sendiri (Stiegler, 2004).
Dengan cara ini Stiegler telah mengajukan analisis ekonomi politik ya
ng dapat menjelaskan kondisi kapitalisme budaya masyarakat hiperin
dustri.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Kita dapat mengatakan bahwa kita dengan teknologi kuat yang ber
beda, khususnya teknologi nuklir, menghadapi kemungkinan kiama
t tanpa Tuhan di mana umat manusia dapat menghancurkan diriny
a sendiri. Kita berada dalam perang globalisasi di mana teknologi i
ndustri menghancurkan ekosistem bumi dan struktur sosial dan psi
kologisnya. Hal ini terungkap dari krisis keuangan global pada tahu
n 2008.
Mengacu pada deskripsi Valery dalam “La liberté de l'esprit” pada t
ahun 1919 tentang krisis setelah Perang Dunia Pertama Stiegler m
enekankan bahwa dia menggambarkan perang yang dicirikan oleh
ambiguitas mendasar bahwa semua penghancuran ini tidak akan
mungkin terjadi tanpa sains, pengetahuan, dan akal manusia, sepe
rti yang digambarkan Platon dalam tulisan, yang merupakan teknol
ogi roh rasional (Stiegler, 2010, hlm. 25).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Intensifikasi umum ekonomi libido inilah yang memberi tekanan pa
da kapitalisme teknologi untuk bergerak lebih cepat dengan kebutu
han akan lebih banyak teknologi dan energi, seperti yang dihasilka
n oleh pembangkit nuklir. Paradoksnya, pada saat yang sama rasi
onalitas sistem didasarkan pada harapan dan kepercayaan bersa
ma. Hal ini semakin meningkat dengan adanya sistem teknologi int
ernet dan komunikasi.
Tetapi hipervulnerabilitas juga hadir dalam berbagai teknologi, kek
uatan militer nuklir dan teknologi energi sipil, teknologi komunikasi,
atau bioteknologi medis. Sistem ini dibangun di atas teknologi oto
matis dan manusia dipaksa untuk hidup dengan kepercayaan buta
pada teknologi yang tidak dapat mereka pahami di luar penggunaa
n teknologi sehari-hari.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Bencana nuklir Fukushima ini menyiratkan konsekuensi yang tidak
terduga bagi bumi dan biosfernya. Dalam sistem keuangan, dereg
ulasi telah menghasilkan keuntungan besar bagi beberapa perusa
haan keuangan dan orang-orang sementara pada saat yang sama
mengguncang dimensi sosial ekonomi.
Selain itu, model ekonomi masyarakat konsumen berkontribusi pa
da penghancuran diri teknologi masyarakat. Memang, ini adalah p
aradoks bahwa lebih dari 1 miliar orang di bumi menderita kelapar
an sementara Dunia Barat dicirikan oleh konsumsi berlebihan (Stie
gler, 2012, hlm. 237).
Krisis ekonomi ditandai oleh elemen yang sama dengan krisis Fuk
ushima di mana kita melihat logikafarmasi dalam teknologi ekonom
i dan nuklir di mana sistem rapuh yang seharusnya memberi kehid
upan bagi umat manusia berada dalam bahaya mengarah pada pe
nghancuran diri umat manusia yang tidak disengaja.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
3. Ekonomi Politik dan Tanggung Jawab setelah Fukushima
Dengan demikian, Stiegler mengusulkan solusi lain untuk krisis daripada meng
akhiri dekonstruksi total yang tidak mungkin. Ini adalah ide farmakologi dalam e
konomi politik menggunakan farmasi tidak hanya untuk manipulasi racun tetapi
juga untuk menyembuhkan dan merawat individu manusia. Kita perlu mengemb
angkan teknologi pengobatan dan perawatan baru untuk menguasai bio-power
dan lepas dari kontrol masyarakat.
Untuk menghadapi kapitalisme teknologi global adalah bekerja untuk pembang
unan berkelanjutan. Stiegler berpendapat bahwa kita perlu memberi bentuk eko
nomi berorientasi libidinal baru yang tidak merusak tetapi merawat objek (Stiegl
er, 2010, hlm. 144). Kita perlu menciptakan motivasi dan kapasitas baru untuk i
nvestasi berkelanjutan di masyarakat. Ekonomi ini adalah ekonomi libidinal bar
u yang mengurus kehidupan dan politik peduli juga mengandalkan kemampuan
manusia, seperti yang didefinisikan oleh Amartya Sen (Nussbaum, 2011; Sen, 1
999; Stiegler, 2010, hlm. 151).
Kepedulian ekonomi politik ini seharusnya tidak mengurangi kepedulian menjad
i pertanyaan etis, melainkan menempatkannya di pusat ekonomi politik. Ini seh
arusnya menyiratkan cara hidup baru di mana berhemat berarti "menjaga" (Stie
gler, 2010, hlm. 153).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Secara khusus, penting bahwa universitas bertanggung jawab untuk meng
hindari kebodohan. Memang, mengatakan sesuatu yang bodoh juga berarti
melakukan sesuatu yang bodoh dan ini meningkatkan tanggung jawab pra
ktis para profesor universitas. Menurut Stiegler hubungan antara pengetah
uan dan kebodohan dijelaskan oleh sosokEpiméthee yang hanya berpikir a
tas dasar kebodohannya (Stiegler, 2012, hlm. 82). Dalam pengertian ini ad
a kondisi farmakologis pengetahuan dan universitas seharusnya berjuang t
erus menerus melawan kebodohan. Derrida tidak menghubungkan kebodo
han dengan binatang, tetapi dengan individuasi.
Kebodohan adalah fitur psikologis transendental. Tetapi pada saat yang sa
ma kebodohan adalah kondisi individuasi sehingga itulah alasan mengapa
kita dapat berbicara tentang kebodohan planet yang sistemik (Stiegler, 201
2, hlm. 108). Hal ini muncul karena sistem kapitalisme konsumen yang me
njadi dasar individuasi dalam masyarakat pasar. Masalahnya adalah bahw
a kebodohan (bêtise) adalah apa yang benar-benar manusiawi. Kebodoha
n seperti penyebaran dan perbedaan berada di pusat imajinasi kesadaran
sebagai ideologi dan teknologi.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Sistem dicirikan oleh ketidakpastian, kontingensi, komplikasi dan kebingu
ngan, dan tidak tercapai. Holisme tidak cukup karena menyederhanakan
interdependensi kompleks dalam keragaman dan kesatuan. Sistem yang
kompleks dicirikan oleh interaksi timbal balik dalam proses pengorganisa
sian yang dapat bersifat terbuka dan terbatas. Dunia terdiri dari sistem k
ompleks yang berinteraksi satu sama lain dan lingkungan serta batas2ny
a.

Dalam pengantar singkatnya untuk teori kompleksitas Pengantar la pens


ée complexe Morin menekankan keterbatasan pengetahuan dan tindaka
n manusia. Ini menyiratkan bahwa : (1) Penyebab kesalahan bukanlah p
ersepsi yang salah atau inkoherensi logis, tetapi organisasi pengetahuan
kita dalam sistem gagasan. (2) Adanya ketidaktahuan baru terkait denga
n perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. (3) Ancaman paling berba
haya bagi kemanusiaan adalah kemajuan buta dan tak terkendali dari pe
ngetahuan senjata nuklir, manipulasi, bencana ekologis. (4) Organisasi p
engetahuan untuk memahami kompleksitas diperlukan (Morin, 2005, hl
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Morin menggambarkan wawasan dalam kompleksitas sebagai
wawasan dalam "kotak hitam" suatu sistem, yaitu apa yang terj
adi dalam sistem di luar hukum kausal. Manusia adalah sistem
yang hiperkompleks, karena ada subjek yang mengatur dirinya
sendiri di dalam sistem dunia yang berinteraksi dengan sistem
ekologi.
Dalam pemikiran kompleksitas, penting untuk menyadari keter
gantungan timbal balik antara subjek dan objek. Hal ini diungka
pkan dalam konsepkomplementaritas seperti yang dikembangk
an oleh Niels Bohr (Bohr, 1998).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Dalam konteks ini, pemikiran kompleksitas menekankan peran Hasard
(Hazard) sebagai kemungkinan yang berkaitan dengan ketegangan an
tara keteraturan dan ketidakteraturan dalam pengorganisasian diri sist
em. Di sini, tindakan sebagai strategi yang direncanakan juga dapat m
engambil untung dari dan ditentukan oleh bahaya. Hal ini misalnya terj
adi ketika Gorbatchev sebagai elemen kontingen dalam sistem mempr
akarsai reformasi di Rusia yang mengakhiri perang dingin (Morin, 200
5, hlm. 109).
Pemikiran kompleksitas adalah persiapan untuk hal yang tidak terduga
dan akan membantu Anda menghadapi hal yang tidak terduga (Morin,
2005, hlm. 111). Berkenaan dengan organisasi ekonomi dan teknologi
yang mengatur diri sendiri dalam interaksi dengan lingkungan dan eko
sistemnya, ini berarti bahwa kita perlu memahami tindakan tidak hany
a sebagai rasionalitas linier tetapi juga termasuk rasionalitas sirkular d
an rekursif dalam proses yang tidak terpisahkan dan saling bergantun
g dalam hubungan yang saling melengkapi dan berlawanan. .
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Pemikiran kompleksitas menekankan peran Hasard(Hazard) berka
itan dengan ketegangan antara keteraturan dan ketidakteraturan d
alam pengorganisasian diri sistem. Di sini, tindakan sebagai strate
gi yang direncanakan juga dapat mengambil untung dari dan ditent
ukan oleh risiko.

Imajinasi moral seperti yang disarankan oleh ahli etika bisnis Patric
ia Werhane juga penting untuk pengambilan keputusan etis dalam
proses organisasi yang kompleks (Werhane, 1999; Woermann, 20
12).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Pengambilan keputusan dan kepemimpinan harus mampu melihat bat
asan dan bahaya dari aturan dan regulasi tertentu serta moral imajina
si memastikan keterbukaan etis terhadap keberbedaan dan perbedaa
n dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, kesadaran tangg
ung jawab etis universal dari sudut pandang imajinasi moral kritis men
gungkapkan artikulasi kompleksitas etika dalam konteks organisasi.

Stiegler mengajukan pertanyaan apa tanggung jawab secara umum d


an khususnya sehubungan dengan universitas setelah Fukushima (Sti
egler, 2012, hlm. 23). Dia membela, mengikuti Derrida, tanggung jawa
b universal universitas (Derrida, 2001; Stiegler, 2012, hlm. 38). Univer
sitas memiliki tanggung jawab khusus untuk menangani masalah tekn
o-sains dan krisis planet masyarakat hiperindustri.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Secara khusus, penting bahwa universitas bertanggung jawab untuk
menghindari kebodohan. Memang, mengatakan sesuatu yang bodoh juga
berarti melakukan sesuatu yang bodoh dan ini meningkatkan tanggung
jawab praktis para profesor universitas.
Menurut Stiegler hubungan antara pengetahuan dan kebodohan dijelaskan ol
eh sosokEpiméthee yang hanya berpikir atas dasar kebodohannya (Stiegler,
2012, hlm. 82). Dalam pengertian ini ada kondisi farmakologis pengetahuan d
an universitas seharusnya berjuang terus menerus melawan kebodohan.

Etika dekonstruktif menyiratkan kesadaran yang tak terduga dan kemungkina


n yang sedang bekerja dalam sistem organisasi dan teknologi. Hal ini diungka
pkan dalam analisis Derrida tentang gerakan ganda dekonstruksi dalam metaf
isika di mana permainan hierarki, oposisi, perbedaan, jejak, dan suplemen ya
ng rumit bekerja dalam sistem teoretis di mana logikafarmasi berarti tidak ada
makna atau esensi yang stabil di balik permainan perbedaan ideologi sistem
organisasi atau teknologi.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
4. Pemikiran Kompleksitas Etis dalam Pengambilan Keputusan
Organisasi

Memperluas cakupan CSR termasuk tanggung jawab lingkungan.


Kita memang perlu menyadari fungsi kritis dari keberlanjutan untuk
maksud dan tujuan organisasi. Kesadaran akan tanggung jawab or
ganisasi terhadap lingkungan alamnya sangat penting untuk meng
hindari kerusakan lingkungan.

Organisasi perlu bekerja lebih efektif dan serius dengan isu-isu ke


berlanjutan dalam organisasi dan menciptakan praktik lingkungan
yang berkelanjutan untuk menangani saling ketergantungan kompl
eks yang harus diperhitungkan dalam kebijakan keberlanjutan orga
nisasi
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Mengatasi ketidakpastian tindakan organisasi. Kita perlu melampaui perhi
tungan dan melihat tanggung jawab kita dari perspektif kompleksitas dan
kita perlu melampaui logika yang telah ditetapkan sebelumnya dari metod
e kuantitatif dan kualitatif untuk analisis dan mencoba metode lain untuk
pemahaman dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks ini, pemikiran kompleksitas melihat kemungkinan masalah
dan perangkap sistem kelembagaan dan logika pengambilan keputusann
ya. Dalam sistem yang kompleks, kita harus menyadari keterkaitan dan k
ejadian ekstrem dengan probabilitas rendah tetapi berdampak tinggi. Peri
stiwa tersebut persis seperti bencana Fukushima atau tumpahan minyak
di Teluk Meksiko.
Kesadaran seperti itu menyiratkan kepedulian terhadap pemangku kepen
tingan marjinal dan tindakan pencegahan pencitraan untuk peristiwa yang
tidak mungkin terjadi. Ketika kita bekerja dengan informasi dan data, itu ti
dak hanya melibatkan perawatan informasi historis, tetapi juga mencari in
formasi baru dan memikirkan kekurangan informasi.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Kewaspadaan dan peningkatan mitigasi risiko. Manajemen harus kritis terhad
ap informasi prediksi dan menyadari bahwa risiko tidak dapat dihindari dalam
sistem yang kompleks. Ini menyiratkan bahwa manajemen harus mempelajari
seni bekerja dengan ketidakpastian di luar sistem dan kode yang mapan. Di si
ni, kita dapat menekankan prinsip kehati-hatian yang berarti bahwa kita tidak
boleh melakukan tindakan jika kita tidak mengetahui sepenuhnya konsekuens
inya.

Kita dapat bertanya apakah dan bagaimana Fukushima dapat membuat kita b
erpikir tentang tanggung jawab untuk pengambilan keputusan dalam konteks
organisasi? Pertanyaan yang jelas adalah apakah bencana dapat dihindari jik
a ada kesadaran yang lebih besar akan tanggung jawab dan kompleksitas ma
najemen dalam organisasi? Dan jawaban langsungnya adalah bisabukan dihi
ndari, karena tsunami sebagai bencana tidak dapat diramalkan. Dikatakan ba
hwa bencana ini berada di luar batas tanggung jawab karena disebabkan ole
h bencana alam.
Bab 8
Dari Krisis Finansial ke Ekonomi Baru yang Ber
kelanjutan
Peristiwa internasional sejak krisis keuangan besar dan kebutuhan untuk tr
ansformasi menuju keberlanjutan di seluruh dunia melibatkan pertanyaan
mendasar tentang hubungan antara etika dan ekonomi dan tanggung jawa
b pasar ekonomi dalam kaitannya dengan masalah sosial dan politik yang l
ebih luas. Setelah Fukushima dan krisis lingkungan lainnya di dunia, kita p
erlu mengembangkan ekonomi keberlanjutan yang baru.

Dalam pengertian ini, masalah hubungan antara etika dan ekonomi dalam
bisnis menyangkut konsep tindakan ekonomi dan peran tanggung jawab eti
s dalam ekonomi (Mahieu, 2001). Perdebatan tentang rasionalitas ekonomi
dan filsafat politik tergantung pada masalah apakah mungkin ada sesuatu
seperti kebaikan bersama atau keadilan sosial bagi semua anggota masya
rakat.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Dengan demikian, gagasan rasionalitas ekonomi tergantung pada konsep t
indakan ekonomi (Sen, 1987). Konsep ini ditandai dengan interaksi antara i
ndividualisme dan altruisme dan tanggung jawab pribadi atas tindakan eko
nomi.

Gagasan tentang koreksi etis tindakan ekonomi menyiratkan sikap kritis ter
hadap konsep tersebut kepentingan pribadi sebagai dasar tindakan ekono
mi. Dikatakan bahwa perhitungan ekonomi harus secara eksklusif didasark
an pada maksimalisasi utilitas individu tetapi mencakup perhatian altruistik
untuk kebaikan bersama dan untuk individu manusia lainnya.

Dalam perspektif koreksi etika ekonomi seperti itu, kami menganggap pela
ku ekonomi sebagai individu, yang membuat perhitungan ekonomi yang di
perluas untuk mencakup tanggung jawab atas manusia lain dan masyarak
at yang mengintegrasikan perhitungan ekonomi ke dalam norma moral dan
etika yang berdasar. adat masyarakat
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
1. Etika dalam Sejarah Ekonomi
Melihat hubungan antara bisnis dan etika dalam perspektif sejarah ekonomi, kit
a dapat melihat bahwa gagasan individu memaksimalkan keuntungan rasional
berdasarkan kepentingan pribadi adalah pendatang baru untuk memahami eko
nomi (Denis, 1966, hlm. 7-91). Meskipun kita menemukan pendahuluan konsep
dalam filsafat materialis klasik Epicure, hanya dengan para pemikir ekonomi mo
dern di abad keenam belas dan ketujuh belas dalam kombinasi dengan muncul
nya ekonomi kapitalis otonom berdasarkan efisiensi dan utilitas bahwa pandan
gan pelaku ekonomi ini menjadi dominan.
Konsep netralitas politik dan sosial pasar telah muncul dalam konteks pasar ek
onomi independen ini. Dalam ekonomi politik klasik, aksi pasar dipahami dalam
perspektif komunitas politik. Aristoteles misalnya berpendapat bahwa kekayaan
dan uang bukanlah barang yang dicari manusia untuk nilainya sendiri, melainka
n sebagai sarana untuk memperoleh kehidupan yang baik dalam masyarakat
(Aristoteles, 1:9). Selain itu, Thomas Aquinas mengembangkan doktrin "harga y
ang adil" di mana hubungan pertukaran ekonomi didasarkan pada penghormat
an terhadap hukum alam dan keadilan politik dalam masyarakat (Aquinas, 196
6, hlm. 74-75 & 83).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Pada saat yang sama, dengan Adam Smith kita dapat melihat awal dari
emansipasi ekonomi dari filsafat moral. Dengan munculnya individu mo
dern, dimungkinkan untuk menemukan konsep tindakan rasional yang
sepenuhnya didasarkan pada cinta diri dan egoisme individu (Dupuy, 1
992, hlm. 77).
Smith tampaknya berpendapat bahwa hubungan sosial yang lebih luas
antara orangorang dan sentimen moral timbal balik lainnya juga dapat
menjadi dasar bagi tindakan ekonomi. Namun, kita harus ingat bahwa s
impati dalam perspektif Smith dianalisis sebagai bagian dari kepekaan i
ndividu (Dupuy, 1992, hlm. 84).
Oleh karena itu, bahkan Smith berpendapat bahwa maksimalisasi utilita
s harus dilihat dalam perspektif kebajikan lain seperti kemurahan hati d
an keadilan (Sen, 1987, hlm. 22-23).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Menurut pandangan ini, konsep kesejahteraan dan rasionalitas dalam pemiki
ran ekonomi neoklasik harus diperhatikan sesuai dengan prinsip-prinsip etik
a. Kita harus melihat lebih dekat pada aspek etika motivasi manusia dan me
ngintegrasikan pertanyaan tentang kehidupan yang baik di bidang ekonomi.
Oleh karena itu, tanpa mengabaikan semua wawasan penting dari ekonomi
positif deskriptif, kita dapat memperdebatkan pandangan normatif teori ekon
omi dengan mengatakan bahwa etika bisnis memberi kita "mata rantai yang
hilang" antara "ekonomi politik" tradisional dan rasionalitas ekonomi mikro.

Untuk menyediakan hubungan antara etika dan rasionalitas ekonomi seperti i


tu, kita harus melihat lebih dekat fondasi neo-klasik dalam ekonomi politik da
ri pandangan neoliberal tentang rasionalitas ekonomi dan kemungkinan impli
kasi etisnya. Konsep rasionalitas neo-klasik menyiratkan konsepsi rasionalita
s yang tidak terbatas yang menurutnya agen ekonomi memiliki kompetensi p
engambilan keputusan yang tidak terbatas untuk memaksimalkan kepentinga
n pribadi dalam ruang kemungkinan eksogen (Knudsen, 1995).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
2. Konsep Ekonomi Neo-liberal

Konsepsi ekonomi politik dengan pemikiran neoliberal dapat dipahami


sebagai generalisasi dari konsep ekonomi kepentingan pribadi dan ras
ionalitas ekonomi untuk menjadi dasar untuk mengatur masyarakat da
n keadilan sosial. Menurut seorang liberal seperti Alexander Hayek per
saingan bebas di antara individu-individu di pasar dalam kebiasaan eti
s adalah argumen terbaik untuk kebahagiaan dan keberuntungan man
usia (Hayek, 1998).
Dapat dikatakan bahwa kesetaraan ekonomi tidak dapat dipandang pe
nting di pasar kompetitif yang didasarkan pada kebebasan ekonomi. P
emikiran ekonomi neo-klasik yang didasarkan pada pengejaran kepent
ingan pribadi menyiratkan pandangan manusia sebagai kodrat kompet
itif. Liberalisme hak milik tidak menyiratkan prinsip kesetaraan apa pun
sebagai dasar pasar ekonomi karena kebebasan ekonomi sangat pent
ing untuk hak milik.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Hayek menghubungkan argumen ini untuk rasionalitas ekonomi pasar
yang tidak terbatas dengan kritik terhadap proposal untuk menggunak
an negara secara aktif untuk membangun keadilan sosial dalam masy
arakat modern. Keadilan semacam itu agaknya sama dengan sosialis
me dan Hayek berpikir bahwa tidak ada makna dalam gagasan keadil
an sosial yang direncanakan (Hayke, 1997, hlm. 66-69).
Kita berada dalam masyarakat terbuka, masyarakat kebebasan individ
u seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith. Ada pemilihan aturan y
ang paling efisien dalam evolusi. Mereka bergantung pada informasi d
an efisiensi. Utilitas dan perhitungan kehidupan adalah instrumen evol
usi. Pasar adalah inti dari evolusi tatanan spontan ini. Pasar adalah fo
ndasi organisasi sosial, pengembangan otomatis, pembagian kerja, da
n efisiensi dalam evolusi.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Pasar menjadi meta-tradisi dari semua tradisi ekonomi. Ini adalah
kompetisi yang membuat kemajuan di pasar ekonomi. Informasi adala
h inti dari perkembangan ekonomi di pasar. Persaingan membuat oran
g bertindak rasional sesuai dengan efisiensi di pasar.
Selama evolusi berdasarkan interaksi di antara individu-individu yang
mementingkan diri sendiri, praktik-praktik itu, yang didasarkan pada ke
bebasan individu dan pilihan rasional dari alternatif yang paling efisien,
dalam jangka panjang akan berkontribusi pada perbaikan sosial. Terle
bih lagi, memang sistem hukum dan moral yang lebih baik akan menja
di hasil dari tatanan spontan ini.
Persaingan yang sehat dan kelembagaan ekonomi yang sehat, dalam
sistem ekonomi yang didasarkan pada persaingan yang sehat, akan b
erkontribusi pada masyarakat yang lebih baik.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
3. Ekonomi Kesejahteraan dan Kritik terhadap Konsep
Rasionalitas Neo-Klasik

Ekonomi kesejahteraan bekerja dengan konsep preferensi pribadi


sebagai landasan teori ekonomi dan model ekonomi. Konsep rasio
nalitas ini muncul dari pemisahan antara etika dan ekonomi yang b
erkembang dengan munculnya ilmuilmu ekonomi modern.
Ada perbedaan antara konsep rasionalitas ekonomi dan konsep eti
ka meskipun kita mungkin berpendapat bahwa rasionalitas ekono
mi tidak dapat dilakukan tanpa pengawasan etis. Ekonomi kesejah
teraan merupakan teori normatif memaksimalkan preferensi pribad
i (Hausman & MacPherson, 1996).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...

Dalam ekonomi kesejahteraan teori rasionalitas adalah teori norma


tif maksimalisasi preferensi pribadi. Teori rasional ekonomi kesejah
teraan dalam ekonomi makro dan mikro adalah teori normatif maks
imalisasi preferensi dalam kondisi risiko dan ketidakpastian daripa
da teori deskriptif kondisi ekonomi faktual. Dalam ekonomi kesejah
teraan teori ini digunakan sebagai dasar tindakan ekonomi untuk
menentukan hasil dengan hasil ekonomi yang paling efisien.

Daniel M. Hausman dan Michael S. MacPherson berpendapat bah


wa tidak perlu ada pemisahan mutlak antara ekonomi dan etika. B
ahkan, rasional keputusan sesuai preferensi pada akhirnya diuji se
suai dengan konsep moral kebaikan minimal.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...

Namun, mungkin juga ada norma moral yang tidak efisien dari sud
ut pandang ekonomi dan dalam kasus di mana norma tersebut bah
kan tidak dibenarkan dari sudut pandang etika, misalnya, ketika kit
a merasakan diskriminasi atau penindasan terhadap karyawan, hal
itu mungkin dibenarkan untuk tidak dilakukan. untuk menerima nor
ma-norma ini dalam teori ekonomi.

Dari sudut pandang ekonomi kesejahteraan, norma moral pelaku e


konomi dapat berdampak pada ekonomi meskipun mungkin tidak a
da hubungan langsung antara konsepsi deontologi moral atau kew
ajiban moral dan efisiensi atau rasionalitas ekonomi.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
4. Etika di Luar Ekonomi
Gagasan umum dari teori neo-klasik dan ekonomi kesejahteraan adal
ah gagasan tentang hubungan erat antara rasionalitas etis dan rasion
alitas ekonomi. Beberapa bahkan berpendapat bahwa ada dimensi eti
ka internal ekonomi dan bahkan mungkin untuk mendefinisikan apa ya
ng dapat dianggap sebagai perilaku etis yang valid dari alasan ekono
mi (Broome, 1999).
Apa yang dapat disebut pandangan efisiensi biaya-manfaat dari etika
ekonomi, tindakan ekonomi bebas di pasar ekonomi adalah cara terba
ik untuk menangani sumber daya yang langka (Swanson, 2002, hlm. 2
11). Pandangan ini mungkin memiliki dua formulasi. Yang pertama me
nekankan peran negara dalam memberikan dinamika ekonomi dan ya
ng lainnya menekankan bahwa otonomi sektor swasta adalah cara ya
ng paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya yang
langka.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Ekonomi adalah tentang efisiensi dan penggunaan sumber daya s
ecara bijaksana. Selain itu, tindakan organisasi harus menguntung
kan. Menurut rasionalitas ekonomi, kita tidak bisa mengabaikan ga
ris bawah pendapatan dan pengeluaran untuk keberhasilan aksi ko
rporasi.
Jika kita akan memahami ekonomi sebagai menyiratkan rasionalita
s etis tertentu, karena itu kita dapat mempertimbangkan bagaiman
a lembaga ekonomi berkontribusi pada etika.
Etika ekonomi dalam pengaturan kelembagaan adalah promosi ke
pentingan pribadi yang rasional dan persaingan yang sehat sebag
ai instrumen untuk kemajuan ekonomi. Seperti yang diakui John Di
enhart, menurut pandangan institusional ekonomi pasar dianggap
sebagai "mesin etis" (Dienhart, 2000, hlm. 145).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Dengan demikian, kita dapat membedakan antara pendekatan internal
dan eksternal terhadap etika dan ekonomi. Menurut pendekatan ekster
nal, rasionalitas ekonomi didasarkan pada kepentingan pribadi dan ad
a pemisahan lengkap antara etika dan ekonomi (Dienhart, 2000, p. 14
6). Mesin ekonomi dapat membantu kita mencapai nilai-nilai etika, teta
pi ekonomi seperti itu netral. Namun, tampaknya ada etika yang tersira
t dalam rasionalitas ekonomi.
Kita dapat memperdebatkan pendekatan internal yang menurutnya eti
ka tidak hanya dianggap sebagai batasan eksternal untuk ekonomi tet
api juga sebagai bagian dari ekonomi.
Namun, pendekatan internal tidak harus bergantung pada konsep etik
a ekonomi utilitarian dan neo-klasik. Sebaliknya kita dapat memiliki pe
ndekatan pluralistik terhadap nilai-nilai etika yang berdampak pada tin
dakan ekonomi
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...

Bahwa etika di luar ekonomi, dapat disimpulkan bahwa etika tidak


selalu eksternal tetapi juga terkadang tersirat dalam rasionalitas ek
onomi. Kita dapat mengatakan bahwa aspek etika ekonomi didasa
rkan pada nilainilai konsep dasar sistem ekonomi. Kita dapat menu
njuk ke organisasi struktur pasar dan konsep yang paling penting d
ari pasar ekonomi: "Properti, hubungan risikohadiah, informasi, da
n persaingan" (Dienhart, 2000, hal. 182).
Sistem konsep-konsep ini tidak netral tetapi menyiratkan nilai-nilai
etika. Nilai-nilai ini tidak hanya didasarkan pada efisiensi ekonomi t
etapi mencakup pluralitas rasionalitas etis yang mencerminkan tuju
an individu, nilai-nilai organisasi, dan nilai-nilai masyarakat.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
5. Antropologi Ekonomi dan Landasan Rasionalitas

Perdebatan tentang hubungan ekonomi dengan etika dan politik ini


berpusat pada pandangan antropologi ekonomi dan pada motif tin
dakan individu manusia.

Kritik umum terhadap gagasan kepentingan pribadi pelaku ekonom


i berpendapat bahwa manusia tidak memaksimalkan utilitas egoisti
k tetapi milik komunitas manusia dan budaya sosial di mana keped
ulian untuk kebaikan bersama tidak dapat dikecualikan dari pemah
aman motif tindakan ekonomi (Mahieu, 2001). , hal.199).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Argumen untuk landasan etis yang lebih luas dari tindakan ekono
mi menyatakan bahwa antropologi ekonomi dicirikan oleh ketegan
gan antara egoisme dan altruisme (Mahieu, 2001, hlm. 152).
Beberapa penulis berpendapat bahwa tindakan ekonomi yang bija
ksana menyiratkan timbal balik dan kepedulian terhadap manusia l
ain (Etzioni, 1988). Oleh karena itu, kepentingan pribadi tidak pern
ah menjadi satu-satunya motif ekonomi.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Becker memajukan apa yang disebut "Teorema Anak Busuk" yang
menyatakan bahwa orang yang bertindak altruistik melakukannya
untuk meningkatkan kepentingan diri mereka - seperti anak yang b
erperilaku baik untuk mendapatkan hadiah besar dari orang tuanya
(Becker, 1993; Mahieu, 2001, hal 164).
Dalam perspektif ini, strategi kerja sama dan simpati hanyalah ben
tuk-bentuk kepentingan pribadi yang maju yang mengakui penting
nya pengungkapan kebenaran, janji, dan pemeliharaan kontrak unt
uk kolaborasi dan pertukaran di masa depan.
Argumen ini telah dikembangkan sepenuhnya oleh Axelrod yang d
alam bukunyaEvolusi Kerjasama(1984) menyatakan bahwa perilak
u kooperatif dapat didasarkan pada maksimalisasi utilitas individu
karena dalam strategi kooperatif dalam jangka panjang akan lebih
menguntungkan individu daripada strategi oportunistik (Axelrod, 19
84)
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Mauss menganalisis dasar-dasar antropologis dari konsep pertuka
ran (Mauss, 1950). Intinya adalah bahwa pengurangan semua pert
ukaran menjadi pertukaran ekonomi tidak menangkap basis antrop
ologis pertukaran yang sebenarnya merupakan kondisi integrasi so
sial. Dengan melakukan analisis arkeologis tentang asal muasal p
ertukaran, Mauss dapat membantu untuk memahami dasar-dasar l
embaga sosial modern.
Dengan menganalisis konsep pertukaran, Mauss menunjukkan ba
hwa konsep asli tentang hadiah pertukaran sangat kontras dengan
konsep pertukaran ekonomi neo-klasik.
Bahkan dengan melihat struktur triadik memberi-menerima dan me
mberi kembali (donner-penerima-rendre) kita dapat melihat bagaim
ana pertukaran merupakan suatu kondisi interaksi sosial yang men
unjukkan signifikansi antropologis mendasar dari pertukaran sebag
ai bentuk integrasi sosial antar manusia (Hénaff, 2002).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
6. Rasionalitas Campuran Pengambilan Keputusan
Ekonomi
Apa yang dapat kita pelajari dari analisis rasionalitas ekonomi ini y
ang terkait dengan kondisi pertukaran sosial dan tanggung jawab s
ubjektivitas etis tidak menyatakan bahwa keputusan bisnis secara
eksklusif etis atau ekonomis dalam arti ideal apa pun, melainkan s
elalu memungkinkan bahwa keputusan- pembuatan akan tergantu
ng pada semacam "rasionalitas campuran" termasuk unsur-unsur
dari rasionalitas ekonomi dan etika tetapi tentu juga bidang lain se
perti politik dan hukum.
Namun dalam arti yang lebih dalam, kita juga dapat membayangka
n etika bisnis sebagai dasar pengambilan keputusan di perusahaa
n, karena etika bisnis tidak hanya tentang sarana dan rasionalitas
ekonomi tetapi juga tentang tujuan sosial dan politik dari perilaku e
konomi.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Kita dapat menekankan fakta bahwa dari tanggung jawab etis subj
ektif, rasionalitas ekonomi tidak pernah dapat dibenarkan tanpa ala
san etis yang baik. Sebenarnya ini tidak hanya didukung oleh antro
pologi ekonomi, tetapi juga dalam ekonomi kesejahteraan.
Dengan analisis dimensi teoretis dari gerakan menuju ekonomi ke
berlanjutan baru, kami telah memberikan dasar bagi kerangka kerj
a ekonomi pengelolaan SDG. Penting untuk ekonomi seperti SDG
s adalah penerimaan kondisi rasionalitas campuran pengambilan k
eputusan ekonomi dalam kerangka penilaian etis.
Ekonomi keberlanjutan yang tersirat dalam SDGs menjadi ekonom
i etis yang mengakui nilai intrinsik dan tak tergantikan dari alam da
n lingkungan. Ekonomi ini menyambut baik ekonomi ekologi dan e
konomi lingkungan di mana nilai intrinsik alam dan keanekaragam
an hayati menjadi dasar pertimbangan ekonomi.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Artinya pengambilan keputusan politik dan ekonomi keberlanjutan t
idak bisa hanya didasarkan pada utilitas, fokus pada kapitalisme p
asar dan perhitungan ekonomi, tetapi harus mengintegrasikan nilai
-nilai dan etika Anthropocene dalam keputusan tentang keberlanjut
an. Selain itu, preferensi ekonomi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
dimensi etika harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusa
n ekonomi.
Dengan demikian, ekonomi keberlanjutan didasarkan pada tanggu
ng jawab manusia terhadap alam, dikombinasikan dengan kepedul
ian terhadap nilai intrinsik dan keindahan alam sebagai realitas ind
ependen dari kepedulian moral. Ini menyiratkan bahwa masalah ke
berlanjutan tidak hanya dapat diselesaikan dengan evaluasi meka
nisme harga dan preferensi ekonomi, tetapi harus dipertimbangkan
dari sudut pandang nilai-nilai politik dan khususnya etika dan filoso
fi pengelolaan keberlanjutan.
Bab 9
Ekonomi Etis dan Lingkungan
Koslowski, pada 1980-an, adalah bintang etika bisnis yang sedang
naik daun di Jerman. Secara khusus ia berfokus pada pendekatan
etis murni untuk masalah ekonomi dan bisnis. Titik tolaknya adalah
posisi hermeneutik sekolah sejarah Jerman berdasarkan Wilhelm
Dilthey dan Schleiermacher (Koslowski, 1995).
Koslowski juga sangat dipengaruhi oleh Aristoteles (Koslowski, 19
79). Koslowski juga membuka pendekatan etika bisnis dengan me
mpertimbangkan etika bisnis dalam perspektif etika agama dan aja
ran sosial ontologis. Tapi ini sebenarnya bukan etika sosial berbasi
s kebajikan, melainkan pendekatan Koslowski, yang merupakan m
urid dari filsuf Spaemann, adalah upaya untuk menemukan etika
bisnis dalam filsafat agama hermeneutis.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Menurut ekonomi etis Koslowski yang menggabungkan hermeneutika
dengan teori sosial (berbasis nilai) dalam kaitannya dengan konseptua
lisasi pasar dan masyarakat, terdapat interaksi yang erat antara buday
a, etika, dan ekonomi dalam definisi dasar pasar ekonomi. Menurut de
finisi Koslowski, etika ekonomi atau ekonomi etis adalah teori ekonomi
dan dari etika. Sebagai ekonomi etis, ia menyatukan penilaian etis dan
ekonomi dan merupakan pelengkap ekonomi politik.

Ekonomi etis dan ekonomi politik terkait dengan teori ekonomi makro
dan ekonomi tindakan rasional. Tapi kita juga bisa membuat hubungan
antara ekonomi etis dan etika bisnis dan filosofi manajemen. Dalam pe
ngertian ini, hubungan antara ekonomi etis dan filosofi manajemen da
n korporasi adalah bahwa ekonomi etis mengusulkan analisis kerangk
a institusional dan ekonomi dari refleksi tentang filosofi manajemen da
n korporasi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
1. Konsep Ekonomi Etis

Kerangka kerja untuk etika bisnis dan filsafat ekonomi ini diringkas o
leh Koslowski dengan definisi ekonomi etis sebagai berikut:
Etika ekonomi atau ekonomi etis, karenanya, di satu sisi, adalah teo
ri ekonomi tentang etika dan ekonomi dan institusi dan aturan etis, d
an, di sisi lain, etika ekonomi. Seperti halnya ekonomi politik, ia me
miliki makna ganda.
Teori etika yang menggunakan instrumen analisis ekonomi, teori etik
a yang berorientasi pada ekonomi, seperti halnya ekonomi politik ad
alah teori politik yang menggunakan instrumen analisis ekonomi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Jadi dengan definisi ini kita dapat mengatakan bahwa Peter Koslo
wski membuka analisis etika bisnis sebagai filosofi praktis manaje
men. Ini termasuk penyelidikan tema seperti tanggung jawab sosia
l perusahaan, manajemen berbasis nilai, dan kewarganegaraan pe
rusahaan dalam kerangka ekonomi etis.
Dalam perspektif pendekatan Koslowski, kita dapat memperdebatk
an pendekatan budaya dan sejarah ekonomi yang mencakup pend
ekatan penilaian etis antara hukum, ekonomi, dan politik.
Dalam definisi Koslowski, etika adalah tentang kebaikan dan kebaji
kan manusia, sedangkan ekonomi menyangkut desain institusi ma
nusia berdasarkan kepentingan pribadi dan rasionalitas ekonomi.
Kedua disiplin tersebut didasarkan pada tindakan manusia dan ke
dua disiplin tersebut bekerja dengan konsep rasionalitas (Koslows
ki, 2008, hlm. 1).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Koslowski menganggap ekonomi etis ini sebagai pengembalian ke
filosofi praktis yang lebih tua, yang didirikan oleh Aristoteles, Kant,
dan Adam Smith. Ini adalah tugas ekonomi etis untuk mengintegra
sikan kembali pendekatan ini dalam pemikiran ekonomi.
Ekonomi etis bertujuan untuk mengintegrasikan kembali etika dala
m teori ekonomi untuk menempatkan konsep abstrak “homo econo
micus” dalam lingkup sosial dan budaya masyarakat.
Ini berarti bahwa etika seharusnya tidak hanya menjadi meta-etika
filosofis yang abstrak, tetapi juga refleksi etis yang konkret tentang
tindakan manusia dalam keadaan sosial yang konkret.
Etika ekonomi dalam ekonomi etis harus etika praktis berurusan d
engan situasi kehidupan konkret tindakan manusia (Koslowski, 20
08. hlm. 5).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
2. Kebutuhan akan Ekonomi yang Etis Saat Ini

Koslowski menyebutkan tiga alasan penting untuk mengembangkan


ekonomi etis seperti itu:
(1) Kesadaran akan efek samping budaya dan ekologi yang mening
kat dari tindakan ekonomi kita dan kebutuhan akan akuntabilitas etis
nya;
(2) penemuan kembali unsur manusia dalam ilmu ekonomi teknis da
n tumbuhnya harapan akan akuntabilitas para pemimpin ekonomi; d
an
(3) kebutuhan untuk melawan pemisahan yang lebih luas dari bidan
g budaya dan khususnya keterasingan dunia ekonomi dan budaya i
ntelektual dan material. (Koslowski, 2008, hal. 6)
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Alasan pertama adalah masalah efek samping yang tidak diinginkan dari ti
ndakan ekonomi (eksternalitas). Efek samping adalah konsekuensi bagi m
asyarakat, alam, dan budaya dari tindakan ekonomi. Keduanya merupakan
masalah dan alasan perlunya etika ekonomi. Kekuasaan manusia atas ala
m meningkat oleh karena itu tindakan etis dan tanggung jawab praktis men
jadi penting. Dalam analisisnya tentang efek samping, Koslowski mengacu
pada termodinamika dan kebutuhan sistem ekonomi untuk beradaptasi dan
mengatasi lingkungan mereka.
Alasan kedua penemuan kembali pribadi manusia dalam ilmu-ilmu sosial
berarti bahwa tidak ada otonomi nalar ilmiah dan ekonomi dalam ilmu-ilmu
ekonomi. Selalu ada unsur manusia. Ekonomi tidak bisa menjadi ilmu alam
dan fisik murni karena bergantung pada tindakan dan kecerdasan manusia
.
Oleh karena itu Koslowski berbicara tentang pergantian manusia di bidang
ekonomi, "re-antropomorfisasi" atau "rehumanisasi" pemahaman ilmiah
ekonomi tentang tindakan ekonomi dalam organisasi dan institusi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Alasan ketiga adalah perlunya tindakan ekonomi berdimensi normatif karen
a unsur ekonomi telah digeneralisasikan ke semua bidang masyarakat. Ket
ika sistem ekonomi digeneralisasi, ia membawa serta kebutuhan untuk me
nangani elemen sosial dan etis dari tindakan ekonomi. Koslowski berpenda
pat bahwa diferensiasi masyarakat telah menyebabkan generalisasi satu s
ubsistem, yaitu subsistem ekonomi.
Pada saat yang sama telah terjadi peningkatan pemisahan antara bidang k
erja dan bidang waktu luang. Tetapi pendekatan ekonomi dan instrumental
juga mulai mendominasi bidang rekreasi. Namun, ini tidak dapat dicapai ta
npa memperhatikan dimensi budaya dari tindakan ekonomi.
Kita perlu mengintegrasikan etika dan ekonomi ketika kita berurusan denga
n generalisasi pendekatan ekonomi ke semua bidang masyarakat. Ekonom
i politik dan etis diperlukan karena perluasan ekonomi ke semua bagian ma
syarakat (Rendtorff, 2018a).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Memang, Koslowski mendefinisikan ekonomi etisnya sebagai ekon
omi pascamodern yang bergerak melampaui ekonomi modernis da
ri Hobbes, Mandeville, dan Adam Smith dan juga Marx, memisahk
an etika dan tindakan ekonomi.

Upaya untuk menjadikan ekonomi sebagai teori matematis dan me


kanistik sehingga memisahkan etika dan ekonomi telah gagal.

Upaya untuk memisahkan etika dan ekonomi, dengan etika pribadi


di satu sisi dan rasionalitas ekonomi di sisi lain tidak dapat dipertah
ankan dalam perspektif Koslowski tentang ekonomi etis pasca-mo
dern.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Ekonomi etis bukan hanya etika bisnis atau etika manajerial tetapi l
ebih merupakan upaya kuat dari pendekatan ekonomi etis untuk m
engembangkan ekonomi politik normatif umum untuk mengatur pa
sar ekonomi. Ekonomi ini menitikberatkan pada konsep negara ke
sejahteraan sosial dalam kaitannya dengan pengaturan pasar eko
nomi. Tujuan ekonomi etis tidak hanya untuk mempelajari etika pa
sar, tetapi juga untuk melihat institusi sosial negara kesejahteraan
dan menemukan hubungan yang tepat antara pasar dan negara.

Menurut Althammer ini harus didasarkan pada solidaritas humanis


me yang berbeda dengan egoisme ekonomi pasar yang didasarka
n pada “homo economicus.” Salah satu cara untuk membahasnya
adalah refleksi tentang kondisi minimum negara kesejahteraan sos
ial berdasarkan dukungan sosial kepada individu, misalnya dalam
bentuk pendapatan dasar minimum (Rendtorff, 2018a).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
3. Penerapan Ekonomi Etis: Ekologi, Keberlanjutan, dan
Kapitalisme
Penerapan penting dari ekonomi etis adalah masalah keberlanjutan dalam
ekonomi dan bisnis. Sejak revolusi industri, bisnis harus berurusan dengan
masalah lingkungan, tetapi baru pada akhir 1960-an masalah ini dipahami
secara umum sebagai masalah yang parah dan membutuhkan solusi yang
bijaksana dan efisien dalam skala global. Tidak hanya masalah pemanasan
global, penipisan ozon, hujan asam, dan penipisan kualitas udara, tetapi
juga masalah pencemaran air (misalnya, tumpahan minyak beracun),
peningkatan suhu, penggunaan sumber daya perikanan laut yang merusak,
dan masalah lahan lebih lanjut. polusi (misalnya, perusakan hutan, endapan
zat kimia atau beracun, limbah radioaktif, dan nuklir) dan kondisi ekologi
yang memburuk termasuk perusakan habitat hewan (Velasquez, 2002, hlm.
269 dst).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Namun, sangat sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk menemukan keseimb
angan yang tepat antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Saat ini b
ahkan ada lebih banyak kesadaran akan fakta bahwa masalah lingkungan
dalam bisnis dapat berkontribusi pada bisnis yang baik dan bahwa kebijak
an lingkungan yang baik akan membuahkan hasil (Hoffman, 1991).

Masalah perubahan iklim global dapat karena dampaknya yang serius terh
adap kehidupan global, menjadi salah satu pendorong peningkatan kesada
ran akan perlunya tindakan yang berkaitan dengan degradasi lingkungan
(Levy & Newell, 2005, hlm. 85).

Korporasi dan institusi yang menghadapi masalah ini mulai menyadari bah
wa mereka perlu menangani masalah lingkungan secara serius untuk men
dapatkan penghargaan sosial dan tampil sebagai warga korporat yang baik
(Rendtorff, 2015b)
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Perlunya pengkajian ulang teoretis tentang gagasan keberlanjutan
adalah karena krisis ekonomi dunia saat ini. Kita dapat menyebutkan kris
is keuangan pada tahun 2008 yang dapat dianggap sebagai krisis lingku
ngan yang menunjukkan bahwa ada batas untuk pertumbuhan dan bahw
a model ekspansi, kredit, dan keuntungan saat ini tidak membantu meny
elesaikan masalah lingkungan (Nielsen, 2013).
Dari perspektif ini, bahwa kita membutuhkan ekonomi kelangkaan di man
a kita perlu beralih dari era banyak ke era kelangkaan. Dalam konteks ini
lah kita berbicara tentang perlunya ekonomi ekologi baru dan perlunya tr
ansisi besar yang menantang mitos pertumbuhan abadi dan membantu
menyelesaikan krisis keuangan, pangan, dan iklim (Nielson, 2013).
Memang, mengembangkan strategi bisnis yang berkelanjutan untuk tran
sisi hijau bisnis besar seperti itu. Strategi ini harus melampaui konsep pe
rtumbuhan menuju kombinasi berkelanjutan antara bisnis dan pertumbuh
an hijau. Ekonomi berkelanjutan seperti itu akan menjadi ekonomi yang
mengakui bahwa Bumi bukanlah sistem pertumbuhan tanpa batas.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
4. Melampaui Etika Lingkungan Antroposentris
Di antara banyak konsepsi yang berusaha melampaui etika antroposentris,
tema umumnya adalah ancaman kehancuran kondisi kehidupan di Bumi. A
palagi pemikiran semacam ini ditandai dengan kritik keras terhadap buday
a teknologi dan ekonomi kapitalis.
Gerakan filosofis kritis semacam itu menuntut pemahaman baru tentang hu
bungan antara manusia dan alam. Posisi lain melangkah lebih jauh, dan be
rdebat dari sudut pandang universalisme, memberikan alam dan hewan de
ngan status moral yang sama seperti manusia. Ini sering dikombinasikan d
engan pendekatan ekologi dalam yang menempatkan status moral yang un
ik untuk alam.
Argumen-argumen ini mengusulkan untuk mengatasi batas-batas etika yan
g antroposentris, sehingga etika tidak lagi didasarkan pada subyek individu
yang rasional. Posisi nonantroposentris menunjukkan hubungan yang erat
antara alam dan dunia kehidupan manusia. Hal ini juga terjadi diMasa Dep
an Kita Bersama (WCED, 1987)
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...

Perlunya sudut pandang non-antroposentris menjadi lebih penting


ketika kita mempertimbangkan bahwa kita hidup di zaman Antropo
sen (Crutzen, 2002, hal.143–145). Konsep zaman Antroposen mer
upakan konsep geologi yang menandakan bahwa dampak manusi
a terhadap lingkungan di planet ini menjadi lebih serius (Crutzen, 2
007).
Posisi non-antroposentris sering bergantung pada konsepsi fenom
enologis manusia yang berusaha mengatasi gagasan kontradiktif t
entang hubungan antara subjek dan objek, antara pengalaman int
ernal dan materi eksternal (Kemp, Lebech, & Rendtorff, 1997).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Perspektif tersebut dapat diambil sebagai dasar posisi etis yang menjembat
ani kesenjangan antara manusia dan ekosistem. Tindakan nyata dan kapasit
as untuk secara praktis menilai prinsip-prinsip etika adalah kekuatan pendor
ong dalam proses ini. Oleh karena itu, prinsip-prinsip etika dapat didasarkan
pada anggapan bahwa manusia berpartisipasi dalam alam, tetapi pada saat
yang sama kita dapat melampaui partisipasi ini dan memanifestasikan diri ki
ta sebagai berbeda dari alam.

Perhatian utama dari strategi keberlanjutan untuk pengelolaan lingkungan di


lembaga dan perusahaan adalah bahwa – bahasa tanggung jawab etis Han
s Jonas – di masa depan masih akan ada manusia di Bumi (Jonas, 1979). A
da hubungan antara manajemen pemangku kepentingan dan gagasan bahw
a perusahaan harus melayani triple bottom line yaitu manusia, planet, dan k
euntungan (garis bawah sosial, lingkungan, dan ekonomi). Triple bottom line
juga menyiratkan kepedulian terhadap keadilan distributif dan kesetaraan an
tar generasi untuk mengamankan penggunaan sumber daya yang efektif da
n bertanggung jawab dalam praktik bisnis sehari-hari.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
5. Dari Etika ke Hukum
Diskusi tentang prinsip-prinsip etika dan keberlanjutan sekarang berpi
ndah dari etika ke hukum (Kemp et al., 1997; Rendtorff & Kemp, 200
0). Bagaimana kita bisa menghukum atau menghukum korporasi dan
siapa yang sebenarnya bertanggung jawab jika korporasi tidak mengh
argai lingkungan? Isu perlindungan lingkungan tidak hanya fokus pada
utilitas dan efisiensi tetapi juga pada keadilan distributif dan keadilan t
erhadap generasi mendatang (Velasquez, 2002, p. 310).

Bisakah sebuah korporasi benar-benar dipaksa untuk bertanggung ja


wab terhadap lingkungan? Dapat dikatakan bahwa jika korporasi dapa
t secara bermakna dianggap sebagai pribadi, maka mereka dapat dimi
ntai pertanggungjawaban secara moral.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Ketika teori kontrak sosial modern memisahkan subjek dan objek,
merenggut umat manusia dari alam, mereka lalai mendefinisikan al
am. Praktis tidak ada di antara subjek-subjek yang membentuk ko
munitas hukum dan politik. Kelalaian ini memiliki efek yang kuat pa
da konsepsi modern tentang hubungan antara manusia dan alam,
dan memiliki dampak penting pada kesediaan kita untuk menghor
mati lingkungan.
Bagi Jean-Jacques Rousseau, kontrak sosial adalah hasil dari keh
endak umum di antara subyek manusia yang bebas (Rousseau, [1
762] 2001). Teori keadilan Rawls juga tampaknya memiliki sedikit r
uang bagi alam atau hewan sebagai partisipan dalam komunitas d
ari posisi semula, yang harus memutuskan struktur masyarakat ma
sa depan di balik tabir ketidaktahuan (Rawls, 1971).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
6. Perusahaan Seimbang
Kami dapat mengusulkan ide etika bisnis dari perusahaan yang seimbang seba
gai jawaban bisnis untuk tantangan mendefinisikan kembali ekonomi etis dari k
onsep keberlanjutan (Rendtorff, Jensen, & Scheuer, 2013, hlm. 33-59). Perusah
aan yang seimbang adalah perusahaan yang mengikuti rekomendasi internasio
nal tentang keberlanjutan dan penghormatan terhadap alam.

Dari sudut pandang ini, korporasi perlu menjadi warga korporasi yang baik yan
g memikul tanggung jawab fundamentalnya terhadap masyarakat dan lingkung
an.
Perusahaan ini juga memperhitungkan kebutuhan untuk menghadapi masalah
perubahan iklim. Selain itu, perusahaan bisnis perlu bekerja dalam kaitannya d
engan konsep baru keberlanjutan. Dalam konteks ini kita dapat melihat gagasa
n perusahaan yang seimbang sebagai cara ketiga yang menggabungkan keberl
anjutan dan pertumbuhan dengan cara baru yang mengatasi ketegangan antar
a pertumbuhan dan non-pertumbuhan dalam perdebatan tentang bisnis dan lin
gkungan.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Kami menekankan bahwa konsep keseimbangan dalam pengertian etika bi
snis berkaitan dengan pembenaran nilai secara internal dan eksternal, dan
dalam kaitannya dengan fungsi bisnis berkaitan dengan masyarakat, integr
itas, dan manajemen pemangku kepentingan. Memang kita bisa menginteg
rasikan kepedulian terhadap perubahan iklim dalam strategi bisnis ini.
Perjuangan melawan perubahan iklim dan pemanasan global merupakan b
agian penting dari CSR, karena masalah perubahan iklim telah menjadi be
gitu mendesak bagi upaya kita untuk melestarikan Bumi.
Mengelola perusahaan yang seimbang berarti menghubungkan praktik bis
nis dengan konsep keberlanjutan yang baru dan didefinisikan ulang. Hal ini
memungkinkan bisnis untuk mendapatkan keselarasan yang lebih besar de
ngan lingkungan, dengan mempertimbangkan triple bottom line untuk men
yeimbangkan korporasi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
7. Menuju Agenda Penelitian untuk Ekonomi Beretika

Pembahasan tentang etika ekonomi lingkungan ini menunjukkan bahwa ko


nsep ekonomi etis (Wirtschaftsethik) dan topik hubungan antara etika dan
ekonomi sebagai respon terhadap masalah dunia kontemporer merupakan
topik penting untuk klarifikasi teoritis dan praktis.
Konsep ekonomi etis mencakup tiga tingkat: tingkat mikro, meso-, dan
makro dan juga berkaitan dengan analisis filosofis dari dasar etika ekonomi
.
Ini akan menjadi topik proyek penelitian ini di mana kami akan (1)
memperjelas konsep ekonomi etis, (2) menentukan keadaan seni penelitia
n di bidang etika dan ekonomi, dan (3) mengusulkan ekonomi etis sebagai
jawaban atas permasalahan dunia kontemporer.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...

Dengan demikian, kita dapat mendefinisikan proyek penelitian pen


gembangan teori ekonomi etis ini dengan isu-isu berikut: (1) Mengi
dentifikasi dimensi utama ekonomi etis, berdasarkan tinjauan litera
tur dan analisis posisi dan literatur yang ada di lapangan. (2) Meng
identifikasi bidang empiris utama penelitian dalam ekonomi etis,
terkait dengan lembaga ekonomi, pengambilan keputusan politik, b
udaya perusahaan, dan organisasi. (3) Mengusulkan solusi untuk ti
ndakan dan model keputusan untuk etika ekonomi dan ekonomi eti
s di berbagai organisasi dan institusi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Pertanyaan penelitian penting untuk proyek penelitian ini adalah: Bagaimana
kita dapat memulai kembali ekonomi etis, agar etika ekonomi dapat
dioperasionalkan? Apa yang akan menjadi tugas utama penelitian dalam
ekonomi etis saat ini? Apa "celah penelitian" yang harus diinisialisasi untuk
ekonomi etis dalam penelitian kontemporer? Apakah ada ruang untuk proyek
penelitian ekonomi etis? Topik-topik analisis dalam hal ekonomi etis adalah: (1)
hubungan antara etika ekonomi dan etika filosofis formal; (2) definisi prinsipprin
sip etika substantif ekonomi etis; (3) ekonomi etis dan filosofi budaya
ekonomi; (4) masalah dan dilema etika dalam kaitannya dengan eksternalitas
dan efek samping ekonomi; (5) ekonomi, ontologi, teori keputusan, dan filosofi
manajemen, termasuk dimensi praktis pengambilan keputusan; (6) etika
ekonomi dan ekonomi pasar, termasuk dilema ekonomi khusus etika bisnis dan
ekonomi organisasi; (7) konsep keadilan dan harga yang adil dalam ekonomi d
an kelembagaan ekonomi; dan (8) integrasi filosofi ekonomi etis dalam etika
lingkungan
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Dengan agenda penelitian ekonomi etis ini, kami telah menyediaka
n kerangka kerja untuk memahami fondasi ekonomi SDGs dalam p
erspektif etika dan filosofi manajemen. Ekonomi etis menjadi dasar
konsep model bisnis progresif untuk digunakan sebagai dasar pen
gembangan ekonomi berkelanjutan pada fondasi mikro, meso, dan
makro dalam kerangka SDGs.

Penting untuk ditekankan bahwa model bisnis progresif didasarkan


pada keterbukaan dan transparansi yang seimbang serta keterlibat
an pemangku kepentingan yang etis untuk SDGs. Hal ini tidak han
ya menyangkut etika bisnis dan CSR, tetapi juga menyangkut admi
nistrasi organisasi dan lembaga publik.
Sekian,

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai