Thamrin Husein
Nora Susanti
Salah satu aspek dari globalisasi ini adalah hubungan kritis dengan perusahaan yang dapat
beroperasi di mana saja di dunia (Rendtorff, 2009). Ini adalah globalisasi dengan konsekuen
si fatal bagi kehidupan bahagia orang-orang dalam budaya dan negara local.
Jadi, merupakan tantangan bagi filsafat globalisasi global untuk memikirkan keadilan bagi
masyarakat kosmopolitan yang melampaui tingkat negara nasional (Beck, 2001).
Adalah tugas filsafat politik untuk memikirkan globalisasi lain ini, tidak hanya sebagai utopia
bagi dunia, tetapi juga sebagai visi alternatif yang realistis dan terkini bagi masyarakat inter
nasional.
Dalam bukunya Power and Counter-Power in the Age of Globalization (2003) and What
Is Cosmopolitanism? (2006) Ulrich Beck menjelaskan proses globalisasi dengan cara ya
ng dapat membantu kita menawarkan visi filosofi kritis globalisasi ini. Kita dapat menga
takan bahwa dengan globalisasi kita dihadapkan dengan bencana ekologi, kemanusiaa
n, pangan, dan militer dunia dan di atas semua itu, kita membutuhkan ruang refleksif di
mana kita dapat menghadapi globalisasi dengan filosofi kritis baru.
Filosofi globalisasi ini harus mempelajari konsekuensi globalisasi dan dimensi filosofis k
eterkaitan dan ketergantungan institusional yang berkembang di dunia, seperti yang dik
emukakan oleh profesor bahasa Inggris David Held (Brown & Held, 2010).
Free PPT Templates - Widescreen(16:9)
Beck berbicara tentang perlunya ekonomi politik global baru yang men
cakup ruang ekonomi transnasional di satu sisi dan dunia politik intern
asional di luar kebijakan negara nasional di sisi lain. Kebutuhan akan te
ori sosial kosmopolitan ini tercermin dalam banyak tanda globalisasi ya
ng digambarkan Beck: “Perubahan iklim, perusakan lingkungan, risiko k
euangan global, migrasi penduduk, dan konsekuensi yang diantisipasi
dari nanoteknologi dan inovasi genetik” (Beck, 2003, hal. 12)
Dengan gagasan Bauman tentang pengaburan segala sesuatu di Liquid Modernity (20
00), kita dapat mengatakan bahwa kita sedang menghadapi globalisasi ketiga yang m
enunjukkan bahwa kita berada di dunia yang cair. Globalisasi menjadi dunia tanpa soli
ditas.
Menurut Bauman dalam Globalization: The Human Consequences
(1998), globalisasi menghasilkan keputusasaan dan ketidakotentik
an. Gelandangan, imigran, pengungsi, dan turis dapat disebut seb
agai kosmopolit yang putus asa mencari otentisitas dalam perger
akannya di ruang internasional. Menurut Bauman, globalisasi adal
ah zaman disorientasi dan hilangnya kohesi dalam kehidupan prib
adi seseorang. Dalam konsepsi globalisasi ini, merupakan bagian
dari pemikiran kritis globalisasi untuk menemukan caracara baru
menghuni dunia dalam ketidakjelasan urbanitas dalam proses glo
balisasi. Pendekatan Bauman sangat penting sebagai landasan krit
is bagi perlunya refleksi kritis terhadap globalisasi yang melibatka
n sudut pandang kosmopolitan yang menunjukkan apa yang dise
but Bourdieu sebagai “kesengsaraan dunia” (Bourdieu, 1993).
Anthony Giddens lebih optimis dari Bauman dan Bourdieu. Ia melihat kemungkinan
liberalisasi individu dalam kaitannya dengan dominasi tradisi.
Menurut Giddens dalam Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives
(1999) hilangnya tradisi nasional dapat menjadi syarat bagi emansipasi demokratis i
ndividu. Ini hampir seperti semacam pencerahan individu yang memungkinkan refle
ksi dan pembebasan diri. Dengan demikian, ada kekuatan untuk demokratisasi dan
pembebasan dunia yang terlibat dalam konsep globalisasi. Giddens memberi tahu
kita bagaimana filosofi kritis globalisasi tidak boleh melupakan potensi emansipator
is globalisasi, sementara globalisasi menjadi kondisi kemungkinan bagi pembebasa
n sejati individu
Kita dapat menghubungkan ini dengan refleksi filsafat kritis pada
tema pengakuan. Bagi ekonom politik Amerika Francis Fukuyam
a, dapat dikatakan bahwa globalisasi liberal adalah fenomena ak
hir sejarah sebagai pergulatan antara ideologi politik besar Marxi
sme dan liberalisme. Globalisasi menandai kemenangan liberalis
me ekonomi. Jadi, bagi Fukuyama, akhir sejarah ditandai dengan
gerakan ganda: pertama homogenisasi masyarakat liberal dan bu
daya Barat (Fukuyama, 1992). Kemudian, bertahannya masyarakat
dan budaya tertentu di negara-negara di dunia; misalnya budaya
Islam, Timur Tengah, dan Afrika Utara, negara-negara Afrika lainn
ya, dan budaya tertentu dunia Asia yang memadukan kemajuan
ekonomi dengan nilai-nilai tradisional masyarakat.
Oleh karena itu, bagi Fukuyama, tantangan besar pemikiran saat ini adalah kombinasi
pembangunan universal dengan munculnya konfrontasi antara budaya yang semakin
berbeda, yaitu, dalam pertempuran pengakuan global kita perlu menemukan pengak
uan sebagai orang yang sama dari berbagai budaya yang berbeda.
Dalam filsafat pengakuan pemikir tradisi teori kritis Jerman Axel Honneth di Die Kam
pf um die Anerkennung juga menekankan perjuangan untuk pengakuan sebagai hal
mendasar dalam politik internasional. Dia menekankan bahwa pengakuan dalam etik
a pasca-tradisional ditemukan melalui perjuangan untuk otonomi kebebasan. Ada pe
ncarian otonomi dalam perjuangan pengakuan, yang merupakan cara untuk memera
ngi patologi, ketidakadilan, dan keterasingan masyarakat modern dalam skala global.
Bagi Honneth, kita tidak boleh mengabaikan konfrontasi dan oposisi di ruang sosial
(Honneth, 1992).
Perjuangan untuk pengakuan menegaskan perbedaan sosial dan denga
n demikian, itu merupakan kritik terhadap tatanan sosial. Dalam teori pe
ngakuan sosialnya, Honneth menekankan bahwa perjuangan untuk pen
gakuan merupakan dimensi penting dari harapan normatif dan integrasi
moral masyarakat. Tanpa pengakuan, masyarakat akan mempermalukan
dan mengasingkan identitas individu. Integrasi sosial tentu terjadi melal
ui pelembagaan bentuk-bentuk pengakuan timbal balik dalam perjuang
an integrasi sosial. Perjuangan untuk pengakuan mewakili dimensi ident
itas dan pengakuan mewakili harapan normatif di balik gagasan tindaka
n komunikatif. Dapat dikatakan bahwa pengakuan menjadi perlu dari pe
ngalaman orang-orang yang tidak adil dalam institusi.
Dengan gagasan Politik Identitas, filsuf Amerika Nancy Fraser dalam bukunya Scales
of Justice (2009) mendefinisikan masalah pengakuan dalam situasi politik identitas d
i mana kelompok-kelompok sosial menyesalkan pengakuan sebagai sarana untuk dii
ntegrasikan ke dalam komunitas politik. Dia menekankan, seperti Fukuyama, bahwa
pengakuan tidak hanya berarti retribusi dalam tatanan ekonomi tetapi secara khusus
pengakuan dalam tatanan budaya di mana pengakuan berarti hak suatu budaya di
mana suatu masyarakat dapat melihat kekhasannya diakui oleh masyarakat di dunia.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan untuk pengakuan perbedaan buday
a dalam masyarakat berdasarkan identitas telah menjadi isu utama politik identitas.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengakuan melampaui politik tradisional sebag
ai perjuangan minoritas untuk diakui. Dengan demikian, tantangan pengakuan adala
h menemukan ekspresi keadilan sosial dan politik dengan toleransi minoritas.
Globalisasi Sebagai Ekspresi Hiper
modernitas dan Budaya Dunia
Filsuf dan sosiolog Gilles Lipovetsky berbicara tentang budaya dunia sebagai dimensi
esensial dari apa yang disebutnya hipermodernitas globalisasi. Menurutnya, kita tidak
lagi hidup dalam masyarakat post-modern saja, tetapi kita telah beralih hidup dalam
masyarakat konsumen yang hipermodern (Lipovetsky, 2006).
Masyarakat hipermodern merupakan metamorfosis dari budaya liberal. Kita hidup dala
m masyarakat konsumen massal yang telah menjadi global dan universal. Kita dapat b
erbicara tentang sistem konsumsi baru di era hipermodern. Yang menjadi ciri masyara
kat hipermodern adalah perkembangan budaya dunia, yaitu situasi dimana dunia dido
minasi oleh budaya pasar, media, dan budaya global. Waktu hipermodernitas dengan
demikian ditentukan oleh globalisasi neoliberal dan revolusi teknologi
Lipovetsky menjelaskan dalam kebahagiaan paradoks tiga fase per
kembangan masyarakat konsumen:
(1) waktu dari tahun 1880 hingga Perang Dunia Kedua
(2) periode 1950 sampai 1970
(3) waktu dari tahun 1970 hingga 1980-an di mana masyarakat konsumen berkembang.
Sejak tahun 1980-an, kita telah sampai pada masyarakat hiperkonsumsi. Ini adalah masyar
akat demokratisasi konsumsi tak terbatas. Tahap kedua adalah generalisasi masyarakat ko
nsumtif yang antara lain ditandai dengan generalisasi produk untuk perempuan. Masyarak
at konsumen ini menghasilkan produk-produk kenyamanan dan kesejahteraan yang ditan
dai dengan dinamika baru individualisasi. Secara khusus, kita dapat mengamati de-tradisio
nalisasi.
Dalam dunia hiperkapitalisme yang disorientasi, budaya harus dilihat sebagai alat istime
wa yang memungkinkan realisasi diri dan perbaikan diri, keterbukaan kepada orang lain
dan akses ke kehidupan yang tidak terlalu berat sebelah daripada kehidupan pembeli.
Budaya dunia dengan demikian merupakan elemen pencarian diri dalam masyarakat hip
ermodern
Dengan analisis masyarakat hipermodern dan trans-estetika ini, Lipovetsky menunjukkan bagaima
na tugas filsafat kritis globalisasi untuk menekankan fenomena kapitalisme budaya pada masa hip
erkapitalisme umum dengan dominasi dunia hiperkonsumsi. Jika filosofi globalisasi adalah memi
mpikan globalisasi lain yang didasarkan pada penghormatan terhadap cita-cita keberlanjutan nyat
a dan keadilan etis pemikiran kosmopolitan, ia harus bekerja dengan kritik terhadap penghancura
n visi hidup yang baik, menyadari munculnya homo stheticus refleksif di generalisasi hiperkapitali
sme dalam globalisasi.
Kritik Globalisasi dan Harapan
Keluar dari Krisis
Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab etis untuk pembangunan berkelanjutan memaksa
kita untuk keluar dari memburuknya keuangan, politik, dan krisis lingkungan masyarakat gl
obal. Bahkan dalam menghadapi perjuangan ideologis pasca-faktual, situasi pasca-krisis ha
rus dipertimbangkan sebagai kemungkinan munculnya kosmopolitanisme sejati yang mem
bawa kita menuju emansipasi dan dialog tentang masa depan di masyarakat internasional.
Untuk keluar dari krisis global masalahnya adalah menghadapi krisis keuangan global saat
ini yang dapat digambarkan sebagai krisis yang merupakan bagian dari proses transforma
si kapitalisme kontemporer (Rendtorff, 2009, 2016)
Dengan globalisasi kapital dan bertambahnya ketimpangan sebagai akibat dari kapitalisme
turun-temurun (Piketty), kita mengalami globalisasi krisis sejauh ketidakstabilan finansial, s
osial, dan ekologi mengglobal.
Dengan krisis keuangan, kita juga mengalami krisis sosial dan ekonomi. Krisis sosial ini ter
utama terlihat di tingkat internasional di mana perbedaan antara negara miskin dan negar
a kaya akan semakin serius. Saat ini, misalnya ada jutaan orang yang ditandai dengan deg
radasi sosial dan kelaparan serta keputusasaan lingkungan dan sosial di dunia. Di Timur Te
ngah, perang bercampur dengan krisis ekonomi yang memburuk, dan ini meningkatkan ke
miskinan. Di Afrika khususnya, dalam situasi pasca-kolonial kemiskinan ini ditunjukkan dala
m konflik internal antara suku dan kelompok etnis, dalam jumlah pengungsi yang merupa
kan akibat dari perang dan pemiskinan umum negara-negara berikut eksploitasi melalui p
asar ekonomi internasional.
Bagaimana cara keluar dari krisis? Bagaimana cara mengetahui
keuangan?
Neoliberalisme Milton Friedman adalah salah satu pilar krisis, karena neoliberalisme
adalah kekuatan pendorong di belakang perkembangan globalisasi internasional. In
i harus diubah menjadi peran negara yang lebih aktif dalam semangat Keynesianis
me. Banyak suara menyarankan peran yang lebih besar bagi negara untuk keluar d
ari visi privatisasi liberalisasi-stabilisasi yang selama ini dominan. Hal ini disertai den
gan kritik terhadap hutang pengangguran yang berlebihan di Amerika Serikat yang
telah menggantikan model sosial Keynesian. Sudah menjadi tugas filosofi visioner k
eberlanjutan dan globalisasi untuk mengatasi neoliberalisme masyarakat pasca-fakt
ual dengan merumuskan visi globalisasi lain yang mengintegrasikan sosialisasi pasa
r dengan konsep “keseimbangan etis” dalam refleksi politik tentang keadilan dalam
globalisasi (Rendtorff, 2013).
Harapan Kosmopolitanisme di Era
Hipermodernitas
Dalam bukunya Citizen of the World: The Cosmopolitan Ideal for the Twenty-First
Century Peter Kemp menawarkan kepada kita sebuah filosofi politik kosmopolitan
isme yang menyatukan para filsuf Timur dan Barat dengan memberikan interpreta
si modern terhadap konsep kosmopolitanisme (Kemp, 2010).
Perspektif ini memadukan filosofi pendidikan dan politik globalisasi dengan visi k
osmopolitanisme dalam perspektif konseptual dan historis. Gagasan menumbuhk
an kemanusiaan untuk kewarganegaraan global bertumpu pada visi perlunya men
didik anak-anak muda menjadi warga dunia yang dapat menghadapi masalahmas
alah besar kemanusiaan bagi peradaban kita, yaitu masalah krisis keuangan, bent
uran peradaban, dan perlunya pembangunan berkelanjutan umat manusia untuk
bertahan hidup.
Cita-cita sosial dan politik ini berasal dari filsafat kuno dan merupakan citacita bag
i para filsuf seperti Diogenes, Cicero, dan Seneca. Filsafat Stoic telah berbicara tent
ang kewarganegaran global di dunia saat ini.
Visi masa depan kosmopolitanisme ini berpusat pada gagasan tentang kehidupan m
anusia yang baik dalam konteks hubungan yang berkelanjutan dengan alam dan ling
kungan. Dengan pemaparan kita tentang tantangan globalisasi dan kosmopolitanism
e, kita dapat menyebut PBB sebagai aktor terpenting untuk mewujudkan harapan da
n visi etika dan politik kosmopolitan.
Filosofi Manajemen dan Keberlanjutan
Gagasan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah dasar bagi kerja sama global untuk
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan di mana-mana di dunia dengan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari tahun 1948, yang merupakan tongga
k untuk perlindungan hak asasi manusia yang universal dan kosmopolitan. Ditind
ak lanjuti oleh perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966) da
n tentang hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (1966), Perserikatan Bangsa-Bang
sa telah mengembangkan bahasa yang penting untuk perlindungan kosmopolita
n individu dan budaya manusia. Memang, pengembangan visi global keberlanjut
an kosmopolitan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang menindaklanjuti peker
jaan perlindungan hak asasi manusia
Filosofi Manajemen dan Keberlanjutan
Deklarasi dari Rio pada tahun 1992, KTT keberlanjutan tahun 2002 di Johannesburg dan
pada tahun 2012 sebuah pertemuan yang mengevaluasi situasi dua puluh tahun setelah
pertemuan Rio
Akhirnya, dengan konferensi PBB di New York pada tahun 2015, inisiatif tentang keberla
njutan ini menggabungkan pekerjaan pada tujuan pembangunan dari tujuan Milenium
PBB tahun 2000 dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di sini, dengan SD
Gs kita menghadapi realisasi politik umum,
Ch 2. Sustainability and Business
Ethics in a Global Society
Metodologi Keberlanjutan dan Etika Bisnis
Pendekatan luas untuk etika bisnis yang berkelanjutan ini juga menyiratkan evaluasi kritis ekono
mi neoklasik efisiensi dan utilitas dan mengarah ke interdisipliner yang lebih luas, kelembagaan, d
an perspektif sejarah pada normanorma dan nilai-nilai perusahaan.
Argumennya bersifat teoretis, tetapi juga perlu ditindaklanjuti dengan mengerjakan banyak materi
empiris, yang dapat digunakan untuk ilustrasi kualitatif yang berorientasi pada kasus dari argume
n teoretis. Pendekatan materi tekstual ini – menurut metode hermeneutika kritis – berdasarkan tin
jauan pustaka dan interpretasi daripada analisis kuantitatif survei nilai-nilai dominan aktor utama
(Rendtorff, 2009).
Visi bisnis yang berkelanjutan harus mengadopsi konsep "etika bisnis integratif" untuk
menengahi antara etika, politik, dan rasionalitas ekonomi (Ulrich, 2008).
Dalam perspektif ini, etika bisnis mengintegrasikan rasionalitas hukum, ekonomi, dan p
olitik untuk mempromosikan keberlanjutan dan kehidupan umat manusia yang baik. Eti
ka bisnis integratif tidak hanya tentang batasan eksternal pada aktivitas bisnis, tetapi ju
ga menyiratkan panduan internal untuk penciptaan nilai ekonomi.
Etika bisnis integratif bertujuan untuk merumuskan prinsip-prinsip CSR dari korporasi
warga negara yang baik. Etika bisnis didefinisikan sebagai rasionalitas praktis kritis yan
g mengintegrasikan etika dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu sosial.
Kita dapat melihat munculnya hubungan erat antara etika dan ekonomi sebagai strategi
baru untuk CSR dan manajemen moral. Namun, tetap ada ketegangan antara etika dan
ekonomi (Sen, 1987)
Etika adalah dasar dari tindakan ekonomi. Pada saat yang sama, kita harus mengakui ba
hwa ada dimensi etika dalam pengertian ekonomi tentang utilitas dan efisiensi, yang ha
rus diperhitungkan ketika berhadapan dengan etika pasar ekonomi.
Manajemen moral adalah tentang kehidupan yang baik dalam organisasi berdasar
kan norma-norma tanggung jawab universal yang berusaha menemukan keseimba
ngan yang tepat antara individu dan organisasi dan memang antara perusahaan,
masyarakat, dan demokrasi politik.
Di sini, dimungkinkan untuk mempertahankan pendekatan integratif terhadap teori
-teori ini, menggabungkan unsur-unsur teori pemangku kepentingan, manajemen
moral komunitarian, dan etika bisnis Kantian dalam teori etika bisnis republik berda
sarkan cita-cita demokrasi "perusahaan warga negara yang baik" (Crane & Matten,
2015).
Pergeseran dari teori pilihan rasional atas teori pemangku kepentingan, komunitari
anisme, universalisme Kantian, dan teori kontrak terintegrasi dengan teori etika bis
nis republik (atau kosmopolitan) dapat dilihat sebagai langkah menuju konsep etika
bisnis yang komprehensif sebagai dasar kewarganegaraan perusahaan yang baik da
lam masyarakat modern yang kompleks (Rendtorff, 2018a).
Tanggung jawab dan ketanggapan sosial ini berada di garis depan lisensi untuk
mengoperasikan perusahaan (Frederick, 1994).
Etika bisnis republik atau liberalisme etis antara komunitarianisme dan universali
sme Kantian bertujuan menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai inti dari manaje
men moral perusahaan yang bertanggung jawab.
Penerapan di Berbagai Bidang
Keberlanjutan dan Etika Bisnis
Dalam kerangka konsep etika bisnis yang berkelanjutan, kita dapat memikirkan
kembali konsep CSR dan pembangunan berkelanjutan karena berdasarkan tripl
e bottom line dapat dipromosikan sebagai kerangka keadilan dan prinsip-prinsi
p etika dasar (Elkington, 1999; Rendtorff, 2009, 2018).
CSR, etika bisnis, moral manajemen, dan akuntansi sosial dan etika didasarkan
pada kebijakan kepemimpinan yang mencakup pemangku kepentingan yang b
erbeda (Caroll, 1979).
Prinsip-prinsip etika dasar ini dapat diarahkan pada perlindungan pribadi manusia d
alam struktur organisasi. Oleh karena itu dianggap penting untuk beralih dari CSR k
e corporate social responsiveness (Frederick, 1994; Rendtorff, 2018).
Dari sudut pandang etika lingkungan, CSR adalah tentang bagaimana organi
sasi berhubungan secara etis dengan hewan dan alam. Etika lingkungan me
miliki dimensi kelembagaan sejauh ini berkaitan dengan hubungan antara or
ganisasi dan alam mencari sarana untuk mengintegrasikan bioetika, etika lin
gkungan, dan etika bisnis
Perkembangan Hukum Internasional
Etika Bisnis dan CSR
Kita dapat melihat perkembangan hukum yang berbeda di Amerika Serikat, Eropa,
dan di komunitas internasional yang mendokumentasikan kerangka normatif untu
k peran korporasi dalam masyarakat.
Mereka mengungkapkan perbedaan antara pendekatan yang berbeda untuk mana
jemen moral dan CSR di berbagai negara.
Di Amerika Serikat, sistem hukum telah digunakan secara luas untuk menciptakan
kerangka hukum yang kuat untuk mempromosikan program etika dan kepatuhan,
dimana pada tahun 1991, Pedoman Penghukuman Federal Amerika Serikat untuk
Organisasi (FSGO) disahkan oleh Kongres. Program kepatuhan dan etika tersebut
merupakan perkembangan baru hukum perusahaan yang menganggap regulasi se
bagai dialog dan pengaturan sendiri daripada penegakan kekuasaan negara yang
ketat
Inisiatif Eropa berkaitan dengan manajemen moral dan CSR telah dipromosi
kan dari dokumen Mempromosikan Kerangka Eropa untuk CSR Green Pape
r dari 2002 (European Commission, 2001a,b). Dokumen ini ditindaklanjuti d
engan komunikasi tentang CSR dari komisi Eropa dan pembentukan Forum
Pemangku Kepentingan Eropa.
Masalah ini menyangkut landasan etika dan hukum dari gagasan CSR yang
dipertimbangkan dalam kerangka konsep kelembagaan identitas dan keprib
adian perusahaan (Prancis, 1984; Laufer, 1996).
Kebutuhan untuk membangun praktik bisnis yang dapat dipercaya mencakup penge
lolaan masalah tata kelola perusahaan, akuntabilitas, dan transparansi sebagai krisis
kepercayaan publik dan penerimaan sosial perusahaan yang mendalam.
Kita dapat melihat SDGs sebagai kontribusi untuk perumusan baru maksud da
n tujuan tata kelola perusahaan dan kewarganegaraan perusahaan dalam mas
yarakat global.
Ch. 3 Ethics of Administration: Towards
Sustainability and Cosmopolitanism
Hal ini dapat dirumuskan sebagai krisis bagi sistem ekonomi dunia saat ini, termas
uk konsep mainstream negara persaingan yang berfokus pada pertumbuhan ekon
omi.
Jadi masalah krisis ekonomi dan lingkungan juga menjadi masalah negara persain
gan sejauh gagasan negara persaingan adalah produk dari ekonomi arus utama
Korupsi dapat didefinisikan sebagai penggunaan uang atau hadiah untuk
mendapatkan manfaat dan keuntungan tertentu. Dalam kasus administrato
r publik, penerimaan atau persyaratan suap dalam profesilah yang menunj
ukkan tingkat korupsi (Rendtorff, 2010c). Masyarakat dengan korupsi adala
h masyarakat tanpa kepercayaan dan integritas dan dalam pengertian ini
masyarakat tanpa keadilan atau kejujuran.
Pencarian kekuasaan yang tidak adil secara pribadi ini berada dalam bahaya menyuap sistem pub
lik (Etchegoyen, 1995).
Tanpa checks and balances yang tepat serta konsepsi keadilan dan keadilan, korupsi
akan menjadi bahaya bagi lembaga-lembaga masyarakat yang demokratis. Dalam p
engertian ini kita dapat menunjukkan pentingnya lembaga demokrasi dalam masyar
akat sebagai cara yang paling efisien untuk menghindari korupsi.
Ini mungkin juga menjadi alasan mengapa masyarakat demokratis paling aktif dala
m merumuskan undang-undang yang melarang segala jenis suap dan praktik korup
si.
Keutamaan penting dari etika administrasi dalam masyarakat sipil adalah komitmen
aktif terhadap masyarakat ini dan perlindungan warga negara dengan pengakuan da
n penghormatan terhadap kewarganegaraan mereka dan partisipasi aktif dalam mas
yarakat. Administrator publik harus secara aktif berkomitmen untuk mempromosikan
kegiatan dalam masyarakat sipil sebagai indikator tingkat koherensi sosial dan keper
cayaan dalam masyarakat.
Nilai Etika Administrasi: Kosmo
politanisme dan Keberlanjutan
Dalam konteks ini, penting bahwa nilai-nilai administrator publik terkait denga
n pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang keberlanjutan di mana keberl
anjutan menurut Laporan Brundtland dari Komisi Dunia tentang lingkungan me
ncakup etika, sosial, ilmiah, ekonomi, dan hukum. dimensi pembangunan berke
lanjutan (Kemp, 2011).
Kerangka Teoritis untuk Etika
Administrasi
Tidak ada etika administrasi yang mungkin tanpa analisis konsekuensi nega
tif dari biopower dan rasionalitas teknologi. Namun, tidak merumuskan etik
a administrasi justru akan lebih rentan terhadap dominasi teknologi pemeri
ntahan, kontrol, dan disiplin.
Isu Mendesak untuk Etika
Administrasi
Etika administrasi secara keseluruhan adalah tentang nilai-nilai seperti apa yang kit
a butuhkan di sektor publik (Frederickson 1993; Jordan & Gray, 2011).
beberapa isu atau topik yang penting untuk dibahas dalam etika administrasi yang
konkrit :
1. Kebutaan moral dan kejahatan administratif dalam birokrasi public
2. Dari birokrasi ke tata kelola pemangku kepentingan yang etis
3. Tata kelola pemangku kepentingan sebagai strategi umum untuk sektor public
4. Ketegangan antara etika normatif dan analisis institusional.
5. Ketegangan antara manajemen publik baru dan tanggung jawab etis
6. Etika profesional dalam administrasi public
7. Etika di berbagai tingkat organisasi dan institusi.
8. Tanggung jawab pribadi, manajemen diri, dan etika.
Tantangan etika keberlanjutan dalam politik dan administrasi adalah bagaimana
pemerintah dapat meningkatkan kebijakan hijau dan lingkungan dengan mengu
rangi emisi CO2 dan polusi di sektor-sektor penting masyarakat seperti industri,
pertanian, dan transportasi. Kebijakan etis administrasi harus membuat cita-cita
keberlanjutan dan kosmopolitanisme menjadi pusat visi pemerintah dikombinasi
kan dengan kebijakan ekonomi yang bertanggung jawab dari transisi lingkunga
n, pertumbuhan hijau dan transformasi ekologi masyarakat ke arah SDGs.
Dalam administrasi publik, ini membutuhkan tipe baru kepemimpinan dan kemi
traan SDG, tata kelola dan pemahaman baru tentang tanggung jawab dan kepe
mimpinan etis dalam bisnis, LSM, dan lembaga publik.
Ch. 4 Corporate Social Responsibility, Su
stainability, and Stakeholder Management
Ini adalah dasar untuk konsepsi republik tentang korporasi sebagai warga negara y
ang baik yang selain menghasilkan uang juga memperhatikan lingkungan politik, s
osial, dan ekologis. Konsep tanggung jawab ini menyiratkan bahwa perusahaan tida
k hanya harus mematuhi hukum, tetapi juga terlibat secara konstruktif dalam perba
ikan sosial masyarakat
Konsep Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Filsuf Jerman Hans Jonas mendefinisikan konsep tanggung jawab dalam Prinzi
p Verantwortung. Versuch einer Ethik der technischen Zivilisation (1979) yang b
erpendapat bahwa perkembangan teknologi dan ilmiah telah menyebabkan ta
nggung jawab yang jauh lebih besar bagi umat manusia daripada yang terjadi
sebelumnya.
Hal ini karena peradaban teknologi dan ilmu pengetahuan memiliki begitu ban
yak kekuatan untuk menghancurkan bumi (Jonas, 1979)
Konsep tanggung jawab ontologis dan kategoris ini dapat dikatakan menjadi la
ndasan bagi konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Ini mencakup tidak ha
nya tanggung jawab individu tetapi juga dapat merujuk pada tanggung jawab i
nstitusional perusahaan sebagai aktor moral (Prancis, 1984).
Dalam pengertian moral ini, tanggung jawab terkait dengan kekuatan dan kapasitas
korporasi untuk menanggapi tindakannya sendiri.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan ini muncul sebagai konsekuensi dari ko
nsep tanggung jawab moral yang lebih mendasar (Prancis, 1984). Gagasan ini dipro
mosikan terhadap mereka yang menentang tanggung jawab sosial perusahaan den
gan mengatakan bahwa belum terbukti bahwa perusahaan dapat dimintai pertangg
ungjawaban, bahwa hanya pemegang saham yang memiliki kepentingan sah dalam
perusahaan, dan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan menghilangkan kebebas
an perusahaan untuk bertindak dalam pasar sesuai dengan keinginannya sendiri.
Salah satu argumen ini menegaskan tanggung jawab sosial perusahaan adala
h untuk kepentingan bisnis sendiri karena, dengan berkontribusi pada peruba
han sosial, dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk transaksi bisn
isnya sendiri dan dengan demikian mengembangkan bisnis sambil bertanggu
ng jawab secara sosial (Buchholz & Rosenthal, 2002, hal. 304).
Menjadi bisnis yang bertanggung jawab secara sosial dapat memenuhi harapa
n masyarakat, dan bisnis dapat membantu memecahkan masalah, karena peru
sahaan memiliki kekuatan yang begitu besar di masyarakat, bahkan mungkin
dapat mengubah masalah sosial menjadi peluang bisnis.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Manajemen
Pemangku Kepentingan
Idenya adalah bahwa perusahaan harus dianggap sebagai bagian dari masyaraka
t, dan bahwa isu-isu lingkungan dan sosial harus diintegrasikan ke dalam manaje
men strategis perusahaan (Freeman, 1984).
Komisi komunitas Eropa mengikuti inisiatif PBB ketika berpendapat bahwa tanggu
ng jawab sosial perusahaan tidak hanya menunjukkan kepatuhan terhadap kewaji
ban hukum tetapi juga upaya sukarela untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk
hak asasi manusia, lingkungan atau untuk hubungan dengan pemangku kepentin
gan lainnya.
Pandangan tanggung jawab sosial perusahaan ini menyiratkan strategi umum
untuk manajemen berbasis nilai strategis di era globalisasi.
Atas dasar ini, manajemen pemangku kepentingan dapat dipahami sebagai respo
ns terhadap harapan masyarakat tentang kewarganegaraan perusahaan dan kontr
ibusi untuk kebaikan bersama masyarakat
Dalam perspektif kewarganegaraan perusahaan, prinsip-prinsip tanggung jawa
b dan keberlanjutan harus dimasukkan dalam pertimbangan perlakuan yang ad
il terhadap para pemangku kepentingan. Karena itu, pemangku kepentingan ya
ng tidak bekerja sama secara langsung dengan perusahaan tidak memiliki klai
m normatif langsung dan kewajiban terkait untuk diperhitungkan karena konsti
tuen intinya mungkin memiliki klaim turunan yang diperhitungkan (Philips, 200
3, hlm. 124-127)
SDGs jauh lebih rinci dan diadopsi oleh 193 negara anggota PBB, yang melanjutkan
konsensus tujuan Milenium, tetapi melibatkan masyarakat yang lebih luas termasuk
pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil.
SDGs terdiri dari 17 SDGs dan ditetapkan dengan 169 sub-target yang bersama-sa
ma berfokus pada manusia, planet, dan kemakmuran (United Nations, 2018a). Sekt
or swasta, bisnis, dan perusahaan sangat penting untuk mewujudkan Agenda transf
ormasi dunia untuk tahun 2030 untuk SDGs.
SDGs telah menjadi fokus utama pengembangan ekonomi yang tertanam secara lo
kal dan berkelanjutan untuk menghadapi pergerakan kapitalisme dan pertumbuhan
global dan universal
Tantangan SDGs
SDGs PBB fokus pada kebutuhan untuk mengubah dunia dan ini dianggap sebagai
upaya kolektif untuk semua pemangku kepentingan. Dengan 17 SDGs dan 169 targ
et, PBB telah mencoba untuk menentukan jalur yang jelas dari pembangunan berke
lanjutan yang menggabungkan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan tujuan mel
indungi hak asasi manusia dan menyelamatkan planet ini.
SDGs menggabungkan ini dengan visi konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, t
ermasuk menjaga sumber daya alam, menghadapi perubahan iklim, dan melestarik
an planet ini untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
Kerangka kerja untuk visi ini adalah gagasan keterlibatan semua pemangku
kepentingan, masyarakat, dan negara dalam kemitraan global untuk pemba
ngunan berkelanjutan yang dibangun di atas penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan martabat.
Dengan wacana visi masa depan yang gemilang, perdamaian, dan kesetara
an ini, PBB berfokus pada tiga definisi keberlanjutan termasuk keberlanjuta
n ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang diusulkan sebagai tujuan yang sei
mbang dan terintegrasi untuk agenda dunia.
Dunia dengan damai dan tanpa kekerasan dipadukan dengan visi sehat, ikli
m yang baik, dan lingkungan yang bersih dengan energi dan sumber daya
alam yang berkelanjutan (PBB, 2015).
Inilah visi lingkungan dari agenda SDG (Agenda I). Selain itu, ada visi sosial dari visi sosial SDGs
(Agenda II). Visi ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia,
keadilan, dan non-diskriminasi yang memungkinkan semua manusia untuk mewujudkan potensi
mereka. Di sini, agenda menekankan perlunya menghormati kesetaraan antara laki-laki dan pere
mpuan. Dimensi ketiga dari agenda (Agenda III) adalah gagasan pertumbuhan berkelanjutan den
gan dunia di mana pertumbuhan ekonomi dan bekerja untuk semua dikombinasikan dengan supr
emasi hukum dan demokrasi dan pemanfaatan lingkungan yang berkelanjutan dengan tujuan me
ngentaskan kemiskinan dan menangani tantangan lingkungan dan perubahan iklim secara berkel
anjutan (PBB, 2015)
Bersama dengan pemerintah dan masyarakat sipil, bisnis harus terlibat dalam memenuhi tujuan p
embangunan PBB. Bentuk organisasi dan struktur tata kelola baru menggambarkan upaya dan ke
sulitan perusahaan transnasional dan usaha kecil dan menengah sehubungan dengan transformas
i menuju model bisnis progresif mengikuti tujuan keberlanjutan PBB. Tantangan masa depan etika
bisnis adalah untuk menemukan prinsip-prinsip etika yang tepat untuk mengatur co-creation dan
co-eksistensi antara organisasi dalam manajemen kemitraan. Yang penting adalah bagaimana ke
mitraan antara bisnis dan masyarakat sipil dapat berkontribusi pada implementasi SDGs yang bai
k.
Kritik terhadap Pembangunan
Berkelanjutan dan SDGs
Kritik dasar adalah bahwa pertahanan keberlanjutan adalah argumen untuk "kapi
talisme hijau," sebuah konsep pertumbuhan hijau yang menyiratkan konsepsi ek
onomi neo-liberal yang tidak ada hubungannya dengan keberlanjutan.
Perspektif kritis lebih lanjut tentang SDGs melihatnya sebagai semacam etnosent
risme Eropa, berdasarkan filosofi keunggulan pertumbuhan, kemajuan, dan pem
bangunan Barat. Keberlanjutan dari perspektif ini tidak cocok untuk sistem kapita
lis karena ini tentang pelestarian dan stabilitas.
Selain itu, penggunaan teori-teori ekonomi ini untuk memahami dan menganalisis S
DGs masih belum tercapai. Maka diperlukan penelitian yang terfokus untuk memaha
mi SDGs dan ekonomi berkelanjutan (Howard-Grenville, 2017).
Tujuan dari teori transisi ekonomi menuju keberlanjutan ini adalah untuk
mengembangkan teori dan konsep kepemimpinan etis dan CSR yang sec
ara khusus mencakup kepedulian terhadap keberlanjutan (Rendtorff, 200
9, 2013, 2014; Scherer & Palazzo, 2008, 2011). Dengan demikian, dari per
spektif ini kita dapat melihat bagaimana model bisnis progresif dalam or
ganisasi bisnis diperlukan untuk menghadapi potensi tantangan yang mu
ncul dalam kaitannya dengan kontribusi terhadap pembangunan berkela
njutan (Muff et al., 2017).
Masyarakat Sipil dan Kemitraan
untuk SDGs
Dalam konteks ini, penting untuk ditekankan bahwa SDGs juga merupakan hasil dari berbagai ke
mitraan dan interaksi. LSM, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil bekerja sama untuk merumus
kan SDGs seambisius mereka dan proyek diplomatik dan politik SDGs PBB telah didasarkan pada
proses kolektif untuk membentuk SDGs sebagai tujuan dunia yang ambisius.
Dengan demikian, konsep kemitraan itu sendiri berada di balik visi baru SDGs.
Proses perumusan tujuan telah menjadi kompleks dan penting untuk menging
at kompleksitas SDGs dengan 17 tujuan dan 169 target yang mencakup berba
gai variasi dalam lingkup, tujuan, dan konteks. Pada saat yang sama, penting
untuk diingat bahwa semua negara di PBB mengadopsi agenda 2030 dari SD
Gs.
tujuan akhir CSR dan kewarganegaraan perusahaan dalam pembangunan berk
elanjutan diwujudkan dengan SDGs melalui kemitraan manajemen pemangku
kepentingan relasional.
Dalam pengelolaan dan strategi SDG kita perlu menyadari hubungan antara k
eberlanjutan sosial, lingkungan dan ekonomi dengan fokus pada kebaikan unt
uk memastikan bahwa SDGs mengarah pada pertumbuhan hijau dan lingkung
an yang nyata.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan Saling Ketergantun
gan Etis di Zaman Antroposen
Konferensi Latour adalah titik awal yang baik untuk menganalisis tema I
nklusivitas. Tema Inklusivitas berkaitan dengan Etika dan Saling Keterga
ntungan dengan fokus pada membuka keprihatinan manajerial untuk hal
-hal lain di luar organisasi. Bagi saya usia Antroposen dengan perubaha
n iklimnya telah menekankan perlunya inklusivitas di masa saling keterg
antungan etika global. Saat ini membutuhkan manajemen yang tangguh
dan praktik organisasi untuk mengatasi kerentanan manusia dan alam t
erhadap ketidakstabilan alam dan sosial baru di dunia.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
1. Landasan Epistemologis Etika Antroposen
Saat ini kita membutuhkan lebih banyak tanggung jawab dan etika li
ngkungan dalam manajemen dan tata kelola organisasi. Kita perlu b
ergerak menuju tanggung jawab teknologi, politik, dan ekonomi untu
k pembangunan alam dan masyarakat yang berkelanjutan. Meman
g, kebutuhan akan tanggung jawab untuk pembangunan berkelanjut
an menjadi semakin penting ketika kita mengingat bahwa kita hidup
di era Antroposen.
Konsep zaman Antroposen adalah konsep geologi yang berarti bah
wa dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan di planet ini menj
adi lebih serius. Karena perubahan iklim dan perubahan lain dalam li
ngkungan alam umat manusia, geologi telah mulai mencirikan perio
de geologis yang ada sejak abad kedelapan belas sebagai usia Antr
oposen di mana manusia sebagai spesies dan kelompok kolektif ber
kontribusi pada modifikasi geologis alam.
Bab 6 Filsafat Manajemen dan ....
Logika ekonomi berarti bahwa tidak ada lagi malapetaka yang spesifik
dalam pengertian malapetaka Yunani yang tragis, yang membuat kita
mencari katarsis atau rekonsiliasi Konfusius, Tao atau Buddha, tetapi y
ang ada hanya malapetaka umum dengan kemungkinan rekonsiliasi s
ekarang.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Tak terhitung dalam teknologi dimanifestasikan oleh fakta bahwa kita tidak
dapat mengendalikan teknologi dan bahwa solusi teknologi mengarah pad
a masalah baru yang membuat kita membutuhkan solusi teknologi yang le
bih baik, misalnya, seperti halnya masalah keamanan di mobil dan kebutuh
an akan airbag (Nancy , 2012, hal. 44). Begitu juga dengan kompleksitas te
knologi kedokteran, misalnya kebutuhan untuk perawatan setelah transpla
ntasi jantung, atau memang dengan masalah perubahan iklim, polusi, atau
kasus penanganan masalah limbah teknologi nuklir.
Peningkatan ketidakterbandingan tidak dapat dipahami dalam hal ketidakte
rhitungan, tetapi itu berarti bahwa pada saat yang sama kita mengalami leb
ih banyak kesetaraan logika pasar, komunikasi, dan kemandirian, kita juga
dapat melihat bahwa ada ketidakterbandingan yang berkembang antara du
nia, rasionalitas teknologi, dan mode keberadaan. di dunia. Namun, untuk
mengatasi ketidakterbandingan ini, kami menggunakan perhitungan ekono
mi untuk mendominasi apa yang tidak dapat dibandingkan dan tidak dapat
dihitung (Nancy, 2012, hlm. 53).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
2. Fukushima Sebagai Simbol Logika Teknologi dalam
Modernitas
Fukushima sebagai ekspresi dari kontradiksi mendalam dari Masyara
kat teknologi. Kita membutuhkan teknologi canggih untuk mempertah
ankan standar hidup kita, tetapi ini membuat masyarakat sangat rent
an terhadap penghancuran diri sendiri. Kontradiksi ini telah dianalisis
dalam karya tentang kapitalisme industri oleh Bernard Stiegler.
Stiegler mendefinisikan bencana sebagai sesuatu yang mengakhiri s
atu sejarah dan memberi ruang bagi sejarah lain dan dalam pengerti
an ini Fukushima secara paradoks dapat memaksa masyarakat untuk
memikirkan sistem teknologinya sendiri (Stiegler, 2004).
Dengan cara ini Stiegler telah mengajukan analisis ekonomi politik ya
ng dapat menjelaskan kondisi kapitalisme budaya masyarakat hiperin
dustri.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Kita dapat mengatakan bahwa kita dengan teknologi kuat yang ber
beda, khususnya teknologi nuklir, menghadapi kemungkinan kiama
t tanpa Tuhan di mana umat manusia dapat menghancurkan diriny
a sendiri. Kita berada dalam perang globalisasi di mana teknologi i
ndustri menghancurkan ekosistem bumi dan struktur sosial dan psi
kologisnya. Hal ini terungkap dari krisis keuangan global pada tahu
n 2008.
Mengacu pada deskripsi Valery dalam “La liberté de l'esprit” pada t
ahun 1919 tentang krisis setelah Perang Dunia Pertama Stiegler m
enekankan bahwa dia menggambarkan perang yang dicirikan oleh
ambiguitas mendasar bahwa semua penghancuran ini tidak akan
mungkin terjadi tanpa sains, pengetahuan, dan akal manusia, sepe
rti yang digambarkan Platon dalam tulisan, yang merupakan teknol
ogi roh rasional (Stiegler, 2010, hlm. 25).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Intensifikasi umum ekonomi libido inilah yang memberi tekanan pa
da kapitalisme teknologi untuk bergerak lebih cepat dengan kebutu
han akan lebih banyak teknologi dan energi, seperti yang dihasilka
n oleh pembangkit nuklir. Paradoksnya, pada saat yang sama rasi
onalitas sistem didasarkan pada harapan dan kepercayaan bersa
ma. Hal ini semakin meningkat dengan adanya sistem teknologi int
ernet dan komunikasi.
Tetapi hipervulnerabilitas juga hadir dalam berbagai teknologi, kek
uatan militer nuklir dan teknologi energi sipil, teknologi komunikasi,
atau bioteknologi medis. Sistem ini dibangun di atas teknologi oto
matis dan manusia dipaksa untuk hidup dengan kepercayaan buta
pada teknologi yang tidak dapat mereka pahami di luar penggunaa
n teknologi sehari-hari.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Bencana nuklir Fukushima ini menyiratkan konsekuensi yang tidak
terduga bagi bumi dan biosfernya. Dalam sistem keuangan, dereg
ulasi telah menghasilkan keuntungan besar bagi beberapa perusa
haan keuangan dan orang-orang sementara pada saat yang sama
mengguncang dimensi sosial ekonomi.
Selain itu, model ekonomi masyarakat konsumen berkontribusi pa
da penghancuran diri teknologi masyarakat. Memang, ini adalah p
aradoks bahwa lebih dari 1 miliar orang di bumi menderita kelapar
an sementara Dunia Barat dicirikan oleh konsumsi berlebihan (Stie
gler, 2012, hlm. 237).
Krisis ekonomi ditandai oleh elemen yang sama dengan krisis Fuk
ushima di mana kita melihat logikafarmasi dalam teknologi ekonom
i dan nuklir di mana sistem rapuh yang seharusnya memberi kehid
upan bagi umat manusia berada dalam bahaya mengarah pada pe
nghancuran diri umat manusia yang tidak disengaja.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
3. Ekonomi Politik dan Tanggung Jawab setelah Fukushima
Dengan demikian, Stiegler mengusulkan solusi lain untuk krisis daripada meng
akhiri dekonstruksi total yang tidak mungkin. Ini adalah ide farmakologi dalam e
konomi politik menggunakan farmasi tidak hanya untuk manipulasi racun tetapi
juga untuk menyembuhkan dan merawat individu manusia. Kita perlu mengemb
angkan teknologi pengobatan dan perawatan baru untuk menguasai bio-power
dan lepas dari kontrol masyarakat.
Untuk menghadapi kapitalisme teknologi global adalah bekerja untuk pembang
unan berkelanjutan. Stiegler berpendapat bahwa kita perlu memberi bentuk eko
nomi berorientasi libidinal baru yang tidak merusak tetapi merawat objek (Stiegl
er, 2010, hlm. 144). Kita perlu menciptakan motivasi dan kapasitas baru untuk i
nvestasi berkelanjutan di masyarakat. Ekonomi ini adalah ekonomi libidinal bar
u yang mengurus kehidupan dan politik peduli juga mengandalkan kemampuan
manusia, seperti yang didefinisikan oleh Amartya Sen (Nussbaum, 2011; Sen, 1
999; Stiegler, 2010, hlm. 151).
Kepedulian ekonomi politik ini seharusnya tidak mengurangi kepedulian menjad
i pertanyaan etis, melainkan menempatkannya di pusat ekonomi politik. Ini seh
arusnya menyiratkan cara hidup baru di mana berhemat berarti "menjaga" (Stie
gler, 2010, hlm. 153).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Secara khusus, penting bahwa universitas bertanggung jawab untuk meng
hindari kebodohan. Memang, mengatakan sesuatu yang bodoh juga berarti
melakukan sesuatu yang bodoh dan ini meningkatkan tanggung jawab pra
ktis para profesor universitas. Menurut Stiegler hubungan antara pengetah
uan dan kebodohan dijelaskan oleh sosokEpiméthee yang hanya berpikir a
tas dasar kebodohannya (Stiegler, 2012, hlm. 82). Dalam pengertian ini ad
a kondisi farmakologis pengetahuan dan universitas seharusnya berjuang t
erus menerus melawan kebodohan. Derrida tidak menghubungkan kebodo
han dengan binatang, tetapi dengan individuasi.
Kebodohan adalah fitur psikologis transendental. Tetapi pada saat yang sa
ma kebodohan adalah kondisi individuasi sehingga itulah alasan mengapa
kita dapat berbicara tentang kebodohan planet yang sistemik (Stiegler, 201
2, hlm. 108). Hal ini muncul karena sistem kapitalisme konsumen yang me
njadi dasar individuasi dalam masyarakat pasar. Masalahnya adalah bahw
a kebodohan (bêtise) adalah apa yang benar-benar manusiawi. Kebodoha
n seperti penyebaran dan perbedaan berada di pusat imajinasi kesadaran
sebagai ideologi dan teknologi.
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Sistem dicirikan oleh ketidakpastian, kontingensi, komplikasi dan kebingu
ngan, dan tidak tercapai. Holisme tidak cukup karena menyederhanakan
interdependensi kompleks dalam keragaman dan kesatuan. Sistem yang
kompleks dicirikan oleh interaksi timbal balik dalam proses pengorganisa
sian yang dapat bersifat terbuka dan terbatas. Dunia terdiri dari sistem k
ompleks yang berinteraksi satu sama lain dan lingkungan serta batas2ny
a.
Imajinasi moral seperti yang disarankan oleh ahli etika bisnis Patric
ia Werhane juga penting untuk pengambilan keputusan etis dalam
proses organisasi yang kompleks (Werhane, 1999; Woermann, 20
12).
Bab 7 Bencana Lingkungan dan ......
Pengambilan keputusan dan kepemimpinan harus mampu melihat bat
asan dan bahaya dari aturan dan regulasi tertentu serta moral imajina
si memastikan keterbukaan etis terhadap keberbedaan dan perbedaa
n dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, kesadaran tangg
ung jawab etis universal dari sudut pandang imajinasi moral kritis men
gungkapkan artikulasi kompleksitas etika dalam konteks organisasi.
Kita dapat bertanya apakah dan bagaimana Fukushima dapat membuat kita b
erpikir tentang tanggung jawab untuk pengambilan keputusan dalam konteks
organisasi? Pertanyaan yang jelas adalah apakah bencana dapat dihindari jik
a ada kesadaran yang lebih besar akan tanggung jawab dan kompleksitas ma
najemen dalam organisasi? Dan jawaban langsungnya adalah bisabukan dihi
ndari, karena tsunami sebagai bencana tidak dapat diramalkan. Dikatakan ba
hwa bencana ini berada di luar batas tanggung jawab karena disebabkan ole
h bencana alam.
Bab 8
Dari Krisis Finansial ke Ekonomi Baru yang Ber
kelanjutan
Peristiwa internasional sejak krisis keuangan besar dan kebutuhan untuk tr
ansformasi menuju keberlanjutan di seluruh dunia melibatkan pertanyaan
mendasar tentang hubungan antara etika dan ekonomi dan tanggung jawa
b pasar ekonomi dalam kaitannya dengan masalah sosial dan politik yang l
ebih luas. Setelah Fukushima dan krisis lingkungan lainnya di dunia, kita p
erlu mengembangkan ekonomi keberlanjutan yang baru.
Dalam pengertian ini, masalah hubungan antara etika dan ekonomi dalam
bisnis menyangkut konsep tindakan ekonomi dan peran tanggung jawab eti
s dalam ekonomi (Mahieu, 2001). Perdebatan tentang rasionalitas ekonomi
dan filsafat politik tergantung pada masalah apakah mungkin ada sesuatu
seperti kebaikan bersama atau keadilan sosial bagi semua anggota masya
rakat.
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Dengan demikian, gagasan rasionalitas ekonomi tergantung pada konsep t
indakan ekonomi (Sen, 1987). Konsep ini ditandai dengan interaksi antara i
ndividualisme dan altruisme dan tanggung jawab pribadi atas tindakan eko
nomi.
Gagasan tentang koreksi etis tindakan ekonomi menyiratkan sikap kritis ter
hadap konsep tersebut kepentingan pribadi sebagai dasar tindakan ekono
mi. Dikatakan bahwa perhitungan ekonomi harus secara eksklusif didasark
an pada maksimalisasi utilitas individu tetapi mencakup perhatian altruistik
untuk kebaikan bersama dan untuk individu manusia lainnya.
Dalam perspektif koreksi etika ekonomi seperti itu, kami menganggap pela
ku ekonomi sebagai individu, yang membuat perhitungan ekonomi yang di
perluas untuk mencakup tanggung jawab atas manusia lain dan masyarak
at yang mengintegrasikan perhitungan ekonomi ke dalam norma moral dan
etika yang berdasar. adat masyarakat
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
1. Etika dalam Sejarah Ekonomi
Melihat hubungan antara bisnis dan etika dalam perspektif sejarah ekonomi, kit
a dapat melihat bahwa gagasan individu memaksimalkan keuntungan rasional
berdasarkan kepentingan pribadi adalah pendatang baru untuk memahami eko
nomi (Denis, 1966, hlm. 7-91). Meskipun kita menemukan pendahuluan konsep
dalam filsafat materialis klasik Epicure, hanya dengan para pemikir ekonomi mo
dern di abad keenam belas dan ketujuh belas dalam kombinasi dengan muncul
nya ekonomi kapitalis otonom berdasarkan efisiensi dan utilitas bahwa pandan
gan pelaku ekonomi ini menjadi dominan.
Konsep netralitas politik dan sosial pasar telah muncul dalam konteks pasar ek
onomi independen ini. Dalam ekonomi politik klasik, aksi pasar dipahami dalam
perspektif komunitas politik. Aristoteles misalnya berpendapat bahwa kekayaan
dan uang bukanlah barang yang dicari manusia untuk nilainya sendiri, melainka
n sebagai sarana untuk memperoleh kehidupan yang baik dalam masyarakat
(Aristoteles, 1:9). Selain itu, Thomas Aquinas mengembangkan doktrin "harga y
ang adil" di mana hubungan pertukaran ekonomi didasarkan pada penghormat
an terhadap hukum alam dan keadilan politik dalam masyarakat (Aquinas, 196
6, hlm. 74-75 & 83).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Pada saat yang sama, dengan Adam Smith kita dapat melihat awal dari
emansipasi ekonomi dari filsafat moral. Dengan munculnya individu mo
dern, dimungkinkan untuk menemukan konsep tindakan rasional yang
sepenuhnya didasarkan pada cinta diri dan egoisme individu (Dupuy, 1
992, hlm. 77).
Smith tampaknya berpendapat bahwa hubungan sosial yang lebih luas
antara orangorang dan sentimen moral timbal balik lainnya juga dapat
menjadi dasar bagi tindakan ekonomi. Namun, kita harus ingat bahwa s
impati dalam perspektif Smith dianalisis sebagai bagian dari kepekaan i
ndividu (Dupuy, 1992, hlm. 84).
Oleh karena itu, bahkan Smith berpendapat bahwa maksimalisasi utilita
s harus dilihat dalam perspektif kebajikan lain seperti kemurahan hati d
an keadilan (Sen, 1987, hlm. 22-23).
Bab 8 Dari Krisis Finansial ke ...
Menurut pandangan ini, konsep kesejahteraan dan rasionalitas dalam pemiki
ran ekonomi neoklasik harus diperhatikan sesuai dengan prinsip-prinsip etik
a. Kita harus melihat lebih dekat pada aspek etika motivasi manusia dan me
ngintegrasikan pertanyaan tentang kehidupan yang baik di bidang ekonomi.
Oleh karena itu, tanpa mengabaikan semua wawasan penting dari ekonomi
positif deskriptif, kita dapat memperdebatkan pandangan normatif teori ekon
omi dengan mengatakan bahwa etika bisnis memberi kita "mata rantai yang
hilang" antara "ekonomi politik" tradisional dan rasionalitas ekonomi mikro.
Namun, mungkin juga ada norma moral yang tidak efisien dari sud
ut pandang ekonomi dan dalam kasus di mana norma tersebut bah
kan tidak dibenarkan dari sudut pandang etika, misalnya, ketika kit
a merasakan diskriminasi atau penindasan terhadap karyawan, hal
itu mungkin dibenarkan untuk tidak dilakukan. untuk menerima nor
ma-norma ini dalam teori ekonomi.
Ekonomi etis dan ekonomi politik terkait dengan teori ekonomi makro
dan ekonomi tindakan rasional. Tapi kita juga bisa membuat hubungan
antara ekonomi etis dan etika bisnis dan filosofi manajemen. Dalam pe
ngertian ini, hubungan antara ekonomi etis dan filosofi manajemen da
n korporasi adalah bahwa ekonomi etis mengusulkan analisis kerangk
a institusional dan ekonomi dari refleksi tentang filosofi manajemen da
n korporasi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
1. Konsep Ekonomi Etis
Kerangka kerja untuk etika bisnis dan filsafat ekonomi ini diringkas o
leh Koslowski dengan definisi ekonomi etis sebagai berikut:
Etika ekonomi atau ekonomi etis, karenanya, di satu sisi, adalah teo
ri ekonomi tentang etika dan ekonomi dan institusi dan aturan etis, d
an, di sisi lain, etika ekonomi. Seperti halnya ekonomi politik, ia me
miliki makna ganda.
Teori etika yang menggunakan instrumen analisis ekonomi, teori etik
a yang berorientasi pada ekonomi, seperti halnya ekonomi politik ad
alah teori politik yang menggunakan instrumen analisis ekonomi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Jadi dengan definisi ini kita dapat mengatakan bahwa Peter Koslo
wski membuka analisis etika bisnis sebagai filosofi praktis manaje
men. Ini termasuk penyelidikan tema seperti tanggung jawab sosia
l perusahaan, manajemen berbasis nilai, dan kewarganegaraan pe
rusahaan dalam kerangka ekonomi etis.
Dalam perspektif pendekatan Koslowski, kita dapat memperdebatk
an pendekatan budaya dan sejarah ekonomi yang mencakup pend
ekatan penilaian etis antara hukum, ekonomi, dan politik.
Dalam definisi Koslowski, etika adalah tentang kebaikan dan kebaji
kan manusia, sedangkan ekonomi menyangkut desain institusi ma
nusia berdasarkan kepentingan pribadi dan rasionalitas ekonomi.
Kedua disiplin tersebut didasarkan pada tindakan manusia dan ke
dua disiplin tersebut bekerja dengan konsep rasionalitas (Koslows
ki, 2008, hlm. 1).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Koslowski menganggap ekonomi etis ini sebagai pengembalian ke
filosofi praktis yang lebih tua, yang didirikan oleh Aristoteles, Kant,
dan Adam Smith. Ini adalah tugas ekonomi etis untuk mengintegra
sikan kembali pendekatan ini dalam pemikiran ekonomi.
Ekonomi etis bertujuan untuk mengintegrasikan kembali etika dala
m teori ekonomi untuk menempatkan konsep abstrak “homo econo
micus” dalam lingkup sosial dan budaya masyarakat.
Ini berarti bahwa etika seharusnya tidak hanya menjadi meta-etika
filosofis yang abstrak, tetapi juga refleksi etis yang konkret tentang
tindakan manusia dalam keadaan sosial yang konkret.
Etika ekonomi dalam ekonomi etis harus etika praktis berurusan d
engan situasi kehidupan konkret tindakan manusia (Koslowski, 20
08. hlm. 5).
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
2. Kebutuhan akan Ekonomi yang Etis Saat Ini
Masalah perubahan iklim global dapat karena dampaknya yang serius terh
adap kehidupan global, menjadi salah satu pendorong peningkatan kesada
ran akan perlunya tindakan yang berkaitan dengan degradasi lingkungan
(Levy & Newell, 2005, hlm. 85).
Korporasi dan institusi yang menghadapi masalah ini mulai menyadari bah
wa mereka perlu menangani masalah lingkungan secara serius untuk men
dapatkan penghargaan sosial dan tampil sebagai warga korporat yang baik
(Rendtorff, 2015b)
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Perlunya pengkajian ulang teoretis tentang gagasan keberlanjutan
adalah karena krisis ekonomi dunia saat ini. Kita dapat menyebutkan kris
is keuangan pada tahun 2008 yang dapat dianggap sebagai krisis lingku
ngan yang menunjukkan bahwa ada batas untuk pertumbuhan dan bahw
a model ekspansi, kredit, dan keuntungan saat ini tidak membantu meny
elesaikan masalah lingkungan (Nielsen, 2013).
Dari perspektif ini, bahwa kita membutuhkan ekonomi kelangkaan di man
a kita perlu beralih dari era banyak ke era kelangkaan. Dalam konteks ini
lah kita berbicara tentang perlunya ekonomi ekologi baru dan perlunya tr
ansisi besar yang menantang mitos pertumbuhan abadi dan membantu
menyelesaikan krisis keuangan, pangan, dan iklim (Nielson, 2013).
Memang, mengembangkan strategi bisnis yang berkelanjutan untuk tran
sisi hijau bisnis besar seperti itu. Strategi ini harus melampaui konsep pe
rtumbuhan menuju kombinasi berkelanjutan antara bisnis dan pertumbuh
an hijau. Ekonomi berkelanjutan seperti itu akan menjadi ekonomi yang
mengakui bahwa Bumi bukanlah sistem pertumbuhan tanpa batas.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
4. Melampaui Etika Lingkungan Antroposentris
Di antara banyak konsepsi yang berusaha melampaui etika antroposentris,
tema umumnya adalah ancaman kehancuran kondisi kehidupan di Bumi. A
palagi pemikiran semacam ini ditandai dengan kritik keras terhadap buday
a teknologi dan ekonomi kapitalis.
Gerakan filosofis kritis semacam itu menuntut pemahaman baru tentang hu
bungan antara manusia dan alam. Posisi lain melangkah lebih jauh, dan be
rdebat dari sudut pandang universalisme, memberikan alam dan hewan de
ngan status moral yang sama seperti manusia. Ini sering dikombinasikan d
engan pendekatan ekologi dalam yang menempatkan status moral yang un
ik untuk alam.
Argumen-argumen ini mengusulkan untuk mengatasi batas-batas etika yan
g antroposentris, sehingga etika tidak lagi didasarkan pada subyek individu
yang rasional. Posisi nonantroposentris menunjukkan hubungan yang erat
antara alam dan dunia kehidupan manusia. Hal ini juga terjadi diMasa Dep
an Kita Bersama (WCED, 1987)
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Dari sudut pandang ini, korporasi perlu menjadi warga korporasi yang baik yan
g memikul tanggung jawab fundamentalnya terhadap masyarakat dan lingkung
an.
Perusahaan ini juga memperhitungkan kebutuhan untuk menghadapi masalah
perubahan iklim. Selain itu, perusahaan bisnis perlu bekerja dalam kaitannya d
engan konsep baru keberlanjutan. Dalam konteks ini kita dapat melihat gagasa
n perusahaan yang seimbang sebagai cara ketiga yang menggabungkan keberl
anjutan dan pertumbuhan dengan cara baru yang mengatasi ketegangan antar
a pertumbuhan dan non-pertumbuhan dalam perdebatan tentang bisnis dan lin
gkungan.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
Kami menekankan bahwa konsep keseimbangan dalam pengertian etika bi
snis berkaitan dengan pembenaran nilai secara internal dan eksternal, dan
dalam kaitannya dengan fungsi bisnis berkaitan dengan masyarakat, integr
itas, dan manajemen pemangku kepentingan. Memang kita bisa menginteg
rasikan kepedulian terhadap perubahan iklim dalam strategi bisnis ini.
Perjuangan melawan perubahan iklim dan pemanasan global merupakan b
agian penting dari CSR, karena masalah perubahan iklim telah menjadi be
gitu mendesak bagi upaya kita untuk melestarikan Bumi.
Mengelola perusahaan yang seimbang berarti menghubungkan praktik bis
nis dengan konsep keberlanjutan yang baru dan didefinisikan ulang. Hal ini
memungkinkan bisnis untuk mendapatkan keselarasan yang lebih besar de
ngan lingkungan, dengan mempertimbangkan triple bottom line untuk men
yeimbangkan korporasi.
Bab 9 Ekonomi Etis dan ...
7. Menuju Agenda Penelitian untuk Ekonomi Beretika
Terimakasih