Anda di halaman 1dari 32

DISKUSI TOPIK:

MYASTHENIA GRAVIS

Timotius Alvonico (1406568394)


Yusuf Ananda Fikri (1406568406)
DEFINISI

“kelainan taut saraf otot • Memburuk dengan aktivitas >< membaik dengan
istirahat
yang ditandai dengan • Penyebab: penurunan AChR  antibody
autoimun
kelemahan fluktuatif pada • Faktor yang berperan: jenis kelamin, hormone,
otot-otot skeletal, yaitu otot- kelainan timus

otot ekstraokular, bulbar,


dan proksimal”
< 50 tahun:
2.1 – 5 per 1 36 – 60 ribu > 50 tahun:
7:3
juta kasus (USA) 3:2 (laki-laki)
(perempuan)
ANATOMI
DAN
FISIOLOGI
PATOFISIOLOGI

Cara kerja antibodi anti-AChR:


• meningkatkan turnover AChR
• aktivasi kaskade komplemen
yang membentuk MAC
• blockade situs aktif AChR
+
Presynaptic rundown

 Penurunan efisiensi dan


kelemahan otot
PATOFISIOLOGI

Antibodi Antibodi
MuSK LRP4
KLASIFIKASI
KLASIFIKASI
• Bersifat fluktuatif  tergantung intensitas aktivitas pasien
• Terdapat pola khas: otot kranial (awal)  generalisata (lanjutan 
85% kasus)
• Gambaran khas:
• Diplopia dan ptosis (keluhan utama)
• Ekspresi geram/snarling ketika tersenyum

MANIFESTASI • Kelemahan saat mengunyah  butuh bantuan tangan (tripod


position)

KLINIS • Perubahan suara: Nasal timbre  kelemahan palatum; diartrik


mushy  kelemahan lidah
• Kelemahan saat menelan (palatum lidah faring) 
regurgitas/aspirasi
• Kelemahan ekstremitas proksimal; asimetris; reflex terjaga
• Kelemahan ekstensor leher  sulit menegakkan kepala
• Kelemahan otot bulbar dan pernafasan  sulit menarik nafas
saat berbaring /bungkuk
DIAGNOSIS

• Anamnesis
• KU: kelemahan/lumpuh otot
mata (diplopia atau ptosis) +
anggota tubuh (deltoid, triseps,
ekstensor jari + otot nervus
kranialis

• Pemeriksaan fisik
DIAGNOSIS

• Tes klinis sederhana • Uji tensilon


1. Dosis inisial: IV 2 mg

Tes 2. Amati perbaikan MG


Tes hitung 3. tambah 8 mg apabila tidak ada perubahan
Wartenberg (dapat terjadi SE)
4. Persiapkan atropine 0.6 mg IV
 alternative: AChE oral

Ice pack eye • Uji prostigmin


test • Sama dengan uji tensilon  bahan uji prostigmin
1.5 mg/3 ml IM
• Serologi
• Antibodi anti-AChR  85% (negative pada pasien
timoma tanpa MG)
• Antibodi anti-MuSK  40%
• Radiologi
• Timoma?
• Elektrodiagnostik
DIAGNOSIS • Repetitive nerve stimulation  spesifik tp tidak sensitif
• Pada otot ocular, proksimal, distal
• Gelombang elektrik pada nervus otot yang dinilai
• Penurunan amplitude 10 – 15% = MG
• Single fiber electromyelography (SFEMG) 
pencatatan instabilitas sebelum blok taut saraf otot 
sensitive tetapi tidak spesifik
Sklerosis multipel

Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome

Botulisme
DIAGNOSIS
BANDING Neurasthenia

Gangguan tiroid

Sphenoid ridge meningioma


TATA LAKSANA

Antikolinesterase Kortikosteroid Imunosupresan

Plasmaferesis &
Timektomi
IVIg
• Menghambat kerja enzim asetilkolinesterase dalam memecah
asetilkolin  meningkatkan kadar ACh dalam taut saraf otot
• Jenis yang sering digunakan: piridostigmin dan neostigmin.
• Dosis piridostigmin berkisar antara 30-90 mg dan diberikan
setiap 6 jam sekali, sedangkan dosis neostigmin berkisar
antara 7,5 mg hingga 45 mg dan diberikan setiap 2-6 jam
sekali.
ANTIKOLINESTERASE • Antikolinesterase jangka panjang juga dapat diberikan pada
pasien yang mengeluhkan kelemahan otot pada malam hari
atau saat bangun tidur. 2
• Frekuensi, jumlah dosis, dan waktu meminum obat
disesuaikan pada masing-masing pasien.
• Overdosis obat antikolinesterase justru dapat meningkatkan
kelemahan otot, karena overstimulasi dari sistem kolinergik
dapat menyebabkan blokade depolarisasi.
Gastrointestinal Sistem respirasi Mata Kelenjar Jantung

Kram perut Bronkokonstriksi Miosis pupil Lakrimasi Bradikardia


Diare, mual muntah Peningkatan sekresi Kongesti Salivasi Hipotensi
bronkus konjungtiva Hiperhidrosis

EFEK SAMPING ANTIKOLINESTERASE


• Indikasi: pada myasthenia gravis yang tidak
berespon terhadap obat-obatan antikolinergik
• Kortikosteroid yang umumnya diberikan 
prednison, dosis awal 15-20 mg/hari,
dinaikan secara bertahap atau hingga tercapai
dosis maksimal 50-60 mg/hari
K O RT I K O S T E R O I D • Dosis dapat diturunkan secara bertahap ketika
sudah mencapai respon klinis
• Setelah tercapai dosis minimum yang masih
memberikan efek terapeutik, kortikosteroid
dapat diberikan secara berselang (alternate-
day schedule) untuk meminimalisasi efek
samping.3
IMUNOSUPRESAN

• Indikasi: pasien MG yang tidak berespon terhadap  Efek samping: hepatotoksisitas


antikolinergik dan timektomi
• Siklosporin
• Efektivitas tinggi
 Inhibitor kalsineurin  berikatan dengan imunofilin
• Kekurangan: onset perbaikan yang lama, efek samping,
biaya yang mahal, dan kebutuhan untuk memantau efek  Efek samping utama pada penggunaan siklosporin
samping obat dalam jangka panjang.2,3,4 adalah toksisitas ginjal, hipertensi, tremor, hipertrikosis,
hiperplasia gingiva, dan infeksi
• Azathioprine
 Risiko kanker kulit >>>>  hindari paparan sinar
 Umumnya digunakan sebagai terapi ajuvan pada pasien matahari berlebihan
yang kurang berespon terhadap prednison, atau sebagai
terapi utama pada pasien yang memiliki kontraindikasi  Takrolimus  efek samping lebih rendah
terhadap pemberian prednison • Imunosupresan lainnya: siklofosfamid, mikofenolat mofetil
(MMF), dan rituximab.4
• Indikasi: gejala akut dan krisis miastenia, tidak dapat
mentoleransi atau tidak berespon pada obat-obatan
imunosupresan, atau sebelum menjalani timektomi.
• Tujuan: untuk memberikan perbaikan klinis segera.
• Plasmaferesis dan pemberian imunoglobulin intravena
PLASMAFERESIS & menyebabkan penurunan antibodi anti-AChR jangka
IMUNOGLOBULIN pendek dan menyebabkan perbaikan klinis.3
I N T R AV E N A ( I V I G ) • Penelitian yang dilakukan oleh Barth dkk. (2011)
menyatakan bahwa efektivitas IVIg sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan plasmaferesis, di mana 69%
pasien mengalami perbaikan setelah IVIg dan 65%
pasien mengalami perbaikan setelah plasmaferesis.5
• Hiperplasia timus ditemukan pada sekitar 60%-70% pasien MG dan
timoma ditemukan pada sekitar 10%-15% pasien MG.
• Peran kelenjar timus pada MG dengan autoantibodi AChR disimpulkan
berdasarkan:
1) angka abnormalitas kelenjar timus yang tinggi (> 80%) pada
penderita MG
2) kelenjar timus memiliki seluruh elemen yang dibutuhkan untuk
menginisiasi respon autoimun pada AChR, dan;

TIMEKTOMI
3) angka remisi yang tinggi pada pasien yang menjalani timektomi
total.6
• Abnormalitas kelenjar timus pada MG dapat berupa hiperplasia folikel,
hiperplasia difus, involusi timus, dan timoma
• Keuntungan dan indikasi timektomi pada pasien MG masih menjadi
kontroversi.
• Angka remisi dapat mencapai 35% apabila prosedur timektomi
dilakukan dalam jangka waktu satu hingga dua tahun setelah onset MG.
• Indikasi timektomi menurut Aydin dkk. (2017):
1) seluruh pasien MG dengan timoma
2) pasien MG dengan autoantibodi AChR
KOMPLIKASI

Krisis
Krisis
kolinergi
miastenia
k
KRISIS MIASTENIA

• Eksaserbasi dari gejala-gejala MG, di mana terjadi perburukan dari


kelemahan otot bulbar dan otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas sehingga perlu dilakukan bantuan
ventilasi/intubasi
• Faktor pencetus: infeksi (40%), stres emosional, mikroaspirasi,
obat-obatan, tindakan operasi, atau trauma.
• Diagnosis krisis miastenia:
• Kapasitas vital paksa < 1 L
• Negative inspiratory force < 20 cmH2O
• Kebutuhan untuk memasang bantuan ventilasi
• Hiperkapnia dan/atau hipoksemia pada analisis gas darah
MANAJEMEN
KRISIS
MIASTENIA

• Penilaian secara bertahap


• Impending myasthenic crisis 
otot-otot bulbar, otot-otot
interkostalis dan otot-otot
aksesoris mengalami kelemahan
terlebih dahulu sebelum otot
diafragma.7
• Kriteria intubasi:
INDIKASI
INTUBASI

• 20/30/40 rule:
• FVC < 20 ml/kg  batuk kering,
atelektasis, dan hipoksemia
• NIP < 30 cmH2O  kelemahan otot-otot
inspirasi dan diafragma
• PEP < 40 cmH2O  gangguan otot-otot
ekspirasi
• Indikasi absolut intubasi: henti jantung atau
henti napas, penurunan kesadaran, syok,
aritmia, kelainan gas darah berat, dan disfungsi
bulbar dengan aspirasi.
• Apabila pasien masih mengeluhkan kesulitan
bernapas, ekstubasi tidak boleh dilakukan
walaupun kriteria ekstubasi sudah terpenuhi
dan/atau analisis gas darah sudah mencapai
batas normal.7
MANAJEMEN
KRISIS
MIASTENIA

• Pemberian obat-obatan antikolinesterase


harus dihentikan karena tidak diperlukan
pada situasi ini dan dapat menyebabkan
krisis kolinergik.
• Plasmaferesis atau pemberian IVIg
merupakan tata laksana standar yang perlu
dilakukan pada kasus krisis miastenia.
• Kortikosteroid dosis tinggi (prednison 60-
100 mg per hari) dapat diberikan bersamaan
dengan pemberian IVIg atau plasmaferesis
 hanya dapat diberikan pada setting
ICU
• Kontraindikasi relatif pemberian
kortikosteroid: infeksi, DM, dan
osteoporosis berat
KRISIS
KOLINERGIK   Krisis miastenia Krisis kolinergik
Denyut nadi Takikardia Bradikardia

• Kondisi klinis yang terjadi akibat


Kekuatan Lemah Lemah dan terdapat
stimulasi berlebihan dari reseptor otot fasikulasi
nikotinik dan muskarinik pada
neuromuscular junction dan Pupil Normal atau dilatasi Konstriksi
sinaps
• Disebabkan oleh inhibisi atau Kulit Dingin Hangat dan flushed
inaktivasi enzim
asetilkolinesterase yang berperan Sekresi Normal Meningkat
dalam degradasi asetilkolin.
Tes Perbaikan Perburukan
• Gejala yang muncul: kram
abdominal, hipersalivasi, neostigmin
lakrimasi, kelemahan otot,
paralisis, fasikulasi, diare, dan
gangguan penglihatan.
Penilaian airway, breathing,
circulation

MANAJEMEN
KRISIS Pemberian atropine
KOLINERGIK

Cek tanda-tanda atropinisasi


(takikardia, kulit hangat, kering,
dan flushed, dan midriasis
pupil)
• Perjalanan klinis pada • Faktor prediktor
miastenia gravis: remisi, terjadinya relaps:
relaps, eksaserbasi, dan
kematian. • antibodi Anti-Kv1.4

• Sekitar 38% pasien MG • Hiperplasia timus


mengalami remisi • Tidak ada perbedaan
• Faktor prediktor prognosis MG dari segi
terjadinya remisi: jenis kelamin
PROGNOSIS • Timektomi • Wang dkk. (2017): 34
dari 40 (85%) subjek
• Pemberian dengan MG okular
kortikosteroid berkembang menjadi
secondary generalized
• Waktu terdiagnosis MG
setelah muncul onset
• Usia saat onset < 40
tahun
1. Hauser SL, Josephson SA. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 4th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2017.

2. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2014.

3. Sanders DB, Evoli A. Immunosuppressive therapies in myasthenia gravis. Autoimmunity. 2010 Aug; 43(5-6):428-35.

4. Barth D, Nouri MN, Ng E, Nwe P, Bril V. Comparison of IVIg and PLEX in patients with myasthenia gravis. Neurology. 2017 Jun; 76:2017-23.

5. Aydin Y, Ulas AB, Mutlu V, Colak A, Eroglu A. Thymectomy in myasthenia gravis. Eurasian J Med. 2017 Feb; 49:48-52.

6. Godoy DA, de Mello LJV, Masotti L, Napoli MD. The myasthenic patient in crisis: an update of the management in neurointensive care unit. Arq
Neuropsiquiatr. 2013; 71(9):627-39.

7. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis: subgroup classification and therapeutic strategies. Lancet Neurol. 2015; 14:1023-36.

8. Adeyinka A, Kondamudi NP. Cholinergic Crisis. 2018 Feb 25 [Cited 2018 Apr 22]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls

REFERENSI
Publishing; 2018 Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482433/

9. Li ZY. China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis. Neuroimmunol Neuroinflammation. 2016; 3:1-9.

10. Wakata N, Iguchi H, Sugimoto H, Nomoto N, Kurihara T. Relapse of ocular symptoms after remission of myasthenia gravis-a comparison of
relapsed and complete remission cases. Clin Neurol Neurosurg. 2003; 105:75–7.

11. Suzuki S, Nishimoto T, Kohno M, Utsugisawa K, Nagane Y, Kuwana M, Suzuki N. Clinical and immunological predictors of prognosis for
Japanese patients with thymoma-associated myasthenia gravis. J Neuroimmunol. 2013; 258:61–6.

12. Mao ZF, Mo XA, Qin C, Lai YR, Olde Hartman TC. Course and prognosis of myasthenia gravis: a systematic review. Eur J Neurol.
2010;17:913–21.

13. Wang L, Zhang Y, He M. Clinical predictors for the prognosis of myasthenia gravis. BMC Neurology. 2017; 17:77.
DI SKUSI
• Hendra: gejala MG awalnya bagaimana?
• Awalnya biasanya muncul gangguan ekstraokular (diplopia, ptosis), lalu muncul kelemahan otot bagian proksimal, lalu generalized
• Retta: kalo dari PF nya normal, tapi ada kelemahan otot, assess nya apa?
• Christian: mana pemeriksaan penunjang yg paling perlu?
• Bedain sesaknya MG dan sesak yg lain? Saat bernapas otot yg dominan adalah otot abdominal
• Kalo kolinergik biasanya gejalanya serupa dgn keracunan (miosis, dll)
• Pemeriksaan antibody bisa tapi lama
• CT scan thorax perlu di seluruh MG (bukan hanya MG ocular saja) untuk cari timoma
• Beta: bagaimana hubungan antara faktor pencetus miastenia dgn krisis miastenia? Kapan kita lakukan tes neostigmine u/ membedakan
krisis miastenia dan kolinergik
• Krisis kolinergik  paling sering gejalanya diare dan hipersalivasi.
• Tes tensilon jarang dilakukan
• Kevin: gejala ocular apakah harus ada pada miastenia gravis? Bagaimana memastikan bahwa pasien memang mengalami kelemahan
otot?
• Dapat ditanyakan kelemahan ototnya munculnya saat kapan, pencetusnya apa
• Bisa juga dari tes klinis sederhana
• Apakah harus ada ptosis? Tidak harus (80%), bisa saja disfoni atau bisa saja langsung seluruh tubuh
• Dr. Fitri: Bisa pake ice pack test. Setelah dipasang 30-60 detik matanya sudah membukab
DISKUSI

• Andrew: kenapa pengobatannya pakai antikolinesterase? Remisi dan


relapsnya kapan?
• Remisi dan relaps tergantung dari individu pasien karena MG merupakan
autoimun
• Pengobatan terus dilakukan, tidak distop
• Kwa: apakah perlu discreen penyakit autoimun lainnya?
• Tidak ada evidence basednya, tp boleh saja discreening
• Kebas: apakah ada faktor risiko MG?
• Tidak ada (penyakitnya multifactorial)

Anda mungkin juga menyukai