RS PKU Muhammadiyah Surakarta Sepsis respons sistemik dari pejamu (Host) terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dlm sirkulasi darah aktivasi proses inflamasi. Dua keadaan yg terjadi dlm patogenesis sepsis yaitu infeksi dan inflamasi. Patogen dan komponennya pencetus terjadinya proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi (sistem koagulasi, makrofag, netrofil, limfosit, endotel, sitoin, kemokin, komplemen, mediator lipid, faktor koagulasi, fibrinolis dan antikoagulan) Berbagai terminologi terkait dg sepsis : bakterimis, toksomia, SIRS (systemic, inflamatory response syndrome), sepsis dan gagal multi organ. Bakterimia dan toksomia terjadinya bakteria atau toksin didalam sirkulasi darah. Sedangkan SIRS menunjukkan terdapatnya respons terhadap inflamasi berupa ↑ suhu >38oC atau < 36oC takhikardi. Takipnu, ↑ lekosit atau lekopeni atau ↑ lekosit muda dalam darah (batang > 10%).
Manifestasi SIRS dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan selain sepsis seperti : Emboli paru, infark miokard akut, pankreatitis akut, luka bakar dan berbagai keadaan lainnya.
Gambaran klinis sepsis yaitu manifestasi SIRS dan
disfungsi organ, takikardi, takipnu, PCO2 < 32 mmHg, disfungsi organ GCS < 15, HCO HCO3 < 22meq/1 Hmt < 39, ↑kreatinin > 2. Berbagai faktor resiko dan komorbiditas : Imunokompromis, imunosupresif, diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal dan hati kronik, keganasan, tindakan bedah, usia lanjut.
Dalam penetapan diagnosis sepsis seringkali dapat
kesulitan, karena hasil kultur darah baru didapat setelah beberapa hari perawatan, hasil kultur + antara 30-50%, sedangkan terapi imperik perlu segera diberikan.
Pada beberapa keadaan/komorbiditas, seperti diabetes
melitus, penyakit ginjal kronik, imunosupresi/imunokompromis dan usia lanjut, manifestasi demam seringkali tidak nampak sehingga seringkali sepsis tak terdiagnosis. Keberhasilan pengobatan sepsis tergantung pada penetapan diagnosis secara dini, diperlukan ketelitian dalam mengenali tampilan klinis.
Disfungsi organ dengan organ dengan pertimbangan
terdapatnya faktor resiko komorbiditas. Terapi antimikroba yang tepat (appropriate) dan optimalisasi terapi suportif perlu segera diberikan untuk meningkatkan keberhasilan dan pencegahan mortalitas.
Bila terjadi kelambatan penanganan, pasien dalam
keadaan gagal multi organ & renjatan pengobatan lebih lama, biaya besar dan keberhasilan rendah. Berbagai organ seringkali sumber infeksi perlu mendapatkan perhatian khusus. Pada organ gastrointestinal, sepsis umumnya bersumber dari infeksi hepar, kandung atau saluran empedu, kolon, usus halus dan peritonitis. Pada organ genitourinarius dapat bersumber dari empiema, abses paru, pneumonia, komunitas atau nosokomial. Sumber infeksi lain yg perlu diperhatikan adalah unstrumentasi berupa kateter intravena (kateter vena sentral, endokarditis bakterial dan sumber infeksi di susunan saraf pusat (meningitis atau abses). Penatalaksanaan sepsis yg optimal mencakup : Eliminasi patogen penyebab infeksi, Mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, Terapi antimikroba yang sesuai, Resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan, Vasopresor dan inotropik, Terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulari dan Terapi imunologik bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi. Dilakukan pada penderita sepsis berat dengan hipotensi atau renjatan. Resusitasi dilakukan secepat mungkin, secara intensif dalam 6 jam pertama, mulai sejak pasien tiba di UGD. Terapi mencakup : Airway Breathing Ciroulation dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau keloid), vasopresor/inotropik dan tranfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata 65 mmHg dan preduksi urin > 0,5 ml/jam. Pemberian cairan kristaloid dan keloid bolus 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai CVP 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata kurang dari 65 mmHg diberikan vasopresor hingga lebih dari 65 mmHg dan bila tekanan arteri rata-rata lebih dari 90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan dg tujuan menghilangkan patogen penyebab, karena antibiotik pada umumnya telah mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yg mengalami obstruksi dan implan prostetik yg terinfeksi. Bila sumber telah diidentifikasi, misal dari organ intra abdominal atau pelvis tindakan berupa drainase, melepaskan obstruksi, reseksi organ atau lavase diperlukan mengontrol sumber proses sepsis. Bila sumbernya dari organ genital urinarius baik abses, obstruksi dan infeksi karena batu ginjal atau vesika perlu tindakan bedah segera. Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Dalam terapi antimikroba secara empirik, pemilihan jenis antimikroba dg spektrum mencakup kemungkinan patogen penyebab, profil farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan, dan biaya perli dipertimbangkan. Pada sepsis umumnya disebabkan bakteri Gram negatif, antibiotik yg dpt mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan , terutama ketika terjadi proses inflamasi yg hebat akibat pelepasan endotoksin, misal pada sepsis berat dan gagal multi organ. Berbagai antibiotik dapat digunakan pada sepsis dan memberikan hasil yg sama asal efektif membunuh patogen penyebab, dapat mencapai sumber infeksi dan diberikan dg dosis yg optimal. Monoterapi atau kombinasi dapat digunakan asalkan regimen yg diberikan memiliki efektifitas yg tinggi terhadap patogen. Pada sepsis yg disebabkan oleh kateter intravena (iv line) atau materi prostese, yg perlu dilakukan adalah melepas kateter/prostese yg dicurigai sbg penyebab, melakukan kultur darah dan ujung kateter, memberikan terapi antibiotik yg mencakup S. aureus dan Gram negatif aerob termasuk Psudomonas aeruginosa. Pada sepsis berat & renjatan septik telah terjadi gangguan atau kegagalan pada beberapa atau bahkan pada banyak organ. (sistem respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati, gastrointestinal, hematologi & susunan saraf pusat). Terapi suportif sangat penting dalam terapi sepsis mencegah & mengatasi komplikasi akibat sepsis kondisi pasien dpt dipertahankan / diperbaiki sebelum antimikroba bekerja. Terapi mencakup oksigenasi dan ventilator, terapi vasopresor/inotropik, terapi cairan dan nutrisi, dialisis, transfusi darah/plasma. Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sbg akibat disfungsi / kegagalan sistem respirasi krn gangguan ventilasi maupun perfusi. Transport (delivery) oksigen ke jaringan dpt terganggu krn hipovolemik dan disfungsi miokard Penurunan curah jantung. Pada hipoksemia berat & gagal napas bila disertai dg penurunan kesadaran atau kerja ventilase yg berat, ventilase mekanik perlu segera dilakukan.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dg
upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transport oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di darah, meningkatkan transport oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan. Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat peningkatan kapasitas vaskular (penurunan venous return), dehidrasi , perdarahan dan kebocoran (leakage) plasma. Pada keadaan hipovolemik gangguan transport oksigen dan nutrisi ke jaringan hipotensi dan renjatan. Hipovolemia pada sepsis pemberian cairan baik kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat), maupun koloid. Kristaloid pilihan awal, lebih murah, mudah didapat, tetapi perlu diberikan dg volume yg lebih besar (dimonitor kecukupannya tidak kurang / tidak berlebih.
Respons thd pemberian cairan ↑ tekanan
darah, frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstromitas, produksi urin, membaiknya tingkat kesadaran. Kelebihan cairan ↑ tekanan vena jugular, ronki, galop S dan saturasi oksigen. Albumin protein plasma koloid. Mempertahankan tekanan onkotik plasma Transfusi eritrosit (pack red cell) pada keadaan perdarahan aktif, atau pada kadar Hb yg rendah pada kondisi tertentu, misal iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yg dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8 hingga 10 g/dl. Vasopresor diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dg pemberian caiaran secara adekuat, ttp pasien masih hipotensi. Hipotensi terjadi vasodilatasi / disfungsi miokardial penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan secara titrasi mean tekanan arteri (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Vasopresor dapat digunakan dopamin dosis > 8 mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit , phenylepherine 0,5 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yg dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone) Telah lama digunakan dalam mengkoreksi asidemia pada sepsis. Terapi bikarbonat untuk koreksi asidemia pada sepsis saat ini diragukan manfaatnya, bikarbonat sebagai bufer bermanfaat pada tingkat selular, pada sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dg konsekuensi terjadinya gangguan transport karbondioksida dari jaringan, shg akan terjadi pH sel yg semakin rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH<7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/L, dg disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik. Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut, disebabkan gangguan perfusi ke organ tersebut. Bila pasien dlm keadaan hipovolemik atau hipotensi , harus segera diperbaiki dg pemberian cairan secara adekuat, terapi dg vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh karena pemberian cairan secara agresif edema paru. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, secara evidence based tidak terbukti menurunkan mortalitas dan menurunkan kebutuhan akan dialisis. Terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinnyu. terapi pengganti yg saling melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinyu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
Hemofiltrasi punya klebuhan dalam memperbaiki
kontraktilitas miokard, memperbaiki transport oksigen dan memodulasi renspons imunologis melalui bersihan mediator inflamasi. Merupakan terapi suportif yg penting dan harus diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis. Pada sepsis terjadi stress yg menyebabkan gangguan metabolisme berbagai zat nutrisi. Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan secara enteral bila tidak secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah perlu dilakukan, berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan mortalitas. Sebuah studi prospektif acak tersamar ganda pada pasien ICU oleh Van den Berghe dalam pengontrolan secara ketat kadar gula darah dibandingkan dg kontrol gula darah standar. Penelitian pada 1528 pasien dg memberi insulin untuk mencapai target gula darah antara 80-110 mg/dl, pada kelompok kontrol insulin baru diberikan bila kadar gula darah melebihi 115 mg/dl. Didapatkan mortalitas sebesar 10,6 – 20,2 % (p=0,005) pada kelompok coba dibandingkan kontrol. Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya koagulasi & koagulasi intravaskular diseminata (DIC) berupa konsusmsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi.
Pada keadaan terkompensasi, antikoagulan
alamiah (protein C, protein S dan antitrombin III) menghambat pembentukan mikrotrombus disamping kerja fibrinolisis membersihkan mikrotrombus yg terbentuk, shg fungsi organ belum terganggu. Pada sepsis berat atau renjatan aktivitas antikoagulan dan supresi thd proses fibrinolisis mikrotrombus menumpuk di sirkulasi kegagalan organ.
Terapi koagulan : heparin, antitrombin dan
substitusi faktor pembekuan.
Protein C teraktivasi (APC) mrpk produk
rekombinan yg berfungsi koagulan & antiinflamasi, bila diberikan pada sepsis berat (dalam periode 24 jam stlh timbul gagal organ) mortalitas pd sepsis, sediaan ini tidak dpt secara luas digunakan karena harga mahal. Dengan dosis tinggi dicoba sepsis berat & renjatan Tidak terbukti mortalitas. Terapi kortikosteroid hanya diberikan dg indikasi insufisiensi adrenal, & dapat diberikan scr empirik. Hidrokortison dg dosis 50 mg bolus intravena 4 x sehari selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan mortalitas dibandingkan kontrol. 1. Anti-endotoksin (imunglobulin polikonal & monoklonal, analog lipopolisakaride 2. Antimediator spesifik : anti-TNF, antikoagulan (antitrombin, APC, TFPI), antagonis PAF, metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA) 3. Imunostimulator (imunoglobulin, IFN-, G-CSF, imunonutrisi) 4. Non spesifik (kortikosteroid, pentoksifilin dan hemofiltrasi) Hasil uji klinik pada sebagian sediaan hasil positif mortalitas (activated protein C, intravous immunoglobulin, kortikosteroid), tetapi > menunjukkan kegagalan.
Hal ini karena berbagai sediaan bekerja secara
sangat spesifik pada mediator tertentu, dosis bervariasi sesuai beratnya proses inflamasi/sepsis, & diperlukan saat (timing) pemberian yg tepat sebagian mediator memiliki window yg sempit (misal : TNF dan IL-1 dilepaskan dlm jumlah besar pada awal sepsis). Dalam penalaksanaan sepsis terdapat berbagai modalitas terapi baik yg saat ini telah baku digunakan maupun modalitas lain yang potensial diaplikasikan pada mendatang. Diperlukan ketelitian dalam mengenali tanda dan gejala sepsis secara dini, Memberian terapi antinikroba yg tepat dan penanganan suportif bila terdapat disfungsi/gagal organ multipel.