Anda di halaman 1dari 26

Bercita-citalah…

“Barang siapa mati sedangkan ia belum


pernah berjihad, dan ia tidak bercita-cita
untuk berjihad, maka kematiannya pada
salah satu cabang kemunafikan.”
(HR. Muslim dalam Ash-Shahih, III/517)
Haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi,
wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi

Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin,


dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok
hari.
(Hasan Al Banna)
Dalam sebuah majelis, ada seorang Syeikh
yang mengatakan,
“Laa budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam,
wa illa yashluh an yakuuna qaa-idan.”

Seorang pemimpin harus mempunyai banyak


mimpi, jika tidak dia tidak layak menjadi
pemimpin.
Karena menjadi pemimpin berarti menjadi
orang yang cerdas. Yakni berani berpikir
mendahului masanya, meski kadang orang
lain belum bisa memahaminya. Ia juga
obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar
di luar apa yang dipikirkan orang lain. Seperti
yang dilakukan Khidr, hal-hal yang tidak bisa
dipahami dan dimengerti oleh Nabi Musa.
Filosofi cita-cita…
 Keluhuran cita-cita adalah bagian dari
keimanan
 Cita-cita besar itu ibarat dinamo
 Cita-cita besar itu adalah pintu
 Cita-cita besar itu merupakan obat
 Cita-cita ciri kemuliaan
Begitu banyak dan begitu penting untuk
menjadi besar dengan cita-cita besar.
Tapi jangan sekali-kali merasa besar.
Karena merasa besar akan
menumbuhkan penyakit jiwa,
menyebabkan sengsara dan pembawa
derita. Sedang menjadi besar membawa
bahagia.
Jangan Takut Punya Cita-Cita

“Kalau kita memulai langkah dengan rasa


takut, maka sebenarnya kita tidak pernah
melangkah…”
(A.H. Nayyar, Ph.D. Presiden Pakistan
Peace Coalition)
Cita-cita lah yang membawa Imam Ahmad
tegar di tengah cambukan tanpa
menggeserkan sedikitpun keimanan dan
keyakinan yang tertanam.
Cita-cita pula yang menghadirkan cinta
dan kasih sayang ibu terhadap anaknya,
melumurinya dengan doa, menghiasinya
dengan tarbiyah. Seperti pengorbanan
ibunda Imam Syafi’I yang mengorbankan
seluruh hartanya dan menginfaqkan
waktunya untuk melahirkan ulama besar
referensi peradaban Islam.
Cita-cita separo dari sukses

Kesuksesan tidak semata-mata diukur pada


hasil tapi juga pada proses. Proses
merencanakan dengan tujuan yang benar
dan mulia. Proses mengorganisasikan dengan
rapi dan sistematis. Proses melaksanakan
dengan ikhlas, tekun, teliti dan profesional.
Dan proses evaluasi dengan jujur dan
semangat perbaikan tak kenal henti.
“Carilah dari apa yang dianugerahkan
Allah untuk meraih kehidupan akhirat, dan
janganlah kamu lupakan bagianmu dari
kenikmatan dunia.”
(QS. Al Qashash: 77)
Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan
hidup yang jelas. Memiliki kejelasan tujuan
adalah separo dari kesuksesan. Adapun
yang separo itu adalah bagaimana kita
menempuhnya, bukankah begitu wahai
saudaraku?
Ciri-ciri pribadi unggul

1. Orang yang memiliki cita-cita yang


menggelora
2. Mereka yang memiliki jiwa yang membara
3. Mereka yang selalu berusaha dengan giat
4. Mereka yang memiliki kesiapan yang terus
menerus.
Rebut Cita-Cita Dunia
Salah satu bentuk ungkapan cita-cita
adalah doa. Seperti saat orang tua
memberi nama anaknya, ia punya
harapan, doa dan permohonan. “Rabbij
‘alnii muqiimash shalaati wa min
dzurriyaatii…”
Ya Allah jadikan aku dan keluargaku
orang-orang yang mendirikan shalat.
Ini salah satu contoh, doa Nabi Ibrahim
buat diri dan keluarganya.
Kita juga punya doa. Doa sapu jagat,
andalan seluruh umat. Yakni doa
pamungkas, “Robbanaa aatina fiddun-ya
hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa
‘adzaa-bannar.”

Ya Allah berikanlah kami kebahagiaan di


dunia dan berikan pula kebaikan di akhirat
dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.
(QS. Al Baqarah: 201)
Rasulullah saw bersabda, “Dunia itu
adalah perhiasan dan sebaik-baik
perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”
(HR. Muslim)

Lalu siapakah wanita shalihah itu?

“Kalau dipandang menyenangkan hati,


kalau diperintah ia taat, kalau ditinggal
pergi ia menjaga diri dan harta suaminya.”
Raih Cita-Cita Akhirat
Cita-cita dunia diwakili dengan ungkapan,
“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah
engkau akan hidup selamanya…”

Berikutnya mari kita raih cita-cita akhirat,


“Beribadahlah untuk akhiratmu seolah-
olah engkau akan mati besok pagi.”
Mati? Ya kita semua pasti akan mati.
Karenanya yang penting bukan mengapa kita
mati dan kapan kita undur diri, tetapi
bagaimana kita mati dan mempersiapkan diri?
Sebab rasa mati itu sama, tapi sebabnya
beragam, nilainya berbeda. Ada yang syahid
karena taat, ada yang “sangit” karena gosong
dalam maksiat. Ada yang mulia karena takwa,
dan banyak yang hina karena angkara.
Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk
beristirahat. Seperti kata Imam Ahmad
saat ditanya kapan seorang mukmin itu
istirahat?
“Saat ia menginjakkan kakinya di surga.”
Jawab beliau.
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita

Mari kita renungkan. Orang buta bila ia


bersyukur ternyata ia lebih bisa menghafal
Al Quran karena matanya tak sempat
banyak melakukan maksiat. Dengan
modal itulah ia bisa lebih fokus,
menggunakannya untuk lebih banyak
beribadah seperti Abdullah Ibnu Ummi
Maktum.
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita

Orang miskin. Dibalik kekurangannya ia


bisa lebih banyak menyibukkan diri dalam
taqarrub ilallah. Karena hatinya tidak
terlalu disibukkan dengan urusan harta
duniawi yang menyita perhatian dan
perhitungan
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita

Apalagi kalau kaya, kalau fokus sudah


jelas, kekayaannya pun bisa menjadi
berkah seperti Abdurrahman bin Auf,
Utsman bin Affan, Abu Thalhah Al Anshari,
Suhaib Ar Rumi. Mereka para
konglomerat, tapi hidup mereka fokus ke
akhirat. Terhadap dunia hati mereka tak
terlalu terpikat.
Kuncinya, fokuskan apa yang ada untuk
berprestasi yang terbaik. Ahsanu Amala.

“Dialah Allah yang telah menciptakan


kematian dan kehidupan untuk
menguji kamu siapakah diantara
kamu yang paling baik amalnya.”
(QS. Al Mulk: 2)
Innalillahi wa innailahi rooji’un

Anda mungkin juga menyukai