Pasal 34 : berlaku untuk selat yg dipergunakan untuk
pelayaran/navigasi internasional, yaitu yg menghubungkan
sebuah bagian laut bebas dengan bagian laut bebas lainnya , atau menghubungkan sebuah ZEE dengan bagian ZEE lainnya Sebelum UNCLOS 1982 : selat2 yg dipergunakan untuk pelayaran internasional diatur menurut rezim hukum laut bebas, karena lebar laut teritorial negara2 yg berbatasan dengan selat hanya 3 mil . Kedaulatan negara2 yg berbatasan dengan selat dilaksanakan dengan dibatasi oleh ketentuan2 mengenai selat di dlm KHL 1982 dan hukum internasional terkait lainnya Semua kapal laut dan pesawat udara manapun memperoleh hak lintas transit melintasi selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional , dengan kewajiban2 tertentu sbgmn diatur dlm konvensi, a.l : 1. Berlayar dengan cepat dan terus menerus 2. Tdk melakukan suatu tindakan apapun yg mengancam kedaulatan ,integritas dan politik negara yg berbatasan dng selat 3. Tdk melakukan kegiatan di luar pelayaran yg normal (normal mode) , kecuali sdg dlm kondisi force majeure atau keadaan bahaya 4. Mematuhi ketentuan2 terkait dlm konvensi ini Untuk kepentingan keselamatan pelayaran, negara yg berbatasan dengan selat dapat menetapkan alur laut (TSS) yg digunakan untuk pelayaran kapal2. Penetapan TSS harus mematuhi ketentuan2 dan standar2 Internasional Untuk selat yg menghubungkan laut teritorial dengan laut bebas / ZEE tetap diterapkan ketentuan2 dari laut Teritorial Indonesia : Akibat penerapan Pasal 1 UU no. 4/Prp/1960” lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil dan pd selat yg lebarnya tdk melebihi 24 mil dan bila neg Ind tdk merupakan satu2nya negara tepi, maka garis batas laut wil Ind ditarik pada tengah2 selat tsb Malaysia : Agustus 1969 menetapkan lebar laut wilayahnya mjd 12 mil laut yg diukur dr garis2 pangkal yg ditetapkan sesuai dng ketentuan2 Konvensi Jenewa 1958 ttg Laut Wilayah dan Zona Tambahan Krn ada bagian2 di Selat Malaka yg krg dr 24 mil, maka hrs ditarik grs batas yg akan menentukan laut wilayah msg2 negara pantai, yaitu Indonesia dan Malaysia, dengan menggunakan suatu grs tengah (median line) yg diukur dr grs pangkal laut wil masing2 Perjanjian Garis Batas laut wilayah pd tgl 17 Februari 1970, yg kmdn mjd UU No. 2 tahun 1971 Di bag yg tlh mjd laut wil berlaku kedaulatan neg2 pantai Akibatnya : kapal2 asing hrs mematuhi ketentuan lintas damai negara-negara maritim yang saat itu tetap berpegang kepada lebar laut wilayah 3 mil, pada mulanya, tetap mengakui wewenang Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka hanya sejauh 3 mil dari pantai masing-masing. Ini berarti, dalam pandangan mereka, di bagian Selat Malaka yang lebarnya lebih dari 6 mil, pada hakikatnya, masih terdapat bagian dari laut bebas; artinya, pelayaran internasional adalah daerah bebas dan tidak tunduk kepada prinsip-prinsip kedaulatan negara pantai. Selat malaka sbg “ International Strait” atau menuntut rezim “free transit” di selat tsb Konsekuensi : selat tsb memiliki status internasional Selat Malaka sbg “ Strait used for international navigation” dengan rezim “innocent passage” Dasar : Pasal 16 ayat 4 KHL Jenewa 1958 yg menyatakan “ there shall be not suspension of the innocent passage of foreign ships through straits are used for international navigation between one part of the high seas and another part of the high seas or the territorial sea of foreign state ”. Selat Malaka dianggap sbg selat yg digunakan untuk pelayaran internasional dan tdk akan mempengaruhi status hukum selat tsb. Hak lintas yg diberlakukan : hak lintas transit (right of transit passage) yg tdk boleh dihalangi kecuali dlm keadaan2 ttt Ketentuan : lalu dng cepat, tdk mengancam keutuhan wilayah dan kemerdekaan neg pantai dan menghindarkan diri dr kegiatan apapun selama trannsit scr terus menerus lsg dan secepat mungkin Neg pantai diberikan wewenang untuk membuat ketentuan2 yg berhubungan dengan transit passage tsb.