Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH POKOK KEDUA (YAKIN)

Disusun oleh :
Haries Alpiansyah (1911130063)
Pengertian kaidah fiqh

 Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai


pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum
yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-
tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat
menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau
lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku
mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut,
baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.
Pengertian kaidah fiqh tentang yakin

 Yakin dalam kamus besar bahasa Indonesia yang berarti percaya


(tahu, mengerti) sungguh-sungguh; (merasa) pasti (tentu, tidak salah
lagi). Sedangkan arti yakin menurut Al-quran , Yakin yaitu kata
serapan dari bahasa al-Quran yaitu yaqîn. Bahasa Indonesia
menyerapnya dan diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dengan percaya (tahu dan mengerti) sungguh-sungguh. Yakin juga
terkadang dimaknai sebagai sebuah kepastian. Sementara yakin
secara bahasa dalam Maqâyîs al-Lughah mempunyai arti asal:
hilangnya keraguan. Dan memang yakin merupakan antonym dari
ragu.
 Berbicara mengenai term yakin, al-Quran setidaknya membicarakan
kata yakin dan yang seakar dengannya sebanyak 28 kali. 14 kali
dalam bentuk kata kerja (verb). Sisanya berbentuk kata benda (noun).
 Selanjutnya kata yakin dalam al-Quran mempunyai lima ragam
makna. Sejatinya kesemua maknanya berdekatan.
Macam – macam hukum keringanan

 Setiap keyakinan atas kaidah-kaidah hukum islam pastilah banyak hal-hal yang di
perbolehkan di saat kita tidak bisa melaksanakanya atau suatu keadaan yang terpaksa.
Adapun pembagianya dibagi menjadi lima macam, yaitu:
 1. Rukhshah yang hukumnya wajib dikerjakan. Umpamanya, orang yang terancam
jiwanya karena lapar dibolehkan untuk makan bangkai; orang yang sangat khawatir
dengan kesehatannya dibolehkan untuk berbuka puasa sebelum waktunya.
 2. Rukhshah yang hukumnya sunnat untuk dikerjakan. Umpamanya, meng-qashar
shalat bagi orang yang dalam perjalanan; tidak puasa bagi orang yang mengalami
kesulitan dalam perjalanan; atau bagi orang yang sedang sakit.
 3. Rukhshah yang hukumnya mubah untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan.
Umpamanya, jual-beli 76 | Kaidah-kaidah Fiqih dengan sistem salam, yakni jual-beli
dengan pembayaran terlebih dahulu, sedang barangnya dikirim kemudian menurut
perjanjian yang telah disepakati bersama.
 4. Rukhshah yang hukumnya lebih utama untuk ditinggalkan. Umpamanya, men-jama ‟
kedua shalat yang boleh di-jama‟, padahal seseorang itu tidak mengalami kesulitan.
 5. Rukhshah yang makruh hukumnya untuk dikerjakan. Umpamnya, seseorang meng-
qashar shalat padahal jauh perjalannya tidak sampai jarak 3 marhalah (lebih-kurang 84
Km).
Kaidah-kaidah yang disepakati ulama

 1. : “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.” (as-Suyuthi. t.t:71) Kaidah ini
memberikan penjelasan bahwa pada perinsipnya suatu hasil ijtihad yang dilakukan pada
masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan kemudian, baik oleh
seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain. Kaidah dirumuskan berdasarkan
pendapat-pendapat para sahabat ini, dapat dicontohkan pada masalah pembagian harta
warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan dua orang saudara seibu dan
saudara sekandung. Pada mulanya „Umar, berdasarkan ijtihadnya, menetapkan bahwa
saudara kandung yang ashabah itu tidak mendapat bagian karena tidak ada sisa lagi. Pada
saat yang lain, dalam kasus yang sama, „Umar menetapkan bahwa saudara kandung
tersebut sama dengan dua orang saudara seibu dalam pembagian warisan yakni (1/3) harta
peninggalan. Keputusan berdasarkan hasil ijtihad terakhir ini, tidak membatalkan keputusan
berdasarkan hasil ijtihadnya 102 | Kaidah-kaidah Fiqih terdahulu.
 2. Kaidah ini sesungguhnya berasal dari ungkapan „Umar ibn al-Khaththab yang, karena
telah memenuhi kriteria, dapat dipandang sebagai kaidah fiqih. Produk hukum dari ijtihad,
baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif, tidaklah dimaksudkan untuk
diberlakukan untuk setiap tempat dan sepanjang masa, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, sesuai kondisi lingkungan dan wilayah mereka yang tentunya
dipengaruhi oleh tradisi yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai