Anda di halaman 1dari 68

PRESENTASI

KASUS

EPILEPSY
REFRAKTER

CEREBRAL PALSY

P e m b i m b i n g : d r. K a r t i n i S p . A
O l e h : d r. N i l a i j m a s e p t i a n a
Program Internship RS Islam Jakarta Sukapura
IDENTITAS PASIEN
• Nama : An. DTZ
• Usia : 5 tahun 6 bulan
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Status : belum menikah
• Pekerjaan :-
• Agama : Islam
RIWAYAT MEDIS
Dilakukan Autoanamnesa Dan Alloanamnesa Dengan
A n a k P a s i e n P a d a Ta n g g a l 3 A g u s t u s 2 0 2 2 I G D R S
Islam Jakarta Sukapura Pukul 09.41 WIB
Keluhan Utama
Pasien dibawa ke IGD RS dalam keadaan kejang dan menurut orangtua pasien, pasien belum berhenti
kejang selama sekitar 30 menit. Kejang hanya di mulut, mata mendelik ke atas (+), bibir biru (-), mulut
keluar busa (-) pasien tidak merespon ketika dipanggil. Riwayat demam (-) mual (-) muntah (-) batuk (+)
berdahak sejak 2 hari smrs, pilek (-) Keluhan BAB dan BAK (-) Orangtua pasien belum memberikan
obat kejang apapun.
Riwayat kejang 1 bulan terakhir (+), frekuensi kejang perhari bervariasi, dapat berkisar antara 1-20x/hari,
dengan durasi kejang berkisar antara <1 menit – 3 menit dan lokasi kejang tidak seluruh tubuh. Hari
tanpa kejang (+) Pasien riwayat kejang sejak sekitar usia 2.5 tahun.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Menurut ibu pasien, pasien pertama kali kejang saat usia 2.5 tahun dan dibawa ke
RSUD Koja. Saat itu pasien kejang di sisi kanan, kelojotan, demam (-)

Di RSUD Koja pasien dilakukan pemeriksaan CT scan kepala (2019). Hasil :


- Mild brain atrofi
- Curiga adanya Dandy Walker Variant
- Sinusitis maksillaris bilateral

Tahun 2020 dilakukan CT scan ulang di RSUD Koja dengan hasil  tidak nampak
perdarahan, tanda infark / SOL intraparenkim otak

Sekitar1 tahun pengobatan di RSUD Koja, ibu pasien merasa tidak ada perbaikan.
Akhirnya pasien dibawa ke RS Mitra Bekasi

Next…
Agustus 2019
• Tak tampak lesi hipodens/ hiperdens di parenkim otak
• Sulcus dan girus tampak melebar
• Tak tampak deviasi midline
• Ventrikel lateral kanan kiri, ventrikel 3 tak tampak dilatasi /
penyempitan
• Tampak ventrikel 4 yang berhubungan dengan lesi kistrik di posterior
• Cysterna tak tampak kelainan
• Tak tampak kalsifikasi abnormal
• CPA kanan kiri tak tampak kelainan
• Pons tak tampak kelainan
• Cerebellum tampak lebih kecil dari normal
• Orbita dan mastoid kanan kiri tak tampak kelainan
• Tampak opasitas mengisi sinus maksilaris kanan dan kiri
• Calvaria intak
Kesan :
• Mild brain atrofi
• Curiga adanya dandy walker variant
• Sinusitis maksillaris bilateral
November 2020
• Sulcus dan girus normal
• Tak tampak lesi hipodens/ hiperdens di
parenkim otak
• Sistem ventrikel normal
• Tidak tampak midline shifting
• Cerebellum dan batang otak normal
• Tidak tampak kesuraman pada sinus maxillaris
dan sinus ethmoid kanan kiri
• Aircell mastoid kanan kiri normal
Kesan :
• Tidak tampak tanda infark/ perdarahan/ SOL
intraparenkim otak
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Dilakukan pemeriksaan EEG di RS Mitra (31-3-2021). Interpretasi hasil
EEG  disfungsi cerebral umum yang bersifat iritatif

Pasien dirujuk dari RS Mitra (Nov-2021) ke RSUD Bekasi kepada dr. Dina
Sp.A (K) konsultan neurologi anak dengan dx Cerebral Palsy

Maret 2022 pasien dirujuk oleh dr. Dina Sp.A (K) dari RSUD Bekasi kepada
Pemeriksaan dr. Sri H Sp.M (K) di RS Hermina Bekasi untuk dilakukan pemeriksaan mata
audiometri 2021: karena mata pasien tidak focus
Ambang dengar
ADS normal
Dari RS Hermina Bekasi, pasien dianjurkan untuk dirujuk ke RSCM untuk
pemeriksaan mata lebih lanjut

Dari RSCM ditemukan papil atrofi ODS dan tidak ada tatalaksana lebih
lanjut dari RSCM
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
• Pasien anak ke 3 dari 3 bersaudara (2000 – 2005 – 2017)
• Keluhan serupa di keluarga  keponakan ayah pasien menderita autism
• Ibu pasien didiagosis terdapat cairan di otak

Sekitar tahun 2012, ibu pasien memiliki riwayat jatuh dengan posisi kepala
terbentur ke belakang. Sejak saat itu pasien selalu merasa lemas

Pada tahun 2014, dilakukan pemeriksaan pada ibu pasien dan ditemukan terdapat
cairan di otak. Ibu pasien menolak di operasi

Ibu pasien baru mengetahui sedang mengandung pasien An. DTZ saat usia
kehamilan 3 bulan. Dan saat itu ibu pasien masih dalam konsumsi obat Depakote
(sodium divalproat)
RIWAYAT KEHAMILAN, PERSALINAN, DAN
IMUNISASI
• Riwayat kehamilan  - cukup bulan
- tidak sakit / minum sembarangan obat selama kehamilan (kecuali Depakote di
3 bulan kehamilan)
- tidak memelihara hewan peliharaan selama hamil

• Riwayat persalinan - pasien lahir secara SC di RSIJ Sukapura karena ada cairan di kepala ibu
- keadaan saat lahir (RM)  ketuban jernih, tangis kuat, nafas cuping hidung (-)
retraksi (-) sianosis (-) ikterus (-) BB 2615 gram, PB 48 cm, LK 32 cm, apgar
score 9  NCB – SMK
- setelah lahir  NCH (+) retraksi (+) minimal  dr. Novita Sp.A  oksigen
NK 2lpm
• Riwayat imunisasi  imunisasi lengkap hingga umur 9 bulan
RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

• Perkembangan pasien mulai terlihat terlambat saat usia 6 bulan (pasien belum bisa tengkurap)
• Pasien mulai terapi tumbuh kembang di usia 9 bulan
• Perkembangan pasien saat ini:
a) pasien belum bisa berbicara, hanya dapat mengerang
b) Saat ini pasien dapat duduk selama sekitar ½ jam, dan beberapa kali pasien dapat melakukan
perubahan posisi dari tiduran ke posisi duduk
c) Pasien kadang bisa minum sendiri dengan memegang gelas minumnya dengan tangan kiri
d) Sisi kanan tubuh pasien lebih lemah
PERKEMBANGAN
USIA 3–6 BULAN
• Berbalik dari telungkup ke telentang
• Mengangkat kepala setinggi 90°
• Mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil
• Menggenggam pensil
• Meraih benda yang ada dalam jangkauannya
• Memegang tangannya sendiri
• Berusaha memperluas pandangan
• Mengarahkan matanya pada benda-benda kecil
• Mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik
RIWAYAT PENGOBATAN

Pengobatan saat ini dari dr. Dina Sp.A (K) di RSUD Bekasi :
• Vitamin D3 1000  1x1
• Depakene (asam valproate) sirup  2 x 5.5 mL
• Tegretol (carbamazepine)125 mg  2x1 pulv
• Clonazepam 0.1 mg  1x1 pulv
• Keppra (levetiracetam) 125 mg  2x1 pc
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan Pada Tanggal 3 Agustus 2022 IGD RS
Islam Jakarta Sukapura Pukul 09.41 WIB
PEMERIKSAAN UMUM

• Keadaan umum : tampak sakit sedang


• Tekanan Darah : - mmHg
• Frekuensi Nadi : 116 x/menit
• Frekuensi Napas : 24 x/menit
• Suhu : 36 C
• BB : 15 kg
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Tidak teraba benjolan

Mata
Pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
visus ODS tidak mengikuti arah cahaya
Hidung
Bentuk normal, deviasi septum (-), secret (-)

Telinga
Bentuk normal, nyeri tekan tragus (-), otorrhea (-)

Mulut
Sianosis (-), gigi baik, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher
Trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Fisik

Thoraks
• Inspeksi : Tidak ada retraksi, simetris kanan kiri
• Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
• Palpasi : tidak teraba massa, krepitasi (-), stem fremitus kanan kiri
sama kuat
• Perkusi : sonor di kedua lapang paru

Jantung
• Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak nampak
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
• Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
• Perkusi : batas atas jantung di ICS II PSL sinistra
batas kanan jantung di ICS IV PSL dextra
batas kiri jantung di ICS IV MCL sinistra
Pemeriksaan Fisik
Neurologi
Motorik :
• Derajat kekautan otot : sulit dinilai
• Tonus otot : normotonus di ekstremitas atas,
hipertonus di ekstremitas bawah
• Trofi otot : Nampak hipotrofi di kedua
ekstremitas bawah
Sensorik :
• Sulit dinilai
Refleks fisiologis :
• Biceps : +/++ Abdomen
• Triceps : +/++ • Inspeksi : tampak datar, simetris, striae (-)
• Patella : +/++ massa (-), distensi (-)
• Auskultasi: Bising usus (+) normal
Refleks patologis :
• Perkusi : timpani
• Hoffman – tromner : (-) • Palpasi : supel, defans muscular (-), NT
• Babinski :+/- (-)
• Chaddock : (-)
Refleks primitif
• Snout refleks : +
• Refleks genggam : -
Pemeriksaan Penunjang (3-8-2022 11.54)
Parameter Hasil Nilai Normal

Haemoglobin 11.7 gr% 11.3 – 15.50

Leukosit 5.540/mm3 3.980 – 10.040

Hitung Jenis
- Basofil 0% 0-1
- Eosinofil 0% 1-6
- Neutrofil 40% 34-71
- Limfosit 51% 19-52
- Monosit 9% 4-12
- Trombosit 360.000 132-440
- Hematokrit 34.2% 38-47

- Natrium 145 134 -146


- Kalium 3.8 3.4 - 4.5
- Klorida 98 96 – 108
Antigen SARS-COV2 Negatif Negatif
Diagnosis Kerja Pemeriksaan Penunjang Anjuran
- Status epilepticus Brain MRI
- Epilepsi refrakter
- Cerebral Palsy

Prognosis

- Vitam : dubia ad bonam


- Functionam : malam
- Sanationam : malam
RESUME
Pasien anak DTZ, perempuan, usia 5 tahun datang ke IGD RSIJ Sukapura dengan keluhan kejang
dan sudah berlangsung sekitar 30 menit. Kejang hanya di mulut, mata mendelik ke atas (+), bibir
biru (-), mulut keluar busa (-) pasien tidak merespon ketika dipanggil. Menurut orangtua pasien,
pasien belum berhenti kejang selama sekitar 30 menit. Keluhan lain batuk (+) berdahak sejak 2
hari smrs, pilek (-) demam (-) mual (-) muntah (-) keluhan BAB dan BAK (-) Riwayat kejang 1
bulan terakhir (+), frekuensi 1-20x/hari, durasi antara <1 menit – 3 menit dan lokasi kejang tidak
seluruh tubuh. Pasien riwayat kejang sejak sekitar usia 2.5 tahun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus ODS tidak dapat mengikuti arah cahaya, hipotrofi di
kedua ekstremitas bawah, refleks fisiologis sisi kanan melemah, refleks patologis Babinski (+)
refleks primitive (+) hipertonus di ekstremitas bawah
TATALAKSANA KONDISI PASIEN
IGD SELAMA DI BANGSAL
• IVFD asering 14 tpm • Kejang (-) demam (-) muntah (-) BAB
• BB 15 kg  Stesolid 10 mg cair (-)
• Obat yang dikonsumsi selama rawat inap
 asal valproate dan ambroksol

TATALAKSANA DR
KARTINI SP.A
• IVFD asering 12 tpm
• Asam valproate di pasien lanjut  2 x 5.5 ml
• Ambroksol sirup 3 x1/2 cth
• Bila masih kejang  sibital 2 x 30 mg (phenobarbital)
INTERPRETASI
Kejang 30 menit Status epileptikus

Tipe kejang Focal onset  impaired awareness  automatism

Penggunaan 4 OAE Carbamazepine, Asam valproate, Levetiracetam, Clonazepam  Epilepsi refrakter

Tipe CP Spastic

Riwayat Kehamilan Penggunaan Depakote

Suplementasi Vitamin D3 1000 IU

Gross Motor Function


Classification System Level 5 (untuk berpindah-pindah pasien dibantu oleh keluarga)
(GMFCS)
THANK YOU
TINJA U A N
P U STA KA
EPILEPSI
DEFINISI EPIDEMIOLOGI
• Gangguan kronik yang ditandai • Insidensi epilepsi 70/100.000 penduduk per tahun
oleh berulangnya bangkitan dan prevalensinya 4–10/1.000 pada populasi umum.
• Insidensi tertinggi terjadi pada anak (0,3–0,4%).
epilepsy
Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
• Bangkitan epilepsy  manifestasi perempuan
klinis lepas muatan listrik yang • anak dengan palsi serebral (PS) sering disertai
beberapa penyakit penyerta di antaranya epilepsy 
berlebihan dan hipersinkron dari Prevalensi epilepsi pada anak dengan PS sekitar
sel neuron di otak 15%-55%.
• merupakan serangan kejang
paroksismal berulang dua kali atau
lebih tanpa penyebab yang jelas
dengan interval serangan lebih dari
24 jam, akibat lepas muatan listrik
berlebihan di neuron otak

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
Minardi C, Minacapelli R, Valastro P, Vasile F, Pitino S, Pavone P , et al. Epilepsy in Children: From Diagnosis to Treatment with Focus on Emergency. J. Clin. Med. 2019 Januari; 8(39)
Suwarba I. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak. Sari pediatri. 2011 agustus; 13(2).
KLASIFIKASI EPILEPSY
ETIOLOGI EPILEPSY
1) Idiopatik  penyebab tidak diketahui, tidak ada lesi structural di otak
2) Simptomatik  penyebab diketahui, disertai gejala patologis penyerta dari SSP:
• Infeksi SSP
• Trauma SSP
• Kelainan serebrovaskular
• Infark
• Perdarahan
• Malformasi arterivena
• Thrombosis vena
• Hipoksia
• Ensefalopati iskemik
• Kelainan metabolic
• Hipoglikemi
• Gangguan elektrolit
• Gangguan metabolisme
triono a, Herini ES. Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi. sari pediatri. 2014 desember; 16(4).
FAKTOR RISIKO EPILEPSY
• Kehamilan dengan eclampsia dan hipertensi
• Pemakaian bahan-bahan toksik saat kehamilan
• Asfiksia
• BBL rendah (<2500 gram)
• Kehamilan premature/ postmature
• Partus lama
• Persalinan dengan menggunakan alat
• Kejang demam
• Trauma kepala
• Infeksi SSP
• Gangguan metabolic
DIAGNOSIS EPILEPSY
Anamnesis
• Riwayat trauma kepala, kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vascular, meningitis, gangguan
metabolic, dan obat-obatan yang digunakan.
• Pola/ bentuk serangan, lama serangan, gejala sebelum, selama dan sesudah serangan, frekuensi
serangan, faktor pencetus serangan, ada/tidaknya penyakit penyerta lain, usia saat pertama kali terjadi
serangan
• Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
• Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
• Riwayat epilepsy dalam keluarga
• Kejang terjadi minimal 2 kali, tanpa pencetus, dan terjadi lebih dari 24 jam secara terpisah.
DIAGNOSIS EPILEPSY
Pemeriksaan Fisik Umum
• tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus
• Untuk anak-anak  keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh

Pemeriksaan Penunjang
• Elektroensefalografi (EEG)
Pada pemeriksaan penunjang diagnostik, pemeriksaan EEG pertama ditemukan gambaran abnormal
pada 117 (42,4%) kasus, sisanya menunjukkan gambaran EEG dalam batas normal.
• Neuroimaging
MRI atau CT scan otak

Suwarba I. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak. Sari pediatri. 2011 agustus; 13(2).
TATALAKSANA EPILEPSY
Pertolongan pertama pada anak saat kejang
1) Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya
2) Jangan pernah meninggalkan penderita.
3) Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan cedera
kepala. Kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika
ada).
4) Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir keluar
dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
5) ketika mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan gerakan tersebut
berlangsung sampai kejang selesai.
6) Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum, penahan
lidah.
7) Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan penderita sebelum
kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
TATALAKSANA EPILEPSY
Tatalaksana fase akut (saat kejang)
• Untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat akhiri kejang sesegera mungkin
• mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab.
• Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5
mg (BB< 10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg)  belum berhenti  diulang setelah selang waktu 5
menit dengan dosis dan obat yang sama  masih belum berhenti  rumah sakit.
OBAT ANTIEPILEPSI
Karmabazepin:
• tab 100 mg, 200 mg, 400 mg
• Dosis 10-25 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
• Obat pilihan pertama untuk epilepsy parsial dan umum tonik klonik
• ES: ruam kulit, SJS, penglihatan ganda, nausea, sakit kepala
Asam valproate:
• Tab 100 mg, 200 mg, sirup 250 mg/5 ml
• Dosis : 20-60 mg/kgBB/hr dibagi 2-3- dosis
• Pilihan pertama untuk epilepsy umum, tonik-klonik, parsial, dan absans
• ES: ruam kulit, gang. Fungsi hati akut, pankreatitis akut, BB dan nafsu makan meningkat
Fenobarbital
• Tab 15 mg, 30 mg, 60 mg
• Dosis 4-8 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
• Untuk epilepsy umum tonik klonik, parsial, kejang pada neonatus dan status epilepticus
• ES: ruam, mengantuk, sedasi, hiperaktif
Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
OBAT ANTIEPILEPSI
Topiramat
• Sediaan  Tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg Sprinkle capsule15 mg, 25 mg, dan 50 mg
• Dosis 6–9 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis (mulai 1 mg/kgBB/hr, dinaikkan 0,5 mg/kgBB setiap
mgg)
• Pengobatan direkomendasi untuk  epilepsi parsial, umum, dan epilepsi mioklonik berat
• Efek samping  BB↓, sakit kepala, mengantuk, dan flushing
Klonazepam
• Sediaan Tablet 0,5 mg dan 2 mg
• Dosis 0,1–0,3 mg/kgBB/hr (mulai dengan 0,05 mg/kg/hr) untuk usia <1 th, 0,3–1 mg/kgBB/hr
untuk usia >1 th dibagi 2–3 dosis
• obat pilihan kedua epilepsi umum tonik-klonik, parsial, mioklonik
• Efek samping  Sedasi, lesu

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
OBAT ANTIEPILEPSI
Levetiracetam
• terapi tambahan pada kejang parsial (partial onset seizures) untuk pasien epilepsi dewasa dan
anak usia di atas 4 tahun, dengan atau tanpa generalisasi sekunder
• Tablet 250 mg, 500 mg
• anak usia 4 hingga <16 tahun, dosis levetiracetam dimulai 20 mg/kgBB, terbagi dalam dua
dosis (2 x 10 mg/kgBB). Dosis dapat dinaikkan setiap 2 minggu sebesar 20 mg/kgBB sampai
dengan maksimal 60 mg/kgBB/hari. Jika pasien tidak dapat mentolerir dosis 60 mg/kgBB/hari,
maka dosis dapat diturunkan
• Efek samping  sakit kepala, peningkatan tekanan darah, somnolen, fatigue, batuk,
nasopharyngitis, anoreksia

https://reference.medscape.com/drug/keppra-spritam-levetiracetam-343013
PRINSIP PENGOBATAN EPILEPSI
• Monoterapi  disesuaikan dengan sindrom epilepsi
• OAE dimulai 1 macam OAE, mulai dengan dosis kecil dinaikkan bertahap sampai bangkitan hilang atau
muncul efek samping
• Bila obat pertama gagal, obat kedua dapat ditambahkan sampai bangkitan teratasi, kemudian OAE
pertama diturunkan dan distop, dengan tujuan monoterapi
• Definisi keberhasilan terapi  berhentinya kejang dalam 6 bulan setelah diberi satu macam OAE
• umumnya OAE dapat dihentikan dalam 2–4 th bebas bangkitan. Penghentian obat dilakukan secara
bertahap (taperingoff)  perlu waktu 6 bl untuk menghentikannya.
• Sebelum obat dihentikan  EEG  untuk melihat perbaikan EEG
• Bila bangkitan tidak responsif terhadap 2 macam OAE yang benar  epilepsi refrakter

Back

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
STATUS
EPILEPTIKUS
STATUS EPILEPTIKUS
• ILAE  kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang
tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang
• Batasan waktu : ≥ 30 menit
• Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih
sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens
1 per 1000 bayi.

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
ETIOLOGI SE
1) Simtomatik (penyebab diketahui)
a. Akut  infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala,
perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya  ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI),
trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif:  tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
2) Idiopatik/kriptogenik  penyebab tidak dapat diketahui

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
FAKTOR RISIKO SE
1. Epilepsi
• 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus
dalam perjalanan sakitnya.
• SE juga dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
• Pasien dengan ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP, penyakit
kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi.

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
PATOFISIOLOGI SE
• SE terjadi akibat  kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik karena
aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi
yang tidak efektif.
• Neurotransmiter eksitasi utama  neurotran dan asetilkolin
• neurotransmiter inhibisi  gamma-aminobutyric acid (GABA).

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
KOMPLIKASI PRIMER SE

• kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi


• Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom
• kontraksi dan relaksasi otot pada SE konvulsif menyebabkan  kerusakan otot, demam, rabdomiolisis /
gagal ginjal
• hipoksia menyebabkan  metabolisme anaerob dan memicu asidosis
• perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung  hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia
• Metabolisme otak terganggu  mulanya hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin  30-40 menit
kemudian kadar glukosa turun  kejang, yang tetap berlangsung  kebutuhan otak akan oksigen tetap
tinggi  bila tidak terpenuhi memperberat kerusakan otak.
• akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak  Edema otak

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
KOMPLIKASI SEKUNDER SE
• Akibat pemakaian obat anti-konvulsan  depresi napas serta hipotensi, terutama golongan
benzodiazepin dan fenobarbital
• Efek samping propofol  propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.
• Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.

Back

Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunaatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
EPILEPSI
REFRAKTER
DEFINISI EPIDEMIOLOGI
• Menurut the International League • 68% kasus epilepsi fokal resisten terhadap obat.
Against Epilepsy (ILAE), epilepsi • Resistensi obat ini sering dikaitkan dengan prognosis
refrakter atau resisten obat  buruk
kegagalan respons terhadap dua
percobaan obat anti-epilepsi sesuai
jadwal, dosis, dan rute pemberian,
baik monoterapi maupun
TERAPI
kombinasi, untuk tercapainya • Beberapa pilihan terapi kasus epilepsi refrakter, yaitu
bebas serangan diet ketogenik, deep brain stimulator (DBS), vagal
nerve stimulator (VNS), transcranial magnetic
stimulation (TMS), responsive cortical neuro-stimulator
(RNS), dan pembedahan
• Terapi lini pertama epilepsi refrakter adalah
pembedahan reseksi, namun bila terdapat
kontraindikasi atau dinilai tidak efektif, dapat dilakukan
terapi lain

Mahendrakrisna D, Pinzon RT. Tatalaksana Epilepsi Refrakter. CDK-288. 2020; 47(7).


Diet ketogenik -pengaturan asupan makanan berdasarkan komposisi tinggi lemak, rendah karbohidrat,
dan protein yang cukup
-meningkatkan cadangan energi serebral dan meningkatkan sintesis Gamma-Aminobutyric
Acid (GABA)  meningkatkan resistensi kejang pada jaringan otak
Deep brain stimulator -suatu program penghantaran stimulasi elektrik menuju struktur dalam otak melalui
(DBS) implantasi elektroda yang terhubung dengan pulse generator
Vagus nerve -terapi paliatif tanpa indikasi pembedahan reseksi otak
stimulator (NS) -Mekanisme kerja sebagai antiepilepsi masih belum jelas  VNS meningkatkan stimulus
yang mengaktifkan serat mielin vagal  dapat menurunkan eksitasi neuron kortikal
Transcranial magnetic -Mekanisme masih belum diketahui sepenuhnya  efek jangka panjang TMS mereduksi
stimulation (TS) rangsang kejang kortikal sekunder
Responsive cortical -stimulator kortikal yang diaktivasi oleh pola electrocorticography (ECoG) dengan pusat
neuro-stimulator (NS) stimulus langsung ke fokus kejang
Pembedahan -Reseksi komplit fokal epileptogenik dapat memberikan hasil bebas kejang.
-Kontraindikasi  luasnya area kejang, beratnya serangan kejang, batas zona iktal terlalu
dekat dengan jaringan fungsional yang penting, ketidakjelasan area anatomis abnormal
pada pemeriksaan

Back
Mahendrakrisna D, Pinzon RT. Tatalaksana Epilepsi Refrakter. CDK-288. 2020; 47(7).
CEREBRAL
PALSY
CEREBRAL PALSY
• Cerebral palsy (CP)  sindrom klinis kelainan neuromotor, bersifat
permanen  berdampak pada gangguan perkembangan, tonus otot, postur
 hambatan aktifitas
• Gangguan motoric yang terjadi biasanya disertai dengan gangguan sensasi,
persepsi, kognisi, komunikasi dan perilaku, atau epilepsy
• CP  injuri pada otak yang sedang berkembang di masa prenatal hingga
neonatal
• Jenis CP terbanyak pada anak-anak  spastic cerebral palsy (77,4%)
• CP dapat diikuti kelainan penyerta  retardasi mental (5%), epilepsi
(45%), gangguan penglihatan (28%), gangguan bicara dan bahasa (38%),
serta gangguan pendengaran (12%)

Patel D, Neelakantan M, Pandher K. Cerebral palsy in children: a clinical overview. Transl Pediatr. 2020 februari; 9(1).
Suhaimi M, Syarif I, Chundrayetti E, Lestari R. Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak Palsi Serebral. Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2).
Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
FAKTOR RISIKO
CEREBRAL PALSY

Sadowska M, Hujar BS, Kopyta I. Cerebral Palsy: Current Opinions


on Definition, Epidemiology, Risk Factors, Classification and
Treatment Options. Neuropsychiatric Disease and Treatment.
2020; 16.
KLASIFIKASI CEREBRAL PALSY DARI SURVEILLANCE
OF CEREBRAL PALSY IN EUROPE (SPCE)

Patel D, Neelakantan M, Pandher K. Cerebral palsy in children: a clinical overview. Transl


Pediatr. 2020 februari; 9(1).
DIAGNOSA
a. Anamnesis
• Riwayat prenatal, neonatal dan postnatal
• Riwayat perkembangan  terdapat keterlambatan
b. Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan status neurologis  refleks fisiologis meningkat, refleks patologis
(+), refleks primitive menetap
• Penilaian fungsi motoric kasar dan halus pada anak dengan CP dapat dinilai dengan
Gross Motor Function Classification System (GMFCS) untuk usia 2-18 tahun
• MACS  4-18 tahun
• EDACS  3-18 tahun
c. Pemeriksaan Penunjang
• Dilakukan untuk mengetahui apakah ada lesi pada otak  CT-scan (77%) dan MRI
(89%)

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
Patel D, Neelakantan M, Pandher K. Cerebral palsy in children: a clinical overview. Transl Pediatr. 2020 februari; 9(1).
GMFCS : KELOMPOK USIA 4-6 TAHUN
1. Tingkat 1:
• duduk dan berdiri dari kursi tanpa bantuan tangan
• dapat berdiri dari posisi duduk di lantai atau kursi tanpa bantuan objek untuk menopang
• Berjalan di dalam dan luar rumah, memanjat tangga.
• Kecenderungan untuk berlari dan melompat
2. Tingkat 2:
• duduk di kursi dengan kedua tangan bebas
• Berdiri dari posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya
• Berjalan dalam ruangan tanpa alat bantu dan berjalan sedikit di luar ruangan.
• Menaiki tangga dengan memegang pinggir tangga.
• Tidak dapat berlari dan melompat
3. Tingkat 3:
• duduk di kursi biasa tetapi dengan badan dan punggung ditopang.
• Berdiri dari posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya
• Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan memanjat tangga dengan bantuan orang dewasa.
• Anak sering kali diangkat jika dibawa jauh di luar ruangan atau tanah yang tidak rata
GMFCS : KELOMPOK USIA 4-6 TAHUN
4. Tingkat 4:
• duduk di kursi tetapi perlu kontrol adaptif untuk kontrol badan dan memaksimalkan fungsi tangan.
• Berdiri dari posisi duduk dengan bantuan orang dewasa atau permukaan yang stabil untuk mengangkat
badannya
• Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan supervisi orang dewasa tetapi sulit untuk berputar dan
mempertahankan keseimbangan pada tanah yang tidak rata.
• Anak dapat begerak sendiri menggunakan kursi roda automatis
5. Tingkat 5:
• Keterbatasan gerak, tidak dapat mempertahankan antigravitasi kepala dan badannya.
• Semua area fungsi motorik terbatas.
• Keterbatasan fungsi duduk dan berdiri tidak sepenuhnya terbantu dengan teknologi
• Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri  harus diangkat
• Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan bantuan kursi roda dengan adaptasi yang sulit

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
TATALAKSANA
Fisioterapi
• untuk mencegah kelemahan/ deteriorasi otot yang dapat menyebabkan atrofi dan mencegah
kontraktur yang dapat menyebabkan deformitas sendi.
Hal-hal yang dilakukan :
• Maintenance ROM
• Pemeliharaan otot dan sendi  mencegah dislokasi dan deformitas
• Membiasakan pasien dalam keadaan dan postur yang normal
• Memberikan alat bantu apabila diperlukan
Terapi okupasi  berguna untuk mengembangkan kemampuan motoric halus, berupa
keterampilan jari, tangan, dan otot mulut
terapi wicara  terapi ini berguna agar anak dapat memahami bahasa, instruksi verbal, dan anak
dapat berkomunikasi. Terapi ini memerlukan bahasa isyarat, tanda, bantuan elektronik, atau
papan gambar.

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
TATALAKSANA LAINNYA
Obat Pelemas Otot (muscle relaxant)
• untuk mengurangi ketegangan dan spasme otot (ex: diazepam 1-2 mg, maks 20 mg/hari)
Operasi
• untuk memperbaiki mobilitas penderita CP.
• Operasi yang dapat dilakukan  pemanjangan dan pemendekan atau pemotongan tendon atau
berupa pemasangan alat dekat tulang yang mengalami deformitas untuk meluruskan tulang
Edukasi
• orangtua dan keluarga di sekitar pasien bekerja sama untuk program fisioterapi untuk
keberhasilan terapi.
• Edukasi pencegahan konstipasi dengan diet tinggi serat dan memastikan kebutuhan cairan
terpenuhi

Back

Garna H, Nataprawira HM, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin; 2014.
DAMPAK DEPAKOTE
PADA KEHAMILAN
• Depakote is made by combining valproic acid and sodium valproate  
• Depakote (divalproex sodium) was categorized as a Class D drug with respect to pregnancy.
• Depakote had birth defects including:
1. Spina bifida
2. Lower IQ
3. Congenital heart defect (Atrial Septal Defect or ASD)
4. Cleft palate or cleft lip
5. Anencephaly (absence of a major part of the brain, skull, and scalp)
6. Hypospadias (opening of the urethra is on the underside of the penis instead of at the tip)
7. Polydactyly (more than five digits on a hand or foot)
8. Craniosynostosis (one or more cranial sutures fuses too early, affecting brain and skull growth)

Back

https://www.hueglifraserlaw.com/blog/portland-oregon-medical-malpractice/2019/07/10/depakote-and-birth-defects/
VITAMIN D PADA
PASIEN CEREBRAL
PALSY
• Penelitian  33.6% dari 235 anak dengan CP mengalami defisiensi
vitamin D
• Anak dengan CP  rentan resiko memiliki densitas mineral tulang
rendah, dapat disebabkan  status nutrisi yang kurang baik, defisiensi
vitamin D, penggunaan obat antiepilepsi, dan penurunan aktivitas
• AED yang berhubungan dengan penurunan kadar vitamin D 
carbamazepine, phenytoin, phenobarbitone dan primidone  inducers
enzyme cytochrome P450
• Asam valproate  inhibitor enzim cytochrome P450  berhubungan
dengan penurunan kadar vitamin D  menyebabkan peningkatan
aktivitas osteoclast  bone loss meningkat
• Perlu vitamin D adekuat untuk perkembangan muskuloskeletal dan
mineralisasi tulang

Back

akpinar P. Vitamin D status of children with cerebral palsy: Should vitamin D levels be checked in children with cerebral palsy? North Clin Istanb. 2018; 5(4).
DANDY WALKER
SYNDROME
• suatu kelainan kongenital yang jarang terjadi dan secara karakteristik
ditandai dengan adanya  agenesis / hipoplasia vermis cerebellum, dilatasi
kistik dari ventrikel 4 dan pembesaran fossa posterior
• Insidens  1 diantara 10.000-30.000 kelahiran
• 70-90% penderita menderita hidrosefalus
• Kelainan di luar sistem saraf dilaporkan terjadi pada 20-33% penderita,
termasuk kelainan di mata yaitu berupa katarak, disgenesis dari retina, papil
edema serta papil atrofi

• Papil edema dan papil atrofi disebabkan oleh


peningkatan tekanan intrakranial yang meyebabkan
penekanan pada saraf optik dan chiasma optik

Next
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai