Anda di halaman 1dari 31

Referat

“Insomnia Non Organik”


Viola Ratana Maitri 112021079

Pembimbing : Dr. dr. Dharmawan Ardi, SpKJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Periode 18 April – 21 Mei 2022
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RS Tarakan Jakarta
Pendahuluan
• Gangguan tidur  sulit tidur  tidak dapat tidur = insomnia
• Insomnia merupakan gejala gangguan tidur yang pernah diderita oleh
seseorang paling tidak sekali dalam hidupnya
• Jika diderita hampir sepanjang hidupnya akan mempengaruhi kualitas
hidupnya
• Umumnya merupakan kondisi jangka pendek, namun dapat menjadi kronis.
• Biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor.
DEFINISI
• Menurut DSM IV
Insomnia adalah kesulitan individu dalam memulai, mempertahankan dan merasakan
kualitas tidur yang buruk
• “Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III”
insomnia adalah suatu kondisi tidur yang tidak memuaskan secara kuantitas dan kualitas
yang berlangsung untuk suatu kurun waktu tertentu.
• The internasional classification of diseases
insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan.
• Internasional classification of sleep disorder
insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak
nyaman setelah episode tidur tersebut
EPIDEMIOLOGI
• Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak
28,035 juta jiwa (11,7%)
• Korea Selatan
rekuensi tidur  gejala muncul selama 3 malam dalam 1 minggu (17%)
kesulitan dalam mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%
• Singapura menunjukkan 8% sampai 10%

Menurut studi epidemiologi, mengenai sekitar 9-12% populasi di dunia.


Insomnia dapat terjadi pada setiap umur,tetapi lebih sering terjadi pada umur 65
tahun keatas.
Sekitar 40-50% usia geriatrik mengalami insomnia dan prevalensinya lebih besar
terjadi pada wanita daripada laki-laki.
ETIOLOGI
Penyebab insomnia diantaranya karena adanya masalah internal pada individu
tersebut
• Stres
• Kecemasan dan depresi
• Obat-obatan
• Kafein, nikotin dan alkohol
• Kondisi Medis
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
KLASIFIKASI INSOMNIA
Dibagi menjadi 2
1. Primary insomnia, tidak ada hubungannya dengan medis, psikis dan lingkungan
2. Secondary insomnia, disebabkan oleh kondisi medis, masalah psikologis dan efek
samping penggunaan obat

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code
of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV
dan International Classification of Sleep Disorders (ISD)
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu


Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan
diderita minimal 1 bulan.
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

 Organik

 Non organic

 Dyssomnia (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

 Parasomnia (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi
buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
DISOMNIA
Merupakan Gangguan selama tidur, bangun terlalu
dini atau kombinasi lainnya
Gambaran penting : perubahan jumlah, kualitas,
atau waktu tidur.
Jenis-jenis :

• Primary Insomnia
Kesulitan untuk masuk tidur, mempertahankan tidur dan
memperoleh manfaat tidur (orang tidak merasa telah cukup
beristirahat setelah tidur dalam jumlah normal).
• Primary Hypersomnia (Hipersomnia Primer)
Keluhan mengantuk dalam episode-episode tidur yang terlalu
lama, tidur di siang bolong atau gangguan tidur yang berlebihan.
• Narcolepsy (Narkolepsi)
Gangguan tidur kronis yang ditandai dengan rasa kantuk di siang
hari dan serangan tidur yang tiba-tiba.
Merupakan Gangguan selama tidur, bangun terlalu
DISOMNIA dini atau kombinasi lainnya
Gambaran penting : perubahan jumlah, kualitas,
atau waktu tidur.
• Breating-related Sleep (Tidur yang terkait pernafasan)

dirupsi tidur atau insomnia yang disebabkan oleh kesulitan bernafas


yang terkait dengan tidur.

• Circadian Rytm Sleep Disorder/Sleep Wake Schedule Disorder


(Gangguan tidur Ritme Sirkandian/Gangguan Jadwal Tidur
Terjaga)

disrupsi tidur berulang kali terjadi, yang mengakibatkan kantuk yang


esksesif atau insomnia yang disebabkan oleh adanya mismatch antara
jadwal tidur dan terjaga, karena dipaksa oleh lingkungan.
Gejala Gangguan Tidur:
a. Sulit untuk tidur
b. Tidak ada masalah untuk tidur namun mengalami kesulitan untuk tetap tidur
(sering bangun awal)
c. Bangun terlalu awal
Kesulitan tidur hanyalah satu dari beberapa gejala disomnia.
Gejala yang dialami waktu siang hari adalah :
 Mengantuk
 Resah
 Sulit berkonsentrasi
 Sulit mengingat
 Gampang tersinggung
Parasomnia
• Gangguan yang melibatkan kegiatan fisik yang tidak diinginkan, atau
pengalaman yang terjadi selama tidur.
• Dibagi menjadi dua kelompok utama yakni
Parasomnia primer merupakan gangguan tidur yang ditandai terjadinya
simultan unsur-unsur dari transisi tidur-bangun. (rapid eye movement (REM)
atau non-cepat gerakan mata (NREM).
Sedangkan parasomnia sekunder adalah gangguan sistem organ lainnya yang
timbul selama tidur (mungkin sangat umum, tetapi bisa dikenali, misdiagnosed,
atau diabaikan dalam praktek klinis).
Jenis-Jenis Parasomnia

• Mimpi buruk
Peristiwa nokturnal hidup yang dapat menyebabkan perasaan takut, teror, dan
atau kecemasan. Biasanya, orang yang mengalami mimpi buruk, yang tiba-tiba
terbangun dari tidur.
• Teror malam
tiba-tiba terbangun dari tidur dalam keadaan ketakutan. Orang mungkin tampak
terjaga, tetapi tampak bingung dan tidak mampu berkomunikasi. Orang yang
memiliki teror tidur biasanya tidak ingat peristiwa keesokan harinya.
• Sleepwalking
Terjadi ketika seseorang tampaknya terjaga dan bergerak di sekitar dengan mata terbuka lebar, tetapi sebenarnya
tertidur. Berjalan dalam tidur tidak memiliki memori dari tindakan mereka. Episode ini sangat bervariasi dalam
kompleksitas dan durasi. Sleepwalking kadang-kadang bisa berbahaya karena berjalan sambil tidur tidak
menyadari keadaan sekitarnya dan dapat bertemu benda atau dapat jatuh.
• Confusional Arousals
Biasanya terjadi ketika seseorang terbangun dari tidur nyenyak selama bagian pertama dari malam. Ini gangguan
yang juga dikenal sebagai inersia tidur berlebihan atau mabuk tidur, melibatkan kelambatan berlebihan ketika
bangun tidur.
• Sleep Paralysis
Orang dengan kelumpuhan tidur tidak dapat memindahkan tubuh atau anggota badan saat jatuh tertidur atau
bangun. Episode singkat dari kelumpuhan otot parsial atau tulang lengkap dapat terjadi selama kelumpuhan tidur.
• Tidur REM dengan Atonia
Tidur REM biasanya melibatkan keadaan kelumpuhan (atonia), tetapi orang-orang dengan kondisi
ini mampu memindahkan tubuh atau anggota tubuh saat bermimpi. Dalam diagnosis dan
pengobatan, gangguan neurologis berpotensi serius harus dikesampingkan.
• Tidur Enuresis
disebut juga mengompol. Ada dua jenis enuresis yakni primer dan sekunder. Pada enuresis primer,
seseorang belum mampu memiliki kontrol kemih semenjak masa kanak-kanak. Pada enuresis
sekunder, seseorang memiliki kekambuhan setelah sebelumnya mampu memiliki kontrol kemih,
disebabkan oleh kondisi medis atau gangguan kejiwaan.
Gejala Parasomnia (tergantung dari jenis parasomnia yang dialami)

 Merasa sangat mengantuk dan lelah di siang hari pada waktunya beraktivitas.

 Kesulitan untuk bisa tidur nyenyak di malam hari.

 Terjaga dengan kondisi bingung.

 Tidak ingat melakukan suatu aktivitas tertentu.

 Menemukan adanya luka atau goresan pada kulit yang sama sekali tidak diketahui
penyebabnya.
Faktor Risiko Insomniar

1. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit jantung).

2. Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan depresi, gangguan


cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif.

Faktor Predisposisi

3. Sering bekerja di malam hari

4. Jam kerja tidak stabil

5. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan

6. Efek samping obat

7. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer


Diagnostik
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

 Pola tidur penderita.


 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ
• Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
• Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
• Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada
malam hari dan sepanjang siang hari
• Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup
berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia
diabaikan.
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena
luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada
“transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2).
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan insomnia secara umum yaitu mengidentifikasi faktor penyebab dan
kontrol lingkungan
Psikofarmaka
No Golongan Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

1 Benzodiazepin Nitrazepam DUMOLID (Actavis) Tab 5 mg 5-10 mg/malam

2 Non-Benzodiazepin Zolpidem STILNOX (Sanofi-Aventis) Tab. 10 mg 10-20 mg/malam

ZOLMIA (Fahrenheit) Tab. 10 mg

ZOLTA (Novel Pharma)  Tab. 10 mg

3 Benzodiazepin Estazolam ESILGAN (Takeda) Tab. 1 mg 1-2 mg/malam

ESTALIN (Novell Pharma) Tab. 2 mg

Tab. 1 mg

Tab. 2 mg
4 Non Benzodiazepin Ramelteon ROZEREM (Takeda) Tab. 8 mg 8-16 mg/malam

menurut MIMS Edisi 2013/2014


• Miscellaneous sleep promoting agent

mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur.

1. Melatonin

Pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Efek samping antara lain
pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita.

Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovarium. Oleh
itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui.
2. Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. Dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivat yang telah
mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan
mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi
obat ini.

3. Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Alkohol
diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu di tengah siklus tidur, dapat menyebabkan
ketergantungan

4. Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan


mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi.
5. Kava-kava, suatu pengobatan alternatif yang diesktrak dari akar pohon Polynesian, Piper
methysticum sp. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang
minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropa karena bersifat hepatotoksik.

6. Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme
kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia
mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada
penderita insomnia akut

7. Aromaterapi membantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk
penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-
ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.
Terapi Peilaku
1. Stimulus Control

Membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset
tidur dapat dapat dipercepat. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi
penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti :

 Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur
 Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual.
 Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
 Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita
sudah merasa ingin tidur kembali
 Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
 Hindari tidur di siang hari.
2. Sleep Restriction

Protocol sleep restriction seperti di bawah :

 Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur yang
dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu
 Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur
 Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu di
tempat tidur x 100)
 Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau
pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90%
 Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan
 Jangan tidur kurang dari 5 jam
 Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam
 Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.
3. Sleep Hygiene

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam
rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari
dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :

 Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur


 Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin
atau panas
 Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
 Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita
 Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur
 Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
 Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum
tidur
4. Cognitive Therapy

Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir, pemahaman
penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi
hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari.
Komplikasi
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.

 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

 Kelebihan berat badan atau kegemukan

 Daya tahan tubuh yang rendah


PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain
seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia
KESIMPULAN
Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja
dan kehidupan sehari-hari.

Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan,
perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita,
pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur
secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan dan sadock buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC;2014.h.322-6
2. Larayanthi CID. Penatalaksanaan insomnia pada pasien geriatri. Jakarta : Bagian/ SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;2014:h.1-4.
3. Sayekti NPIW, Hendrati LY. Analisis risiko depresi, tingkat sleep hygiene dan penyakit kronis dengan kejadian insomnia pada lansia. Jakarta : Departemen
Epidemiologi FKM UA. 2015:h.4-9.
4. Permana MGC. Insomnia dan hubungannya terhadap faktor psikososial pada pelayanan kesehatan primer. Bali : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah;2014:h.2-8.
5. Maslim, Rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari ppdgj-iii. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya,2001:h.35-47.
6. Pradeep C. Bollu, MD, Munish K Goyal, MD, Mahesh M. Thakkar, PhD, & Pradeep Sahota, MD. Sleep Medicine: Parasomnias. Missouri Medicine; 2018.
7. Jasvinder Chawla M, MBA. Insomnia 2016 [cited 2016 24 Juli]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1187829-overview, diakses pada 5 Desember
2021
8. Nabili Sn, Stöppler Mc. insomnia 2016 [cited 2016 24 Juli]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/insomnia/article_em.htm, diakses pada 5 Desember
2021.
9. Abadi K, Loway CA. Insomnia. Cibubur Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Medik KKG; 2012 12 Maret 2012 – 14 April 2012
10. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual
. Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32
11. Japardi I. Gangguan Tidur. USU Library. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002:1-11.
12. Antariksa B. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. 2013:p2-10.
13. Rosdiana Sholehah, Liya. Management of insomnia. E-Jurnal Medika Udayana, [S.l.], p. 933-954
14. Maslim, Rusdi. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya;2014
15. GHADDAFI, Muammar. Management of insomnia using pharmocology or non- pharmacology. Bali : E-Jurnal Medika Udayana;2013:p. 1812-29

Anda mungkin juga menyukai