Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code
of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV
dan International Classification of Sleep Disorders (ISD)
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
Organik
Non organic
Parasomnia (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi
buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
DISOMNIA
Merupakan Gangguan selama tidur, bangun terlalu
dini atau kombinasi lainnya
Gambaran penting : perubahan jumlah, kualitas,
atau waktu tidur.
Jenis-jenis :
• Primary Insomnia
Kesulitan untuk masuk tidur, mempertahankan tidur dan
memperoleh manfaat tidur (orang tidak merasa telah cukup
beristirahat setelah tidur dalam jumlah normal).
• Primary Hypersomnia (Hipersomnia Primer)
Keluhan mengantuk dalam episode-episode tidur yang terlalu
lama, tidur di siang bolong atau gangguan tidur yang berlebihan.
• Narcolepsy (Narkolepsi)
Gangguan tidur kronis yang ditandai dengan rasa kantuk di siang
hari dan serangan tidur yang tiba-tiba.
Merupakan Gangguan selama tidur, bangun terlalu
DISOMNIA dini atau kombinasi lainnya
Gambaran penting : perubahan jumlah, kualitas,
atau waktu tidur.
• Breating-related Sleep (Tidur yang terkait pernafasan)
• Mimpi buruk
Peristiwa nokturnal hidup yang dapat menyebabkan perasaan takut, teror, dan
atau kecemasan. Biasanya, orang yang mengalami mimpi buruk, yang tiba-tiba
terbangun dari tidur.
• Teror malam
tiba-tiba terbangun dari tidur dalam keadaan ketakutan. Orang mungkin tampak
terjaga, tetapi tampak bingung dan tidak mampu berkomunikasi. Orang yang
memiliki teror tidur biasanya tidak ingat peristiwa keesokan harinya.
• Sleepwalking
Terjadi ketika seseorang tampaknya terjaga dan bergerak di sekitar dengan mata terbuka lebar, tetapi sebenarnya
tertidur. Berjalan dalam tidur tidak memiliki memori dari tindakan mereka. Episode ini sangat bervariasi dalam
kompleksitas dan durasi. Sleepwalking kadang-kadang bisa berbahaya karena berjalan sambil tidur tidak
menyadari keadaan sekitarnya dan dapat bertemu benda atau dapat jatuh.
• Confusional Arousals
Biasanya terjadi ketika seseorang terbangun dari tidur nyenyak selama bagian pertama dari malam. Ini gangguan
yang juga dikenal sebagai inersia tidur berlebihan atau mabuk tidur, melibatkan kelambatan berlebihan ketika
bangun tidur.
• Sleep Paralysis
Orang dengan kelumpuhan tidur tidak dapat memindahkan tubuh atau anggota badan saat jatuh tertidur atau
bangun. Episode singkat dari kelumpuhan otot parsial atau tulang lengkap dapat terjadi selama kelumpuhan tidur.
• Tidur REM dengan Atonia
Tidur REM biasanya melibatkan keadaan kelumpuhan (atonia), tetapi orang-orang dengan kondisi
ini mampu memindahkan tubuh atau anggota tubuh saat bermimpi. Dalam diagnosis dan
pengobatan, gangguan neurologis berpotensi serius harus dikesampingkan.
• Tidur Enuresis
disebut juga mengompol. Ada dua jenis enuresis yakni primer dan sekunder. Pada enuresis primer,
seseorang belum mampu memiliki kontrol kemih semenjak masa kanak-kanak. Pada enuresis
sekunder, seseorang memiliki kekambuhan setelah sebelumnya mampu memiliki kontrol kemih,
disebabkan oleh kondisi medis atau gangguan kejiwaan.
Gejala Parasomnia (tergantung dari jenis parasomnia yang dialami)
Merasa sangat mengantuk dan lelah di siang hari pada waktunya beraktivitas.
Menemukan adanya luka atau goresan pada kulit yang sama sekali tidak diketahui
penyebabnya.
Faktor Risiko Insomniar
Faktor Predisposisi
Tab. 1 mg
Tab. 2 mg
4 Non Benzodiazepin Ramelteon ROZEREM (Takeda) Tab. 8 mg 8-16 mg/malam
mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur.
1. Melatonin
Pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Efek samping antara lain
pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita.
Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovarium. Oleh
itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui.
2. Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. Dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivat yang telah
mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan
mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi
obat ini.
3. Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Alkohol
diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu di tengah siklus tidur, dapat menyebabkan
ketergantungan
6. Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme
kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia
mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada
penderita insomnia akut
7. Aromaterapi membantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk
penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-
ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.
Terapi Peilaku
1. Stimulus Control
Membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset
tidur dapat dapat dipercepat. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi
penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti :
Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur
Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual.
Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita
sudah merasa ingin tidur kembali
Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
Hindari tidur di siang hari.
2. Sleep Restriction
Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur yang
dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu
Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur
Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu di
tempat tidur x 100)
Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau
pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90%
Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan
Jangan tidur kurang dari 5 jam
Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam
Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.
3. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam
rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari
dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir, pemahaman
penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi
hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari.
Komplikasi
Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan,
perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita,
pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur
secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan dan sadock buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC;2014.h.322-6
2. Larayanthi CID. Penatalaksanaan insomnia pada pasien geriatri. Jakarta : Bagian/ SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;2014:h.1-4.
3. Sayekti NPIW, Hendrati LY. Analisis risiko depresi, tingkat sleep hygiene dan penyakit kronis dengan kejadian insomnia pada lansia. Jakarta : Departemen
Epidemiologi FKM UA. 2015:h.4-9.
4. Permana MGC. Insomnia dan hubungannya terhadap faktor psikososial pada pelayanan kesehatan primer. Bali : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah;2014:h.2-8.
5. Maslim, Rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari ppdgj-iii. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya,2001:h.35-47.
6. Pradeep C. Bollu, MD, Munish K Goyal, MD, Mahesh M. Thakkar, PhD, & Pradeep Sahota, MD. Sleep Medicine: Parasomnias. Missouri Medicine; 2018.
7. Jasvinder Chawla M, MBA. Insomnia 2016 [cited 2016 24 Juli]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1187829-overview, diakses pada 5 Desember
2021
8. Nabili Sn, Stöppler Mc. insomnia 2016 [cited 2016 24 Juli]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/insomnia/article_em.htm, diakses pada 5 Desember
2021.
9. Abadi K, Loway CA. Insomnia. Cibubur Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Medik KKG; 2012 12 Maret 2012 – 14 April 2012
10. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual
. Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32
11. Japardi I. Gangguan Tidur. USU Library. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002:1-11.
12. Antariksa B. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. 2013:p2-10.
13. Rosdiana Sholehah, Liya. Management of insomnia. E-Jurnal Medika Udayana, [S.l.], p. 933-954
14. Maslim, Rusdi. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya;2014
15. GHADDAFI, Muammar. Management of insomnia using pharmocology or non- pharmacology. Bali : E-Jurnal Medika Udayana;2013:p. 1812-29