OLEH
DR. TOLKAH, S.H., M.H.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama pembebasan dari zaman jahiliyah, kemudian Islam menjadikannya menjadi bangsa yang berperadaban
tinggi (civilized nation).
Secara etimologi Islam berasal dari kata salama yang artinya selamat atau juga bisa berarti menyerahkan diri. Sedangkan kata
hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu hukm/alhukm yang mengandung makna mencegah atau menolak.
Istilah hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian, yaitu syariah dan fikih. Syariat terdiri wahyu Allah dan sunnah Nabi
Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman tentang syariah.
Syariah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai, kemudian syariah dalam
pengertian terminologi adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya. Sedangkan fiqh (fikih
dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan pengetahuan. Fikih secara terminologi adalah hukum syarak
yang bersifat praktis/amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
PENDAHULUAN
Perbedaan yang mendasar antara syariat dan fikih, yang perlu kita pahami dalam hal mempelajari hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Syariah adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya, sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat
tentang syariat dan hasil pemahaman itu sendiri.
2. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai ruang-lingkup yang lebih luas, karena kedalamannya oleh banyak ahli dimasukkan juga akidah dan akhlak.
Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya oleh karena itu berlaku abadi, sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi,
melainkan dapat berubah dari masa ke masa dan karena perbedaan tempat.
4. Syariah hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu.
5. Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih, menunjukkan adanya keberagaman.
Islam merupakan agama hukum, dimana sumber hukum utama dari hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ada juga sumber hukum
pelengkap, yaitu Ijmak dan Qiyas. Hal demikian dapat disimpulkan dari Q.S. An-Nisa’ (4) ayat 59, yang artinya:
"Hai, orang-orang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul, serta Ulil Amri (atau pemerintah yang berkuasa diantara kamu)"
PENDAHULUAN
Menurut Abu Ishaq al-Shatibi (m.d. 790/1388) terdapat lima tujuan hukum Islam, yaitu untuk memelihara (1) agama (al-muhafazhah ala ad-din), (2) Jiwa
(al-muhafazhah ala an-nafs), (3) akal (al-muhafazhah ala al-‘aql), (4) keturunan (al-muhafazhah ala an-nasl), dan (5) harta (al-muhafazhah ala al-mal). Para
ilmuwan dalam bidang hukum Islam, mereka menamakannya al-maqasid al-shariah.
Sistem-sistem hukum di dunia Islam sekarang secara garis besar bisa dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) sistem-sistem yang masih mengakui Syariah
sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh, contohnya adalah Arab Saudi dan Wilayah Utara Nigeria; (2) sistem-sistem yang
meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum yang sekuler, contohnya adalah Turki yang menyatakan Syariah tidak berlaku lagi dan selanjutnya
secara drastis mengambil alih hampir secara utuh peraturan-peraturan hukum Eropa, dan (3) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut, dalam
arti sistem ini mengambil jalan moderat di antara dua sistem hukum yang ekstrim, contoh kelompok ini diantaranya adalah Mesir, Sudan, Lebanon, Suriah,
Yordania, Irak, Tunisia, dan Maroko.
Dalam kontek sosiologi masuknya Islam ke, Indonesia berlangsung secara damai (penetration passifique).
Masuknya Islam di Indonesia diikuti oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian dapat menggantikan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
yang sudah ada sebelumnya.
Mengenai dasar berlakunya hukum Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dalam analisis ahli hukum Belanda melahirkan dua macam teori, yaitu teori
receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg dan teori receptie yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje.
Kedua teori ini antara satu dengan yang lain saling bertolak belakang.
PENDAHULUAN
Teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg pada intinya menyatakan bahwa, hukum
mengikuti agama yang dianut oleh seseorang; Kalau orangnya beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam
yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya.
Sedangkan teori receptie yag dikemukakan Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa yang berlaku bagi orang Islam bukanlah hukum
Islam tetapi hukum adat. Hukum Islam baru berlaku di kalangan masyarakat apabila telah diresepsi oleh hukum adat.
Teori mengenai dasar berlakunya Hukum Islam di Indonesia juga telah dikemukakan oleh para ahli hukum Indonesia sendiri yang ditujukan
untuk mengcounter teori receptie, sebagaimana yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Teori dimaksud yaitu teori receptio exit yang
dikemukakan oleh Hazairin dan teori receptio a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib.
Teori receptio exit menyatakan bahwa teori receptie sudah keluar, karena tidak sejalan dengan hukum di Indonesia, kemudian teori receptio a
contrario menyatakan bahwa Hukum Islam yang berlaku bagi masyarakat tidak memerlukan adanya penerimaan (receptie) dari hukum Adat,
melainkan didasarkan pada kenyataan bahwa Hukum Islam juga merupakan hukum yang hidup (living law) layaknya hukum adat. Di samping itu
Hukum Islam juga dapat. berlaku dalam kehidupan bernegara melalui positivisasi hukum, dengan memasukkan nilai-nilai atau asas-asas hukum
Islam dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Fakta menunjukkan hingga sekarang ini masih terdapat tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu Hukum Adat, Hukum Barat, dan Hukum Islam. Hukum
Islam dalam perkembangannya juga tidak bisa steril atau menafikkan dirinya dari pengaruh-pengaruh sistem Hukum Adat dan Barat.
Adanya interaksi tersebut memang tidak berarti seluruhnya memiliki muatan negatif, tetapi ada juga sisi-sisi yang baik atau positif, yaitu yang bersifat
administratif maupun substantif, yang justru diperlukan kehadirannya dalam rangka menempatkan hukum Islam agar dapat mengantisipasi kebutuhan hukum
masyarakat demi kepastian hukum.
Namun demikian pembaharuan hukum Islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah
dan Afrika Utara, karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masih kuat anggapan bahwa taqlid (mengikuti pendapat ulama dahulu), masih cukup untuk
menjawab persoalan-persoalan kontemporer, dan kebanyakan ulama merasa lebih umum mengikuti pendapat ulama terdahulu daripada melakukan ijtihad sendiri.
Kedua, hukum Islam di Indonesia dalam konteks sosial politik masa kini sellau mengundang polemik karena berada pada titik tengah antara paradigma agama
dan paradigma negara. Ketiga, persepsi sebagian masyarakat yang mengindentikkan fikih sebagai hasil kerja intelektual agama yang kebenarannya relatif dengan
syariat yang merupakan produk Allah dan bersifat absolut.
Hukum Islam dan Hukum Adat untuk bisa berlaku dalam sebuah negara terlebih dahulu harus melalui positivisasi, yakni memasukkan prinsipprinsip
hukum (Islam maupun Adat) ke dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Mengenai implementasi Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia Noel J. Coulson mengkategorikan ke dalam empat corak, yaitu (1)
Dikodifikasikannya Hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan, (2) Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu, yang disebut
dengan doktrin takhayur atau setidak-tidaknya melakukan talfiq, (3) Penerapan hukum sebagai akomodasi nilai-nilai baru, (4) Perubahan hukum yang baru.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dipandang sebagai pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Sebagian isi dari Kompilasi
Hukum Islam untuk pegangan para hakim Pengadilan Agama Indonesia merupakan pembaharuan hukum bentuk 2 (doktrin takhayyur) dan 4 (doktrin tathbiq)
Coulson dalam arti pembaharuan hukum ijtihadi.
Dalam menyelesaikan pertautan hukum Islam dengan nilai-nilai pra Islam dan Hukum Islam dengan perubahan sosial di dalam masyarakat sudah lama
dilancarkan apa yang dinamakan gerakan pembaharuan (bisa disebut dengan gerakan tajdid).
Hukum islam pada hakikatnya merupakan bidang hukum yang selalu up date karena memiliki daya elastis. Elastisitas hukum Islam dapat dilihat antara
lain dari sedikitnya jumlah ayat hukum (ayat al-ahkam) dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum (al-hadis al-ahkam) dan itupun pada umumnya hanya memuat
norma-norma dasar yang bersifat umum dan global.
PENDAHULUAN
Upaya memasukkan nilai-nilai hukum Islam dalam hukum positif di negara Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas berawal dengan
diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya memuat nilai-nilai Islam di bidang perkawinan, Implementasi hukum
Islam di negara Indonesia semain kokoh dari sisi penegakannya setelah diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu yang dialami oleh orang Islam mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lingkungan
peradilan lain, yakni memiliki kewenangan untuk mengeksekusi putusannya sendiri tanpa perlu terlebih dahulu mendapatkan fiat executie dari Peradilan
Umum.
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilsi Hukum Islam (KHI), mengatur mengenai masalah perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf dan
shadaqah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Dasar ditaatinya KHI sama dengan ditaatinya hukum Islam secara umum dan hukum adat, yaitu bahwa
kesemuanya merupakan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (living law).
Kewenangan Peradilan Agama menjadi semakin luas, sejak diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahaan Atas Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk dapat menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah, dapat juga diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan khusus untuk perbankan dapat melalui Lembaga
Mediasi Perbankan.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
A. Sumber Hukum Menurut Ilmu Hukum
Dalam ilmu hukum, sumber hukum dibedakan kepada:
1. Sumber hukum materil (welbron).
2. Sumber hukum formil (kenbron).
Sumber hukum materil atau sumber isi hukum ialah sumber yang menentukan corak isi hukum, atau sesuatu yang tercermin dalam isi hukum, yaitu
sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum. Pembicaraan sumber hukum materil merupakan salah satu bidang kajian filsafat hukum.
Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan pembicaraan filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-bentuk dimana kita
dapat menemukan atau mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum positif di suatu negara. Sumber hukum formil dalam ilmu hukum adalah:
3. Perundang-undangan
4. Kebiasaan (hukum adat, common law);
5. Hakim (yurisprudensi, judge made law).
6. Perjanjian (traktat, pacta sunt servanda);
7. Ilmu pengetahuan hukum (doctrine).
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
B. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum
Dalam bahasa Arab, kata “sumber” adalah pemahaman dari kata “masdar”, jamaknya “”mashadir”, artinya asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk
segala sesuatu.
Kata “dalil” jamaknya al-adillat, secara etimologi mempunyai arti petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi (indrawi) maupun maknawi (non
indrawi). Secara terminologi, dalil hukum adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh atau menemukan, mendapatkan
hukum (syara’) baik yang qath’iy (pasti) maupun dzanny (relatif).
Istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum (adillat al-ahkam), oleh sebagian ulama, kadang-kadang diartikan untuk makna yang
sama. Sebagian ulama ada yang membedakan penggunaan dua istilah tersebut. Menurut pendapat yang terakhir bahwa sumber hukum (mashadir al-ahkam)
adalah asal hukum atau rujukan hukum, sedang adillat al-ahkam adalah tempat ditemukannya atau sesuatu yang menunjuk kepada adanya hukum.
Pengertian istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) sama dengan kandungan pemahaman “sumber hukum materil” (sumber isi) dalam ilmu
hukum). Sedangkan pengertian “dalil hukum” (adillat al-ahkam), adalah sama dengan kandungan pemahaman pengertian “sumber hukum formil” (sumber
kenal) dalam ilmu hukum.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
C. Sumber Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT, untuk beribadat kepada-Nya. Dia menurunkan petunjuk (al-din syari’at), bagi
kehidupan manusia, melalui firman-Nya, sebagaimana terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh utusm (Rasul)-Nya.
Dialah pencipta syariat (syari’), pencipta hukum bagi makhluk ciptaan-Nya, kebenaran mutlak bersumber dari pada-Nya, dan Dialah pemilik mutlak
segala apa yang ada di langit dan dibumi serta diantara keduanya.
Allah SWT berfirman dalam QS. AL-An’am ayat 57, yang artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu”.
Untuk menjelaskan hukum dalam firman Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an, kemudian Allah SWT, mengirimkan utusan atau Rasul-Nya.
Perintah mengikuti nilai yang keluar dari utusan-Nya (Sunnah), sama kuat dengan perintah untuk mengikuti nilai yang terdapat dalam al-Qur'an, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 7, yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan”.
Dengan demikian sumber (asal), atau isi (materi) hukum (welbron), atau rujukan dalam menetapkan hukum, menurut pandangan Islam adalah kehendak
atau aturan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kehendak Tuhan tersebut termaktub dalam firman-Nya yaitu al-Qur’an yang dijelaskan melalui utusan atau
Rasul-Nya (Sunnah). Maka dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) atau “sumber meteril” sebagaimana dipahami dalam ilmu
hukum, adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
D. Dalil Hukum Islam
Dalam al-Qur'an ada ketentuan yang tidak bisa dicampuri oleh akal manusia (lihat uraian pengertian syari'at yang bersifat qath'iy terutama dalam bagian
ibadah mahdlah, namun ada pula yang bisa dicampuri oleh pemikiran (ijtihad) manusia terutama dalam bagian muamalat (lihat uraian pengertian fiqh yang
bersifat dzanny).
Manusia diberi kewenangan oleh Allah SWT, untuk menggunakan akal fikiran dalam kehidupannya sebagai khalifatan fi al-ardli, sebagai penguasa
(khalifah) di bumi, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah ayat 30, yang artinya:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”.
Dalam kasus-kasus tertentu, manusia diberi kewenangan untuk menyelesaikan sendiri (hukum) masalah yang dihadapinya sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan HR. Muslim:
“Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu”.
Dari pemahaman bahwa hukum itu berasal dari Tuhan, yang dapat kita ketahui melalui firman-Nya dalam al-Qur'an dan sabda (penjelasan) Rasul Nya
(Sunnah), atau melalui hasil pemikiran manusia melalui ijtihadnya, maka dalil hukum atau sumber hukum formil (kenbron) sebagaimana pemahaman dalam
ilmu hukum, kembali kepada, pertama, Naqliyah (alQur'an dan as Sunnah); dan kedua, ‘Aqliyah (ijtihad).
Jadi dalil atau sumber (formil) hukum Islam tersebut ada yang berasal dari dimensi Ilahi dan ada yang berasal dari potensi insani.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
Sedangkan al-ijtihady adalah proses upaya penggalian melalui akal pikiran manusia (ra'yu) dari al-wahyu al-ilahy, bagi masalah-masalah yang belum jelas
atau tidak secara tegas disebut hukumnya dalam al-Qur'an, sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian. Jika kamu berselisih di dalam suatu
perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Qur'an) dan kepada Rasul (Sunnah)”.
Perintah untuk mengembalikan apabila terjadi berlainan pendapat (sesuatu yang diperselisihkan), kepada al-Qur'an dan Sunnah, diartikan oleh para-ulama
adalah menggunakan akal pikiran atau ra’yu.
Kedudukan a!-Qur'an, ia sebagai sumber hukum (mashdar al-ahkam) dan juga sebagai dalil hukum (adillat al-ahkam).
Sunnah Nabi, yaitu perkataan, perbuatan dan penetapan (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) Nabi Muhammad saw, merupakan penjelasan (bayan) terhadap
al-Qur'an. Fungsi sunnah sebagai bayan tersebut bisa menguatkan (bayan ta'kid), menafsirkan atau memperjelas (bayan tafsir) atau mendatangkan hukum baru,
dalam hal al-Qur'an tidak menyebutkan hukumnya (bayan tasyri’). Kedudukan Sunnah adalah dalil hukum yang kedua setelah al-Qur'an. Sama seperti al-Qur'an,
Sunnah menempati kedudukan sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) dan kedudukan sebagai dalil hukum (adillat al-ahkam).
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
Hukum Allah yang didatangkan melalui nash (al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi) dapat ditemukan dalam tiga hal :
1. Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafadz (ungkapan kata atau kalimat al-Qur'an atau Sunnah, menurut yang disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut
"Hukum yan tersurat dalam nash".
2. Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafadz al-Qur'an atau Sunnah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafadz yang tersebut
dalam al-Qur'an atau Sunnah. Hukum dalam bentuk ini disebut "Hukum yang tersirat di balik lafadz nash".
3. Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafadz al-Qur’an dan sunnah dan tidak pula dari isyarat suatu lafadz yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, tetapi
dapat ditemukan dalam jiwa (ruh atau semangat) dari keseluruhan maksud Allah SWT dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut “hukum yang
tersembunyi di balik nash”.
Dalam bentuk hukum pada butir 1, ra’yu (ijtihad) tidak berperan, tetapi dalam memahami hukum butir 2 dan 3, peranan ra’yu tersebut, sangat diperlukan.
Ijtihad sebagai bentuk upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka menemukan dan menggali hukum, bisa dilakukan oleh perorangan (individual) atau oleh
kelompok. Oleh karena itu ijtihad dapat berupa :
4. Ijtihad individual (fardy); atau
5. Ijtihad kelompok (kolektif jama’iy)
Kegiatan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy), kemudian dikenal dengan istilah ijma’. Sedangkan kegiatan ijtihad individual (ijtihad fardy) dikenal dengan beberapa
bentuk dan istilah, antara lain qiyas.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
Keempat dalil hukum (kenbron) tersebut di atas yaitu: (1) AI-Qur'an, (2) As-Sunnah, (3) Ijma' dan (4) Qiyas, adalah dalil hukum yang telah disepakati
oleh jumhur ulama (mayoritas ulama). Sedang dalil hukum yang belum disepakati oleh mereka antara lain Istihsan, Mashlahat Mursalah, Istishhab, ‘urf, Mazhab
Shahaby dan Syar’u man Qoblana.
AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
Para ulama memberikan definisi tentang Al-Qur’an sebagai Kalamullah (firman Allah) yang mengandung mujizat diturunkan kepada Rasulullah
Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat
dalam mushhaf dan membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat AL-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114
surat dan 6240 ayat .
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur selama sekitar-23 tahun atau dalam Masa 22 tahun 2 bulan dgn 22 hari. Masa 13 tahun turun di Mekkah
dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat Makiyyah, sedang, ayat-ayat yang diturunkan
di Madinah atau sesudah Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat Madaniyyah.
Surat Madaniyyah sebanyak 11/30 dari isi al-Qur'an, sedangkan Surat Makiyyah berjumlah 19/30 dari isi al-Qur’an yang berjumlah 4.780 ayat.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
B. Kandungan Isi Al-Qur'an
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an secara garis besarnya terbagi kepada tiga:
1. Hukum i'tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah antara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan. Hukum dalam bidang ini kemudian berkembang
menjadi ilmu ushuluddin (ilmu kalam, ilmu tawhid).
2. Hukum khuluqiyah yang menyangkut tingkah laku dan moral lahir manusia dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini berkembang kemudian menjadi ilmu akhlak (ilmu
Tasawwuf).
3. Hukum 'amaliyah yang menyangkut hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Hukum dalam bidang ini berkembang
menjadi ilmu syari'ah (dalam arti sempit), atau Ilmu Fiqh.
Hukum syari'ah (dalam arti sempit) secara garis besarnya terbagi kepada dua :
4. Hukum-hukum ibadat (dalam arti khusus) atau Fiqh Ibadat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhan, seperti shalat, puasa, haji dan ibadah
lainnya. Perbedaan ibadat dengan aqidah atau i'tiqadiyah, terletak pada hubungan yang berlaku. I'tiqadiyah dalam bentuk hubungan rohaniah sedangkan ibadat adalah bentuk hubungan
lahiriah.
5. Hukum-hukum muamalat dalam arti luas atau Fiqh Muamalat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekiatarnya. Hukum-
hukum muamalat ini dirinci menjadi beberapa bidang hukum : Hukum muamalat, Hukum perkawinan, Hukum waris, Hukum pidana, Hukum acara pidana, Hukum tata negara, Hukum
antar bangsa (internasional).
Hukum yang keluar dari Al-Qur’an sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang utama, pada umumnya masih bersifat global (ijmaly) hanya beberapa bagian hukum yang sudah
rinci, seperti pengaturan tentang hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Selanjutnya rincian terhadap hukum yang masih global tersebut kemudian dijelaskan oleh Muhammad SAW dalam
sunnahnya.
SUMBER DAN DALIL HUKUM
ISLAM
C. Kehujjahan Al-Qur’an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur'an adalah sumber hukum dan dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah SWT, dan wajib diamalkan oleh manusia.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjah dengan al-Qur'an adalah:
1. A-Qur’an diturunkan kepada Rasuluulah SAW, diketahui secara mutawatir, hal ini memberikan keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah SWT, melalui malaikat Jibril
kepada Muhammad SAW, yang dikenal orang yang paling dipercaya.
2. Ayat-ayat Al-Qur'an menyatakan bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ayat 105 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
3. Kemu’jizatan Al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan dan kemampuan umat manusia.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur'an menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi oleh akal manusia diantaranya adalah:
a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, seperti kata al-haya (hidup) dan al-maut (mati), sama berjumlah 145 kali,
al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama berjumlah 17 kali.
b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Qur'an seperti dalam QS Yunus ayat 92, dikatakan bahwa “Badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi
generasi-generasi berikutnya”. Apapun yang dikatakan Al-Qur'an terbukti dengan ditemukannya mummi Fir’aun tersebut oleh Arkeolog Loret pada tahun 1896 dan sampai sekarang mummi
tersebut tersimpan utuh di Museum Mesir.
c. Banyak syarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Qur'an, seperti surat QS. Yunus : 5, dikatakan “ Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari
cahaya matahari). Selanjutnya dalam QS. A-Naml ayat 88 disebutkan “bahwa gunung-gunung itu berjalan sebagaimana jalannya awan”. Hal ini menunjukan bahwa bumi berputar pada
porosnya dan beredar mengelilingi matahari.
SUNNAH
A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” atau “kebiasaan yang
selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuatu yang baik atau buruk.
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah) Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah "segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
B. Macam-macam Sunnah
Berdasarkan definisi Sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadir alahkam) dan dalil
hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam yaitu:
1. Sunnah filiyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain.
2. Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan Nabi saw. yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
3. Sunnah taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi Nabi hanya diam dan tidak
mencegahnya.
SUNNAH
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya Rawy yaitu orang yang menyampaikan atau yang menjadi sumber berita, Sunnah (Hadits) itu terbagi kepada
dua macam, yakni Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
a. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ialah suatu hadits hasil tanggapan dari pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rway, yang menurut adat kebiasan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
b. Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawy, tapi jumlah tersebut tidak sampai derajat mutawatir.
Hadist Ahad dibedakan menjadi Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
1) Hadits Masyhur
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadits Aziz
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sedeikitnya dua orang rawy, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian
setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3) Hadits Gharib
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawy, walaupun seorang rawy tersebut hanya dalam satu thabaqah (lapisan), kemudian setelah itu orang-
orang meriwayatkannya.
SUNNAH
Sedangkan kalau ditinjau dari segi kualitas orang-orang yang meriwayatkannya sehingga berpengaruh kepada kualitas diterima atau ditolaknya suatu
hadits, maka hadits dapat dibedakan menjadi hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dlaif.
a. Hadits Shahih
Hadits Shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawy yang adil, sempurna (kuat) ingatannya, sanadnya bersambu-sambung, tidak ber’illat, dan tidak
janggal (syadz).
b. Hadits Hasan
Hadits Hasan ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang adil, namun kurang kuat ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber'illat dan tidak
janggal.
c. Hadits Dla'if
Hadits Dla’if ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
SUNNAH
C. Kitab-Kitab Hadits
Beberapa kitab hadits terkenal yang merupakan himpunan hadits para ulama antara lain enam kitab hadits terkenal yang disebut Kutub As Sittah, sebagai
berikut:
1) Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Bukhari (194-252 H/810-870 M).
2) Jami al-Shahih (Shahih Muslim). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Muslim (204-261 H/820-875 M).
3) Sunan Abi Dawud. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Abu Dawud (202-275 H/817-889 M).
4) Sunan Turmudzy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam At-Turmudzy (200-279 H/824-892 M).
5) Sunan An-Nasa’iy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam An-Nasa’iy (215-303 H/839-915 M)
6) Sunan Ibnu Majah. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Ibnu Majah (207-273 H/824-887 M).
SUNNAH
D. Kehujjahan Sunnah
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk di atas (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber hukum Islam (mashadiral-ahkam,
adillatal-ahkam), yang menempati posisi kedua setelah al-Qur'an.
Alasan yang dikemukakan para ulama mengenai kehujjahan Sunnah tersebut, didasarkan kepada firman Allah SWT dan Sunnah Nabi sendiri, antara lain :
QS. An-Nisa ayat 59, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (alQur'an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada AIIah dan hari kemudian”.
HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Sesungguhnya pada saya telah diturunkan Al-Qur'an dan yang semisalnya”.
E. Fungsi Sunnah
Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an masih bersifat global (ijmaly), yang masih memerlukan Penjelasan dalam implementasinya. Fungsi sunnah yang utama adalah untuk
menjelaskan al-Qur'an, sebagaimana dalam QS. An-Nahl ayat 44, yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka”.
Dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya sebagai berikut:
1. Bayan Ta’kid. Bayan ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an.
2. Bayan Tafsir. Bayan tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samat dalam Al-Qur'an, atau memperinci apa-apa yang dalam Al-Qur'an disebutkan secara garis besar,
membatasi apa-apa yang oleh Al-Qur'an disebutkan dalam bentuk umum atau memberi batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak. Perintah shalat disampaikan Al-Qur'an
dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya karena dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum pada waktu itu. Kemudian nabi melakukan perbuatan
shalat secara jelas dan terperinci dan menjelaskan kepada umatnya: “Inilah salat itu dan kerjakanlah salat itu sebagaimana kamu lihat aku mengerjakannya”.
3. Bayan Tasyri. Yaitu menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
IJTIHAD
Apabila, manusia menemukan masalah-masalah yang belum terdapat secara jelas hukumnya dalam nash (teks Al-Qur'an dan sunnah nabi), maka manusia
mempunyai dan diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk menggunakan akal pikirannya (ijtihad) dalam memecahkan masalah tersebut. Kebebasan yang dimiliki oleh
manusia ini, tetap harus memperhatikan petunjuk, pedoman dan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dna sunnah nabi.
Kegiatan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy) kemudian dikenal dengan istilah ijma’. Sedangkan ijtihad individual (ijtihad fardy) dikenal dengan beberapa bentuk dan
istilahnya.
2. Zaman Sababat
Setelah Nabi wafat maka tugas beliau dalam mengajarkan dan mengembangkan Agama Islam termasuk dalam hal mengembangkan
hukum Islam khususnya, digantikan oleh para sahabat terpilih yang dikenal dengan Khulafaur Rasyidin. Pada saat kepemimpiman Khulafaur
Rasyidin inilah Islam sudah mulai berkembang luas keluar Jazirah Arab, misalnya ke daerah Mesir, Syiria, Persia dan Irak. Para sahabat yang
menjadi khalifah sepeninggal beliau adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Kalau dilihat dari latar belakangnya, akan tampak bahwa Abu
Bakar Iebih mewakili golongan birokrat, Umar termasuk dalam golongan tentara, Usman termasuk dalam golongan pengusaha, dan Ali termasuk
dalam golongan cendekiawan. Latar belakang kehidupan ini tentu saja akan berpengaruh pada corak pemerintahan yang mereka jalankan.
Adapun cara yang dipakai oleh para sahabat dalam berijtihad antara lain ialah dengan qiyas, istihsan dan juga ijma para sahabat. Pada
periode kedua ini dasar hukum yang dipakai untuk menetapkan hukum ialah: al-Quran, sunnah, ijmak, dan ra'yu (qiyas, istihsan, dan lain-lain).
Masa ini merupakan masa kedua dalam perkembangan Tasri' Islami, yaitu sejak wafatnya Rasulullah sampai wafatnya Ali. R.a.
(11-40H/632-661 M). Adapun beberapa upaya yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam rangka pengembangan hukum Islam, antara lain:
a. Abu Bakar Ash shidiq
Masa ini disebut masa penetapan tiang-tiang (da’aim). Pada zaman ini dilakukan upaya untuk memerangi orang-orang yang murtad, nabi-nabi
palsu (muntanabbi) seperti Musailamah al-Kadzab, dan orang-orang yang membangkang kewajiban membayar zakat.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
b. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab menjadi khalifah pada tahun 13 H atau tahun 634 M. Pada masa pemerintahannya wilayah Islam semakin meluas, antara lain ke
Mesir, Irak, Azerbaijan, Persia dan Siria. Umar bin Khattab yang pertama kali menyusun administrasi pemerintahan, menetapkan pajak, kharaj atas tanah
subur yang dimiliki orang non muslim. Disamping itu juga ditetapkan peradilan dan perkantoran serta penanggalan qomariyah yang dihitung sejak hijrahnya
Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Umar bin Khattab dikenal sebagai imam al-mujtahidin. Pada masanya dia berijtihad untuk menentukan suatu hukum yang sepintas lalu nampak seperti
bertentangan dengan nash, antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan, karena tidak ada ‘illat untuk memotongnya.
c. Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya Utsman bin Affan atau tepatnya pada tahun 30 H/650 M. dilakukan usaha pengumpulan Al-Qur'an dengan qiraah (dialek)
yang satu ke dalam satu mushhaf, yang kemudian dikenal dengan mushaf usmani. Tim pengumpul dan penulis Al-Qur'an terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Mushaf Usman inilah yang dijadikan sebagai standar bacaan Al-Qur'an di seluruh negeri muslim hingga
saat ini.
d. Ali bin Abi Thalib
Ali adalah sepupu dan menantu Nabi saw. Oleh karena itu, banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang
lainya. Yang berpendapat demikian terkenal dengan nama golongan Syiah. Sejak zaman Nabi Ali terkenal dengan kemahirannya sebagai qadhi.
Adapun urf (adat) tidaklah terhitung sebagai dalil syarak yang berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan pada ijmak atau qiyas, dalam hal tidak terdapat
pada nash sharih atau sunnah taqririyyah.
Pada masa ini telah terjadi perbedaan pendapat antara fuqaha dari segi menafsirkan ayat Al-Qur'an atau dalam hal penerimaan suatu hadis dan juga
dalam hal memakai dan menerapkan qiyas.
Di antara fuqaha selain Khulafaur Rasyidin terkenal pula, Abdullah Ibnu Abbas, Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Umar di Madinah Abdullah ibnu Mas'ud
di Kufah, Abdullah ibn Amr lbn Ash di Mesir, Sayyidati Aisyah, dan qadhi yang masyhur, Abu Musa al-Asy'ari dan Mu'adz bin Jabal. Mereka terpencar di
beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqih Islami dan pengembangannya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Periode kedua ini berakhir dengan wafatnya Khalifah keempat yaitu Khalifah Ali bin Abu Thalib. Pada masa inipun fatwa-fatwa para
sahabat juga belum dibukukan, melainkan hanya disiarkan dari mulut ke mulut saja seperti hadits Nabi.
Para sahabat yang menjadi Mufti/pemberi fatwa pada periode kedua ini yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan,
aAli bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ary, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Aisyah Umul Mukminin, Anas bin
Malik, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar.
Berdasarkan pemaparan di atas nampak bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat dinamika perkembangan mengenai itu adalah sebagai
berikut:
1). Masalah zakat (sosial)
Salah satu sasaran utama dari zakat adalah untuk memantapkan hati orang yang baru masuk Islam agar iman mereka menjadi kuat.
Namun oleh Umar bin Khattab hal ini tidak dilaksanakan mengingat situasi sudah lain, yaitu para mu’allaf kebanyakan termasuk golongan
ekonomi kuat dan Islam telah mempunyai kedudukan yang kuat.
2). Masalah nikah, talak, rujuk, dan cerai
Semasa Khalifah I, Abu Bakar R.A, andaikata suami menjatuhkan talak tiga kepada istrinya sekaligus, maka dianggap (dihitung) hanya
talak satu. Akan tetapi semasa Khalifah Umar r.a., hal itu tetap dianggap talak tiga, sesuai dengan ucapan yang dikeluarkan oleh sang suami.
Adapun alasan beliau adalah agar si suami (laki-laki) jangan terlalu latah mempermainkan talak kepada istrinya.
3). Masalah zina
Nabi menetapkan dan mempraktikkan hukum zina bagi orang yang belum kawin (beristri) adalah cambuk seratus kali, kemudian
diasingkan ketempat (ke negeri) lain selama setahun. Tetapi masa khalifah Umar bin Khattab hukuman buang ini ditiadakan.
4). Masalah pencurian
Berdasarkan hukum al-Quran, maka setiap pencuri dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana telah secara jelas dan tegas dalam
surat Al-Maidah ayat 38.
Tetapi sewaktu musibah kelaparan melanda Madinah, sehingga menyebabkan banyak terjadi pencurian, Khalifah Umar meniadakan
hukum potong tangan.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
3. Zaman Mujtahidin
Secara umum keadaan umat Islam dalam periode ketiga ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Periode ini dimulai pada saat pemerintahan pindah dari Khulafaur Rasyidin kepada Mu'awiyah dari Dinasti Umayyah yang berpusat di Damascus.
b. Umat Islam pada periode ketiga ini sudah pecah menjadi tiga golongan yaitu: Khawarij, Syiah , dan Jumhur.
Hal-hal penting yang terjadi sehubungan dengan perkembangan hukum Islam pada periode ketiga ini ialah:
a. Para ulama mulai tersebar keseluruh daerah Islam, tidak hanya menetap di Madinah saja.
b. Riwayat hadits menjadi berkembang. Hal ini dikarenakan para ulama dalam usaha menetapkan hukum berusaha untuk mengumpulkan hadits dari para sahabat
yang menerima dari Nabi, dengan jalan mendatangi para sahabat itu dari satu kota ke kota lainnya.
c. Golongan Jumhur pecah menjadi dua golongan, yaitu:
1). Golongan ahli hadits, yaitu para ulama yang dalam usahanya menetapkan hukum mengutamakan hadits sebagai dasarnya. Golongan ahli hadis ini banyak dijumpai
di Hijaz, Saudi Arabia. Ulama-ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli hadis antara lain Said Ibnul Musayyab, Abu Umayyah Al Kufi, As-Sya’bi, dan Sufyan Ibn Sa’id.
2). Golongan ahli ra’yu, yaitu para ulama yang di dalam usahanya menetapkan hukum selain mendasarkan diri pada Al-Qur'an dan sunnah juga melakukan ijtihad
(ra’yu). Bahkan apabila ada hadis yang berlawanan dengan hadis lain atau berlawanan dengan dasar-dasar syariat, maka hadis itu dikesampingkan dan mereka
mengutamakan ijtihad. Golongan ahli ra’yu ini banyak dijumpai di Iraq.
Para Ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli ra’yu antara lain adalah Alqamah ibn Qais, Ibrahim Ibn Yazid, Hammad Ibn Abi Sulaiman. Dalam golongan ini
lahir tokoh-tokoh ulama mawali yaitu ulama-ulama dari bangsa lain selain Arab, misalnya Persia, Rum, Mesir dan lain sebagainya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
4. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Keempat: Masa Lahirnya Mazhab, Pembukuan Hadis dan Fikih (101
H sampai dengan 350 H)
a. Keadaan Hukum Islam dalam periode Keempat
Hukum Islam pada periode ini mengalami perkembangan pesat dan meliputi banyak bidang. Fikih pada periode ini memasuki periode kematangan
dan kesempurnaan.Para ulama pada masa ini banyak berusaha untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya dan persaingan antarta para ulama berjalan
seru, karena dalam usahanya menentukan ilmu-ilmu baru itu mereka betul-betul menggunakan akal sebab kemerdekaan berpikir pada saat itu dijamin.
Pada masa periode keempat ini, menyebabkan timbulnya beberapa hal antara lain yaitu:
1) Lahir tokoh-tokoh fikih yang terkenal, ahli-ahli hadis, dan ahli-ahli ilmu lainnya.
2) Dibukukannya ilmu-ilmu Al-Quran, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya.
3) Ulama-ulama mulai memperhatikan dan mempelajari ilmu-ilmu lain selain ilmu Agama, misalnya: ilmu Kedokteran, ilmu kimia, filsafat, ilmu sejarah,
dan lain-lain.
4) Para ulama berusaha untuk menyusun ilmu-ilmu itu secara lengkap dan sistematis dan memisahkan ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya.
5) Selain mempelajari, mereka juga berusaha untuk menterjemahkan kitab-kitab Falsafah, ilmu Alam dari berbagai bahasa kedalam bahasa Arab.
Disamping itu mereka juga berusaha mempelajari agama-agama lain untuk bahan pembahasan hukum Islam.
6) Pada masa ini lahir ijtihad mutlak, dimana para mujtahid dalam berijtihad tidak perlu terikat pada ijtihad orang lain.
7) Pada periode ini lahir tokoh-tokoh ijtihad, dimana pendapat-pendapat para ahli ijtihad itu mulai dibukukan dan diikuti oleh orang lain (taqlid) dan
kepemimpinan mereka dalam bidang fikih diakui.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Para ahli ijtihad yang hidup pada masa ini dan yang terkenal ada 13 orang: Sufyan Ibn Uyainah di Mekah, Malik Ibn Anas di Madinah, Al-
Hasan AlBasyri di Basrah, Abu Hanifah di Kufah, Sufyan Ats-Tsaury di Kufah, Al-Auza’i di Syiria, As-Syafi’i di Mesir, Al-Laits di Mesir, Ishaq di
Naisabur, Abu Tsaur, Akhmad, Daud dan Ibnu Jarir di Baghdad.
Pendapat-pendapat para mujtahid tersebut di atas dalam bidang hukum Islam yang satu dan lainnya mungkin berbeda dan mempunyai
pengikut sendiri-sendiri. Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran/mazhab-mazhab di dalam hukum Islam.
Faktor-faktor pendorong yang menyebabkan hukum Islam berkembang dengan pesat pada masa itu antara lain adalah:
a). Pada waktu Khalifah Abu Ja'far al-Mansur memindahkan pusat pemerintahan dari Kufah ke Bagdad, beliau juga berusaha membangun ilmu
agama dan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu dengan cara mengumpulkan ahli-ahli ilmu pengetahuan agama dan lain-lainnya ke kota Baghdad,
sehingga kota ini menjadi pusat berkembangnya ilmu pengetahuan di bagian Timur.
b). Kota Kardova di Andalusia juga menjadi tempat berkembangnya ilmu pengetahuan Islam dan lain-lainnya di bagian Barat.
c). Di kota Al-Fustat Mesir dikumpulkan para ulama dari berbagai mazhab untuk mengajarkan pendapat-pendapatnya, .
d). Damascus, Kufah, dan Basrah juga tetap berkembang walaupun kekhalifahan sudah tidak beribu kota disini.
e). Di Persia, kota Maru dan Naisabur juga menjadi tempat berkembangnya ilmu karena di kota-kota ini tempat berkumpulnya para ulama.
Adapun perkembangan pembukuan ilmu tafsir pada waktu itu dilakukan dengan cara mencatat penafsiran yang datangnya dari Nabi,
mencatat penafsiran yang dibawa oleh para sahabat, menafsirkan dengan melihat penafsiran Nabi dan ditambah dengan hasil ijtihadnya sendiri.
Contoh Al-Qur'an yang ditafsirkan dengan menggunakan hasil ijtihad penafsirannya ialah tafsir Ibnu Jarir.
Penafsiran Al-Qur'an tersebut ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu tafsir dan ta’wil, yang dimaksud tafsir adalah penafsiran Al-Qur'an
yang berasal dari Nabi dan sahabat, sedangkan ta’wil adalah penafsiran Al-Qur'an berdasarkan hasil ijtihad.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Adapun usaha pembukuan as-Sunnah/Hadis sudah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pada saat itu terdapat enam kumpulan hadis yang Sahih yaitu yang dikumpulkan oleh Al-Bukhari, Muslim an Naisaburi, Abu Daud, Abu Isa At-
Turmudzy, Ibnu Majjah, Ahmad An Nasa’i.
Mengenai pembukuan ilmu fikih dilakukan bersamaan dengan pembukuan hadits yaitu pada pertengahan abad kedua hijriah.
Untuk dapat membukukan ilmu fiqih maka terlebih dahulu harus mempelajari tentang Ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang menerangkan
tentang dalil-dalil syara’ (dasar-dasar hukum) yang dari padanya akan ditentukan hukum-hukum tertentu. Adapun kitab Ushul Fikih yang paling
tua yang sampai sekarang masih ada adalah kitab Risalah Asy Syafi’i yang merupakan pembukaan bagi kitab Al-Umm.
Pada saat itu lahir berpuluh-puluh mazhab tetapi yang berkembang sampai sekarang ini adalah empat mazhab (Mazhab Ahlus Sunnah),
Mazhab Syi’ah Immamiyah dan Mazhab Zaidiyah.
MAZHAB-MAZHAB
A. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah dan merupakan mazhab yang tertua. Beliau hidup antara tahun 80 H sampai
dengan 150 H. Beliau mempunyai empat puluh orang murid yang membukukan pendapatnya. Murid-muridnya tersebut antara lain
yaitu:
1. Abu Yusuf Ya’qub Al Anshary (113 H – 183 H)
2. Muhammad Ibn Al Hasan Asy Syaibani (132 H – 189 H)
3. Zufar Ibn Huzail Ibn Qais aAl Kufy (110 H – 158 H)
4. Al Hasan Ibn Ziyad Al Lu’lu-iy Al Kufy
Pada masa sekarang ini mazhab Hanafi berkembang di Mesir, Iraq, Turki, Albania, Afganistan dan masyarakat muslim di Rusia.
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang lebih mengedepankan rasio (ra’yu) dalam menentukan suatu hukum. Adapun dasar-
dasar ajaran Mazhab Hanafi di bidang hukum Islam mendasarkan pada ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an, as-Sunnah, ijma, qiyas
dan istihsan.
MAZHAB-MAZHAB
B. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki didirikan oleh Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi 'Amr. Beliau berasal dari Yaman yang merantau ke Madinah.
Murid-muridnya dari Mesir yang mengembangkan ajaran Mazhab Mailiki antara lain ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah Ibn Wahab Ibn Muslim Al-Qurasy (125 H – 197 H).
2. Abu Abdullah Abdur Rakhman Ibn Al Qasim Al-Utaqy.
3. Ashbagh Ibn Alfaj Al Amawy
4. Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ziyad Al Iskandary.
Murid-muridnya dari Afrika dan Andalusia yang mengembangkan ajaran mazhab Maliki antara lain ialah:
5. Abu Abdullah Ziyad Ibn Abdur Rakhman Al Qurtuby
6. Isa Ibn Dinar Al Andalusy
7. Abdul Malik Ibn Habib Ibn Sulaiman As Sulamiy
8. Abdul Hasan Ali Ibn Ziyad At Tunisy.
Untuk masa sekarang ini mazhab Maliki berkembang di sebagian negara Afrika Utara (Aljazair, Tunisia dan lain-lain), Sudan, Mesir.
Sedangkan di Iraq, Palestina dan Hijaz pengikut mazhab Maliki tinggal sedikit.
Dasar-dasar yang dipakai oleh Imam Malik dalam menentukan hukum-hukum Islam adalah: al-Quran, hadis, ijmak, qiyas, pekerjaan
ulama-ulama Madinah, perkataan sahabat, istikhsan, istishab, maslahat-mursalah, dan syari'at umat-umat terdahulu.
MAZHAB-MAZHAB
C. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi'i dalam menyusun mazhabnya menyesuaikan dengan mazhab ahli hadis dan mzhab ahli qiyas. Imam Syafi’i mempunyai dua
pendapat yang diajarkan pada muridnya, yaitu:
1. Mazhab Qadim yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau ajarkan pada murid-muridnya ketika beliau diam di Iraq.
2. Mazhab Jadid yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau tetapkan dan beliau ajarkan kepada murid-muridnya setelah beliau
bermukim di Mesir.
Antara kedua paham (pendapat) beliau ini ada perbedaannya. Pada masa sekarang ini para pengikut mazhab Syafi'i banyak mengikuti
paham pendapat yang beliau tetapkan di Mesir.
Adapun murid-murid imam Syafi'i yang mengajarkan mazhabnya adalah sebagai berikut:
3. Mazhab Qadim:
a. Ahmad Ibnu Hambal (164 H-241 H).
b. Abu Tsaur Ibn Ibrahim Ibnul Yamani Al Kalby (wafat ± 264 H).
c. Al Hasan Ibn Muhammad Ibn Shabah As Za'rafany (wafat ±260 H).
d. Abu Ali Al Husain Ibn Ali Al Karabitsy
MAZHAB-MAZHAB
2. Mazhab Jadid
a. Yusuf Ibn Yahya Al Buwaity (wafat :I-231 H).
b. Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al Muzany (175 H-264 H).
c. Ar Rabi' Ibn Sulaiman Ibn Abdul Jabar Al Murady (174 H-270 H).
d. Yunus Ibn Abdul Ahla Ashadafy (170 H-264 H).
e. Abu Bakar Muhammad Ibn Ahmad (Ibnul Hadad) (175 H - 245 H).
Mazhab Syafi'i berkembang sebagai hasil usaha para pengikutnya dan murid-muridnya bukan dengan bantuan kekuasaan para Khalifah
seperti halnya Hanafi dan Maliki.
Tempat-tempat atau daerah-daerah berkembangnya Mazhab Syafi’i antara lain adalah di Iraq, Mesir dan sebagian besar daerah di Asia
Tenggaran termasuk Indonesia.
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Mazhab Syafi'i dalam menetapkan hukum yaitu: al-Quran, as-Sunnah, qjyas, dan ijmak.
MAZHAB-MAZHAB
D. Mazhab Hambali
Mazhab Hambali ini dikembangkan Ibn Hilal Ibn Asad Asy Syaibany Al-Maruzy (164H-241H) para pengikut atau murid-muridnya antara
lain:
a. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hamid (wafat ± 261 H).
b. Ishaq Ibn Mansur Ibn Bahrain (wafat ±251 H) di Naisabur.
c. Al Hasan Ibn Sabah Ibn Muhammad-Abu Ali Al Bazar (wafat ± 249 H).
d. Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ubaid Ibn Sufyan Abu Bakar Al Quraisy (208 H-281 H).
Tempat-tempat berkembangnya Mazhab Hambali adalah di Baghdad (Iraq) Mesir, dan sebagian besar di Hijaz.
Adapun dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam menetapkan hukum Islam ialah Al-Qur'an, fatwa sahabat,
pendapat sahabat yang mendekati Al-Qur’an dan as-sunnah, hadis mursal dan hadis dhaif serta qiyas.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
5. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Kelima: Masa Para Ulama Murajihhin (berlangsung antara tahun 350 H-656 H)
Periode kelima ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah. Pada masa ini dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, dimana tiap-
tiap bagian dikuasai oleh seorang Amir. Hal ini mengakibatkan tidak adanya persatuan dan kesatuan dari umat Islam sehingga umat Islam menjadi lemah dan
mundur. Demikian juga perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Kemerosotan dan kemunduran perkembangan hukum Islam
juga disebabkan karena para ulama sudah kehilangan keinginan untuk berijtihad seperti masa-masa sebelumnya.
Di samping kelemahan dan kemunduran dalam perkembangan hukum Islam namun masih ada juga usaha-usaha para ulama masa ini yang patut
diketengahkan, yaitu:
a. Mereka berusaha menerangkan dasar-dasar hukum yang dipakai oleh para imam dalam menetapkan hukum.
b. Mereka masih mau menggunakan qiyas dalam masalah yang tidak ada nash al-Quran dari Imam mereka masing-masing.
c. Mentarjihkan antara pendapat-pendapat Imam yang berlainan dalam satu mazhab. Pentarjihan itu dari jurusan riwayat ataupun dari segi paham yang
berbeda.
d. Mempertahankan mazhabnya masing-masing, yaitu dengan cara:
1) Menulis kitab-kitab yang menerangkan keutamaan dan kelebihan imam yang mereka ikuti.
2) Apabila terjadi perselisihan antara imam yang satu dengan yang lainnya maka mereka berusaha untuk mencari dalil/dasar hukum yang menguatkan
pendapat Imamnya.
3)Banyak melakukan perdebatan (munadharah).
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Adapun kitab-kitab mazhab yang disusun pada periode kelima ini antara lain ialah:
a. Mazhab Hanafi, kitab-kitabnya yaitu: al-mukhtasan, al-jamil'ul kabir, Khasanatul akmal, Taqwinul Adilah, dan AI-Asrar.
b. Mazhab Maliki, kitab-kitabnya yaitu: Al Munthakhabah, Al Watsa'iq, Al Akhkam, An Nawadhir, dan At Takhdhib.
c. Mazhab Syafi'i, kitab-kitabnya yaitu: Al-ahwi, Al-'Umdah, Al Majmu', Ta'liqah, dan Al-Mudhahab.
d. Mazhab Hanbali, kitab-kitab yang menjadi hasil karyanya yaitu: Al Qathi'yah, Al Miftah, Al Mufradat, Al Hidayat, dan Al Tadzkirah.
6. Perkembangan Hukum Islam Periode Keenam: Periode Para Muqallidin (656 H sampai dengan
akhir abad ke-13 H)
Keadaan umum pada periode keenam ini perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran yang cukup signifikan, bahkan yang lebih
parah ijtihad tidak diperbolehkan lagi atau dengan kata lain pintu ijtihad telah dinyatakan tertutup.
Walaupun keadaan fikih makin merosot karena ijtihad menjadi berhenti namun ada masa ini masih ada beberapa ulama yang berusaha
untuk terus berijtihad walaupun harus menerima rintangan yang tidak ringan. Ulama-ulama itu antara lain:
e. Al Imam Ibnul Amir Ismail Ash Sariany, yang mengarang kitab Subulus Salam.
f. Al Imam Asy Syaukani, yang mengarang Ainul Authar.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Pada masa ini para ulama menempatkan ulama-ulama mazhab yang sebelum maupun semasanya menjadi beberapa tingkat, yaitu:
a. Tingkat pertama disebut Ahlul Ijtihad Fil Mazhab. Yang termasuk ulama golongan ini adalah ulama yang tidak melakukan ijtihad secara
mutlak dalam segala bidang dan masalah. Mereka hanya berijtihad dalam beberapa kejadian baru menurut dasar-dasar ijtihad yang telah
ditetapkan oleh para Imamnya.
b. Tingkatan kedua disebut Ahlul Ijtihad Fil Masa'il. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang berijtihad hanya dalam masalah
yang tidak diberikan hukumnya oleh imam-imam dengan menggunakan dasar-dasar yang telah dipergunakan oleh imam-imam mereka.
c. Tingkatan ketiga disebut Ahlul Takhriji. Yang termasuk golongan ini adalah ulama yang tidak berijtihad dalam menetapkan hukum
melainkan menafsirkan pendapat-pendapat yang singkat dari para Imam untuk diperjelas.
d. Tingkatan keempat disebut Ahlul Tarjiyah. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang membandingkan riwayat-riwayat yang
bermacam-macam yang diriwayatkan oleh para Imam dan menentukan mana yang lebih baik diikuti karena dianggap lebih sahih atau
sesuai dengan qiyas.
e. Tingkatan kelima disebut Ahlul Taqlid. Yang termasuk golongan ini adalah ulama-ulama yang hanya mengikuti para Imam-imamnya saja.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
7. Perkembangan Hukum Islam Periode Ketujuh: Periode Kebangkitan Kembali (Akhir abad ke-13 H
sampai dengan sekarang)
Pada masa ini terdapat beberapa ulama yang menentang taqlid buta yaiutu yang hanya menbatasi ijtihad dalam batas-batas yang pernah dilakukan
oleh para Imam yang terdahulu saja. Golongan ini disebut golongan Salaf (Salafiyin).
Adapun ulama-ulama yang termasuk golongan Salafiyin dipelopori oleh beberapa ulama yaitu:
a. Al Imam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnul Qayyim (abad ke8H.
b. Muhammad Ibn Abdul Wahab (abad ke-12 H); beliau adalah pembangun gerakan Wahabi di Semenanjung Jazirah Arab.
c. Jamaludin Al Afghani (abad ke-13 H), sebagai seorang tokoh Islam yang mencetuskan tentang Pan Islamisme.
d. Imam Muhammad Abduh dan murid-muridnya, misalnya: Sayid Ridha.
Periode ketujuh ini juga disebut periode kebangkitan Isam atau periode Modernisasi Islam. Modernisasi Islam ini dimulai dari negara-negara Mesir,
Turki, Pakistan, India dan pengaruhnya juga sampai ke Indonesia.
Setiap petugas dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatn. Mereka berkewajiban untuk menegur dan memberi nasehat tentang
kesusilaan (moral atau akhlak buruk) baik secara preventif maupun represif. Tentu saja petugas-petugas negara dan masyarakat yang
berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau akhlak) itu wajib pula berkesusilaan (bermoral atau berakhlak baik). Dan karena kesusilaan
(moral) dalam Negara Indonesia ini harus bersesuaian dengan norma Ilahi, maka semua petugas mesti pula terdiri dari orang-orang yang bukan
saja beragama, tetapi juga benar-benar hidup menurut norma-norma agamanya yang di dalam Islam disebut orang yang bertaqwa”.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
Qawaidul Fiqhiyyah secara etimologi bermakna dasar-dasar yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih).
Sedangkan menurut ulama ushul, qawaidul fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun oleh ulama berdasarkan norma yang terdapat
dalam nash (Al-Qur'an dan sunnah) melalui metode induktif. Qawaidul fiqhiyyah diakui sebagai asas hukum dalam pengambilan hukum Islam (fiqih).
Qawaidul fiqhiyyah ini berfungsi sebagai hukum asal (al-ashlu) mewakili nash-nash yang mendasari perumusan kaidah-kaidahnya ini. Dengan
demikian, proses analisis hukumnya menggunakan metodologi qiyas, hanya saja hukum asalnya (al-ashlu) berbentuk kaidah yang merupakan
kesimpulan dari nash.
Qawaidul fiqhiyyah memiliki kegunaan praktis bagi umat Islam (khususnya bagi yang belum memiliki kemampuan untuk berijtihad) sebagai
pedoman awal dalam mengambil hukum atas suatu peristiwa konkrit yang dijumpai agar setidaknya telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
mengambil hukum. Dengan adanya pegangan qawaidul fiqhiyyah para mujtahid akan lebih mudah dalam men-istimbath-kan hukum bagi suatu
masalah, yakni dengan menggolongkan kepada masalah yang serupa dubawah satu qaidah.
Pada abad keempat atau kelima hijriah kitab qawaidul fiqhiyyah disusun tersendiri serta terpisah dari kitab ushul fikih. Penyusunan qawaidul
fiqhiyyah pertama kali dilakukan oleh Abu Thahir ad Dabbas yang hidup sekitar abad ketiga hijriah menyusun tujuh belas qawaidul fiqhiyyah.
Kemudian oleh al Kharkhi ditambah sehingga menjadi tiga puluh tujuh kaidah, kemudian disusul oleh ad Dabusi yang menyusun kitab Ta’sisun
Nadhar yang berisikan kaidah-kaidah kullyyah disertai hukum perinciannya. Baru mulai abad ketujuh hijriah bermunculan kitab-kitab qawaid yang
disusun oleh ulama mazhab.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
B. Al-Qawaid Al-Khams
Terdapat lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang dikenal dengan al-qawaid al-khams yaitu:
Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hidup yang hakiki. Semua yang menjadi kepentingan hidup manusia harus
diperhatikan. Kepentingan-kepentingan hidup manusia dapat dibagi tiga : yaitu kepentingan primer atau kepentingan (pokok) ( al-dharuriyat),
kepentingan sekunder atau yang tidak termasuk kepentingan pokok (al-hajiyat), dan kepentingan tertier atau kepentingan pelengkap,
penyempurna (al-tahsiniyat atau al-kamaliyat). Yang termasuk kepentingan-kepentingan primer (al-dharuriyat) adalah almaqashid al-khamsah
atau al-kuliyat al-khamsah, sebagaimana diuraikan di atas.
Kepentingan sekunder adalah kepentingan-kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan manusia, agar hidup manusia tidak mengalami
kesulitan. Yaitu kepentingan yang kalau tidak dipenuhi tidak akan merusak kehidupan manusia, namun akan mendatangkan kesulitan dalam
kehidupan mereka. Kepentingan tertier ialah kepentingan-kepentingan yang apabila tidak dipenuhi, tidak akan mengakibatkan kesulitan hidup,
apalagi akan merusaknya. Misalnya memakai pakaian atau kendaraan yang bagus dan indah, menghindari hal-hal yang tercela dan sebagainya.
Terpenuhinya tiga kepentingan di atas akan menyempurnakan kehidupan manusia. Dengan demikian kepentingan yang termasuk tertier
(al-tahsiniyat) meyempurnakan yang sekunder (al-hajiyat), dan kepentingan sekunder (al-hajiyat) menyempunakan yang primer (al-dharuriyat).
Kepentingan al-dharuriyat merupakan induk tujuan hukum Islam.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tujuan diturunkannya syari’at (hukum) Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan
keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat kelak.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
E. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem
hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalya, (1)
munakahat, (2) wirasah, (3) mu’amalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ‘ukubat, (5) al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7)
mukhasamat.
Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-
akibatnya ; (2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.
Hukum kewarisan Islam ini disebut juga hukum fara’id, (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik
dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir, al-ahkam as-sulthaniya membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain (7) mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
F. Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Hukum Islam, sebagai bagian agama Islam, melindungi hak asasi manusia. Kalau hukum Islam dibandingkan dengan pandangan atau
pemikiran (hukum) Barat (Eropa, terutama Amerika) tentang hak asasi manusia., akan kelihatan perbedaanya. Perbedaan itu terjadi karena
pemikiran (hukum) Barat memandang hak asasi manusia semata-mata antroposentris, artinya berpusat pada manusia. Dengan pemikiran itu
manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, pandangan hukum Islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada Tuhan. Manusia adalah
penting, tetapi yang lebih utama adalah Allah. Allahlah pusat segala sesuatu.
Oleh karena perbedaan pandangan itu, terdapat perbedaan pokok antara Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang disponsori Barat dengan
Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh umat Islam. Deklarasi Kairo tahun 1990, misalnya, yang dikeluarkan oleh Organisasi
Konferensi Islam (OKI), di dalamnya termasuk juga Indonesia.
Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa semua hak dan kebebasan yang terumus dalam deklarasi tunduk pada syariat atau hukum Islam.
Satu-satunya ukuran, mengenai Hak-hak Asasi Manusia, adalah syariat Islam.
Hak-hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu, kebanyakan hak ekonomi. Hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara
bebas, tidak boleh bertentangan dengan asas-asas syariah. Dinyatakan pula bahwa semua individu sama di muka hukum. Ketentuan lain adalah
keluarga merupakan dasar masyarakat, wanita dan pria sama dalam martabat kemanusiaan. Hak atas hidup, dijamin. Pekerjaan adalah hak
individu yang dijamin oleh negara. Demikian juga hak atas pelayanan kesehatan, sosial dan kehidupan yang layak. Ditegaskan pula bahwa
tidak ada saksi, kecuali yang ditentukan dalam syariat atau hukum Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita.
Dalam pepatah : adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mangato adat memakai. Menurut Hamka, makna pepatah ini dalah hubungan (hukum)
adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat
adalah syara’ itu sendiri.
Dalam buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu,
hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan,
sikap penguasa jajahan terhadap kedua sistem ukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang membelah bambu, mengangkat belahan yang
satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam).
Menurut van Vollenhoven, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum
Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak bolah terjadi di Hindia Belanda.
B. ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut ter Haar, antara hukum
adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama, karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik tolak dari kenyataan
hukum dalam masyarakat, sedangkan hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum saja. Karena perbedaan titik tolak itu, timbulah
pertentangan yang kadang-kdang dapat diperlunak tetapi seringkali tidak. Karena itu, secara teoritis hukum Islam tidak dapat diterima, karena itu
wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dibatasi sampai ke bidang yang sekecil-kecilnya.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Para penulis Barat/Belanda selalu menggambarkan kelanjutanya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam)
keduanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataanya
tidaklah demikian, karen di kalangan adat terdapat orang-orang alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat.
Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara
hukum Islam dengan hukum adat di Minangkabau. Secara teoretis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin dislesaikan. Akan tetapi, kenyataan
menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam Perang Pederi di abad ke-19
dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu adalah adat bersendi syara’,
syara’ bersendi kitabullah (Al-Qur’an). Rumusan itu diperkuat seminar hukum adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli 1968. Dalam
rapat dan seminar itu ditegaskan bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (I) harta pusaka tinggi diperoleh turun-temuran dari nenek
moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara’
(hukum Islam).
Bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum
Islam adalah penyempurnaan huku adat”. Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna
yakni hukum Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Dalam melaksanakan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan hukum adat
sebagai dasar untuk mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang dipergunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam (contra
legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi dengan asas-asas hukum Islam (mahdi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran yang mengatakan bahwa adat
yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu sarana atau cara pembentukan hukum Islam.
Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori hukum Islam
yang telah diuraikan di atas, yang mengatur semua tingkah laku manusia Muslim di segala lingkungan kehidupan dalam masyarkat.
Ke dalam ketegori kaidah terkahir ini (ja’iz atau mubah) agaknya adat dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukan baik yang telah ada sebelum Islam
datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tentunya tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.
Di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar urf atau adat kaena para ahli hukum telah menjadikan urf atau
adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuh.
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakuli oleh pendapat umum
2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak
5. Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Yang dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum adalah susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu
daerah atau negara tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan
atau sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Sistem hukum Indonesia, bersifat majemuk. karena sampai sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum
yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Ketiga
sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, walaupun sebagai
sistem hukum baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim
di Nusantara ini.
Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan "menguasai"
kepulauan Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun 1602. Mula-mula hukum Barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda dan
Eropa saja, tetapi kemudian, dengan berbagai peraturan dan upaya, dinyatakan berlaku bagi orang Asia dan dianggap berlaku juga bagi orang
Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum Barat dengan sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di lapangan
keuangan, perdagangan dan ekonomi pada umumnya. Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam
masyarakat, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi. Ibnu Batutah seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di
negeri tersebut. la mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik AI-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut
pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang
fukaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’ dari
Pasailah disebarkan paham Syaf'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri para ahli
hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
masyarkat.
Secara tradisional biasanya, ilmu agama yang diberikan adalah (1) ilmu kalam, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu tasawuf. Namun, karena sejarah
masuknya dan keadaan di Indonesia, ilmu agama yang diajarkan pada waktu itu dimulai dari (1) ilmu tasawuf, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu kalam.
Dengan sistem pendidikan yang demikian, secara damai menyebarlah ajaran Islam ke seluruh kepulauan Indonesia, Nuruddin Ar-Raniri yang
hidup di abad ke-17 menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim (Jalan Lurus) pada tahun 1628. Kitab hukum Islam yang ditulis
oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan dijadikan pegangan
dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Namanya Sabilal Muhtadin, yang kini menjadi nama sebuah masjid besar
(Sabilal Muhtadin) di Banjarmasin.
Hukum Islam diikuti dan dilaksanakari juga oleh para pemeluk agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan
kemudian Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu. Di antara karya tersebut dapat disebut misalnya Sajinatul Hukum.
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pengaruh itu merupakan penetration pasifique, tolerante et constructive (penetrasi secara damai, toleran dan membangun).
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Implementasi hukum Islam dalam kehidupan bernegara hingga saat ini mengalami perkembangan yang signifikan, sebagai contoh misalnya dalam
dunia hukum ekonomi. Hukum ekonomi Islam saat ini marak diterapkan dalam lembaga-lembaga keuangan, misalnya dalam dunia perbankan dikenal adanya
bank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditahun 2006 juga mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang memperluas kewenangan Peradilan Agama untuk berwenang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Dengan demikian implementasi hukum perdata Islam melalui postivisasi hukum Islam relatif berhasil dilaksanakan dengan optimal, baik dalam bidang
hukum keluarga maupun hukum ekonomi. Sedangkan dibidang hukum publik, khususnya hukum pidana Islam belum dapat dilakukan, kecuali di Provinsi
Naggroe Aceh Darussalam.