Anda di halaman 1dari 29

CLINICAL TRIAL STUDY DESAIGN

Dosen pengampu : Ihsanul Hafiz, S.Farm.,M.Si.,Apt.


Kelompok 6 :

• Era saputri meha (1901011340)


• Grace oktafiani sarumaha (1901011138)
• Nugra haeni syifa (1901011155)
• Novita maya sari (1901011152)
• Nova renita Ananda (1801011087)
• Rida amalia (1901011344)
• Shinta rubiah (1901011165)
• Tesya hardianti (1901011345)
• Tiara safira kusnaidi (1901011167)
Definisi Uji Klinik

 Uji klinis adalah salah satu jenis penelitian eksperimental, terencana yang dilakukan pada manusia dimana

peneliti memberikan perlakuan athau intervensi pada subjek penelitian kemudian efek dari penelitian tersebut

diukur dan di analisis.

 Uji klinik kegiatan penelitian dengan mengikut sertakan subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji,

untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik atau farmakodinamik lainnya, dan

mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan efektifitas produk yang diteliti.
Penggunaan Uji Klinik

Uji klinis dilakukan untuk membandingkan satu jenis pengobatan dengan pengobatan

lainnya dalam hal ini pengobatan dapat berarti medikamentosa, perasat beda, terapi

psikologis, diet, akupuntur, pendidikan atau intervensi kesehatan masyarakat dan lain-

lain. Uji klinis pada dasarnya merupakan satu rangkaian proses pengembangan

pengobatan baru. Uji klinis dibagi dalam 2 tahapan, yaitu:


 Tahap I

Pada tahapan ini dilakukan penelitian laboratorium yang disebut juga sebagai uji pre-klinis, dikerjakan in

vitro dengan menggunakan benatan percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini adalah untuk mengumpulkan

informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka untuk mempersiapkankan penelitian selanjutnya yakni

dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitan.

 Tahap II

Pada uji klinis tahapan 2, digunakan manusia sebagai subjek penelitian. Tahapan ii berdasarkan tujuannya

dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu:


a. Fase I

Fase I adalah uji coba pertama dari bahan aktif baru atau formulasi baru yang dilakukan pada manusia dan

biasanya sering dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuannya adlah untuk membentuk suatu evaluasi awal mula dari

keamanan, kerangka awal farmakokinetik, dan jika memungkinkan profil farmakodinamik dari bahan aktif pada

manusia.

Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated dose =

MTD), dengan mengikutsertakan 20-100 orang subjek penelitian.

b. Fase II

Bertujuan untuk menilai system atau dosis pengobatan yang paling efektif, biasanya dilaksanakan dengan

mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.


c. Fase III

Bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan

yang telah ada (pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan termasuk dalam fase ini. Baku

emas uji klinis fase III adalah uji klinis acak terkontrol.

d. Fase IV

Bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah dipakai dimasyarakat dalam jangka waktu

yang relative lama (5 tahun atau lebih). Fase ini penting karena terdapat kemungkinan efek samping

obat timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinis pascapasar (post

marketing).
Asas Uji Klinik

Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus dilakukan sesuai dengan prinsip-

prinsip yang terkandung dalam versi saat ini dari Deklarasi Helsinki. Tiga prinsip dasar etika

didefinisikan oleh revisi dari International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving

Human Subjects yang dikeluarkan oleh Council for International Organizations of Medical Sciences

(CIOMS).
Rancangan Uji Klinik

 Desain uji klinik

Pada uji klinis dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara variable bebas (predictor) dengan

variabel tergantung (efek) dalam periode waktu tertentu. Hasil uji klinis ditentukan berdasarkan atas perbedaan efek

yang terjadi pada kelompok perlakuan dengan pada kelompok control. Efek yang dinilai dapat merupakan kematian,

kejadian klinis ataupun hasil laboratorium dan dapat berskala nominal, ordinal ataupun numeric.

Uji klinis sesungguhnya sangat mirip dengan studi kohort, karena kelompok perlakuan dan kontrol diikuti

diobservasi sampai terjadi efek. Perbedaanya, pada uji klinis baik alokasi subyek maupun metode perlakuan pada

subjek di tentukan ole peneliti, untuk memastikan bahwa kedua kelompok subyek sebanding dengan sesedikit mungkin

bias. Sedangkan pda studi kohort, peneliti hanya melakukan observasi tanpa membererikan perlakuan; perbedaan

pajanan pada kelompok yang diteliti dan kelompok kontrol terjadi secara alamiah.
Terdapat pelbagai bentuk desain uji klinis,dari yang sederhana sampai yang

sangat rumit. Di sini dikemukakan 2 desain yang paling sering digunakan,

yakni:

1. Desain paralel, merupakan perbandingan antar kelompok (group

comparison), dapat bersifat phuasangan serasi (matched pairjs) atau

bukan.

2. Desain menyilang (cross-over design)


 Desain paralel

Jenis desain ini paling banyak digunakan, baik pada penyakit akut maupun kronik. Pada desain ini disusun dua

kelompok atau lebih, sedangkan pengobatan pada kelompok-kelompok tersebut dilakukna secara paralel atau

simultan. Yang paling banyak dilakukan adalah desain paralel dengan dua kelompok; kelompok pertama

memperoleh pengobatan baru, sedangkan kelompok lainnya menerima pengobatan standar dan berlaku sebagai

kontrol.

Untuk memperoleh hasil yang sahih diperlukan kelompok yang seimbang, terutama dalam hal faktor

prognosis yang penting. Untuk tujuan ini cara yang sering digunakan adalah:

a. Dengan melakukan randomisasi

b. Dengan pemilihan pasangan serasi (matching)


 Desain menyilang

Dalam desain ini tiap subyek menjadi kontrol bagi dirinya. Bentuk yang paling sederhana dengan

subyek sebagai kontrol bagi dirinya sendiri ini disebut sebagai desain before and after sekelompok subyek

diberikan perlakuan, hasil perlakuan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pada desain menyilang

subyek di randomisasi; kelompok A menerima obat yang diteliti; kelompok B menjadi kontrol. Setelah waktu

tertentu, jenis pengobatan dipertukarkan, dan sebaliknya. Desain ini di terapkan pada penyakit kronik yang

relatif stabil seperti hipertensi, asma, hiperlipidemia. Keuntungannya adalah dapat menyingkirkan variasi

individu hingga lebih peka menemukan perbedaan, dan mengurangi subyek yang diperlukan (separuh dari

desain paralel). Namun waktu penelitian menjadi lebih lama dengan kemungkinan drop out yang lebih besar

pula.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada desain cross-over :

a. Terdapatnya efek carry over yaitu efek obat pertama belum hilang pada saat dimulai pengobatan

kedua.

b. Terdapatnya efek order, yaitu terjadi perubahan derajat berat penyakit, keadaan lingkungan selama

penelitian berlangsung.

c. Terdapatnya periode wash out yaitu waktu untuk menghilangkan efek obat awal, sebelum

pengobatan kedua dimulai. Lama periode wash out ini bergantung kepada sifat kinetik obat, dapat

hanya beberpa jam (misal dopamin) atau beberapa minggu ( misal fenobarbital).
Langkah-Langkah Pelaksanaan Uji Klinik

Terdapat 8 langkah dalam uji klinik, yaitu:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis

2. Menentukan desain uji klinis yang sesuai

3. Menetapkan subyek penelitian

4. Mengukur variabel data dasar

5. Melakukan randomisasi

6. Melaksanakan perlakuan

7. Mengukur variabel efek

8. Menganalisis data
 Menetapkan pertanyaan penelitian dan hipotesis

Menuangkan desain uji klinis yang samar-samar menjadi rencana kegiatan yang nyata tidak mudah, bahkan

sangat kmopleks. Konsep awal yang berisi skema umum, memerlukan penjabaran lebih spesifik. Rumusan masalah

serta hipotesis yang sesuai harus dituliskan, dengan memperlihatkan hubungan antar variabel yang diteliti.

 Menentukan desain

Berdasarkan hipotesis yang dibangun dari pertanyaan penelitian, maka dapat ditetapkan jenis desain yang akan

dipergunakan, apakah akan dipakai desain paralel atau desain menyilang, ataukah dengan desain lain yang lebih

kompleks. Dalam praktek, bilamana mungkin desain yang dipilih adalah desain yang paling sederhana yang dapat

menjawab pertanyaan penelitian, karena biasanya desain yang sederhana memberikan hasil yang lebih langsung dan

mudah diinterpretasi, sedangkan desain yang lebih kompleks sering memberikan hasil yang tidak mudah diinterpretasi

oleh sebagian besar klinikus.


 Menetapkan subjek penelitian

a. Menetapkan populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang merupakan sumber subyek yang akan diteliti.

Karakteristik subyek harus sesuai dengan pertanyaan penelitian dan efek yang akan diamati. Pada rncan uji klinis

tentang manaat antibiotik baru terhadap sepsis neonaturum, misalnya, populasi terjangkaunya adalah bayi dengan

sepsis yang dirawat dalam kurun waktu yang tersedia.

b. Menetukan kriteria pemilihan=Eligibility Criteria

Kriteria pemilihan membatasi karakteristik populasi terjangkau yang memenuhi persyaratn untuk uji klinis.

Kriteria ini harus dijelaskan secara rinci sejak awal perencanaan, oleh karena penting untuk menyusun

desain penelitian, pemilihan subjek, dan untuk generalisasi ke dalam populasi. Kriteria pemilihan terdiri dari

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.


a. Kriteria Inklusi (Kriteria Penerimaan)
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus di penuhi oleh subyek agar dapat
diikutsertakan ke dalam penelitian. Persyaratan pada kriteria inklusi biasanya mencakup
karakteristik klinis, demografis, geografis dan periode waktu. Dalam menetapkan kriteria inklusi
harus diperhitungkan kemampulaksanaan serta kemungkinan untuk generalisasi, serta spesifitas
yang diperlukan. Kriteria inklusi yang amat longgar akan mempermudah mendapatkan subyek
penelitian dan lebih mudah menggenaralisasi ke dalam populasi, namun akan dijumpai subyek yang
sangat heterogen.
b. Kriteria eksklusi (kriteria penolakan)
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria
eksklusi dapat di ikutsertakan dalam penelitian. Di dalam kriteria eksklusi termasuk
kontraindikasi, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti, kepatuhan
pasien, pasien menolak diteliti, dan masalah etik.
 Menetapkan besar sampel.

Suatu hal yang penting dalam uji klinis adalah menentukan besar sampel; di satu sisi harus

cukup besar untuk mewakili populasi terjangkau, tetapi di lain sisi harus sesuai dengan dana dan

waktu yang tersedia. Jumlah subyek yang terlalu sedikit dapat dianggap tidak etis karena akhirnya

hasil penelitian tidak sahih, sebaliknya jumlah subyek yang terlalu banyak juga tidak etis karena

menyia-nyiakan pasien dari sumber daya lainnya secara sia-sia. Pada umumnya variabel yang di

teliti dalam uji klinis adalah variabel nominal (misalnya proporsi kesembuhan) atau numerik

(misalnya penurunan tekanan darah). Keduanya penting diperhatikan dalam penetapan besar sampel.
 Melakukan pengukuran variabel tabel dasar

Selain identitas pasien, sebelum dilakukan randonisasi perlu pula di catat data demografis, klinis, dan
laboratorium relevan dengan pertanyaan penelitian. Data klinis seperti umur, jenis kelamin, diagnosis, dan lain-lain
yang relevan dengafrognosis harus di catat, antara lain unutk melihat kesetaraan pel bagai variabel di antara kelompok
setelah dilakukan randonisasi. Jangan di lupakan bahwa dalam setiap prosedur pengukuran, prinsip-prinsip pengukuran
harus selalu di patuhi.

 Melakukan randomisasi

Aspek yang terpenting di dalam uji klinis, adalah randonisasi. Yang dii maksud randonisasi (bedakan dengan pemilihan
sunyek secara random) adalah alokasi acak (random allocation), untuk menentukann subyek penelitian mana yang akan
mendapat perlakuan dan mana yang menjadi kontrol. Tujuan utama randonisasi adalah unntuk mengurangi bias seleksi
dana perancu (confounding), yakni dengan terbaginya variabel-variabel yang tak di teliti secara se imbang pada
kelompok yang ada. Dijumpai berbai jenis cara randomisasi yaitu :
a. Randomisasi sederhana (Simple Randomization)

Untuk uji uji klinis dengan dua kelompok subyek, cara acak dengan dengan melemparkan mata uang logam dapat

dipakai. Tetapi cara ini terasa kaku, memakan waktu, dan tidak andal, maka para peneliti lebih menganjurkan penggunaan tabel

random.Keuntungan randomisasi sederhana ini adalah tiap subyek tidak dapat diduga akan memperoleh perlakuan apa, dan bila

jumlah subyek cukup banyak maka jumlah kelompok akan sebanding.

b. Randomisasi blok

Untuk menghindari ketidakseimbangan,dapat dilakukan cara randomisasi blok. Cara ini bertujuan untuk membuat setiap

kelompok mempunyai jumlah subyek yang sebanding pada suatu saat.

c. Randomisasi dalam srata (Stratified Randomization)

Bila pada uji klinis terdapat factor prognosis yang penting yang akan mempengaruhi hasil penelitian, maka perlu

dilakukan stratifikasi prognosis.Hal ini dimaksudkan agar diperoleh sub kelompok (strata) yang lebih homogeny. Randomisasi

dilakukan pada setiap strata secara terpisah, kemudian subyek yang terpilih digabungkan kembali dalam kelompok yang sesuai.
 Melakukan Intervensi

 Ketersamaan (masking, blinding)

Alih-alih istilah pembutaan (blinding), kami lebih menyukai istilah ketersamaran (masking)

untuk menghindari kerancuan bila substansi penelitian menyangkut masalah penglihatan atau

visus. Ketersamaran bertujuan untuk menghindarkan bias, baik yang berasal dari peneliti, subyek,

maupun evaluator penelitian. Oleh karena bias dapat terjadi diberbagai bagian uji klinis, maaka

ketersamaran juga harus diupayakan pada berbagai bagian uji klinis, seperti pada saat randomisasi,

alokasi subyek, pelaksanaan uji klinis, pengukuran, dan evaluasi hasil.


 Penyamaran/Pembesaran(Blindig)

Penyamaran adalah merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan penyamaran,

maka pasien dan pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan yang mana

pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan

utama penyamarannya ini adalah juga untuk menghindari bias pada penilaian respons

terhadap obat yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan secara : single blind, double blind,

dan triple blind.


 Jenis ketersamaan

a. Uji klinis terbuka(open trial)

Pada uji klinis terbuka, baik peneliti maupun subyek mengetahui pengobatan yang

diberikan. Desain ini seringkali dilakukan untuk penelitian pendahuluan, yang akan dilanjutkan dengan desain acak

tersamar ganda, atau apabila secara teknis ketersamaran tidak mungkindilaksanakan. (missal study untuk

membandingkan mastektomi sederhana plus radiasi dengan mastektomi radikalpada pengobatan kanker payudara.

b. Tersamar tunggal (single mask)

Pada desain ini subyek tidak tahu pengobatan yang diberikan, sedangkan peneliti mengetahuinya. Secara teoritis hal

yang sebaliknya juga dapat dilakukan (subyek mengetahui sedangkan dokter tidak), namun hal ini jarang, kerugian pada

uji klinis tersamar tunggal adalah seperti pada uji klinis terbuka , terjadinya bias(terutama bias pengukuran)oleh karena

peneliti dapat memberikan perhatian lebih pada kelompok perlakuan.


c. Tersamar ganda (double mask)

Pada desain ini baik peneliti maupun subyek tidak mengetahui pengobatan yang diberikan ,

hal ini akan mengurangi terjadinya berbagai bias dan dianggap sebagai baku emas untuk uji

klinis.

d. Triple mask

Pada desain ini baik subyek, peneliti, maupun evaluator tidak tahu obat apa yang diberikan.

Sebagian ahli tidak mempergunakan istilah ini, meski terdapat tiga komponen ketersamaran,

cukup disebut sebagai tersamar ganda saja.


 Mengukur variable efek
Variable tergantung (efek) yang akan diukur harus sudah direncanakan sejak awal. Sesuai dengan skala
variable.maka variable yang dinilai dapat berskala nominal, ordinal, atau numeric. Criteria penilaian juga sudah harus
dengan jelas dituliskan pada protocol penelitian.
Contoh : pada uji klinis terhadap obat X untuk pengobatan meningitis tuberkulosa, efek yang dinilai adalah
kesembuhan. Dalam hal ini skala variable tergantung adalah nominal dikotom (sembuh atau tidak sembuh). Pada
penelitian obat Y untuk menurunkan tekanan darah, variable yang dinilai adalah berskala numeric. (tekanan darah
diastolic, dalam MMHg).

 Menganalisa data
Analisis data uji klinis harus dilaksanakan dengan menggunakan uji statistic yang sesuai, yang sudah ditulis dalam
usulan penelitian. Uji hipotesis yang akan digunakan harus pula ditetapkan sewaktu melaksanakan uji klinis. Hal-hal
yang perlu difikirkan untuk uji hipotesis adalah skala pengukuran, distribusi sampel, besar sampel, jumlah kelompok,
serta jumlah variable.
 Keuntungan dan Kerugian Uji Klinik

 Keuntungan uji klinik


Secara epidemiologi sebenarnya uji klinik terasa agak kaku, walaupun demikian uji klinis mempunyai keuntungan
antara lain:
a. Dengan dilakukannya randominasi maka dapat dikontrol secara efektif, oleh karena factor confounding akan terbagi
secara seimbang diantara kedua kelompok subyek.
b. Criteria inklusi, perlakuan dan outcome telah ditentuakan terlebih dahulu.
c. Statistic akan lebih efektif, oleh karena :
• Jumlah kelompok perlakuan dan control sebanding
• Kekuatan atau power statistic tinggi
d. Uji klinis secara teori sangat menguntungkan oleh karena banyak metode statistic harus berdasarkan pemilihab
subyek secara random.
Kelompok subjek merupakan kelompok sebanding sehingga intervensi dari luar setelah randominasi tidak
banyak berpengaruh terhadap hasil penelitian selama intervensi tersebut mengenai kedua kelompok subyek.
 Kerugian uji klinik

a. Desain dan pelaksanaan uji klinis kompleks dan mahal

b. Uji klinis mungkin dilakukan dengan seleksi tertentu sehingga tidak

representative terhadap populasi terjangkau atau populasi target.

c. Uji klinis paling sering dihadapkan kepada masalah etik, misalnya apakah etis bila kita

memberikan pengobatan pada kelompok perlakuan namun tidak mengobati kelompok

control.

d. Kadang-kadang uji klinis sangat tidak praktis.


 Telaah Artikel yang Menggunakan Clinical Trial study Desaign

Telaah kritis uji klinik terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Telaah umum
b. Telaah khusus
Telaah khususuji klinis meliputi 3 aspek yang disingkat VIA, yaitu :
c. Validity
d. Important
e. Apllicability

Validitas uji klinis dilihat terutama pada randomisasi, lamanya pemantauan, dan apakah seluruh subyek dianalisis
sesuai dengan alokasi awalnya. Pentingnya hasil uji klinis dilihat dari besarnya NNT dan NNH, yang memberikan
pengertian berapa besar usaha yang dilakukan untuk mencegah atau menyebabkan tambahan 1 hasil yang tidak
diinginkan. Aspek ketiga dari EBM ialah patient’s preference, sehingga hasil uji klinis baru dapat diaplikasikan kepada
pasien kita setelah disesuaikan dengan keadaan pasien yang kita hadapi, dan mendapat persetujuan pasien.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai