Anda di halaman 1dari 48

1

SUMBER DAN PRINSIP


EKONOMI ISLAM

KULIAH IV
A. Sumber Ekonomi Islam 2

1. Kitab Suci Al Qur’an


 Amanat yang sesungguhnya disampaikan Allah SWT melalui
ucapan Nabi Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia.
Bersifat universal, abadi, dan fundamental.
 Secara harafiah berarti “bacaan sempurna”.
 Tiada bacaan seperti Al Qur’an. Diatur tata cara membacanya: mana yang
dipanjangkan, dipendekkan, dipertebal, atau diperhalus ucapannya; dimana
tempat yang boleh atau terlarang membacanya; kapan harus memulai atau
berhenti; diatur lagu dan iramanya; dan etika membacanya.
 Tiada bacaan sebanyak kosa kata Al Qur’an yang berjumlah 77. 439 kata,
dengan jumlah huruf 323.105.
3

 Adanya keseimbangan jumlah kata-katanya, kata dengan lawan kata; kata dengan
dampaknya
Contoh: Hayat antonim maut: 145 kali.
• Akhirat antonim dunia: 115 kali
• Malaikat antonim setan: 88 kali
• Thuma’ninah (ketenangan) antonym dhyq
(kecemasan) : 13 kali.
• Panas antonim dingin: 4 kali
• Infaq dampaknya ridha : 73 kali
• Kikir dampaknya penyesalan: 12 kali
• Zakat dampaknya berkat: 32 kal
Lainnya: Yaum (hari): 365 kali.
 Syahr (bulan): 12 kali.
4

 QS Al-Syura (42),17:
“Allah menurunkan kitab Al Qur’an dengan penuh kebenaran dan
keseimbangan”
5

 Beberapa pesan kegiatan ekonomi dalam Al Qur’an al Karim :


 Istilah atau idiom dalam ekonomi dan bisnis memperoleh perhatian
besar dalam Al Qur’an: jual- beli, utang-piutang, pengelolaan
(manajemen), untung-rugi, dsb.

6
Prinsip besar ajaran Islam adalah keyakinan Tauhid.
 Tauhid merupakan konsep ketuhanan dalam Islam yang merupakan asas
keimanan dan keyakinan manusia tentang kewujudan dan keesaan Allah SWT.
o Tauhid Uluhiyah: yaitu menauhidkan Allah SWT dalam perbuatan-perbuatan
yang dilakukan hamba, yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah SWT,
yang mencakup berbagai macam ibadah seperti tawakal, nazar, takut,
pengharapan, dll.
o Tauhid Rububiyah: yaitu menauhidkan Allah SWT dalam perbuatan-NYA
seperti menciptakan, menguasai, memberikan rezeki, mengurusi makhluk,
dll, yang semuanya hanya Allah SWT semata yang mampu. Sementara itu,
o Tauhid Asma Wa Sifat: yaitu mengimani apa yang sudah ditetapkan oleh
Allah SWT di dalam Alquran dan hadis mengenai nama dan sifat Allah
SWT, tanpa mengubah makna, mengingkari, mendeskripsikan bentuk/cara
dan memisalkan.
7
 Penempatan tauhid sebagai asas dalam ekonomi Islam ini berdasarkan ayat dalam
Alquran di antaranya: Surah al-An‘am [6] : 101-102. Bukan sekadar itu, bahkan para
Nabi dan Rasul pun diutus dengan membawa risalah tauhid (al-Nahl [16]: 36; al-
Anbiya’ [21]: 25; al-Mu’minun [23]: 32). Misalnya, Nabi Nuh a.s. (al-A‘raf [7]: 59; al-
Mu’minun [23]: 23), Nabi Hud a.s. (al-A‘raf [7]: 65; Hud [11]: 25- 26 & 50; al-Ahqaf
[46]: 21), Nabi Salih a.s. (al-A‘raf, [7]: 73; al-Naml [27]: 45; Hud [11]: 61), Nabi
Syu‘ayb a.s. (al-A‘raf [7]: 85; Hud [11]: 84; al-‘Ankabut [29]: 36), Nabi ‘Isa a.s. (al-
Maidah [5]: 72), Nabi Ya‘qub a.s. (al-Baqarah [2]: 133), Nabi Ibrahim a.s. (al-‘Ankabut
[29]: 16; al-Mumtahanah [60]: 4) dan Nabi Muhammad SAW (al-An‘am [6]: 56; Ghafir
[40]: 66; al-Kahfi [18]:110).
 Tujuan ditempatkannya tauhid sebagai asas ekonomi Islam adalah agar segala
kegiatan ekonomi yang diusahakan berada dalam lingkup kepatuhan dan ketaatan
kepada Allah SWT., tidak terlepas dari tujuan beribadah kepada Allah SWT., sesuai
dengan aturan dan ketetapan Allah SWT.
 Dari sinilah lahir prinsip-prinsip yang bukan saja dalam bidang ekonomi, tetapi juga
menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat, sehingga terdapat kesatuan
yang tidak boleh dilepaskan darinya, seperti kesatuan kemanusiaan, kesatuan
alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, kesatuan hukum dengan keadilan dan
kemaslahatan, dan lain-lain.
8
 Kesatuan kemanusiaan mengantar pengusaha muslim menghindari segala
bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
o Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam mengharamkan bukan saja
riba, tetapi juga penipuan, kecurangan, spekulasi, dsb.
o Kesatuan kemanusiaan mengharuskan manusia berfikir dan
mempertimbangkan kepentingan umat manusia, bukan untuk
generasinya tetapi juga generasi mendatang. Kesatuan dunia dan
akhirat, mengantar seseorang untuk memiliki visi ke depan, tidak
hanya mengejar duniawi saja.
 Dari sini Al-Qur’an mengingatkan sukses yang diperoleh mereka yang
berpandangan sesat, bisa melahirkan penyesalan dan bahwa kelak di
masa mendatang akan merugi dan dikecam (QS Al-Isra 17: 18-19).
9
 Dari Tauhid lahir juga keyakinan dan keharusan adanya keseimbangan.
o Allah menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan Engkau tidak
melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikitpun ketidakseimbangan (QS; Al
Mulk 67:3).
 Dari keyakinan Tauhid lahir juga prinsip kebebasan manusia.
o Allah Yang Memiliki kebebasan mutlak, menganugrahkan kepda
manusia kehendak bebas untuk memilih jalan yang hendak
ditempuhnya.
o Manusia yang baik di sisi-Nya adalah yang menggunakan kebebasan itu
dalam rangka penerapan nilai Tauhid. Dari sini lahir tanggung jawab,
baik secara individu (Fardhu ‘Ain) maupun kolektif (Fardhu Kifayat).
2. Hadits dan Sunnah 10

 Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, maupun
kepribadiannya, setelah kenabian.
 Hingga gerak dan diamnya ketika terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai
hadits. Maka dari itu pengertian ini juga mencakup setiap keadaan Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.
 Sunnah adalah Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik
itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, kepribadian, maupun perjalanan hidup, baik
itu sebelum diutus maupun sesudah diutus.
2. Hadits dan Sunnah 11

 Perbedaan Antara Hadits dan Sunnah


 Menurut prespektif ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah kenabiannya. Sedangkan sunnah
pengertiannya lebih menyeluruh dan lebih umum. Karena sunnah juga mencakup
perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum kenabiannya dan
setelah kenabiannya.
 Hadits bersifat teoritik, sedangkan Sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.
Sementara Sunnah merupakan suatu fenomena praktek yang dilengkapi dengan
norma-norma perilaku, sedangkan Hadits menjadi sarana tidak hanya dari
norma-norma hukum tetapi juga kepercayaan dan asas-asas keagamaan.
 Hadits konotasinya adalah segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi SAW
walaupun hanya diucapkan atau dikerjakan sekali saja oleh beliau. Sedangkan,
sunnah merupakan sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan secara terus menerus
dan dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir (diturunkan dari satu orang
ke orang lain).
3. Ijtihad 12

 Berusaha keras, sekuat tenaga, dengan kemampuan akalnya untuk menentukan


pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan.
 Metode Ijtihad:
1. Qiyas: mengukur, membandingkan, atau menimbang dengan
membandingkan sesuatu (analogi).
2. Istihsan dan Istishlah
 Istihsan: menjalankan keputusan pribadi yang tidak didasarkan atas
qiyas, melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan
keadilan (mazhab Hanafi).
 Istishlah: suatu hukum yang diambil dengan menarik kesimpulan atas
dasar pertimbangan kesejahteraan (mazhab Maliki).
13

3. Istidlal: menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Sumbernya adat
dan
kebiasaan.
4. Ijma’: menetapkan dan memutuskan suatu perkara; sepakat atau bersatu
dalam pendapat ulama fiqih (fuqaha); kesepakatan pendapat di antara para
mujtahid , atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad ttt
mengenai masalah hukum
 Kesepakatan ada tiga cara:
o qaul (ucapan) para mujtahid yang diakui sah.
o fi’il (perbuatan): kesepakatan dalam praktek.
o sukut (diam): apabila para mujtahid tak membantah suatu pendapat
yang dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa mujtahid.
B. PRINSIP EKONOMI ISLAM 14

 Ekonomi merupakan domain sosial yang menekankan praktik, wacana, dan


ekspresi material yang terkait dengan produksi, penggunaan, dan
pengelolaan sumber daya‘.
 Bisnis merupakan suatu tindakan, perbuatan, atau kegiatan dalam bidang
perekonomian, yang dilakukan oleh setiap perusahaan dengan tujuan akhir
memperoleh laba.
15

 Dalam melakukan kegiatan bisnis, Islam telah menuntun umatnya agar


dalam melakukan bisnis mengandung berbagai kaidah sebagai berikut.
1. Halal
2. Kebebasan dalam Usaha (Freedom, Al Hurriyah)
3. Keadilan
4. Tatakrama
1. Halal 16

 Dalam berbisnis hanya mengambil yang halal dan baik (thoyib). QS Al


Baqarah.168:
“Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.”

 Terdapat 3 sisi kehidupan yang harus dipenuhi sehingga aktivitas bisnis


dapat dikategorikan ke dalam perbuatan yang halal. Tiga sisi tersebut
adalah:
Katagori Halal 17

a. Halal Dzat
 Dzat yang menjadi objek aktivitas harus merupakan dzat yang halal. Jika
obyeknya tidak halal, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan objek
tersebut meskipun halal, maka akan menjadi haram.
 Contoh dzat yang tidak halal: daging babi, darah, bangkai, minuman
keras, narkoba, dsb.
 Apabila misalkan minuman keras yang menjadi objek transaksi, maka
segala macam transaksi menjadi tidak halal. Meskipun untuk
memperolehnya dengan cara jual-beli yang dihalalkan.
Katagori Halal 18

b. Halal Cara Perolehannya


(1) Tidak Mengandung Riba.
Riba : Secara bahasa bermakna: Ziyadah(tambahan), tumbuh,
membesar.
Secara teknis: pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil.
Firman Allah swt. Dalam An-Nisa: 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil”
Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:
“Pengertian riba dalam ayat Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah.
Katagori Halal 19
 Jenis Riba
 Riba Qardh : Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar
Rp. 1.000.000,- kemudian diharuskan membayar Rp. 1.300.000,- .
 Riba Jahiliyah : Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar utangngnya pada waktu yang ditetapkan. Misalnya Fulan
meminjam Rp 700.000 pada Fulana dengan tempo dua bulan. Pada waktu
yang ditentukan, Fulan belum bisa membayar dan meminta keringanan. Fulana
menyetujuinya, tapi dengan syarat Fulan harus membayar Rp 770.000.
 Riba Al-Yadd: Riba yang diperoleh ketika seseorang berpisah dari tempat
akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung
pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau
tidak.
20

 Jenis Riba

 Riba Fadhl : Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barng ribawi.
o Barang ribawi meliputi: emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang
maupun dalam bentuk lainnya. Bahan makanan pokok, seperti beras,
gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan.
 Riba Nasi’ah: riba yang terjadi akibat jual beli tempo. Misalnya seseorang menghutangi
uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, dengan syarat
berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan tersebut.
21

(2) Tidak Menipu


 Sabda Rasulullah,”Barang siapa yang melakukan penipuan maka dia bukan
golongan kami (HR. Ibnu Hibban & Abu Nu’aim).
 Termasuk tidak menipu, adalah tidak curang (tathfif). Secara kebahasaan
tathfif) berart berdikit-dikit, berhemat-hemat, pelit. Orang yang Al Muthaffif
dalah orang yang mengurangi bagian orang lain, tatkala dia melakukan
timbangan bagi orang lain.
 QS, Al Muthaffifin: 1-5
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang yang apabila
menakar atau menerima takaran dari orang lain mereka dipenuhi. Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan
pada suatu hari yang besar.”
22

 Beberapa ulama bahkan memberikan makna yang lebih luas terhadap kata
tathfif, yaitu orang yang menerima gaji penuh namun dia tidak menunaikan
tugas-tugasnya secara jujur dan efisien.
 Sabda Rasul lainnya,
“Barangsiapa yang Allah beri posisi otoritas atas orang-orang Muslim,
kemudian dia tidak memperhatikan kepentingan – kepentingan mereka,
maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingannya di Hari Kemudian”
23

 Penipuan mungkin berbeda bentuk dan modelnya dari suatu transaksi ke


transaksi lainnya.
 Suatu waktu Rasulullah melewati tumpukan buah-buahan di pasar, tatkala
beliau memeriksa buah-buahan itu, beliau dapatkan bagian bawah basah
sedangkan bagian atasnya kering. Maka beliau memarahi orang tersebut,
seraya bersabada “Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari
golongan kami “ (HR. Muslim).
Katagori Halal 24

(3) Tidak Spekulasi


 Para ulama telah menulis secara detail masalah kejahatan dari cara transaksi melalui
spekulasi, dan transaksi sebelum adanya barang.
 Contoh perdagangan yang curang atas dasar spekulasi disebut mukhatharah.
Maksudnya praktek penyewaan tanah pertanian seseorang dengan syarat
bahwasanya hasil produksi tanah bagian khusus tanah tersebut harus menjadi milik
yang punya tanah.
 Contoh lainnya adalah apa yang disebut talaqqi as-sila, maksudnya mencegah
barang yang akan dijual di pasar di tengah perjalanan sebelum ia sampai di pasar.
Rasul melarang praktek semacam itu. Menurut Ibnu Taimiyah, karena orang yang
menjual itu bisa saja tertipu karena ia sendiri belum tahu harga yang sebenarnya
yang ada di pasar. Jika penipuan benar-benar terjadi, maka seseoran yang menjual
memiliki hak untuk membatalkan transaksi yang tela dilakukan jika ternyata di
pasar harganya jauh lebih tinggi daripada yang ia terima.
25

 Seorang pedagang toko dilarang melakukan diskriminasi harga antara


seoarang mumakis (yang melakukan penawaran) dengan orang yang
mustarsil (tidak melakukan penawaran). Menurut Imam Malik dan Imam
Ahmad, seoarang mustarsil punya hak untuk mengembalikan barang yang
telah dibeli jika ketahuan telah terjadi penipuan.
 Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam telah melarang beberapa model
transaksi yang biasa berlaku di zamannya karena adanya nuansa penipuan
dan kecurangan di dalamnya, baik oleh adanya suatu yang ambigu (mendua)
dan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan sengketa, atau adanya
spekulasi yang hanya menimbulkan kerugian pada satu pihak.
26

 Beberapa bentuk transaksi yang Rasul larang adalah sebagai berikut


 Bay qabl al Qabah. Menjual barang sebelum barang itu menjadi miliknya.
Misalnya seseorang membeli suatu komoditi dari seorang pedagang,
kemudian orang tersebut menjual ke orang lain, sebelum ia mengambil
barang yang dibeli dari pedagang itu.
 Bay’al Mulamasah. Sebuah transaksi yang dilakukan dengan memegang
barang yang akan diujal. Misalnya, seseorang memegang kain dan dia
menyatakan pada orang lain. “saya akan menjual kain ini pada anda
dengan kain yang ada di tangan anda”. Jika setelah mereka saling
memegang atau menyentuh kain maka transaksi dianggap formal.
 Bay’al Munabadah. Misalnya sebuah transaksi dilakukan dengan melempar
koin . “ saya akan menjual sepotong kain atau tanah tempat dimana kerikil
ini jatuh”.
Katagori Halal 27

c. Halal Cara Penggunaan


 Setelah dzat dan cara perolehannya halal, maka cara penggunaannya
harus halal.
 Suatu barang yang halal dan diperoleh dengan cara yang halal, jika
digunakan untuk perbatan yang haram, maka perbuatan tersebut
tetaplah haram.
 Jika sumberdaya yang baik kemudian dikuasai dengan jalan yang baik
pula, tetapi dipergunakan dengan cara yang melampaui batas, maka
hasilnyapun akan menjadi tidak halal.
2. Kebebasan dalam Usaha 28

(Freedom, Al Hurriyah)
 Bisnis tidak bisa dikatakan telah mencapai suatu bentuk perdagangan yang
saling rela antara pelakunya (tijaratan an taradlin minkum), jika di dalamnya
masih ada tekanan/paksaan.
 Kesepakatan mutual menghindari semua bentuk pemaksaan. Agar semua
dealing menjadi legitimate, kesepakatan akhir harus lepas dari paksaan
model apapun.
 Dalam hal perdagangan nasional dan internasional merfleksikan prinsip-
prinsip anti paksaan. SM.Yusuf menegaskan bahwasanya impor barang
hendaknya bebas dari segala macam tekanan dan kewajiban membayar
pajak, sehingga konsumen bisa menikmati hasil dagangannya dengan
murah. Sementara menurut Maududi, Islam tidak memberikan kewajiban
membayar bagi impor dan ekspor dalam perdagangan internasional.

29

 Manifestasi lain dari prinsip tanpa paksaan adalah adanya tuntutan bahwa
barang diperjualbelikan hendaknya dinegosiasikan dan ditetapakn atas
dasar kesepakatan mutualistik. Tidak ada otoritas tertentu yang melakukan
penetapan harga tertentu suatu komoditas. Semuanya harus atas dasar
supply dan demand.

3. Keadilan 30

 Dalam melakukan bisnis, Islam mengharuskan umatnya untuk berbuat adil


tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Bahkan
Islam mengharuskan untuk berbuat adil dan berbuat kebajikan dimana
berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
 QS. An Nahll,90 : “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan
berbuat kebajikan”.
 Maududi menyatakan, bahwa hanya Islamlah yang mampu
menghadirkan sebuah sistem yang realistik dan berkeadilan sosial yang
sempurna.
31

 Ajaran Al Qur’an yang menynagkut keadilan dalam bisnis, bisa dikategorikan dua,
yaitu imperatif dan perlindungan.
(1) Imperatif (Perintah)
(a) Memenuhi Janji
 Kesepakatan, dan Kontrak. Salah satu ajaran Al Qur’an yang paling penting dalam
masalah binis adalah masalah pemenuhan janji dan kontrak. Al Qur’an
mengharuskan semua kontrak dan janji kesepakatan dihormati, dan semua
kewajiban dipenuhi, meskipun ada alasan yang kuat bahwa pihak lain akan merusak
kesepakatan
 Lebihjauh Al Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga
sumpahnya, artinya bahwa mereka hendaknya serius menjaga sumpah yang telah
diucapkan. Al Qur’an menyatakan bahwasanya Allah akan menjatuhkan siksa atas
diingkarinya sebuah sumpah oleh seseorang. Menjaga sumpah berarti pula seseorang
berhati-hati dalam bersumpah, jangan sampai melakukan sumpah palsu. Di dalam Al
Qur’an diperintahkan bagi orang yang melanggar sumpah untuk membayar kaffarat.
32

(b) Jujur
 Pelaku bisnis perlu bersikap jujur agar memperoleh kepercayaan dari nasabahnya.
Masalah keakuratan timbangan, pesanan sesuai order, ketepatan penyerahan,
pembayaran yang tepat, tidak boleh diabaikan. Sebaliknya orang yang tidak jujur
akan selalu berusaha melakukan penipuan pada orang lain, kapan dan dimana saja
kesempatan itu terbuka bagi dirinya.
 QS. Al Anfaal, 27:
‘Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasulnya dan
juga janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.”
 Sabda Rasul:
“Ketidakjujuran adalah salah stu tanda-tanda orang munafik. Tiga tanda orang
munafik adalah jika dia bicara dia selalu berdusta, dan jika dia berjanji maka dia
akan selalu mengingkari, dan jika dia diberi amanat maka dia akan berkhianat.”

33

(2) Perlindungan
 Dalam rangka penerapan keadilan pada pelaku bisnis, Al Qur,an telah
memberikan petunjuk yang pasti bagi orang beriman yang berguna sebagai alat
perlindungan.
(a) Penulsan Kontrak
 Sebuah kontrak bisnis hendaknya ditulis di atas kertas. Penulisan transaksi
ini sangat efektif untuk melindungi terjadinya klaim palsu yang dilakukan
oleh salah satu pihak.
(b) Saksi-saksi
 Transaksi yang berbentuk kredit menurut Al Qur’an (Al Baqarah, 283);
hendaknya disaksikan oleh dua orang lelaki dewasa, jika tidak maka saksi
dilakukan dengan menghadirkan seoarang laki-laki dan dua orang wanita.

34

© Rahn (Gadai)
 Salah satu bentuk perlindungan dalam kasus kredit, ialah
pengambilan barang pihak yang berhutang ke tangan yang memberi
utang sebagai gadai (jaminan) sampai utangnya lunas.
(d) Tanggung Jawab Individu
 Setiap individu bertanggungjawab terhadap semua bentuk transaksi
yang dilakukan. Tidak ada seorangpun yang memiliki privelege
tertentu untuk menghindari konsekuensi apa yang dilakukan.
.4. Tatakrama 35

 Tatakrama dalam bisnis bisa terbagi ke dalam tiga garis besar:


Murah Hati, Motivasi untuk Berbakti, dan Prioritas Utamanya.
(1) Murah Hati
 Banyak ayat dalam Al-Qur’an dan sabda Rasulullah di dalam hadits-
haditsnya yang memerintahkan orang Islam untuk bermurah hati.
Beberapa ilustrasi yang spesifik tentang kemurahan hati mencakup
beberapa hal sebagai berikut.
(a) Sopan Santun
 Orang yang beriman diperintahkan untuk bersikap sopan saat melakukan
dealing dengan sesama manusia. Dalam sebuah hadits Rasulullah menyatakan:
“Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati/sopan pada
saat dia menjual, membeli atau saat dia menuntut haknya”.
36

 Al-Qur’an telah memerintahkan dengan perintah yang sangat ekspresif


agar kaum Muslimin bersifat lemah lembut dan sopan manakala dia
berbicara kepada orang lain. Dalam artian, berkata baik adalah adanya
kesungguhan dan kemauan baik pada orang lain dan bukan hanya dengan
suara lembut.
 Al-Qur’an mengharuskan pemeluknya berlaku sopan dalam setiap hal
bahkan dalam melakukan dealing dengan orang yang kurang pintar
(sufaha’), ia harus berbicara dengan ucapan dan ungkapan yang baik.
Kaum Muslimin juga diharuskan berlaku manis dan dermawan pada
orang miskin, dan jika dengan alasan tertentu dia tidak mampu
memberikan bantuan berupa harta, maka minimal bisa membantunya
dengan memperlakukan dengan kata-kata baik dan sopan. Kesopnan
merupakan langkah awal menuju suatu kemauan baik dan saling percaya.
37

(b) Pemaaf
 Banyak anjuran dalam Al-Qur’an untuk memberikan maaf. Bahkan
Al-Qur’an menganggap kata maaf dan perkataan yang baik, lebih
baik daripada derma yang diikuti dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan penerima).
 Al-Qur’an memerintahkan untuk memberikan maaf dan berlapang
dada atas kesalahan yang dilakukan orang lain, dan hendaknya
perlakuan jelek dibalas dengan perilaku yang baik, sehingga dengan
tindakan itu musuhpun akan menjadi teman yang akrab.
38

© Menghilangkan Kesulitan
 Salah satu manifestasi dari sikap murah hati adalah menjadikan segala
sesuatu itu gampang dan lebih mudah bagi orang lain dan tidak
menjadikan orang lain dalam kesulitan.
 Seorang Muslim tidak diperkenankan berlaku keras dan kaku dalam
melakukan hubungan dengan orang lain. Al-Qur’an memerintahkan untuk
menghindari segala tindakan yang sekiranya menyulitkan orang lain.
 Dengan demikian orang yang memberi utang hendaknya memberikan
tambahan waktu bagi yang berutang jika dia tidak mampu mengembalikan
utangnya pada waktu yang telah ditentukan, dan mungkin juga utang yang
ditangggungnya bisa dibebaskan jika memang betul-betul berada dalam
kesulitan yang mencekik.

39

 Orang yang memberikan lapangan pekerjaan hendaknya berlaku adil


pada orang yang dipekerjakan. Jangan sampai membebani orang yang
bekerja melebihi kapasitas dan kemampuannya, atau apa yang
dilakukan oleh seseorang yang bekerja tidak sesuai dengan upah yang
akan diperoleh.
 Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam, melaknat orang yang memaksa
pekerjanya untuk bekerja dalam dalam waktu yang sangat panjang
hingga orang itu menjadi terlalu lelah dan kemudian sakit
40

(d) Memberikan Bantuan


 Islam meninginkan pemeluknya untuk selalu saling membantu antar mereka dan juga
antar umat manusia. Pahala besar yang telah Allah janjikan bagi mereka yang dengan
ikhlas membantu orang lain. Al-Qur’an bahkan memerintahkan kaum Muslimin untuk
mementingkan orang lain lebih daripada dirinya ketika orang lain membutuhkan.
(2) Motivasi untuk Berbakti
 Melalui keterlibatannya di dalam aktivitas bisnis, seorang Muslim hendaknya berniat
untuk memberikan pengabdian yang diharapkan masyarakatnya dan manusia secara
keseluruhan. Aktivitasnya janganlah semata-mata ditujukan untuk memperkaya diri
sendiri, tetapi diperintahkan untuk memberikan bantuan, dan membaginya dengan
orang miskin dan tak berdaya. Agar seorang Muslim mampu menjadikan semangat
berbakt mengalahkan kepentingan diri-sendiri, ia harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut.
41

(a) Mempertimbangkan Kebutuhan dan Kepentingan Orang Lain


 Di samping menyatakan bahwa tindakan bisnis adalah legitimate dan
diperbolehkan, Islam juga memerintahkan umatnya untuk peduli pada
kepentingan orang lain pada saat dia mendapat keuntungan untuk dirinya
sendiri.
 Rasulullah bersabda:
“Semua manusia adalah keluarga (makhluk) Allah dan orang yang paling Allah
cintai adalah orang yang paling banyak memberi manfaat pada keluarga
(makhluk) Allah”.
“Barangsiapa yang membebaskan seseorang dari kesulitan dunia, niscaya Allah
akan membebaskannya manusia dari kesulitan Hari Akhirat”.
“Dan tak seorang pun di antara kamu dianggap beriman hingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
42

 Etika bisnis yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengharuskan pelakunya


untuk memberikan perhatian pada kepentingan orang lain, yang karena
alasan tertentu, tidak mampu melindungi dan memproteksi dirinya sendiri.
 Sebagai contoh, Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang yang
menjadi wali (pelindung) anak yatim hendaknya melindungi keoentingan
anak yatim. Mereka diperintahkan untuk selalu menjaga kekayaan anak
yatim sesuai dengan aturan yang ditentukan.
43

(b) Memberikan Bantuan yang Bebas Bea dan Menginfakkannya


untuk Orang Lain
 Agar seorang Muslim mampu memberikan bantuan pada orang lain,
mereka diperintahkan untuk menginfakkan harta benda mereka pada
orang lain yang membutuhkan. Agar dia mampu melakukan itu maka Al-
Qur’an memerintahkan agar mereka mampu memproduksi lebih dari apa
yang mereka butuhkan. Mereka diajarkan bahwasanya: “Tangan yang di
atas lebih baik dari tangan yang di bawah”
 Al-Qur’an memerintahkan kaum Muslim memberikan bantuan pada orang
lain dan melakukan kerjasama mereka dalam kebaikan dan takwa, dan
melarang melakukan kerjasama dalam permusuhan dan tindakan jahat.

44

© Memberi Dukungan untuk Hal yang Baik


 Kaum Muslimin diperintahkan untuk berpartisipasi dan bekerjasama
dalam usaha yang baik dan memberikan manfaat pada masyarakat.
Mereka yang melekukan dukungan terhadap pekerjaan yang baik memiliki
pahala yang sama derajatnya dengan orang lain yang melakukan kebaikan
itu sendiri.
 Al-Qur’an juga memerintahkan kaum Muslimin untuk bekerja sama
membantu dan menyebarkan nilai-nilai utama.

45

(3) Ingat Kepada Allah dan Prioritas Utamanya


 Seorang Muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, bahkan
dalam suasana mereka sedang sibuk dalam aktifitas. Dia hendaknya
sadar penuh dan responsif terhadap prioritas –prioritas yang telah
diperintahkan Allah.
 Kesadaran akan Allah ini, hendaknya menjadi sebuah kekuatan
pemicu (driving force) dalam segala tindakannya. Dia misalnya harus
menghentikan aktivitas bisnisnya saat datang panggilan Shalat.


46

 Semua kegiatan bisnis hendaknya selaras dengan morallitas dan nilai-nilai


utama yang digariskan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan bahwa
setiap tindakan dan transaksi ditujukan untuk tujuan hidup yang lebih
mulia.
 Kaum Muslimin diperintahkan untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan
cara menggunakan nikmat yang Allah karuniakan padanya dengan jalan
yang sebaik-baiknya. Al-Qur’an memerintahkan untuk mencari dan
menggapai prioritas –prioritas yang Allah tentukan, misalnya:
47

(i) Hendaknya mereka mendahulukan pencarian pahala yang besar dan


abadi di akhirat daripada keuntungan kecil dan terbatas yang ada di
dunia.
(ii) Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih daripada sesuatu
yang secara moral kotor, walaupun misalnya yang terakhir mendatangkan banyak keuntungan
jauh lebih besar daripada yang pertama.
(iii) Mendahulukan pekerjaan halal daripada yang haram.
 Meskipun Islam menyatakan bisnis adalah halal, namun kegiatan ini hendaknya
jangan sampai menghalangi mereka untuk selalu ingat kepada Allah dan melanggar
rambu-rambu perintah-Nya.
 Misalnya, kaum Muslimin harus menghabiskan aktivitas bisnisnya manakala
mereka mendengar panggilan Shalat Jum’at. Namun setelah Shalat Jum’at mereka
diperintahkan untuk kembali ke aktivitas bisnis mereka.

Ringkasan 48

 Sumber Prinsip Ekonomi Islam adalah Kitab Suci Al Qur’an, Hadits dan
Sunnah, dan Ijtihad
 Prinsip Bisnis yang Islami adalah halal, kebebasan dalam usaha (freedom, al
hurriyah), keadilan, dan tatakrama
 Tiga sisi halal adalah: Halal Dzat, Halal Cara Perolehannya, dan Halal Cara
Penggunaan
 Kebebasan dalam Usaha (Freedom, Al Hurriyah) merupakan kesepakatan
mutual menghindari msemua bentuk pemaksaan. Agar semua dealing
menjadi legitimate, kesepakatan akhir harus lepas dari paksaan model
apapun.
 Ajaran Al Qur’an yang menynagkut keadilan dalam bisnis, bisa
dikategorikan dua, yaitu imperatif dan perlindungan.
 Tatakrama dalam bisnis bisa terbagi ke dalam tiga garis besar: Murah Hati,
Motivasi untuk Berbakti, dan Prioritas Utamanya.

Anda mungkin juga menyukai