Etika harus dibedakan dengan Etiket, ke dua istilah ini sering dicampuradukkan padahal perbedaan di antaranya sangat hakiki. Kata Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette, yang berarti kartu undangan lazim dipakai di kalangan raja-raja Prancis. Dahulu raja-raja Parancis, jika mengadakan resepsi/pesta di istana, umumnya mengundang tamu-tamu tertentu baik dari kalangan keluarga raja/luar istana yang berkedudu- kan tinggi al. orang-orang kaya/para duta negara lain. Cara mengundangnya dengan sebuah kartu yang di dalamnya tertera aturan-aturan yang berbelit-belit. Di kartu undangan sudah mengatur cara-cara mengikuti pesta, yang disesuaikan dengan jabatan, tingkatan/hubungannya dengan raja. Peraturan itu menyangkut letak tempat duduk, cara berpakaian, bersikap, dan berbicara dengan raja. Lama kelamaan pengertian etiquette berubah, bukan lagi kartunya yang disebut etiquette malainkan isinya. Selanjutnya kata etiquette berkembang artinya menjadi : kumpulan cara sikap bergaul yang baik di antara orang-orang yang telah beradab. Etiket mempunyai hubungan yang erat dengan etika. Menilai moral seseorang antara lain juga melihat etiket pergaulannya. Jadi, etiket dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur moral seseorang. Membiasakan diri menjalankan etiket yang baik akan banyak membantu orang untuk mencapai moral yang baik. Namun, perlu diingat bahwa ada perbedaan yang sangat penting antara etiket dan etika. Menurut Bertens (1993:9-10a), ada empat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket, sebagai berikut : a. Etiket adalah Cara, sedangkan Etika adalah Niat Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Menyerahkan sesuatu kepada atasan harus dengan tangan kanan, sedangkan dengan tangan kiri dianggap melanggar etiket. Akan tetapi, etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Mengambil barang milik proyek tanpa izin tidak pernah diperbolehkan, tidak peduli pada cara mengambilnya dengan tangan kanan atau kiri. b. Etiket adalah Formalitas, sedangkan Etika adalah Nurani Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Larangan untuk mencuri barang milik proyek selalu berlaku, walaupun ada orang lain hadir atau tidak dalam lokasi proyek. Demikian halnya barang pinjaman harus selalu dikembalikan, walaupun pemiliknya sudah lupa. c. Etiket bersifat Relatif, sedangkan Etika bersifat Mutlak Etiket bersifat relatif. Yang dianggap sopan dalam satu kebudayaan bisa dianggap tidak sopan dalam kebudayaan lain, misalnya makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Sementara itu “Jangan mencuri" merupakan prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi "dispensasi” Walaupun ada kesulitan mengenai keabsolutan etika, tetapi tidak bisa diragukan lagi relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi. d. Etiket adalah Lahiriah, sedangkan Etika adalah Batiniah Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan etika menyangkut manusia dari segi batiniah. Etiket yang baik tidak pasti berarti moral yang baik. Tidak mustahil dalam pergaulan dunia bisnis konstruksi sering kita temukan seorang rekanan sikap luarnya yang sangat halus dan sopan, tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Orang yang bersikap etis adalah orang yang "sungguh-sungguh” baik, bukan orang-orang yang munafik C. Etika Bisnis Konstruksi Untuk memahami apa itu etika bisnis konstruksi, terlebih dahulu perlu ditelusuri di mana posisi etika bisnis konstruksi dalam sistematika etika. Etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar, yaitu bagaimana manusia bertindak secara etis dan bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, dan prinsip-prinsip yang menjadi tolok ukur untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika khusus menerapkan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus : bagaimana bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus dilakukan atau bagaimana bidang itu perlu ditata agar menunjang pencapaian kebaikan manusia sebagai manusia? Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu (1) etika individual dan (2) etika sosial. Etika individual memuat kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial membicarakan kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. Etika individu adalah etika sosial berkaitan dan saling mempengaruhi, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan antara manusia, baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi, maupun tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup. Fungsi etika sosial pada dasarnya adalah untuk membuat kita menjadi sadar akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama menurut semua dimensinya. Dalam semua dimensi itu kita tidak boleh melihat segala sesuatu dan bertindak untuk kepentingan diri sendiri saja, melainkan harus juga mempedulikan kepentingan bersama, sesuai dengan martabat dan tanggung jawab manusia sebagai manusia. Pembagian etika tersebut oleh Magnis-Suseno dan kawan-kawan (1993:8) disistematisasikan sebagai berikut :
Gambar 1.1. Sistematika etika
Dari sistematika tersebut, terlihat bahwa etika bisnis konstruksi merupakan suatu studi yang menyangkut permasalahan dan keputusan moral yang dihadapi oleh individu maupun organisasi yang terlibat dalam bisnis konstruksi. Etika bisnis konstruksi dalam banyak hal perlu menelaah teori-teori etika. Hal ini disebabkan etika terapan bersangkut-paut dengan pencarian alasan- alasan moral yang meyakinkan bagi kepercayaan dan tindakan, yang berlawanan dengan sikap menerima begitu saja tanpa sikap kritis. Prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi acuan alasan-alasan ini secara eksplisit maupun implisit langsung terkait dengan teori etika. Misalnya, dalam konteks negosiasi sebuah kontrak kita katakan bahwa tindakan tertentu salah karena sama dengan menerima suap, dan suap adalah salah karena secara tidak adil mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan. Tuntutan ini didasarkan pada prinsip umum bahwa negosiasi kontrak seharusnya secara imparsial terpusat pada manfaat kontrak itu sendiri. Prinsip umum ini pada gilirannya akan dibenarkan dengan merujuk kepada prinsip yang lebih tinggi tingkatnya yaitu bahwa kita harus adil dan tidak memihak dalam situasi-situatesi tertentu. Prinsip-prinsip ini bila dikembangkan dan diintegrasikan dalam teori-teori keadilan, merupakan perspektif-perspektif filosofis yang luas tentang perilaku yang dapat diberikan oleh teori etika. Oleh karena adanya hubungan antara etika terapan dan etika umum dalam pemecahan masalah etis, sebelum dibahas secara khusus hal-hal yang lebih langsung menyangkut etika bisnis konstruksi, akan dibahas terlebih dahulu teori-teori etika pada umumnya dan etika khusus dalam bidang profesi. C. TUJUAN ETIKA Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa telaah etika bisnis konstruksi diharapkan akan meningkatkan kemampuan setiap orang yang terlibat dalam dunia bisnis konstruksi dalam menghadapi masalah moral yang muncul dalam praktik. Tujuannya bukan semata-mata menanamkan keyakinan-keyakinan tertentu, melainkan untuk memperkuat otonomi moral. 1. Otonomi Moral Sikap moral adalah sikap otonomi (dari kata Yunani “autos” = sendiri, dan “nomos” = hukum) yang dibedakan dengan sikap heteronomi (dari kata Yunani heteros 'lain'). Otonomi moral berarti manusia menaati kewajibannya bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena menyadari sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggung jawab. Heteronomi moral merupakan sikap manusia yang memenuhi kewajibannya karena ia tertekan, takut berdosa, atau takut dikutuk Tuhan, dsb. Otonomi moral tidak berarti menolak hukum yang dipasang orang lain. Orang yang bermoral otonom juga akan taat pada hukum, yakni bila ia sadar bahwa hal itu dituntut dari dirinya. Kemampuan untuk menyadari bahwa hidup bersama orang lain memerlukan tatanan dan kita harus menyesuaikan diri dengan tanda kepribadian yang dewasa. Jadi, otonomi moral menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa kita menjadi bagian masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturannya. Etika bisnis konstruksi akan memperkuat kesadaran pelaku bisnis konstruksi untuk berpikir secara jernih dan kritis dalam menghadapi isu-isu moral. Dengan kata lain, etika ini meningkatkan otonomi moral pelaku bisnis konstruksi dalam mengembangkan, mengungkapkan, dan bertindak atas dasar pandangan- pandangan moral yang berdasarkan penalaran. lsu-isu moral yang dihadapi oleh para pelaku bisnis konstruksi begitu kompleks, baik dari dalam, maupun luar (pemilik proyek, perusahaan lain, pemerintah) seperti terlihat dalam gambar berikut ini (Martin dan Schinzinger, 1994:9). Gambar 1.2. Konteks Isu Moral dalam Bisnis Konstruksi Peningkatan otonomi moral dapat diperoleh dengan menyempurnakan keterampilan-keterampilan praktis yang membantu menghasilkan pemikiran independen yang kreatif tentang isu-isu moral. Martin dan Schinzinger (1994:18-19) mendaftarkan keterampilan-keterampilan itu sbb : a. Kemahiran mengenali masalah dan isu moral dalam bisnis konstruksi yang mencakup kemampuan membedakan maupun mengaitkan diri dengan masalah dan isu moral dalam hukum, ekonomi, ajaran agama, atau deskripsi sistem-sistem fisik; b. Keterampilan memahami, menjelaskan, dan secara kritis mengkaji argumen-argumen atas segi-segi yang berlawanan dengan alami isu-isu moral; c. Kemampuan membentuk sudut pandangan yang konsisten dan komprehensif berdasarkan pertimbangan atas fakta-fakta yang relevan; d. Keadaan imajinatif tentang berbagai respon alternatif terhadap isu-isu bersangkutan dan pemecahan kreatif atas kesulitan-kesulitan praktis; e. Kepekaan terhadap kesulitan dan kepelikan sesungguhnya. lni mencakup kesediaan mengalami dan mentoleransi ketidakpastian dalam membuat penilaian atau keputusan moral yang merisaukan; f. Peningkatan ketepatan dalam menggunakan bahasa etika yang lazim, yang diperlukan untuk dapat dengan baik mengungkapkan dan membela pandangan moral seseorang terhadap orang lain; g. Meningkatnya penghargaan baik terhadap kemungkinan penggunaan dialog rasional dalam memecahkan konflik-konfllk moral maupun perlunya toleransi terhadap perbedaan- perbedaan perspektif di kalangan orang-orang yang secara moral cukup baik; h. Bangkitnya desakan akan pentingnya integrasi antara hidup profesional dengan keyakinan personal atau pentingnya mempertahankan integritas moral; Dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan besar untuk bertindak secara bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai manusia, setiap pelaku bisnis konstruksi akan mampu pula meningkatkan otonomi moralnya dan mampu menghadapi isu-isu moral secara benar dan arif. Diungkapkan oleh Prof. Andi Hakim Nasoetion (1992:7), "berkata benar itu baik, berkata arif itu lebih baik lagi; dengan pengertian mengungkapkan kebenaran sebagaimana adanya itu baik, tetapi lebih baik lagi bila mengungkapkan kebenaran tersebut secara arif". 2. Perkembangan Moral Peningkatan otonomi moral seseorang dalam kehidupannya sangat erat hubungannya dengan bidang psikologi perkembangan moral. Dalam kaitannya dengan etika bisnis konstruksi, yang menarik untuk disinggung adalah tahapan perkembangan moral yang dikemukakan oleh psikolog, Lawrence Kohlberg (1927-19 88). Kohlberg membagi perkembangan nilai moral kehidupan manusia dalam enam tahap. Tahapan ini dikaitkan sedemikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Setiap tahap mencerminkan tingkatan moral seseorang mulai dari yang paling primitif sampai yang paling canggih. Seseorang tidak mungkin mencapai tahap tertentu sebelum melampaui tahap sebelumnya (Kohlberg, 1995:23-12 34; Carroll, 1989:97-100). Gambar 1.3. Tingkat Perkembangan Moral a. Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini orang mengakui adanya aturan- aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi, penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya didasarkan oleh faktor-faktor lahiriah saja, yaitu akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau hal yang menyenangkan). Terdapat dua tahap pada tingkat ini. Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat-akibat fisik yang diterima menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Orang hanya semata- mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada otoritas tanpa mempersoalkannya. Hal itu dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. Jadi, yang dianggap baik adalah yang bisa menghindarkan seseorang dari hukuman, seperti anak kecil mematuhi perintah orang tuanya untuk menghindarkan diri dari penderitaan batin karena dimarahi, atau penderitaan fisik karena dipukuli. Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadan juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap seperti hubungan di pasar tukar-menukar. Hubungan timbal balik (resiprositas) ini sejauh "jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan melakukan sesuatu untuk kamu. "Jadi, orang mematuhi tata nilai dan standar moral yang berlaku semata-mata untuk memperoleh simpati dan kasih sayang dari warga masyarakat lainnya. Hal ini sudah lebih positif dibandingkan dengan tahap 1 , tetapi masih berkisar pada kepentingan diri sendiri. b. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini seseorang hanya memenuhi harapan keluarga, kelompok, atau bangsa, karena hal itu dipandangnya sebagai hal yang berharga dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan konsekuensi atau akibatnya. Sikapnya bukan saja menyesuaikan diri (bahasa Latin : convenire) dengan harapan orang-orang tertentu atau tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mendukung serta membenarkan seluruh tata tertib itu. Singkatnya, orang mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat beserta norma-normanya. Tingkat ini mempunyai dua tahap : Tahap3 : Orientasi kesepakatan antar pribadi Perilaku yang baik : perilaku yang menyenangkan dan membantu serta disetujui orang lain. Orientasinya : ingin memberikan kebaikan kepada orang2 di sekelilingnya. Karena seseorang mengetahui bahwa anggota keluarga dan kawan- kawan dekatnya akan berbahagia jika dia tidak berbohong dan tidak mencuri, maka dia menjaga agar senantiasa tidak berbohong dan tidak mencuri. Dalam tahap ini perbuatan dianggap baik, karena di baliknya ada maksud baik. Kalau pada tahap kedua yang menjadi dasar : kepentingan dirinya sendiri, maka pada tahap ketiga ini ada kebutuhan memberikan kebahagiaan kepada orang2 di lingkungannya. Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban Ada orientasi terhadap otoritas, aturan2 yang tetap, dan pertahanan tata tertib sosial. Perilaku yang baik : melakukan kewajiban menghormati otoritas, dan mempertahankan tata tertib sosial yang berlaku, sebagai yang bernilai. Perilaku baik dan buruk ditentukan oleh kadar loyalitasnya pada bangsa dan negaranya. Maka hukum harus dijunjung tinggi, kecuali jika hukum bertentangan dengan kepentingan nasional lainnya yang lebih besar dan lebih penting. Pada tahap ini terlihat dan dirasakan bahwa dirinya dan semua warga adalah bagian dari seluruh bangsa dan negara, sehingga masing-masing mempunyai peran dan kewajiban. c. Tingkat Pascakonvensional Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang muncul dari kebebasan pribadi. Rumusan ini dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip- prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Orang mulai sadar bahwa kelompoknya tidak selamanya benar. Menjadi anggota kelompok tidak menghindari bahwa kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya sendiri. Oleh karena itu. Kohlberg menamakan tingkat ini sebagai "tingkat otonom" atau "tingkat berprinsip” (principled levell. Ada dua tahap pada tingkat ini : Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistis Pada tahap ini perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran indidual umum yang teruji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Terdapat kesamaan mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi, juga ada kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari yang telah disepakati secara demokratis baik buruknya suatu hal bergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada segi hukum, asalkan hal itu terjadi demi kegunaan sosial (dan bukan pandangan yang kaku tentang hukum seperti dalam tahap 4). Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban atau "moralitas resmi". Jadi, pada tahap ini orang mulai sadar bahwa manusia itu beragam dalam pandangan, pendapat, dan tata nilainya. Semuanya harus dihormati secara demokratis. Akan tetapi, dalam hal ini masih dirasa perlu mencapai konsensus melalui perjanjian, kontrak, dan proses-proses yang transparan. Tarlap 6 : Orientasi prinsip etika universal Perbuatan dan sikap yang benar ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan mengacu pada kelengkapan, penalaran, universalitas, dan konsistensinya. Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, kesejahteraan masyarakat, hak asasi manusia, dan rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi dengan ide dasar bahwa manusia adalah subjek dan bukan objek. Jadi, alasan seseorang berbuat baik didasarkan pada komitmen atas prinsip-prinsip moral; dan orang menerimanya sebagai kriteria untuk mengevaluasi semua peraturan dan kesepakatan lainnya, termasuk konsensus demokratis. Agar seseorang dapat bertanggung jawab secara moral, ia harus bisa menjalankan penalaran moral, sehingga mampu mengambil sikap untuk tidak menerima begitu saja kesepakatan-kesepakatan yang dominan dalam masyarakat atau kelompoknya. Tanggung jawab moral muncul dari dasar latihan moral sejak dini yang diberikan oleh orang tua dan budaya seseorang. Latihan dini ini, yang merupakah penyerahan diri pada kekuasaan orang tuanya, memungkinkan pertumbuhan di kemudian hari melampaui tahap berpusat pada diri sendiri sepenuhnya (tingkat prakonvensional) dan penerimaan kebiasaan tanpa sikap kritis (tingkat konvensional) menuju hormat pada hak-hak orang lain (tingkat pascakonvensional).
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita
Pendekatan sederhana untuk komunikasi profesional: Panduan praktis untuk komunikasi profesional dan strategi komunikasi bisnis tertulis dan interpersonal terbaik
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik