Anda di halaman 1dari 35

2.

Etika dan Etiket


Etika harus dibedakan dengan Etiket, ke dua istilah
ini sering dicampuradukkan padahal perbedaan di
antaranya sangat hakiki.
Kata Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette,
yang berarti kartu undangan lazim dipakai di
kalangan raja-raja Prancis. Dahulu raja-raja
Parancis, jika mengadakan resepsi/pesta di istana,
umumnya mengundang tamu-tamu tertentu baik dari
kalangan keluarga raja/luar istana yang berkedudu-
kan tinggi al. orang-orang kaya/para duta negara lain.
Cara mengundangnya dengan sebuah kartu yang di
dalamnya tertera aturan-aturan yang berbelit-belit.
Di kartu undangan sudah mengatur cara-cara
mengikuti pesta, yang disesuaikan dengan jabatan,
tingkatan/hubungannya dengan raja.
Peraturan itu menyangkut letak tempat duduk, cara
berpakaian, bersikap, dan berbicara dengan raja.
Lama kelamaan pengertian etiquette berubah,
bukan lagi kartunya yang disebut etiquette
malainkan isinya.
Selanjutnya kata etiquette berkembang artinya
menjadi : kumpulan cara sikap bergaul yang baik
di antara orang-orang yang telah beradab.
Etiket mempunyai hubungan yang erat dengan
etika. Menilai moral seseorang antara lain juga
melihat etiket pergaulannya.
Jadi, etiket dapat dipakai sebagai salah satu alat
untuk mengukur moral seseorang. Membiasakan diri
menjalankan etiket yang baik akan banyak
membantu orang untuk mencapai moral yang baik.
Namun, perlu diingat bahwa ada perbedaan yang
sangat penting antara etiket dan etika.
Menurut Bertens (1993:9-10a), ada empat
perbedaan yang sangat penting antara etika dan
etiket, sebagai berikut :
a. Etiket adalah Cara, sedangkan Etika
adalah Niat
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang
harus dilakukan manusia. Menyerahkan sesuatu
kepada atasan harus dengan tangan kanan,
sedangkan dengan tangan kiri dianggap melanggar
etiket.
Akan tetapi, etika tidak terbatas pada cara
dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi
norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan
boleh dilakukan atau tidak. Mengambil barang
milik proyek tanpa izin tidak pernah
diperbolehkan, tidak peduli pada cara
mengambilnya dengan tangan kanan atau kiri.
b. Etiket adalah Formalitas, sedangkan
Etika adalah Nurani
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak
ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata,
etiket tidak berlaku.
Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak
ada saksi mata. Larangan untuk mencuri barang
milik proyek selalu berlaku, walaupun ada orang
lain hadir atau tidak dalam lokasi proyek.
Demikian halnya barang pinjaman harus selalu
dikembalikan, walaupun pemiliknya sudah lupa.
c. Etiket bersifat Relatif, sedangkan
Etika bersifat Mutlak
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap sopan
dalam satu kebudayaan bisa dianggap tidak sopan
dalam kebudayaan lain, misalnya makan dengan
tangan atau bersendawa waktu makan.
Sementara itu “Jangan mencuri" merupakan
prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau
mudah diberi "dispensasi” Walaupun ada
kesulitan mengenai keabsolutan etika, tetapi
tidak bisa diragukan lagi relativitas etiket jauh
lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi.
d. Etiket adalah Lahiriah, sedangkan
Etika adalah Batiniah
Etiket memandang manusia dari segi lahiriah
saja, sedangkan etika menyangkut manusia dari
segi batiniah.
Etiket yang baik tidak pasti berarti moral yang
baik.
Tidak mustahil dalam pergaulan dunia bisnis
konstruksi sering kita temukan seorang rekanan
sikap luarnya yang sangat halus dan sopan, tetapi
di dalamnya penuh kebusukan.
Orang yang bersikap etis adalah orang yang
"sungguh-sungguh” baik, bukan orang-orang yang
munafik
C. Etika Bisnis Konstruksi
Untuk memahami apa itu etika bisnis konstruksi,
terlebih dahulu perlu ditelusuri di mana posisi etika
bisnis konstruksi dalam sistematika etika.
Etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip moral
dasar, yaitu bagaimana manusia bertindak secara
etis dan bagaimana manusia mengambil keputusan
etis, teori-teori etika, dan prinsip-prinsip yang
menjadi tolok ukur untuk menilai baik atau buruknya
suatu tindakan.
Etika khusus menerapkan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus : bagaimana
bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus
dilakukan atau bagaimana bidang itu perlu ditata agar
menunjang pencapaian kebaikan manusia sebagai
manusia?
Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu (1) etika
individual dan (2) etika sosial.
Etika individual memuat kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri.
Etika sosial membicarakan kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Etika individu adalah etika sosial berkaitan dan saling
mempengaruhi, karena kewajiban terhadap diri sendiri
dan sebagai anggota umat manusia tidak dapat
dipisahkan.
Etika sosial menyangkut hubungan antara manusia,
baik secara langsung maupun dalam bentuk
kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap
kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan
ideologi-ideologi, maupun tentang tanggung jawab
manusia terhadap lingkungan hidup.
Fungsi etika sosial pada dasarnya adalah untuk
membuat kita menjadi sadar akan tanggung jawab
kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama
menurut semua dimensinya.
Dalam semua dimensi itu kita tidak boleh melihat
segala sesuatu dan bertindak untuk kepentingan diri
sendiri saja, melainkan harus juga mempedulikan
kepentingan bersama, sesuai dengan martabat dan
tanggung jawab manusia sebagai manusia.
Pembagian etika tersebut oleh Magnis-Suseno dan
kawan-kawan (1993:8) disistematisasikan sebagai
berikut :

Gambar 1.1. Sistematika etika


Dari sistematika tersebut, terlihat bahwa etika
bisnis konstruksi merupakan suatu studi yang
menyangkut permasalahan dan keputusan moral yang
dihadapi oleh individu maupun organisasi yang
terlibat dalam bisnis konstruksi.
Etika bisnis konstruksi dalam banyak hal perlu
menelaah teori-teori etika. Hal ini disebabkan etika
terapan bersangkut-paut dengan pencarian alasan-
alasan moral yang meyakinkan bagi kepercayaan dan
tindakan, yang berlawanan dengan sikap menerima
begitu saja tanpa sikap kritis.
Prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi acuan
alasan-alasan ini secara eksplisit maupun implisit
langsung terkait dengan teori etika.
Misalnya, dalam konteks negosiasi sebuah kontrak
kita katakan bahwa tindakan tertentu salah karena
sama dengan menerima suap, dan suap adalah salah
karena secara tidak adil mempengaruhi penilaian
dan pengambilan keputusan.
Tuntutan ini didasarkan pada prinsip umum bahwa
negosiasi kontrak seharusnya secara imparsial
terpusat pada manfaat kontrak itu sendiri. Prinsip
umum ini pada gilirannya akan dibenarkan dengan
merujuk kepada prinsip yang lebih tinggi tingkatnya
yaitu bahwa kita harus adil dan tidak memihak
dalam situasi-situatesi tertentu.
Prinsip-prinsip ini bila dikembangkan dan
diintegrasikan dalam teori-teori keadilan,
merupakan perspektif-perspektif filosofis yang
luas tentang perilaku yang dapat diberikan oleh
teori etika.
Oleh karena adanya hubungan antara etika terapan
dan etika umum dalam pemecahan masalah etis,
sebelum dibahas secara khusus hal-hal yang lebih
langsung menyangkut etika bisnis konstruksi, akan
dibahas terlebih dahulu teori-teori etika pada
umumnya dan etika khusus dalam bidang profesi.
C. TUJUAN ETIKA
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa
telaah etika bisnis konstruksi diharapkan akan
meningkatkan kemampuan setiap orang yang terlibat
dalam dunia bisnis konstruksi dalam menghadapi
masalah moral yang muncul dalam praktik.
Tujuannya bukan semata-mata menanamkan
keyakinan-keyakinan tertentu, melainkan untuk
memperkuat otonomi moral.
1. Otonomi Moral
Sikap moral adalah sikap otonomi (dari kata Yunani
“autos” = sendiri, dan “nomos” = hukum) yang
dibedakan dengan sikap heteronomi (dari kata
Yunani heteros 'lain').
 Otonomi moral berarti manusia menaati kewajibannya
bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena
menyadari sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai
tanggung jawab.
 Heteronomi moral merupakan sikap manusia yang
memenuhi kewajibannya karena ia tertekan, takut
berdosa, atau takut dikutuk Tuhan, dsb.
Otonomi moral tidak berarti menolak hukum yang
dipasang orang lain. Orang yang bermoral otonom juga
akan taat pada hukum, yakni bila ia sadar bahwa hal itu
dituntut dari dirinya.
Kemampuan untuk menyadari bahwa hidup bersama orang
lain memerlukan tatanan dan kita harus menyesuaikan
diri dengan tanda kepribadian yang dewasa.
Jadi, otonomi moral menuntut kerendahan hati untuk
menerima bahwa kita menjadi bagian masyarakat dan
bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturannya.
Etika bisnis konstruksi akan memperkuat kesadaran
pelaku bisnis konstruksi untuk berpikir secara jernih
dan kritis dalam menghadapi isu-isu moral. Dengan
kata lain, etika ini meningkatkan otonomi moral pelaku
bisnis konstruksi dalam mengembangkan,
mengungkapkan, dan bertindak atas dasar pandangan-
pandangan moral yang berdasarkan penalaran.
lsu-isu moral yang dihadapi oleh para pelaku bisnis
konstruksi begitu kompleks, baik dari dalam, maupun
luar (pemilik proyek, perusahaan lain, pemerintah)
seperti terlihat dalam gambar berikut ini (Martin dan
Schinzinger, 1994:9).
Gambar 1.2. Konteks Isu Moral dalam Bisnis Konstruksi
Peningkatan otonomi moral dapat diperoleh dengan
menyempurnakan keterampilan-keterampilan praktis
yang membantu menghasilkan pemikiran independen
yang kreatif tentang isu-isu moral.
Martin dan Schinzinger (1994:18-19) mendaftarkan
keterampilan-keterampilan itu sbb :
a. Kemahiran mengenali masalah dan isu moral dalam
bisnis konstruksi yang mencakup kemampuan
membedakan maupun mengaitkan diri dengan
masalah dan isu moral dalam hukum, ekonomi,
ajaran agama, atau deskripsi sistem-sistem fisik;
b. Keterampilan memahami, menjelaskan, dan secara
kritis mengkaji argumen-argumen atas segi-segi
yang berlawanan dengan alami isu-isu moral;
c. Kemampuan membentuk sudut pandangan yang
konsisten dan komprehensif berdasarkan
pertimbangan atas fakta-fakta yang relevan;
d. Keadaan imajinatif tentang berbagai respon
alternatif terhadap isu-isu bersangkutan dan
pemecahan kreatif atas kesulitan-kesulitan praktis;
e. Kepekaan terhadap kesulitan dan kepelikan
sesungguhnya. lni mencakup kesediaan mengalami dan
mentoleransi ketidakpastian dalam membuat
penilaian atau keputusan moral yang merisaukan;
f. Peningkatan ketepatan dalam menggunakan bahasa
etika yang lazim, yang diperlukan untuk dapat
dengan baik mengungkapkan dan membela pandangan
moral seseorang terhadap orang lain;
g. Meningkatnya penghargaan baik terhadap
kemungkinan penggunaan dialog rasional dalam
memecahkan konflik-konfllk moral maupun
perlunya toleransi terhadap perbedaan-
perbedaan perspektif di kalangan orang-orang
yang secara moral cukup baik;
h. Bangkitnya desakan akan pentingnya integrasi
antara hidup profesional dengan keyakinan
personal atau pentingnya mempertahankan
integritas moral;
Dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai
kemampuan besar untuk bertindak secara
bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai manusia,
setiap pelaku bisnis konstruksi akan mampu pula
meningkatkan otonomi moralnya dan mampu
menghadapi isu-isu moral secara benar dan arif.
Diungkapkan oleh Prof. Andi Hakim Nasoetion
(1992:7), "berkata benar itu baik, berkata arif itu
lebih baik lagi; dengan pengertian mengungkapkan
kebenaran sebagaimana adanya itu baik, tetapi lebih
baik lagi bila mengungkapkan kebenaran tersebut
secara arif".
2. Perkembangan Moral
Peningkatan otonomi moral seseorang dalam
kehidupannya sangat erat hubungannya dengan bidang
psikologi perkembangan moral. Dalam kaitannya dengan
etika bisnis konstruksi, yang menarik untuk disinggung
adalah tahapan perkembangan moral yang dikemukakan
oleh psikolog, Lawrence Kohlberg (1927-19 88).
Kohlberg membagi perkembangan nilai moral kehidupan
manusia dalam enam tahap. Tahapan ini dikaitkan
sedemikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua
tahap. Setiap tahap mencerminkan tingkatan moral
seseorang mulai dari yang paling primitif sampai yang
paling canggih. Seseorang tidak mungkin mencapai
tahap tertentu sebelum melampaui tahap sebelumnya
(Kohlberg, 1995:23-12 34; Carroll, 1989:97-100).
Gambar 1.3. Tingkat Perkembangan Moral
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini orang mengakui adanya aturan-
aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya
mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan
tetapi, penilaian tentang baik buruknya perbuatan
hanya didasarkan oleh faktor-faktor lahiriah saja,
yaitu akibat fisik atau kenikmatan perbuatan
(hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau hal
yang menyenangkan).
Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik yang diterima menentukan baik
buruknya suatu perbuatan. Orang hanya semata-
mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada
otoritas tanpa mempersoalkannya. Hal itu dinilai
sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan
bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral
yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman
dan otoritas.
Jadi, yang dianggap baik adalah yang bisa
menghindarkan seseorang dari hukuman, seperti
anak kecil mematuhi perintah orang tuanya untuk
menghindarkan diri dari penderitaan batin karena
dimarahi, atau penderitaan fisik karena dipukuli.
Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang
merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadan juga
kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia
dianggap seperti hubungan di pasar tukar-menukar.
Hubungan timbal balik (resiprositas) ini sejauh
"jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka
saya akan melakukan sesuatu untuk kamu. "Jadi,
orang mematuhi tata nilai dan standar moral yang
berlaku semata-mata untuk memperoleh simpati
dan kasih sayang dari warga masyarakat lainnya.
Hal ini sudah lebih positif dibandingkan dengan
tahap 1 , tetapi masih berkisar pada kepentingan
diri sendiri.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang hanya memenuhi harapan
keluarga, kelompok, atau bangsa, karena hal itu
dipandangnya sebagai hal yang berharga dalam dirinya
sendiri, tanpa mengindahkan konsekuensi atau
akibatnya.
Sikapnya bukan saja menyesuaikan diri (bahasa Latin :
convenire) dengan harapan orang-orang tertentu atau
tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya
dan secara aktif mendukung serta membenarkan
seluruh tata tertib itu. Singkatnya, orang
mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok
yang terlibat beserta norma-normanya.
Tingkat ini mempunyai dua tahap :
Tahap3 : Orientasi kesepakatan antar pribadi
Perilaku yang baik : perilaku yang menyenangkan
dan membantu serta disetujui orang lain.
Orientasinya : ingin memberikan kebaikan kepada
orang2 di sekelilingnya. Karena seseorang
mengetahui bahwa anggota keluarga dan kawan-
kawan dekatnya akan berbahagia jika dia tidak
berbohong dan tidak mencuri, maka dia menjaga
agar senantiasa tidak berbohong dan tidak mencuri.
Dalam tahap ini perbuatan dianggap baik, karena di
baliknya ada maksud baik.
Kalau pada tahap kedua yang menjadi dasar :
kepentingan dirinya sendiri, maka pada tahap
ketiga ini ada kebutuhan memberikan kebahagiaan
kepada orang2 di lingkungannya.
Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban
Ada orientasi terhadap otoritas, aturan2 yang tetap,
dan pertahanan tata tertib sosial.
Perilaku yang baik : melakukan kewajiban menghormati
otoritas, dan mempertahankan tata tertib sosial yang
berlaku, sebagai yang bernilai.
Perilaku baik dan buruk ditentukan oleh kadar
loyalitasnya pada bangsa dan negaranya. Maka hukum
harus dijunjung tinggi, kecuali jika hukum
bertentangan dengan kepentingan nasional lainnya
yang lebih besar dan lebih penting.
Pada tahap ini terlihat dan dirasakan bahwa dirinya
dan semua warga adalah bagian dari seluruh bangsa
dan negara, sehingga masing-masing mempunyai peran
dan kewajiban.
c. Tingkat Pascakonvensional
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk
merumuskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang
muncul dari kebebasan pribadi.
Rumusan ini dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-
prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu
sendiri dengan kelompok tersebut. Orang mulai sadar
bahwa kelompoknya tidak selamanya benar.
Menjadi anggota kelompok tidak menghindari bahwa
kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya
sendiri. Oleh karena itu. Kohlberg menamakan tingkat
ini sebagai "tingkat otonom" atau "tingkat berprinsip”
(principled levell.
Ada dua tahap pada tingkat ini :
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada tahap ini perbuatan yang baik cenderung
dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran indidual
umum yang teruji secara kritis dan telah disepakati
oleh masyarakat. Terdapat kesamaan mengenai
relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi,
juga ada kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai
kesepakatan.
Terlepas dari yang telah disepakati secara
demokratis baik buruknya suatu hal bergantung pada
nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Hasilnya
adalah penekanan pada segi hukum, asalkan hal itu
terjadi demi kegunaan sosial (dan bukan pandangan
yang kaku tentang hukum seperti dalam tahap 4).
Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak
merupakan unsur pengikat kewajiban atau "moralitas
resmi".
Jadi, pada tahap ini orang mulai sadar bahwa manusia
itu beragam dalam pandangan, pendapat, dan tata
nilainya. Semuanya harus dihormati secara
demokratis. Akan tetapi, dalam hal ini masih dirasa
perlu mencapai konsensus melalui perjanjian, kontrak,
dan proses-proses yang transparan.
Tarlap 6 : Orientasi prinsip etika universal
Perbuatan dan sikap yang benar ditentukan oleh
keputusan suara batin, sesuai prinsip-prinsip etis
yang dipilih sendiri dan mengacu pada kelengkapan,
penalaran, universalitas, dan konsistensinya.
Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal
keadilan, kesejahteraan masyarakat, hak asasi
manusia, dan rasa hormat terhadap manusia sebagai
pribadi dengan ide dasar bahwa manusia adalah
subjek dan bukan objek.
Jadi, alasan seseorang berbuat baik didasarkan pada
komitmen atas prinsip-prinsip moral; dan orang
menerimanya sebagai kriteria untuk mengevaluasi
semua peraturan dan kesepakatan lainnya, termasuk
konsensus demokratis.
Agar seseorang dapat bertanggung jawab secara
moral, ia harus bisa menjalankan penalaran moral,
sehingga mampu mengambil sikap untuk tidak
menerima begitu saja kesepakatan-kesepakatan yang
dominan dalam masyarakat atau kelompoknya.
Tanggung jawab moral muncul dari dasar latihan
moral sejak dini yang diberikan oleh orang tua dan
budaya seseorang.
Latihan dini ini, yang merupakah penyerahan diri
pada kekuasaan orang tuanya, memungkinkan
pertumbuhan di kemudian hari melampaui tahap
berpusat pada diri sendiri sepenuhnya (tingkat
prakonvensional) dan penerimaan kebiasaan tanpa
sikap kritis (tingkat konvensional) menuju hormat
pada hak-hak orang lain (tingkat pascakonvensional).

Anda mungkin juga menyukai