› Contoh penalaran deduktif yang dibuat oleh Peirce (1958). : “Misalkan ada sebuah tas yang hanya berisi kelereng merah (fakta
umum), dan Anda mengambil satu kelereng dari tas tersebut (sebagai fakta). Anda dapat menyimpulkan bahwa kelereng itu
berwarna merah.” Dalam contoh ini, kita menyimpulkan dengan aturan modus ponens. Dengan demikian, penarikan kesimpulan itu
sah menurut penalaran deduktif. Kita dapat menggunakan modus tollens, silogisme, atau aturan lain untuk menarik kesimpulan
asalkan argumen tersebut valid.
› Contoh penalaran induktif: “Misalkan ada sebuah tas di atas meja, tetapi Anda tidak mengetahui warna kelereng di dalam tas
tersebut. Anda ambil satu per satu kelereng (fakta), dan warnanya merah (fakta spesifik). Anda mungkin menyimpulkan bahwa
semua kelereng di dalam kantong berwarna merah.” Meskipun penarikan kesimpulan secara induktif tidak valid secara matematis
namun terkadang penalaran induktif digunakan dalam sains.
› Contoh penalaran abduktif adalah: “Misalkan ada tas di atas meja. Semua kelereng di dalam tas berwarna merah (fakta), dan Anda
menemukan kelereng merah di sekitar tas (fakta). Anda dapat menyimpulkan bahwa kelereng merah itu berasal dari tas yang di atas
meja itu” Kesimpulan tersebut mungkin benar atau salah. Kita harus mencari penjelasannya agar kita mendapatkan kesimpulan
yang benar. Menemukan penjelasan hipotesis adalah salah satu tugas kreatif yang paling menantang (Preyer & Mans, 1999).
› Salah satu bentuk abduksi adalah memulai dengan observasi Q dan kemudian menyimpulkan P dari Q dan P→Q. Bentuk ini,
yang umumnya merupakan gambaran khas abduksi, dapat dikontraskan dengan bentuk deduksi dan induksi; salah satu jenis
deduksi adalah dengan menurunkan Q dari P dan P→Q, sedangkan induksi adalah dengan menduga P→Q dari P dan Q (Peirce,
Penalaran Induktif
› Neubert dan Binko (1992) menghubungkan penalaran induktif dalam matematika dengan
menemukan pola dan hubungan antara bilangan dan bangun.
› Polya (1967), yang mendefinisikan penalaran induktif sebagai penalaran alami yang memungkinkan
kita memperoleh pengetahuan ilmiah.
› Polya (1967) juga menganggap penalaran induktif dalam pengajaran matematika sebagai metode
untuk menemukan sifat-sifat dari fenomena dan menemukan keteraturan dengan cara yang logis.
Langkah-langkah bernalar/berpikir induktif
› Menurut Isoda dan Katagiri (2012), berpikir induktif meliputi :
(1) Mencoba mengumpulkan sejumlah data tertentu; (2) Bekerja untuk
menemukan aturan atau sifat yang umum pada data tersebut; (3)
Menyimpulkan bahwa himpunan yang mencakup data tersebut
(seluruh domain variabel) terdiri dari aturan dan sifat yang ditemukan;
(4) Mengonfirmasi kebenaran kesimpulan umum dengan data baru.
› 4×2=4+4=8
› 4 × 3 = 4 + 4 + 4 = 12
› 4 × 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 16
› 4 × 5 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20
Pengujian ulang terhadap hasil di atas menemukan bahwa “setiap bilangan yang dikalikan bertambah 1, maka jawabannya
bertambah 4”. Dengan menggunakan ini, seseorang dapat melengkapi tabel perkalian lainnya dengan rapi, seperti yang
ditunjukkan di bawah ini:
› 4 × 6 = 20 + 4 = 24
› 4 × 7 = 24 + 4 = 28
Ini adalah contoh pengumpulan data, kemudian memeriksa kembali data tersebut hingga menghasilkan suatu aturan.
Aspek penting dalam pengajaran berpikir
induktif
› Anak perlu diajarkan manfaat berpikir induktif. Salah satunya adalah pengalaman masalah yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik oleh pemikiran deduktif.
› Selain itu, karena aturan induktif tidak selalu benar, anak harus belajar pentingnya memverifikasi
aturan dengan data baru. Ada baiknya juga untuk mengajari anak-anak bahwa induksi mencakup hal-
hal berikut:
• Kasus di mana seseorang mengumpulkan sejumlah data dan memeriksa kembali data tersebut untuk
menemukan aturan;
• Kasus-kasus di mana seseorang menemukan aturan-aturan ketika mengumpulkan data dalam upaya
untuk menemukan generalisasi;
• Kasus di mana seseorang mengumpulkan data sambil memprediksi aturan, dan memverifikasinya.
Penalaran Deduktif
› Istilah “deduksi” menyiratkan bahwa penalaran deduktif melibatkan penggabungan informasi yang
ada dengan mengikuti operasi mental tertentu. Operasi ini hanya dapat dilakukan pada informasi
dengan cara yang valid secara logis
› Cara berpikir ini menggunakan apa yang telah diketahui sebagai landasan dan berupaya menjelaskan
kebenaran suatu proposisi guna menegaskan bahwa sesuatu selalu dapat dinyatakan
› Bentuk penalaran deduktif yang paling sederhana adalah silogisme
› Penalaran deduktif bersifat unik karena merupakan proses menyimpulkan kesimpulan dari informasi
(premis) yang diketahui berdasarkan aturan logika formal, di mana kesimpulan harus diturunkan dari
informasi yang diberikan dan tidak perlu memvalidasinya melalui eksperimen.
› Ada beberapa bentuk argumen deduktif yang valid, misalnya modus ponens (Jika p maka q; p; maka
q) dan modus tollens (Jika p maka q; bukan q; maka bukan p). Argumen deduktif yang valid menjaga
kebenaran, dalam arti jika premis-premisnya benar, maka kesimpulannya juga benar. Namun,
kebenaran (atau kesalahan) suatu kesimpulan atau premis tidak berarti bahwa suatu argumen itu
valid (atau tidak valid). Selain itu, premis-premis dan kesimpulan dari sebuah argumen yang sah
mungkin semuanya salah.
Contoh Berpikir deduktif di kelas bawah
› Anak-anak diberikan pertanyaan “berapa lembar kertas yang perlu Anda bagikan masing-masing 16 lembar kepada 8
anak?” Ketika anak-anak menjawab dengan “8 × 16 (dalam bahasa Jepang 16 × 8),” guru dapat menjawab dengan
jawaban ini dan berkata: “Baiklah, mari kita pertimbangkan bagaimana menemukan jawabannya.”
› Namun hal ini tidak cukup. Para siswa harus dibuat untuk benar-benar memahami alasan mendasar di balik solusi
tersebut.
› Penting bagi siswa untuk secara mandiri mempertimbangkan mengapa masalah tersebut diselesaikan dengan cara ini.
› Anak tersebut mungkin akan menjelaskan masalahnya dengan mengatakan bahwa: “Dalam soal ini, delapan angka 16
ditambahkan: 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16.” Hal ini didasarkan pada pengertian perkalian (penjumlahan
berulang-ulang pada bilangan yang sama), dan merupakan deduksi yang secara umum menjelaskan mengapa perkalian
adalah cara menyelesaikan soal.
› Lebih jauh lagi, jawaban untuk “mari kita pikirkan bagaimana cara melakukan perhitungan ini” mungkin akan menjadi
“jawaban ketika Anda menambahkan delapan angka 16 adalah 128.” Ketika anak ditanya alasannya, jawabannya
mungkin: “Perkalian ini adalah penjumlahan delapan angka 16.”
› Ketika seseorang berpikir secara deduktif, sikap mencoba memahami sifat-sifat dasar yang sudah
dimilikinya, dan memperjelas kondisinya, adalah penting. Oleh karena itu, doronglah anak-anak
untuk mempertimbangkan “hal-hal apa saja yang mereka pahami” dan “hal-hal apa saja yang dapat
mereka gunakan”.
› Selain itu, ketika seseorang berpikir secara deduktif, ia menggunakan pemikiran sintetik, yang mana
ia mempertimbangkan kesimpulan berdasarkan asumsi mengenai “apa yang dapat dikatakan”
berdasarkan apa yang diketahui, dan berpikir analitis, yang mana ia mempertimbangkan asumsi
berdasarkan kesimpulan mengenai “apa yang perlu dilakukan.” sah untuk dikatakan.” Anak-anak
harus memiliki pengalaman menggunakan kedua metode berpikir tersebut.
Berpikir abduktif
› abduksi adalah proses penalaran yang digunakan untuk menjelaskan pengamatan yang
membingungkan.
› Abduksi adalah berpikir dari bukti ke penjelasan, suatu jenis penalaran yang berkarakteristik dari
banyak situasi berbeda dengan informasi yang tidak lengkap
› Penalaran abduktif adalah mekanisme inferensi yang memberikan dasar pengetahuan dan
beberapa observasi, penalaran mencoba menemukan hipotesis yang, bersama dengan
pengetahuan, menjelaskan observasi tersebut (Baral, 2000).
› Abduksi ini disimpulkan dengan “menambahkan” elemen atau isyarat untuk menggeneralisasi
suatu kesimpulan (Folger & Stein, 2017).
› Penalaran abduktif biasanya dipahami sebagai proses mencari penjelasan atas pengamatan yang
mengejutkan (Aliseda, 2006; Magnani, 2001).
› Contoh tipikalnya adalah kompetensi praktis seperti diagnosis medis. Ketika seorang dokter
mengamati suatu gejala pada seorang pasien, dia membuat hipotesis tentang kemungkinan
penyebabnya, berdasarkan pengetahuannya tentang hubungan sebab akibat antara penyakit dan
gejala.
› Abduksi adalah salah satu jenis penalaran logis; itu dimulai dengan pengamatan dan kemudian
menyusun hipotesis untuk menjelaskan pengamatan tersebut.
› Menurut Peirce (1932, 1935), yang menciptakan istilah tersebut, jenis penalaran ini melibatkan
penjelasan dan penemuan, yang relevan dengan fokus aktivitas matematika kita
› Penelitian tentang abduksi berawal dari Peirce (1932, 1935). Abduksi dapat dicirikan berdasarkan
tujuan dan bentuknya (Reid, 2018), dengan salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan
observasi.
Jenis penalaran abduktif
› Sehubungan dengan bentuk abduksi ini, Eco (1983, 1986) memberikan perhatian khusus pada
ketentuan aturan dalam argumen (P→Q) dan, berdasarkan Thagard (1978) dan Bonfantini dan Proni
(1983), mengklasifikasikan abduksi menjadi tiga jenis: overcoded, undercoded, dan kreatif. Abduksi
overcoded terjadi ketika aturan “diberikan secara otomatis atau kuasi-otomatis”, abduksi dengan
undercoded muncul ketika “aturan harus dipilih di antara serangkaian alternatif yang dapat
dipersamakan”, sedangkan abduksi yang melibatkan penemuan P→Q, yaitu abduksi kreatif, adalah
ketika “aturan yang bertindak sebagai penjelasan harus diciptakan ex novo” (yaitu secara harfiah
“baru”) (Eco, 1986, hlm. 41–42).
› Ket : D = datum (hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan observasi , C=claim (observasi yang
harus dijelaskan), W=warrant (alasan mengapa D dapat menjelaskan C)
Contoh dalam pembelajaran matematika (diambil
dari penelitian Komatsu dan Jones, 2021)
Contoh “stuck” yang dialami siswa dan
kaitannya dengan penalaran abduktif
Penalaran Analogis
Pengertian
› Polya (1973:37) menyatakan: “Analogi adalah semacam
kemiripan/keserupaan. Hal-hal yang mirip akan memiliki sifat yang
sama untuk beberapa aspek. Benda-benda yang memiliki sifat analogi
satu dengan lainnya akan memiliki kemiripan untuk beberapa aspek
yang bersesuaian.”
› Isoda dan Katagiri (2012) menyatakan : “Diberikan hal, soal, atau
masalah (proposisi A), seseorang ingin mengetahui sifat, aturan, atau
cara menyelesaikannya. Namun, jika orang tersebut belum
mendapatkan hal tersebut maka ia dapat menggunakan proposisi A’,
yang menyerupai A (dengan asumsi bahwa berkait dengan A’ orang
tersebut telah mengetahui sifat, aturan, atau cara menyelesaikannya,
dan hal lain lagi yang dapat dinyatakan dengan P’). Orang tersebut lalu
bekerja untuk memperhitungkan apa yang dinyatakan tentang P’ dari A’,
dan dengan merpertimbangkan juga proposisi A tersebut”
Masalah sumber dan masalah target
› Dalam soal-soal kemampuan penalaran analogi, terdapat
dua soal yakni soal sebelah kiri (masalah sumber) dan soal
sebelah kanan (masalah target).
› English (1999: 25-28) menyebutkan bahwa masalah sumber
dan masalah target memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
– 1. Masalah sumber a. Diberikan sebelum masalah target, b.
berupa masalah yang mudah dan sedang, c. dapat membantu
menyelesaikan masalah target atau sebagai pengetahuan awal
dalam masalah target.
– 2. Masalah target a. Berupa masalah sumber yang dimodifikasi
atau diperluas, b. struktur masalah target berhubungan dengan
struktur masalah sumber, c. berupa masalah yang kompleks.
(Shadiq, 2013)
Dalam Pembelajaran matematika
› Berdasarkan yang sudah diketahui bahwa
Ctt :
Anak-anak banyak belajar tentang perkalian dan pembagian
bilangan bulat, pecahan desimal, dan pecahan. Mempelajari setiap
metode yang berbeda dengan baik dan mengerjakan setiap jenis
angka dengan cara yang berbeda agak rumit. Pertimbangkan
apakah mungkin untuk meringkas setiap metode komputasi yang
berbeda dan memahaminya secara keseluruhan.
Contoh tipe 3
› Ketika anak belajar makna perkalian dengan menggunakan
konteks maka ada yang dijumlahkan sebanyak kali. Dalam
hal ini, tentu saja, baik yang mewakili ukuran suatu elemen
maupun yang mewakili jumlah elemen tidak bernilai 0. Tapi
dengan konteks yang tepat konsep di atas dapat diperluas
untuk 0 juga. Misalnya dengan konteks olahraga yakni
menghitung skor akhir basket: berapa kali tembakan bernilai 1,
2, dan 3. jika tidak terjadi tembakan yang bernilai 1, maka kita
dapat tuliskan . dalam konteks yang lain, menghitung skor tes
masuk perguruan tinggi misalnya, ada berapa nomor yang
tidak dijawab oleh siswa (misalnya 5 nomor), maka dapat kita
representasikan , karena tidak menjawab soal skornya
adalah .
Penalaran Adaptif
Pengertian
› Penalaran adaptif itu sendiri merupakan kapasitas untuk berpikir
secara logis tentang hubungan antara konsep dan prosedur
yang digeneralisasikan dengan cara masuk akal, sehingga dapat
menunjukkan kemungkinan dalam pemecahan masalah, serta
memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang harus
diselesaikan dengan cara yang beralasan (Reid, 2018).
› Penalaran adaptif menuntut mahasiswa untuk berpikir secara
logis yaitu masuk akal dan menggunakan penalarannya secara
benar untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang
didasarkan pada fakta yang diketahui sebelumnya, dan benar-
benar memperhatikan prosedur penyelesaiannya apakah
memang sesuai dengan kaidah yang berlaku (Harel, 2014).
Indikator (1)
› (a) mengajukan konjektur (dugaan),
› (b) melakukan manipulasi matematik,
› (c) menemukan pola dari suatu gejala matematis,
› (d) membuat kesimpulan dari suatu pernyataan secara
logis dan memeriksa kebenaran suatu argumen
memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi
(Kilpatrick., Swaffor, & Findell, 2001).
Indikator (2)
› Shaughnessy et al. (2009) menyampaikan bahwa alat
evaluasi ideal kemampuan penalaran adaptif adalah yang
mampu memberi gambaran peserta didik dalam
› (1) membuat dan menginvestigasi konjektur matematika
(make and investigate mathematical conjectures,
› (2) mengembangkan dan mengevaluasi argumentasi
matematika (develop and evaluate mathematical
arguments),
› (3) memilih dan menggunakan beragam tipe penalaran
(select and use various types of reasoning).
Contoh kisi-kisi tes untuk mengukur penalaran
adaptif materi Limit fungsi (Oktaviyanthi &
Agus, 2020)