Anda di halaman 1dari 41

Berpikir Deduktif, Induktif,

Abduktif, Integratif, dan


Adaptif
Dini Kinati Fardah
2307496
Pengantar
Ada 2 jenis Inferensi
› Inferensi Klasik
› Inferensi non-klasik
Inferensi Klasik (Penalaran Deduktif) dan
aspeknya
Dari perspektif logis, penalaran matematis dapat diidentifikasikan dengan inferensi deduktif klasik. Ada
dua aspek yang menjadi ciri penalaran jenis ini, yaitu kepastiannya dan monotonisitasnya.
› Aspek kepastian (certainty) : dicontohkan oleh fakta bahwa hubungan antara premis dan kesimpulan
adalah suatu keharusan; suatu kesimpulan yang diambil dari serangkaian premis, tentu saja
mengikuti dari premis-premis tersebut.
› Aspek monotonisitas (monotonicity) menyatakan bahwa kesimpulan yang dicapai melalui penalaran
deduktif tidak dapat disangkal. Artinya, ketika suatu teorema telah dibuktikan, maka tidak ada
keraguan atas keabsahan teorema tersebut terlepas dari penambahan aksioma dan teorema lebih
lanjut ke dalam sistem
› Contoh penalaran deduktif : jika seorang anak diberikan dua premis “Semua anjing menggonggong”
dan “Rex adalah seekor anjing”, hanya ada satu deduksi logis. Rex adalah seekor anjing, semua
anjing menggonggong, oleh karena itu Rex juga harus menggonggong.
Inferensi non-klasik (Induktif dan Abduktif)
› kurang memenuhi aspek kepastian dan monotonisitas, namun merupakan bentuk penalaran yang
ketat dengan sifat logisnya sendiri
› Induksi harus tervalidasi secara empiris dengan uji dan eksperimen, sehingga tidak dapat ditolak;
› penalaran abduktif hanya dapat menawarkan hipotesis yang dapat dibantah dengan informasi
tambahan
› Contoh penalaran induktif: suatu generalisasi yang diperoleh dari hasil penalaran induktif adalah
“semua burung terbang”, yang mana tidak lagi valid ketika ada tambahan premis yang menolak
kesimpulannya, yaitu “pinguin adalah burung”.
› Contoh untuk penalaran abduktif, sebuah hipotesis “tadi malam hujan” yang menjelaskan sebuah
observasi yaitu “rumputnya basah” akan tertolak dengan tambahan informasi yang terkait dengan
pengetahuan dasar kita bahwa “ini musim kemarau”.
Perbandingan penalaran induktif, deduktif, dan
abduktif
› Abduksi berperan sebagai jalur dari fakta menuju ide dan teori, sedangkan induksi berperan sebagai jalur dari konsep dan teori
menuju fakta, dan deduktif berperan untuk membuktikan suatu teori.
› Menurut beberapa ahli, penalaran abduktif mengajukan kesimpulan yang masuk akal, penalaran induktif mengajukan kesimpulan
yang mungkin, dan penalaran deduktif menghasilkan kesimpulan yang pasti.

› Contoh penalaran deduktif yang dibuat oleh Peirce (1958). : “Misalkan ada sebuah tas yang hanya berisi kelereng merah (fakta
umum), dan Anda mengambil satu kelereng dari tas tersebut (sebagai fakta). Anda dapat menyimpulkan bahwa kelereng itu
berwarna merah.” Dalam contoh ini, kita menyimpulkan dengan aturan modus ponens. Dengan demikian, penarikan kesimpulan itu
sah menurut penalaran deduktif. Kita dapat menggunakan modus tollens, silogisme, atau aturan lain untuk menarik kesimpulan
asalkan argumen tersebut valid.

› Contoh penalaran induktif: “Misalkan ada sebuah tas di atas meja, tetapi Anda tidak mengetahui warna kelereng di dalam tas
tersebut. Anda ambil satu per satu kelereng (fakta), dan warnanya merah (fakta spesifik). Anda mungkin menyimpulkan bahwa
semua kelereng di dalam kantong berwarna merah.” Meskipun penarikan kesimpulan secara induktif tidak valid secara matematis
namun terkadang penalaran induktif digunakan dalam sains.

› Contoh penalaran abduktif adalah: “Misalkan ada tas di atas meja. Semua kelereng di dalam tas berwarna merah (fakta), dan Anda
menemukan kelereng merah di sekitar tas (fakta). Anda dapat menyimpulkan bahwa kelereng merah itu berasal dari tas yang di atas
meja itu” Kesimpulan tersebut mungkin benar atau salah. Kita harus mencari penjelasannya agar kita mendapatkan kesimpulan
yang benar. Menemukan penjelasan hipotesis adalah salah satu tugas kreatif yang paling menantang (Preyer & Mans, 1999).

› Salah satu bentuk abduksi adalah memulai dengan observasi Q dan kemudian menyimpulkan P dari Q dan P→Q. Bentuk ini,
yang umumnya merupakan gambaran khas abduksi, dapat dikontraskan dengan bentuk deduksi dan induksi; salah satu jenis
deduksi adalah dengan menurunkan Q dari P dan P→Q, sedangkan induksi adalah dengan menduga P→Q dari P dan Q (Peirce,
Penalaran Induktif
› Neubert dan Binko (1992) menghubungkan penalaran induktif dalam matematika dengan
menemukan pola dan hubungan antara bilangan dan bangun.

› Polya (1967), yang mendefinisikan penalaran induktif sebagai penalaran alami yang memungkinkan
kita memperoleh pengetahuan ilmiah.

› Polya (1967) juga menganggap penalaran induktif dalam pengajaran matematika sebagai metode
untuk menemukan sifat-sifat dari fenomena dan menemukan keteraturan dengan cara yang logis.
Langkah-langkah bernalar/berpikir induktif
› Menurut Isoda dan Katagiri (2012), berpikir induktif meliputi :
(1) Mencoba mengumpulkan sejumlah data tertentu; (2) Bekerja untuk
menemukan aturan atau sifat yang umum pada data tersebut; (3)
Menyimpulkan bahwa himpunan yang mencakup data tersebut
(seluruh domain variabel) terdiri dari aturan dan sifat yang ditemukan;
(4) Mengonfirmasi kebenaran kesimpulan umum dengan data baru.

› Penalaran induktif sebagai suatu metode melibatkan empat


langkah: pengalaman dengan kasus-kasus tertentu,
perumusan dugaan, pembuktian dugaan dan verifikasi dengan
kasus-kasus tertentu yang baru (Po´lya, 1967).
Enam jenis penalaran induktif dan klasifikasi
tugas berdasarkan atribut (Kluer, 1999)
› Sumber : A framework of mathematics inductive reasoning . Constantinos Christou, Eleni
Papageorgiou, Learning and Instruction 17 (2007)
Proses Induktif (indikator-indikatornya)
Contoh dalam matematika (2)
(a) ''Temukan ciri persekutuan bilangan-bilangan tersebut sehingga membentuk satu golongan: 4, 16, 8,
32, 20, 100, 40'', dan

(b) ''Cari bilangan yang hilang ''.


Contoh dalam matematika (1)
Arti perkalian adalah “operasi yang digunakan untuk menjumlahkan bilangan yang sama beberapa kali”. Dengan menggunakan
pengertian tersebut, buatlah tabel perkalian seperti gambar di bawah ini. Misalnya, baris 4s akan memiliki yang berikut:

› 4×2=4+4=8

› 4 × 3 = 4 + 4 + 4 = 12

› 4 × 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 16

› 4 × 5 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20

Pengujian ulang terhadap hasil di atas menemukan bahwa “setiap bilangan yang dikalikan bertambah 1, maka jawabannya
bertambah 4”. Dengan menggunakan ini, seseorang dapat melengkapi tabel perkalian lainnya dengan rapi, seperti yang
ditunjukkan di bawah ini:

› 4 × 6 = 20 + 4 = 24

› 4 × 7 = 24 + 4 = 28

Ini adalah contoh pengumpulan data, kemudian memeriksa kembali data tersebut hingga menghasilkan suatu aturan.
Aspek penting dalam pengajaran berpikir
induktif
› Anak perlu diajarkan manfaat berpikir induktif. Salah satunya adalah pengalaman masalah yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik oleh pemikiran deduktif.

› Selain itu, karena aturan induktif tidak selalu benar, anak harus belajar pentingnya memverifikasi
aturan dengan data baru. Ada baiknya juga untuk mengajari anak-anak bahwa induksi mencakup hal-
hal berikut:

• Kasus di mana seseorang mengumpulkan sejumlah data dan memeriksa kembali data tersebut untuk
menemukan aturan;

• Kasus-kasus di mana seseorang menemukan aturan-aturan ketika mengumpulkan data dalam upaya
untuk menemukan generalisasi;

• Kasus di mana seseorang mengumpulkan data sambil memprediksi aturan, dan memverifikasinya.
Penalaran Deduktif
› Istilah “deduksi” menyiratkan bahwa penalaran deduktif melibatkan penggabungan informasi yang
ada dengan mengikuti operasi mental tertentu. Operasi ini hanya dapat dilakukan pada informasi
dengan cara yang valid secara logis
› Cara berpikir ini menggunakan apa yang telah diketahui sebagai landasan dan berupaya menjelaskan
kebenaran suatu proposisi guna menegaskan bahwa sesuatu selalu dapat dinyatakan
› Bentuk penalaran deduktif yang paling sederhana adalah silogisme
› Penalaran deduktif bersifat unik karena merupakan proses menyimpulkan kesimpulan dari informasi
(premis) yang diketahui berdasarkan aturan logika formal, di mana kesimpulan harus diturunkan dari
informasi yang diberikan dan tidak perlu memvalidasinya melalui eksperimen.
› Ada beberapa bentuk argumen deduktif yang valid, misalnya modus ponens (Jika p maka q; p; maka
q) dan modus tollens (Jika p maka q; bukan q; maka bukan p). Argumen deduktif yang valid menjaga
kebenaran, dalam arti jika premis-premisnya benar, maka kesimpulannya juga benar. Namun,
kebenaran (atau kesalahan) suatu kesimpulan atau premis tidak berarti bahwa suatu argumen itu
valid (atau tidak valid). Selain itu, premis-premis dan kesimpulan dari sebuah argumen yang sah
mungkin semuanya salah.
Contoh Berpikir deduktif di kelas bawah
› Anak-anak diberikan pertanyaan “berapa lembar kertas yang perlu Anda bagikan masing-masing 16 lembar kepada 8
anak?” Ketika anak-anak menjawab dengan “8 × 16 (dalam bahasa Jepang 16 × 8),” guru dapat menjawab dengan
jawaban ini dan berkata: “Baiklah, mari kita pertimbangkan bagaimana menemukan jawabannya.”

› Namun hal ini tidak cukup. Para siswa harus dibuat untuk benar-benar memahami alasan mendasar di balik solusi
tersebut.

› Penting bagi siswa untuk secara mandiri mempertimbangkan mengapa masalah tersebut diselesaikan dengan cara ini.

› Anak tersebut mungkin akan menjelaskan masalahnya dengan mengatakan bahwa: “Dalam soal ini, delapan angka 16
ditambahkan: 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16 + 16.” Hal ini didasarkan pada pengertian perkalian (penjumlahan
berulang-ulang pada bilangan yang sama), dan merupakan deduksi yang secara umum menjelaskan mengapa perkalian
adalah cara menyelesaikan soal.

› Lebih jauh lagi, jawaban untuk “mari kita pikirkan bagaimana cara melakukan perhitungan ini” mungkin akan menjadi
“jawaban ketika Anda menambahkan delapan angka 16 adalah 128.” Ketika anak ditanya alasannya, jawabannya
mungkin: “Perkalian ini adalah penjumlahan delapan angka 16.”

› Pemikiran deduktif digunakan untuk menjelaskan perhitungan ini dan landasannya.


Aspek penting dalam pengajaran berpikir
deduktif
› Menetapkan hal ini perlunya upaya berpikir deduktif lebih penting dari apa pun. Untuk melakukan
hal ini, seseorang harus dapat menggunakan kemampuannya sendiri untuk menemukan solusi melalui
analogi atau induksi. Melalui hal ini, anak akan memperoleh keinginan untuk menegaskan apa yang
telah mereka temukan, dan terutama untuk berpikir deduktif dan mengapresiasi manfaat berpikir
deduktif.

› Ketika seseorang berpikir secara deduktif, sikap mencoba memahami sifat-sifat dasar yang sudah
dimilikinya, dan memperjelas kondisinya, adalah penting. Oleh karena itu, doronglah anak-anak
untuk mempertimbangkan “hal-hal apa saja yang mereka pahami” dan “hal-hal apa saja yang dapat
mereka gunakan”.

› Selain itu, ketika seseorang berpikir secara deduktif, ia menggunakan pemikiran sintetik, yang mana
ia mempertimbangkan kesimpulan berdasarkan asumsi mengenai “apa yang dapat dikatakan”
berdasarkan apa yang diketahui, dan berpikir analitis, yang mana ia mempertimbangkan asumsi
berdasarkan kesimpulan mengenai “apa yang perlu dilakukan.” sah untuk dikatakan.” Anak-anak
harus memiliki pengalaman menggunakan kedua metode berpikir tersebut.
Berpikir abduktif
› abduksi adalah proses penalaran yang digunakan untuk menjelaskan pengamatan yang
membingungkan.
› Abduksi adalah berpikir dari bukti ke penjelasan, suatu jenis penalaran yang berkarakteristik dari
banyak situasi berbeda dengan informasi yang tidak lengkap
› Penalaran abduktif adalah mekanisme inferensi yang memberikan dasar pengetahuan dan
beberapa observasi, penalaran mencoba menemukan hipotesis yang, bersama dengan
pengetahuan, menjelaskan observasi tersebut (Baral, 2000).
› Abduksi ini disimpulkan dengan “menambahkan” elemen atau isyarat untuk menggeneralisasi
suatu kesimpulan (Folger & Stein, 2017).
› Penalaran abduktif biasanya dipahami sebagai proses mencari penjelasan atas pengamatan yang
mengejutkan (Aliseda, 2006; Magnani, 2001).
› Contoh tipikalnya adalah kompetensi praktis seperti diagnosis medis. Ketika seorang dokter
mengamati suatu gejala pada seorang pasien, dia membuat hipotesis tentang kemungkinan
penyebabnya, berdasarkan pengetahuannya tentang hubungan sebab akibat antara penyakit dan
gejala.
› Abduksi adalah salah satu jenis penalaran logis; itu dimulai dengan pengamatan dan kemudian
menyusun hipotesis untuk menjelaskan pengamatan tersebut.
› Menurut Peirce (1932, 1935), yang menciptakan istilah tersebut, jenis penalaran ini melibatkan
penjelasan dan penemuan, yang relevan dengan fokus aktivitas matematika kita
› Penelitian tentang abduksi berawal dari Peirce (1932, 1935). Abduksi dapat dicirikan berdasarkan
tujuan dan bentuknya (Reid, 2018), dengan salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan
observasi.
Jenis penalaran abduktif
› Sehubungan dengan bentuk abduksi ini, Eco (1983, 1986) memberikan perhatian khusus pada
ketentuan aturan dalam argumen (P→Q) dan, berdasarkan Thagard (1978) dan Bonfantini dan Proni
(1983), mengklasifikasikan abduksi menjadi tiga jenis: overcoded, undercoded, dan kreatif. Abduksi
overcoded terjadi ketika aturan “diberikan secara otomatis atau kuasi-otomatis”, abduksi dengan
undercoded muncul ketika “aturan harus dipilih di antara serangkaian alternatif yang dapat
dipersamakan”, sedangkan abduksi yang melibatkan penemuan P→Q, yaitu abduksi kreatif, adalah
ketika “aturan yang bertindak sebagai penjelasan harus diciptakan ex novo” (yaitu secara harfiah
“baru”) (Eco, 1986, hlm. 41–42).

› Ket : D = datum (hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan observasi , C=claim (observasi yang
harus dijelaskan), W=warrant (alasan mengapa D dapat menjelaskan C)
Contoh dalam pembelajaran matematika (diambil
dari penelitian Komatsu dan Jones, 2021)
Contoh “stuck” yang dialami siswa dan
kaitannya dengan penalaran abduktif
Penalaran Analogis
Pengertian
› Polya (1973:37) menyatakan: “Analogi adalah semacam
kemiripan/keserupaan. Hal-hal yang mirip akan memiliki sifat yang
sama untuk beberapa aspek. Benda-benda yang memiliki sifat analogi
satu dengan lainnya akan memiliki kemiripan untuk beberapa aspek
yang bersesuaian.”
› Isoda dan Katagiri (2012) menyatakan : “Diberikan hal, soal, atau
masalah (proposisi A), seseorang ingin mengetahui sifat, aturan, atau
cara menyelesaikannya. Namun, jika orang tersebut belum
mendapatkan hal tersebut maka ia dapat menggunakan proposisi A’,
yang menyerupai A (dengan asumsi bahwa berkait dengan A’ orang
tersebut telah mengetahui sifat, aturan, atau cara menyelesaikannya,
dan hal lain lagi yang dapat dinyatakan dengan P’). Orang tersebut lalu
bekerja untuk memperhitungkan apa yang dinyatakan tentang P’ dari A’,
dan dengan merpertimbangkan juga proposisi A tersebut”
Masalah sumber dan masalah target
› Dalam soal-soal kemampuan penalaran analogi, terdapat
dua soal yakni soal sebelah kiri (masalah sumber) dan soal
sebelah kanan (masalah target).
› English (1999: 25-28) menyebutkan bahwa masalah sumber
dan masalah target memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
– 1. Masalah sumber a. Diberikan sebelum masalah target, b.
berupa masalah yang mudah dan sedang, c. dapat membantu
menyelesaikan masalah target atau sebagai pengetahuan awal
dalam masalah target.
– 2. Masalah target a. Berupa masalah sumber yang dimodifikasi
atau diperluas, b. struktur masalah target berhubungan dengan
struktur masalah sumber, c. berupa masalah yang kompleks.
(Shadiq, 2013)
Dalam Pembelajaran matematika
› Berdasarkan yang sudah diketahui bahwa

› Maka dengan melakukan penalaran analogi siswa juga


dapat menemukan hal berikut
Indikator
› Rupert (2013)menyatakan bahwa indikatorpenalaran analogi meliputi
empat komponen,
– Structuring, subjek dapat mengidentifikasi setiap objek matematika pada masalah
sumber dengan melihat kesamaan sifat dan struktur hubungan serta membuat
kesimpulan dari semua hubungan yang identik pada masalah sumber;
– Mapping,subjek dapat mencari hubungan yang identik dari karakteristik antara
masalah sumber dan masalah target kemudian membangun kesimpulan untuk
selanjutnya hubungan yang didapat tersebut dipetakan ke masalah target;
– applying, subjek dapat menyelesaikan masalah target dengan menggunakan cara
penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber, kemudian dapat
menuliskan jawaban dari apa yang diinginkan masalah target;
– dan verifying, memeriksa kembali kebenaran terhadap penyelesaian target
dengan mengecek kesesuaian masalah target dengan masalah sumber . Dengan
demikian, dalam penalaran analogi harus mengenali kesamaan relasi struktur
antara masalah yang diketahui dengan masalah baru.
Indikator
› Menurut Sternberg (2008) komponen dari berpikir analogi meliputi empat hal
yaitu:
› 1. Encoding: Mengidentifikasi soal sebelah kiri (masalah sumber) dan soal
sebelah kanan (masalah target) dengan memberi ciri-ciri atau struktur soalnya.
› 2. Inferring: Menyimpulkan konsep yang terdapat pada soal sebelah kiri
(masalah sumber) atau dikatakan mencari “tingkatan rendah” (low order).
› 3. Mapping: Mencari hubungan yang sama antara soal sebelah kiri (masalah
sumber) dengan soal sebelah kanan (masalah target) atau membangun
kesimpulan dari kesamaan hubungan antara soal yang sebelah kiri dengan soal
yang sebelah kanan, atau mengidentifikasi hubungan yang lebih tinggi.
› 4. Applying: Melakukan pemilihan jawaban yang cocok. Hal ini dilakukan untuk
memberikan konsep yang cocok (membangun keseimbangan antara soal yang
sebelah kiri (masalah sumber) dengan soal sebelah kanan (masalah target).
Yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran
› Meskipun kemampuan berpikir analogi adalah sangat
penting dalam membentuk perspektif dan menemukan
pemecahan masalah. Namun para siswa dapat
melakukan kesalahan dalam kegiatan ini. Sebagai
contoh, seorang siswa dapat menarik kesimpulan bahwa:
sin (α + β) = sin α + sin β karena 2(a + b) = 2a + 2b.
› Hal ini menunjukkan pentingnya pemaknaan pada setiap
simbol-simbol matematika.
Jenis-jenis penalaran analogis
› Penalaran dengan Analogi Klasik adalah penalaran yang memiliki bentuk
perbandingan A : B :: C : D, di mana bentuk C dan D harus terkait dalam
cara yang identik seperti bentuk A dan B yang berelasi atau A berelasi ke
C dalam cara yang identik dengan B yang berelasi ke D. Analogi ini pada
dasarnya adalah masalah proporsional atau relasional yang telah populer
dalam tes IQ (Intelligent Quotient) selama bertahun-tahun.
› Penalaran analogi masalah adalah penalaran analogi dalam bentuk soal
cerita. Penalaran analogi masalah biasa digunakan dalam berpikir
analogi untuk mengatasi tugastugas pemecahan masalah.
› Penalaran analogi pedagogic adalah penelaran yang dirancang untuk
memberikan representasi konkret dari ide-ide abstrak. Artinya, analogi ini
berfungsi sebagai sumber nyata dari siswa yang dapat membangun
representasi mental dari gagasan abstrak atau proses yang sedang
disampaikan.
Penalaran Integratif
Pengertian
› Daripada membiarkan sejumlah besar proposisi terputus
dan terpisah, metode berpikir ini mengabstraksi
kesamaan esensial mereka dari sudut pandang yang lebih
luas, sehingga merangkum proposisi-proposisi tersebut
sebagai hal yang sama (Isoda & katagiri, 2012)
3 Kategori Berpikir Integratif
› Integrasi tingkat tinggi : Ketika terdapat sejumlah proposisi
(bisa berupa konsep, prinsip, aturan, teori, metode berpikir,
dan sebagainya), metode berpikir ini memandang proposisi
dari perspektif yang lebih luas dan lebih tinggi, dan
menemukan esensi bersama untuk merangkum proposisi
yang lebih umum
› Integrasi komprehensif : Dengan mengkaji kembali sejumlah
proposisi, S1, S2, dan S3, pemikiran jenis ini
mengintegrasikan S1 dan S2 ke dalam S3.
› Berpikir ekstensional : Untuk memperluas proposisi tertentu
yang diketahui ke skala yang lebih besar yang mencakup
proposisi asli, jenis pemikiran ini sedikit mengubah kondisi
agar proposisi tersebut lebih komprehensif. Dengan kata
lain, pemikiran ini menggabungkan dan memadukan satu
demi satu hal baru. Ini adalah pemikiran ekstensional, yang
juga mencakup aspek perkembangan
Contoh tipe 1
› (a) Seseorang membeli prangko satu jenis masing-
masing seharga 20 yen, dan prangko jenis lain masing-
masing seharga 15 yen, dengan membayar total 480
yen. Berapa banyak prangko dari masing-masing jenis
yang dibeli?
› (b) Anak laki-laki masing-masing mengambil 20 lembar
kertas, dan anak perempuan masing-masing
mengambil 15 lembar kertas. Jumlah siswa laki-laki
dan perempuan seluruhnya 25 lembar, dan jumlah
lembar kertas seluruhnya 480. Berapa jumlah siswa
laki-laki dan berapa jumlah siswa perempuan?
› (c) Sebuah benda mula-mula bergerak dengan kelajuan
20 m/s, kemudian dengan kelajuan 15 m/s, menempuh
jarak total 480 m dalam waktu total 25 s. Berapa detik
geraknya pada setiap kecepatan?
Contoh tipe 2
Seorang anak diberikan soal :

Untuk menyelesaikan soal ini dia menngubah dalam bentuk :

Ctt :
Anak-anak banyak belajar tentang perkalian dan pembagian
bilangan bulat, pecahan desimal, dan pecahan. Mempelajari setiap
metode yang berbeda dengan baik dan mengerjakan setiap jenis
angka dengan cara yang berbeda agak rumit. Pertimbangkan
apakah mungkin untuk meringkas setiap metode komputasi yang
berbeda dan memahaminya secara keseluruhan.
Contoh tipe 3
› Ketika anak belajar makna perkalian dengan menggunakan
konteks maka ada yang dijumlahkan sebanyak kali. Dalam
hal ini, tentu saja, baik yang mewakili ukuran suatu elemen
maupun yang mewakili jumlah elemen tidak bernilai 0. Tapi
dengan konteks yang tepat konsep di atas dapat diperluas
untuk 0 juga. Misalnya dengan konteks olahraga yakni
menghitung skor akhir basket: berapa kali tembakan bernilai 1,
2, dan 3. jika tidak terjadi tembakan yang bernilai 1, maka kita
dapat tuliskan . dalam konteks yang lain, menghitung skor tes
masuk perguruan tinggi misalnya, ada berapa nomor yang
tidak dijawab oleh siswa (misalnya 5 nomor), maka dapat kita
representasikan , karena tidak menjawab soal skornya
adalah .
Penalaran Adaptif
Pengertian
› Penalaran adaptif itu sendiri merupakan kapasitas untuk berpikir
secara logis tentang hubungan antara konsep dan prosedur
yang digeneralisasikan dengan cara masuk akal, sehingga dapat
menunjukkan kemungkinan dalam pemecahan masalah, serta
memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang harus
diselesaikan dengan cara yang beralasan (Reid, 2018).
› Penalaran adaptif menuntut mahasiswa untuk berpikir secara
logis yaitu masuk akal dan menggunakan penalarannya secara
benar untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang
didasarkan pada fakta yang diketahui sebelumnya, dan benar-
benar memperhatikan prosedur penyelesaiannya apakah
memang sesuai dengan kaidah yang berlaku (Harel, 2014).
Indikator (1)
› (a) mengajukan konjektur (dugaan),
› (b) melakukan manipulasi matematik,
› (c) menemukan pola dari suatu gejala matematis,
› (d) membuat kesimpulan dari suatu pernyataan secara
logis dan memeriksa kebenaran suatu argumen
memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi
(Kilpatrick., Swaffor, & Findell, 2001).
Indikator (2)
› Shaughnessy et al. (2009) menyampaikan bahwa alat
evaluasi ideal kemampuan penalaran adaptif adalah yang
mampu memberi gambaran peserta didik dalam
› (1) membuat dan menginvestigasi konjektur matematika
(make and investigate mathematical conjectures,
› (2) mengembangkan dan mengevaluasi argumentasi
matematika (develop and evaluate mathematical
arguments),
› (3) memilih dan menggunakan beragam tipe penalaran
(select and use various types of reasoning).
Contoh kisi-kisi tes untuk mengukur penalaran
adaptif materi Limit fungsi (Oktaviyanthi &
Agus, 2020)

Anda mungkin juga menyukai