Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOSARKOMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sarkoma osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer yang


sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang. Tempat yang paling sering
terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut. ( Price,
1962:1213 )

Menurut badan kesehatan dunia ( World Health Oganization ) setiap tahun


jumlah penderita kanker ± 6.25 juta orang. Di Indonesia diperkirakan terdapat 100
penderita kanker diantara 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah penduduk 220
juta jiwa terdapat sekitar 11.000 anak yang menderita kanker per tahun. Di Jakarta dan
sekitarnya dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa, diperkirakan terdapat 650 anak yang
menderita kanker per tahun. ( www.mail-archive.com )

Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah
Orthopedy Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat
455 kasus tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128
kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan
tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31 %
dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus
datang dalam stadium lanjut. (www.kompas.com )

Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang dalam
keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak segera
ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara penyembuhannya
sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan radikal diikuti
kemotherapy.

Kanker tulang ( osteosarkoma ) lebih sering menyerang kelompok usia 15 – 25


tahun ( pada usia pertumbuhan ). ( Smeltzer. 2001: 2347 ). Rata-rata penyakit ini
terdiagnosis pada umur 15 tahun. Angka kejadian pada anak laki-laki sama dengan anak
perempuan. Tetapi pada akhir masa remaja penyakit ini lebih banyak di temukan pada
anak laki-laki. Sampai sekarang penyebab pasti belum diketahui. (
www.medicastore.com )

Melihat jumlah kejadian diatas serta kondisi penyakit yang memerlukan


pendeteksian dan penanganan sejak dini, penulis tertarik untuk melakukan “ Asuhan
Keperawatan pada anak.L dengan Osteosarkoma pada tibia proximal kiri di ruang BCH
RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta”.

B. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan asuhan


keperawatan osteosarkoma pada An.L di ruang BCH RSUPN Dr.
Ciptomangunkusumo Jakarta.

2. Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan


meliputi :

a. Mampu melakukan pengkajian pada anak dengan osteosarkoma


b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak dengan

Osteosarkoma.

c. Mampu membuat rencana keparawatan pada anak dengan osteosarkoma. Mampu


melaksanakan tindakan keperawatan pada anak dengan Osteosarkoma.

d. Mampu mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan


Osteosarkoma.

e. Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan


keperawatan pada anak dengan Osteosarkoma.

f. Mampu mengidentifikasi solusi dalam faktor-faktor penghambat pada anak


dengan Osteosarkoma.

C. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara, pemeriksaan
fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari catatan medik klien.

D. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan kasus ini,
maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab yaitu :

BAB I. Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan
keperawatan.
BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi, implementasi,
dan evaluasi keperawatan.

BAB IV. Pembahasan yang membahas tentang kesenjangan antara kasus yang ditemukan
dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional terhadap diagnosa
keperawatan yang ditemukan, faktor penunjang, faktor penghambat serta
solusi ( pemecahan masalah ).

BAB V. Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Sarkoma adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle.


1999: 244 ). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel anaplastik yang
menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh dalam
tubuh.( Wong. 2003: 595 )

Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari


mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 )

Sarkoma osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer


yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang paling
sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut.
( Price. 1998: 1213 )

Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna


yang paling sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen awal ke
paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma sering sudah
menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.( Smeltzer. 2001: 2347 )

Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia


proksimal dan humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis,
kolumna, vertebra, mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan
dan kaki. Lebih dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut. ( Otto.2003 : 72 )

2. Etiologi

 Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi

 Keturunan

 Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat
pajanan radiasi ).

( Smeltzer. 2001: 2347 )

4. Patofisiologi

Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel
tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses
destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik,
karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru
dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.
Adanya tumor tulang

Jaringan lunak di invasi oleh tumor

Reaksi tulang normal

Osteolitik (destruksi tulang)

Osteoblastik (pembentukan tulang)

destruksi tulang lokal


Periosteum tulang yang baru dapat tertimbun dekat tempat lesi

Pertumbuhan tulang yang abortif

( sumber : Price.1998: 1213 )

5. Manifestasi klinik

a. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi


semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas
penyakit)
b. Fraktur patologikc. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta
pergerakan yang terbatas

( Gale. 1999: 245 )

d. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena

e. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan
menurun dan malaise.

( Smeltzer. 2001: 2347 )

6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat
didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan
tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi
secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit.
Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi
kombinasi.

Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi


dan kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi
adriamycin (doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau
metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin
digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi.
Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan
pemberian cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti
fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid.

( Gale. 1999: 245 ).

b. Tindakan keperawatan

 Manajemen nyeri

Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas


dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian
analgetika ).

 Mengajarkan mekanisme koping yang efektif

Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka,


dan berikan dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk
berkonsultasi ke ahli psikologi atau rohaniawan.

 Memberikan nutrisi yang adekuat

Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek


samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang
adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi
gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan
indikasi dokter.

 Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang
kemungkinan terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan
luka di rumah.

( Smeltzer. 2001: 2350 )

7. Pemerikasaan Diagnostik

Diagnosis didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan penunjang


diagnosis seperti CT, mielogram, asteriografi, MRI, biopsi, dan pemeriksaan
biokimia darah dan urine. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin
serta untuk follow-up adanya stasis pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya
meningkat pada sarkoma osteogenik. Hiperkalsemia terjadi pada kanker tulang
metastasis dari payudara, paru, dan ginjal. Gejala hiperkalsemia meliputi kelemahan
otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah, poliuria, kejang dan koma. Hiperkalsemia
harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi bedah dilakukan untuk identifikasi
histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran dan
kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor.

( Rasjad. 2003 )

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Wawancara

Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan


pasien mengatasi masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang
dideritanya. Berikan perhatian khusus pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri
pada ekstremitas, berkeringat pada malam hari, kurang nafsu makan, sakit
kepala, dan malaise.
b. Pemeriksaan fisik

 Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena

 Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang
terbatas

 Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit

 mungkin hebat atau dangkal

 sering hilang dengan posisi flexi

 anak berjalan pincang, keterbatasan dalam melakukan aktifitas, tidak


mampu menahan objek berat

 Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe
regional

c. Pemeriksaan Diagnostik

Radiografi, tomografi, pemindaian tulang, radisotop, atau biopsi tulang


bedah, tomografi paru, tes lain untuk diagnosis banding, aspirasi sumsum tulang
(sarkoma ewing).

( Wong. 2003: 616 )

2. Diagnosa

 Nyeri yang berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan


 Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan,
persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat

 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik


berkenaan dengan kanker.

 Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran

( Doenges. 1999: 1000 )

 Berduka berhubungan dengan kemungkinan kehilangan alat gerak

( Wong. 2003: 617 )

3. Intervensi

Dx 1

Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri

KH :

 Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan

 Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai


indikasi situasi individu.

Intervensi :

 Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )

R/ memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang


diberikan.
 Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik,
televisi )

R/ meningkatkan relaksasi klien.

 Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi,
dan bimbingan imajinasi.

R/ meningkatkan relaksasi yang dapat menurunkan rasa nyeri klien

Kolaborasi :

 Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.

R/ mengurangi nyeri dan spasme otot

( Doenges. 1999: 1005 )

Dx 2

Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi


aktif dalam aturan pengobatan

KH :

 Pasien tampak rileks

 Melaporkan berkurangnya ansietas

 Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien

Intervensi :

 Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.


R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut serta
kesalahan konsep tentang diagnosis

 Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.

R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima
dengan kondisi apa adanya

 Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.

R/ memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak.

 Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.

R/ dapat menurunkan ansietas dan memungkinkan pasien membuat keputusan atau


pilihan sesuai realita.

( Doenges. 1999: 1000 )

Dx 3

Tujuan : mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat

KH : penambahan berat badan

bebas tanda malnutrisi

nilai albumin dalam batas normal ( 3,5 – 5,5 g% )

Intervensi :

 Catat asupan makanan setiap hari


R/ mengidentifikasi kekuatan atau defisiensi nutrisi.

 Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.

R/ mengidentifikasi keadaan malnutrisi protein kalori khususnya bila berat badan


dan pengukuran antropometrik kurang dari normal

 Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.

R/ memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Asupan cairan adekuat untuk


menghilangkan produk sisa.

Kolaborasi :

 Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.

R/ membantu mengidentifikasi derajat malnutrisi

( Doenges. 1999: 1006 )

Dx 4

Tujuan : mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh,


perasaan tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.

KH :

 Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara


efektif.

Intervensi :
 Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap
kehidupan pribadi pasien dan keluarga.

R/ membantu dalam memastikan masalah untuk memulai proses pemecahan


masalah.

 Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker
atau pengobatan.

R/ membantu dalam pemecahan masalah

 Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara
dengan menyentuh pasien

R/ menunjukkan rasa empati dan menjaga hubungan saling percaya

dengan pasien dan keluarga. ( Doenges. 1999: 1004 )

Dx. 5

Tujuan : Keluarga dan klien siap menghadapi kemungkinan kehilangan anggota


gerak.

KH : Pasien menyesuaikan diri terhadap kehilangan anggota gerak

Mengalami peninggkatan mobilitas

Intervensi :

 Lakukan pendekatan langsung dengan klien.

R/ meningkatkan rasa percaya dengan klien.


 Diskusikan kurangnya alternatif pengobatan.

R/ memberikan dukungan moril kepada klien untuk menerima pembedahan.

 Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin
sesuai dengan kemampuan pasien.

R/ membantu dalam melakukan mobilitas dan meningkatkan kemandirian pasien.

 Motivasi dan libatkan pasien dalam aktifitas bermain

R/ secara tidak langgsung memberikan latihan mobilisasi

( Wong. 2003: 617 )

4. Evaluasi

o Pasien mampu mengontrol nyeri

a. Melakukan teknik manajemen nyeri,

b. Patuh dalam pemakaian obat yang diresepkan.

c. Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat istirahat,


selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari

o Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif.

a. Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata

b. Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien

c. Keluarga mampu membuat keputusan tentang pengobatan pasien


o Masukan nutrisi yang adekuat

a. Mengalami peningkatan berat badan

b. Menghabiskan makanan satu porsi setiap makan

c. Tidak ada tanda – tanda kekurangan nutrisi

o Memperlihatkan konsep diri yang positif

a. Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki pasien

b. Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri

o Klien dan keluarga siap intuk menghadapi kemungkinan amputasi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda juall. 2001. Dokumentasi Asuhan Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Doenges, E, Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan


keperawatan pasien. Edisi 3 . Jakarta : EGC.

Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :
EGC.

Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia & Loiraine M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Edisi 4. Jakarta : EGC.
Rasjad, Choiruddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang
Lamimpatue.

Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Smeltzer & Brenda G. bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol III. Edisi 8.
Jakarta : EGC.

Wong, Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Asuhan Keperawatan Osteosarkoma
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sarkoma osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer yang


sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang. Tempat yang paling
sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut.
( Price, 1962:1213 )
Menurut badan kesehatan dunia ( World Health
Oganization ) setiap tahun jumlah penderita kanker ± 6.25 juta orang. Di Indonesia
diperkirakan terdapat 100 penderita kanker diantara 100.000 penduduk per tahun.
Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa terdapat sekitar 11.000 anak yang menderita
kanker per tahun. Di Jakarta dan sekitarnya dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa,
diperkirakan terdapat 650 anak yang menderita kanker per tahun. ( www.mail-
archive.com
)

Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy
Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat 455 kasus
tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128 kasus
tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan
tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31
% dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90%
kasus datang dalam stadium lanjut. (www.kompas.com
)

Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun
setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang
dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak
segera ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara
penyembuhannya sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan
radikal diikuti kemotherapy.

Kanker tulang ( osteosarkoma ) lebih sering menyerang kelompok usia 15 – 25


tahun ( pada usia pertumbuhan ). ( Smeltzer. 2001: 2347 ). Rata-rata penyakit ini
terdiagnosis pada umur 15 tahun. Angka kejadian pada anak laki-laki sama dengan
anak perempuan. Tetapi pada akhir masa remaja penyakit ini lebih banyak di
temukan pada anak laki-laki. Sampai sekarang penyebab pasti belum diketahui. (
www.medicastore.com
)
Melihat jumlah kejadian diatas serta kondisi penyakit yang memerlukan
pendeteksian dan penanganan sejak dini, penulis tertarik untuk melakukan ” Asuhan
Keperawatan pada Tn.H dengan Osteosarkoma pada tibia proximal kiri di ruang 412
lantai 4 Public Wing RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta”.

B. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan asuhan


keperawatan osteosarkoma pada Tn.H di ruang 412 lantai 4 Public Wing RSUPN
Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta.

1. Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan


meliputi :

2. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan osteosarkoma


3. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan

Osteosarkoma.

1. Mampu membuat rencana keparawatan pada pasien dengan


osteosarkoma.
2. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Osteosarkoma.
3. Mampu mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Osteosarkoma.
4. Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam
asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteosarkoma.
5. Mampu mengidentifikasi solusi dalam faktor-faktor penghambat
pada pasien dengan Osteosarkoma.
4. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara,
pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari
catatan medik klien.

5. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan
kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab
yaitu :

BAB I. Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode


penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar
asuhan keperawatan.

BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan.

BAB IV. Pembahasan yang membahas tentang kesenjangan antara kasus


yang ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional
terhadap diagnosa keperawatan yang ditemukan, faktor penunjang, faktor
penghambat serta solusi ( pemecahan masalah ).

BAB V. Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

 Konsep Dasar Osteosarkoma


o Pengertian

Sarkoma adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle.


1999: 244 ). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel
anaplastik yang menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke
sisi yang jauh dalam tubuh.( Wong. 2003: 595 )

Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari


mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 )

Sarkoma osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer


yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang
paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang,
terutama lutut. ( Price. 1998: 1213 )

Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna


yang paling sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen
awal ke paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma
sering sudah menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.
( Smeltzer. 2001: 2347 )

Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia


proksimal dan humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis,
kolumna, vertebra, mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada
tangan dan kaki. Lebih dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut.
( Otto.2003 : 72 )

2. Etiologi

 Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi


 Keturunan
 Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget
(akibat pajanan radiasi ).

( Smeltzer. 2001: 2347 )

1. Patofisiologi

Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor.
Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi
atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang.
Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor
maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi
sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.

Adanya tumor tulang

Jaringan lunak di invasi

oleh tumor

Reaksi tulang normal

Osteolitik (destruksi tulang) Osteoblastik (pembentukan tulang)

destruksi tulang lokal Periosteum tulang yang baru dapat tertimbun dekat tempat lesi

Pertumbuhan tulang yang abortif

( sumber : Price.1998: 1213 )


1. Manifestasi klinik
1. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi
semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas
penyakit)
2. Fraktur patologik
3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan
yang terbatas

( Gale. 1999: 245 )

4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat
badan menurun dan malaise.

( Smeltzer. 2001: 2347 )

1. Penatalaksanaan

 Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan
amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari
anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan,
kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.

Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan


kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin
(doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi
(MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau
dalam kombinasi.

Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan


normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti fosfat, mitramisin,
kalsitonin atau kortikosteroid.

( Gale. 1999: 245 ).

 Tindakan keperawatan
o Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian
analgetika ).

o Mengajarkan mekanisme koping yang efektif

Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan


berikan dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi
ke ahli psikologi atau rohaniawan.

 Memberikan nutrisi yang adekuat

Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek


samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang
adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi
gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan
indikasi dokter.

o Pendidikan kesehatan

Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan


terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di rumah.

( Smeltzer. 2001: 2350 )

1. Pemerikasaan Diagnostik
1. CT Scan
2. Mielogram
3. Asteriografi
4. MRI
5. Biopsi,
6. Pemeriksaan biokimia darah dan urine
7. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk
follow-up adanya stasis pada paru-paru.

( Rasjad. 2003 )

 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Osteosarkoma


o Pengkajian

a. Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien mengatasi
masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dideritanya. Berikan perhatian
khusus pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam
hari, kurang nafsu makan, sakit kepala, dan malaise.

b. Pemeriksaan fisik

 Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
 Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang
terbatas
 Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit
o mungkin hebat atau dangkal
o sering hilang dengan posisi flexi
o anak berjalan pincang, keterbatasan dalam melakukan aktifitas, tidak mampu
menahan objek berat
 Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe
regional

c. Pemeriksaan Diagnostik

 Radiografi

Adalah penggunaan sinar pengionan (sinar X, sinar gama) untuk membentuk


bayangan benda yang dikaji pada film

 Tomografi,

Adalah sebuah metode penggambaran medis menggunakan tomografi di mana


pemrosesan geometri digunakan untuk menghasilkan sebuah gambar tiga dimensi
bagian dalam sebuah objek dari satu seri besar gambar sinar-X dua dimensi diambil
dalam satu putaran “axis”

 Pemindaian tulang,
 Radioisotop, atau biopsi tulang bedah,
 Tomografi paru,
 Aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).

( Wong. 2003: 616 )


 Diagnosa
o Nyeri yang berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
o Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan,
persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat
o Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status
hipermetabolik berkenaan dengan kanker.
o Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja
peran

( Doenges. 1999: 1000 )

o Berduka berhubungan dengan kemungkinan kehilangan alat gerak

( Wong. 2003: 617 )

 Intervensi

Dx 1

Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri

KH :

 Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan


 Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
indikasi situasi individu.

Intervensi :

 Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )

R/ memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang


diberikan.

 Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik,


televisi )

R/ meningkatkan relaksasi klien.

 Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi,
dan bimbingan imajinasi.

R/ meningkatkan relaksasi yang dapat menurunkan rasa nyeri klien


Kolaborasi :

 Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.

R/ mengurangi nyeri dan spasme otot

( Doenges. 1999: 1005 )

Dx 2

Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi aktif


dalam aturan pengobatan

KH :

 Pasien tampak rileks


 Melaporkan berkurangnya ansietas
 Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien

Intervensi :

 Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.

R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut serta


kesalahan konsep tentang diagnosis

 Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.

R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima
dengan kondisi apa adanya

 Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.

R/ memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak.

 Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.

R/ dapat menurunkan ansietas dan memungkinkan pasien membuat keputusan atau


pilihan sesuai realita.

( Doenges. 1999: 1000 )


Dx 3

Tujuan : mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat

KH : penambahan berat badan

bebas tanda malnutrisi

nilai albumin dalam batas normal ( 3,5 – 5,5 g% )

Intervensi :

 Catat asupan makanan setiap hari

R/ mengidentifikasi kekuatan atau defisiensi nutrisi.

 Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.

R/ mengidentifikasi keadaan malnutrisi protein kalori khususnya bila berat badan


dan pengukuran antropometrik kurang dari normal

 Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.

R/ memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Asupan cairan adekuat untuk


menghilangkan produk sisa.

Kolaborasi :

 Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.

R/ membantu mengidentifikasi derajat malnutrisi

( Doenges. 1999: 1006 )

Dx 4

Tujuan : mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan
tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.

KH :

 Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara


efektif.
Intervensi :

 Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap


kehidupan pribadi pasien dan keluarga.

R/ membantu dalam memastikan masalah untuk memulai proses pemecahan


masalah.

 Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker
atau pengobatan.

R/ membantu dalam pemecahan masalah

 Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara
dengan menyentuh pasien

R/ menunjukkan rasa empati dan menjaga hubungan saling percaya

dengan pasien dan keluarga. ( Doenges. 1999: 1004 )

Dx. 5

Tujuan : Keluarga dan klien siap menghadapi kemungkinan kehilangan anggota gerak.

KH : Pasien menyesuaikan diri terhadap kehilangan anggota gerak

Mengalami peninggkatan mobilitas

Intervensi :

 Lakukan pendekatan langsung dengan klien.

R/ meningkatkan rasa percaya dengan klien.

 Diskusikan kurangnya alternatif pengobatan.

R/ memberikan dukungan moril kepada klien untuk menerima pembedahan.

 Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin sesuai
dengan kemampuan pasien.

R/ membantu dalam melakukan mobilitas dan meningkatkan kemandirian pasien.


 Motivasi dan libatkan pasien dalam aktifitas bermain

R/ secara tidak langgsung memberikan latihan mobilisasi

( Wong. 2003: 617 )

 Evaluasi
o Pasien mampu mengontrol nyeri
 Melakukan teknik manajemen nyeri,
 Patuh dalam pemakaian obat yang diresepkan.
 Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat
istirahat, selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari
o Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif.
 Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata
 Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien
 Keluarga mampu membuat keputusan tentang pengobatan pasien
o Masukan nutrisi yang adekuat
 Mengalami peningkatan berat badan
 Menghabiskan makanan satu porsi setiap makan
 Tidak ada tanda – tanda kekurangan nutrisi
o Memperlihatkan konsep diri yang positif
 Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki
pasien
o Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri
o Klien dan keluarga siap untuk menghadapi kemungkinan amputasi

 Konsep Dasar Amputasi

1. Pengertian

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.

Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam
kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas
sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau
manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh
atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.

Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh


seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten
cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien
atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.
2. Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi

Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :

1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.


2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
6. Deformitas organ.

1. Jenis Amputasi

Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :

1. Amputasi selektif/terencana

Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat
penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan
sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir

2. Amputasi akibat trauma

Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.

3. Amputasi darurat

Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya


merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan
patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

Jenis amputasi yang dikenal adalah :

1. Amputasi terbuka (guillotine amputasi)

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan
pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Metode ini digunakan pada klien
dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang
drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.

2. Amputasi tertutup (flap amputasi)


Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana
dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5
sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Pada metode ini, kulit tepi ditarik
pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi.

Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan


luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, dan
mempertahankan intaks jaringan.

1. Tingkatan Amputasi
1. Ekstremitas atas

Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal
ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi,
berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.

2. Ekstremitas bawah

Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari
jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.

Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi
dua letak amputasi yaitu :

a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).

Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb
dan inschemic limb.

b. Amputasi diatas lutut

Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan


penyakit vaskuler perifer.

3. Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif,


bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
4. Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump
amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur
sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
5. Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah
sehingga melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan
memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot.
6. Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih
utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan
obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.

1. Penatalaksanaan Amputasi

Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi.

Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu :

1. Rigid dressing

Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi.
Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi
atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan
sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump
serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah
oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri.

Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi
setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump
sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan
juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil,
therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan
supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi untuk
melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal
atau sistemik.

1. Soft dressing

Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut
steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup.
Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan
konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat
tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab
akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain
dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien
diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya
jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut,
penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.

1. Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh.


1. Kecepatan metabolisme

Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan


penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.

2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih


besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid
plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar
keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan
oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga
menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke
hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga
terjadi peningkatan diuresis.

3. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru

Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka


kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam
rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.

2. Perubahan perfusi setempat

Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi


perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara
mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena
latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.

3. Mekanisme batuk tidak efektif

Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran


pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan
menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.

4. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik,


endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan
adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2. Penurunan cardiac reserve

Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini


mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan
isi sekuncup.

3. Orthostatik Hipotensi

Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer,


dimana anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat,
vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah
banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang
bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak
cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun,
akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat
juga merasakan pingsan.

5. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot

Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler


memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada
jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan
terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.

2. Atropi otot

Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya


penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi
dan paralisis otot.

3. Kontraktur sendi

Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta


adanya keterbatasan gerak.

4. Osteoporosis

Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan


persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis
dan tulang menjadi keropos.

6. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia

Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan


mempengaruhi sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang
menyebabkan menurunnya nafsu makan.

2. Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus


dan spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan
meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang
sulit buang air besar.

7. Sistem perkemihan

Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :

- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu


ginjal.

- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya


kuman dan dapat menyebabkan ISK.

8. Sistem integumen

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Amputasi

Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.

1. Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk
mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan
operasi.

Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik,
khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.

Pengkajian Riwayat Kesehatan

Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat


mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus,
penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat
penggunaan rokok dan obat-obatan.

Pengkajian Fisik

Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien
secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan
amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi
tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.

Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :

SISTEM
KEGIATAN
TUBUH
Integumen :  Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
 Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau
Kulit secara kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji
umum. kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis
vena atau gangguan venus return.
Lokasi amputasi
Sistem
 Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada
Cardiovaskuler :
klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
 Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian
Cardiac reserve
terhadap elastisitas pembuluh darah.
Pembuluh darah
 Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya
Sistem Respirasi sianosis, riwayat gangguan nafas.

Sistem Urinari  Mengkaji jumlah urine 24 jam.


 Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.

 Mengkaji tingkat hidrasi.


Cairan dan
 Memonitor intake dan output cairan.
elektrolit

 Mengkaji tingkat kesadaran klien.


 Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan
Sistem Neurologis
sensorik daerah yang akan diamputasi.

Sistem  Mengkaji kemampuan otot kontralateral.


Mukuloskeletal

Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual

Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis (
respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui
penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi
dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu
sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap
nyeri yang mungkin timbul.

Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr
persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi
klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang
dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan
penampilan peran dan gangguan identitas.

Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-
sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.

Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi
jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap
untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk
berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi
perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat
pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada
makalah ini.

Laboratorik

Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui
pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang
meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan

Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul
antara lain :

1. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.

Karakteristik penentu :

 Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.


 Menyatakan kurang pemahaman.
 Meminta informasi.

Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.

Kriteria evaluasi :

 Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.


 Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.

INTERVENSI RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan
dan psikologis, memberikan
meningkatkan rasa saling percaya.
dukungan moral.
Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi
Menerangkan prosedur operasi
klien.
dengan sebaik-baiknya.
Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien
Mengatur waktu khusus dengan
melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih
klien untuk berdiskusi tentang
akurat.
kecemasan klien.

1. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan


akibat amputasi.

Karakteristik penentu :

 Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.


 Takut kecacatan.
 Rendah diri, menarik diri.

Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra
diri.
Kriteria evaluasi :

 mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.


 Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.

INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang
Mengurangi rasa tertekan dalam
dampak pembedahan pada gaya hidup.
diri klien, menghindarkan depresi,
meningkatkan dukungan mental.
Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang
alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.
Membantu klien mengapai
penerimaan terhadap kondisinya
Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan
melalui teknik rasionalisasi.
untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan
langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau
Meningkatkan dukungan mental.
kondisi yang lebih parah.
Strategi untuk meningkatkan
Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi
adaptasi terhadap perubahan citra
yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi
diri.
amputasi.

Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain
:

 Mengatasi nyeri
o Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
o Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
o Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk
beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki
protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
 Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
o Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk
mencegah kontraktur.
o Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut
dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
o Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi,
untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi,
memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
 Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
o Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim
bedah.
o Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak
semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti
pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler
perifer, luka yang terbuka ).
o Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan
protese.
o Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.

1. Intra Operatif

Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie.
Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk
menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.

Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan


oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan
injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan
perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan
dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk
perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif.

1. Post Operatif

Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-
tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas
lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.

Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara
rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan
oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi
dan mencegah injuri.

Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan


masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang
drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot
darah.

Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara


umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum
klien.

Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya


yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien
untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka.
Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul
pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri
terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat
menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa
‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam
masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan
bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.

Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :

1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap
amputasi

Karakteristik penentu :

 Menyatakan nyeri.
 Merintih, meringis.

Tujuan : nyeri hilang / berkurang.

Kriteria evaluasi :

 Menyatakan nyeri hilang.


 Ekspresi wajah rileks.

INTERVENSI RASIONAL
Sensasi panthom limb memerlukan
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb waktu yang lama untuk sembuh daripada
atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom nyeri akibat insisi.
limb
Klien sering bingung membedakan nyeri
Beri analgesik ( kolaboratif ). insisi dengan nyeri panthom limb.

Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan Untuk menghilangkan nyeri


menempatkan puntung pada handuk dan menarik
handuk dengan berlahan. Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom
limb

1. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder


terhadap amputasi
Karakteristik penentu :

 Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.


 Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
 Depresi.

Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.

Kriteria evaluasi :

 Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.


 Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.

INTERVENSI RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.

Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri


yang langsung menggunakan putung : Meninjau perkembangan klien.

Mendorong antisipasi meningkatkan


 Perawatan luka.
adaptasi pada perubahan citra tubuh.
 Mandi.
 Menggunakan pakaian. Meningkatkan status mental klien.
Berikan dukungan moral. Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.
Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah
menerima diri.

1. Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak


berhubungan dengan amputasi

Karakteristik penentu :

 Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.

Tujuan : tidak terjadi komplikasi.

Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.

INTERVENSI RASIONAL
Infeksi Mencegah terjadinya infeksi.
Lakukan perawatan luka adekuat.
Perdarahan
Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko
Pantau :
terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.
-Masukan dan pengeluaran cairan.
Sebagai monitor status hemodinamik
- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Indikator adanya perdaraham masif
- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
Emboli lemak
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin
Monitor pernafasan.
Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu
dperlukan untuk tindakan yang cepat.
Persiapkan oksigen
Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau
Pertahankan posisi flower atau tetap tirah
memudahkan pernafasan.
baring selama beberapa waktu

Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :

 Melakukan perawatan luka postoperasi


o Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
o Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang
digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
 Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
o Memberi dukungan psikologis.
o Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
 Mencegah kontraktur
o Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi
segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
o Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk
meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya
kontraktur.
 Aktivitas perawatan diri
o Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
o Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
o Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim
rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
o Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
o Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan
protese.

BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini akan diuraikan tentang pelakanaaan auhan keperawatan pada Tn. H yang
berusia 34 tahun dengan diagnosa Osteosarkoma Proximal Tibia Post ECI di Rumah Sakit
Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing. Pelaksanaan asuhan
keperawatan dilakukan selama tiga hari mulai tanggal 28 oktober 2009 sampai tanggal 30
oktober 2009.

 Gambaran kasus
Klien bernama Tn. H (34 tahun), jenis kelamin laki-laki, status kawin, agama islam, suku
jawa, pendidikan terakhir tamat SMA, bahasa yang digunakan bahasa indonesia, belum
mempunyai pekerjaan , alamat rumah klien Bogor Jawa Barat.

Klien masuk RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 20 oktober 2009 dengan
nomor register 4252425. Adapun keluhan utama klien saat ini adalah klien mengatakan
nyeri di kaki kiri skala nyeri 5, klien habis dilakukan post op amputasi.

Klien tidak punya alergi terhadap obat atau makanan. Klien mengatakan tidak pernah
mendapatkan kecelakaan tetapi pernah dirawat di Rumah Sakit pada tahun 2005 dilakukan
biopsi pada kaki kiri dan pada tahun 2008 dilakukan ECI dan klien dianjurkan untuk
dilakukan amputasi pada kaki kirinya.

Klien mengatakan bila mempunyai masalah, biasanya mencari istri untuk meminta bantuan
karena mereka adalah orang yang selalu dekat dengan pasien. Klien mengatakan bahwa
saat ini klien hanya berharap tentang kesembuhan penyakitnya karena ingin cepat sembuh
dan pulang. Klien mengatakan perubahan yang saya rasakan setelah sakit, badannya lemah
dan tidak bisa beraktivitas seperti biasa meskipun demikian pasien tetap menjalankan sholat
5 waktu setiap hari.

Pola kebiasaan klien mengatakan sebelum sakit makan 3 kali sehari, napsu makan baik
dan makanan yang tidak disukai adalah pedas serta ikan tuna dan udang karena dapat
membuat alergi. Klien mengatakan sebelum sakit suka berolahraga jalan-jalan 1-2 kali
seminggu. Klien mengatakan tidak merokok, tidak minum minuman keras dan tidak
menggunakan NAPZA.
Dari hasil pengkajian
pemeriksaan fisik klien mempunyai berat badan 69 Kg, sebelum sakit 73 kg, Tinggi badan
165 cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu
badan : 36,2 0 C, keadaan Umum klien sakit sedang, Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening. Sedangkan pada sistem penglihatan posisi mata klien baik tidak ada kelainan,
kelopak mata, pergerakan bola mata, kornea, otot-otot mata dalam keadaan normal,
konjungtiva merah muda, sklera Anikterik, pupil isokor, fungsi penglihatan baik dan tidak
ada tanda-tanda radang. Reaksi terhadap cahaya positif kanan kiri. Klien tidak
menggunakan kacamata dan lensa kontak, Dalam sistem pendengaran baik daun telinga,
kondisi telinga tengah dalam keadaan normal dan tidak ada kelainan, seperti perasaan
penuh di telinga, tinitus, gangguan keseimbangan, keluar cairan dari telinga. Klien juga
tidak menggunakan alat bantu pendengaran.

Sistem wicara klien dalam keadaan normal tidak ada kelainan. Pada sistem pernafasan jalan
napas klien tidak ada sumbatan sputum tidak ada sesak, tidak ada retraksi otot, frekuensi
pernapasan 20 x/ menit. Irama pernapasan teratur, jenis penafasan eupnea, batuk tidak ada,
suara napas vesikuler, tidak ada nyeri saat bernapas, tidak menggunakan alat bantu
bernapas, seperti oksigen. Pada sistem kardiovaskuler, Nadi klien 104 x/ menit, irama
teratur, tekanan darah 110/780 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis, pengisian kapileri
<3 detik, tidak ada edema baik eksremitas bawah maupun atas, sedangkan pada sirkulasi
jantung, Kecepatan denyut apikal 104 x/menit, irama teratur, tidak ada kelainan jantung,
tidak ada sakit dada seperti ditusuk-tusuk ketika beraktivitas, Sistem Hematologi alam
gangguan hematologi : pucat (-) dan tidak ada perdarahan. Pada sistem saraf pusat, Klien
mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran : komposmentis.skala GCS :
E4M6V4, tidak ada peningkatan TIK serta gangguan sistem persyarafan. Pemeriksaan refleks
fisiologis normal dan patologis tidak ada, Sedangkan pada sistem pencernaan, Keadaan gigi
tidak terdapat karies pada gigi, tidak ada penggunaan gigi palsu, tidak ada stomatitis, lidah
tidak kotor, kelenjar saliva normal, tidak ada nyeri daerah perut, bising usus 5 x/menit,
tidak diare. Nyeri pada daerah perut tidak ada.

Sistem Endokrin

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, napas tidak berbau keton, dan tidak ada luka
gangren, Pada sistem urogenital
Intake output tanggal 28 oktober 2009 pukul 05.00-13.00 WIB :

Intake : – oral : 300 cc / 8 jam

- parenteral Infus RD : 600 cc / 8 jam

Jumlah : 900 cc / 8 jam

output : – BAK : 500 cc / 8 jam


- IWL : 230 cc / 8 jam

Jumlah : 730 cc / 8 jam

Balance : – 170 cc

BAK berwarna jernih, tidak ada distensi kantung kemih dan tidak ada keluhan sakit
pinggang.
Pada sistem integument klien, Turgor kulit baik, suhu 36,2 0C, kedaan kulit baik, ada luka
insisi operasi di daerah tibia kiri, kondisi baik tidak ada rembesan darah. Dipasang drain
cairan berwarna merah darah ± 30 cc. kelainan kulit tidak ada, tidak terjadi tanda dan gejala
infeksi (tumor, kalor, dolor dan fungsiolasea) pada daerah pemasangan infus serta keadaan
tekstur rambut dan kebersihan baik.

Pada sistem muskuloskeletal, Tidak ada kelainan sistem musculoskeletal pada klien tetapi
ada kesulitan dalam pergerakan karena luka insisi operasi, tonus otot hipotoni, kekuatan
otot.

Sedangkan hasil laboratorium: Hb : 15,4 g/dl ( 13-16 g/dl), Ht : 43 % (40-48 %), Leukosit
: 11 Ribu/ul (5,0-10,0 Ribu/ul), Trombosit : 203 Ribu/ul (150-400 Ribu/ul), PT : 13,5 %
(10 -15 %), APTT 33,9 % (25-35 %) dan penatalaksanaan medis : Cairan : NACL 0,9 %
500 cc : 20 tetes / menit, Diit : Tinggi Kalori Tinggi Protein (tidak ada pantangan) ,Obat
Post Op : Cefazolin 3 x 1 gram, ketorolac 3 x 30 mg, ranitidin 2 x 50 mg.

B. Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.

Dari data diatas penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan selama 3 hari dari tanggal
28 – 30 oktober 2009 adalah sebagai berikut :

 Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada kaki kiri bila digerakkan, Klien
mengatakan skala nyeri 5 seperti ditusuk-tusuk, Data Objektif : Ekspresi wajah
klien meringis saat kakinya digerakkan,Skala nyeri 5,Klien post op amputasi hari
ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia, Klien tampak kesakitan saat kakinya
digerakkan atau diam, Tanda-tanda Vital TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S :
36 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24
jam nyeri dapat berkurang atau terkontrol. Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang,
Skala nyeri 0-1, Klien menunjukkan sikap santai dan rileks, Klien dapat
mendemonstrasikan teknik relaksasi nafas dalam, Klien dapapt mengontrol nyeri,
TTV dalam batas normal: TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit,
RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36,2º C – 37ºC. Rencana keperawatan : Observasi
TTV setiap 8 jam, Evaluasi skala nyeri, karakteristik dan lokasi, Atur posisi kaki
kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam,
Kolaborasi : Berikan obat sesuai program ketorolac 3 x 30 mg. Implementasi yang
telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009:
Memberikan obat ketololac 30 mg melalui vamplon, mengidentifikasi lokasi,
karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien, mengatur
posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka
insisi bedah. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : masalah nyeri pada bagian kaki
kiri teratasi. S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks,
Klien post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah,
TTV : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas
intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann
control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan
intervensi dx 1
 Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic
verban ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan terasa saat diraba didaerah paha sebelah kiri,
Klien mengatakan tidak rasa kesemutan pada daerah kaki kiri, Data Objektif :
Klien terpasang elastis perban pada pangkal paha kiri, Edema disekitar luka tidak
ada, Capillary refill < 3 detik, Akral Hangat, Tidak ada sianosis pada daerah
pemasangan elastic perban, Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70
mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3 x 24 jam klien dapat mempertahankan neurovaskuler
perifer. Kriteria Hasil : Nadi perifer teraba, Ekstremitas hangat, Warna kulit tidak
pucat, Capillary refill < 3 detik, Edema tidak ada, Ada sensasi (bila diraba terasa),
Tidak ada kesemutan, TTV dalam batas normal :TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N :
60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC, Rencana
keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat
dkulit dingin,Observasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan
ekstremitas yang satu dengan yang lain, Pantau capillary refill, warna kulit, suhu
distal pada ekstremitas yang diamputasi, Observasi terhadap kemampuan
pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, oposisi), Kurangi edema dengan
menggerakkan pada ekstremitas yang edema, Ajarkan latihan isometrik mulai dari
yang kaki yang sakit, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28
oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan
perhatikan tanda-tanda pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan
neurovaskuler bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau
capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi,
mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi,
oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema,
mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit. Evaluasi tanggal 30
desember 2008 : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang
terpasang elastic verban,O : – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3
detik, Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg,
RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah
Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2

 Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi ditandai


dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya (makan, mandi)
dibantu oleh keluarganya dan perawat, Klien mengatakan kaki kirinya terasa nyeri
saat digerakkan, Data Objektif : Kesadaran Composmentis,Keadaan umum baik,
Klien post op amputasi hari ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia,
Kebutuhan klien (mandi, makan) dibantu oleh keluarga atau perawat, Mobilisasi
klien saat ini duduk dengan bantuan saat tidur kembali, Kekuatan otot : , Tanda-
tanda Vital : TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit,
Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam kebutuhan ADL
terpenuhi. Kriteria Hasil Klien dapat beraktivitas dengan bantuan minimal,
Meningkatkan fungsi tubuh yang sakit, Klien mampu melakukan ADL secara
mandiri, Kekuatan otot maksimal , TTV dalam batas normal :TD : 110/70 – 120/80
mmHg, N : 60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC,
Rencana keperawatan : Observasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas,
Ajarkan teknik latihan isometrik, Bantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL,
Observasi nilai kekuatan oto dan tonus otot, Implementasi yang telah dilakukan
sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengbservasi kemampuan
klien dalam melakukan aktivitas, mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu
dalam pemenuhan kebutuhan ADL, mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus
ototEvaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehari-
harinya sudah dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O : – Keadaan
Umum baikKesadaran composmentis, Klien dapat melakukan kegiatan makan,
minum secara mandiri, Kegiatan mandi dan BAB masih membutuhkan bantuan dari
keluarga, Kekuatan otot, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x /
menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang,
tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P :
Hentikan intervensi Dx 3

 Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan pemasangan


alat invasive kateter dan infus ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada area luka amputasi, Klien
mengatakan tidak ada rasa nyeri pada daerah pemasangan infus dan kateter, Data
Objektif : Terdapat luka post op hari ke-1, Balutan luka tidak ada rembesan,
Panjang dan lebar luka belum terkaji karena belum dilakukan dreesing, Klien
terpasang drain, cairan drainase 30 cc berwarna merah, Balutan albocath tampak
bersih, Tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesa) tidak ada, Klien
terpasang DC (drain cateter) sejak tanggal 27-10-2009, Tanda-tanda infeksi pada
daerah pemasangan kateter tidak ada, Warna urine kuning jernih, aliran urine lancer,
tidak ada nyeri pada daerah pemasangan kateter, Leukosit 11.000 /ul (N : 5000-
10.000/ul), Tanda-tanda Vital TD : 110/80 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR
: 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam resiko
infeksi tidak menjadi aktual, Kriteria Hasil : Balutan luka bersih, Tidak ada
rembesan darah, Balutan albocath bersih, Tidak ada phlebitis pada pemasangan
albocath, Warna urine jernih, Leukosit dalam batas jumlah normal (5000-10000/ul),
, TTV dalam batas normal: TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit,
RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC. Rencana keperawatan : Ukur TTV
setiap 8 jam, Observasi luka terhadap infeksi, Lakukan perawatan luka 1 kali/hari,
Berikan diet tinggi kalori dan tinggi protein, Catat jumlah dan warna drainase, Ganti
balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari,
Kolaborasi : Pemeriksaan Laboratorium ( Leukosit, LED), Berikan obat Cefazolin 3
x 1 gr, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai
30 oktober 2009: mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap
infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan
tinggi protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka
albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi :
memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : - O:
Keadaan Umum baik, Kesadaran composmentis, Klien post op amputasi hari ke-2,
Tidak ada rembesan luka, Elastic verban baik, Albocath sudah di aff, Kateter sudah
di aff, Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit 11.900/ul, Tanda-tanda Vital : TD :
120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter
klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A :
Masalah Dx 4 tidak menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas masalah yang terjadi pada kasus kelolaan, yaitu
tentang kesenjangan antara teori dan kasus pada Tn. H dengan Osteosarkoma Proximal
Tibia Post ECI di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing
yang dilaksanakan pada tanggal 28-30 Oktober 2009. Pembahasan ini meliputi definisi,
rasional, data yang menunjang, intervensi, implementasi, dan evaluasi, juga analisa faktor
pendukung dan penghambat serta solusi dari tiap masalah diagnosa keperawatan yang
muncul.

Diagnosa pertama : Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi
Definisi : Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dan
meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, digambarkan
dalam istilah seperti kerusakan (Internasional Asosiation For The Study Of Pain) ; awitan
yang tiba-tiba atau perlahan dan intensitas sampai berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau dapat diramalkan durasinya kurang dari 6 bulan. (Wilkinson, 2006)

Rasional : adanya kerusakan jaringan akibat luka insisi pasca operatif amputasi proximal
tibia menyebakan terjadinya sensasi nyeri sehingga menimbulkan suatu stressor pada klien
yang mengganggu klien dalam beraktivitas

Intervensi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam, mengevaluasi skala nyeri,


karakteristik dan lokasi, mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal,
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, Kolaborasi : memberikan obat sesuai program
ketorolac 3 x 30 mg.

Implementasi keperawatan : Memberikan obat ketololac 30 mg melaluiI vamplon


mengidentifikasi lokasi, karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi
klien, mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik
relaksasi napas dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka
insisi bedah..

Evaluasi keperawatan : S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien
post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD :
120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri
pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1

Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan teknik
relaksasi nafas dalam yang berfungsi memperlancar O2 ke jaringan sehingga mengurangi
rasa nyeri dan klien mendapat terapi ketorolac 3 30 mg sehingga rangsangan nyeri tidak
sampai ke sistem saraf pusat kesadaran.

Faktor penghambat : Tidak ada

Solusi : Tidak ada

Diagnosa kedua : Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic
verban

Definisi : suatu keadaaan dimana tingkat saat system saraf perifer menerima, memproses
dan merespons stimulus internal dan eksternal mengalami gangguan ( Wilkinson,2007:10).
Rasional : gangguan neurovaskuler dapat terjadi pada klien yang mengalami amputasi
karena mendapat balutan elastic verban hal ini dikarenakan elastic verban secara tidak
langsung menekan saraf perifer sehinggan saraf perifer tidak berfungsi yang dapat
mengakibatkan tidak adanya rasa saat adanya rasangan.

Intervensi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda


pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan
ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal
pada ekstremitas yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi,
ekstensi, hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada
ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit.

Implementasi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-


tanda pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan
ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal
pada ekstremitas yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi,
ekstensi, hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada
ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit.

Evaluasi keperawatan : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang
terpasang elastic verban,O : – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3 detik,
Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x /
menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal
2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan
intervensi Dx 2

Faktor pendukung : klien mau mengikuti perawat untuk melakukan gerakan isometrik
untuk merangsang saraf pertifer dank lien terlihat aktif belajar mobilisasi sehingga aliran
darah perifer menjadi adekuat

Faktor penghambat : Tidak ada

Solusi : Tidak ada

Diagnosa ketiga : Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi

Definisi : keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami


keterbatasan gerak fisik, tetapi bukan imobilitas sehingga menyebabkan kebutuhan ADl
klien terganggu.

Rasional : kerusakan mobilitas fisik menggambarkan seorang individu dengan keterbatasan


pengunaan lengan atau tungkai atau keterbatasan kekuatan otot.
Intervensi keperawatan : mengobservasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas,
mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL,
mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus otot.

Implementasi keperawatan : mengobservasi kemampuan klien dalam melakukan


aktivitas, mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan
ADL, mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus otot.

Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya


sudah dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O : – Keadaan Umum
baikKesadaran composmentis, Klien dapat melakukan kegiatan makan, minum secara
mandiri, Kegiatan mandi dan BAB masih membutuhkan bantuan dari keluarga, Kekuatan
otot, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C
Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann
control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P : Hentikan intervensi Dx 3

Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan latihan
isometrik dan keluarga turut berperan aktif dalam membantu kebutuhan ADL klien.

Faktor penghambat : kaki klien nyeri apabila ditumpukan.

Solusi : tetap motivasi klien untuk melakukan mobilitas sesuai batas kemampuan klien dan
malakukan latihan rentang gerak isometrik.

Diagnosa keempat : Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan
pemasangan alat invasive kateter dan infus

Definisi : suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme
patogenik. (Wilkinson, 2007 )

Rasional : pada saat pertahanan tubuh menjadi lemah membuat tubuh terserang oleh
pathogen. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa keempat karena data yang diperoleh
masih dalam batas normal, namun klien tetap berisiko terhadap infeksi, meskipun diagnosa
ini tidak terdapat dalam teori tetapi karena adanya area tempat masuk mikroorganisme,
yaitu melalui tempat amputasi, pemasangan kateter, dan penusukan infus yang apabila tidak
dilakukan asuhan keperawatan dapat menyebabkan terjadinya masalah infeksi pada klien.

Intervensi keperawatan : Mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap


infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi
protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka albocath 1 kali/hari,
Lakukan perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.
Implementasi keperawatan : Mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap
infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi
protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka albocath 1 kali/hari,
Lakukan perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.

Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : - O: Keadaan Umum baik, Kesadaran


composmentis, Klien post op amputasi hari ke-2, Tidak ada rembesan luka, Elastic verban
baik, Albocath sudah di aff, Kateter sudah di aff, Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit
11.900/ul, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S :
36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009
diharuskann control, A : Masalah Dx 4 tidak menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4

Faktor pendukung : Adanya kerja sama yang baik dari tim perawat dalam pelaksanaan
perawatan infus

Faktor penghambat : tidak ada

Solusi : tidak ada

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada Tn. H
sejak tanggal 28-30 oktober 2009 maka penulis mengambil kesimpulan :

 Hasil pengkajian pada An. H mendapatkan hasil data yang sesuai dengan teori. Cara
pengumpulan data diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik. Pada saat wawancara dengan klien dan keluarga kooperatif
sehingga terrjalin kerjasama antara perawat dengan klien dan keluarga. Pemeriksaan
fisik dilakukan secara sistemik sesuai dengan kondisi klien.
 Diagnosa keparawatan yang ditemukan pada klien yaitu : Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan luka insisi post op amputasi, Resiko gangguan
neurovaskuler perifer berhubungan dengan dampak pemasangan elastic verban,
Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan keterbatasan
mobilisasi, Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pembedahan pot op
amputasi dan pemasangan alat invasive kateter dan infus
 Intervensi kepertawatan pada Tn. H telah disusun sesuai dengan teori atau konsep
dasar asuhan keperawatan. Intervensi meliputi juga tindakan yang dilakukan secara
mandiri dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
 Implementsi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat.
Untuk diagnosa nyeri pada bagian amputasi dilakukan tindakan mandiri yaitu
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan berkolaborasi pemberian ketorolac 3
x 30 mg, Untuk diagnosa Resiko gangguan neurovaskuler perifer dilakukan
tindakan keperawatan melakukan gerakan isometric, untuk diagnosa Gangguan
pemenuhan kebutuhan ADL dilakukan tindakan membantu kebutuhan klien,
mengajarkan gerakan isometric dan menganjurkan keluarga untuk membantu
kebutuhan ADL klien, untuk diagnose resiko infeksi dilakukan tindakan melakukan
perawatan luka amputasi, perawatan luka penusukan jarum infus dan perawatan
kateter serta berkolaborasi pemberian cefazolin 3 x 1 gram..
 Adapun evaluasi akhir dari keseluruhan asuhan keperawatan yang telah diberikan
adalah semua masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. H dapat teratasi
semua pada tanggal 30 oktober 2009.

B. Saran

Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan
yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan
datang, diantaranya :

 Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang


rencana keperawatan pada pasien dengan osteosarkoma, pendokumentasian harus
jelas dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga.
 Dalam rangka mengatasi masalah gangguan mobilisasi, untuk institusi RS supaya
menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan klien yang mengalami
gangguan mobilisasi.
 Untuk keluarga diharapkan selalu membantu dan memotivasi klien dalam proses
penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J..(2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Doengoes, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Kaperawatan : Pedoman Untuk


perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :
EGC.

Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC

Syamsuhidayat, R dan Wim de Jong. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta :
EGC

Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC

Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.

Rasjad, Choiruddin. (2003). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang


Lamimpatue.

Posted by athoenk46 on Februari 27, 2010 at 2:38 am


Filed under: Keperawatan Medikal Bedah  |  Leave a comment  |  Trackback URI

Anda mungkin juga menyukai