BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah
Orthopedy Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat
455 kasus tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128
kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan
tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31 %
dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus
datang dalam stadium lanjut. (www.kompas.com )
Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang dalam
keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak segera
ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara penyembuhannya
sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan radikal diikuti
kemotherapy.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
Osteosarkoma.
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara, pemeriksaan
fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari catatan medik klien.
D. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan kasus ini,
maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab yaitu :
BAB I. Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan
keperawatan.
BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi, implementasi,
dan evaluasi keperawatan.
BAB IV. Pembahasan yang membahas tentang kesenjangan antara kasus yang ditemukan
dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional terhadap diagnosa
keperawatan yang ditemukan, faktor penunjang, faktor penghambat serta
solusi ( pemecahan masalah ).
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
2. Etiologi
Keturunan
Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat
pajanan radiasi ).
4. Patofisiologi
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel
tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses
destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik,
karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru
dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.
Adanya tumor tulang
5. Manifestasi klinik
d. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
e. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan
menurun dan malaise.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat
didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan
tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi
secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit.
Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi
kombinasi.
b. Tindakan keperawatan
Manajemen nyeri
Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang
kemungkinan terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan
luka di rumah.
7. Pemerikasaan Diagnostik
( Rasjad. 2003 )
1. Pengkajian
a. Wawancara
Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang
terbatas
Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe
regional
c. Pemeriksaan Diagnostik
2. Diagnosa
Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran
3. Intervensi
Dx 1
KH :
Intervensi :
Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi,
dan bimbingan imajinasi.
Kolaborasi :
Dx 2
KH :
Intervensi :
Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima
dengan kondisi apa adanya
Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
Dx 3
Intervensi :
Kolaborasi :
Dx 4
KH :
Intervensi :
Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap
kehidupan pribadi pasien dan keluarga.
Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker
atau pengobatan.
Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara
dengan menyentuh pasien
Dx. 5
Intervensi :
Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin
sesuai dengan kemampuan pasien.
4. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda juall. 2001. Dokumentasi Asuhan Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.
Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :
EGC.
Price, Sylvia & Loiraine M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Edisi 4. Jakarta : EGC.
Rasjad, Choiruddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang
Lamimpatue.
Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Brenda G. bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol III. Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Asuhan Keperawatan Osteosarkoma
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy
Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat 455 kasus
tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128 kasus
tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan
tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31
% dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90%
kasus datang dalam stadium lanjut. (www.kompas.com
)
Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun
setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang
dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak
segera ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara
penyembuhannya sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan
radikal diikuti kemotherapy.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
1. Tujuan Khusus
Osteosarkoma.
Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara,
pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari
catatan medik klien.
5. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan
kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab
yaitu :
BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar
asuhan keperawatan.
BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2. Etiologi
1. Patofisiologi
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor.
Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi
atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang.
Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor
maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi
sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.
oleh tumor
destruksi tulang lokal Periosteum tulang yang baru dapat tertimbun dekat tempat lesi
4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat
badan menurun dan malaise.
1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan
amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari
anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan,
kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.
Tindakan keperawatan
o Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian
analgetika ).
o Pendidikan kesehatan
1. Pemerikasaan Diagnostik
1. CT Scan
2. Mielogram
3. Asteriografi
4. MRI
5. Biopsi,
6. Pemeriksaan biokimia darah dan urine
7. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk
follow-up adanya stasis pada paru-paru.
( Rasjad. 2003 )
a. Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien mengatasi
masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dideritanya. Berikan perhatian
khusus pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam
hari, kurang nafsu makan, sakit kepala, dan malaise.
b. Pemeriksaan fisik
Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang
terbatas
Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit
o mungkin hebat atau dangkal
o sering hilang dengan posisi flexi
o anak berjalan pincang, keterbatasan dalam melakukan aktifitas, tidak mampu
menahan objek berat
Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe
regional
c. Pemeriksaan Diagnostik
Radiografi
Tomografi,
Pemindaian tulang,
Radioisotop, atau biopsi tulang bedah,
Tomografi paru,
Aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).
Intervensi
Dx 1
KH :
Intervensi :
Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi,
dan bimbingan imajinasi.
Dx 2
KH :
Intervensi :
Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima
dengan kondisi apa adanya
Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
Intervensi :
Kolaborasi :
Dx 4
Tujuan : mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan
tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.
KH :
Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker
atau pengobatan.
Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara
dengan menyentuh pasien
Dx. 5
Tujuan : Keluarga dan klien siap menghadapi kemungkinan kehilangan anggota gerak.
Intervensi :
Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin sesuai
dengan kemampuan pasien.
Evaluasi
o Pasien mampu mengontrol nyeri
Melakukan teknik manajemen nyeri,
Patuh dalam pemakaian obat yang diresepkan.
Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat
istirahat, selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari
o Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif.
Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata
Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien
Keluarga mampu membuat keputusan tentang pengobatan pasien
o Masukan nutrisi yang adekuat
Mengalami peningkatan berat badan
Menghabiskan makanan satu porsi setiap makan
Tidak ada tanda – tanda kekurangan nutrisi
o Memperlihatkan konsep diri yang positif
Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki
pasien
o Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri
o Klien dan keluarga siap untuk menghadapi kemungkinan amputasi
1. Pengertian
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.
Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam
kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas
sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau
manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh
atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
1. Jenis Amputasi
1. Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat
penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan
sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.
3. Amputasi darurat
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan
pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Metode ini digunakan pada klien
dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang
drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
1. Tingkatan Amputasi
1. Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal
ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi,
berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.
2. Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari
jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.
Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi
dua letak amputasi yaitu :
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb
dan inschemic limb.
1. Penatalaksanaan Amputasi
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi.
1. Rigid dressing
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi.
Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi
atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan
sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump
serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah
oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri.
Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi
setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump
sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan
juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil,
therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan
supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi untuk
melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal
atau sistemik.
1. Soft dressing
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut
steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup.
Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan
konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat
tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab
akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain
dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien
diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya
jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut,
penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
3. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru
4. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi
3. Orthostatik Hipotensi
5. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot
2. Atropi otot
3. Kontraktur sendi
4. Osteoporosis
6. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
2. Konstipasi
7. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :
8. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.
1. Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk
mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan
operasi.
Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik,
khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.
Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien
secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan
amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi
tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
SISTEM
KEGIATAN
TUBUH
Integumen : Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau
Kulit secara kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji
umum. kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis
vena atau gangguan venus return.
Lokasi amputasi
Sistem
Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada
Cardiovaskuler :
klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian
Cardiac reserve
terhadap elastisitas pembuluh darah.
Pembuluh darah
Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya
Sistem Respirasi sianosis, riwayat gangguan nafas.
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis (
respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui
penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi
dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu
sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap
nyeri yang mungkin timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr
persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi
klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang
dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan
penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-
sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi
jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap
untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk
berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi
perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat
pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada
makalah ini.
Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui
pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang
meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul
antara lain :
Karakteristik penentu :
Kriteria evaluasi :
INTERVENSI RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan
dan psikologis, memberikan
meningkatkan rasa saling percaya.
dukungan moral.
Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi
Menerangkan prosedur operasi
klien.
dengan sebaik-baiknya.
Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien
Mengatur waktu khusus dengan
melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih
klien untuk berdiskusi tentang
akurat.
kecemasan klien.
Karakteristik penentu :
Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra
diri.
Kriteria evaluasi :
INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang
Mengurangi rasa tertekan dalam
dampak pembedahan pada gaya hidup.
diri klien, menghindarkan depresi,
meningkatkan dukungan mental.
Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang
alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.
Membantu klien mengapai
penerimaan terhadap kondisinya
Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan
melalui teknik rasionalisasi.
untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan
langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau
Meningkatkan dukungan mental.
kondisi yang lebih parah.
Strategi untuk meningkatkan
Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi
adaptasi terhadap perubahan citra
yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi
diri.
amputasi.
Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain
:
Mengatasi nyeri
o Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
o Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
o Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk
beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki
protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
o Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk
mencegah kontraktur.
o Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut
dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
o Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi,
untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi,
memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
o Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim
bedah.
o Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak
semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti
pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler
perifer, luka yang terbuka ).
o Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan
protese.
o Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.
1. Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie.
Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk
menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
1. Post Operatif
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-
tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas
lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara
rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan
oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi
dan mencegah injuri.
1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap
amputasi
Karakteristik penentu :
Menyatakan nyeri.
Merintih, meringis.
Kriteria evaluasi :
INTERVENSI RASIONAL
Sensasi panthom limb memerlukan
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb waktu yang lama untuk sembuh daripada
atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom nyeri akibat insisi.
limb
Klien sering bingung membedakan nyeri
Beri analgesik ( kolaboratif ). insisi dengan nyeri panthom limb.
Kriteria evaluasi :
INTERVENSI RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.
Karakteristik penentu :
INTERVENSI RASIONAL
Infeksi Mencegah terjadinya infeksi.
Lakukan perawatan luka adekuat.
Perdarahan
Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko
Pantau :
terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.
-Masukan dan pengeluaran cairan.
Sebagai monitor status hemodinamik
- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Indikator adanya perdaraham masif
- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
Emboli lemak
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin
Monitor pernafasan.
Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu
dperlukan untuk tindakan yang cepat.
Persiapkan oksigen
Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau
Pertahankan posisi flower atau tetap tirah
memudahkan pernafasan.
baring selama beberapa waktu
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pada bab ini akan diuraikan tentang pelakanaaan auhan keperawatan pada Tn. H yang
berusia 34 tahun dengan diagnosa Osteosarkoma Proximal Tibia Post ECI di Rumah Sakit
Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing. Pelaksanaan asuhan
keperawatan dilakukan selama tiga hari mulai tanggal 28 oktober 2009 sampai tanggal 30
oktober 2009.
Gambaran kasus
Klien bernama Tn. H (34 tahun), jenis kelamin laki-laki, status kawin, agama islam, suku
jawa, pendidikan terakhir tamat SMA, bahasa yang digunakan bahasa indonesia, belum
mempunyai pekerjaan , alamat rumah klien Bogor Jawa Barat.
Klien masuk RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 20 oktober 2009 dengan
nomor register 4252425. Adapun keluhan utama klien saat ini adalah klien mengatakan
nyeri di kaki kiri skala nyeri 5, klien habis dilakukan post op amputasi.
Klien tidak punya alergi terhadap obat atau makanan. Klien mengatakan tidak pernah
mendapatkan kecelakaan tetapi pernah dirawat di Rumah Sakit pada tahun 2005 dilakukan
biopsi pada kaki kiri dan pada tahun 2008 dilakukan ECI dan klien dianjurkan untuk
dilakukan amputasi pada kaki kirinya.
Klien mengatakan bila mempunyai masalah, biasanya mencari istri untuk meminta bantuan
karena mereka adalah orang yang selalu dekat dengan pasien. Klien mengatakan bahwa
saat ini klien hanya berharap tentang kesembuhan penyakitnya karena ingin cepat sembuh
dan pulang. Klien mengatakan perubahan yang saya rasakan setelah sakit, badannya lemah
dan tidak bisa beraktivitas seperti biasa meskipun demikian pasien tetap menjalankan sholat
5 waktu setiap hari.
Pola kebiasaan klien mengatakan sebelum sakit makan 3 kali sehari, napsu makan baik
dan makanan yang tidak disukai adalah pedas serta ikan tuna dan udang karena dapat
membuat alergi. Klien mengatakan sebelum sakit suka berolahraga jalan-jalan 1-2 kali
seminggu. Klien mengatakan tidak merokok, tidak minum minuman keras dan tidak
menggunakan NAPZA.
Dari hasil pengkajian
pemeriksaan fisik klien mempunyai berat badan 69 Kg, sebelum sakit 73 kg, Tinggi badan
165 cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu
badan : 36,2 0 C, keadaan Umum klien sakit sedang, Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening. Sedangkan pada sistem penglihatan posisi mata klien baik tidak ada kelainan,
kelopak mata, pergerakan bola mata, kornea, otot-otot mata dalam keadaan normal,
konjungtiva merah muda, sklera Anikterik, pupil isokor, fungsi penglihatan baik dan tidak
ada tanda-tanda radang. Reaksi terhadap cahaya positif kanan kiri. Klien tidak
menggunakan kacamata dan lensa kontak, Dalam sistem pendengaran baik daun telinga,
kondisi telinga tengah dalam keadaan normal dan tidak ada kelainan, seperti perasaan
penuh di telinga, tinitus, gangguan keseimbangan, keluar cairan dari telinga. Klien juga
tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
Sistem wicara klien dalam keadaan normal tidak ada kelainan. Pada sistem pernafasan jalan
napas klien tidak ada sumbatan sputum tidak ada sesak, tidak ada retraksi otot, frekuensi
pernapasan 20 x/ menit. Irama pernapasan teratur, jenis penafasan eupnea, batuk tidak ada,
suara napas vesikuler, tidak ada nyeri saat bernapas, tidak menggunakan alat bantu
bernapas, seperti oksigen. Pada sistem kardiovaskuler, Nadi klien 104 x/ menit, irama
teratur, tekanan darah 110/780 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis, pengisian kapileri
<3 detik, tidak ada edema baik eksremitas bawah maupun atas, sedangkan pada sirkulasi
jantung, Kecepatan denyut apikal 104 x/menit, irama teratur, tidak ada kelainan jantung,
tidak ada sakit dada seperti ditusuk-tusuk ketika beraktivitas, Sistem Hematologi alam
gangguan hematologi : pucat (-) dan tidak ada perdarahan. Pada sistem saraf pusat, Klien
mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran : komposmentis.skala GCS :
E4M6V4, tidak ada peningkatan TIK serta gangguan sistem persyarafan. Pemeriksaan refleks
fisiologis normal dan patologis tidak ada, Sedangkan pada sistem pencernaan, Keadaan gigi
tidak terdapat karies pada gigi, tidak ada penggunaan gigi palsu, tidak ada stomatitis, lidah
tidak kotor, kelenjar saliva normal, tidak ada nyeri daerah perut, bising usus 5 x/menit,
tidak diare. Nyeri pada daerah perut tidak ada.
Sistem Endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, napas tidak berbau keton, dan tidak ada luka
gangren, Pada sistem urogenital
Intake output tanggal 28 oktober 2009 pukul 05.00-13.00 WIB :
Balance : – 170 cc
BAK berwarna jernih, tidak ada distensi kantung kemih dan tidak ada keluhan sakit
pinggang.
Pada sistem integument klien, Turgor kulit baik, suhu 36,2 0C, kedaan kulit baik, ada luka
insisi operasi di daerah tibia kiri, kondisi baik tidak ada rembesan darah. Dipasang drain
cairan berwarna merah darah ± 30 cc. kelainan kulit tidak ada, tidak terjadi tanda dan gejala
infeksi (tumor, kalor, dolor dan fungsiolasea) pada daerah pemasangan infus serta keadaan
tekstur rambut dan kebersihan baik.
Pada sistem muskuloskeletal, Tidak ada kelainan sistem musculoskeletal pada klien tetapi
ada kesulitan dalam pergerakan karena luka insisi operasi, tonus otot hipotoni, kekuatan
otot.
Sedangkan hasil laboratorium: Hb : 15,4 g/dl ( 13-16 g/dl), Ht : 43 % (40-48 %), Leukosit
: 11 Ribu/ul (5,0-10,0 Ribu/ul), Trombosit : 203 Ribu/ul (150-400 Ribu/ul), PT : 13,5 %
(10 -15 %), APTT 33,9 % (25-35 %) dan penatalaksanaan medis : Cairan : NACL 0,9 %
500 cc : 20 tetes / menit, Diit : Tinggi Kalori Tinggi Protein (tidak ada pantangan) ,Obat
Post Op : Cefazolin 3 x 1 gram, ketorolac 3 x 30 mg, ranitidin 2 x 50 mg.
Dari data diatas penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan selama 3 hari dari tanggal
28 – 30 oktober 2009 adalah sebagai berikut :
Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada kaki kiri bila digerakkan, Klien
mengatakan skala nyeri 5 seperti ditusuk-tusuk, Data Objektif : Ekspresi wajah
klien meringis saat kakinya digerakkan,Skala nyeri 5,Klien post op amputasi hari
ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia, Klien tampak kesakitan saat kakinya
digerakkan atau diam, Tanda-tanda Vital TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S :
36 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24
jam nyeri dapat berkurang atau terkontrol. Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang,
Skala nyeri 0-1, Klien menunjukkan sikap santai dan rileks, Klien dapat
mendemonstrasikan teknik relaksasi nafas dalam, Klien dapapt mengontrol nyeri,
TTV dalam batas normal: TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit,
RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36,2º C – 37ºC. Rencana keperawatan : Observasi
TTV setiap 8 jam, Evaluasi skala nyeri, karakteristik dan lokasi, Atur posisi kaki
kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam,
Kolaborasi : Berikan obat sesuai program ketorolac 3 x 30 mg. Implementasi yang
telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009:
Memberikan obat ketololac 30 mg melalui vamplon, mengidentifikasi lokasi,
karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien, mengatur
posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka
insisi bedah. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : masalah nyeri pada bagian kaki
kiri teratasi. S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks,
Klien post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah,
TTV : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas
intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann
control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan
intervensi dx 1
Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic
verban ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan terasa saat diraba didaerah paha sebelah kiri,
Klien mengatakan tidak rasa kesemutan pada daerah kaki kiri, Data Objektif :
Klien terpasang elastis perban pada pangkal paha kiri, Edema disekitar luka tidak
ada, Capillary refill < 3 detik, Akral Hangat, Tidak ada sianosis pada daerah
pemasangan elastic perban, Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70
mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3 x 24 jam klien dapat mempertahankan neurovaskuler
perifer. Kriteria Hasil : Nadi perifer teraba, Ekstremitas hangat, Warna kulit tidak
pucat, Capillary refill < 3 detik, Edema tidak ada, Ada sensasi (bila diraba terasa),
Tidak ada kesemutan, TTV dalam batas normal :TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N :
60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC, Rencana
keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat
dkulit dingin,Observasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan
ekstremitas yang satu dengan yang lain, Pantau capillary refill, warna kulit, suhu
distal pada ekstremitas yang diamputasi, Observasi terhadap kemampuan
pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, oposisi), Kurangi edema dengan
menggerakkan pada ekstremitas yang edema, Ajarkan latihan isometrik mulai dari
yang kaki yang sakit, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28
oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan
perhatikan tanda-tanda pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan
neurovaskuler bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau
capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi,
mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi,
oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema,
mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit. Evaluasi tanggal 30
desember 2008 : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang
terpasang elastic verban,O : – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3
detik, Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg,
RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah
Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas masalah yang terjadi pada kasus kelolaan, yaitu
tentang kesenjangan antara teori dan kasus pada Tn. H dengan Osteosarkoma Proximal
Tibia Post ECI di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing
yang dilaksanakan pada tanggal 28-30 Oktober 2009. Pembahasan ini meliputi definisi,
rasional, data yang menunjang, intervensi, implementasi, dan evaluasi, juga analisa faktor
pendukung dan penghambat serta solusi dari tiap masalah diagnosa keperawatan yang
muncul.
Diagnosa pertama : Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi
Definisi : Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dan
meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, digambarkan
dalam istilah seperti kerusakan (Internasional Asosiation For The Study Of Pain) ; awitan
yang tiba-tiba atau perlahan dan intensitas sampai berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau dapat diramalkan durasinya kurang dari 6 bulan. (Wilkinson, 2006)
Rasional : adanya kerusakan jaringan akibat luka insisi pasca operatif amputasi proximal
tibia menyebakan terjadinya sensasi nyeri sehingga menimbulkan suatu stressor pada klien
yang mengganggu klien dalam beraktivitas
Evaluasi keperawatan : S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien
post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD :
120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri
pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1
Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan teknik
relaksasi nafas dalam yang berfungsi memperlancar O2 ke jaringan sehingga mengurangi
rasa nyeri dan klien mendapat terapi ketorolac 3 30 mg sehingga rangsangan nyeri tidak
sampai ke sistem saraf pusat kesadaran.
Diagnosa kedua : Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic
verban
Definisi : suatu keadaaan dimana tingkat saat system saraf perifer menerima, memproses
dan merespons stimulus internal dan eksternal mengalami gangguan ( Wilkinson,2007:10).
Rasional : gangguan neurovaskuler dapat terjadi pada klien yang mengalami amputasi
karena mendapat balutan elastic verban hal ini dikarenakan elastic verban secara tidak
langsung menekan saraf perifer sehinggan saraf perifer tidak berfungsi yang dapat
mengakibatkan tidak adanya rasa saat adanya rasangan.
Evaluasi keperawatan : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang
terpasang elastic verban,O : – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3 detik,
Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x /
menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal
2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan
intervensi Dx 2
Faktor pendukung : klien mau mengikuti perawat untuk melakukan gerakan isometrik
untuk merangsang saraf pertifer dank lien terlihat aktif belajar mobilisasi sehingga aliran
darah perifer menjadi adekuat
Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan latihan
isometrik dan keluarga turut berperan aktif dalam membantu kebutuhan ADL klien.
Solusi : tetap motivasi klien untuk melakukan mobilitas sesuai batas kemampuan klien dan
malakukan latihan rentang gerak isometrik.
Diagnosa keempat : Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan
pemasangan alat invasive kateter dan infus
Definisi : suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme
patogenik. (Wilkinson, 2007 )
Rasional : pada saat pertahanan tubuh menjadi lemah membuat tubuh terserang oleh
pathogen. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa keempat karena data yang diperoleh
masih dalam batas normal, namun klien tetap berisiko terhadap infeksi, meskipun diagnosa
ini tidak terdapat dalam teori tetapi karena adanya area tempat masuk mikroorganisme,
yaitu melalui tempat amputasi, pemasangan kateter, dan penusukan infus yang apabila tidak
dilakukan asuhan keperawatan dapat menyebabkan terjadinya masalah infeksi pada klien.
Faktor pendukung : Adanya kerja sama yang baik dari tim perawat dalam pelaksanaan
perawatan infus
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada Tn. H
sejak tanggal 28-30 oktober 2009 maka penulis mengambil kesimpulan :
Hasil pengkajian pada An. H mendapatkan hasil data yang sesuai dengan teori. Cara
pengumpulan data diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik. Pada saat wawancara dengan klien dan keluarga kooperatif
sehingga terrjalin kerjasama antara perawat dengan klien dan keluarga. Pemeriksaan
fisik dilakukan secara sistemik sesuai dengan kondisi klien.
Diagnosa keparawatan yang ditemukan pada klien yaitu : Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan luka insisi post op amputasi, Resiko gangguan
neurovaskuler perifer berhubungan dengan dampak pemasangan elastic verban,
Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan keterbatasan
mobilisasi, Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pembedahan pot op
amputasi dan pemasangan alat invasive kateter dan infus
Intervensi kepertawatan pada Tn. H telah disusun sesuai dengan teori atau konsep
dasar asuhan keperawatan. Intervensi meliputi juga tindakan yang dilakukan secara
mandiri dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
Implementsi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat.
Untuk diagnosa nyeri pada bagian amputasi dilakukan tindakan mandiri yaitu
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan berkolaborasi pemberian ketorolac 3
x 30 mg, Untuk diagnosa Resiko gangguan neurovaskuler perifer dilakukan
tindakan keperawatan melakukan gerakan isometric, untuk diagnosa Gangguan
pemenuhan kebutuhan ADL dilakukan tindakan membantu kebutuhan klien,
mengajarkan gerakan isometric dan menganjurkan keluarga untuk membantu
kebutuhan ADL klien, untuk diagnose resiko infeksi dilakukan tindakan melakukan
perawatan luka amputasi, perawatan luka penusukan jarum infus dan perawatan
kateter serta berkolaborasi pemberian cefazolin 3 x 1 gram..
Adapun evaluasi akhir dari keseluruhan asuhan keperawatan yang telah diberikan
adalah semua masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. H dapat teratasi
semua pada tanggal 30 oktober 2009.
B. Saran
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan
yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan
datang, diantaranya :
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC
Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :
EGC.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Syamsuhidayat, R dan Wim de Jong. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta :
EGC