Anda di halaman 1dari 11

Orang Mati Tidak Bisa Mendengar

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08:53 Label: 'Aqidah

1. QS. An-Naml ayat 80 : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : : Berkata Ibnut-Tiin : Tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu Umar (yaitu hadits Qalaib Badr) dengan ayat tersebut (QS. An-Naml : 80), sebab orang-orang mati tidak mendengar tidaklah diragukan lagi, akan tetapi apabila Allah taala menghendaki sesuatu yang tidak mampu mendengar menjadi mampu mendengar, maka tidak ada yang menghalanginya. Hal ini sebagaimana firmanNya : [ ] Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu(QS. Al-Ahzaab : 72). [ ] Lalu Dia berkata kepadanya (langit) dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa" (QS. Fushshilat : 72). Al-Imam Bukhari menukil ucapan Qatadah dalam kitab AlMaghaazi : Sesungguhnya Allah menghidupkan mereka sehingga mereka mendengar dari ucapan Nabi shallallaahu alaihi wasallam sebagai penghinaan dan adzab bagi mereka. Selesai ucapan Ibnut-Tiin. Ibnu Jarir Ath-Thabari dan sebagian besar Karamiah mengambil pendapat dari kisah ini bahwasannya pertanyaan di dalam kubur itu terjadi pada badan saja, dan Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk mendengar dan mengetahui serta merasakan adanya nikmat dan adzab. Sedangkan Ibnu Hazm dan Ibnu Hubairah berpendapat bahwa pertanyaan terjadi hanya pada ruh saja. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi mereka dan berpendapat lain, yaitu bahwa ruh dikembalikan ke badan atau sebagiannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits. Ibnu Hajar kemudian melanjutkan : Bahwasannya mushannif (yaitu Al-Imam Bukhari) menunjukkan satu cara di antara cara-cara menggabungkan dua hadits, yaitu hadits Ibnu Umar dan hadits Aisyah (yaitu sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam yang berbunyi : Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwasannya apa yang

aku katakan kepada mereka adalah benar; kemudian Aisyah radliyallaahu anhaa membaca ayat : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orangorang yang mati dapat mendengar sampai selesai - Abu Al-Jauzaa). Kemungkinan makna dari hadits Ibnu Umar adalah bahwasannya ucapan terhadap orang-orang kafir yang telah mati dan berada di dalam sumur-sumur Badar terjadi sewaktu Malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepada ruh tersebut setelah dikembalikan ke badan, dan disebutkan dalam hadits lain bahwasannya orag kafir yang ditanya diadzab. Adapun pengingkaran Aisyahradliyallaahu anhaa mengandung kemungkinan di luar bukan waktu pertanyaan, maka dengan ini selaraslah dua hadits tersebut [Lihat Fathul-Baariy 3/235]. Lihatlah penjelasan di atas ! Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwa keumuman dalil/nash telah menetapkan bahwa mayat/orang mati itu tidak dapat mendengar. Akan tetapi hal itu dikecualikan pada waktu-waktu tertentu seperti kisah sumur Badr sebagaimana akan dibahas kemudian. Al-Imam Asy-Syaukani dalam Tafsirnya Fathul-Qadiir tentang ayat [ ]Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar(QS. An-Naml ayat 80) berkata : . Hal itu dikarenakan apabila ia mengetahui, bahwasannya keadaan mereka (kaum kafir) seperti halnya orang mati dalam hal ketidakmampuan mengambil faedah dengan pendengaran atau seperti orang yang tuli yang tidak dapat mendengar, memahami, dan diberi petunjuk, yang itu menjadi satu sebab kuat dalam ketiadaan pelanggaran dengannya. Allah telah menyerupakan mereka (kaum kafir) dengan orang mati yang tidak mempunyai rasa dan akal; dan (mereka juga diserupakan) dengan orang yang tuli yang tidak dapat mendengarkan nasihat dan menjawab panggilan/seruan kepada Allah. Kemudian Asy-Syaukani melanjutkan : ........ Dhahirnya, (ayat tersebut) meniadakan pendengaran dari orang mati secara umum. Maka tidaklah dikhususkan darinya kecuali apa-apa yang datang dari dalil sebagaimana telah tetap dalam Ash-Shahih (Al-Bukhari/Muslim) bahwasannya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang kafir yang terbunuh di sumur-sumur Badr. [Lihat Fathul-Qadir QS. An-Naml : 80]. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya berkata tentang ayat [ ] Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar (QS. An-Naml ayat 80) : , , : } * * { . , ,

Yaitu engkau tidak dapat memperdengarkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Demikian juga kafirnya orang yang di dalam hati mereka terdapat penutup dan telinga-telingan mereka terdapat sumbat. Untuk itu Allah taala telah berfirman : dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorang pun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri ; yaitu yang dapat memperkenankanmu hanyalah Rabb Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dengan pendengaran dan penglihatan yang membawa manfaat di dalam hati dan pandangan orang yang tunduk kepada-Nya serta apa yang dibawa melalui lisan para Rasul alaihimus-salaam [Tafsir Ibni Katsir, 6/210]. Ibnu Katsir dalam penjelasan ayat di atas secara eksplisit menyamakan keadaan kaum kafir dengan orang yang telah mati (mayat) yang dinafikkan dari sifat mendengar. Hal itu semakin kuat dengan penyebutan bahwa Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar yang kuasa memberikan manfaat dari penjelasan dan seruan kepada makhluk-Nya. Di sini seakan-akan Ibnu Katsir menegaskan bahwa sifat melihat dan mendengar yang dinafikkan dari orang kafir secara majazi dan orang yang mati secara hakiki itu akan kembali pada kesempurnaan sifat ke-Maha Melihat dan Maha Mendengar dari Allah. Hanya Allah lah yang kuasa memberikan penglihatan dan pendengaran kepada makhluk-Nya. 2. QS. Faathir ayat 13-14 : * Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. Ayat di atas begitu gamblang dalam meniadakan pendengaran dari tuhan-tuhan selain Allah yang diseru kaum musyrikin. Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah ini terdiri dari batu, patung, atau pohon-pohon; juga termasuk orang-orang atau hamba-hamba Allah yang telah mati. Hal ini ditunjukkan pada ayat [ ] Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu. Hamba-hamba yang dituhankan tadi akan dibangkitkan di hari kiamat dan akan dihisab serta ditanya (lihat pula QS. Al-Furqaan : 17-18). Contoh dari hamba-hamba yang dipertuhankan setelah matinya adalah sebagaimana dikatakan Nabi Nuh alaihis-salaam tentang lima berhala yang disembah kaumnya :

Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr". (QS. Nuh : 13). Hal yang sama adalah sebagaimana difirmankan Allah tentang tiga berhala musyrikin Arab : * Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (QS. An-Najm : 19-20). Dari sini kita tahu bahwasannya Allah telah menegaskan bahwa berhalaberhala/tuhan-tuhan yang disembah selain Allah dari kalangan orang shalih yang telah meninggal tersebut tersebut tidaklah dapat mendengar apa yang mereka minta. Dan kalaupun bisa mendengar (dan kenyataannya adalah tidak bisa mendengar), niscaya mereka tidak mampu mengabulkan permintaan mereka. Inilah inti dari QS. Fathir ayat 13-14 dalam kaitannya dengan bahasan kita. 3. Hadits Qalaaib Badr : : : ) . (. : : ) . (. : } {. Dari Ibnu Umar radliyallaahu anhuma ia berkata : Nabi shallallaahu alaihi wa sallamberdiri di atas sumur-sumur Badr, kemudian beliau bersabda : Apakah kalian mendapati sesuatu yang telah dijanjikan Rabb kalian adalah benar ?. Kemudian beliau bersabda lagi : Sesungguhnya sekarang mereka mendengar (yasmauun) apa yang aku katakan. Kemudian berita ini dikhabarkan kepada Aisyah, maka ia berkata : Sesungguhnya Nabi shallallaahu alaihi wasallam hanyalah bersabda : Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui (yalamuun) apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar. Kemudian Aisyah membaca ayat : Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orangorang mati mampu mendengar sampai akhir ayat [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3980-3981]. : : : ) (. : : ) .) . : Dari Abu Thalhah : Bahwasannya Nabi Allah shallallaahu alaihi wa sallammemerintahkan para shahabat pada perang Badr untuk menguburkan dua puluh empat mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy, kemudian mereka pun dilemparkan ke dalam sumur di antara sumur-sumur Badr dalam keadaan busuk dan bau. Kebiasaan beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di Badr

di hari ketiga beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya, lalu beliau memacunya kemudian beliau berjalan dan diikuti oleh para shahabatnya dan mereka berkata : Tidaklah kami berpendapat beliau keluar melainkan untuk sebagian keperluannya; sampai beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka : Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan ! Apakah kamu suka seandainya kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya ? Sesungguhnya kami telah mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb kami adalah benar, maka apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar ?. Perawi berkata : Maka Umar radliyallaahu anhu berkata : Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara pada bangkai yang sudah tidak memiliki ruh ?. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallammenjawab : Demi (Allah) yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kamu lebih mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan. Berkata Qatadah : Allah menghidupkan mereka sehingga mereka mendengar perkataan beliau sebagai satu penghinaan, peremehan, adzab, dan penyesalan[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3976, Muslim no. 2875, Ahmad 4/29, dan Abu Yala no. 1431]. Sisi pendalilan :

a. Hadits Pertama; terdapat kalimat pengkhususan dari Nabi shallallaahu alaihi


wasallam dalam hal waktu, yaitu perkataan sekarang ( ,)yaitu mayat orang-orangkafir mendengar saat beliau shallallaahu alaihi wa sallam berbicara. Konsekuensinya, maka mereka tidak mendengar selain dari waktu yang disebutkan. Ini termasuk mukjizat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam. Dan sebagaimana diketahui bahwa mukjizat itu tidaklah berlangsung terus-menerus. Al-Imam Al-Qurthubi berkata dalam Tafsir-nya dengan menukil penjelasan Ibnu Athiyyah : . Bahwasannya kisah Badr merupakan kejadian luar biasa (mukjizat) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallaahualaihi wa sallam dimana Allah mengembalikan pendengaran kepada kaum kafir yang mereka dapat mendengar darinya perkataan-perkataan Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Seandainya Rasululah shallallaahu alaihi wa sallam tidak mengkhabarkan bahwa mereka mendengar, maka kita akan memahami bahwa seruan beliau tersebut sebagai penghinaan bagi orang-orang yang tetap berada dalam kekafiran dan mengandung makna pengobatan bagi orang-orang mukmin [Tafsir Al-Qurthubi, 16/205]. Pernyataan sejenis juga dikemukakan oleh Al-Alusi dalam Ruuhul-Maani.

b. Hadits Kedua; Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam tidak mengingkari


keyakinan Umar dan para shahabat lain bahwa orang yang telah mati tidak

bisa mendengar. Sebagian shahabat menunjukkan secara isyarat, sebagian yang lain secara terang-terangan. Isyarat tersebut nampak pada pertanyaan mereka : [ ] Mengapa engkau berbicara pada jasad yang sudah tidak memiliki ruh/nyawa ?. Tentu pertanyaan ini didasari oleh pengetahuan mereka sebelumnya bahwa orang mati tidak bisa mendengar. Pengetahuan ini tentu didapatkan dari keterangan beliau shallallaahu alaihi wa sallam. Ketidakadaan pengingkaran beliau tersebut tercermin dari jawaban : [ ] Tidaklah kalian lebih mendengar tentang apa yang aku katakan dari mereka. Ini merupakan penjelasan kata sekarang [ ]sebagaimana yang terdapat pada hadits pertama. Kesimpulannya, sifat mendengar ini hanyalah terjadi pada waktu itu saja. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya : : ... } { } { Dari Anas : .Umar mendengar suara beliau, kemudian berkata : Wahai Rasulullah, apakah engkau menyeru mereka setelah (mati) tiga hari ? Apakah mereka mendengar ? Bukankah Allah telah berfirman : Sesungguhnya engkau tidak dapat menjadikan orang mati mampu mendengar ?. Maka beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk menjawab [HR. Ahmad 3/287 no. 14096; shahih]. Apa yang diketahui Umar sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berasal dari pemahaman ayat Al-Quran QS. An-Naml : 80. Dan itu hal yang terjadi pada Aisyah ketika ia diberi khabar tentang peristiwa Badr (hadits pertama) yang kemudian ia ingkari khabar tersebut karena pengetahuannya akan QS. An-Naml : 80. Aisyah bahkan menyanggah dengan perkataan : Sesungguhnya Nabi shallallaahu alaihi wasallam hanyalah bersabda : Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar. Padahal pemberi khabar menggunakan lafadh [ ]mendengar. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Aisyah, Umar, dan para shahabat lain adalah orang yang telah mati tidak bisa mendengar. Dalam kasus ini, Aisyah telah keliru. Jikalau ia menerima khabar yang sebenarnya (atau bahkan menyaksikan sebagaimana para shahabat ahlul-badr), niscaya pendapatnya adalah sama dengan para shahabat lain yang menetapkan peristiwa mendengarnya mayat-mayat kaum kafir di sumur Badr. Wallaahu alam. 4. Hadits shalawat

: Dari Aus bin Aus ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam :Sesungguhnya hari kamu yang paling utama adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, dimatikan, dan hari ditiupkan ruh, serta hari terjadinya kiamat. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawatmu disampaikankepadaku. Mereka (para shahabat) bertanya : Wahai Rasululah, bagaiman shalawat kami disampaikan kepadamu padahal engkau telah wafat ?. Beliau pun menjawab :Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi (untuk merusak) jasad para Nabi [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1047, Ibnu Majah no. 1636, Ibnu Khuzaimah no. 1733, dan yang lainnya; shahih]. Dari Abdullah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam :Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di muka bumi untuk menyampaikan salam yang diucapkan oleh umatku [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/441, An-Nasai 3/43, Abu Yala no. 5213, dan yang lainnya; shahih]. Sisi pendalilan : Jika mayit bisa mendengar, tentu mayit Rasululah shallallaahu alaihi wa sallam lebih dimungkinkan untuk mendengar. Mayit beliau lebih mulia dari siapapun, termasuk mayit para nabi dan rasul yang lain. Seandainya mayit beliau shallallaahu alaihi wa sallambisa mendengar, tentu beliau mendengar salam yang diucapkan umatnya (saat berziarah). Pada hadits pertama menggunakan lafadh disampaikan (maruudlatun) yang maknanya bahwa beliau tidaklah mendengar secara langsung shalawat yang diucapkan umatnya untuk beliau. Namun shalawat tersebut sampai melalui perantaraan malaikat sebagaimana disebutkan secara jelas dalam hadits kedua. Peringatan : Ada hadits yang digunakan untuk menyatakan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mendengar dari dalam kuburnya : ...... Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dari sisi kuburku maka aku mendengarnya dan barangsiapa bershalawat dari jauh maka semuanya itu akan disampaikan malaikat kepadaku. Ini adalah hadits palsu sebagaimana dalam Majmu Al-Fataawaa 27/241 dan Dlaiifah 1/366-369 no. 203. diterangkan oleh Syaikhul-Islam Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adl-

Beberapa dalil di atas menunjukkan keumuman orang mati tidak dapat mendengar. Ia hanya bisa mendengar pada saat-saat khusus saja (takhshiish) seperti hadits sumur Badr, dan juga hadits sandal sebagai berikut :

: ) ).... Dari Anas radliyallaahu anhu, dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda : Seorang hamba (yang mati) baru saja diletakkan dikuburnya dan ditinggalkan oleh keluarganya, hingga ia ia mendengar langkah kaki sandal mereka (yang sedang beranjak pulang), yang kemudian dua orang malaikat mendatanginya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1338, Muslim no. 2870, Abu Dawud no. 3231, dan yang lainnya]. Kesemuanya itu (berikut hadits-hadits yang semisal) merupakan bentuk takhshiish alal-aam sebagaimana maruf diketahui dalam ilmu ushul. Sekaligus satu bentuk pemahaman yang komprehensif terhadap beberapa nash yang kelihatannya saling bertentangan. Inilah pendapat jumhur ulama. Wallaaahu alam. Semoga ada manfaatnya.

Abu Al-Jauzaa 5 Syaban 1430.

Ahmad bin Hanbal dan Tawassul dengan Perantaraan (Diri) Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 15:27 Label: 'Aqidah

Syaikhul-Islaam Ibnu Hanbal rahimahumallah:

Taimiyyah

menukil

perkataan

Ahmad

bin

) (
Dan mohonlah hajatmu kepada Allah dengan bertawassul melalui perantaraan NabiNya shallallaahu alaihi wa sallam, niscaya Allah azza wa jalla akan memenuhinya [Ar-Radd alal-Akhnaaiy, hal. 168; Al-Mathbaah As-Salafiyyah, Kairo]. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :

: : :
Dan perkataan mereka tentang al-istisqaa : Tidak mengapa bertawassul dengan (perantaraan) orang-orang shalih. Dan perkataan Ahmad (bin Hanbal) : Bertawassul hanya diperbolehkan dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu alaihi wa sallam saja bersamaan dengan perkataan mereka : Tidak boleh beristighatsah kepada makhluk [Fataawaa wa Masaail, hal. 68; Terbitan Universitas Muhammad bin Suuud]. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :


Al-Imaam Ahmad membolehkan bertawassul dengan (perantaraan) Rasul shallallaahu alaihi wa sallam saja. Ada pula yang membolehkan dengan selainnya, seperti Al-Imaam Asy-Syaukaaniy dimana tawassul boleh dilakukan dengan (perantaraan) beliau shallallaahu alaihi wa sallam dan yang lainnya dari kalangan para nabi dan orang-orang shaalih [At-Tawassul, hal. 42; Maktabah AlMaaarif, Cet. 1/1421 H]. Pendapat ini memang shahih ternukil dari Ahmad, dan beredar menjadi pendapat madzhab (Hanaabilah) sebagaimana ditegaskan beberapa ulama mereka. Al-Mardawiy rahimahullah berkata :

: . .
Dan diperbolehkan bertawassul dengan (perantaraan) laki-laki yang shaalih berdasarkan pendapat madzhab yang shahih. Dan dikatakan : Disunnahkan. AlImaam Ahmad pernah berkata kepada Al-Marwadziy : Hendaknya seseorang bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu alaihi wa sallam dalam doanya [Al-Inshaaf, 2/456, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1374 H]. Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

: :
Apabila engkau mempunyai hajat yang hendak engkau minta kepada Allah taala (agar dipenuhi), maka hendaknya engkau wudlulah dan perbaguskanlah wudlumu itu. Shalat lah dua rakaat, pujilah Allah azza wa jalla, dan bershalawatlah kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, kemudian ucapkanlah : Laa ilaaha illallaahul-haliimul-kariim, subhaana rabbil-arsyil-adhiim, alhamdulillahi rabbil-aalamiin, as-aluka muujibaati rahmatika wa azaaima maghfiratika walghaniimata min kulli birr, was-salaamata min kulli itsm, laa tada lii dzanban illaa ghafartahu, wa laa hamman illaa farrajtahu, wa laa haajatan hiya laka ridlan illaa qadlaitahaa yaa arhamar-raahimiin. Dan jika engkau ucapkan : Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu shallallaahu alaihi wa sallam, Nabi rahmat. Wahai Muhammad,

sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah memenuhi hajatku dan engkau sebut hajatmu itu.... [Washiyyatu Al-Imaam Ibni Qudaamah Al-Maqdisiy hal. 92, tahqiq : Muhammad Unais]. Akan tetapi, kita perlu sedikit kritis dalam mencermati perkataan Al-Imaam Ahmadrahimahullah, terutama pada kalimat ( bertawasul dengan perantaraan Nabi). Karena, pendapat yang beredar di dalam madzhab (Hanaabilah), tidak bisa tidak, berpangkal dari pendapat yang ternukil dari beliau (Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Kalimat tersebut sifatnya mujmal, karena beliau sendiri sependek pengetahuan saya - tidak menyebutkan bentuk kalimat tawassul-nya. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhaab menukil perkataan lain dari Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :

: " ":
Ahmad berkata : Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu alaihi wa sallam dalam doanya. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliaualaihis-salaam : Auudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : Istiadzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk [Fataawaa wa Masaail, hal. 60]. Perkataan itu juga dinukil oleh Al-Mardawiy dalam Al-Inshaaf 2/456 dan Ibnu Mufliih dalamAl-Furuu 2/127. Dhahir perkataan ini mengindikasikan bahwa berdoa kepada Allah tidak boleh dilakukan bertawassul dengan perantaraan makhluk, dan istiaadzah sendiri merupakan doa. Terkait dengan hal ini, Al-Mardawiy menukil perkataan lain dari madzhab Hanaabilah :

: :
Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu alaihi wa sallam). Ia berkata : Dan tawassul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafaatnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliaushallallaahu alaihi wa sallam. Maka hal itu disyariatkan berdasarkan ijmaa. Hal itu merupakan wasiilah yang diperintahkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah taala :Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasiilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Al-Maaidah : 35) [Al-Inshaaf, 2/456]. Perkataan di atas merupakan hal yang lebih terang untuk menjelaskan maksud perkataan Al-Imaam Ahmad di awal tentang bolehnya bertawassul dengan perantaraan Nabishallallaahu alaihi wa sallam. Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau. Wallaahu alam.

Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya. [abul-jauzaa ciper, ciapus, ciomas, bogor].

Anda mungkin juga menyukai