Anda di halaman 1dari 26

BIOFARMASETIKA TERAPAN DAN FARMAKOKINETIKA KLINIK

KELARUTAN DAN PERMEABILITAS

DISUSUN OLEH KELOMPOK I UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS FARMASI JATINANGOR 2012

Kelarutan suatu zat terutama obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu oleh momen dipolnya. Batas kelas permeabilitas secara tidak langsung didasarkan pada tingkat absorpsi (fraksi dari dosis yang diabsopsi) senyawa obat pada manusia dan secara langsung pada ukuran laju perpindahan massa melintang pada membran usus manusia.

BCS (Biopharmaceutical Classification System)


Kelas 1 Kelarutan Tinggi Permeabilitas Baik Korelasi Pada In Vivo dan In Vitro Korelasi pada in vivo dan in vitro jika laju disolusi adalah rendah dari pada laju pengendapan pada lambung, jika tidak maka hal tersebut terbatas/tidak ada korelasi. Korelasi pada in vivo dan in vitro diharapkan apabila secara in vitro laju disolusi serupa dengan laju disolusi pada in vivo, kecuali jika pada dosis yang sangat tinggi.

Rendah

Baik

Tinggi

Buruk

Penyerapan (permeabilitas) merupakan laju yang menetukan dan terbatas atau tidaknya korelasi pada in vivo dan in vitro dengan laju disolusi. Terbatas atau tidak adanya korelasi pada in vivo dan in vitro yang diharapkan.

Rendah

Buruk

Studi Kasus I
(Eixarch, et al., 2010)

Drug Delivery to the Lung: Permeability and Physicochemical Characteristics of Drugs as the Basis for a Pulmonary Biopharmaceutical Classification System (pBCS)

LUNG DRUG DELIVERY


Mengurangi efek samping Onset kerja langsung dan cepat Alternatif obat sistemik
Ukuran molekul, lipofilisitas (log P), kelarutan, pKa, protein terikat, luas permukaan kutub, dan beban atau pertukaran ikatan

Pengembangan Obat Melalui Paru-paru

Sifat Fisikokimia

Biologi

-Kelarutan - Lipofilisitas

pBCS

BIOLOGIS PARU-PARU
1. Beda luas permukaan beda absorpsinya 2. Beda lapisannya beda permeabilitasnya: lendir, lapisan epitel, P-glikoprotein

Penentuan Studi Permeabilitas Obat Paru-Paru


Pemilihan sampel senyawa kimia utk studi pBCS Menyiapkan dua sistem in vitro seluler. 1. Sel Calu - 3 mewakili model epitel bronkial 2. sel primer alveolar sebagai model dalam paru-paru dalam

Kelarutan & Permeabilitas ABSORPSI

Validitas : membandingkan dengan data permeabilitas sistem tes lainnya, seperti model GI menggunakan sel Caco-2

Hasil dikorelasi dengan data yang tersedia dari literatur seperti kelarutan, lipofilisitas, dan mmbandingkn dg model in vivo dari penyerapan paru-paru

Pemilihan sampel senyawa kimia utk studi pBCS

1. BM < 1000 Da 2. Sediaan paru-paru

Kortikosteroid Inhaler

Pulmicort

PENENTUAN MODEL SELULER UNTUK PERMEABILITAS OBAT

--- Nilai uji permeabilitas dapat berkorelasi dengan nilai log P ---

Sel Calu-3 dan sel epitel primer, yg dikultur utk in vitro dpt mmbedakan permeabilitas tiap senyawa obat

Korelasi In Vitro In Vivo


Studi hewan harus dilakukan untuk menilai toksisitas, absorpsi, metabolisme, dan clearence dari senyawa yg terpilih

Mengarah kepada pemilihan akhir digunakan sebagai obat

TUJUAN:
memberikan ide bagaimana sifat fisikokimia seperti kelarutan dan permeabilitas mempengaruhi penyerapan obat di paru-paru

VALIDITAS dengan Caco-2


menilai adanya kesamaan atau ketidaksamaan antara model dan akan memberikan wawasan ke dalam karakteristik yang unik untuk organ paru-paru ini

KESIMPULAN
Penentuan perbandingan permeabilitas suatu senyawa, scr spesifik, dpt ditentukan dengan bantuan kultur sel (in vitro), shg dpt menjadi acuan penentuan pBCS.

Studi Kasus II
(Dharmalingam, et al., 2012)

Judul pk bhs inggris

Penelusuran Kelarutan Naproxen dan Peningkatan Permeabilitas pada Poly Gel (Vinyl Alkohol) untuk Pemakaian Topikal
NAPROXEN analgetik, atipiretik, antiinflamasi muskoloskeletal OAINS

ESO : Pendarahan GI

Nanosuspension Menambah kelarutan + Cyclodextrine (CD)

Sed. Dermal

METODE PENELITIAN
Persiapan nanosuspensi Persiapan kompleks inklusi Pemeriksaan ukuran partikel dg FE-SEM

Penentuan aktivitas antitryptic

Pemeriksaan kelarutan

Analisis kandungan obat dg Spek. UV 262nm

Penelitian permeasi secara in vitro

Analisis Statistik dg SPSS

Persiapan nanosuspensi

Persiapan kompleks inklusi


1. Kompleks inklusi -CD Naproxen

1. Naproxen dilarutkan dalam etil asetat 2. Surfaktan penstabil, polisorbat 80, ditambahkan ke dalam air suling dan larutan dipanaskan sampai 80-85oC

dipersiapkan dalam rasio molar 2:1 (-CD: Naproxen) dengan teknik meremas 2. Campur sampai membentuk pasta 3. Campuran dibiarkan kering dan terbentuk kompleks inklusi.

3.Larutan 1 & 2 dicampurkan dan diaduk 4.Etil asetat dibiarkan menguap 5.Nanosuspensi terbentuk.

Pemeriksaan kelarutan

Penentuan aktivitas anti-tryptic

1. Sampel Naproxen dilarutkan dalam air suling 2. Sampel disentrifugasi pada 4000 rpm pada 25oC 20 menit.

1. Tripsin + Naproxen diinkubasi pada suhu 37C 5 menit 2. Kasein ditambahkan diinkubasi 20 menit 3. Asam asetat Trichloro

3. Absorbansi supernatan
diukur dg Spek. UV 262 nm.

ditambahkan untuk mengakhiri


reaksi 4. Sampel disentrifugasi pada 2000 rpm pada 25C 20 menit 5. Persentase aktivitas anti-tryptic dihitung

HASIL DAN PEMBAHASAN

24,2 m
(Merisko-Liversidge, et al., 2003)

10m
Hasil FE-SEM

Hasil menunjukan terjadi penurunan ukuran kristal yg dapat meningkatkan kelarutan. Kadar obat yg berdifusi di membran: Nanosuspensi Naproxen : 95,28% Penambahan kompleks -cyclodextrin Naproxen : 90%

Hasil Uji Kelarutan

Kelarutan terbaik ditunjukan dg metode penambahan CD ???

Studi Aktivitas Antitryptic


Tripsin Kasein Inflamasi

Naproxen
1. Aktivitas tertinggi : Nanosuspensi Naproxen Luas Permukaan 2. Aktivitas terendah : kompleks Naproxen CD Naproxen terjebak dalam kompleks

Studi permeabilitas in vitro

Gel nanosuspensi ; permeabilitas tertinggi, yaitu 4x daripada penambahan kompleks dg CD. Pembentukan kompleks memiliki ukuran yang lebih besar dan naproxen terjerap pada rongga maka mengurangi permeabilitasnya terhadap membran.

KESIMPULAN Teknik nanosuspensi secara signifikan memperbaiki kelarutan, aktivitas anti-tryptic, dan permeabilitas Naproxen dibandingkan dengan kompleks inklusi CD. SARAN Kombinasi dari kedua teknik.

DAFTAR PUSTAKA
Amidon, GL., Lennernas H, Shah VP, dan Crison JR. 1995. A Theoretical Basis For A Biopharmaceutic Drug Classification: The Correlation Of In Vitro Drug Product Dissolution And In Vivo Bioavailability. Pharm. Res. 12: 413-420, PMID 7617530. Isadiartuti, D. dan Suwaldi. 2005. Pembentukan kompleks inklusi fenobarbital dengan hidroksipropil--siklodekstrin. Majalah Farmasi Indonesia. 16 (1): 28 37. Dharmalingam, S.R., CT. Kumarappan, Michele Y. W. H., Gan C. B., Kuan Y. M. and Lee M. F.2012. An Investigation on the Naproxen Solubility and Permeability Enhancement in Poly (Vinyl Alcohol) Gel for Topical Application. International Conference on Medical and Pharmaceutical Sciences (ICMPS'2012) June 16-17, 2012, Bangkok. Page 104-107. Eixarch, H., Eleonore H.U., Christoph B. and Udo Bock. 2010. Drug Delivery to the Lung: Permeability and Physicochemical Characteristics of Drugs as the Basis for a Pulmonary Biopharmaceutical Classification System (pBCS). J. of Epithelial & Pharmacology: (3) 1-14. Sutriyo. 2008. Pengembangan Sediaan Dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid Sebagai Model Zat Aktif MenggunakanSistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 1, April 2008, 01 08. Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London: Pharmaceutical Press. Hlm 92. Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London: Pharmaceutical Press. Hlm 2291.

Anda mungkin juga menyukai