Anda di halaman 1dari 8

I.

JUDUL PERCOBAAN POLARIMETRI

II.

TUJUAN PERCOBAAN Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui cara penentuan kadar suatu zat dengan metode polarimetri Menentukan kadar suatu zat dengan metode polarimetri Tujuan Instruksional Khusus :

III.

DASAR TEORI Cerita diawali pada awal abad ke-18 dengan temuan cahaya terpolarisasi dan dengan kajian tentang bagaimana molekul yang diletakkan pada lintasan berkas cahaya dapat mempengaruhinya. Berkas cahaya biasa terdiri atas sejumlah gelombang yang bergetar ke segala bidang yang mungkin yang tegak lurus pada lintasannya. Akan tetapi, jika berkas cahaya ini dilewatkan pada sejenis zat tertentu, gelombang yang berkasnya ditransmisikan itu akan bergetar pada bidang-bidang yang sejajar. Berkas cahaya seperti ini disebut terpolarisasi-bidang (plane polarized). (Hart,2003:169) Apabila cahaya yang dipolarisasikan masuk melalui suatu lapisan larutan gula, maka terlihatlah, bahwa arah getaran sinar keluar berlainan dengan arah getaran sinar masuk; zat cair itu mempunyai sifat yang menyebabkan berputarnya bidang polarisasi. Perputaran bidang polarisasi diukur dalam sebuah polarimeter. Di dalam alat ini cahaya yang dipolarisasi merambat melalui pipa yang panjangnya sudah ditentukan dengan teliti (biasanya 100 atau 200 mm) serta terisi dengan suatu larutan zat optis aktif atau senyawa aktif murni yang cair. Sudut yang dilukiskan oleh karena perputaran bidang polarisasi bergantung pada jenis zat

optis aktif dan panjangnya gelombang cahaya dan berbanding dengan tebalnya zat cair, yang ditembus oleh caha yang dipolarisasi itu. Biasanya sudut ini sedikit bergantung kepada temperature, tetapi hal ini hanya perlu diperhatikan pada penyelidikan yang sangat teliti. (Holleman) CARA KERJA POLARIMETER Dengan cahaya dinyalakan dan tabung sampel kosong, prisma penganalisis diputar sehingga berkas cahaya yang telah dipolarisasi oleh prisma pemolarisasi benar-benar terhalangi dan bidang pandang menjadi gelap. Pada saat ini, sumbu prisma dari prisma pemolarisasi dan prisma penganalisis tegak lurus satu dengan yang lainnya. Sekarang sampel diletakkan pada tabung sampel. Jika zat bersifat aktif optis (optically active) diletakkan dalam tabung, zat ini akan memutar bidang polarisasi, dan sebagian cahaya akan melewati penganalisis ke arah pengamat. Dengan memutar prisma penganalisis searah jarum jam atau berlawanan jarum jam, pengamat akan sekali lagi menghalangi berkas cahaya dan mengembalikan medan yang gelap.

Besarnya sudut yang harus diputar pada prisma penganalisis dalam eksperimen ini disebut , yaitu rotasi teramati (observed rotation). Besarnya sama dengan sudut berkas cahaya terpolarisasi-bidang yang diputar oleh zat

aktif optis. Jika penganalisis harus diputar ke kanan (searaha jarum jam), maka zat aktif optis dikatakan dekstrorotatori (putar kanan,+); jika diputar ke kiri (berlawananan jarum jam), maka zat itu disebut levorotatory (putar kiri,-). (Hart, 2003,170)

d-Glukosa d-Fruktosa Maltosa Sukrosa

[ ]10Senyawa D

+ 52,7 - 92,4 +130,4 +66,5

(Khopkar, 2007: 289) Rotasi teramati, , suatu

sampel zat aktif optis bergantung pada struktur molekulnya dan juga banyaknya molekul dalam tabung sampel, panjang tabung, panjang Struktur Molekul Glukosa gelombang cahaya terpolarisasi, dan suhu. Semua ini harus distandarisasi jika ingin membandingkan aktivitas optik berbagai zat. Hal ini dilakukan dengan rotasi spesifik (), yang didefinisikan sebagai berikut: Rotasi spesifik = [ ] =
t

( pelarut ) l xc

dengan l ialah panjang tabung sampel dalam desimeter, c ialah konsentrasi dalam gram per milliliter, t suhu larutan, dan panjang gelombang cahaya. Pelarut yang digunakan dinyatakan dalam tanda kurung. Pengukuran biasanya dikerjakan pada suhu kamar, dan umumnya menggunakan sumber cahaya garis D dari lampu uap natrium (= 589,3 nm), meskipun instrumen modern yang disebut spektropolarimeter dapat menggunakan panjang gelombang sesuai dengan keinginan kita. Rotasi spesifik suatu zat aktif optis pada panjang gelombang tertentu merupakan sifat tetap seperti halnya titik leleh, titik didih atau rapatan. (Hart, 2003:171) IV. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN Alat : - Botol timbang - Beaker glass - Labu takar - Corong - Pipet tetes - Polarimeter

- Gelas ukur Bahan : - Glukosa - Ammonia - Aquades V. CARA KERJA A. Penentuan Kadar Glukosa Timbang secara analitis 2 g glukosa, masukkan dalam Tambahkan 0,2 mL ammonia encer (375 mL ammonia pekat A.1 Penentuan rotasi spesifik larutan glukosa beaker glass. diencerkan hingga 1 lt) dan encerkan dengan aquades dalam labu takar hingga tepat 100 mL. Homogenkan dan diamkan 30 menit. Tentukan rotasi optic glukosa dengan rumus : ()D = ( . 100) / (l . c) Keterangan : ()D = rotasi spesifik = rotasi optik (hasil pembacaan polarimeter) l = panjang tabung polarimeter = 2 dm c = konsentrasi larutan (g/100 mL)

A.2 Penentuan Glukosa dalam Sampel Timbang secara analitis 4 g sampel, tambahkan 0,2 mL ammonia encer dan encerkan dengan aquades dalam labu takar 100 mL hingga tepat 100 mL, homogenkan, diamkan 30 menit. Tentukan rotasi optik larutan sampel dengan alat polarimeter.

Hitung kadar glukosa dalam sampel dengan menggunanakan

rumus di atas. VI. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN Pembuatan Larutan Standar Glukosa Berat zat hasil penimbangan kasar Berat botol timbang hasil penimbangan kasar Berat botol timbang + zat hasil penimbangan analitik Berat zat hasil penimbangan analitik Konsentrasi larutan standar = g/100 mL = 1,9969 g/100 mL Pengukuran Rotasi Spesifik Larutan Standar Glukosa Pengukuran ke1 2 Rotasi Optik () 1,20 1,30 = 2,00 g = 12,8429 g = 14,8398 g = 1,9969 g

[ ] T D
30,05 32,55

Perhitungan rotasi spesifik larutan standar Pengukuran ke-1

[ ] D = ( .100)

(l.c) (1,20.100) = (2.1,9969 )

= 30,05

Pengukuran ke-2

[ ] D = ( .100)

(l.c) (1,30.100) = (2.1,9969 )

= 32,55

Rotasi spesifik rata-rata = (30,05 + 32,55)/2 = 31,3 Penentuan Kadar Glukosa dalam Sampel (Kode Sampel A) Berat zat hasil penimbangan kasar Berat botol timbang hasil penimbangan kasar Berat botol timbang + zat hasil penimbangan analitik Berat zat hasil penimbangan analitik Pengukuran Rotasi Spesifik Larutan Sampel Pengukuran ke1 2 Perhitungan kadar sampel Pengukuran ke-1 Rotasi Optik () 0,4 0,5 = 4,00 g = 12,1395 g = 16,1619 g = 4,0224 g

[ ] T D
31,3 31,3

[ ] D = ( .100)

(l.c) (0,4.100) 31,3 = (2.c) c = 0,6390 g 100 mL 0,6390 Kadar = 100% =15,89% 4,0224

Pengukuran ke-2

[ ] D = ( .100)

(l.c) (0,5.100) 31,3 = ( 2.c) c = 0,7987 g 100 mL 0,7987 Kadar = 100% =19,86% 4,0224

Perhitungan dengan rata-rata rotasi optik sampel

[ ] D = ( .100)

(l.c) (0,45.100) 31,3 = (2.c) c = 0,7188 g 100 mL 0,7188 Kadar = 100% =17,87% 4,0224

VII. PEMBAHASAN Larutan standar yang akan dipergunakan harus didiamkan dahulu sekitar 30 menit. Hal ini bertujuan untuk menstabilkan larutan standar tersebut. Analisa larutan standar dilakukan dnegan cara memasukkan larutan standar ke dalam tabung sampel hingga larutan terisi penuh. Setelah itu, tabung sampel ditutup dengan lensa. Penutupan dengan lensa tidak boleh menimbulkan gelembung. Hal itu dapat diantisipasi dengan cara menggeserkan satu sisi lensa ke tabung sampel. Setelah itu, tabung sampel dimasukkan ke dalam polarimeter. Rotasi optik larutan standar dapat diketahui dengan cara memutar bidang cahaya terpolarisasi hingga cahaya tampak jelas. Cahaya yang tampak pada polarimeter dapat beragam sesuai rotasi optiknya. Kenampakan cahaya cukup dapat dilihat jelas ketika pada kenampakan gelap-terang-gelap. Rotasi optik

larutan standar tersebut digunakan untuk menentukan kadar glukosa dalam suatu larutan sampel. Cara yang sama digunakan untuk menganalisa kadar glukosa dalam sampel. Cahaya yang tampak pada polarimeter harus sama dengan cahaya yang tampak pada analisa larutan standar. Pada analisa kadar larutan standar, didapatkan rotasi optik glukosa sebesar 31,3 dengan memutar bidang cahaya terpolarisasi ke arah kanan (dekstrorotatori). Rotasi optik glukosa yang sesuai dengan pustaka adalah 52,7. Rotasi tersebut dapat dipengaruhi oleh panjang lintasan cahaya, konsentrasi larutan, panjang gelombang cahaya, dan temperatur larutan. Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi pada analisa kadar glukosa dalam larutan sampel

Terdapatnya gelembung dalam tabung sampel. Ketidakstabilan larutan pada saat didiamkan. Ketidaktepatan pembacaan sudut rotasi optik pada polarimeter. Perbedaan cahaya yang tampak pada analisa larutan standar dengan larutan sampel.

VIII. KESIMPULAN Kadar glukosa dalam sampel = 19,86% IX. DAFTAR PUSTAKA Hart, Harold, E, Craine Leslie. 2003. Kimia Organik Edisi Sebelas. Jakarta: Penerbit Erlangga Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press Holleman, L.W. J. Kimia Organik. Jakarta : Groningen

Anda mungkin juga menyukai