Anda di halaman 1dari 9

RESUSITASI CAIRAN

Abstrak Resusitasi cairan intravena merupakan komponen penting untuk bidang anestesi dan kegawatdaruratan. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan volume intravaskuler untuk mencapai cardiac output dan perfusi organ. Kegagalan untuk resusitasi pasien secara adekuat dapat menyebabkan Sindrom Disfungsi Multi-Organ (MODS) dan bahkan kematian. Riwayat, tanda-tanda klinis dan kondisi hemodinamik dapat membantu untuk diagnosis hipovolemik. Fluid challenge sangat praktis dan dapat diandalkan untuk diagnosis dan mengkoreksi hipovolemik. Resusitasi cairan dapat menggunakan koloid maupun kristaloid. Keuntungan dari masingmasing jenis cairan itu masih diperdebatkan sampai saat ini dan kontroversi masih berlanjut mengenai apakah kristaloid atau koloid yang lebih baik digunakan untuk terapi penggantian volume cairan intravaskuler. Bagaimanapun keduanya dapat digunakan untuk koreksi hipovolemik. Semua pasien memerlukan voume prediksi (sekitar 1500-2000 mL/hari) untuk terapi maintenance, yang biasanya diberikan sebagai kombinasi cairan nutrisi dan kristaloid. Cairan koloid dicadangkan (dijadikan pilihan kedua) untuk suplementasi volume intravaskuler.

Kata kunci Hipovolemik bisa menyebabkan terjadinya Sindrom Disfungsi Multi-Organ dan kematian Diagnosis klinis untuk hipovolemik tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan penanganan tertunda. Koloid dan kristaloid dapat digunakan untuk koreksi hipovolemik. Alat-alat invasive yang minimal sekarang telah tersedia untuk memonitor hemodinamik sehingga penanganan hipovolemik bisa dilakukan lebih awal. Fluid challenge sangat praktis dan merupakan cara yang bisa diandalkan untuk mendiagnosis dan mengkoreksi hipovolemik.

Hipovolemik Volume cairan ekstraseluler ditentukan oleh jumlah absolut natrium dan air yang jumlahnya sekitar ~35-40% dari total cairan tubuh pada orang normal. Volume ekstraseluler diregulasi oleh perubahan ekskresi natrium yang berperan terutama untuk aktifitas sistem reninangiotensin-aldosteron, system saraf simpatik, dan sekresi peptide natriuretik atrial. Hipovolemik merupakan kondisi dimana volume cairan ekstraseluler berkurang dan ketika menjadi berat, menyebabkan penurunan signifikan pada perfusi jaringan. Hipovolemik menjadi

sangat penting ketika terjadi penurunan volume cairan intravaskuler. Hipovolemik bisa menjadi absolute atau relative (tabel1). Hipovolemik absolute terjadi karena kehilangan volume yang signifikan dari ruang ekstraseluler. Hipovolemik relatif terjadi karena redistribusi cairan tubuh yang tidak tepat atau dilatasi ruang intravaskuler yang menyebabkan penurunan volume efektif intravaskuler. TABEL1 Hipovolemik Absolut Perdarahan Hipovolemik Relatif Perembesan Kapiler (Peradangan, Luka bakar, Trauma, Anafilaksis) Efusi (Asites dan efusi pleura) Vasodilatasi (Peradangan, anafilaksis, Pembedahan Spinal dan Anaestesi)

Luka Bakar Muntah

Diare Poliuria Evaporasi (pembedahan dan berkeringat)

Diagnosis hipovolemik Diagnosis hipovolemik dapat didasarkan pada riwayat, pemeriksaan klinis, prosedur diagnostic invasive dan non-infasif. Riwayat dan pemeriksaan Riwayat berbagai macam penyebab dari hipovolemik yang diketahui (Tabel1) bisa membantu dalam diagnosis. Bagaimanapun, beberapa kejadian dari kehilangan cairan yang membutuhkan penggantian cairan emergensi, biasanya sedikit membantu dalam memprediksi skala dari hipovolemik. Tanda-tanda klinis hipovolemik (berkurangnya turgor kulit, oliguria, takikardia, dan hipotensi) merupakan indicator terakhir. Adanya tanda-tanda ini menunjukan derajat hipovolemik yang membutuhkan intervensi segera. Ketidak-adaan tanda-tanda ini tidak menyingkirkan diagnosis hipovolemik. Diagnosis hipovolemik dengan derajat yang lebih ringan (covert hipovolemia), yang membutuhkan terapi maintenance perfusi jaringan dan menghindari disfungsi organ, secara klinis adalah sulit. Pemeriksaan klinis tergantung pada posisi pasien. Jika ada kecurigaan hipovolemik, kemudian kaki yang ditinggikan (posisi syok), amati terjadinya tandatanda perbaikan sirkulasi, dan hal ini merupakan salah satu indicator yang berguna. Hipotensi severe yang diinduksi oleh obat-obat vasodilator (seperti sedative) mungkin menunjukan adanya kondisi hipovolemik yang signifikan. Pemeriksaan fisik rutin, termasuk tekanan darah, denyut jantung, dan produksi urin, sering gagal untuk menunjukan status hemodinamik yang

sebenarnya dari pasien gawat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa klinisi-klinisi telah dapat memprediksi status hemodinamik secara akurat, berdasarkan pemeriksaan fisik dan temuan klinis saja, hanya pada 50% kasus. Banyak faktor yang berkontribusi pada temuan ini, termasuk mekanisme kompensasi fisiologik yang sering menutupi keadaan hipovolemik yang sebenarnya berkepanjangan. Pengukuran volume darah Gold standard untuk mendiagnosis hipovolemik adalah pengukuran volume darah. Teknik yang tersedia yang mengandalkan prinsip-prinsip dilusi indicator, biasanya memasukan radioisotop sebagai indicator. Sebagian besar teknik ini tidak praktis karena tidak dapat mendiagnosis dengan cepat, dan oleh karena itu, menunda intervensi cepat. Selanjutnya, estimasi yang sebenarnya dari volume darah membutuhkan indicator yang dapat mendeteksi sebelum menyebar ke sirkulasi. Hanya indicator tertentu yang dapat digunakan pada cara ini, mencampurnya dengan seluruh sirkulasi sebelum terjadi kehilangan cairan dari sirkulasi, yaitu radio-chromium pada sel darah merah. Perkembangan metode berdasarkan pada carbon monoksida yang ada di sel darah merah lebih menjanjikan. Mengukur volume darah pada pasien hipovolemik tidak selalu berguna secara klinis. Bahkan jika kita memiliki metode yang dapat diandalkan untuk mengukur volume darah, volume darah normal adalah indicator yang buruk untuk kebutuhan fisiologis dan volume juga tergantung pada komposisi tubuh, yang menjadi lebih rendah pada pasien obesitas. Kita kemudian mengandalkan marker pengganti untuk status volume. Central Venous Pressure Central venous pressure adalah marker pengganti untuk mengetahui status volume darah yang paling popular dan biasa digunakan. Hal ini berdasarkan pada kemudahan dalam pengukuran tetapi cara ini juga memiliki beberapa kekurangan. CVP tergantung pada venous return ke jantung, tahanan ventrikel kanan, tonus dan postur vena perifer. CVP dengan nilai normal tidak menyingkirkan diagnosis hipovolemik dan CVP adalah salah satu yang tidak dapat dipercaya pada penyakit vascular pulmonal, penyakit ventrikel kanan, pasien dengan asites berat, gagal jantung kiri terisolasi dan penyakit katub jantung. Pada pasien dengan respon simpatik yang masih intak terhadap hipovolemik, CVP mungkin akan turun sebagai respon terhadap penurunan kompensasi venokonstriksi. Pasien kritis sering memiliki ketidaknormalan tinggi ataupun rendah dalam pengukuran CVP, dan terapi sering ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi peningkatan CVP yang terlalu tinggi dari normal untuk memastikan darah yang kembali ke jantung dalam jumlah cukup. Sayangnya, pengukuran CVP tunggal memiliki signifikansi dan administrasi terhadap cairan yang terbatas, untuk mencapai target CVP yang tetap ada beberapa hal yang harus dilakukan agar memastikan pasien menerima jumlah cairan yang benar. Trend dari respon CVP terhadap administrasi cairan memberi informasi penting tentang respon pasien terhadap resusitasi cairan.

Pulmonary artery wedge pressure and cardiac output Pulmonary artery catheter (PAC) mengikuti secara langsung pengukuran cardiac output (CO), stroke volume (SV), pulmonary artery pressure dan saturasi oksigen vena campuran. Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) memberi informasi yang sama mengenai status cairan seperti CVP dengan kekurangan yang sama. Seperti tujuan resusitasi cairan yaitu menyediakan aliran darah optimal untuk menjaga perfusi jaringan, pengukuran PAWP tanpa penilaian CO tidak dapat dibenarkan. Seperti pada pengukuran CVP, level absolute PAWP tidak mengkonfirmasi atau menyingkirkan hipovolemik. Penyakit ventrikel kiri mungkin meningkatkan level PAWP, membutuhkan volume sirkulasi yang adekuat. Intrepretasi PAWP membutuhkan perhatian pada ventilasi pasien karena dapat meningkatkan tekanan intrathorakal yang menyebabkan intrepretasi palsu, yaitu dengan meningkatkan bacaan PAWP. PAWP merupakan indicator yang berguna untuk hipovolemik dimana CVP tinggi dan PAWP menurun secara signifikan (misalnya disfungsi ventrikel kanan selektif, pembatasan aliran udara kronik). Kebanyakan klinisi pegetahuannya terbatas, yaitu tentang bagaimana memanfaatkan data dari PAC pada klinis. Hal ini terkait dengan pengukuran yang tidak akurat. Bahkan ketika pengukuran telah akurat, keuntungan hanya bisa didapat ketika keputusan dibuat berdasarkan pengukuran ini. Kesulitan dalam interpretasi bentuk gelombang dan kekurangan pemahaman tentang relevansi tiap-tiap variable yang dapat menyebabkan ientervensi tidak sesuai dan hasilnya menyimpang. PAC diketahui dapat menyebabkan komplikasi yang berat dan diduga sebagai penyebab menigkatnya angka kematian. Jumlah metode pengukuran yang tidak invasive dari CO dan SV, telah tersedia. Bioimpedance merupakan metode sangat tidak invasive untuk menilai aliran darah dan status volume cairan. Dorongan baliknya dibutuhkan untuk penempatan elektroda kritis dan ketidakakuratan pada perembesan kapiler, takikardi, dan lingkungan dimana ada gangguan elektris. Ini tidak secara luas digunakan dalam operasi atau kondisi gawat darurat. Metode yang sangat tidak invasive lainnya adalah menilai CO berdasarkan penghitungan Fick modifikasi untuk mendapatkan CO dari perubahan karbondioksida ekshalasi selama rebreathing. Keterbatasan besarnya adalah keterlambatan waktu sekitar 3 menit dari perubahan fisiologis untuk muncul dan kebutuhan untuk ventilasi mekanik dengan waktu ventilasi yang konstan. Teknik ini mengasumsikan tidak ada intrapulmonary shunt dan membutuhkan koreksi untuk estimated shunt fraction. Analisis kontur denyutan menilai perubahan pada CO berdasarkan kepada perubahan pada ukuran dan bentuk gelombang tekanan arteri. Untuk kalibrasi membutuhkan pengukuran CO dengan teknik lain. Dua teknik yang sudah tersedia adalah teknik dilusi celup modifikasi menggunakan litium sebagai indicator atau termodilusi. Dibandingkan dengan pengukuran CO dengan PAC, teknik ini mengandalkan dilusi indicator dari injeksi vena central ke pengukuran kanula arteri. Teknik ini tidak akurat pada kasus regurgitasi aorta, intraaortic balloon counterpulsation, penyakit vaskuler perifer yang berat dan ketidakstabilan hemodinamik. Oesophageal Doppler menunjukan pengukuran yang sebenarnya dan visualisasi dari aliran darah dari sisi kiri jantung. Ini membutuhkan waktu insersi yang lebih sedikit secara signifikan daripada PAC, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dan memiliki resiko komplikasi

yang lebih sedikit. Oesophageal Doppler memiliki beberapa kontraindikasi termasuk coarctation of aorta atau pasien dengan intraortic balloon counter pulsation (tidak akurat) dan pasien dengan kerusakan esophagus. Walaupun pemeriksaannya sama dalam hal ukuran tabung Ryle, obat sedative mungkin tetap diperlukan untuk membantu toleransi pasien pada pemeriksaan ini. Seperti marker pengganti untuk status volume yang lainnya, informasi absolute dari CO dan SV tidak mengkonfirmasi atau membuktikan bahwa itu bukan hipovolemik. Hal yang lebih penting adalah respon CO dan SV terhadap terapi cairan. CO hanya akan cukup apabila tersedia perfusi jaringan yang cukup. Pengukuran perfusi jaringan Terapi status volume cairan tidak dibutuhkan apabila perfusi jaringan adekuat. Pemeriksaan global perfusi jaringan berdasarkan pada demonstrasi ketidakadaan metabolism anaerob (tidak ada laktat atau asidosis metabolic). Bagaimana pun, keberadaan asam laktat tidak mengindikasikan sirkulasi yang tidak adekuat (misalnya Liver disfunction) dan ketidakadaan asidosis laktat tidak menjamin perfusi jaringan adekuat. Mukosa usus adalah salah satu jaringan yang paling awal untuk menjadi rusak pada hipovolemik. Tonometri gaster menyediakan metode invasive minimal sederhana untuk menilai adekuat atau tidaknya perfusi. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa PCO2 di lumen hollow viscus akan seimbang dengan PCO2 yang ada disuperfisial mukosa organ. PCO2 yang ada dimukosa meningkat pada hipoperfusi mukosa. Asalnya, pH mukosa (pHi) dikalkulasi dari PCO2 mukosa dan bikarbonat arteri (perhitungan Henderson Hasselbach) dengan asumsi bahwa konsentrasi bikarbonat dalam darah arteri dan jaringan adalah sama. pHi menjadi rendah pada keadaan hipoperfusi mukosa. Alat yang lebih baru mngandalkan penilaian cepat PCO2 mukosa, yang dibandingkan dengan PCO2 tidal akhir (ECO2) menyediakan pemantauan semikontinyu untuk setiap perbedaan yang ada. Makin besar perbedaan, makin besar derajat hipoperfusi mukosa. Asumsi untuk bikarbonat yang ada diarteri dan mukosa, saat ini diketahui sebagai sumber kesalahan, tidak lagi dibutuhkan. ECO2 diasumsikan sebagai refleksi PaCO2. Ketika ini mungkin benar pada beberapa kasus surgical elektif, inilah keterbatasan cara ini dalam kegawatdaruratan. Pengukuran sublingual PCO2 (pslCO2) bisa didapatkan dengan menempatkan sensor disposable dibawah lidah dengan elemen sensor menghadap mukosa sublingual. Dalam 5 menit, pengukuran pslCO2 direkam. Peningkatan pada pslCO2 secara langsung berkorelasi dengan berkurangnya aliran darah di sublingual, mencerminkan penurunan aliran darah yang terjadi di abdomen dan esophagus. Studi pada binatang menunjukan peningkatan pslCO2 yang berkorelasi dengan penurunan tekanan darah arteri dan cardiax index, dengan peningkatan secara bersamaan pada serum laktat selama syok hemoragik dan septic. Teknologi tertentu yang hanya mengikuti satu bacaan, yang membuat monitoring menggunakan metode ini sulit dan mahal.

Penggunaan cairan i.v. Untuk waktu yang lama, klinisi telah menggunakan tekanan pengisian untuk menjaga terapi resusitasi cairan pada pasien dengan kateter pada vena central (CVC) atau arteri pulmonal (PAC). Sebagian besar menggunakan nilai absolute untuk CVP dan PAWP sebagai target untuk terapi cairan. Pengaturan tekanan pengisian ini sulit dan bukanlah fisiologis karena pengisian akhir diastolic tergantung pada faktor-faktor fisiologis daripada tekanan pengisian yang lain. Kemudian, tekanan pengisian tergantung pada tonus vena dalam tambahan untuk tekanan diadtolik akhir. Penggunaan cairan untuk mengkoreksi hipovolemik adalah proses dinamik yang membutuhkan evaluasi ketat untuk klinis dan hemodinamiknya. Selanjutnya, penggunaan fluid challenge merupakan metode yang sukses pada pengaturan volume cairan untuk kebutuhan pasien. Fluid Challenge Fluid challenge adalah metode yang aman untuk mengembalikan volume sirkulasi berdasarkan pada kebutuhan fisiologis dari pada menggunakan titik akhir hemodinamik yang fix. Cairan diberikan dalam jumlah kecil untuk memproduksi tambahan volume sirkulasi dengan penilaian respon hemodinamik dinamis untuk tiap aliquot. Tidak ada titik akhir hemodinamik yang fix diasumsikan dan cara ini menyediakan tes diagnostic hipovolemik (via respon positif yang sesuai dari sirkulasi terhadap cairan) dan metode untuk titrasi dosis optimal cairan terhadap kebutuhan individu. Respon SV dan/atau CVP (atau PAWP) harus dimonitor selama fluid challenge. Dasar dari fluid challenge adalah untuk mencapai peningkatan volume intravaskuler dengan infuse cepat melalui bolus cairan koloid (200ml). Jika dibandingkan dengan kristaloid, koloid seharusnya digunakan karena ekstravasasi cepat kristaloid ke rongga interstisial membuatnya tidak mungkin untuk mengetahui apakah sudah mencapai peningkatan yang kita inginkan pada pengukuran volume intravascular. Perubahan pada CVP atau PAWP adalah setelah peningkatan 200ml pada volume intravaskuler tergantung pada volume sirkulasi awal. Ketika intravaskuler rendah, CVP tidak akan meningkat signifikan dengan peningkatan yang sedikit pada volume darah, peningkatan signifikan pada CVP akan terlihat pada awal peningkatan volume intravaskuler yang cukup tinggi (fig1). Hal ini sama untuk PAWP. Peningkatan 3mmHg pada representasi signifikan CVP atau PAWP dan mungkin indikatif volume sirkulasi adekuat. Sebagai tambahan, penting untuk menilai respon klinis dan cukup atau tidaknya perfusi jaringan. Jika tidak adekuat, monitor SV sebelum fluid challenge atau support sirkulasi. Dengan pengisian yang cukup pada ventrikel kiri, fluid challenge akan meningkatkan SV (fig1). Kegagalan untuk meningkatkan SV dengan fluid challenge mungkin mengindikasikan bahwa sirkulasi tidak responsive terhadap cairan atau challenge inadekuat. Jika PAWP atau CVP gagal untuk meningkat secara signifikan (paling tidak 3mmHg) ketika SV gagal untuk meningkat, peningkkatan pengisian volume sirkulasi mengosongkan rongga vaskuler perifer dan tidak menigkatkan cardiac filling. Dalam kasus ini, fluid challenge harus diulang. SV dibandingkan dengan CO dimonitor selama fluid challenge mungkin menghasilkan penurunan

CO sebaliknya peningkatan pada SV. Fluid challenge seharusnya diulangi ketika respon (peningkatan SV atau Tidak ada peningkatan CVP) hipovolemik tetap berlanjut.

Penelitian telah menunjukan bahwa optimisasi cairan intraoperatif yang dipandu oleh Oesophagel Doppler monitoring secara signifikan memperbaiki hasil, sebagai bukti 30-40% penurunan waktu tinggal. Studi ini telah dilakukan oleh para ahli bedah yang berbeda-beda, termasuk kardiolog, orthopedic dan bedah umum. Semua studi menggunakan algoritme yang sama termasuk fluid challenge untuk memandu administrasi cairan. Setelah nilai dopler esophageal dasar didapat, fluid challenge diberikan. Jika SV meningkat > 10%, pasien dipertimbangkan untuk pengulangan respon volume dan fluid challenge sampai tidak ada peningkatan SV. Pada titik ini, pasien dipertimbangkan sebagai tidak responsive terhadap cairan. Fluid challenge diberikan jika SV turun hingga >10%. Pilihan cairan i.v. Pilihan cairan pengganti tergantung pada jenis cairan yang hilang. Darah diindikasikan pada pasien yang telah kehilangan darah dan tujuan utama transfusi darah adalah mengembalikan Oxygen carrying capacity. Bagaimanapun, pengembalian volume sirkulasi dengan cairan yang lebih kritis dan urgen daripada pengembalian Oxygen carrying capacity. Fresh frozen plasma dan faktor koagulasi lain diindikasikan untuk pasien dengan koagulopati berat tetapi cairan ini tidak seharusnya digunakan untuk pengganti cairan. Baik kristaloid maupun koloid telah banyak digunakan untuk menggantikan deficit cairan ekstraseluler. Larutan kristaloid seperti ringer laktat dan normal salin tidak memiliki komponen onkotik, jadi hanya sekitar 25% volume infuse yang tersisa di ruang intravaskuler. Ketika kristaloid digunakan untuk mengkoreksi hipovolemik, ringer laktat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena hampir sama dengan cairan fisiologis tubuh dalam hal konsentrasi elektrolit dan osmolalitas. Penggunaan normal salin mungkin menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolic. Cairan kristaloid mengisi kedua ruang interstisiel dan intravaskuler.

Keuntungan kristaloid termasuk harga dan komponen non alergenik. Kerugian termasuk edema jaringan yang berat. Koloid termasuk pengganti plasma, serum albumin manusia (5% dan 25%), dextran, gelatin dan hidroksietil starch (HES). Larutan koloid mengandung molekul besar, yang menetap didalam ruang intravaskuler dan menggunakan gaya onkotik untuk menjaga volume plasma. Kerugian koloid adalah dari segi harga, resiko terjadinya koagulopati dan kadang terjadi reaksi alergi. Kontroversi jenis cairan (kristaloid atau koloid) digunakan dalam resusitasi volume cairan. Baik koloid maupun kristaloid dapat mengembalikan volume sirkulasi. Beberapa keuntungan dari menggunakan koloid adalah cepat untuk ekspansi volume plasma dan resiko lebih rendah untuk terjadinya edema pulmonary dan sistemik. Walaupun koloid lebih mahal, efeknya pada volume sirkulasi lebih lama. Pendukung kristaloid menyatakan bahwa perembesan koloid ke ruang interstisiel berkontribusi pada pembentukan edema. Tidak ada bukti perembesan molekul koloid ke ruang interstisiel memiliki efek tetapi penelitian terbatas dalam bidang ini telah ada. Ada bukti baik yang menyatakan bahwa untuk setiap periode waktu, infuse cepat koloid secara signifikan lebih dapat meningkatkan volume darah (dan oleh gangguan Cardiac Output) dari pada volume yang sama kristaloid bahkan ketika kristaloid diberikan sangat cepat. Ini adalah bagian penting dalam scenario klinis yang mana hipotensi secara tiba-tiba mengancam jiwa. Studi sebelumnya menyatakan bahwa resusitasi cairan intraoperatif yang secara dominan koloid memperbaiki kualitas postoperative recovery dibandingkan dengan kristaloid. Secara spesifik, administrasi koloid terkait dengan insiden dan keparahan yang rendah pada nausea, muntah, dan penggunaan antiemetic. Pasien yang telah diresusitasi kristaloid juga mengalami nyeri yang lebih parah, edema periorbital, dan penglihatan ganda. Walaupun kontroversi koloid dan kristaloid tidak focus pada koloid spesifik yang digunakan, telah jelas bahwa koloid dengan jenis berbeda memiliki efek yang berbeda. Larutan yang tersedia memiliki perbedaan komponen fisik dan kimia dan efek samping yang berbeda. Gelatin merupakan polipeptida dengan berat molekuler rata-rata kecil. Gelatin mendegradasi produk kolagen binatang dan oleh karena itu tidak mahal dan mudah didapat. Gelatin cocok sebagai pilihan pertama untuk resusitasi cairan. Komponen HES merupakan polimer sintetik turunan amylopectin, polisakarida bercabang. Variasi cairan HES tersedia dalam rentang berat molekul rendah sampai tinggi dan juga tingkat rendah sampai tinggi. Persiapan HES dengan berat molekul tinggi dengan subtitusi hidroksietil mengurangi tingkat faktor koagulasi, fibrinogen, factor VIII, dan faktor Von Wilebrand dan mengurangi fungsi platelet. Hal ini menghipotesis bahwa kompleks polisakarida mempercepat faktor koagulasi tertentu menjadi tidak berfungsi dalam kaskade koagulasi. Berat molekul rendah dan medium HES menunjukan pengaruh yang sedikit terhadap faktor koagulasi. Berat molekul medium sampai ke tinggi dari HES lebih baik dari pada gelatin dan oleh karena itu tersedia untuk retensi intravaskuler untuk kasus-kasus dimana terjadi perembesan kapiler. Albumin tidak secara rutin digunakan untuk resusitasi cairan. Bagaimanapun, beberapa ilmuan menggunakan ini untuk resusitasi ketika hipoalbumin terjadi. Banyak komponen albumin yang secara teori berguna untuk membuat nilai serum kembali normal dengan cepat sesuai dengan proporsi. Bagaimanapun, komponen ini merupakan efek minor albumin dan ada terapi yang

lebih baik tersedia. Saat ini literature yang tersedia menggunakan albumin secara tidak benar.

menunjukan

bahwa kita lebih sering

Dextrans tersusun atas molekul polisakarida linier. Berat molekul dextran yang rendah dapat memperbaiki sirkulasi mikrovaskuler dengan mengurangi viskositas darah dan melapisi sel endothelium vaskuler untuk meminimalkan agregasi trombosit dan eritrosit. Bagaimanapun, mekanisme yang sama dapat menyebabkan gangguan system koagulasi dan menyebabkan perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai