Anda di halaman 1dari 17

I . PENDAHULUAN Aldehida adalah senyawa organik yang mengandung grup formil.

Kelompok ini fungsional, dengan struktur R-CHO, terdiri dari pusat karbonil terikat pada hidrogen dan kelompok R, kelompok tanpa R disebut kelompok aldehida atau kelompok formil. Aldehida mempunyai pusat karbon hibridisasi yang dihubungkan oleh ikatan ganda untuk oksigen dan ikatan tunggal untuk hidrogen Aldehid merupakan zat intermediate / perantara dalam sintesis kimia yang penting dalam konstruksi, pertanian, garmen, farmasi, dan industri karet. Formaldehid digunakan langsung untuk mengawetkan bahan jaringan biologi dalam pembalsaman, tanning, taxidermy (seni mengisi kulit hewan sehingga kelihatan hidup), dan histologi. Aldehid dengan berat molekul yang lebih tinggi berperan dalam memberikan rasa dan sensasi wangi pada parfum dan minyak esensial. Pengguna aldehid terbesar ialah dalam industri konstruksi, dimana menggunakan formaldehid produk kayu berbahan campuran resin dan pengikat. Secara fisika dan kimia, sebagian besar aldehid dengan berat molekul dibawah 110 Da adalah dalam bentuk cari pada suhu ruangan, walaupun formaldehid dan keton dalam bentuk gas. Aldehid aromatik dan heterosiklik, terutama yang dengan gugus alkil, dalam bentuk padat pada suhu ruangan. Solubilitas aldehid dalam air bermacammacam dari insolubel hingga sangat solubel. Untuk yang aldehid alifatik, harus berhatihati dengan sifatnya yang mudah terbakar.

1.1. Reaksi Kimia Aldehid: I.1.1. Reduksi menjadi alkohol dan Oksidasi menjadi asam Peran penting aldehid sebagai perantara dalam industri kimia, adalah kemampuannya untuk mereduksi dan mengoksidasi. Metabolisme biologi aldehid biasanya dilakukan melalui proses oksidasi menjadi asam, dikatalisator oleh NAD+ dan NADP+ aldehid dehidrogenase. I.1.2. Reaksi Polimerisasi Kecenderungan aldehid untuk berkondensasi secara spontan menjadi polimer, dimana bisa mengkristal dan presipitasi, merumitkan industri kimia. Sebagai contoh, formaldehid

membentuk seri polimer paraformaldehid dan asetaldehid berkondensasi menjadi paraldehid. Bentukbentuk solid kristalin ini, jika dipanaskan, akan melepaskan monomer bentuk gas. Alkohol dengan berat molekul rendah biasanya dimasukkan ke dalam larutan aldehid untuk mengsupresi reaksi polimerisasi. Reaksi aldehid dengan fenol dan group amina menjadi dasar formasi formaldehid resin. Bakelite, sebuah kopolimer fenol dan formaldehid merupakan bentuk resin yang paling familiar.

I.1.3. Reaksi Adisi Reaksi adisi biasa digunakan dalam determinasi aldehid: a. Dengan sodium bisulfit. b. Dengan alkohol membentuk hemiasetal dan asetal.

I.1.4. Reaksi Kondensasi dengan amonia atau amina primer membentuk imine (Basis Schiffs). Reaksi formaldehid dengan amonia menghasilkan heksametilenetetramin, yang dipakai sebagai sumber formaldehid dalam reaksi subsequent. dengan hidrazin membentuk hidrazone. dengan hidroksilamin membentuk oxime. dengan sulfhidril membentuk thiohemiasetal.

I.2. Sintesis Aldehid Aldehid biasanya dihasilkan dari reduksi asam, oksidasi alkohol, atau pirolisis produkproduk natural (seperti furfural dan oat bran). Formaldehid dibentuk secara komersial dari oksidasi gas natural (metan). Oksidasi etilen pada paladium dan katalisator tembaga klorida merupakan jalur sintesis utama untuk asetaldehid.

II . TOKSIKOKINETIK DAN TOKSIKODINAMIK FORMALDEHID Formaldehida merupakan senyawa organik dengan rumus CH2O. Ini adalah aldehida yang paling sederhana, maka nama sistematis metanal. Formaldehida ditemukan oleh kimiawan Rusia Aleksander Butlerov (1828-1886) dan meyakinkan diidentifikasi dengan Agustus Wilhelm von Hofmann. Formaldehida adalah gas tidak berwarna dengan bau, kuat pedas. Hal ini biasanya digunakan dalam bentuk cair sebagai larutan 40% dikenal sebagai formalin dan dalam bentuk padat sebagai paraformaldehyde. Formaldehid tidak bewarna, dalam bentuk gas mudah meledak dalam temperatur ruangan, memiliki bau yang tajam dan menyengat, dan bisa menimbulkan sensasi terbakar pada mata, hidung, dan paruparu pada konsentrasi tinggi. Formaldehid dikenal pula sebagai metanal, metilen oxida, oksimetilen, metilaldehid, dan oksometan. Formaldehid dapat bereaksi dengan berbagai bahan kimia lainnya, dan terpecah menjadi metanol (alkohol kayu) dan karbon monooksida pada temperatur yang sangat tinggi. Formaldehid diproduksi secara alami dalam jumlah yang sangat kecil dalam tubuh sebagai bagian dari metabolisme tubuh dan hal itu tidak membahayakan. Dapat pula ditemukan dalam udara yang kita hirup di kantor, rumah, dalam makanan yang kita makan, dan dalam produkproduk yang kita oleskan pada kulit kita. Sumber terbesar formaldehid yang kita hirup setiap hari berasal dari lapisan terbawah atmosfir bumi. Sedangkan di rumah, formaldehid dihasilkan dari rokok dan produkproduk rokok lainnya dan kompor gas. Formaldehid tersebut juga digunakan sebagai bahan pengawet pada beberapa makanan dan beberapa jenis keju Italia, makanan kering, dan ikan. Formaldehid ditemukan dalam produkproduk yang kita pakai seharihari di rumah seperti antiseptik, obat, kosmetik, cairan pencuci piring, pelembut kain, pembersih karpet, lem dan perekat, kertas, plastik, dan beberapa jenis produkproduk kayu. Formaldehid digunakan dalam berbagai industri, seperti dalam produksi pupuk, kertan, plywood, dan resin ureaformaldehid, juga terdapat dalam udara pada industri penempaan baja.

Pada industri pertanian, formaldehid dijumpai pada pupuk dan bibit tanaman. Pada industri baja, ditemukan dalam produksi lateks, pewarnaan kulit, pengawetan kayu, dan produksi film fotografi. Juga digunakan di berbagai rumah sakit dan laboratorium untuk mengawetkan spesimen jaringan. 2.1.TOKSIKOKINETIK 2.1.1. Absorbsi Bentuk larutan gas formaldehid dapat terhirup melalui saluran pernapasan. Akibat metabolisme cepat membentuk formate, sedikit, jika ada, intak formaldehid dapat ditemukan dalam darah manusia yang terpapar formaldehid. Begitu pula dapat diserap oleh saluran pencernaan. Pada semua kasus, absorbsi tampaknya hanya terbatas pada lapisan sel pada titik kontak, dan jaluru masuk ke dalam darah (absorbsi sistemik) terjadi sangat minimal. Formaldehid adalah molekul kecil, reaktif, dan larut air, dengan berat molekul sebesar 30.03, dimana dapat diabsorbsi dalam jaringan saluran pernapasan (pajanan inhalasi) dan saluran pencernaan. Absorbsi melalui saluran pernapasan diperkirakan hampir mendekati 100%, yang terjadi di mukosa hidung (CasanovaSchmitz et al.1984a; Casanova et al.1991; Heck et al. 1982,1983) dimana terjadi terutama pada mukosa hidung anterior pada tikus (Chang et al.1983). Formaldehid juga tampaknya diserap cepat setelah terjadi pajanan oral pada tikus (Galli et al.1983). Absorbsi melalui kulit monyet tampaknya cukup lambat (hanya sekitar 0.5% dosis yang diberikan); dimana sebagian besar hilang Melalui Penguapan Ataupun Diserap Ke Dalam Kulit (Jeffcoat 1983). 2.1.2. Distribusi Distribusi ke organorgan yang jauh seperti ginjal, lemak, limpa, dll tampaknya bukan merupakan faktor utama toksisitas formaldehid. Heck et al. (1983) menemukan bahwa pada tikus, 14Cformaldehid yang terhirup (8 ppm dalam 6 jam) meningkatkan konsentrasi radioaktivitas dalam darah tikus setelah beberapa hari terpapar (waktu paruh 55 jam). 2.1.3. Metabolisme Formaldehid sangat cepat dimetabolisme dan penyimpanan bukanlah faktor toksisitas formaldehid. Metabolisme formaldehid membentuk format (melalui formaldehid dehidrogenase /

alkohol dehidrogenase kelas III) memiliki peran pada setiap jaringan tubuh sebagai konsekwensi dari formasi endogen formaldehid, dan formate ini cepat dibuang keluar tubuh (Heck et al.1982). Formaldehid dehidrogenase adalah enzim metabolik utama yang terlibat dalam metabolisme formaldehid pada semua jaringan yang diteliti; dan terdistribusi merata pada jaringan hewan, khususnya pada mukosa hidung tikus, dan spesifik untuk aduksi glutation formaldehid. 2.1.4. Eksresi Konversi formaldehid yang cepat menjadi format , tampaknya ekskresi bukanlah menjadi faktor toksisitas formaldehid. Metabolisme membentuk format berperan di dalam setiap jaringan tubuh sebagai akibat formasi endogen formaldehid. Sedangkan formaldehid eksogen masuk jalur tersebut dan di ekskresi dalam bentuk CO2.

II.2. TOKSIKODINAMIK 2.2.1. Efek pada Pernapasan Hasil pada beberapa studi terhadap manusia dan hewan mengindikasikan bahwa saluran pernapasan atas merupakan target kritikal dari formaldehid yang terdapat di udara dalam konsentrasi antara 0,4 20 ppm. Studi pada manusia dengan pajanan terkontrol memperlihatkan pajanan jangkapendek ke dalam konsentrasi udara berkisar antara 0,4 3 ppm menyebabkan iritasi ringan mata, hidung, dan tenggorokan.

2.2.2. Efek pada Kardiovaskular Telah terdapat beberapa penelitian mengenai efek pada kardiovaskular seperti hipotensi (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981), kolaps sirkulasi (Freestone and Bentley 1989), dan sinus takikardia (Kochhar et al.1986) akibat menelan formaldehid dosis tinggi. Namun masih belum jelas bagaimana formaldehid dapat menginduksi gejalagejala tersebut atau jika ada faktorfaktor luar yang menyertainya, tampaknya berhubungan dengan dosis besar formaldehid yang tertelan dalam waktu yang singkat.

Pada tikus ditunjukkan 525% terjadi peningkatan tekanan dara, dibandingkan dengan nilai istirahat, dalam responsnya terhadap pemberian dosis formaldehid antara 0,55mg/kg (Egle dan Hudgins 1974). Secara jelas, dosis intravena 20 mg/kg secara signifikan menurunkan tekanan darah sekitar 30% dan menginduksi transient cardiac arrest. 2.2.3. Efek pada Saluran Pencernaan: Menurut penelitian yang dilakukan oleh Appelman et al.1988; Kamata et al.1997; Kerns et al.1983b; Maronpot et al.1986; Monticello et al.1989; Woutersen et al.1987, formaldehid tidak mengakibatkan efek yang berarti pada saluran pencernaan setelah menelan formaldehid tersebut, dan hanya efek nonspesifik seperti kram perut dan flatus yang terjadi setelah terpapar formalin atau resin fenolformaldehid (Kilburn 1994). Bila terjadi pajanan akut dalam dosis besar, lesi bisa ditemukan dalam orofaring berupa ulcer dan atau nekrosis dari palatum molle dan struktur phalangeal, ulcer epiglotis, dan lesi esofagus (mengakibatkan disfagia) (Freestone dan Bentley 1989; Kochhar et al.1986). tanda klinis vagus lain berupa muntah (dengan ataupun tanpa disertai muntah berdarah) dan sakit abdominal atau kram perut juga terjadi pada beberapa kasus (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981). 2.2.4. Efek pada Hematologi: Kasus koagulopati intravaskular pernah dilaporkan terjadi pada seorang pria yang telah menelan dosis formaldehid yang besar (Burkhart et al.1990); namun pada laporan yang lain mengenai pajanan yang kecil melalui oral tidak menimbulkan efek apapun pada sistem darah (Eells et al. 1981; Freestone and Bentley 1989; Kochhar et al. 1986; Koppel et al. 1990). Sebuah studi mengenai pajanan oral pada tikus percobaan yang meminum air sebagai perantara formaldehid dengan dosis 82150mg/kg/hari, tidak menimbulkan efek apapun. 2.2.5. Efek pada Sistem Hepatik Pernah dilaporkan terjadi efek pada hepar seperti kongesti parenkim hati dan peningkatan serum enzym berhubungan dengan kerusakan hati pada manusia dengan keracunan akut formaldehid (Freestone and Bentley 1989; Koppel et al.1990). Peningkatan insidens vakuolisasi

hepatoselular terjadi pada tikus percobaan dengan dosis 80 mg/kg/hari selama 4 minggu (Vargova et al.1993). Namun studi lain tidak menemukan perubahan pada berat hati ataupun histopatologinya pada tikus percobaan yang terpapar dosis setinggi 150 mg/kg/day for 90 days (Johannsen et al. 1986), 125 mg/kg/hari selama 4 minggu (Til et al.1988b), 82109 mg/kg/hari selama 2 tahun (Til et al. 1989), dan 300 mg/kg/hari selama 2 tahun (Tobe et al. 1989). Peningkatan aktivitas enzim mengindikasikan kerusakan hati pernah dilaporkan terjadi pada tikus yang terpapar dengan dosis konsentrasi udara sebesar 35 ppm selama 18 jam (Murphy et al.1964) atau 20 ppm 6 jam/hari, 5 hari/minggu selama 13 minggu (Woutersen et al.1987). 2.2.6. Efek pada Ginjal Data yang tersedia menunjukkan bahwa sistem renal bukanlah target organ utama pajanan toksisitas formaldehid. Gagal ginjal / anuria yang terjadi pada 3 laporan kasus yang melibatkan mereka yang tertelan formaldehid dalam jumlah sangat besar ataupun yang tidak diketahui jumlahnya (Eells et al. 1981; Freestone and Bentley 1989; Koppel et al.1990). Mekanisme aksi induksi gagal ginjal tersebut masih belum jelas. Kasus nekrosis papiler pernah dilaporkan terjadi pada tikus percobaan yang menerima 82109 mg/kg/hari dalam air minum selama 2 hari (Til et al.1989), dan meningkatkan nitrogen urea darah pada tikus yang menerima dosis 300 mg/kg/hari pada air minumnya selama 12 bulan (Tobe et al.1989). 2.2.7. Efek pada Kulit: Formaldehid dikenal secara luas sebagai bahan iritan kulit dan agen sensitisasi kulit. Test Patch untuk sensitisasi kulit akan formaldehid telah dilakukan pada dosis 12% larutan karena, untuk kebanyakan individu, pajanan akut pada konsentrasi tersebut tidak menimbulkan gejala iritasi nonimun (seperti eritema, indurasi, dan bisul). Peningkatan insiden dermatitis kontak atau dermatitis kontak alergi yang berhubungan dengan pajanan kulit terhadap larutan formaldehid telah diteliti pada pekerja jasa pemakaman (Nethercott dan Holness 1988) dan diantara pekerja medis (Rudzki et al.1989).

2.2.8. Efek pada Mata: Iritasi mata merupakan keluhan tersering pada mereka yang terpajan formaldehid melalui udara. Pada kasus akut dalam studi pajanan terkontrol, kejadian iritasi mata ringan hingga sedang pada konsentrasi tingkatrendah antara 0,44 ppm; pada dosis mendekati puncaknya, semakin besar persentasi mereka yang mengalami iritasi mata (AkbarKhanzadeh and Mlynek 1997; AkbarKhanzadeh et al. 1994; Bender et al. 1983; Day et al. 1984; Gorski et al. 1992; Kulle 1993; Kulle et al.1987; Schachter et al. 1986; Weber Tschopp et al. 1977; Witek et al. 1986, 1987). Sebagai tambahan, studi survey menunjukkan peningkatan ratarata kasus iritasi mata pada group mereka yang terpajan berulang kali di rumah ataupun tempat kerja, dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar (Garry et al. 1980; Holness and Nethercott 1989; Horvath et al. 1988; Ritchie and Lehnen 1987). 2.2.9. Efek pada Metabolik: Metabolik asidosis diamati pada pasien yang menelan dosis tunggal formaldehid dengan dosis besar (>500mg/kg) (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981; Koppel et al.1990). Produksi metabolik formate yang cepat pada tingkat dosis tinggi ini sepertinya memegang peranan terjadinya asidosis yang telah diamati. 2.2.10. Efek pada sistem tubuh lainnya: Penurunan konsumsi makanan dan minuman telah diteliti pada hewan yang terpajan dosis oral formaldehid sebesar 100mg/kg/hari (Johannsen et al.1986; Til et al.1989; Tobe et al.1989). Dan penurunan konsumsi makanan ini dapat menurunkan pula berat badan, yang biasanya terjadi pada mereka yang terpajan secara kronik. II.3 MEKANISME TOKSISITAS Belum ditemukan adanya mekanisme yang jelas mengenai efek formaldehid yang dapat mengiritasi, mengkorosi, dan sitotoksik. Aldehid sebagai gugus adalah bahan kimia reaktif dengan atom oksigen elektronegatif yang tinggi dan atom karbon elektronegatif yang rendah, sehingga mempunyai potensial dipole yang cukup bermakna. Atom karbonil adalah tempat elektrofilik dari

molekulmolekul tersebut, membuatnya menjadi lebih mudah bereaksi dengan situs nukleofilik pada membran sel dan pada jaringan tubuh dan cairan seperti gugus amino pada protein dan DNA (Feron et al.1991). Juga telah diketahui bahwa formaldehid dapat membentuk hubungan silang antara protein dan DNA in vivo. Telah diketahui bahwa formaldehid bergabung dengan gugus amino bebas dari asama amino untuk menghasilkan derivatif asam amino hidroksimetil dan proton (H), yang dipercaya berhubungan dengan efek germisidal. Dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan mempresipitasi protein (Loomis 1979). Mungkin saja bahwa toksisitas formaldehid terjadi saat tingkat intraseluler mensaturasi aktivitas formaldehid dehidrogenase, memberikan proteksi alami terhadap

formaldehid, dan membuat molekul intak yang belum dimetabolisme terbuang dari tubuh. Metabolit primer formaldehid yaitu formate, diyakini tidak memberikan efek reaktif seperti formaldehid itu sendiri dan biasanya dikeluarkan melalui urin, masuk ke dalam pooling metabolik karbonsatu dan dipecah menjadi karbondioksida ataupun komponen selular lainnya. Toksisitas formaldehid adalah tergantungrute. Iritasi pada situs kontak dapat dilihat pada kasus terinhalasi (terhirup), oral, ataupun rute melalui kulit. Dosis tinggi merupakan sitotoksik dan dapat menyebabkan degenerasi dan nekrosis mukosa dan lapisan sel epitelial. Observasi ini konsisten dengan hipotesis bahwa efek toksik dimediasi oleh formaldehid itu sendiri, bukan oleh metabolitnya. Tidak ada molekul target spesifik yang telah diketahui, walaupun proteinDNA jalur silang telah dapat diidentifikasi (Casanova and Heck 1987).

III . BIOMARKER PAJANAN, EFEKNYA DAN MONITORING BIOLOGIS

Biomarker secara luas yaitu sebagai indikator suatu kejadian dalam sistem biologik ataupun sampel, yang diklasifikasi sebagai petanda pajanan, petanda efek, dan petanda penerimaan (susceptibility) (NAS/NRC 1989). 3.1. Biomarker yang digunakan untuk mengidentifikasi atau menghitung jumlah pajanan terhadap formaldehid Formaldehid adalah suatu molekul satukarbon yang sederhana dan sangat cepat diabsorbsi dan dimetabolismekan oleh manusia, termasuk hewan. Reviewreview yang terdapat pada literatur yang tersedia tampaknya gagal untuk membuat biomarker pajanan formaldehid yang dapat dipercaya. Sekali diabsorbsi, formaldehid akan menempuh empat jalur metabolik utama, dengan metabolisme membentuk formate dan CO2 yang paling sering dipakai. Berbagai percobaan telah dilakukan utk menentukan apakah dalam level urin ataupun darah, formaldehid ataupun formate dapat digunakan sebagai biomarker pajanan potensial, namun didapat hasil yang kurang memuaskan (Einbrodt et al.1976; Heck et al.1985). Biomarker efek imunologi (IgG dan IgE terhadap formaldehid terkonjugasi pada albumin serum manusia) telah dicobakan sebagai biomarker pajanan potensial terhadap formaldehid yang secara airborne. Beberapa studi melaporkan bahwa peningkatan tingkat serum antibodi terhadap formaldehidalbumin serum manusia mempunyai hubungan dengan pajanan formaldehid secara airborne dan gejalagejala gangguan pernapasan (Thrasher et al.1987, 1988b, 1989, 1990). 3.2. Biomarker yang digunakan untuk mengkarakterisasi efek yang disebabkan oleh Formaldehid Peningkatan konsentrasi eosinofil, albumin, dan total protein ditemukan dalam cairan lavase hidung yang diambil dari subjek yang terpapar formaldehid hingga 0,4 ppm selama 2 jam. (Krakowiak et al.1998; Pazdrak et al.1993). biomarker potensial lainnya pada efek terpajan berulang pada inhalasi adalah pemeriksaan histologi dari biopsi hidung seperti hilangnya selsel silia,

10

squamous displasia dan hiperplasia telah dihubungkan dengan pajanan pada studi crosssectional pajananformaldehid dan pekerja tidak terpajan (Ballarin et al. 1992; Boysen et al. 1990; Edling et al. 1988; Holmstrom et al. 1989c). 3.3. MONITORING BIOLOGIS 3.3.1. Analisis Darah Piotrowski (1997) melaporkan bahwa pekerja yang terpajan formaldehid sekitar 5ppm menunjukkan adanya 0,060,4 mg formaldehid per 100 ml. Einbrodt et al. (1976) menemukan bahwa pada lakilaki yang terpapar 0,9 ppm selama 3 jam memiliki formaldehid dalam darahnya sebanyak 0,85 mg per 100 ml. 3.3.2. Analisis Urin Konsentrasi formate ratarata dalam urin pada individu yang tidak terpapar yaitu sebesar 11,7 hingga 18 mg/liter (Boeniger 1987). Einbrodt et al. (1976) menemukan bahwa pajanan 0,93 1,19 ppm selama 8 jam meningkatkan kadar asam format di urin dengan faktor 3 hingga 7. Penelitian terbaru oleh Schmid et al. (1994) menyatakan bahwa setelah pajanan pendek namun intensif terhadap formaldehid sebesar 0,32 3,48 ppm, konsentrasi asam format dalam urin tidak berubah secara signifikan dengan konsentrasi asam format ratarata dalam urin sebelum pajanan 6,5mg/gram kreatinin dan setelah pajanan 6mg/gram kreatinin. Tidak ada perbedaan yang bermakna (r: 0,079) diantara perubahan individu dalam konsentrasi format dalam urin dan pajanan inhalasi terhadap formaldehid. Dalam prakteknya seharihari, tampaknya pajanan sedang terhadap formaldehid tidak bisa dilakkukan dengan mengukur kadar formaldehid dalam darah ataupun asam format di dalam urin, karena bergantung pada banyak faktor.

11

IV. EFEK TOKSISITAS FORMALDEHID Studi mekanistik memperlihatkan bahwa respon karsiongenik terhadap inhalasi formaldehid secara kronik pada tikus percobaan berdampak kerusakan nonneoplastik pada epitelium kavitas hidung, yang mendukung hipotesis bahwa kanker terinduksi formaldehid akan terjadi hanya pada tingkat pajanan yang sangat tinggi (Monticello et al.1996). IV.1. Genotoksisitas Menurut Yager et al.1986, terdapat bukti peningkatan ringan limfosit perifer pada pajanan 0,731,95 ppm selama 10 minggu. Penelitian lainnya menunjukkan peningkatan formasi micronuklei pada pekerja kayu (Ballarin et al.1992) dan peningkatan insiden terjadinya abnormalitas kromosom pada makrofag paruparu tikus percobaan (Dallas et al.1992). Formaldehid juga telah diketahui menginduksi aberasi kromosom (Dresp dan Bauchinger 1988; Natarajan et al.1983), meningkatkan formasi mikronukleus (Ballarin et al.1992). Intensitas insidens tersebut menunjukkan bahwa formaldehid mempunyai kemampuan untuk beraksi langsung dengan DNA. IV.2. Toksisitas pada Organ Reproduksi Formaldehid dalam jumlah yang sedikit tidak bisa menimbulkan toksisitas pada organ reproduksi. Tidak ada efek pada jumlah maupun morfologi sperma yang ditemukan pada subjek yang terpajan formaldehid (Ward et al.1984), dan peningkatan angka keguguran tidka ditemukan diantara mereka yang terpajan (Garry et al.1980). Studi terhadap hasiljadi reproduksi pada group pekerja terpajan formaldehid menunjukkan bahwa formaldehid memiliki efek toksisitas yang kecil terhadap organ reproduksi. IV.3. Toksisitas pada Efek Perkembangan Hasil dari studi terhadap manusia dan beberapa hewan menunjukkan bahwa formaldehid tampaknya tidak menyebabkan toksisitas pada perkembangan tubuh manusia ataupun hewan percobaan pada tingkat pajanan yang rendah. Tidak ada kemaknaan yang berarti diantara insiden berat lahir rendah dan tingkat udara ambien formaldehid diantara grup ibuibu yang tinggal di

12

beberapa distrik perumahan yang berbeda. Tidak ada kematian embrio ataupun efek teratogenic yang ditemukan pada studi pajanangestasional tikus percobaan yang terpajan konsentrasi udara hingga 40 ppm (Martin 1990; Saillenfait et al.1989). IV.4. Imunotoksisitas Sensitisasi kulit pada manusia sudah diketahui dengan baik dari hasilhasil tes Patch pada klinikklinik kulit di seluruh dunia (Fischer et al.1995; KiecSwierczynska 1996; Maibach 1983; Marks et al. 1995; Meding and Swanbeck 1990; Menn et al. 1991). Respon alergik yang berat akibat formaldehid, bagaimanapun juga, tampaknya jarang terjadi; hanya satu kasus respon anafilaktik berat yang pernah terjadi (Maurice et al.1986). Relevansi penemuanpenemuan tersebut akan kemungkinan sensitisasi saluran pernapasan terhadap formaldehid masih belum dapat dipastikan karena peningkatan IgE tidak berhubungan dengan jumlah dan tingkat bahaya suatu gejala, dan gejalagejala tersebut lebih mengindikasikan respon iritan dibandingkan dengan respon tipeasma yang dimediasi melalui antibodi IgE. IV.5. Neurotoksisitas Sistem saraf bukanlah target organ yang utama paparan toksik formaldehid, walaupun gejalagejala neurologis vagal dapat saja terjadi, seperti sakit kepala, kepala terasa berat, dan peningkatan waktu reaksi (Bach et al.1990). Killburn dan kolega, melaporkan bukti bahwa terjadi gejala neurologis dan gangguan performance pada tes neurobehavioral pada beberapa pekerja yang terpajan formaldehid.

13

V. PENCEGAHAN dan PENATALAKSANAAN Formaldehid biasanya ditemukan dalam kandungan udara, dan tingkatnya lebih tinggi di dalam ruangan tertutup daripada ruangan terbuka. Membuka jendela dan menggunakan kipas angin untuk memberikan udara segar di ruangan adalah cara mudah, disamping itu dengan tidak merokok dan tidak menggunakan pemanas dalam ruangan juga dapat menurunkan tingkat formaldehid di udara. Adapun program pengendalian yang bisa dilakukan antara lain : Perbaiki teknik kontrol Standar okupasi U.S 0,75 ppm/ 8 jam (TWA) ; STEL 2 ppm Peningkatan cara kerja yang aman Membuat sistem ventilasi Penggunaan respirator, baju khusus, sepatu bot, jas lab, apron, sarung tangan, goggle untuk mata sebagai APD Berlandaskan pada sifat formaldehid yang larut dalam air dan reaktivitas dan kecepatan metabolisme seluler formaldehid menjadi formate dan CO2, efek toksik formaldehid terjadi akibat formaldehid itu sendiri (bukan metabolitnya) dan dicegah masuknya formaldehid tersebut ke dalam portof entry jaringan, kecuali pada tingkat pajanan yang tinggi yang dapat mengganggu kapasitas metabolik jaringanjaringan yang terpajan tersebut. Mengenai pajanan akut formaldehid, pengobatan dimana mengdilusi atau membuang formaldehid nonreaktif dari area pajanan atau pun mendilusi formaldehid yang tertelan dengan minum susu atau air putih dapat mencegah terjadinya efek toksik. Adapun pertolongan pertama jika tubuh kontak dengan formaldehide adalah sebagai berikut: Inhalasi: bantuan napas, O2 Tertelan: Susu, arang aktif dan air. Hati2 dengan trauma korosif. Kontak Kulit: cuci kulit dan baju selama 15 menit

14

Kontak Mata: cuci selama 15 menit di air mengalir.

Penatalaksanaan keracunan akut formaldehid dengan menggunakan sodium bicarbinat iv. Berikan asam folat atau leucovorin 1 mg/kg/dose (sampai 50 mg) setiap 4 jam. Jika ada broncho spasme gunakan inhalasi 2-agonis sebagai bronchodilator. Antidot yang diberikan bersama adanya keracunan metanol adalah dengan fomepizole atau etil alkohol jika tingkat metanol melampaui 20 mg/dl. Pengendalian Perbaiki tehnik kontrol Penatalaksanaan: Gunakan sodium bicarbinat iv. Berikan asam folat atau leucovorin 1 mg/kg/dose (sampai 50 mg) setiap 4 jam untuk mengatasi keracunan akut formaldehid. Jika ada broncho spasme gunakan inhalasi 2-agonis sebagai bronchodilator. Hemodialisis Antidot yang diberikan bersama adanya keracunan metanol adalah dengan fomepizole atau etil alkohol jika tingkat metanol melampaui 20 mg/dl. Standar okupasi U.S 0,75 ppm/ 8 jam (TWA) ; STEL 2 ppm

Peningkatan cara kerja yang aman Membuat sistem ventilasi Penggunaan respirator, baju khusus, sepatu bot, jas lab, apron, sarung tangan, goggle untuk mata sebagai APD

15

\ DAFTAR PUSTAKA Burkhart KK, Kulig KW, McMartin KE. 1990. Formate levels following a formalin ingestion. Vet Hum Toxicol 32:135-137. Casanova-Schmitz M, Raymond MD, Heck H d'A. 1984b. Oxidation of formaldehyde and acetaldehyde by NAD+-dependent dehydrogenases in rat nasal mucosal homogenates. Biochem Pharmacol 33:1137-1142. Chang JCF, Gross EA, Swenberg JA, et al. 1983. Nasal cavity deposition, histopathology, and cell proliferation after single or repeated formaldehyde exposure in B6C3F1 mice and F-344 rats. Toxicol Appl Pharmacol 68:161-176. Eells JT, McMartin KE, Black K, et al. 1981. Formaldehyde poisoning: Rapid metabolism to formic acid. JAMA,J Am Med Assoc 246:1237-1238.

16

Egle JL, Hudgins PM. 1974. Dose-dependent sympathomimetic and cardioinhibitory effects of acrolein and formaldehyde in the anesthetized rat. Toxicol Appl Pharmacol 28:358-366. Freestone J, Bentley A. 1989. Case of formaldehyde poisoning. Br J Pharm Pract 11:20-21. Galli CL, Ragusa C, Resmini P, et al. 1983. Toxicological evaluation in rats and mice of the ingestion of a cheese made from milk with added formaldehyde. Food Chem Toxicol 21:313-317. Johannsen FR, Levinskas GJ, Tegeris AS. 1986. Effects of formaldehyde in the rat and dog following oral exposure. Toxicol Lett 30:1-6. Til HP, Woutersen VJ, Feron V, et al. 1989. Two-year drinking-water study of formaldehyde in rats. Food Chem Toxicol 27:77-87.

17

Anda mungkin juga menyukai