Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era globalisai seperti sekarang ini dapat membawa dampak terhadap
kehidupan global yang ditandai dengan ketatnya persaingan yang menekankan
pada faktor kualitas dan kuantitas hasil tetapi juga pada kepatuhan terhadap
standar keselamatan dan kesehatan kerja. Demikian pula dengan
meningkatnya penggunaan mesin-mesin dan bahan-bahan berbahaya
dikarenakan kebutuhan disamping memberikan kemudahan bagi suatu proses
produksi, tentunya juga ragam sumber bahaya bagi pengguna teknologi seperti
faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat K3 dan proses kerja tidak
dapat menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.
Di indonesia sangat sulit menentukan jumlah angka kerugian materi
yang muncul akibat kecelakaan kerja. Hal ini karena setiap kecelakaan kerja
perusahaan maupun instansi yang bersangkutan tidak menyampaikan kerugian
materi yang mereka alami. Begitu pula survei (International Labour
Organization) ILO menyatakan bahwa karena faktor keselamatan dan
kesehatan kerja indonesia adalah negara ke 2 dari bawah dari lebih 100 negara
yang disurvei.
Potensi bahaya hampir terdapat disetiap tempat dalam melakukan suatu
aktivitas, baik dirumah, dijalan maupun ditempat kerja. Apabila potensi
bahaya tersebut tidak dikendalikan dengan tepat maka dapat menimbulkan
bahaya kesehatan seperti kelelahan, sakit, cidera dan bahaya kecelakaan yang
yang serius. Hal tersebut telah tercantum dalam Undang-undang No.1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja bahwa pengurus perusahaan/instansi
mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat kerja yang memenuhi
syarat keselamatan dan kesehatan. Sedangkan tenaga kerja mempunyai
kewajiban untuk mencegah, mengurangi kecelakaan dan mengendalikan
timbulnya penyakit akibat kerja, pencemaran udara maupun air sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan persyaratan OHSAS 18001 bahwa organisasi harus
menetapkan prosedur mengenai identifikasi bahaya (hazard identification)
penilaian risiko (risk assessment) dan menentukan pengendaliannya (risk
control) atau HIRAC. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui
manajemen risiko bahaya kesehatan yang timbul dengan mengidentifikasi,
menilai dan mengendalikan sedini mungkin.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di
Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala
Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%,
hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan
kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Perkantoran merupakan salah satu area kerja yang sangat sering kita
temui. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa risiko bahaya dalam bekerja
tetap ada walaupun seharian hanya duduk santai di ruangan tertutup. Banyak
orang yang terlalu menyepelekan program K3 dikantor, mereka beranggapan
bahwa di kantor risiko bahayanya sedikit bahkan tidak ada dibandingkan
dengan proyek di lapangan yang banyak alat-alat berat.
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit atau
yang disingkat dengan BTKLPP merupakan salah satu instansi pemerintahan
sebagai unit pelaksana teknis bidang pelayanan kesehatan lingkungan dalam
Kementerian Kesehatan. BTKLPP Palembang mempunyai tugas salah satunya
melaksanakan pengkajian dampak kesehatan lingkungan termasuk dalam
pemantauan rutin kualitas air, udara dan lainnya dalam upaya monitoring dan
evaluasi faktor risiko pencemaran lingkungan. Selain itu BTKLPP juga
merupakan laboratorium rujukan dalam melakukan pemeriksaan sampel.
Penerapan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan cara
melakukan inspeksi rutin dalam upaya mengurangi angka kecelakaan kerja
terutama di area kerja laboratorium. Oleh karena itu, maka penulis tertarik
untuk melakukan praktikum kesehatan masyarakat khususnya ikut serta dalam
melakukan penilaian risiko kesehatan kerja yang ada di Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui
penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam hal penilaian risiko
bahaya kesehatan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang serta melakukan upaya
pengendalian risiko tersebut.

1.2.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dari penulisan laporan ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui identifikasi potensi bahaya yang terdapat di Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I
Palembang.
2. Untuk mengetahui hazard dan penilaian risiko bahaya yang terdapat di
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas
I Palembang.
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya pengendalian risiko terhadap
potensi bahaya yang terdapat di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Bagi Mahasiswa
1. Menambah wawasan dan pengetahuan dalam identifikasi bahaya dan
penilaian resiko di tempat kerja yang diobservasi langsung sehingga
dapat merencanakan tindakan pengendalian secara praktis untuk
mencegah kecelakaan.
2. Mampu menerapkan ilmu Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang
diperoleh dibangku kuliah dalam praktek pada kondisi yang
sebenarnya.
1.3.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
1. Memperkenalkan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya ke institusi-institusi terutama Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit KelasI Palembang.
2. Menambah referensi untuk mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan
di bidang Kesehatan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan.
3. Laporan hasil PKM dapat dijadikan sebagai bahan untuk evaluasi
kualitas pengajaran.

1.3.3 Bagi Instansi (BTKLPP Kelas I Palembang)


1. Sebagai masukan bagi instansi dalam mengidentifikasi bahaya dan
penilaian resiko di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang.
2. Dapat mengupayakan pencegahan dan pengendalian faktor bahaya
dan potensi bahaya dengan lebih baik.

1.4 Waktu dan Lokasi PKM


1.4.1 Waktu Pelaksanaan
Praktikum Kesehatan Masyarakata dilaksanakan dari tanggal 28 Januari
2019 sampai 28 Februari 2019.

1.4.2 Lokasi Pelaksanaan


Praktikum Kesehatan Masyarakat dilaksanakan di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


2.1.1 Definisi K3
Keselamatan kerja berarti proses merencanakan dan mengendalikan
situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan
prosedur. Sedangkan menurut Permen Pekerjaan Umum nomor 9 Tahun
2008 tentang Pedoman SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum Pasal
1 Ayat 1 menjelaskan bahwa K3 adalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan pengertian pemberian perlindungan kepada setiap orang yang
berada di tempat kerja, yang berhubungan dengan pemindahan bahan
baku, penggunaan peralatan kerja konstruksi, proses produksi dan
lingkungan sekitar tempat kerja. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) yang dikemukakan oleh Cecep dan Mitha (2013: 93) yaitu:
memelihara lingkungan kerja yang sehat, mencegah dan mengobati
kecelakaan yang disebabkan akibat pekerjaan sewaktu bekerja, mencegah
dan mengobati keracunan, menyesuaikan kemampuan dengan pekerjaan,
dan merehabilitasi pekerja yang cidera akibat pekerjaan.

2.1.2 Syarat-Syarat K3
Menurut UU RI nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
syarat-syarat dari keselamatan kerja yaitu untuk:
1. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
2. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
3. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
4. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
5. memberi pertolongan pada kecelakaan;
6. memberi alat-alat perlindungan kepada para pekerja/siswa;
7. mencegah atau mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, angin, cuaca, sinar radiasi,
suara dan getaran;
8. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik
fisik maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan;
9. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
10. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
11. menyelenggarakan penyegaran udara yang sesuai;
12. memelihara lebersihan, kesehatan dan ketertiban;
13. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya;
14. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
15. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
16. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;

2.2 Tempat Kerja


2.2.1 Definisi Tempat Kerja
Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja untuk keperluan
suatu usaha dimana terdapat sumber-sumber bahaya seperti yang
tercantum didalam pasal 1 Undang-undng No.1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja. Tempat kerja juga dapat diartikan semua ruangan,
lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagin-bagian atau
yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut (Undang-undang No.1
Kesker, 1970).

2.2.2 Desain Tempat Kerja


Kualitas bangunan memiliki dampak penting pada keselamatan dan
produktivitas pekerja dalam lingkungan kerja. Sewaktu bangunan
direncanakan, dibangun atau direnovasi, stabilitas fisik, kapasitas beban
struktural, pencegahan kebakaran dan soal keselamatan secara umum
harus dipertimbangkan dan harus memenuhi persyaratan kesehatan dan
keselamatan yang berlaku. Namun, sumber bahaya terhadap keselamatan
yang lebih umum seperti jalan keluar, koridor, gang danrute keluar dalam
situasi darurat yang terhalang atau tidak memadai juga dapat
meningkatkan kemungkinan hilangnya nyawa selama berlangsungnya
situasi darurat.

2.2.3 Fasilitas Pekerja


Secara umum, fasilitas yang didapatkan oleh pekerja laboratorium
saat bekerja berupa toilet, kamar mandi, kantin, bangunan asrama, ruang
pertolongan pertama, daerah layanan medis atau klinik, tempat untuk
berpakaian, pancuran dan daerah untuk mencuci begitupun fasilitas pada
pekerja perkantoran. Penyediaan fasilitas tersebut harus diupayakan secara
maksimal demi terciptanya kesehatan dan keselamatan kerja.

2.3 Perkantoran
2.3.1 Definisi Perkantoran
Perkantoran adalah bangunan yang berfungsi sebaga tempat
karyawan melakukan kegiatan perkantoran baik yang bertingkat maupun
tidak bertingkat. Meski seharian hanya duduk santai di ruangan tertutup,
resiko bahaya dalam bekerja tetap ada. Jangan remehkan walaupun kita
hanya bekerja di ruangan tertutup, banyak orang yang terlalu
menyepelekan Program K3 dikantor, mereka beranggapan bahwa di kantor
resiko bahaya nya sedikit bahkan tidak ada dibandinngkan dengan proyek
di lapangan yang banyak alat-alat berat.

2.3.2 K3 Perkantoran
K3 Perkantoran adalah Segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan melalui upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di kantor. Permenkes No.48
tahun 2016tentang StandarK3 perkantoran. Profil Masalah Kesehatan
Karyawan di Indonesia tahun 2005:40,5% terkena Gotrak, 8% penyakit
jantung pembuluh darah, 6%gangguan syaraf4.Riskesdas 2013: Prevalensi
cidera karenakelalaian/ketidaksengajaan pada karyawan sebesar 94,6%.
2.4 Laboratorium
Laboratorium merupakan tempat atau ruangan dimana para ilmuwan
bekerja dengan peralatan untuk penyelidikan dan pengujian terhadap suatu
bahan atau benda. Sedangkan menurut ISO/IEC Guide 2 1986,
laboratorium adalah instansi /lembaga yang melaksanakan kalibrasi dan atau
pengujian. Pemenuhan standard dimaksudkan untuk menjaga keamanan dan
keselamatan, yang utamanya adalah pekerja laboratorium yang bekerja di
dalam laboratorium terutama yang bekerja dengan mikroorganisme atau
agen patologik atau bahan kimia berbahaya.
Laboratorium juga harus menjaga keamanan dan keselamatan objek
yang ditangani terutama mikroorganisme atau agen patologik atau bahan
kimia berbahaya itu sendiri agar tidak mencemari atau mengkontaminasi
lingkungan, lingkungan internal maupun eksternal. Hal ini berarti
laboratorium harus memberikan lingkungan kerja yang aman, menjamin
keselamatan dan memberikan fasilitas yang nyaman bagi personel bekerja di
dalamnya baik yang menangani administrasi, teknis administrasi maupun
teknis pengujian/penelitian.
Berdasarkan atas prinsip bangunan standard yang harus dipenuhi,
maka sesuai dengan fungsi bagian dari bangunan, secara garis besar area
laboratorium terbagi menjadi dua yaitu area publik dan area kegiatan
laboratorium. Area publik di dalamnya meliputi ruangan kantor
administrasi teknis antara lain ruang rapat, ruang pekerja laboratorium baik
manajer, penyelia maupun analis, ruang penerimaan sampel, ruang ganti,
toilet, pantry dan ruang lain yang dapat diakses secara luas baik oleh
manajer, staf, pekerja laboratorium maupun pengunjung.
Sedangkan area kegiatan laboratorium meliputi ruang pengujian
(termasuk di dalamnya ruang preparasi), ruang alat khusus (ruang yang
berisi peralatan besar untuk melakukan metode uji tertentu misalnya alat
Gas Chromatography, High Performance Liquid Chromatography, Atomic
Absorption Spectroscopy dan lain-lain), ruang penyimpanan bahan (media,
reagen, buffer, bahan kimia dll yang diperuntukkan sebagai persediaan),
ruang penyimpanan alat termasuk di dalamnya ruang untuk sterilisasi alat.
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang maka sebaiknya jenis uji
berbeda dipisahkan ruang pengujiannya, misalnya ruang pengujian kimiawi
dipisahkan dari ruang pengujian mikrobiologi.

2.5 Bahaya
2.5.1 Definisi Bahaya
Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi
terhadap suatu kejadian kecelakaan berupa cidera, penyakit, kematian,
kerusakan atau kemampuan melaksanakan fungsi operasional yang telah
ditetapkan. Pengertian lain dari bahaya ialah faktor intrinsik yang melekat
pada suatu barang, benda, kegiatan maupun kondisi yang akan
menimbulkan dampak ataupun berkembang menjadi accident jika terjadi
kontak dengan manusia (Alfajri, 2012).
Ramli (2010) berpendapat bahwa jenis-jenis bahaya terbagi menjadi
5 jenis yaitu : bahaya mekanis, bahaya listrik, bahaya kimiawi, bahaya fisik
dan bahaya biologis. Sedangkan menurut Harsono Wiryosumarto dan
Toshie Okumura (2008: 377-392) menyebutkan beberapa sumber bahaya
dalam pekerjaan konstrksi las, yaitu cahaya, bahaya listrik, bahaya asap dan
debu, ledakan, kebakaran dan terjatuh (Harsono dkk, 2008).
Secara umum penyebab kecelakaan kerja dapat dikelompokan
menjadi dua yaitu sebab dasar dan sebab utama. Faktor yang mendasari
secara umum terhadap suatu kejadian kecelakaan disebut sebab dasar. Sebab
dasar meliputi komitmen dan partisipasi dari pihak manajemen atau
pimpinan dalam penerapan K3 pada manusia dan kondisi tempat kerja,
sarana dan lingkungan kerja. Sedangkan sebab utama yaitu adanya faktor
dan persyaratan K3 yang belum dilaksanakan meliputi unsafe action,
confuse and stress, unsafe condition dan sebagainya (Tarwaka, 2008).
2.5.2 Faktor-Faktor Bahaya
A. Bahaya kimia
Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh seperti pernapasan
(inhalation), kulit (skin absorption), tertelan (ingestion). Racun dapat
menyebabkan efek yang bersifat akut, kronis atau kedua-duanya.
1. Bahan Material (Cairan, Gas, Debu, Uap Berisiko).
2. Beracun.
3. Reaktif.
4. Radioaktif.
5. Mudah Meledak.
6. Mudah Terbakar/Menyala.
7. Iritan.
8. Korosif.
B. Bahayan Biologi
Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu organik yang
berasal dari sumber-sumber biologi yang berbeda seperti virus, bakteri,
jamur, protein dari binatang atau bahan-bahan dari tumbuhan seperti
produk serat alam yang terdegradasi. Bahaya biologi dapat dibagi
menjadi dua yaitu yang menyebabkan infeksi dan non-infeksi. Bahaya
dari yang bersifat non infeksi dapat dibagi lagi menjadi organisme
viable, racun biogenik dan alergi biogenik.
C. Bahaya Fisik
Bahaya fisik yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan
gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar,
misalnya: terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas &
dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.
- Pencahayaan
Kebutuhan yang berbeda akan penerangan, bergantung pada mesin
tertentu yang digunakan atau tugas dimana pekerja terlibat. Pada
umumnya, penerangan yang disediakan harus cukup untuk
mencegah terjadinya kecelakaan.
Tabel 1. Standar Tingkat Pencahayaan Menurut Kepmenkes
No. 1405 Tahun 2002
No Jenis Area, Lux Keterangan
Pekerjaan/Aktifitas
1 Pekerjaan kasar dan terus- 100 Ruang penyimpanan dan ruang
menerus peralatan/ instalasi yang
memerlukan pekerjaan yang
kontinyu
2 Pekerjaan kasar dan terus- 200 Pekerjaan dengan mesin dan
menerus perakitan kasar
3 Pekerjaan rutin 300 Ruang administrasi, ruang kontrol,
pekerjaan mesin dan penyusunan
4 Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau bekerja
dengan mesin kantor, pemeriksaan
atau pekerjaan dengan mesin
5 Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna, pemrosesan
tekstil, pekerjaan mesin halus dan
perakitan halus
5 Ruang penyimpanan 100 Jika ruangan digunakan bekerja
terus menerus maka tingkat
pencahayaan minimal 200 lux
6 Pekerjaan amat halus 1500 Mengukir dengan tangan,
pemeriksaan pekerjaan mesin dan
perakitan yang sangat halus
7 Tangga, eskalator, travolator 150
8 Lorong, ada pekerja 150
9 - Rak penyimpanan 200
- Ruang tunggu
- Kantin
10 Ruang ganti, kamar mandi, 200 Ketentuan ini berlaku pada
toilet masing-masing toilet dalam
kondisi tertutup
11 Pekerja terinci (Tidak 3000 Pemeriksaan pekerjaan, perakitan
menimbulkan bayangan) sangat halus
12 - Ruang P3K 500
- Ruangan perawatan
medis
Sumber : Kepmenkes No. 1405:2002
D. Bahaya Psikologi
Bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kondisi aspek-aspek
psikologis ketenagakerjaan yang kurang baik atau kurang mendapatkan
perhatian seperti penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan
bakat, minat, kepribadian, motivasi atau pendidikannya, kurangnya
keterampilan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya sebagai
akibat kurangnya latihan kerja yang diperoleh, serta hubungan antara
individu yang tidak harmoni dan tidak serasi dalam organisasi kerja.
Kesemuanya tersebut akan menyebabkan terjadinya stress akibat kerja.
E. Bahaya Ergonomi
Aspek bahaya ergonomi meliputi :
1. Pergerakan Berulang.
2. Postur/Tempat Kerja.
3. Pengangkutan Manual.
4. Design tempat kerja/alat/mesin.

2.5.3 Identifikasi Bahaya


Identifikasi bahaya merupakan suatu proses yang dapat dilakukan
untuk mengenali situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang ditimbul di tempat
kerja. Identifikasi dilakukan dengan tujuan menjelaskan risiko yang dapat
disebabkan oleh faktor-faktor bahaya di lingkungan kerja, kemudian
dilakukan penilaian risiko dengan parameter probabilty dan severity. Setelah
dilakukan penilaian risiko maka dilakukan perhitungan seberapa besar
dampak dari bahaya yang teridentifikasi tersebut dengan risk rating untuk
mengevaluasi besarnya risiko yang ditimbulkan (Tarwaka, 2008).
Metode yang dapat digunakan untuk identifikasi bahaya/risiko
adalah: inspeksi, Check list, Hazops (Hazard and Operability Studies), What
if, FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), Audits, Critical Incident
Analysis, Fault Tree Analysis, dan Event Tree Analysis. Dalam memilih
metode yang digunakan tergantung pada tipe dan ukuran bahaya/risiko.
Menurut Tarwaka (2008) proses dalam identifikasi bahaya meliputi :
1. Membuat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja, bahan, proses
kerja, sistem kerja, kondisi kerja) yang ada di tempat kerja.
2. Memeriksa semua objek yang ada di tempat kerja dan sekitarnya.
3. Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat
uang berhubungan dengan objek-objek tersebut.
4. Meriview kecelakaan, catatan P3K dan informasi lainnya.
5. Mencatat seluruh hazard yang telah teridentifikasi.

2.6 Risiko
2.6.1 Definisi Risiko
Kata risiko berasal dari bahasa Arab yang artinya hadiah yang tidak
diharap-harap datangnya dari surga. Risiko adalah sesuatu yang mengarah
pada ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan suatu
kerugian baik kerugian kecil maupun kerugian besar yang akan berpegaruh
terhadap kelangsungan hidup dari suatu tempat kerja. Pada umumnya risiko
dipandang sebagai sesuatu yang negatif seperti kehilangan, bahaya dan
konsekuensi lainnya.

2.6.2 Jenis-Jenis Risiko


Risiko dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Risiko internal yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan/instansi
itu sendiri.
2. Risiko eksternal yaitu risiko yang berasal dari luar perusahaan/instansi
atau lingkungan luar.
3. Risiko keuangan yaitu risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor
ekonomi dan keuangan seperti perubahan hagra, tingkat bungan dan
sebagainya.
4. Risiko operasional yaitu semua risiko yang termasuk risiko keuangan.
Risiko operasional dapat disebabkan oleh faktor-faktor manusia, alam
dan teknologi.
2.6.3 Faktor Risiko di Tempat Kerjaa
Berkaitan dengan faktor risiko yang mempengaruhi kondisi
kesehatan dalam melakukan pekerjaan perlu dipertimbangkan berbagai
potensi bahaya serta risiko yang bisa terjadi akibat sistem kerja atau cara
kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan serta lingkungan disamping
manusianya (Malaka, 2009).

2.6.4 Penilaian Risiko di Tempat Kerja


Penilaian risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu.
Sedangkan tingkat risiko merupakan perkalian antara tingkat keseringan dan
keparahan (severity) dari suatu kejadian yang dapat menyebabkan kerugian,
kecelakaan atau cedera dan sakit yang mungkin timbul dari pemaparan
suatu hazard di tempat kerja (Tarwaka, 2008). Sedangkan menurut Ramli
(2010) risiko K3 adalah risiko yang berkaitan dengan sumber bahaya yang
timbul dalam aktivitas ang menyangkut aspek manusia, peralatan, material,
dan lingkungan kerja.
Tingkat risiko merupakan kombinasi dari tiga hal, yaitu konsekuensi
(consequences) yang dapat terjadi pada suatu aktivitas atau tingkat
keparahan yang bisa ditimbulkan, kemungkinan (probability) konsekuensi
tersebut terjadi pada saat melakukan aktivitas yang dilakukan para pekerja.
Untuk mempermudah dalam menganalisa maka disajikan dalam bentuk
Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA). Terdapat 4 (empat)
sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan penilaian risiko di tempat
kerja dari ILO dalam Modul K3 di Tempat Kerja, yaitu untuk:
1. Mengetahui, memahami dan mengukur risiko yang terdapat di tempat
kerja;
2. Menilai dan menganalisa pengendalian yang telah dilakukan di tempat
kerja;
3. Melakukan penilaian finansial dan bahaya terhadap risiko yang ada; dan
4. Mengendalikan risiko dengan memperhitungkan semua tindakan
penanggulangan yang telah diambil.
2.6.5 Penilaian Risiko Kesehatan atau Health Risk Assessment (HRA)
Health Risk Assessment merupakan alat/cara untuk pelaksanaan
proses manajemen bahaya dan efek. Penilaian risiko sangat penting
dilakukan guna mengetahui tingkat risiko yang terjadi di tempat kerja
sehingga dapat menetapkan pencegahan dan pengendalian keselamatan dan
kesehatan kerja. Menurut HSE (1999) penilaian risiko di tempat kerja
dilakukan dengan mengikuti 5 (lima) langkah sistematis sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan mencari potensi bahaya yang terdapat di tempat
kerja.
b. Menetapkan akibat dan siapa yang terancam akibat yang ditimbulkan
oleh potensi bahaya tersebut dan bagaimana kemungkinan kejadiannya.
c. Melakukan evaluasi atau minilai risiko dan tindakan pencegahan yang
akan dilakukan.
d. Mencatat semua temuan.
e. Memeriksa hasil penilaian dan melakukan perbaikan apabila
diperlukan.

2.7 Manajemen Risiko


2.7.1 Pengertian Manajemen Risiko
Manajemen risiko secara umum dapat didefinisikan sebagai proses
mengidentifikasi, mengukur dan memastikan risiko yang kemudian
mengembangkan strategi untuk mengelola risiko tersebut. Manajemen
risiko kesehatan dan keselamatan kerja merupakan suatu upaya dalam
mengelola risiko untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak
diinginkan secara komprehensif, terencana dan terstruktur dalam suatu
sistem yang baik. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
yang selanjutnya disebut Sistem Manajemen K3 merupakan bagian dari
sistem manajemen organisasi secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, penerapan,
pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan K3 dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
2.7.2 Proses Manajemen Risiko
Manajemen risiko memiliki proses yaitu sebagai berikut :
1. Perencanaan manajemen risiko
Perencanaan meliputi langkah memutuskan bagaimana mendekati dan
merencanakan aktivitas manajemen risiko untuk suatu instansi.
2. Identifikasi risiko
Tahapan selanjutnya yaitu mengenali jenis-jenis risiko yang mungkin
dan umumnya dihadapi.
3. Analisis risiko kualitatif
Proses menilai impak dan kemungkinan dari risiko yang sudah
teridentifikasi. Proses ini dilakukan dengan menyusun risiko
berdasarkan efeknya terhadap suatu aktivitas.
4. Analisis risiko kuantitatif
Proses identifikasi secara numeric/angka probabilitas dari setiap risiko
dan konsekuensinya terhadap tujuan suatu instansi.
5. Perencanaan respon risiko
Proses yang dilakukan untuk meminimalisasikan tingkat risiko yang
dihadapi sampai batas yang dapat diterima.
6. Pengendalian dan monitoring risiko
Proses mengawasi risiko yang sudah diidentifikasi, memonitor risiko
yang tersisa dan mengidentifikasikan risiko baru, memastikan
pelaksanaan risk management plan dan mengevaluasi keefektifan
dalam mengurangi risiko.

2.7.3 Skala Pengukuran Risiko


Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa kualitatif adalah
Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360:2004. Skala
pengukurannya meliputi :
Tabel 2. Pengukuran Kualitatif Kemungkinan (Likelyhood)
Tingkat Uraian Keterangan
Almost Certain Kejadian hampir pasti terjadi disetiap
A
(Sangat Mungkin) situasi
Likely Kejadian yang berpelung terjadi
B
(Mungkin) disetiap situasi
Moderate Kejadian yang dapat terjadi (Sekali-
C
(Kadang-kadang) kali) di suatu waktu
Cenderung dapat terjadi di suatu
D Unlikely
waktu
E Rare (Jarang) Jarang terjadi
Sumber : AS/NZS 4360

Tabel 3. Ukuran Kualitatif Tingkat Keparahan (Consequense)


Tingkat Uraian Keterangan

1 Insignificatiant Tidak ada cidera dan kerugian


(Tidak Signifikan) material
2 Minor Pertolongan pertama dibutuhkan,
(Rendah) kerugian materi sedang
3 Moderate Perawatan medis, kerugian materi
(Menengah) yang cukup besar
4 Cidera serius, kehilan
Major (Besar)

5 Catastrophic Jarang terjadi


(Bencana)
Sumber : AS/NZS 4360:2004

Dalam manajemen risiko, terdapat tiga level pengendalian yaitu :


- Basic level : Hasil analisis/penilaian risiko tanpa dikelola terlebih dahulu.
- Existing level : Hasil analisis/penilaian risiko yang sudah di intervensi
menggunakan program pengendalian.
- Predicting level : Hasil analisis/penilaian risiko yang sudah di intervensi
menggunakan program yang diharapkan untuk menurunkan risiko
bahaya.
Tahapan Manajemen Risiko K3

Gambar 1. Bagan Proses Manajemen Risiko


Sumber : Australia/ New Zealand Standard AS/NZS 4360:2004

Gambar 2. Adapted from the AS/NZ 4360 Standard Risk Matrix and NHS QIS Risk Matrix
Sumber: Ramli, Soehatman. “Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam Perspektif K3
OHS Risk Management”
Keterangan:
Very High Risk : Risiko Sangat tinggi (tindakan segera dibutuhkan)
High Risk : Risiko Tinggi (perhatian manajemen senior dibutuhkan)
Medium Risk : Risiko Sedang (tanggung jawab manajemen harus ditentukan)
Low Risk : Risiko Rendah (diatur melalui prosedur rutin)
2.7.4 Pengendalian Risiko K3
Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan
dalam keseluruhan manajemen risiko. Pengendalian risiko berperan dalam
meminimalisir tingkat risiko yang ada sampai tingkat terendah atau sampai
tingkatan yang dapat ditolerir. Cara pengendalian risiko dilakukan melalui :
a. Eliminasi
Pengendalian ini dilakukan dengan cara menghilangkan sumber bahaya
(hazard). Eliminasi dapat dicapai dengan memindahkan objek kerja atau
sistem kerja yang berhubungan dengan tempat kerja yang kehadirannya
pada batas yang tidak dapat diterima oleh ketentuan, standar baku K3
atau melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan.
b. Substitusi
Pengendalian ini bertujuan untuk mengurangi risiko dari bahaya dengan
cara mengganti proses, bahan-bahan dan perlatan dengan yang lebih
rendah risikonya.
c. Engineering
Pengendalian ini dilakukan dengan merubah struktur objek kerja pada
alat, mesin, infrastruktur, lingkungan atau bangunan untuk mencegah
tenaga kerja terpapar oleh potensi bahaya seperti pemberian pengaman
mesin, penutup ban berjalan, alat bantu mekanik, pemberian absorben
suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan kebisingan tinggi.
d. Administratif
Mengurangi risiko bahaya dengan cera melakukan pembuatan prosedur,
aturan, pemasangan rambu (safety sign), tanda peringatan, training dan
seleksi terhadap kontraktor, material serta mesin, cara pengatasan,
penyimpanan dan pelabelan.
e. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri (APD) merupakan sarana pengendalian yang
digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara jika sistem
pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan
dengan cara menggunakan alat perlindungan diri misalnya safety
helmet, masker, sepatu safety, kacamata keselamatan dan alat pelindung
diri lainnya yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
2.8 Penanganan dan Penyimpanan Bahan
Kegiatan di daerah penyimpanan ini dapat menimbulkan berbagai
risiko bagi pekerja seperti: tergelincir, terjatuh, dan terjatuh dari ketinggian,
terpotong dan teramputasi, cidera tertumbuk akibat menangani material,
sumber bahaya kelistrikan; dan luka bakar termal. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penanganan dan penyimpanan material yaitu:
a) Material yang berbeda harus disimpan terpisah berdasarkan jenisnya.
b) Lebar rute utama di gudang tidak boleh kurang dari 2 meter.
c) Jarak antara setiap dua tumpukan tidak boleh kurang dari 1 meter.
d) Tumpukan sekurang-kurangnya perlu terpisah sejauh 0,5 m dari dinding.
Sumber-sumber bahaya dan kecelakaan yang terjadi yaitu disebabkan
karena bahan yang tidak baik, konstruksi bahan yang tidak tepat, penggunaan
dari alat yang tidak tepat, alat perlengkapan yang telah rusak atau aus, tata
cara penggunaan yang salah dan tanpa alat pelindung diri perorangan serta
pekerja yang tidak terlatih atau belum bersertifikat.
Berdasarkan sumber-sumber bahaya dan kecelakaan yang mungkin timbul
tersebut maka perlu dipenuhi persyaratan-persyartan umum tentang
penggunaan alat tangan, yaitu:
1. Alat-alat perkakas tangan yang dipergunakan harus terbuat dari bahan
yang bermutu baik;
2. Alat-alat perkakas tangan hanya dipakai untuk jenis dan kegunaan
dimana alat-alat itu dirancang;
3. Apabila tidak dipakai alat-alat perkakas tangan yang bertepi tajam atau
berujung runcing harus dilengkapi pelindung tepi atau ujung;
4. Alat alat tangan dilarang berserakan dilantai, jalur jalan atau tempat
dimana orang lalu lalang atau bekerja;
5. Harus disediakan lemari, rak dan gantungan yang sesuai dengan alat-alat
perkakas dan ditempatkan dekat bangku kerja; dan
6. Penggunaan alat perkakas tangan harus disimpan dan dipelihara oleh
orang yang bertanggungjawab dan diberikan kepada operator yang
berwenang menggunakannya dan mengembalikan setelah selesai dipakai.
2.9 Pengamanan Mesin
Sumber bahaya ini dapat bersifat fisik, listrik, termal, terkait dengan
pendengaran. Sumber bahaya ini dapat bersifat fisik, listrik, termal, terkait
dengan pendengaran atau lainnya. Dua prinsip dasar kontrol sumber bahaya
yang harus dipertimbangkan dalam mengurangi sumber bahaya mesin adalah:
(1) meniadakan atau mengurangi resiko dengan memasang pengaman atau
pelindung pada mesin, dan (2) melindungi pekerja dengan peralatan pelindung
pribadi yang spesifik untuk resiko tertentu.
Berikut paparan mengenai panduan untuk keamanan mesin menurut Adidas
Group (2013):
1) Semua mesin dan penerangan harus dihubungkan ke sumber dayanya
dengan koneksi (hubungan) yang tepat yang digunakan dalam instansi.
2) Mesin individu harus memiliki saklar pemutus daya daruratnya sendiri
yang mudah dijangkau dari posisi operator yang lazim.
3) Harus dilakukan pemeriksaan dan perawatan rutin atas semua mesin
produksi untuk memastikan semua mekanisme pengaman sudah efektif,
dan catatan pemeriksaan serta perawatan harus dikelola oleh instansi.
4) Harus ada pelindung jarum.
5) Pelindung yang saling terkunci dan penghentian darurat harus disediakan
pada alat yang berputar.
BAB III
DESKRIPSI TEMPAT PKM

3.1 Gambaran Umum


3.1.1 Sejarah BTKLPP Kelas I Palembang
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
atau yang disingkat dengan BTKLPP, BTKLPP Kelas I, dan BTKLPP
Kelas II merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian
Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
267/MENKES/SK/III/2004 dan diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 2349/MENKES/PER/XI/2011, tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit.
Awal Kantor BTKL-PP Palembang berada di pusat kota, terletak di
Jalan Jenderal Sudirman KM. 2,5 No. 7490 Palembang. Lokasi tersebut
merupakan daerah yang strategis karena dilalui sarana transportasi baik
umum maupun pribadi dari dan menuju ke segala arah. BTKL-PP
Palembang berdiri sebagai suatu lembaga pada tahun 2000. Berdirinya
BTKL Palembang atas prakarsa dari dr. Nyoman Kandun, MPH bersama
stafnya Atrisman, SKM, MM yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur
Penyehatan Lingkungan Ditjen PPM-PL Depkes RI, Kepala Kanwil
Departemen Kesehatan Provinsi Sumsel bersama stafnya Amar Muntaha,
SKM, M.Kes.
Melalui diskusi tentang hasil kegiatan dan pantauan kesehatan
lingkungan di wilayah Sumatera Selatan, Kabupaten Bangka, Pangkal
Pinang dan Belitung itu akhirnya dr. Nyoman Kandun, MPH dan dr. MN.
Anwar, SKM sepakat memerintahkan Atrisman Nukman, SKM, MM
sebagai utusan dirjen PPM-PL Depkes dan Amar Muntaha, SKM, M.Kes
staf Kanwil Depkes Provinsi Sumsel untuk menyusun proposal agar di
Palembang dapat berdiri BTKL yang sifatnya regional membawahi
Provinsi Sumsel, Bengkulu dan Jambi serta Provinsi Lampung.
Dalam Proses pembentukan BTKL Amar Muntaha, SKM, M.Kes
menyiapkan kelengkapan data guna menyusun proposal, maka sejak 1998
BTKL Palembang sebagai embrio sudah dianggap ada dan berkantor di
Kanwil Depkes Provinsi Sumsel, dan dipimpin oleh Amar Muntaha, SKM,
M.Kes sebagai koordinatornya. Sejak saat itulah dalam kegiatan Direktoral
jendral PPM-PL selalu diikutkan. Pada tahun yang sama Koordinator
BTKL Palembang didampingi oleh dr. Mualim Rasyid, pada sat itu masih
menjabat sebagai Kasubdin Penyehatan Lingkungan.
Bersama dr.Mualim Rasyid inilah Amar Muntaha, SKM, M.Kes
mempresentasikan kesiapan BTKL Palembang untuk dilembagakan secara
resmi oleh Menpan RI. Hasil dari pertemuan tersebut BTKL Palembang
diharuskan menyiapkan gedung, personil dan peralatan terlebih dahulu,
dan alhamdulillah berkat kegigihan dan kebersamaan saat itu
didapatkanlah gedung eks Farmasi di Jl. Jendral Sudirman KM.2,5
No.7490. Peralatan kantor didapat dari Kanwil Depkes Provinsi Sumsel,
sedangkan sumber daya manusia didapat dari Dinkes Provinsi Sumsel dan
Kanwil Depkes Provinsi Sumsel.
Setelah dilakukan kelayakan dari Menpan RI maka status lembaga
BTKL Palembang dapat terbentuk tahun 2000 dengan wilayah kerja
Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu, sebagai PLT.
Kepala Amar muntaha, SKM, M.Kes.
1. Tahun 2000 - 2001, BTKL Palembang dipimpin oleh dr. Amri
Alamsyah.
2. Tahun 2002 - 2011, BTKL-PPM Palembang dipimpin dr.Indra
Martriandra, M.Kes.
3. Tahun 2011 - 2012, BTKL-PP Palembang dipimpin oleh Ibu Titi Sari
Renowati, SKM, M.Sc.PH.
4. Tahun 2012 - Sekarang, BTKL-PP Palembang dipimpin oleh Dr.
Amar Muntaha, SKM, M.Kes
Sejak kepemimpinan kembali di tangan Dr. Amar Muntaha, SKM,
M.Kes Tahun 2012, maka beliau menganggap kantor BTKLPP Palembang
saat itu tidak layak lagi untuk ditempati sebagai kantor wilayah kerja
Sumatera Selatan, maka beliau mengusulkan untuk membeli tanah untuk
Direktorat Jenderal PP & PL yang berada di Jl. Sultan Mahmud
Badaruddin II KM.11 No.55, Alang-Alang Lebar, Palembang, Sumatera
Selatan. Sejak Tahun 2013-2014 dilakukan pembangunan kantor BTKLPP
Palembang sehingga nilai cerminan yang sehat dan juga ditangan beliau
BTKLPP Palembang telah Terakreditasi & ISO IEC 17025-2008.
BTKLPP mempunyai tugas melaksanakan surveilans epidemiologi,
kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu,
kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model dan teknologi
tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB di bidang
pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.

Gambar 3. Lokasi BTKLPP Kelas I Palembang


3.1.2 Visi dan Misi
A. Visi
BTKLPP Kelas I Palembang mempunyai visi dalam
menyelanggarakan tugas dan fungsinya yaitu “Pusat Unggulan
Regional Surveilans Faktor Risiko Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan Berbasis Laboratorium”.

B. Misi
Guna mencapai visi, BTKLPP Palembang menetapkan 5 misi yaitu :
1. Menguji, mengkaji dan mengupayakan solusi terhadap faktor risiko
lingkungan dan penyakit;
2. Menyiapkan, menyusun, mengembangkan dan menerapkan
Teknologi Tepat Guna di masyarakat;
3. Mengembangkan Teknologi Laboratorium dan Rujukan;
4. Melakukan advokasi dan mengembangkan komunikasi, informasi
dan edukasi;
5. Melakukan peningkatan SDM dan pemberdayaan masyarakat
melalui pelatihan

3.1.3 Wilayah Kerja


Berdasarkan Permenkes RI Nomor 2349/MENKES/PER/XI/2011,
wilayah kerjayang dilayani oleh BTKLPP Kelas I Palembang mencakup 3
(tiga) Propinsi, yaitu Propinsi Sumatera Selatan dengan luas wilayah
87.421,24 km2 dan jumlah penduduk 8.266.983 jiwa (BPS Propinsi
Sumatera Selatan, 2017), Propinsi Bangka Belitung dengan luas wilayah
16.424,23 km2 dengan jumlah penduduk 1.401.827 jiwa (BPS Propinsi
Babel, 2015) dan Propinsi Bengkulu dengan luas wilayah 19.919,33 km2
dengan jumlah penduduk 1.874.900 jiwa (BPS Propinsi Bengkulu, 2015).
3.1.4 Struktur Organisasi

Kepala
Ir. Deni Mulyana, M.Kes

Sub Bagian Tata Usaha


Anisyah, S.KM, M.Sc

Seksi PTL Plh Seksi ADKL


Seksi SE
Dr. Erma Agustina, Anisyah, S.KM,
Heriyanto, ST, MKM
ST, MKM M.Sc

Kelompok
Instalasi
Instalas Pangkat
Instalas Fungsional
i
i

Gambar 4. Struktur Organisasi BTKLPP

1. Sub Bagian Tata Usaha


Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan penyusunan
program, pengelolaan informasi, evaluasi laporan, keuangan, kepegawaian,
urusan tata usaha, perlengkapan dan rumah tangga.

2. Seksi Sureveilans Epidemiologi


Seksi Surveilans Epidemiologi mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan perencanaan, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan surveilans
epidemiologi penyakit menular dan tidak menular, advokasi dan fasilitas
kesiapsiagaan dan penganggulangan Kejadian Luar Biasa, kajian dan
diseminasi informasi, kesehatan lingkungan, kemitraan dan jejaring kerja
serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
3. Seksi Pengembangan Teknologi dan Laboratorium
Seksi Pengembangan Teknologi dan Laboratorium mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan koordinasi
pelaksanaan penapisan teknologi dan laboratorium, kemitraan dan jejaring
kerja, kesehatan lingkungan, kesehatan matra serta pendidikan dan pelatihan
bidang teknologi dan laboratorium pengendalian penyakit.

4. Seksi Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan


Seksi Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan koordinasi
pelaksanaan analisis dampak lingkungan fisik, kimia, biologi serta pendidikan
dan pelatihan di bidang pengendalian penyakit, kesehatan penyakit dan
kesehatan matra.

5. Instalasi
Instalasi merupakan fasilitas penunjang penyelenggaraan pelayanan
laboratorium klinik dan laboratorium kesehatan masyarakat serta penunjang
admisnistrasi. Instalasi dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan bertanggungjawab pada penyelenggaraan kegiatan
dan fasilitas pelayanan pada instalasi. Jenis instalasi disesuaikan dengan
kebutuhan dan pengembangan pelayanan. Jumlah dan jenis instalasi yang
ditetapkan oleh kepala BTKLPP dan telah mendapat perstujuan tertulis dari
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Instalasi-instalasi tersebut adalah :
a. Instalasi Laboratorium Kimia Air
b. Instalasi Laboratorium Kimia Udara
c. Instalasi Laboratorium Biologi
d. Instalasi Laboratorium Entomlogi dan Pengendalian Vektor
e. Instalasi Laboratorium Pemeliharaan Alat, Kendali Mutu dan Kalibrasi
f. Instalasi Laboratorium PCR
g. Instalasi Media Reagensia
h. Instalasi Pemeliharaan Alat, Kendali Mutu dan Kalibrasi
i. Instalasi Teknologi Tepat Guna
j. Instalasi Pengendalian Penyakit Tidak Menular
k. Instalasi Pengendalian Penyakit Menular
l. Instalasi Pelayanan Teknis
m. Instalasi K3 dan Limbah
n. Instalasi Pendidikan dan Pelatihan

6. Jabatan Fungsional
Kelompok jabatan fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional
yang terbagi atas berbagai kelompok jabatan fungsional sesuaidengan bidang
keahliannya. Masing-masing kelompok jabatan fungsional dikoordinir oleh
seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk Kepala BTKLPP Palembang.

3.1.5 Kebijakan dan Strategi


1. Mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi
faktor risiko dan kewaspadaan dini dengan fokus pemantauan wilayah
kerja;
2. Meningkatkan cakupan pengendalian dampak/faktor risiko
lingkungan;
3. Meningkatkan kualitas layanan Laboratorium dengan Akreditasi
Laboratorium;
4. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan alat, bahan, dan reagensia guna
mendukung penyelenggaraan program;
5. Meningkatkan dan memantapkan jejaring lintas program, lintas sektor
masyarakat dan swasta melalui advokasi, sosialisasi dan pelatihan;
6. Meningkatkan kemampuan SDM melalui pendidikan dan pelatihan.
3.1.6 Tugas dan Fungsi Pokok
BTKLPP Kelas I Palembang merupakan Unit Pelaksana Teknis
Eselon IIIA di lingkungan Kementerian Kesehatan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 2349/MENKES/PER/XI/2011, mempunyai
struktur organisasi yang terdiri dari satu Kepala Balai, satu Sub Bagian
Tata Usaha dan tiga Seksi, serta 13 Instalasi dan kelompok jabatan
fungsional. BTKLPP Palembang mempunyai fungsi:
1. Pelaksanaan surveilans epidemiologi;
2. Pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL);
3. Pelaksanaan laboratorium rujukan;
4. Pelaksanaan pengembangan model dan teknologi tepat guna;
5. Pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi;
6. Pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB/wabah dan bencana;
7. Pelaksanaan surveilans faktor risiko penyakit tidak menular;
8. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan;
9. Pelaksanaan kajian dan pengembangan teknologi pengendalian
penyakit, kesehatan lingkungan dan kesehatan matra;

3.1.7 Program dan Kegiatan


Mendukung terselenggaranya Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit secara berhasil-guna dan berdaya-guna, melalui 3
(tiga) kegiatan utama dan 1 (satu) kegiatan penunjang, yaitu :
1. Pelaksanakan Surveilans Epidemiologi;
2. Pelaksanaan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan;
3. Penyelenggaraan Laboratorium dan Pengembangan Teknologi Tepat
Guna;
4. Dukungan Administrasi dan Manajemen.
3.2 Gambaran Khusus
3.2.1 Instalasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Limbah
Instalasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Limbah
merupakan salah satu unit kerja yang berada di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang. Dalam
kegiatan rutin Instalasi K3 berkoordinasi atau bertanggung jawab langsung
kepada Seksi Pengembangan Teknologi dan Laboratorium. Instalasi K3
mempunyai 5 (lima) orang staf yang terdiri dari 3 perempuan dan 2 laki-
laki dengan Kepala Instalasi K3 yaitu Desmawati ST, M.Kes.
Instalasi K3 mempunyai tugas menyusun dan merencanakan
Program dan SOP K3 dan pengolahan limbah, mensosialisasikan program
dan SOP K3 dan pengolahan limbah, mengumpulkan data demografi
kesehatan pekerja berupa data kebugaran, data penyakit, data kecelakaan
kerja, data absensi, data kematian, melakukan pemantauan lingkungan
kerja, sanitasi dan keamanan, menetapkan tempat-tempat berisiko,
memfasilitasi sarana dan prasarana K3 pekerja, melakukan inspeksi dan
pengecekan rutin ketersediaan APD, membuat rambu-rambu keselamatan
melakukan pemeliharaan IPAL berupa monitoring harian, bulanan dan
triwulan dan melakukan monitoring dan evaluasi implementasi K3.

3.2.2 Kegiatan Instalasi K3


Kegiatan Instalasi K3 di BTKLPP Palembang meliputi :
1. Pemantauan dan Pemeriksaan Limbah Cair (IPAL) BTKLPP
Pemantauan dan pemeriksaan limbah cair Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit dilakukan setiap hari dengan
parameter yang dijuji adalah pH, suhu, Total Disolved Solid (TDS),
Total Suspended Solid (TSS). Sampel yang diambil berupa inlet
(sebelum dilakukan pengolahan) dan outlet (sesudah dilakukan
pengolahan). Setelah dilakukan pemeriksaan sampel limbah kemudian
hasil dicatat pada lembar pemantauan rutin limbah.
2. Kebugaran Jasmani
Kegiatan kebugaran jasmani yang diadakan berupa senam yang
dilakukan setiap hari jumat sebelum melakukan aktifitas kantor dan
kegiatan peregangan yang dilakukan setiap hari pada jam 10.00 dan
jam 14.00 selama 5 menit guna merelaksasikan tubuh sejenak setelah
2 jam bekerja.

3. Inspeksi K3
Kegiatan inspeksi K3 dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali untuk
melakukan pengecekan apakah sarana dan prasarana di ruang kerja
masih layak dipakai atau tidak seperti APAR serta melihat kesesuaian
penataletakkan sarana prasarana sesuai atau tidak dengan tempatnya
untuk menghindari adanya kecelakaan kerja.

4. Penyediaan, Pemasangan dan Perbaikan Rambu Norma K3


Instalasi K3 bertugas untuk menyediakan sarana prasarana Alat
Pelindung Diri bagi pekerja lainnya. Dilakukan juga pemasangan
rambu-rambu keselamatan pada setiap sudut sesuai potensi bahaya
yang ditimbulkan guna menghindari terjadinya kecelakaan kerja dan
melakukan perbaikan apabila penerapan K3 ada ketidaksesuaian.

3.2.3 Dasar Hukum


Permenkes RI No. 2349/Permen/SK/III/2011, tentang Organisasi dan Tata
Kerja Unit Pelaksanaan Teknis di bidang Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit.

.
BAB IV
HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang hasil pengukuran dan pembahasan


mengenai identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko di beberapa
ruang kerja dan laboratorium BTKLPP Palembang.

4.1 Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Kerja


Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan dengan melihat aktifitas
di ruang kerja dan laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan maka
didapat potensial hazard sebagai berikut :
1. Faktor Fisik (Pencahayaan, Suhu dan Kelembaban)
Pekerja baik yang berada diruang kerja maupun laboratorium dapat
mengalami gangguan penglihatan, kelelahan mata dan lainnya
dikarenakan intensitas cahaya yang tidak cukup, suhu dan kelembaban
yang kurang baik.
2. Faktor Kimia (Gas, Panas, Cairan Bahan Kimia)
Pekerja dibagian laboratorium akan terpapar oleh gas, uap dan
penggunaan cairan kimia pada saat melakukan pemeriksaan baik
pemeriksaan kimia air, udara maupun biologi.

4.2 Hasil Pengukuran


Pengukuran fisik yang dilakukan pada masing-masing area/ruang meliputi :
4.2.1 Suhu dan Kelembaban
Alat Ukur : Hygrothermometer
Prosedur pengukuran kelembaban dan suhu dengan Hygrothermometer
1. Nyalakan instrument dengan menekan tombol ON/OFF.
2. Tempatkan instrument diarea yang akan diukur.
3. Tunggu beberapa saat hingga pembacaan menjadi stabil.
4. Tekan tombol MODE untuk mengganti satuan pengukuran
kelembaban %RH, g/m3 dan r/ft3.
5. Tekan tombol oC/oF untuk mengganti satuan pengukuran suhu oF,
suhu oC, Dew point oC, Dew point oF, Wet bulb oC, Wet bulb oF.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Hasil
No Ruangan/Area
Suhu Kelembaban
1 Laboratorium Kimia Air 27.9OC 56%
2 Laboratorium Kimia Udara 26.1 OC 45%

3 Laboratorium Biologi 26.1 OC 62%


4 Seksi Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan 26.5 OC 59%
5 Ruang Persediaan dan ATK 27.7OC 66%
6 Ruang Staff Tata Usaha 27.4OC 58%

4.2.2 Pencahayaan
Alat Ukur : Luxmeter atau digital light meter
B. Pengukuran umum
Prosedur Kerja Lux Meter :
1. Menentukan 5 titik pengambilan sample, jarak dari dinding
pemantul minimal 1 meter ( 4 titik pada sudut-sudut ruang dan 1
titik ditengah ruang).
2. Meletakkan pegangan display alat dengan ketinggian 1 meter di
atas lantai dan dinding.
3. Mengarahkan reseptor pada sumber cahaya.
4. Menghidupkan dengan menggeser tombol On/Off.
5. Mencatat angka yang muncul pada display.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Pencahayaan


Hasil
No Ruang/Area
(Rata-Rata)
1 Laboratorium Kimia Air 194,3 Lux
2 Laboratorium Kimia Udara 190,9 Lux
3 Laboratorium Biologi 165,1 Lux
4 Seksi Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan 91,2 Lux
5 Ruang Staff TU 185,5 Lux

6 Ruang Persediaan dan ATK 90 Lux.


4.3 Pembahasan
4.3.1 Laboratorium Kimia Air
Pengukuran pencahayaan yang dilaksanakan di ruang Laboratorium
Kimia Air, dimana pengukuran dilakukan dengan pencahayaan umum
menggunakan Lux meter. Pengukuran pencahayaan umum dilakukan di 10
titik dalam ruang laboratorium dan perhitungan rata-rata pengukuran
diperoleh hasil sebesar 194,3667 Lux. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri, standar pencahayaan di tempat kerja laboratorium adalah 200 lux.
Pengukuran pencahayaan yang dilakukan di laboraturium kimia air
Ruang laboratorium yang di ukur memiliki luas ruangan sebesar 9x6 m2.
Berdasarkan hasil pengukuran umum tersebut, intensitas pencahayaan
yang ada di laboratorium kimia air BTKLPP belum memenuhi batas
minimum pencahayaan di laboraturium yaitu 200-500 Lux. Selain itu,
dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban laboratorium dengan
menggunakan Hygrothermometer. Hasil pengukuran suhu sebesar 27.9OC
dengan tingkat kelembaban 56%. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004, standar suhu dan kelembaban di
laboratorium adalah 22-26 OC dengan kelembaban 35-60%. Maka suhu
dan kelembaban di laboratorium kimia air BTKLPP Palembang masih
diambang batas normal.
Laboratorium kimia air merupakan salah satu tempat kerja yang
sebagian besar kegiatannya menggunakan alat/mesin dan bahan kimia
berbahaya. Pengaruh yang mengakibatkan penerangan yang buruk, antara
lain kelelahan mata, kelelahan mental, kerusakan alat penglihatan, keluhan
pegal disekitar mata. Selain itu faktor suhu dan kelembaban juga dapat
mempengaruhi kualitas kinerja karyawan. Apabila suhu terlalu tinggi
maka pekerja akan merasa gerah dan panas sehingga dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan juga sebaliknya.
4.3.2 Laboratorium Kimia Udara
Pengukuran pencahayaan yang dilaksanakan di ruang Laboratorium
Kimia Udara, dimana pengukuran dilakukan dengan pencahayaan umum
menggunakan Lux meter. Pengukuran pencahayaan umum dilakukan di 8
titik dalam ruang laboratorium dan perhitungan rata-rata pengukuran
diperoleh hasil sebesar 190,975 Lux. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri, standar pencahayaan di tempat kerja minimal adalah 100 lux.
Pengukuran pencahayaan yang dilakukan di laboraturium kimia
udara BTKLPP dilaksanakan saat cuaca cerah. Ruang laboratorium yang
di ukur memiliki luas ruangan sebesar 5x6 m2. Berdasarkan hasil
pengukuran umum tersebut belum memenuhi batas minimum pencahayaan
di laboraturium yaitu 200-500 Lux. Penerangan yang kurang dapat
menimbulkan gangguan pada pekerja bahkan dapat menimbulkan
kecelakaan kerja.
Selain itu, dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban
labroatorium dengan menggunakan Hygrothermometr. Hasil pengukuran
suhu sebesar 26.1 OC dengan tingkat kelembaban 45%. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004, standar suhu dan
kelembaban di laboratorium adalah 22-26 OC dengan kelembaban 35-60%.
Maka suhu dan kelembaban di laboratorium kimia air BTKLPP
Palembang masih diambang batas normal. Faktor suhu dan kelembaban
juga dapat mempengaruhi kualitas kinerja karyawan. Apabila suhu terlalu
tinggi maka pekerja akan merasa gerah dan panas sehingga dapat
menimbulkan ketidaknyamanan dan juga sebaliknya. Laboratorium kimia
udara merupakan tempat kerja dimana kualitas udara dan ventilasi sangat
perlu diperhatikan dikarenakan para pekerja terpapar langsung oleh gas,
debu dan material lainnya.
4.3.3 Laboratorium Biologi
Pengukuran pencahayaan yang dilaksanakan di ruang Laboratorium
Biologi, dimana pengukuran dilakukan dengan pencahayaan umum di 12
titik dengan luas ruangan sebesar 7x6 m2. dalam ruang laboratorium dan
perhitungan rata-rata pengukuran diperoleh hasil sebesar 165,1667 Lux.
Berdasarkan hasil pengukuran umum tersebut belum memenuhi batas
minimum pencahayaan di laboraturium yaitu 200-500 Lux sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri. Hal ini juga dikarenakan pada saat
pengukuran ada lampu yang padam sehingga mengurangi intensitas
pencahayaan di laboratorium. Laboratorium biologi sangat memerlukan
intensitas cahaya yang cukup tinggi dikarenakan melakukan pemeriksaan
dengan melihat objek-objek kecil seperti microorganisme menggunakan
microscope sehingga membutuhkan tingkat ketelitian yang cukup tinggi
Selain itu, dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban
labroatorium dengan menggunakan Hygrothermometr. Hasil pengukuran
suhu sebesar 26.1OC dengan tingkat kelembaban 62%. Menteri Kesehatan
RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004, standar suhu dan kelembaban di
laboratorium adalah 22-26OC dengan kelembaban 35-60%. Untuk
kelembaban dilaboratorium cukup tinggi, hal inilah yang dapat memicu
timbulnya microorganisme seperti jamur dan lainnya. Sedangkan
pengaturan suhu di laboratorium biologi masih diambang batas normal.

4.3.4 Ruang Persediaan dan Alat Tulis Kantor


Pengukuran pencahayaan yang dilaksanakan di Ruang Persediaan
dan Alat Tulis Kantor dimana pengukuran dilakukan dengan pencahayaan
umum menggunakan Lux meter. Pengukuran pencahayaan umum
dilakukan di 8 titik dan diperoleh hasil sebesar 90 Lux. Berdasarkan
KepMenKes RI No.1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, standar
pencahayaan di tempat kerja (perkantoran) minimal adalah 100 lux.
Ruang Persediaan dan ATK BTKLPP memiliki luas ruangan sebesar
9x6 m2. Berdasarkan hasil pengukuran umum tersebut belum memenuhi
batas minimum pencahayaan di ruang penyimpanan. Hal ini dapat terjadi
karena pengukuran dilakukan pada saat penerangan tidak maksimum yaitu
ketika semua lampu dalam keadaan tidak menyala hanya berdasar pada
pencahayaan alami. Penyebab lainnya adalah rak-rak penyimpanan yang
besar sehingga menghalangi cahaya yang berasal dari luar untuk masuk
secara merata ke dalam ruangan.
Hasil pengukuran suhu sebesar 27.7OC dengan kelembaban 66%
artinya suhu diruang persediaan cukup panas. Ruang Persediaan dan ATK
merupakan tempat penyimpanan semua peralatan, bahan dan keperluan
lainnya. Selain itu penataletakkan barang, peralatan juga harus sangat
diperhatikan karena dengan kondisi penrangan yang kurang dapat
menimbulkan kesalahan kerja seperti tertimpa barang berat, tersandung
dan lainnya sehingga menimbulkan kecelakan kerja.

4.3.5 Ruang Seksi ADKL


Pengukuran pencahayaan di Ruang Seksi ADKL menggunakan Lux
meter. Pengukuran pencahayaan umum dilakukan di 8 titik dan diperoleh
hasil sebesar 91,2 Lux. Ruang ADKL memiliki luas ruangan 8x4 m2
dengan jumlah staff sebanyak 6 orang. Intensitas pencahayaan di ruang
ADKL belum memenuhi batas minimum pencahayaan di ruang kerja
(perkantoran) yaitu 150-300 Lux berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tirai jendela yang jarang dibuka
selama aktifitas kerja berlangsung, keberadaan lemari besar penyimpanan
arsip laporan. Penerangan yang kurang dapat mempengaruhi kinerja
dimana tugas Seksi ADKL berhubungan dengan penyusunan laporan dan
penggunaan komputer yang rutin sehingga dapat mengakibatkan kelelahan
dan gangguan pada mata.
Selain itu, dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban dengan
menggunakan Hygrothermometr. Hasil pengukuran suhu sebesar 26.5 OC
dengan tingkat kelembaban 59%. KepMenKes No.
261/MENKES/SK/II/1998 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja menetapkan standar penyehatan udara ruangan suhu sebesar 18-26
O
C dengan kelembaban 40-60%. Maka suhu dan kelembaban diruang
Instalasi ADKL dapat dikatakan baik sehingga pekerja dapat beraktifitas
dengan nyaman.

4.3.6 Ruang Staff Tata Usaha


Pengukuran pencahayaan yang dilaksanakan di Ruang Staff Tata
Usaha menggunakan Lux meter. Pengukuran pencahayaan umum
dilakukan di 12 titik dan diperoleh hasil rata-rata sebesar 185,5 Lux.
Berdasarkan KepMenKes RI No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri,
standar pencahayaan di tempat kerja (perkantoran) minimal adalah 100
Lux dengan luas ruangan sebesar 7x6 m2. Berdasarkan hasil pengukuran
umum tersebut belum memenuhi batas minimum pencahayaan di ruang
kerja (perkantoran) yaitu 150-300 Lux. Ruang Staff TU merupakan salah
satu tempat kerja yang sebagian besar kegiatan menggunakan komputer
dalam penyusunan laporan dan arsip. Banyaknya lemari penyimpanan
arsip yang berukuran besar juga dapat menjadi faktor sehingga
menghalangi cahaya dari luar masuk secara merata ke dalam ruangan.
Selain itu, dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban dengan
menggunakan Hygrothermometr. Hasil pengukuran suhu sebesar 27.4OC
dengan tingkat kelembaban 58%. KepMenKes No.
261/MENKES/SK/II/1998 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja menetapkan standar penyehatan udara ruangan suhu sebesar 18-26
O
C dengan kelembaban 40-60%. Maka dapat dikatakan bahwa kelembaban di
ruang staff TU BTKLPP sudah baik, sedangkan suhu ruangan panas dengan. Hal
ini dapat dikatakan kurang baik dengan kondisi suhu seperti itu dikarenakan staff
di bagian TU dan Keuangan berjumlah 7 orang berada di satu ruangan.
4.4 Penilaian Risiko Bahaya Kesehatan

Tabel 6. Health Risk Assessment

Likely Rekomendasi
No Variabel/Kegiatan Hazard/Bahaya Dampak Consequence Level Risk
hood Upaya Pengendalian
1 Pemeriksaan sampel Bahan kimia gas asam Gangguan
C 2 Low Alat Pelindung Diri
menggunakan lemari terhirup pernapasan
asam
Blower penghisap asam Keracunan
tersumbat/tidak bekerja D 3 Medium Administrasi
dengan baik

2 Analisa logam pada Penguapan bahan kimia Gangguan


sampel menggunakan akibat pembakaran pernapasan C 2 Low Alat Pelindung Diri
Atomic Absorption
Spectrophotometer
Suhu panas yang Dehidrasi,
(AAS)
mencapai 500-2000OC kelelahan, D 2 Low Alat Pelindung Diri
tangan terbakar

3 Pemeriksaan air Bau bahan yang sangat Gangguan


limbah menggunakan menyengat membuat indera
masker yang tidak tidak nyaman penciuman,
D 1 Low Alat Pelindung Diri
sesuai tidak
konsentrasi
4 Pembuatan Media cair meledak Iritasi kulit dan
Reagen/Media karena suhu mata, sesak
E 3 Medium Administrasi
tinggi napas,
kebakaran

Terpapar uap bahan Iritasi kulit dan


kimia mata, sesak B 1 Medium Alat Pelindung Diri
napas

5 Sampling udara Pompa hisap tidak Gangguan


ambien bekerja dengan baik saluran
menggunakan sehingga udara tidak pernapasan,
tertarik ke dalam tabung
impinger iritasi, D 3 Medium Administrasi
impinger yang berisi
larutan penangkap keracunan, luka
bakar

6 Tidak menggunakan Terkena percikan atau Terluka, iritasi


sepatu safety/tertutup cairan kimia kulit
di laboratorium pada D 2 Low Alat Pelindung Diri
saat pemeriksaan
sampel

7 Alat-alat kimia tidak Apabila alat-alat Terkena


ditempatkan pada tersenggol /terjatuh serpihan kaca
D 2 Low Administrasi
lemari (laboratorium
volumetrik)
8 Kabel-kabel yang Terjadi arus pendek atau Tersengat arus Engginering
tidak tertata kabel terkena air listrik, E 4 Ekstrim
kebakaran

9 Penggunaan hotplate Petugas tidak mengatahui Tangan


dalam memanaskan hotplate masih terluka/melepuh
larutan panas/tersenggol D 2 Low Administrasi

10 Terdapat vacum Petugas tersandung Terjatuh/terluka


cleaner dibawah meja terburu-buru dan tidak E 1 Low Administrasi
Staff TU melihat
4.5 Pembahasan Penilaian Risiko dan Upaya Pengendalian
4.5.1 Laboratorium Kimia Air
Kegiatan di Laboratorium Kimia Air yaitu melakukan pemeriksaan
sampel air limbah, air bersih, air minum dan juga air permukaan.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan logam pada cairan, oksigen terlarut,
Total Dissolved solid (TDS), Total Suspended Solid (TSS), nitrat, nitrit,
ammonium, sulfat, zat organik total, salinitas, konduktivitas, pH.
Laboratorium dilengkapi dengan instrument Atomic Absorption
Spectrofotometric (AAS), Spektrofotometer, TDS meter, Turbidimeter,
Oven, Lemari Asam, Inkubator, Eksikator, Neraca Analitik, Hot Plate, pH
meter dan lain-lain.
Potensi bahaya yang ada pada kegiataan penggunaan alat Atomic
Absorption Spectrofotometric atau yang sering disebut dengan AAS.
Kegunaan alat AAS untuk pemeriksaan logam berat autosampel, MVU
untuk pemeriksaan merkuri. Penggunaan api pada AAS dapat menjadi salah
satu risiko bahaya kesehatan kerja pada petugas laboratorium. Paparan api
dan suhu panas yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan petugas
dehidrasi, mudah lelah, iritasi kulit dan juga bisa jadi tangan terbakar karena
suhu yang mencapai 500-2000OC. Maka diberi tingkat risiko Low/Rendah
karena kejadian dapat terjadi pada waktu tertentu.
Selain itu proses penguapan logam juga mampu memberikan risiko
kesehatan. Uap yang terhidrup masuk ke dalam sistem saluran pernapasan
sehingga petugas dapat mengalami gangguan pernapasan. Penilaian risiko
terhadap bahaya ini dengan tingkat risiko Low/Rendah karena tidak
menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar. Maka dari itu upaya
pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan penggunaan Alat
Pelindung Diri yang mampu meminimalisir paparan panas dan uap pada
petugas seperti penggunaan masker dan sarung tangan yang sesuai.
Gambar 5. Alat Atomic Absorption Spectrofotometric (AAS)

Lemari Asam berfungsi sebagai perantara untuk memindahkan bahan


kimia asam konsentrasi tinggi, tempat reaksi kimia yang menggunakan
bahan-bahan yang mudah menguap dan gas yang berbahaya dan untuk
menyimpan bahan- bahan kimia asam tinggi. Penggunaan lemari asam pada
saat pengujian dapat menimbulkan bahaya seperti terhirup kimia gas asam
yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Penilaian pada risiko ini
adalah Low/Rendah karena tingkat kerugian finansial yang kecil.

Gambar 6. Alat Lemari Asam


Selain itu pada apabila blower penghisap asam tersumbat/tidak
bekerja dengan baik maka juga dapat menimbulkan bahaya. Dampak yang
ditimbulkan yaitu petugas laboratorium bisa mengalami keracunan akibat
karena uap tidak keluar dari blower. Penilaian risiko pada bahaya ini
adalah Medium/Sedang karena dalam penanganannya membutuhkan
perawatan medis. Maka pengendalian yang dapat dilakukan yaitu
penyediaan masker yang tahan asam dan pemeriksaan alat-alat
laboratorium secara berkala apakah masih layak pakai atau tidak.
Pada saat melakukan pemeriksaan air limbah, biasanya para
petugas laboratorium sering sekali merasa terganggu oleh bau yang
ditimbulkan sampel karena air limbah sudah tercampur dengan zat organik
maupun anorganik serta zat kimia lainnya. Dalam hal ini bau yang
menyengat/kurang enak menjadi risiko bahaya bagi petugas laboratorium.
Akibatnya petugas dalam mengalami gangguan indera penciuman, tidak
nyaman dan konsentrasi terganggu. Penilaian risiko yang diberikan yaitu
dengan tingkat risiko Low/Rendah karena tidak membutuhkan
pengendalian tambahan. Maka upaya pencegahan yang dapat dilakukan
penyediaan dan pemakaian masker yang tepat dan sesuai.

Gambar 7. Alat Pelindung Diri yang Tersedia


Sebelum melakukan pengujian, biasanya para petugas laboratorium
membuat reagen/media untuk. Dalam pembuatan reagen, petugas akan
menggunakan bahan/zat kimia yang berbahaya. Potensi bahayanya yaitu
petugas terpapar bahan kimia. Gangguan yang ditimbulkan berupa iritasi
kulit dan mata serta gangguan pernapasan. Tingkat risiko pada bahaya ini
dikatakan Medium/Sedang karena risiko bahaya dapat terjadi kapan saja.
Selain itu, pada saat pembuatan reagen suhu ruangan juga harus
diperhatikan karena media cair dapat meledak apabila suhu terlalu tinggi.
Akibatnya dapat menimbulkan iritasi, sesak napas bahkan kebakaran.
Penilaian risiko bahaya ini Medium/Sedang. Hal ini memang jarang terjadi
namun dampak yang ditimbulkan cukup besar.

4.5.2 Laboratorium Kimia Udara


Kegiatan yang dilakukan oleh Instalasi Laboratorium Kimia Udara
adalah melakukan pengukuran kelembaban udara, pengambilan dan
pemeriksaan sampel karbon monoksida di udara, pemeriksaan sampel
ammonia di udara, melakukan pengukuran sampel debu di udara,
pemeriksaan sampel pb di udara, melakukan pengukuran, pengambilan dan
pemeriksaan sampel gas emisi, melakukan pengukuran, pengambilan dan
pemeriksaan sampel nh3 gas emisi diberbagai wilayah seperti perusahaan
swasta, BUMN, instansi pemperintah dan lain sebagainya.
Salah satu kegiatannya yaitu melakukan sampling udara menggunakan
alat impinger. Impinger ini dapat digunakan untuk sampling gas seperti SO2,
NO2, O3, F2 dan Cl2 sebagaimana tercantum pada PP No. 41 Tahun 1999
Tentang Pencemaran Udara. Impinger menarik udara dengan pompa hisap
ke dalam tabung impinger yang berisi larutan penangkap, mengukur
kontaminan yang tertangkap atau bereaksi dengan larutan penangkap baik
dengan metoda konvensional maupun instrumental, menghitung kadar
kontaminan dalam udara berdasarkan jumlah udara yang dipompa dan hasil
pengukuran.
Sulphurdioxida (SO2) merupakan hasil dari pembakaran yang tidak
sempurna dalam mesin kendaraan bermotor. Pembakaran yang tidak
sempurna ini berasal dari material berbahan dasar karbon seperti kayu, batu
bara dan bahan bakar fosil. Gas ini merupakan salah satu parameter gas
pencemar udara yang paling banyak ditemui didareah perkotaan. Pompa
hisap tidak bekerja dengan baik sehingga udara tidak tertarik ke dalam
tabung impinger yang berisi larutan dapat menjadi faktor bahaya. Akibat
utama pencemaran gas sulfur oksida, khususnya SO2 terhadap manusia
adalah terjadinya iritasi pada sistem pernapasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi
pada konsentrasi SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Untuk penderita yang
mempunyai penyakit kronis pada system pernapasan dan kardiovaskular dan
lanjut usia, gas ini merupakan polutan yang berbahaya karena dengan
paparan yang rendah saja (0,2 ppm) sudah dapat menyebabkan iritasi
tenggorokan. Penilaian tingkat risiko yaitu Sedang karena kemungkinan
terjadi kerusakan pompa kecil namun dampaknya cukup besar. Maka upaya
pengendalian yang dapat diberikan yaitu pemeriksaan alat sebelum
menggunakan secara berkala atau melakukan pembersihan pada alat yang
sering digunakan untuk menghindari terjadinya gangguan/kerusakan alat.

Gambar 8. Alat Impinger

Tidak menggunakan alat pelindung diri merupakan salah satu hal yang
paling sering ditemukan dalam menimbulkan risiko bahaya di laboratorium.
Pada saat melakukan pengamatan, terlihat salah satu petugas yang
menggunakan sepatu/sendal terbuka pada saat melakukan pemeriksaan. Hal
ini dapat dipengaruhi karena tidak tersedianya kelengkapan APD maupun
karena kelalaian manusia. Dampak yang dapat ditimbulkan yaitu terkena
percikan cairan/bahan kimia yang berbahaya. Tingkat risiko terhadap
bahaya ini Low/Rendah karena tidak menimbulkan kerugian finansial yang
besar. Maka upaya yang dapat dilakukan dengan cara penyedeiaan sepatu
safety/tertutup serta lebih menekankan kepada para petugas laboratorium
untuk menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja di laboratorium.

Gambar 9. Petugas Tidak Menggunakan Sepatu Tertutup

Pada saat melakukan pengamatan diruang laboratorium volumetrik,


terlihat alat-alat kimia yang terletak diatas meja atau tidak ditempatkan pada
lemari penyimpanan. Faktor ini dapat menjadi salah satu risiko bahaya
dimana apabila alat-alat tersenggol/terjatuh maka para petugas dapat terkena
serpihan kaca. Penilaian risiko terhadap bahaya ini Low/Rendah karena
dampak yang ditimbulkan berupa cidera ringan. Maka upaya pengendalian
yang dapat dilakukan yaitu penyediaan lemari kaca untuk penyimpanan alat-
alat kimia serta meningkatkan manajemen penanganan dan penyimpanan
alat/bahan pada laboratorium.

Gambar 10. Alat-Alat Tidak ditempatkan di Lemari Kaca


4.5.3 Laboratorium Biologi
Kegiatan yang dilakukan oleh Instalasi Laboratorium Biologi adalah
melaksanakan pengambilan dan penangan contoh uji spesimen dalam
rangka KLB, melakukan pemeriksaan parameter bakteri seperti E.Coli,
Coliform pada makanan dan lain-lain yang dikirim dari perusahaan swasta,
BUMN, instansi pemperintah dan sebagainya.
Salah satu kegiatan di laboratorium biologi adalah penggunaan alat
hotplate untuk memanaskan suatu larutan dan biasanya untuk larutan yang
mudah terbakar. Bahaya yang ada yaitu apabila setelah penggunaan hotplate
tidak diberi tanda bahwa hotplate baru saja selesai digunakan. Apabila
petugas tidak tahu bahwa hotplate masih panas maka risikonya tangan bisa
melepuh atau terluka. Akibatnya tangan bisa terbakar/melepuh. Penilaian
risiko untuk bahaya ini diberi tingkat Low/Rendah. Maka upaya yang
dilakukan adalah pembuatan tanda peringatan untuk alat-alat dengan suhu
tinggi bahwa alat tersebut baru selesai dipakai/gunakan.

Gambar 11. Alat Hot Plate

4.5.4 Ruang Seksi ADKL


Ruang Seksi ADKL merupakan unit pelaksana teknis yang bertugas
melakukan kajian rumah sakit, pengelolan limbah medis, uji petik kualitas
air bersih dan air minum, jejaring kemitraan surveilans dalam pelaksanaan
kewaspadaan dini klb, kajian kualitas udara ambien serta pembuatan
teknologi tepat guna untuk menangani masalah yang ada. Risiko bahaya
yang dapat muncul yaitu kabel-kabel yang tidak tertata dengan baik.
Walaupun kecil kemungkinan untuk terjadi kebakaran atau arus pendek
namun hal ini juga harus diperhatikan. Tingkat risiko bahaya ini dikatakan
Ekstrim/Tinggi karena dampaknya pekerja bisa saja tersengat arus listrik,
kebakaran dan bahkan berisiko kematian. Maka harus dilakukan tindakan
pengendalian berupa pemasangan pengamanan listrik dan lebih
meningkatkan manajemen penataletakkan.

Gambar 12. Kabel yang Tidak Tertata dengan Rapi

4.5.5 Ruang Staff Tata Usaha


Ruang Staff Tata Usaha merupakan salah satu unit kerja yang
dibawahi oleh Sub Bagian Tata Usaha. Kegiatan yang dilakukan oleh staff
TU yaitu penyusunan program, pengelolaan informasi, evaluasi dan laporan,
urusan tata usaha, keuangan, kepegawaian, perlengkapan dan rumah tangga.
Risiko bahaya yang terlihat diruang staff TU yaitu terdapat vacum cleaner
dibawah meja staff. Apabila petugas terburu-buru dan tidak melihat maka
dapat menyebabkan petugas tersandung/terjatuh. Tingkat risiko bahaya ini
adalah Low/Rendah karena kejadian hanya dapat terjadi pada waktu
tertentu. Maka upaya yang dilakukan yaitu meningkatkan manajemen dalam
penataletakkan dan penyimpanan bahan/alat.
Gambar 13. Terdapat Vacum Cleaner di Ruang Kerja

4.5.6 Ruang Persediaan dan ATK


Ruang Persediaan dan ATK merupakan ruang yang disediakan khusus
untuk menyimpan segala kebutuhan BTKLPP baik berupa bahan, alat
pembersih dan lain sebagainya. Berdasarkan pengamatan, tata letak bahan
yang mempunyai beban cukup berat diletkkan dirak atas. Hal ini dapat
menjadi risiko bagi pekerja untuk kesulitan pada saat mengambil barang
tersebut dikarenakan tempat yang tidak terjaungkau/tinggi dan beban barang
yang berat sehingga dapat menyebabkan pekerja tertimpa. Penilaian risiko
ini dikatakan Low/Rendah karena dampak yang diberikan tidak terlalu
besar. Maka upaya yang dapat dilakukan berupa penempatan/tata letak
barang berat diletakkan rak bagian bawah agar pekerja mudah
menjangkaunya.

Gambar 14. Ruang Persediaan


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada saat kegiatan PKM,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Identifikasi potensi bahaya di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Kelas I Palembang terutama di Laboratorium
Kimia Air, Kimia Udara, Biologi dan beberapa ruang kerja berupa faktor
fisik meliputi pencahayaan, suhu dan kelembaban serta faktor kimia
meliputi bahan kimia cair, gas, uap.
2. Intensitas pencahayaan beberapa ruang kerja di BTKLPP masih dikatakan
belum memenuhi batas minimum. Hal ini dapat disebabkan karena pada
saat pengukuran ada lampu yang tidak menyala dan posisi tirai jendela
tertutup. Suhu dan kelembaban dibeberapa ruangan kerja dikatakan sudah
cukup baik hanya saja ada 2 ruangan yang suhunya cukup panas seperti
ruang persediaan dan staff TU.
3. Sumber bahaya yang ada di Laboratorium Kimia Air, Kimia Udara,
Biologi, Ruang Persediaan dan ruang kerja Administrasi yaitu penggunaan
alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Lemari Asam terdapat
4 bahaya, alat impinger terdapat 1 bahaya, Hot Plate terdapat 1 bahaya,
Pembuatan Reagen/Media terdapat 2 bahaya, pemeriksaan sampel air
limbah 1 bahaya, tidak menggunakan sepatu safety terdapat 1 bahaya,
penempatan alat kimia terdapat 1 bahaya, Kabel yang tidak tertata dan
penempatan vacum cleaner, bahan persediaan terdapat 3 bahaya.
4. Penilaian risiko yang didapat berupa 1 bahaya dengan tingkat risiko sangat
tinggi pada kabel listrik, 4 bahaya dengan tingkat risiko sedang , 10 bahaya
dengan tingkat risiko rendah.
5. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan berupa penyediaan Alat
Pelingdung Diri (APD) yang sesuai dengan lingkungan kerja, pemeriksaan
alat secara berkala, pemasangan pengaman listrik dan pemberian tanda.
5.2 Saran
Dilihat dari hasil yang didapat, maka saran yang dapat diberikan ialah :
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara berkala terhadap alat
penerangan yang ada seperti membersihkan debu atau kotoran pada bola
lampu, mengganti bola lampu yang redup, mengganti ukuran lampu, dan
menambah jumlah lampu. Namun hal ini harus diiringi dengan
meningkatkan suhu dan kelembaban ruangan sehingga tidak
menimbulkan rasa panas akibat cahaya lampu.
2. Penempatan jumlah pekerja didalam suatu ruangan harus disesuaikan
dengan luas ruangan yang tersedia dalam hal pencegahan intensitas
cahaya, suhu dan kelembaban yang kurang baik.
3. Melakukan pemantauan atau pemeriksaan pada sarana dan prasarana
terutama pada alat-alat laboratorium dan melakukan perbaikan pada
gedung seperti perbaikan plafon/asbes yang rusak diruang entomologi
dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja serta menciptakan
lingkungan yang nyaman dan aman bagi pekerja.
4. Pengadaan perlengkapan APD sesuai dengan Permenakertrans no.
PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD sesuai dengan peralatan dan mesin
yang digunakan pada setiap laboratorium serta memasang pengunguman
dan rambu-rambu mengenai kewajiban menggunakan APD pada saat
dilaboratorium.
5. Sosialisasi K3 seharusnya tetap diberikan kepada staff yang bekerja
dalam ruangan kantor untuk mengingatkan kembali penerapan K3.
Risiko bahaya bekerja dalam kantor memang lebih kecil, namun kita
harus selalu waspada. Solusi yang dapat dilakukan agar K3 pekerja tetap
terjamin adalah dengan memilih bahan baku, produk atau fasilitas yang
bebas dari pengaruh terhadap pemakainya sesuai Permenkes No. 48
Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Tenaga Kerja RI, 1970. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja. Jakarta : Depnaker RI.

Departemen Tenaga Kerja RI, 1996. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-
05/MEN/1996 tentang Sistem Managemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta : Depnaker RI.

Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Direktorat


Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Program Perlindungan
dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja, 2006. “Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja”. Jakarta:

Departemen Tenga Kerja dan Transmigrasi RI.

Fahmi Najahi, 2008, “Fire Fighting System At PT. Yasulor Indonesia”. Jakarta:
PT. Yasulor Indonesia.

Monica Febrisa Atmaja, 2007. “Skripsi: Kajian Faktor Risiko Ergonomi pada
Aktivitas Manual Handling di Bagian Weighing, Proses, dan Packing
Slopan Unit Produksi PT. Y Manufacturing Skin Care dan Hair Care
Indonesia”. Jakarta: Universitas Indonesia.

Monica Febrisa Atmaja, 2007. “Laporan Magang; Gambaran Pelaksanaan


Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. Y
Manufacturing Skin Care dan Hair Care Indonesia”. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Sinaga Cristiyanto, 2009. Penerapan Manajemen Resiko dan Perilaku Selamat


Pada Pekerja di Apac Inti Corpora. Bawen : PT. Apac Inti Corpora.

Slamet Ichsan, 2004. Penilaian Resiko Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Pusat
Hiperkes Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.

Sucofindo, PT (Persero), 2004. “Upaya Pengelolaan Lingkungan & Upaya


Pemantauan Lingkungan (UKL & UPL)”. Jakarta:PT. Yasulor Indonesia.

Suma’mur, 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : CV


Haji Masagung.

Tarwaka, 2008. Managemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta:


HARAPAN PRESS.

http://btklpppalembang.com/tupoksi.php
https://www.academia.edu/11931646/Penerapan_K3_Kantor
AS/NZS 4360: 2004.The Australian/New Zealand (ANZ) Standard for Risk
Management

ISO, 2008.ISO publications and standards are available at


www.iso.org/iso/home.htm.

Moeller, R. (2007). COSO enterprise risk management : understanding the new


integrated ERM framework. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Moran, L.& Masciangioli,T.(2010).Keselamatan dan keamanan laboratorium


kimia (terjemahan). Washington DC: National Academy of sciences.

Peraturan Pemerinta No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern


Pemerintah (SPIP).

fifah, liana putri. 2014. Bahaya dan penilaian Resiko. Diakses pada 30 September
2015. http://liyanaputriafifah.blogspot.co.id/2014/09/bahaya-dan-
penilaian-resiko.html

Atmawidjaja, Sudana. 1999. Keselamatan Kerja dan Penanggulangan Bahaya di


Laboratorium. Bandung. LP3 ITB

Fitriyana, 2011. Desain dan Fasilitas Laboratorium Fisika. Diakses tanggal 16


September 2015 (http://physicslaboratory.blogspot.com/2012/03/desain-
laboratorium-fisika.html.

John Ridley. 2008. Health and Safety in Brief. England : Elsevier Ltd

Kadarohman, Asef. 2007. Management Laboratorium IPA. Makalah. Departemen


Agama Indonesia.

Kemendikbud. 2011. Panduan Teknis Perawatan Peralatan Laboratorium Fisika.


Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas

Kamri, Nur. 2003. Identifikasi Resiko ditempat kerja. Diakses tanggal 16


September 2015http://nrkamri.blogspot.co.id/2012/10/identifikasi-faktor-
bahaya-di-tempat.html

Nuryani R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang : Universitas Negeri


Malang

Rizwan Hamdi. 2008. Pertolongan Pertama pada Kecelakaan. Diakses tanggal


16 September 2015 dari http://www.rizwanhamdi.com/?p=128
DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR PRAKTIKUM
KESEHATAN MSAYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2019

Nama Peserta : Laila Rohimah


Nim : 10011181520116
Peminatan : K3KL
Tempat PKM : Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Kelas I Palembang

No NAMA JABATAN TANDA TANGAN


1 1. 2.

2
3. 4.
3

4
5. 6.
5

6
7. 8.
7

8
9. 10.
9

10

Anda mungkin juga menyukai