Pendahuluan
Latar Belakang
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita
perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka
menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat
hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi. Dalam
pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak
terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko
bahaya di tempat kerjanya.
Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling
berat tergantung jenis pekerjaannya. Dari hasil penelitian di sarana kesehatan
Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami
gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa
nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057
perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya
hubungan kausal antara pemajanan gas anastesi dengan gejala neoropsikologi
antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Pelayanan publik dewasa ini telah menjadi isu yang semakin strategis,
karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas
dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa
memperbaiki iklim ekonomi yang amat diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk
bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kinerja birokrasi pelayanan
publik di Indonesia yang sering mendapat sorotan dari masyarakat menjadi faktor
penentu yang penting dari penurunan minat investasi. Dalam kehidupan politik,
perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan mempunyai implikasi luas,
terutama dalam tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kurang
baiknya kinerja birokrasi menjadi salah satu faktor penting yang mendorong
munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya
perbaikan kinerja pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki kembali citra
pemerintah di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan yang semakin
baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali sehingga
pemerintah bisa meningkatkan legitimasi yang lebih kuat di mata publik.
Kondisi pelayanan yang dilaksanakan pemerintah dalam berbagai jenis
pelayanan masih dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Hal ini dapat kita
lihat dari adanya berbagai pengaduan maupun keluhan, baik yang disampaikan
langsung kepada institusi unit pelayanan maupun melalui media cetak ataupun
I
1.
1.1.1
1.1.3
Aspek hukum
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan ketentuan
perundangan dan memiliki landasan hukum yang wajib dipatuhi semua
pihak, baik pekerja, pengusaha atau pihak terkait lainnya. Di Indonesia
banyak peraturan perundangan yang menyangkut keselamatan dan
kesehatan kerja, beberapa diantarannya:
Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Diberlakukan pada tanggal 12 Januari 1970 yang memuat
berbagai persyaratan tentang Keselamatan Kerja. Dalam Undandundang ini, ditetapkan mengenai kewajiban pengusaha, kewajiban dan
hak tenaga kerja serta syarat-syarat keselamatan kerja yang harus
dipengaruhi oleh organisasi.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam perundangan mengenai ketenagakerjaan ini salah
satunya memuat tentang keselamatan kerja yaitu:
a. Pasal 86 menyebutkan bahwa setiap organisasi wajib menerapkan
upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk melindungi
keselamatan tenaga kerja.
b. Pasal87 mewajibkan setiap organisasi melaksanakan Sistem
Manajemen K3.
Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlimdungan
Konsumen antara lain pada pasal 2 menyebutkan bahwa
perlindungan
konsumen
berdasarkan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen. Selanjutnya
Bab 2
Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
2.
10
11
2.
2.
12
terjadinya gangguan keadaan normal dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini,
populasi sasarn ditentukan secara cermat serta setiap perubahan yang timbul
merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak peneliti. Model dasar
penelitian epidemiologi biasanya dilakukan di alboratorium atau lapangan dan
bersifat observasional atau eksperimen. Kemudian dialkukan penyusunan laporan
didasarkan pada hasil penelitian epidemiologi yang telah dialkukan secara analisis
deskriptif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemanfataan epidemologi K3
memiliki peranan penting dalma analisa status kesehatan pekerja yang mana
terdapat berbagai indikator-indikator yang harus diperhatikan. Setelah
diadakannya penelitian, hasil yang akan diterima akan menjadi acuan pekerja
untuk lebih memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan melakukan
pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit atau kecelakaan kerja.
2.
dari:
1. Studi-studi yang berasal dari industry (industry base) yangmmeaparkan
mengenai identifikasi potensial toksik bahan,sumber data dan kebutuhan
spesifik yang tersedia, rekonstruksisejarah paparan, dan hubungannya paparan
dengan pekerja danmonitoring prospektif paparan
2. Studi-studi yang berasal dari masyarakat (community base) yang bersumber
dari riwayat individu, laporan RS, laporan registrasi penyakit, sertifikat
kematian dan sensus.
2.
13
2.
1.
2.
Penelitian eksperimental
a. In industrial aromatic amines established betanaphthylamine -> potent to
human carcinogen / Dalam amina aromatik industri didirikan
betanaphthylamine -> ampuh untuk karsinogen manusia (Hueper, 1938).
b. Another chemicals caused human carcinogen was reported in some
epidemiological studies in England. (Bahan kimia lain yang
menyebabkan karsinogen pada manusia dilaporkan dalam beberapa studi
epidemiologi di Inggris).
Jenis Penelitian Epidemiologi yang Diaplikasikan dalam K3
2.
14
15
3. Kelebihan
Jenis observasi studi ini bisa digunakan untuk penelitian analitik
dalm bidang kesehatan. Contohnya adalah:
a) Penyakit atau masalah kesehatan, atau efek.
b) Faktor resiko untuk terjadinya penyakit tersebut, yakni faktor
penyebab terjadinya penyakit atau masalah kesehatan.
c) Agen penyakit.
d) Studi ini representatif dalam mendeskripsikan karakteristik populasi
daripada studi case control atau cohort. Selain itu, studi jenis ini juga
lebih efisien untuk merumuskan hipotesis baru.
4. Kekurangan
Studi jenis ini adalah penelitian ini paling mudah untuk dilakukan
dan sangat sederhana. Pengujian hipotesis kausal juga tidak seakurat
cohort dan case control, karena ketidakpastian sekuensi temporal antara
paparan dan penyakit.
a) Diperlukan subjek penelitian yang besar.
b) Tidak dapat menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat.
c) Tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan.
d) Kesimpulan korelasi faktor resiko dengan faktor efek paling lemah
bila dibandingkan dengan dua rancangan penelitian cross sectional
yang lain.
5. Contoh :
Penelitian tentang hubungan bentuk tubuh dengan hipertensi. Maka
peneliti memilih suatu populasi untuk dijadikan penelitian, memilih
sampel penelitian secara random , kemudian dari masing-masing sampel
tersebut diambil data dengan wawancara menderita hipertensi atau tidak
(efek), dan pada saat yang sama juga diambil data paparan yaitu bentuk
tubuh (gemuk atau kurus) dengan metode observasi. Kemudian dihitung
16
proporsi penderita hipertensi yang gemuk dan yang kurus, serta yang
bukan penderita hipertensi yang gemuk dan yang kurus. Maka dapat
disimpulkan hubungan antara bentuk tubuh dan hipertensi.
b. Case Control
Penelitian kasus-kontrol adalah suatu penelitian analitik yang
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan retrospektif, dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan efek
atau penyakit tertentu (kelompok kasus) dan kelompok tanpa efek (kelompok
kontrol), kemudian diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa
kelompok kasus terkena efek, sedangkan kelompok kontrol tidak. Desain
penelitian ini bertujuan mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar
berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan
kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan
kelompok kontrol. Jadi, hipotesis yang diajukan adalah : Pasien penyakit x
lebih sering mendapat pajanan faktor risiko Y dibandingkan dengan mereka
yang tidak berpenyakit X. Pertenyaan yang perlu dijawab dengan penelitian
ini adalah : apakah ada asosiasi antara variabel efek (penyakit, atau keadaan
lain) dengan variabel lain (yang diduga mempengaruhi terjadi penyakit
tersebut) pada populasi yang diteliti.
1. Ciri-ciri penelitian case control
a) Penelitian yg bersifat observasional
b) Diawali dengan kelompok penderita dan bukan penderita
c) Terdapat kelompok kontrol
d) Kelompok kontrol harus memiliki risiko terpajan oleh faktor risiko
yg sm dengan kelompok kasus.
e) Membandingkan besarnya pengalaman terpajan oleh faktor risiko
antara kelompok kasus dan kontrol.
f) Tidak mengukur insidensi
2. Langkah-langkahnya :
a) Kriteria Pemilihan Kasus :
Kriteria Diagnosis dan kriteria inklusi harus dibuat dengan jelas.
Populasi sumber kasus dapat berasal dari rumah sakit atau
populasi/masyarakat .
b) Kriteria Pemilihan Kontrol :
Mempunyai potensi terpajan oleh faktor risiko yang sama
dengan kelompok kasus
Tidak menderita penyakit yang diteliti
Bersedia ikut dalam penelitian
Skema dasar penelitian Case Control
17
3. Kelebihan
Studi kasus kontrol kadang atau bahkan menjadi satu-satunya
cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang,
atau bila penelitian prospektif tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
sumber atau hasil diperlukan secepatnya.
a) Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
b) Biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
c) Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko
sekaligus dalam satu penelitian (bila faktor risiko tidak diketahui).
d) Tidak mengalami kendala etik seperti pada penelitian eksperimen
atau kohort.
4. Kekurangan
Data mengenai pajanan faktor risiko diperoleh dengan
mengandalkan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden
menyebabkan terjadinya recall bias, baik karena lupa atau responden
yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan faktor risiko
daripada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam
hal ini catatan medik rutin yang sering dipakai sebagai sumber data juga
tidak begitu akurat (objektivitas dan reliabilitas pengukuran variabel
yang kurang).
a) Validasi informasi terkadang sukar diperoleh.
b) Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebanding
karena banyaknya faktor eksternal / faktor penyerta dan sumber bias
lainnya yang sukar dikendalikan.
c) Tidak dapat memberikan incidence rates karena proporsi kasus
dalam penelitian tidak mewakili proporsi orang dengan penyakit
tersebut dalam populasi.
d) Tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel
dependen, hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek.
e) Tidak dapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil pengobatan.
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3
18
5. Contoh
Hubungan antara malnutrisi (kekuranagn gizi) pada anak balita
dengan perilaku pemberian makanan oleh ibu. Dilakukan denagn cara
mengidentifikasi variabel depende (efek) seperti malnutrisi dan variabel
independen ( faktor risiko) seperti perilaku ibu, pendidikan pendapatan
keluarga, jumlah anak, dll. Kemudian menetapkan objek penelitian yaitu
pasangan ibu dan balita, yang dilanjutkan mengidentifikasi kasus seperti
anak balita yang menderita malnutrisi ( berat per umurnya kurang dari
75%). Selanjutnya melakukan pengukuran secara retrosektif yaitu anak
balita yang malnutrisi diukur dan ditanyakan kepada ibunya dengan
menggunakan metode recall mengenai perilaku memberikan makanan
kepada anaknya, melakukan analisis data dilakukan dengan
membandingkan proporsi perilaku ibu yang baik dan yang kurang baik
dalam al pemberian makanan kepada anaknya pada kelompok kasus
dengan proporsi ibu yang sama pada kelompok kontrol yang telah
ditentukan. Maka akan diperoleh bukti atau tidak adanya hubungan
antara perilaku pemberian makanan dengan malnitrisi pada anak balita.
c. Cohort
Study cohort adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan
antara paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar
(faktor penelitian) dan kelompok tidak terpapar berdasarkan status
paparannya. Ciri-ciri studi cohort adalah pemilihan subjek berdasarkan status
paparannya, dan kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah
subjek dalam perkembangannya mengalami penyakit atau tidak.
Pada saat mengidentifikasi status paparan semua subjek harus bebas
dari penyakit yang diteliti. Studi cohort disebut juga studi follow-up
(kleinbaum et al., 1982; Rothman, 1986), sebab cohort diikuti dalam suatu
periode untuk diamati perkembang penyakit yang dialaminya.
1. Ciri-ciri Penelitian Kohort :
a) Bersifat observasional
b) Pengamatan dilakukan dari sebab ke akibat
c) Disebut sebagai studi insidens
d) Terdapat kelompok kontrol
e) Terdapat hipotesis spesifik
f) Dapat bersifat prospektif ataupun retrospektif
g) Untuk kohor retrospektif, sumber datanya menggunakan data
sekunder
2. Langkah-langkahnya :
a) Merumuskan pertanyaan penelitian.
19
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
3. Kelebihan
a) Study cohort adalah kesesuainnya dengan logika studi eksperimental
dalam membuat inferensi kausal yaitu penelitian dimulai dengan
menentukan faktor penyebab diikuti dengan akibat. Karena pada saat
dimulai penelitian telah dipastikan bahwa semua subjek tidak
berpenyakit.
b) Peneliti dapat menghitung laju insidensi, sesuatu hal yang hampir
tidak mungkin dilakukan pada studi case control, sehingga
perhitungan rasio laju insidensi harus didekati dengan rasio odds.
c) Studi cohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka. Dalam hal ini
rancangan yang efisien adalah memilih subjek berdasarkan status
paparan, untuk memastikan diperolehnya ukuran sample yang cukup
untuk menguji hipotesis.
d) Studi cohort memungkinkan peneliti mempelajari jumlah efek secara
serentak.
e) Karena bersifat opserfasional maka tidak ada subjek yang sengaja
dirugikan karena tidak mendapat terapi yang bermanfaat, atau
mendapat paparan faktor yang merugikan kesehatan.
4. Kelemahan
a) Rancangan studi cohort prospektif lebih mahal dan membutuhkan
waktu yang lebih lama daripada studi case control.
20
21
Bab 3
Gangguan Kesehatan Dan Daya Kerja
3.
Beban Kerja
22
3.1.2
3.1.3
3.1.4
3.1.5
23
24
Kapasitas Kerja
25
menjadi relatif sedikit. Kesegaran jasmani dan rohani adalah penunjang penting
dalam produktifitas seseorang dalam bekerja. Tingkat gizi seseorang, terutama
bagi pekerja kasar dan berat adalah faktor penentu derajat produktifitas kerjanya.
Herrianto ( 2010 ) menyatakan bahwa untuk pekerjaan manual di sektor
industri yang menggunakan waktu selama 8 jam per hari, seseorang dapat bekerja
paling banyak 33 %, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Sedangkan
untuk pekerjaan manual selama 10 jam per hari, seseorang dapat bekerja hanya 28
%, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Kapasitas kerja individu
tergantung pada derajat kebugaran tubuh, kapasitas kerja otot dan kapasitas kerja
jantung.
Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan menurunnya daya
kerja pada tenaga kerja, dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Substitusi
Substitusi yaitu mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan
yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali, misalnya
tetrachlorida diganti dengan tetra chlor etilen.
b. Ventilasi umum
Ventilasi umumyaitu mengalirkan udara sebanyak menurut
perhitungan ke dalam ruang kerja, agar kadar dari bahan yang berbahaya
lebih rendah dari nilai ambang batas (NAB).
c. Ventilasi ke Luar setempat (Local Exhausters)
Local Exhaustersialah alat yang biasanya menghisap udara di tempat
kerja tertentu, agar-agar bahan-bahan yang membahayakan dihisap dan
dialirkan ke luar.
d. Isolasi
Isolasi yaitu mengisolasi operasi atau proses dalam perusahaan yang
membahayakan, misalnya isolasi mesin yang sangat bising.
e. Alat pelindung diri (APD)
APD yaitu masker, kaca mata, sarung tangan, sepatu, topi, dan
pakaian kerja.
f. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja bagi calon yang akan bekerja
baik pemeriksaan fisik maupun mental.
g. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala untuk mengevaluasi
apakah faktor-faktor penyebab itu telah menimbulkan gangguangangguan atau keiainan pada tubuh pekerja.
h. Penyuiuhan sebelum bekerja, agar pekerja mengetahui dan mentaati
peraturan-peraturan dan agar mereka berhati-hati.
i. Pendidikan dan latihan tentang kesehatan dan keselamatan kerja kepada
pekerja secara rutin atau kontinu.Tujuan pendidikan keselamatan dan
kesehatan kerja adalah mencegah terjadinya kecelakaan. Cara efektif untuk
26
27
Bab 4
Penyakit Akibat Kerja
4.1
Pendahuluan
4.2
28
kerja terjadi sebagai pajanan faktor fisik, kimia, biologi, ataupun psikologi di
tempat kerja.
4.3
b.
c.
d.
e.
5. Ketajaman penglihatan
Upaya perbaikan penggunaan pencahayaan di tempat kerja. Grandjean
(1980) menyarankan sistem desain pencahayaan di tempat kerja sebagai
berikut:
1. Hindari sumber pencahayaan lokal langsung dalam penglihatan pekerja
2. Hindari penggunaan cat mengkilap terhadap mesin-mesin, meja, kursi, dan
tempat kerja.
3. Hindari pemasangan lampu FL yang tegak lurus dalam garis penglihatan
Golongan kimiawi: semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan,
kabut
Golongan biologik: bakteri, virus, jamur, dll
Golongan fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban kerja.
Golongan psikososial: stres psikis, monotomi kerja, tuntutan pekerjan.
4.4
29
Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada
macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada. Partikel-partikel udara
sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang tercemar oleh
partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau
pneumoconiosis.
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh
adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap didalam paru-paru. Penyakit
pneumoconiosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang
masuk atau terhisap kedalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis
yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan
teknologi, yaitu silikosis, asbestosis, bisinosisi, antrakosis, dan beriliosis.
1. Penyakit Silikosis
Penyakit silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,
berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian
mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja,
keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir,
menggerinda) dll. Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat
penampang besi, timah putih dan tambang batu bara. Pemakaian batu bara
sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkam debu silika bebas SiO2. Pada
saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama
dengan partikel yang lainya, seperti debu alumunia, oksida besi dan karbon
dalam bentuk debu. Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu
silika perlu mendapatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan
lingkungan yamg ketat sebab penyakit silikosis belum ada obatnya yang
tepat.
2. Penyakit Asbestosis
Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh
debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari
berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat.
Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan
asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain
sebagainya. Debu asbes yang terhirup ke dalam paru-paru akan
mengakibatkan gejala sesak nafas dan batuk-batuk yang disertai dahak.
Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak besar/melebar. Apabila dilakukan
pemeriksaan pada dahak maka akan tampak debu asbes dalam dahak tersebut.
Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya perlu diikuti
dengan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan lingkungan agar jangan
mengakibatkan asbestosis ini.
30
3. Penyakit Bisnosis
Penyakit bisnosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran
debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap kedalam paruparu. Pencemaran ini dapat dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik
tekstil, perusahaan, atau pergudangan kapas. Masa inkubasi penyakit bisnosis
cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal penyakit bisnosis ini
berupa sesak nafas, terasa berat pada dada, terutama peda hari senin (yaitu
hari awal kerja pada setiap minggu). Pada bisnosis yang sudah lanjut atau
berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis
kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.
4. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh debu batu bara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerjapekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan
penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif
(stoker), dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler
pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Penyakit antrakosis
ada tiga macam, yaitu: penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantrakosis,
dan penyakit tuberkolosilkoantrakosis.
5. Penyakit Beriliosis
Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa
logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat
menyebabkan penyakit saliran pernafasan yang disebut beriliosis. Debu
logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis, dan
pneumonitis yang ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering, dan
sesak nafas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri
yang menggunakan logam campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik
fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio, dan juga pada pekerja pengolahan
bahan penunjang industri nuklir.
6. Penyakit Saluran Pernafasan
PAK pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun kronis. Akut
misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai tracheobronchitis akut
atau karena virus kronis, misal: asbestosis. Seperti gejala Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) atau edema paru akut. Penyakit ini disebabkan
oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.
31
7. Penyakit Kulit
Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam
kehidupan, dan kadang sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan,
90% merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Penting
riwayat pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab,
membuat peka, atau karena faktor lain.
8. Kerusakan Pendengaran
Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukan akibat pajanan
kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat
pekerjaan secara detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang dengan
gangguan pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya
hilang pendengaran.
9. Gejala pada Punggung dan Sendi
Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan penyakit pada
punggung yang berhubungan dengan pekerjaan daripada yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Penentuan kemungkinan bergantung pada
riwayat pekerjaan. Artritis dan tenosynovitis disebabkan oleh gerakan
berulang yang tidak wajar.
10. Kanker
Adanya presentase yang signifikan menunjukan kasus Kanker yang
disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. Bukti bahwa bahan di tempat kerja
(karsinogen) sering kali didapat dari laporan klinis individu dari pada studi
epidemiologi. Pada Kanker pajanan untuk terjadinya karsinogen mulai > 20
tahun sebelum diagnosis.
11. Coronary Artery
Penyakit ini disebabkan oleh karena stres atau Carbon Monoksida dan
bahan kimia lain di tempat kerja.
12. Penyakit Liver
Sering didiagnosis sebagai penyakit liver oleh karena hepatitis virus
atau sirosis karena alkohol. Penting riwayat tentang pekerjaan, serta bahan
toksik yang ada.
13. Masalah Neuropsikiatrik
Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan tempat kerja
sering diabaikan. Neuropatiperifer, sering dikaitkan dengan diabet, pemakaian
32
4.5
33
b. Faktor Kimia
Asal: bahan baku, bahan tambahan, hasil sementara, hasil
samping(produk), sisa produksi atau bahan buangan. Bentuk: zat
padat, cair, gas, uap maupun partikel Cara masuk tubuh dapat melalui
saluran pernafasan, saluran pencerrnaan kulit dan mukosa. Masuknya
dapat secara akut dan sevara kronis. Efek terhadap tubuh: iritasi,
alergi, korosif, asphyxia, keracunan sistematik, kanker, kerusakan
kelainan janin.
Terjadi pada petugas/ pekerja yang sering kali kontak dengan
bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika. Demikian pula
dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik,
desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan
cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap
kesehatan. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis
kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan,
terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut
atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang
terpapar.
Pencegahan :
1. Material safety data sheet (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang
ada untuk diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
2. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk
mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol.
3. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar.
4. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara
mata dan lensa.
5. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
c. Faktor biologis
1. Viral Desiases: rabies, hepatitis
2. Fungal Desiases: Anthrax, Leptospirosis, Brucellosis, TBC,
Tetanus
3. Parasitic Desiases: Ancylostomiasis, Schistosomiasis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi
berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama kumankuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari
34
35
4.6
36
a.
b.
c.
d.
a.
b.
a. Perilaku kesehatan
b. Faktor bahaya di tempat kerja
c. Perilaku kerja yang baik
d. Olahraga
e. Gizi
2. Pencegahan sekunder specifict protection
Pengendalian melalui perundang-undangan
Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam kerja
Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
3. Pencegahan tersier
a. Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
c. Pemeriksaan lingkungan secara berkala
d. Surveilans
e. Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
f. Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya
yang wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan bisa
dilakukan secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa pulih
tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak
menimbulkan kecacatan lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit
akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat.
Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.
Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan dikontrol.
Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara
teratur serta dilakukan pengobatan.
Disamping itu perubahan awal seringkali bisa pulih dengan
penanganan yang tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat
kerja sangat penting. Sekurang-kurangnya ada tiga hal menurut WHO
yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam deteksi dini yaitu:
a. Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat di ukur melalui
analisis laboraturium. Misalnya hambatan aktifitas kolinesterase
pada paparan terhadap pestisida organofosfat, penurunan kadar
hemoglobin (HB), sitologi sputum yang abnormal, dan
sebagainya.
b. Perubahan kondisi fisik dan sistem tubuh yang dapat dinilai
melalui
pemeriksaan
fisik
laboraturium.
Misalnya
elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf, dan
sebagainya.
37
Bab 5
Manajemen
Resiko
dan
Penyakit Di Tempat Kerja
5.
Pencegahan
38
menimbulkan insiden atau cedera pada manusia ditentukan oleh kemungkinan dan
keparahan yang diakibatkannya.
Adanya bahaya dan risiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan melalui
manajemen K3 yang baik karena manajemen K3 memiliki kaitan yang sangat erat
dengan manajemen risiko.
Kerugian/Loss
PEME
(people enuironment materials equipment)
Hazar
ds
Incide
nt
Safety
Managem
ent
RISK
Sumber bahaya mengandung risiko yang dapat menimbulkan
insiden terhadap manusia, lingkungan, atau properti
Gambar 1.1 Hubungan Bahaya dan Risiko
Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan
prosedur mengenai indentifikasi bahaya (Hazards Indentification), penilaian
resiko (risk assessment), dan menetukan pengendaliannya (Risk Controls)
atau disingkat HIRARC. Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen
risiko (risk management).
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan langsung dengan upaya
pencegahan dan pengendalian bahaya. Disamping itu, HIRARC juga
merupakan bagian dari sistem manajemen risiko (Risk Management).
Menurut OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan diseluruh aktivitas
organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi
bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan
kerja.
Selanjutnya hasil HIRARC menjadi masukan untuk penyusunan
objektif dan target K3 yang akan dicapai, yang dituangkan dalam program
kerja.
Elemen-elemen lainnya seperti pelatihan, dokumentasi, komunikasi,
pengukuran, pengendalian rekamandan lainnya adalah untuk menopang atau
mengacu kepada program pengendalian risiko.
39
40
kerja nampaknya meningkat. Lagi pula, diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi
270 juta kecelakaan-kecelakaan yang akibat kerja yang tidak fatal (setiap
kecelakaan paling sedikit mengakibatkan paling sedikit tiga hari absen dari
pekerjaan) dan 160 juta penyakit-penyakit baru akibat kerja.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan permasalahan pemerintah,
pengusaha, pekerja dan keluarganya diseluruh dunia. Sementara beberapa industri
bersifat lebih berbahaya dari industri yang lain, kelompok pekerja migran dan
pekerja berpenghasilan kecil yang lain lebih banyak dihadapkan pada risiko
mengalami kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dan kesehatan yang kurang baik,
karena kemiskinan seringkali memaksa mereka untuk menerima pekerjaan yang
tidak aman.
Berbagai pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam
organisasi atau perusahaan misalnya:
a. Mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar
kendali manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang
tidak tepat, karena tidak semua risiko berada diluar jangkauan kendali
organisasi / perusahaan.
b. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal
ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, karena semua
aktivitas ditempat kerja sampai tingkat tertentu selalu mengandung risiko.
c. Menerapkan Manajemen Risiko, dalam pengertian umum, risiko tinggi yang
dihadapi sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan
melalui suatu pemikiran positif diharapkan akan memberikan nilai tambah
atau imbalan hasil yang tinggi pula.
Aspek ekonomi, sosial dan legal merupakan beberapa hal yang berkaitan
dengan penerapan manajemen risiko. Dampak finansial akibat peristiwa
kecelakaan kerja, gangguan kesehatan atau sakit akibat kerja, kerusakan atau
kerugian aset, biaya premi asuransi, moral kerja dan sebagainya, sangat
mempengaruhi produktivitas. Demikian juga aspek sosial dan kesesuaian
penerapan peraturan perundang undangan yang tercermin pada segi kemanusiaan,
kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat memerlukan penyelenggaraan
manajemen risiko yang dilaksanakan melalui partisipasi pihak terkait.
Manajemen risiko kesehatan di tempat kerja mempunyai tujuan:
meminimalkan kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan
kesempatan/peluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang
aman, sehat dan nyaman, memotong mata rantai kejadian kerugian akibat
kegagalan produksi yang disebabkan kecelakaan dan sakit, serta pencegahan
kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
5.
2
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3
41
42
b. Identifikasi risiko,
c. Analisa risiko,
d. Evaluasi risiko,
e. Pengendalian risiko,
f. Komunikasi, dan
g. Pemantauan dan tinjau ualng.
Langkah awal mengembangkan manajemen risiko adalah menentukan
konteks yang diperlukan karena manajemen risiko sangat luas dan bermacam
aplikasinya salah satu diantaranya adalah manajemen risiko K3. Untuk
manajemen risiko K3 sendiri, juga diperlukan penentuan konteks yang akan
dikembangkan misalnya menyangkut risiko kesehatan kerja, kebakaran,
higiene, industri dan lainnya. Dari konteks tersebut masih dapat
dikembangkan lebih lanjut misalnya manajemen risiko untuk aktivitas rumah
ssakit, industri kimia, kilang minyak, konstruksi dan bidang lainnya.
Penentuan konteks ini diseleraskan dengan visi misi organisasi serta sasaran
yang ingin dicapai. Lebih lanjut ditetapkan pula kriteria risiko yang sesuai
bagi organisasi. Setelah menerapkan konteks manajemen risiko, langkah
berikutnya adalah melakukan identifikasi bahaya, analisa dan evaluasi risiko
serta menentukan langkah atau strategi pengendaliannya.
5.
4
Identifikasi Bahaya
43
44
45
46
Teknik identifikasi
diklasifikasikan atas:
bahaya
ada
berbagai
macam
yang
dapat
1) Teknik Pasif
Metode ini sangat rawan karena tidak semua bahaya dapat
menunjukkan eksistensisnya sehingga dapat terlihat dengan mudah. Sebagai
contoh, di dalam suatu pabrik kimia, terdapat berbagai jenis bahan dan
perlatan. Selama bertahun-tahun dipabrik tersebut tidak pernah terjadi
kecelakaan atau kejadian lainnya. Dalam hal ini, belum tentu bahwa pabrik
tersebut aman dan tidak mengundang bahaya. Jika tidak dilakukan
identifikasi bahaya, mungkin masih terdapat sumber bahaya yang setiap saat
dapat menimbulkan kecelakaan melakukan identifikasi pasif, ibarat
menyimpan bom waktu yang dapat meledak setiap saat.
2) Teknik Semi Pasif
Teknik ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain karena kita
tidak perlu mengalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik karena tidak perlu
mengalami sendiri setelah itu baru mengetahui adanya bahaya. Namun teknik
ini juga kurang efektif karena:
a) Tidak semua bahaya telah diketahui atau pernah menimbulkan dampak
kejadian kecelakaan.
b) Tidak semua kejadian dilaporkan atau diinformasikan kepada pihak lain
untuk diambil sebagai pelajaran.
c) Kecelakaan telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian,
walaupun menimpa pihak lain.
Sejalan dengan hal ini, OHSAS 18001 mensyaratkan untuk
melakukan penyelidikan kecelakaan sebagai lesson learning agar kejadian
serupa tidak terulang kembali. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa
kecelakaan merupakan aib bagi perusahaan,sehingga data-data dan informasi
tentang kejadian sulit diperoleh. Jika di ekspose, mungkin kejadiannya sudah
dipoles sedemikian rupa sehingga tidak sesuai lagi dengan fakta kejadian
sebenarnya.
3) Metode Proaktif
Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah proaktif, atau
mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau dampak
yang merugikan. Tindakan proaktif memiliki kelebihan:
47
48
b. Data Kejadian
Teknik inibersifat semi proaktif karena berdasarkan sesuatu
yang telah terjadi. Dari suatu kecelakaan atau kejadian akan diperoleh
informasi penting mengenai adanya suatu bahaya. Dari kejadian
tersebut dapat digali informasi yang lebih mendalam apa saja bahaya
yang terdapat di lingkungan kerja. Misalnya ada seseorang hampir
celaka akibat genangan air di lantai.
Dari kejadian ini dapat digali lebih dalam, kemungkinan
adanya kondisi tidak aman seperti pipa yang bocor, penerangan kurang
baik, rambu-rambu tidak tersedia dan lainnya.
c. Daftar Periksa
Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan membuat suatu
daftar periksa tempat kerja. Melalui daftar periksa dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap seluruh kondisi dilingkungan kerja seperti
mesin, penerangan, kebersihan, penyimpanan material dan lainnya.
Daftar periksa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, kondisi, sifat
kegiatandan jenis bahaya yang dominan.
d. Brainstrorming
Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan teknik
Brainstrorming dalam suatu kelompok atau tim di tempat kerja. Tim
ini dapat berasal dari suatu bidang atau depertememn tetapi dapat juga
bersifat lintas fungsi. Dalam pertemuan kelompok ini di bahas kondisi
tempat kerja. Setiap anggota kelompok dapat mengemukkan pendapat
atau temuannya mengenai bahaya yang ada di lingkungan masingmasing.
e. What If
Teknik What If merupakan teknik identifikasi yang
bersifatproaktif dengan menggunakan kata ganti What If, sebagai
contoh:
What If ... jika pompa tiba-tiba mati.
What If ... jika alat pengaman tidak berfungsi.
What If ... jika drum penyimpan bahan kimia tiba-tiba bocor.
f. Hazops (Hazords and Operability Study)
Merupakan teknik identifikasi bahaya yang sangat
komprehensif dan terstruktur. Digunakan untuk mengidentifikasi suatu
proses atau unit operasi baik pada tahap rancang bangunan, konstruksi,
operasi maupun modifikasi. Hazops dilakukan dalam bentuk tim
49
50
51
Penilaian Resiko
52
Ting
kat
A
Uraian
Sering terjadi
Dapat terjadi
Kadang-kadang
Jarang sekali
Hampir
terjadi
Contoh rinci
pasti
53
Uraian
Contoh rinci
Tidak signifikan
Kecil
Sedang
Berat
Bencana
Kejadian
tidak
menimbulkan
kerugian atau cedera pada manusia
Menimbulkan
cedera
ringan,
kerugian
kecil
dan
tidak
menimbulkan
dampak
serius
terhadap kelangsungan bisnis
Cedera berat dan dirawat di rumah
sakit, tidak menimbulkam cacat tetap,
kerugian finansial sedang
Menimbulkan cedera parahdan cacat
tetap dan kerugian finansial besar
serta menimbulkan dampak serius
terhadap kelangsungan usaha
Mengakibatkan korban meninggal
dan kerugian parah bahkan dapat
menghentikan
kegiatan
usaha
selamanya
Konsekuensi
Tidak
signifikan
T
S
R
R
R
kecil
sedan
g
E
T
T
S
E
T
T
S
R
R
54
berat
E
E
E
T
T
benca
na
E
E
E
E
T
E-Risiko
ekstrim
T-resiko
tinggi
S-risiko
sedang
R-risiko
rendah
55
yang berlaku atau ditetapkan oleh managemen organisasi. Risiko yang dapat
diterima sering diistilahkan sebagai ALARP-As Low As Reasonably Practicable,
yaitu tingkat risiko terendah yang masuk akal dan dapat dijalankan.
Risiko memang harus ditekan, namun memiliki keterbatasan seperti faktor
biaya, teknologi, kepraktisan, kebiasaan dan kemampuan dalam menjalankannya
dengan konsisten. Suatu risiko misalnya dapat ditekan dengan menggunakan
teknologi canggih untuk penyediaan sistem pengaman, namun dampaknya biaya
akan meningkat sehingga tidak dapat diterima secara ekonomian.
Untuk menentukan batas risiko yang dapat diterima (ALARP) tidak
mudah, namun memerlukan kajian mendalam dari berbagai aspek seperti teknis,
sosial, moral, lingkungan atau keekonomiannya misalnya dengan melakukan cost
benefit analysis. Batas risiko yang dapat diterima antara satu orang, badan,
perusahaan atau lembaga akan berbeda. Kerugian sebesar Rp. 1 juta bagi
pengusaha angkot merupakan risiko besar, namun bagi perusahaan skala milyaran
rupiah, kerugian tersebut dinilai kecil dan tidak signifikan bagi kelangsungan
bisinisnya.
Hubungan antara pengeluaran untuk K3 dengan kelangsungan bisnis dapat
dilihat pada gambar diatas. Jika pengeluaran untuk K3 ditingkatkan, pada level
tertentu akan baik untuk bisnis. Namun jika pengeluaran K3 terus ditingkatkan,
mungkin akan baik bagi kemanusiaan namun buruk dampaknya terhadap bisnis.
Perusahaan mungkin akan mendapatkan pujian dan penghargaan karena peduli K3
dengan mengeluarkan dana untuk mengembangkan dan meningkatkan K3.
Akan tetapi pengeluaran tersebut tidak seimbang dengan revenue yang
diterima sehingga suatu saat perusahaan akan bangkrut. Karena itu, tingkat
ALARP yang ditetapkan harus baik untuk K3 dan baik pula untuk bisnis sehingga
kelangsungan usaha dapat terjamin.
Setelah kriteria risiko yang dapat diterima ditetapkan, maka akan
dibandingkan dengan hasil penilaian risiko yang telah dilakukan. Apakah risiko
tersebut dapat diterima atau tidak. Jika risiko masih berada di atas batas yang
dapat diterima, harus dilakukan langkah pengendalian.
5.
6
Pengendalian Risiko
Klausul : 5.3.1
56
b. Substitusi;
c. Pengendalian teknis;
d. Rambu/peringatan dan/atau pengendalian administratif;
e. Alat pelindung diri (APD)
Sejalan dengan konsep manajemen risiko, OHSAS 18001 mensyaratkan
organisasi melakukan pengendalian risiko sesuai hasil identifikasi bahaya dan
penilaian risiko yang telah dilakukan.
Pengendalian risiko dilakukan terhadap seluruh bahaya yang ditemukan
dalam proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan peringkat risiko untuk
menentukan, prioritas dan cara pengendaliannya.
Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus mempertimbangkan
hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi, pengendalian teknis,
administratif dan terakhir penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan dengan
kondisi organisasi, ketersediaan biaya, biaya operasionil, faktor manusia dan
lingkungan.
Pengendalian risiko merupakan langkah menentukan dalam keseluruhan
manajemen risiko. Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi risiko dapat ditentukan
apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima, tentunya
tidak diperlukan langkah pengendalian lebih lanjut. Misalnya perusahaan telah
memilih menerima risiko penggunaan suatu peralatan mekanis dalam proses
produksinya. Hasil analisa risiko menunjukkan bahwa tingkat kebisingan sebesar
85 dB.
Dalam peringkat risiko, tingkat kebisingan tersebut dikategorikan sebagai
risiko rendah sehingga dapat diterima perusahaan. Karena itu tidak diperlukan
tindakan pengendalian lebih lanjut. Perusahaan cukup melakukan pemantauan
berkala baik di tempat kerja maupun terhadap tenaga kerja untuk mengetahui
apakah ada efek yang tidak diinginkan.
Sebaliknya jika tingkat kebisingan mencapai 100-110 dB, maka risiko ini
tidak dapat diterima karena berbahaya terhadap pendengaran dan kesehatan
pekerja. Karena itu harus dilakukan tindakan pengendalian yang dapat dilakukan
dengan beberapa pilihan yaitu:
Mengurangi kemungkinan (reduce likelihood)
Mengurangi keparahan (reduce consequance)
Pengalihan risiko sebagian atau seluruhnya (risk transfer)
Menghindar dari risiko (risk avoid)
Berkaitan dengan risiko k3, pengendalian risiko dilakukan dengan
mengurangi kemungkinan atau keparahan dengan mengikuti hierarki sebagai
berikut:
a. Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber
bahaya, misalnya lubang di jalan ditutup, ceceran minyak dilantai
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3
57
b.
c.
d.
e.
dibersihkan, mesin yang bising dimatikan. Cara ini sangat efektif karena
sumber bahaya dieliminasi sehingga potensi risiko dapat dihilangkan. Karena
itu, teknik ini menjadi pilihan utama dalam hirarki pengendalian risiko.
Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat,
bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau
lebih rendah bahayanya. Teknik ini banyak digunakan, misalnya bahan kimia
berbahaya dalam proses produksi diganti dengan bahan kimia lain yang lebih
aman. Bahan kimia CFC untuk AC yang berbahaya bagi lingkungan diganti
dengan bahan lain yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Pengendalian Teknis
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang
ada di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan
melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan
peralatan pengaman. Sebagai contoh, mesin bising dapat diperbaiki secara
teknis misalnya dengan memasang peredam suara sehingga tingkat
kebisingan ditekan.
Pencemaran di ruang kerja dapat diatasi dengan memasang sistem
ventilasi yang baik. Bahaya pada mesin dapat dikurangi dengan memasang
pagar pengaman atau sistem interlock.
Pengendalian Administratif
Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif
misalnya dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur
kerja yang lebih aman, rotasi atau pemeriksaan kesehatan.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai
alat pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, pelindung
pernafasan (respirator atau masker), pelindung jatuh, dan pelindung kaki.
Dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan terakhir atau
lastresort dalam pencegahan kecelakaan.
Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah
kecelakaan (reduce likelihood) namun hanya sekedar mengurangi efek atau
keparahan kecelakaan (reduce consequances). Sebagai contoh, seseorang
yang menggunakan topi keselamatan bukan berarti bebas dari bahaya
tertimpa benda. Namun jika ada benda jatuh, kepalanya akan terlindung
sehingga keparahan dapat dikurangi. Akan tetapi, jika benda yang jatuh
sangat berat atau dari tempat yang tinggi, topi tersebut mungkin akan pecah
karena tidak mampu menahan beban.
Alat keselamatan ada berbagai jenis dan fungsi yang dapat
dikategorikan sebagai berikut:
58
1) Alat pelindung kepala, untuk melindungi bagian kepala dari benda yang
jatuh atau benturan misalnya topi keselamatan baik dari plastik,
aluminium, atau fiber.
2) Alat pelindung muka untuk melindungi percikan benda cair, benda padat
atau radiasi sinar dan panas misalnya pelindung muka (face shield), dan
topeng las.
3) Alat pelindung mata untuk melindungi dari percikan benda, bahan cair
dan radiasi panas, misalnya kaca mata keselamatan, google dan kacamata
las.
4) Alat pelindung pernafasan untuk melindungi dan bahan kimia, debu uap
dan asap yang berbahaya dan beracun. Alat pelindung pernafasan sangat
beragam seperti masker debu, masker kimia, respirator, dan breathing
apparatus(BA).
5) Alat pelindung pendengaran untuk organ pendengaran dari suara yang
bising misalnya sumbat telingan (ear plug), dan katup telingan (ear
muff).
6) Alat pelindung badan untuk melindungi bagian tubuh khususnya dada
dari percikan benda cair, padat, radiasi sinar dan panas misalnya appron
dari kulit, plastik, dan asbes.
7) Alat pelindung tangan untuk melindungi bagian jari dan lengan dari
bahan kimia, panas atau benda tajam misalnya sarung tangan kulit, PVC,
asbes dan metal.
8) Alat pelindung jatuh untuk melindungi ketika terjatuh dari ketinggian
misalnya ikat pinggang keselamatan (safety belt), harness, dan jaring.
9) Alat pencegah tenggelam melindungi jika jatuh ke dalam air misalnya
baju pelampung, pelampung dan jaring pengaman.
10) Alat pelindung kaki untuk melindungi bagian telapak kaki, tumit atau
betis dari benda panas, cair, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan
lainnya, misalnya sepatu karet, sepatu kulit, sepatu asbes, pelindung kaki
dan betis. Untuk melindungi dari kejatuha benda, sepatu keselamatan
dilengkapi dengan pelindung logam di bagian ujungnya (steel to cap).
Sesuai dengan ketentuan pasal 14C Undang-undang Keselamatan
Kerja No.1 tahun 1970, pengusaha wajib menyediakan alat keselamatan
secara cuma-cuma sesuai dengan sifat bahayanya. Oleh karena itu, pemilihan
alat keselamatan harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan
jenis bahaya serta diperlakukan sebagai pilihan terakhir.
59
5.
7
60
61
Hasil penilaian risiko khususnya yang bersifat kualitatif dapat di gunakan sebagai
saringan awal dari seluruh risiko yang ada. Organisasi dapat memfokuskan diri
terhadap risiko-risiko yang signifikan misalnya memiliki peringkat sedang sampai
tinggi.jika diperlukan analisa lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan
metoda kuantitatif kehingga kriteria risiko dapat lebih objektif.
Langkah 4 : Melakukan Evaluasi Risiko
Hasil analisa risiko digunakan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut
untuk menentukan apakah risiko dapat diterima atau tidak. Jika dapat diterima
tentunya aktivitas dapat diteruskan. Jika risiko tidak dapat diterima, perlu
dilakukan langkah pengendalianuntuk menekan tingkat risiko.
Langkah 5 : Pengendalian Risiko
Langkah berikutnya adalah mrnrntukan langkah atau cara pengendalian
agar risiko yang tersisa (residual risk) masih dapat diterima. Pengendalian yang
baik harus mampu menekan tingkat risiko.
Langkah 6 : Komunikasi Risiko
Hasil penelitian dan pengendalian risiko harus dikomunikasikan kepada
semua pihak terkait baik internal maupun eksternal organisasi. Siapkan data risiko
yang ada dan dokumentasikan sehingga mudah diperoleh. Data tersebut harus di
mutakhirkan sesuai dengan perkembangan pengendaliannya.
Langkah 7 : Dokumentasi Manajemen Risiko
Hasil manajemen risiko harus di dokumentasikan dengan baik karena
diperlukan untuk pengembangan program K3 selanjutnya misalnya program
pengendalian bahaya, rencana modifikasi, audit K3 dan analisa kejadian.
Catatan risiko (risk register) tersebut memuat dengan rinci seluruh
informasi mengenai risiko antara lain nomor urut risiko, lokasi, jenis, tingkat
risiko dan rencana pengendaliannya.informasi ini harus disimpan dan di
komunikasikan kepada semua pihak terkait, sehingga dapat digunakan dalam
aktivitas masing-masing.
62
Langkah
3
Penilaian
Risiko
1.
2.
3.
1.
2.
Hasil/Penjelasan
Evaluasi berdasarkan visi
dan
misi
organisasi,
tuntutan
pemangku
kepentingan dan strategi
bisnis.
Buat
kriteria
risiko
berdasarkan kondisi dan
kemampuan organisasi
Susun peta risiko secara
korporat.
Pemetaan dapat dilakukan
menurut proses, aktivitas
atau struktur organisasi.
Risk Register mencatat
semua sumber bahaya,
lokasi, tingkat risiko dan
rencana pengendaliannya.
Gunakan kriteria risiko
yang telah ditetapkan.
Gunakan matrik risiko yang
telah ditetapkan.
63
Komunika
si Risiko
Langkah
7
Dokument
asi
Manajeme
n Risiko
Langkah
8
Implement
asi
Manajeme
n Risiko
5.
8
Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja
yang menderita gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih
mudah mengalami kecelakaan kerja. Menengok ke negara-negara maju,
penanganan kesehatan pekerja sudah sangat serius. Mereka sangat menyadari
bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara akibat suatu
kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat besar dan dapat ditekan
dengan upaya-upaya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja.
Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan keselamatan kerja dan
banyak buku serta hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja
yang telah diterbitkan. Di era globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada
di negara maju. Dalam hal penanganan kesehatan pekerja, kitapun harus
mengikuti standar internasional agar industri kita tetap dapat ikut bersaing di
pasar global. Dengan berbagai alasan tersebut rumah sakit pekerja merupakan hal
yang sangat strategis. Ditinjau dari segi apapun niscaya akan menguntungkan baik
bagi perkembangan ilmu, bagi tenaga kerja, dan bagi kepentingan (ekonomi)
nasional serta untuk menghadapi persaingan global.
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada, rumah sakit pekerja
akan menjadi pelengkap dan akan menjadi pusat rujukan khususnya untuk kasuskasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Diharapkan di setiap kawasan industri
akan berdiri rumah sakit pekerja sehingga hampir semua pekerja mempunyai
akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Setelah itu
perlu adanya rumah sakit pekerja sebagai pusat rujukan nasional. Sudah barang
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3
64
tentu hal ini juga harus didukung dengan meluluskan spesialis kedokteran okupasi
yang lebih banyak lagi. Kelemahan dan kekurangan dalam pendirian rumah sakit
pekerja dapat diperbaiki kemudian dan jika ada penyimpangan dari misi utama
berdirinya rumah sakit tersebut harus kita kritisi bersama.
Kecelakaan kerja adalah salah satu dari sekian banyak masalah di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat menyebabkan kerugian jiwa dan
materi. Salah satu upaya dalam perlindungan tenaga kerja adalah
menyelenggarakan P3K di perusahaan sesuai dengan UU dan peraturan
Pemerintah yang berlaku. Penyelenggaraan P3K untuk menanggulangi kecelakaan
yang terjadi di tempat kerja. P3K yang dimaksud harus dikelola oleh tenaga
kesehatan yang professional.
Yang menjadi dasar pengadaan P3K di tempat kerja adalah UU No. 1
Tahun 1970 tentang keselamatan kerja; kewajiban manajemen dalam pemberian
P3K, UU No.13 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Mentri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja ;
tugas pokok meliputi P3K dan Peraturan Mentri Tenaga Kerja No. 05/Men/1995
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
5.
9
65
Anamnese pekerjaan
Penyakit yang pernah diderita
Alrergi
Imunisasi yang pernah didapat
Pemeriksaan badan
Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :
- Tuberkulin test
- Psiko test
2.
Pemeriksaan Berkala Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan
secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya
resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak
waktu antar pemeriksaan berkala. Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal
dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan
resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
3.
Pemeriksaan Khusus Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada
khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada
atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai
unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern
laboratorium kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga
harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di
sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk
mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau
masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act
dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.
5.14.
0
66
5.8.1 Pemantauan
Proses pelaksanaan manajemen K3 harus dipantau secara berkala
dari waktu ke waktu untuk memastikan bahwa sistem berjalan sesuai
dengan rencana. Sama halnya dengan berbagai petunjuk yang ada di
dash board mobil, pemantauan akan membantu pengemudi sepanjang
perjalanan. Pengemudi dapat mengetahui beberapa jarak yang sudah
ditempuh, berapa bahan bakar yang masih tersisa, kondisi mesin
kendaraan dan parameter lainnya. Jika ada penyimpangan, manajemen
dapat segera mengambil langkah koreksi.
Pemantauan dapat dilakukan melalui observasi, laporan atau
rapat pelaksanaan yang diadakan secara berkala untuk melihat progres
report kemajuan pelaksanaan K3.
5.8.2 Pengukuran kinerja
Pengukuran kinerja K3, sejalan dengan konsep manajemen
modern, dilakukan sepanjang proses SMK3 sejak tahap perencanaan
samapai pelaksanaannya.
Pengukuran dilakukan secara konsepsional agar dapat
memberikan makna dan manfaat bagi manajemen. Frank Bird dalam
Loss Control Management menyesuaikan tahan pengukuran kinerja
dengan proses kecelakaan yang meliputi 3 tahap yaitu pengukuran
sebelum kejadian (pre-contact), saat kejadian (contact), dan sesudah
kejadian (post-contact).
67
68
69
70
15 x 200.000
=20
150.000
2. Peralatan Pengukuran
Pengukuran K3 juga memerlukan berbagai peralatan atau alat ukur
sesuai dengan kebutuhan manusia misalnya:
a. Pengukuran kebisingan sound level meter
b. Pengukuran cahaya
c. Pengukuran suhu
d. Detektor kebakaran
e. Pengukuran ketinggian
f. Pengukuran gas beracun dan berbahaya
Alat-alat ukur ini sangat penting dan menentukan keselamatan
operasi.Alat ini harus di rawat kalibrasi dan digunakan sebagai manaa
mestinya.
71
72
73
Ketidaksesuaian
74
75
76
Bab 6
Aplikasi Epidemiologi dalam Bidang K3
6.
Pendahuluan
77
6.
78
79
80
81
Simpulan yang dapat ditarik dari contoh kasus absensi sakit di suatu
Pabrik Motor periode 2004 2005 adalah distribusi absensi sakit paling banyak
pada:
a. Bulan Mei dan Oktober 2004 serta bulan Juli 2005
b. Unit kerja PPIC
c. Kelompok umur 30 39 tahun
d. Masa kerja > 10 tahun
e. Jabatan Operator (pekerja Direct manual)
f. Kelompok pekerja permanen dan sudah menikah
g. Penyakit dengan keluhan demam
a.
b.
c.
d.
6.2.2. Dugaan Penyakit Akibat Kerja di Pabrik Colour Printing tahun 1985
Pada tahun 1985, bagian kesehatan suatu pabrik colour printing menerima
laporan berupa tiga orang dirawat dengan kondisi hepatitis akut. Satu orang di
antaranya mengalami gagal ginjal akut. Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan
evaluasi faktor risiko hepatitis dan gagal ginjal akut dengan hasil sebagai berikut:
82
1. Keberadaan Hepatitis A dan B dapat dilihat dari IgM-HAV dan HBsAg orang
sakit dibandingkan dengan orang tang tidak sakit. Hasil pemeriksaan tidak
menemukan pasien terinfeksi virus hepatitis
2. Kebiasaan minum alkohol tidak ditemukan
3. keberadaan pelarut di tempat kerja (misalnya kloroform), dengan rincian
sebagai berikut:
a. 17 dari 25 orang pekerja memiliki fungsi hati yang abnormal
b. Pekerja pernah bekerja di salah satu dari 3 ruangan dengan sistem 1 AC
c. Pekerja lain merupakan pembersih mesin cetak (terpajan CCl4)
d. Dilakukan simulasi membersihkan mesin (diketahui kadar lingkungan 115
495 ppm).
Dari kasus tersbut dapat ditarik simpulan berupa:
1. Diduga CCl4 merupakan faktor risiko
2. Setelah eliminasi CCl4, tidak ditemukan kasus baru
3. Perbaikan orang sakit setelah stop pajanan
6.2.3.
Pajanan Benzena, Toluena, dan Xylena Pada Pekerja Pembuat
Sepatu4
Pada pabrik pembuatan sepatu di beberapa daerah di Jawa Barat dan
Banten, seperti Bandung, tangerang, dan Bogor diketahui konsentrasi BTX
sebagai berikut:
Tabel 2. Konsentrasi BTX Pabrik Pembuatan Sepatu di Beberapa Kota di
Indonesia
ppm
Mean
Tangerang
Range
Tangerang
Mean
Bandung
Range
Bandung
Mean
Bogor
Range
Bogor
Benzene
2.29
Toluene
40.81
Xylene
< 0.01
CER
6,63
0,02-5,50
0,71-98,74
< 0.01
0,39-15,94
2.69
21.08
< 0.01
6.44
0,75-7,42
0,56-52,10
< 0.01
2,12-15,63
1.40
76.38
< 0.01
6,62
0,68-3,29
10,51147,36
< 0.01
1,90-13,68
83
Tabel 3. Kadar Asam t,t Mukonat dan Asam Hipurat pada Pekerja Pembuat
Sepatu
t,t-muconic acid
(ug/g creatinine)
Tangerang Bandung Bogor
Geomean 22806.21 11698.05 11808.25
Rerata
27267.58 16004.52 20250.77
SD
22732.43 14017.17 22497.65
min
10796
2786
1454
max
131765
69439
83395
Hypuric acid
(g/g creatinine)
Tangerang Bandung
0.46
0.15
0.61
0.26
0.34
0.30
0.018
0.026
1.192
1.098
Bogor
0.34
0.62
0.71
0.02
2.945
Keterangan:
- Konsentrasi asam t,t mukonat urin sebesar 500 ug/g kreatinin (BEI)
- Konsentrasi asam hipurat urin sebesar 1,6 ug/g kreatinin (BEI)
Berdasarkan hasil pengukuran kadar BTX di lingkungan dan
biomonitoring terhadap metabolit BTX di urine pekerja, dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Konsentrasi benzena dalam sebagian besar sampel udara lingkungan kerja
melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Hal ini berbanding lurus dengan
konsentrasi asam t,t mukonat yang juga melebihi Indeks Pajanan Biologi
(IPB).
2. Kadar toluena pada sampel udara lingkungan kerja, terdapat 11 dari 21 pabrik
melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Hal ini berbanding lurus dengan kadar
asam hipurat yang juga melebihi Indeks Pajanan Biologi (IPB).
3. Konsentrasi xylena pada semua sampel udara lingkungan di bawah Nilai
Ambang Batas (NAB)
4. Hanya ada 2 dari 21 pabrik yang memiliki CER (Cumulative Exposure Ratio)
<1
Rekomendasi yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil tersebut
berupa Manajemen Risiko Kesehatan Kerja yang antara lain berupa:
1. Training K3 bagi semua pekerja
2. Perbaikan sistem ventilasi
3. Penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja
4. Penelitian epidemiologi lebih lanjut (studi kohort)
6.
84
Tabel 4.
85
86
2.
87
88
5.
89