Anda di halaman 1dari 89

Bab 1

Pendahuluan
Latar Belakang
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita
perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka
menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat
hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi. Dalam
pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak
terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko
bahaya di tempat kerjanya.
Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling
berat tergantung jenis pekerjaannya. Dari hasil penelitian di sarana kesehatan
Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami
gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa
nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057
perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya
hubungan kausal antara pemajanan gas anastesi dengan gejala neoropsikologi
antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Pelayanan publik dewasa ini telah menjadi isu yang semakin strategis,
karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas
dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa
memperbaiki iklim ekonomi yang amat diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk
bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kinerja birokrasi pelayanan
publik di Indonesia yang sering mendapat sorotan dari masyarakat menjadi faktor
penentu yang penting dari penurunan minat investasi. Dalam kehidupan politik,
perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan mempunyai implikasi luas,
terutama dalam tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kurang
baiknya kinerja birokrasi menjadi salah satu faktor penting yang mendorong
munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya
perbaikan kinerja pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki kembali citra
pemerintah di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan yang semakin
baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali sehingga
pemerintah bisa meningkatkan legitimasi yang lebih kuat di mata publik.
Kondisi pelayanan yang dilaksanakan pemerintah dalam berbagai jenis
pelayanan masih dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Hal ini dapat kita
lihat dari adanya berbagai pengaduan maupun keluhan, baik yang disampaikan
langsung kepada institusi unit pelayanan maupun melalui media cetak ataupun
I

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

elektronika. Di sisi lain, masyarakat sendiripun belum memberikan kontrol yang


efektif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik. Oleh sebab itu, untuk
lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, upaya-upaya
peningkatan pelayanan publik terus ditingkatkan melalui berbagai pembenahan
yang menyeluruh baik dari aspek kelembagaan, kepegawaian, tatalaksana dan
akuntabilitas. Diharapkan, hal ini dapat menghasilkan pelayanan yang prima yaitu
pelayanan yang cepat, tepat, murah, aman, berkeadilan dan akuntabel.

1.

Sejarah Perkembangan Epidemiologi Keselamatan Dan Kesehatan


Kerja (K3)

1.1.1

Sejarah Perkembangan Epidemiologi K3


Sejarah perkembangan epidemiologi K3 mulai dari zaman prasejarah sampai dengan zaman modern adalah sebagai berikut:
a. Zaman Pra-Sejarah
Pada zaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) dimana
manusia yang hidup pada zaman ini telah mulai membuat kapak dan
tombak yang mudah untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi
mereka saat digunakan. Disain tombak dan kapak yang mereka buat
umumnya mempunyai bentuk yang lebih besar proporsinya pada mata
kapak atau ujung tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan kapak
atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang besar karena
dengan sedikit ayunan momentum yang dihasilkan cukup besar.
Desain yang mengecil pada pegangan dimaksudkan untuk tidak
membahayakan bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut.
b. Zaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak
Pada era ini masyarakat sudah mencoba membuat sarung kapak
agar aman dan tidak membahayakan bagi orang yang membawanya.
Pada masa ini masyarakat sudah mengenal berbagai macam peralatan
yang digunakan untuk membantu pekerjaan mereka. Dan semakin
berkembang setelah ditemukannya tembaga dan swasa sekitar 30002500 BC. Pada tahun 3400 BC masyarakat sudah mengenal konstruksi
dengan menggunakan batubata yang dibuat proses pengeringan oleh
sinar matahari. Pada era ini masyarakat sudah membangun saluran air
dari batu sebagai fasilitas sanitasi. Pada tahun 2000 BC muncul suatu
peraturan Hammurabi yang menjadi dasar adanya kompensasi
asuransi bagi pekerja.
c. Zaman Mesir Kuno

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Firaun banyak


sekali dilakukan pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang
sebagai tenaga kerja.Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja
Ramses II dilakukan pekerjaan pembangunan terusan dari Mediterania
ke Laut Merah. Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para
pekerja untuk membangun temple Rameuseum.Untuk menjaga agar
pekerjaannya lancar Raja Ramses II menyediakan tabib serta pelayan
untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman Romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah
Hippocrates. Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus
pada awak kapal yang ditumpanginya. Pada tahun 2000 yang lalu
hippocrates juga menemukan faktor lingkungan yang mempengaruhi
kejadian penyakit. Pada abad ke 19 distribusi penyakit pada kelompok
populasi yang spesifik diukur secara luas.
Menurut John Snow, mengatakan bahwa risiko terjadinya
kolera di london berhubungan dengan penyaluran air oleh suatu
perusahaan pada tahun 1848-1849.
Pada awal abad ke 20,
epidemiologi digunakan untuk membandingkan tingkat penyakit pada
kelompok populasi. Dalam epidemiologi modern menurut Doll & Hill
mempelajari hubungan antara menghisap rokok dan kanker paru (awal
tahun 1950-an) bermula dari pengamatan klinik yang menghubungkan
antara dua hal tersebut.
Adapun penyakit akibat yang ditimbulkan yaitu penyakit
AIDS, legioner, malaria dan sebagainya
e. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai
memperkenalkan adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan karena
adanya paparan bahan toksik dari lingkungan kerja, seperti timbal dan
sulfur.Pada masa pemerintahan Jendral Aleksander Yang Agung sudah
dilakukan pelayanan kesehatan bagi angkatan perang.
f. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran
terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan, sehingga menyebabkan
cacat atau meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan
bahaya vapour di lingkungan kerja sehingga disyaratkan bagi pekerja
yang bekerja pada lingkungan yang mengandung vapour harus
menggunakan masker.
g. Abad ke-16
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus
Aureolus Theophrastus Bombastus Von Hoheinheim atau yang
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

kemudian lebih dikenal dengan sebutan Paracelsus mulai


memperkenalkan penyakit akibat kerja terutama yang dialamai oleh
pekerja tambang.Pada era ini seorang ahli yang bernama Agricola
dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai melakukan upaya
pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan
prinsip ventilasi.
h. Abad ke-18
Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino Ramazzini
(1664 1714) dari Universitas Modena di Italia, menulis dalam
bukunya yang terkenal : Discourse on the diseases of workers, (buku
klasik ini masih sering dijadikan referensi oleh para ahli K3 sampai
sekarang). Ramazzini melihat bahwa dokter pada masa itu jarang yang
melihat hubungan antara pekerjaan dan penyakit, sehingga ada kalimat
yang selalu diingat pada saat dia mendiagnosa seseorang yaitu What
is Your occupation ?. ramazzini melihat bahwa ada dua faktor besar
yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu bahaya yang ada dalam
bahan yang digunakan ketika bekerja dan adanya gerakan janggal yang
dilakukan oleh para pekerja ketika bekerja (ergonomic factors).
i. Era Revolusi Industri (Traditional Industrialization)
Pada era ini hal yang turut mempengaruhi perkembangan K3
adalah :
1) Penggantian tenaga hewan dengan mesin, seperti mesin uap yang
baru ditemukan sebagai sumber energi.
2) Penggunaan mesin yang menggantikan tenaga manusia
3) Pengenalan metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya
bidang industri kimia dan logam).
4) Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar
berkembangnya industri yang ditopang oleh penggunaan mesinmesin baru.
5) Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakitpenyakit yang berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahanbahan sisa pembakaran.
J. Era Industrialisasi (Modern Idustrialization)
Sejak era revolusi industri di atas sampai dengan pertengahan
abad 20, maka penggunaan teknologi semakin berkembang sehingga
K3 juga mengikuti perkembangan ini. Secara keilmuan K3 konsep
yang berkembang pada era ini adalah mengenai metode-metode
pengendalian bahaya kecelakaan dan potensi gangguan kesehatan
dengan pendekatan Engineering, Administrative, dan penggunaan alat
pelindung diri saat bekerja. Masalah yang muncul sangatberhubungan
dengan sistem operasionalisasi kerja yang dibantu dengan mesin yang
canggih. Seiring dengan kemajuan teknologi serta munculnya
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

permasalahan baru di lingkungan kerja terutama aspek keselamatan


dan kesehatan pekerja saat bekerja dengan mesin maka mulai
dikembangkan alat pelindung diri, safety devices, interlock dan alat
pengaman lainnya juga turut berkembang.
k. Era Manajemen dan Manjemen K3
Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak tahun
1950-an hingga sekarang. Perkembangan ini dimulai dengan teori
Heinrich (1941) yang meneliti penyebab kecelakaan bahwa umumnya
(85%) terjadi karena faktor manusia (unsafe act) dan faktor kondisi
kerja yang tidak aman (unsafe condition).
Pada era ini berkembang sistem automasi pada pekerjaan
untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap
faktor manusia. Namun sistem otomasi menimbulkan masalah
manusiawi yang akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan
karena adanya blok pekerjaan dan tidak terintegrasinya masingmasing unit pekerjaan. Sejalan dengan itu Frank Bird dari
International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun 1972
mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa
faktor manajemen merupakan latar belakang penyebab yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan. Berdasarkan perkembangan
tersebut serta adanya kasus kecelakaan di Bhopal tahun 1984,
akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep
keterpaduan sistem manajemen K3 yang berorientasi pada koordinasi
dan efisiensi penggunaan sumber daya. Keterpaduan semua unit kerja,
seperti safety, health dan masalah lingkungan dalam suatu sistem
manajemen juga menuntut adanya kualitas yang terjamin baik dari
aspek input proses dan output. Untuk mencakup semua aspek di
perusahaan, maka manajemen yang dikembangkan adalah manajemen
secara sistem. Secara keilmuan K3 aspek yang berkembang pada era
ini adalah manajemen di bidang K3 serta Integrative System
Management K3. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya standar
internasional, seperti ISO 9000, ISO 14000 dan ISO 18000.
l. Era Mendatang Perkembangan K3
Ternyata aspek K3 tidak hanya diperlukan di lingkungan
industri atau tempat kerja saja. Prasarana dan sarana yang digunakan
atau yang dimanfaatkan oleh masyarakat umumpun perlu
mendapatkan perhatian K3. Permasalahan K3 tidak hanya menjadi
tugas dan tanggung jawab ahli K3, tapi sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat baik yang berada di lingkungan kerja (formal)
maupun masyarakat umum. Oleh sebab itu arah perkembangan K3 di
masa yang akan datang lebih ditekankan kepada aspek perilaku

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

dengan kata lain setiap orang di setiap aktivitas mereka sudah


menerapkan prinsip K3. Pada masa yang akan datang tidak hanya
difokuskan pada permasalahan K3 yang ada sebatas di lingkungan
industri dan pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek yang
sifatnya publik atau untuk masyarakat luas. Penerapan aspek K3 mulai
menyentuh segala sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia serta penerapan hak asazi
manusia demi terwujudnya kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu
saja lebih bayak berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang
merupakan perwujudan aspek-aspek K3.
1.1.2

Tujuan Dari Ilmu Epidemiologi K3


Sebagai ilmu yang bersifat multidisiplin, dan memperkecil atau
menghilangkan potensi bahaya atau risiko yang dapat mengakibatkan
kesakitan dan kecelakaan dan kerugian yang mungkin terjadi.
Menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan
lingkungan
kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat
kerja yang aman, efisien dan efektif.
Kerangka konsep berfikir epidemiologi K3 adalah suatu upaya
memahami risiko terjadinya penyakit atau cedera dalam rangka melakukan
tindakan upaya pencegahan atau pengendalian. Dalam hal ini epidemiologi
kesehatan kerja akan menentukan faktor determinan dari penyakit akibat
kerja terhadap kejadian kecelakaan kerja dan distribusinya pada
masyarakat pekerja.

1.1.3

Terapan Ilmu Epidemiologi K3 Dalam Pekerja


Epidemiologi K3 adalah penerapan ilmu epidemiologi dalam
kesehatan kerja agar tenaga kerja dapat bekerja secara aman, nyaman,
sehat dan produktif serta berusaha terhindar dari risiko bahaya di tempat
kerja. Konsep dari epidemiologi K3 masih berhubungan dengan konsep
epidemiologi secara umum. Penerapan konsep epidemiologi dalam
lingkup K3 adalah suatu upaya memahami risiko terjadinya penyakit atau
cedera dalam rangka melakukan tindakan upaya pencegahan atau
pengendalian. Dalam hal ini epidemiologi kesehatan kerja akan
menentukan dan mempelajari faktor determinan dari penyakit akibat kerja
terhadap kejadian kecelakaan kerja dan distribusinya pada masyarakat
pekerja. Dapat dikatakan bahwa epidemiologi merupakan faktor penentu
yang penting untuk mengidentifikasi penyebab dari terjadinya bahaya
kecelakaan kerja. Data hasil studi ilmu epidemiologi kesehatan kerja

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

penting untuk menunjang suatu kebijaksanaan program bidang


keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terutama terhadap upaya penurunan
risiko potensi bahaya kecelakaan kerja / gangguan kesehatan pada tenaga
kerja. Dalam hal ini untuk mendapatkan hasil studi epidemiologi perlu
adanya suatu penelitian. Penelitian epidemiologi secara umum
dilaksanakan untuk mendeskripsikan penyakit atas dasar agent, host dan
environment, meneliti mekanisme terjadinya penyakit, meneliti faktorfaktor determinan bagi suatu penyakit, mencari teknik diagnostik yang
spesifik, mencari cara pencegahan penyakit, pengendalian dan
pemberantasannya, dan mengikuti berbagai faktor sebagai agent potensial,
meneliti, lalu melakukan identifikasi apa efek potensial agent terhadap
mikroorganisme dan organisme lainnya. Ruang lingkup atau manfaat
epidemiologi kesehatan kerja diantaranya penyebab (causation), riwayat
alamiah penyakit (natural history of desease), menjelaskan status
kesehatan populasi pekerja (description of health status of population), dan
melakukan penilaian terhadap perlakuan yang diberikan (evaluasi of
intervetion). Pertama, terdapat tiga faktor penyebab terjadinya kecelakaan
kerja diantaranya faktor agen, host, dan lingkungan. Dari ketiga faktor
tersebut memiliki peran dalam penentu faktor kesehatan dari para
pekerjanya. Pada faktor lingkungan dibagi lagi penjabaran lima faktor
diantaranya faktor psikologis, faktor biologis, faktor kimia, faktor
kecelakaan, dan faktor fisika. Yang termasuk faktor psikologis adalah
tingkat stress, pembagian pekerjaan, serta hubungan dalam penggajian
pekerja dan lain-lain. Faktor biologis dipengaruhi oleh aktivitas organisme
yang berada pada lingkungan pekerjaan seperti bakteri, virus, dan parasit.
Faktor kimia misalnya debu, bahan kimiawi, rokok. Faktor kecelakaan
diantaranya situasi bahaya dan sebagainya. Dan faktor fisika misalnya
iklim, bising, cahaya, radiasi. Kedua, riwayat penyakit ilmiah
menunjukkan peranan hubungan antar faktor-faktor tadi secara berganda.
Ketiga, mendeskripsikan status kesehatan pekerja, dengan adanya
epidemiologi K3 kita dapat mengetahui status dari kesehatan pekerja.
Keempat, evaluasi yang merupakan penilaian terhadap perlakuan yang
diberikan. Dengan hasil yang telah didapatkan, kita dapat melakukan
beberapa tindakan dalam upaya mencapai kesehatan dengan mengadakan
promosi kesehatan, pelayanan kesehatan masyarakat, dan pelayanan
pengobatan. Epidemiologi kesehatan kerja merupakan bentuk kegiatan
yang erat hubungannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan
masyarakat serta penilaian hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada
penduduk tertentu. Salah satu bentuk penelitian epidemiologi yakni
penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

masyarakat untuk mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan


keadaan normal dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, populasi
sasaran ditentukan secara cermat serta setiap perubahan yang timbul
merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak peneliti. Model dasar
penelitian epidemiologi biasanya dilakukan di laboratorium atau lapangan
dan bersifat observasional atau eksperimen. Kemudian dilakukan
penyusunan laporan didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang
telah dilakukan secara analisis deskriptif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemanfaatan
epidemiologi K3 memiliki peranan penting dalam analisis status kesehatan
pekerja yang mana terdapat berbagai indikator-indikator yang harus
diperhatikan. Setelah diadakannya penelitian, hasil yang akan diterima
akan menjadi acuan pekerja untuk lebih memperhatikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan melakukan pencegahan maupun pengobatan terhadap
suatu penyakit atau kecelakaan kerja.
1.3

Aspek hukum
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan ketentuan
perundangan dan memiliki landasan hukum yang wajib dipatuhi semua
pihak, baik pekerja, pengusaha atau pihak terkait lainnya. Di Indonesia
banyak peraturan perundangan yang menyangkut keselamatan dan
kesehatan kerja, beberapa diantarannya:
Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Diberlakukan pada tanggal 12 Januari 1970 yang memuat
berbagai persyaratan tentang Keselamatan Kerja. Dalam Undandundang ini, ditetapkan mengenai kewajiban pengusaha, kewajiban dan
hak tenaga kerja serta syarat-syarat keselamatan kerja yang harus
dipengaruhi oleh organisasi.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam perundangan mengenai ketenagakerjaan ini salah
satunya memuat tentang keselamatan kerja yaitu:
a. Pasal 86 menyebutkan bahwa setiap organisasi wajib menerapkan
upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk melindungi
keselamatan tenaga kerja.
b. Pasal87 mewajibkan setiap organisasi melaksanakan Sistem
Manajemen K3.
Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlimdungan
Konsumen antara lain pada pasal 2 menyebutkan bahwa
perlindungan
konsumen
berdasarkan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen. Selanjutnya

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

pada pasal 4 menyebutkan mengenai hak konsumen antara lain hak


atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam konsumen
barang dan/atau jasa. Di dalam perundangan ini terkandung aspek
keselamatan konsumen dan keselamatan produk.
Undang-Undang No. 22 tentang Migas
Undang-Undang mengenai migas ini memasukkan aspek
keselamatan sebagai salah satu persyaratan dalam pengolaan migas
yang harus dipenuhi oleh badan usaha Migas antara lain pasal 40 ayat
(2): Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan
kesehatan kerja serta pengolaan lingkungan hidup dan mentaati
ketentuaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang No. 17 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Perundangan ini berkaitan dengan keselamatan konstruksi
(construction safety) dan keselamatan bangunan (building safety)
antara lain pasal 23 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknitan, keamanan,
keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata
lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib
penyelenggaraan pekerja konstruksi.
Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Gedung memuat aspek keselamatan bangunan (building safety)
antara lain:
a. Pasal 16: Persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi
persyaratan
keselamatan,
kesehatan,
kenyamanan
dan
kemudahan.
b. Pasal 17: Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana
meliputi persyaratan kemampuan bangunan-bangunan gedung
dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan
bahaya petir.
c. Pasal 21: Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi
persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan
penggunaan bahan bangunan gedung.
Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Bab XI lingkungan hidup dan keteknitan memuat tentang aspek
keselamatan:
Pasal 44 (1) setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib
memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan (2) Ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada (1)
bertujuan untuk mewujudkan kondisi a) andal dan aman bagi instalasi,
b) aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup, c) ramah
lingkungan pasal 44 (3) Ketentuan Keselamatam ketenagalistrikan
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a) pemenuhan standar


peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik, b) pengamanan instalasi
listrik, c) pengamanan pemanfaatan listrik ayat (4) Setiap instalasi
tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat layak operasi,
ayat (5) setiap peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik yang
beroperasi wajib memenuhi ketentuan SNI, (6) Setiap tenaga teknis
dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki kompetensi, (7)
ketetuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat layak
operasi, SNI dan sertifikat kompetensi dimaksud pada ayat (1) sampai
(6) diatur dengan peraturan pemerintah.
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Februari 1993
Pasal 1: Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja
Pasal 2: Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul
karena hubungan kerja berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja
baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan
kerja berakhir.
Pasal 3: Hak atas jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang
hubungan kerjanya telah berakhir sebagaimana di maksud pada pasal
2 diberikan, apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat
penyakit tersebut diakibatkan oleh pekerjaan selama tenaga kerja yang
bersangkutan masih dalam hubungan kerja. Hak jaminan Kecelakaan
kerja sebaimana dimaksud dalam ayat (1) Diberikan, apabila penyakit
tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
hubungan kerja tersebut berakhir.
Pasal 4: penyakit yang timbul akibat kerja sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1,sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan
Presiden ini.

Bab 2
Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
2.

Pengertian Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani, yang artinya epi = tentang,


demos = rakyat, dan logos = ilmu. Awalnya epidemiologi hanya mempelajari
epidemi penyakit infeksi penyakit yang mewabah pada masyarakat. Pada
pertengahan abad ke-20 hingga saat ini para peneliti epidemiologi mulai
mempelajari faktor-faktor risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner,

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

10

stroke dan kanker bahkan termasuk penyakit-penyakit gaya hidup (life-style


disease) seperti kebiasaan merokok dan faktor perilaku lainnya.
Epidemiologi merupakan suatu cabang ilmu kesehatan untuk
menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah kesehatan dalams suatu
penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya masalah gangguan
kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya.
Epidemiologi adalah suatu ilmu yang berkenaan dengan morbiditas dan
mortalitas: mempelajari distribusi status kesehatan dan penyakit pada masyarakat
serta distribusi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kesehatan dan
determinanya. (WHO, 1986)
Epidemiologi juga berarti ilmu tentang distribusi dan determinandeterminan dari kejadian yang berhubungan dengan kesehatan dalam suatu
populasi tertentu (Last, 1988). Obyek epidemiologi adalah pada sekelompok
individu (masyarakat) dan mengamati semua kejadian / peristiwa dan semua
faktor yang menyertainya serta menganalisa hasil pengamatan tersebut.
Epidemiologi kesehatan keselamatan kerja adalah studi yang
mempelajari efek kesehatan yang disebabkan oleh faktor-faktor pemaparan
(bahaya) di lingkungan kerja. Selain itu gaya hidup ( merokok, minum minuman
keras, pola makan kebiasaan olah raga merupakan faktor sekunder yang turut
memodifikasi variabel yg menyertai pemaparan faktor lingkungan kerja.
Epidemiologi K3 adalah suatu studi tentang efek pajanan-pajanan di
tempat kerja terhadap frekuensi dan distribusi penyakit dan cidera pada suatu
populasi dengan demikian termasuk kategori dalam sub disiplin orientasi
pajanan.
Epidemiologi K3 adalah penerapan ilmu epidemiologi dalam kesehatan
kerja agar tenaga kerja dapat bekerja secara aman, nyaman, sehat dan prodktif
serta berusaha terhindar dari resiko bahaya ditempat kerja. Konsep dari
epidemiologi K3 masih berhubungan dengan konsep epidemiologi secara umum.
Penerapan konsep epideiologi dalam lingkup K3 adalah suatu upaya memahami
risiko terjadinya penyakit atau cedera dalam rangka melakukan tindakan upaya
pencegahan atau pengendalian. Dalam hal ini epidemiologi kesehatan kerja akan
menentukan dan mempelajari faktor determinan dari penyakit akibat kerja
terhadap kejadian kecelakaan kerja dan distribusi pada masyarakat pekerja.
Dapat dikatakan bahwa epidemiologi merupakan faktor penentu yang
penting untuk mengidentifikasi penyebab dari terjadinya bahaya di tempat kerja.
Data hasil studi ilmu epidemiologi kesehatan kerja penting untuk menunjang
suatu kebijaksanaan program bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
terutama terhadap upaya penurunan risiko potensi bahaya kecelakaan
kerja/gangguan kesehatan pada tenaga kerja. Dalam hal ini untuk mendapatkan
hasil studi epidemiologi perlu adanya suatu penelitian. Penelitian epidemiologi

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

11

secara umum dialksanakan untuk mendeskripsikan dasar agent, host dan


environment, meneliti mekanisme terjadinya penyakit, meniliti faktor-faktor
determinan bagi suatu penyakit, mencari teknik diagnostik yang spesifik, mencari
cara pencegahan penyakit, pengendalian dan pemberantasannya, dan mengikuti
berbagai faktor sebagai agent potensial, meneliti lalu melakukan identifikasi apa
efek potensial agent terhadap mikroorganisme dan organisme lainnya.

2.

Tujuan Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tujuan adanya epidemiologi di lingkup kesehatan keselamatan kerja


adalah untuk menentukan pemapar yang menyebabkan penyakit akibat pekerjaan
atau gangguan kesehatan dan merekomendasi upaya pencegahan serta
menyediakan data untuk proyeksi yang akan datang. Pendekatan yang dilakukan
dalam epidemiologi kesehatan keselamatan kerja eksperimental, observasional
(retrospektif dan prospektif).
Dan untuk penilaian standar paparan yang melibatkan mekanisme induksi
penyakit dan prediksi hubungan antara dosis-respon.

2.

Manfaat Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Manfaar epidemiologi dalam lingkup kesehatand an keselamatan kerja


dalam penganalisa status kesehatan pekerja sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi faktor sebagai bahan perencanaan, manajemen dan evaluasi.
2. Menyusun standar keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Menggambarkan mekanisme toksisitas dan proporsi kelompok tenaga kerja
yang terpapar hazard ke arah perkembangan atau timbulnya penyakit akibat
pekerjaan atau gangguan kesehatan.
4. Melihat banyaknya kesakitan akibat penyakit akibat pekerjaan atau
kecelakaan kerja antara berbagai kelompok tenaga kerja.
5. Menjelaskan sebab terjadinya penyakit akibat pekerjaan atau kecelakaan
kerja.
6. Mencari hubungan sebab akibat atau penagruh hazardz bagi tenaga kerja dan
menguji hippotesa.
Epidemiologi kesehatan kerja merupakan bentuk kegiatan yang erat
kaitannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta penilaian
hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu. Salah satu
bentuk penelitian epidemiologi yankni penelitian observasi atau pengamtan
terhadap kejadian alami dalam masyarakat untuk mecari hubungan sebab akibat

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

12

terjadinya gangguan keadaan normal dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini,
populasi sasarn ditentukan secara cermat serta setiap perubahan yang timbul
merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak peneliti. Model dasar
penelitian epidemiologi biasanya dilakukan di alboratorium atau lapangan dan
bersifat observasional atau eksperimen. Kemudian dialkukan penyusunan laporan
didasarkan pada hasil penelitian epidemiologi yang telah dialkukan secara analisis
deskriptif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemanfataan epidemologi K3
memiliki peranan penting dalma analisa status kesehatan pekerja yang mana
terdapat berbagai indikator-indikator yang harus diperhatikan. Setelah
diadakannya penelitian, hasil yang akan diterima akan menjadi acuan pekerja
untuk lebih memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan melakukan
pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit atau kecelakaan kerja.

2.

Sumber-Sumber Data Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan


Kerja
Data epidemiologi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dapat diperoleh

dari:
1. Studi-studi yang berasal dari industry (industry base) yangmmeaparkan
mengenai identifikasi potensial toksik bahan,sumber data dan kebutuhan
spesifik yang tersedia, rekonstruksisejarah paparan, dan hubungannya paparan
dengan pekerja danmonitoring prospektif paparan
2. Studi-studi yang berasal dari masyarakat (community base) yang bersumber
dari riwayat individu, laporan RS, laporan registrasi penyakit, sertifikat
kematian dan sensus.

2.

Ruang Lingkup Epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ruang lingkup atau manfaat epidemiologi kesehatan kerja diantaranya :


1. penyebab (causation),
2. riwayat alamiah penyakit (natural history of desease),
3. menjelaskan status kesehatan populasi pekerja (description of health status of
population), dan
4. melakukan penilaian terhadap perlakuan yang diberikan (evaluasi of
intervetion).
Pertama, terdapat tiga faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja
diantaranya faktor agen, host, dan lingkungan. Dari ketiga faktor tersebut
memiliki peran dalam penentu faktor kesehatan dari para pekerjanya. Pada faktor
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

13

lingkungan dibagi lagi penjabaran lima faktor diantaranya faktor psikologis,


faktor biologis, faktor kimia, faktor kecelakaan, dan faktor fisika. Yang termasuk
faktor psikologis adalah tingkat stress, pembagian pekerjaan, serta hubungan
dalam penggajian pekerja dan lain-lain. Faktor biologis dipengaruhi oleh aktivitas
organisme yang berada pada lingkungan pekerjaan seperti bakteri, virus, dan
parasit. Faktor kimia misalnya debu, bahan kimiawi, rokok. Faktor kecelakaan
diantaranya situasi bahaya dan sebagainya. Dan faktor fisika misalnya iklim,
bising, cahaya, radiasi.
Kedua, riwayat penyakit ilmiah menunjukkan peranan hubungan antar
faktor-faktor tadi secara berganda. Ketiga, mendeskripsikan status kesehatan
pekerja, dengan adanya epidemiologi K3 kita dapat mengetahui status dari
kesehatan pekerja. Keempat, evaluasi yang merupakan penilaian terhadap
perlakuan yang diberikan. Dengan hasil yang telah didapatkan, kita dapat
melakukan beberapa tindakan dalam upaya mencapai kesehatan dengan
mengadakan promosi kesehatan, pelayanan kesehatan masyarakat, dan pelayanan
pengobatan.

2.

1.

2.

Perkembangan K3 dalam ruang lingkup epidemiologi


Pendekatan kohort historis
a. Studi kanker paru-paru pada pekerja gas (Doll, 1952)
b. Bladder cancer among dyestuff factory workers / Kanker kandung kemih
di kalangan pekerja pabrik dyestuff (Case et al, 1954 ; Mancuso and
Coulter 1959).

Penelitian eksperimental
a. In industrial aromatic amines established betanaphthylamine -> potent to
human carcinogen / Dalam amina aromatik industri didirikan
betanaphthylamine -> ampuh untuk karsinogen manusia (Hueper, 1938).
b. Another chemicals caused human carcinogen was reported in some
epidemiological studies in England. (Bahan kimia lain yang
menyebabkan karsinogen pada manusia dilaporkan dalam beberapa studi
epidemiologi di Inggris).
Jenis Penelitian Epidemiologi yang Diaplikasikan dalam K3

2.

Design penelitian adalah suatu rencana tentang cara mengumpulkan dan


mengolah data agar dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian Yang
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

14

termasuk rancangan penelitian adalah: jenis penelitian, populasi, sample,


sampling, instrumen penelitian, cara pengumpulan data, cara pengolahan data,
perlu tidak mengunakan statistik, serta cara mengambil kesimpulan.
a. Cross Sectional
Desain penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah sample
dari populasi dalam suatu waktu. Setelah itu, memeriksa status paparan dan
status penyakit pada titik waktu yang sama dari masing-masing individu
dalam sample tersebut. Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel
subjek pada saat pemeriksaan.
1. Ciri-ciri Crosectional :
a) Mendeskripsikan penelitian
b) Penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding
c) Hubungan sebab akibat hanya merupakan sebab-akibat
d) Penelitian ini menghasilkan hipotesis
e) Merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian analitis
2. Langkah-langkah Cross sectional :
a) Seperti halnya pada berbagai penelitian lain, penelitian crosectional
harus mempunyai tujuan yang jelas, dana, dan fasilitas yang tersedia
serta bagaimana hasil penelitian akan mempunyai daya guna.
b) Kemudian ditentukan penduduk yg memungkinkan untuk diteliti
sesuai dengan tujuan penelitian.
c) Selanjutnya ditentukan pula jenis data yg akan dikumpulkan,
termasuk penentuan variabel sebagai faktor resiko, maupun faktor
lainnya.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

15

Skema dasar penelitian cross sectional

3. Kelebihan
Jenis observasi studi ini bisa digunakan untuk penelitian analitik
dalm bidang kesehatan. Contohnya adalah:
a) Penyakit atau masalah kesehatan, atau efek.
b) Faktor resiko untuk terjadinya penyakit tersebut, yakni faktor
penyebab terjadinya penyakit atau masalah kesehatan.
c) Agen penyakit.
d) Studi ini representatif dalam mendeskripsikan karakteristik populasi
daripada studi case control atau cohort. Selain itu, studi jenis ini juga
lebih efisien untuk merumuskan hipotesis baru.
4. Kekurangan
Studi jenis ini adalah penelitian ini paling mudah untuk dilakukan
dan sangat sederhana. Pengujian hipotesis kausal juga tidak seakurat
cohort dan case control, karena ketidakpastian sekuensi temporal antara
paparan dan penyakit.
a) Diperlukan subjek penelitian yang besar.
b) Tidak dapat menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat.
c) Tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan.
d) Kesimpulan korelasi faktor resiko dengan faktor efek paling lemah
bila dibandingkan dengan dua rancangan penelitian cross sectional
yang lain.
5. Contoh :
Penelitian tentang hubungan bentuk tubuh dengan hipertensi. Maka
peneliti memilih suatu populasi untuk dijadikan penelitian, memilih
sampel penelitian secara random , kemudian dari masing-masing sampel
tersebut diambil data dengan wawancara menderita hipertensi atau tidak
(efek), dan pada saat yang sama juga diambil data paparan yaitu bentuk
tubuh (gemuk atau kurus) dengan metode observasi. Kemudian dihitung

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

16

proporsi penderita hipertensi yang gemuk dan yang kurus, serta yang
bukan penderita hipertensi yang gemuk dan yang kurus. Maka dapat
disimpulkan hubungan antara bentuk tubuh dan hipertensi.

b. Case Control
Penelitian kasus-kontrol adalah suatu penelitian analitik yang
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan retrospektif, dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan efek
atau penyakit tertentu (kelompok kasus) dan kelompok tanpa efek (kelompok
kontrol), kemudian diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa
kelompok kasus terkena efek, sedangkan kelompok kontrol tidak. Desain
penelitian ini bertujuan mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar
berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan
kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan
kelompok kontrol. Jadi, hipotesis yang diajukan adalah : Pasien penyakit x
lebih sering mendapat pajanan faktor risiko Y dibandingkan dengan mereka
yang tidak berpenyakit X. Pertenyaan yang perlu dijawab dengan penelitian
ini adalah : apakah ada asosiasi antara variabel efek (penyakit, atau keadaan
lain) dengan variabel lain (yang diduga mempengaruhi terjadi penyakit
tersebut) pada populasi yang diteliti.
1. Ciri-ciri penelitian case control
a) Penelitian yg bersifat observasional
b) Diawali dengan kelompok penderita dan bukan penderita
c) Terdapat kelompok kontrol
d) Kelompok kontrol harus memiliki risiko terpajan oleh faktor risiko
yg sm dengan kelompok kasus.
e) Membandingkan besarnya pengalaman terpajan oleh faktor risiko
antara kelompok kasus dan kontrol.
f) Tidak mengukur insidensi
2. Langkah-langkahnya :
a) Kriteria Pemilihan Kasus :
Kriteria Diagnosis dan kriteria inklusi harus dibuat dengan jelas.
Populasi sumber kasus dapat berasal dari rumah sakit atau
populasi/masyarakat .
b) Kriteria Pemilihan Kontrol :
Mempunyai potensi terpajan oleh faktor risiko yang sama
dengan kelompok kasus
Tidak menderita penyakit yang diteliti
Bersedia ikut dalam penelitian
Skema dasar penelitian Case Control

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

17

3. Kelebihan
Studi kasus kontrol kadang atau bahkan menjadi satu-satunya
cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang,
atau bila penelitian prospektif tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
sumber atau hasil diperlukan secepatnya.
a) Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
b) Biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
c) Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko
sekaligus dalam satu penelitian (bila faktor risiko tidak diketahui).
d) Tidak mengalami kendala etik seperti pada penelitian eksperimen
atau kohort.
4. Kekurangan
Data mengenai pajanan faktor risiko diperoleh dengan
mengandalkan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden
menyebabkan terjadinya recall bias, baik karena lupa atau responden
yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan faktor risiko
daripada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam
hal ini catatan medik rutin yang sering dipakai sebagai sumber data juga
tidak begitu akurat (objektivitas dan reliabilitas pengukuran variabel
yang kurang).
a) Validasi informasi terkadang sukar diperoleh.
b) Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebanding
karena banyaknya faktor eksternal / faktor penyerta dan sumber bias
lainnya yang sukar dikendalikan.
c) Tidak dapat memberikan incidence rates karena proporsi kasus
dalam penelitian tidak mewakili proporsi orang dengan penyakit
tersebut dalam populasi.
d) Tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel
dependen, hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek.
e) Tidak dapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil pengobatan.
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

18

5. Contoh
Hubungan antara malnutrisi (kekuranagn gizi) pada anak balita
dengan perilaku pemberian makanan oleh ibu. Dilakukan denagn cara
mengidentifikasi variabel depende (efek) seperti malnutrisi dan variabel
independen ( faktor risiko) seperti perilaku ibu, pendidikan pendapatan
keluarga, jumlah anak, dll. Kemudian menetapkan objek penelitian yaitu
pasangan ibu dan balita, yang dilanjutkan mengidentifikasi kasus seperti
anak balita yang menderita malnutrisi ( berat per umurnya kurang dari
75%). Selanjutnya melakukan pengukuran secara retrosektif yaitu anak
balita yang malnutrisi diukur dan ditanyakan kepada ibunya dengan
menggunakan metode recall mengenai perilaku memberikan makanan
kepada anaknya, melakukan analisis data dilakukan dengan
membandingkan proporsi perilaku ibu yang baik dan yang kurang baik
dalam al pemberian makanan kepada anaknya pada kelompok kasus
dengan proporsi ibu yang sama pada kelompok kontrol yang telah
ditentukan. Maka akan diperoleh bukti atau tidak adanya hubungan
antara perilaku pemberian makanan dengan malnitrisi pada anak balita.
c. Cohort
Study cohort adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan
antara paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar
(faktor penelitian) dan kelompok tidak terpapar berdasarkan status
paparannya. Ciri-ciri studi cohort adalah pemilihan subjek berdasarkan status
paparannya, dan kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah
subjek dalam perkembangannya mengalami penyakit atau tidak.
Pada saat mengidentifikasi status paparan semua subjek harus bebas
dari penyakit yang diteliti. Studi cohort disebut juga studi follow-up
(kleinbaum et al., 1982; Rothman, 1986), sebab cohort diikuti dalam suatu
periode untuk diamati perkembang penyakit yang dialaminya.
1. Ciri-ciri Penelitian Kohort :
a) Bersifat observasional
b) Pengamatan dilakukan dari sebab ke akibat
c) Disebut sebagai studi insidens
d) Terdapat kelompok kontrol
e) Terdapat hipotesis spesifik
f) Dapat bersifat prospektif ataupun retrospektif
g) Untuk kohor retrospektif, sumber datanya menggunakan data
sekunder
2. Langkah-langkahnya :
a) Merumuskan pertanyaan penelitian.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

19

b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Penetapan populasi kohort.


Penetapan Besarnya sampel.
Pencarian sumber keterpaparan.
Pengidentifikasian subyek.
Memilih kelompok control.
Pengamatan hasil luaran.
Perhitungan hasil penelitian.
Skema langkah penelitian kohort

3. Kelebihan
a) Study cohort adalah kesesuainnya dengan logika studi eksperimental
dalam membuat inferensi kausal yaitu penelitian dimulai dengan
menentukan faktor penyebab diikuti dengan akibat. Karena pada saat
dimulai penelitian telah dipastikan bahwa semua subjek tidak
berpenyakit.
b) Peneliti dapat menghitung laju insidensi, sesuatu hal yang hampir
tidak mungkin dilakukan pada studi case control, sehingga
perhitungan rasio laju insidensi harus didekati dengan rasio odds.
c) Studi cohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka. Dalam hal ini
rancangan yang efisien adalah memilih subjek berdasarkan status
paparan, untuk memastikan diperolehnya ukuran sample yang cukup
untuk menguji hipotesis.
d) Studi cohort memungkinkan peneliti mempelajari jumlah efek secara
serentak.
e) Karena bersifat opserfasional maka tidak ada subjek yang sengaja
dirugikan karena tidak mendapat terapi yang bermanfaat, atau
mendapat paparan faktor yang merugikan kesehatan.
4. Kelemahan
a) Rancangan studi cohort prospektif lebih mahal dan membutuhkan
waktu yang lebih lama daripada studi case control.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

20

b) Tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang


langka, kecuali jika ukuran sampel sangat besar atau prevalensi
penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi.
c) Hilangnya subjek selama penelitian, karena migrasi, tingkat partisipasi
rendah atau meninggal dan sebagainya merupakan problem yang
mengganggu validitas penelitian. Jika subjek yang hilang cukup besar
atau walaupun sedikit tetapi hilangnya itu berkaitan dengan paparan
dan penyakit yang diteliti, maka temuan penelitian menjadi tidak valid
karena adanya bias hilang waktu follow-up.
d) Karena faktor penelitian sudah ditentukan terlebih duhulu pada awal
penelitian, maka studi cohort tidak cocok untuk merumuskan hipotesis
tentang faktor-faktor etiologi lainnya untuk penyakit itu, tatkala
penelitian berlangsung.
5. Contoh
Di dalam suatu populasi ingin diteliti apakah orang obesitas
menyebabkan hipertensi. Jika dalam 1 populasi terdapat 1000 penduduk.
Kemudian dari populasi tersebut ditentukan kelompok yang obesitas dan
kelompok yang tidak obesitas. Dari masing-masing kelompok diikuti
selama 1 tahun ke depan. Kemungkinannya, pada kelompok obesitas bisa
ditemukan hipertensi dan tidak hipertensi, pada kelompok tidak obesitas
juga dapat ditemukan hipertensi dan tidak hipertensi.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

21

Bab 3
Gangguan Kesehatan Dan Daya Kerja
3.

Beban Kerja

Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban yang dimaksud


adalah beban fisik, mentak dan sosial. Seorang pekerja berat, seperti pekerjapekerja bongkar dan muat barang di pelabuhan, memikul lebih banyak beban fisik
dari pada beban mental dan sosial. Sebaliknya seorang pengusaha, mungkin
tanggung jawabnya merupakan beban mental yang relatif jauh lebih besar.
Kesehatan kerja membantu mengurangi beban kerja dengan modifikasi cara kerja
atau perencanaan mesin serta alat kerja. Contoh sederhana ialah, beban kerja
akibat memikul atau menjinjing suatu barang dapat dikurangi dengan penggunaan
kereta dorong.
Beban kerja merupakan beban aktivitas fisik, mental, sosial yang diterima
oleh seseorang yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, sesuai dengan
kemampuan fisik, maupun keterbatasan pekerja yang menerima beban tersebut.
Herrianto (2010) menyatakan bahwa beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang
harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang, selama periode
waktu tertentu dalam keadaan normal. Menurut Nurmianto (2003) beban kerja
adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh tenaga
kerja dalam jangka waktu tertentu. Semua pekerjaan harus selalu diusahakan
dengan sikap kerja yang ergonomis. Beban kerja dapat dibedakan atas beban kerja
berlebih dan beban kerja terlalu sedikit atau kurang (Munandar, 2008).
3.1.1 Beban kerja berlebih
Beban kerja berlebih, timbul sebagai akibat dari kegiatan yang
terlalu banyak diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam
waktu tertentu. Munandar (2008) menyatakan bahwa beban kerja berlebih
secara fisik dan mental adalah melakukan terlalu banyak kegiatan baik
fisik maupun mental, dan ini dapat merupakan sumber stres pekerjaan.
Beban kerja berlebih, akan membutuhkan waktu untuk bekerja
dengan jumlah jam yang sangat banyak untuk menyelesaikan semua tugas
yang telah ditetapkan, dan ini yang merupakan sumber tambahan beban
kerja. Setiap pekerjaan diharapkan dapat diselesaikan secara cepat, dalam
waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah satu ukuran, namun
bila desakan waktu dapat menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau
menyebabkan kondisi kesehatan pekerja menurun, maka itulah yang
merupakan cerminan adanya beban kerja berlebih.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

22

3.1.2

3.1.3

3.1.4

3.1.5

Adanya beban berlebih mempunyai pengaruh yang tidak baik pada


kesehatan pekerja. Menurut Munandar (2008) yang mengutip pendapat
Friedmen dan Rosenman (1974) menunjukkan bahwa desakan waktu
tampaknya memberikan pengaruh tidak baik, pada sistem cardiovasculer,
terutama serangan jantung prematur dan tekanan darah tinggi.
Beban kerja terlalu sedikit atau kurang
Beban kerja terlalu sedikit atau kurang, merupakan sebagai akibat
dari terlalu sedikit pekerjaan yang akan diselesaikan, dibandingkan waktu
yang tersedia menurut standar waktu kerja, dan ini juga akan menjadi
pembangkit stres. Pekerjaan yang terlalu sedikit dibebankan setiap hari,
dapat mempengaruhi beban mental atau psikologis dari tenaga kerja.
Berdasarkan pendapat Munandar (2008) dapat disimpulkan bahwa beban
kerja terlalu sedikit, karena tenaga kerja tidak diberi peluang untuk
menggunakan
keterampilan
yang
diperolehnya
atau
untuk
mengembangkan kecakapan potensinya secara penuh. Keadaan ini
menimbulkan kebosanan dan akan menurunkan semangat kerja serta
motivasi kerja, timbul rasa ketidakpuasan bekerja, kecenderungan
meninggalkan pekerjaan, depresi, peningkatan kecemasan, mudah
tersinggung dan keluhan psikosomatik.
Beban kerja berdasarkan jenis pekerjaan
Berdasarkan jenis pekerjaan, beban kerja dapat dibedakan atas
beban kerja ringan, sedang dan berat. Menurut WHO dalam Santoso
(2004) penggolongan pekerjaan/beban kerja meliputi kerja ringan yaitu
jenis pekerjaan di kantor, dokter, perawat, guru dan pekerjaan rumah
tangga (dengan menggunakan mesin). Kerja sedang adalah jenis pekerjaan
pada industri ringan, mahasiswa, buruh bangunan, petani, kerja di toko dan
pekerjaan rumah tangga (tanpa menggunakan mesin). Kerja berat adalah
jenis pekerjaan petani tanpa mesin, kuli angkat dan angkut, pekerja
tambang, tukang kayu tanpa mesin, tukang besi, penari dan atlit.
Faktor yang memengaruhi beban kerja
Menurut Tarwaka (2004) secara umum beban kerja dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik faktor external maupun
internal. Pengaruh faktor external adalah faktor yang mempengaruhi
beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja antara lain tugas-tugas
yang dilakukan bersifat fisik seperti tempat kerja, sarana kerja dan sikap
kerja. Selain itu organisasi kerja juga dapat memengaruhi beban kerja
seperti, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam
dan sistem pengupahan. Lingkungan kerja dapat memberikan beban
tambahan pada pekerja seperti suhu udara, intensitas penerangan,
kebisingan, pencemaran udara, bakteri, virus, parasit, jamur dan serangga.
Waktu kerja

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

23

Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk


melaksanakan pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan
malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan penggunaan organ
tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu
kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat
beban kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan
oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan
mengurangi beban kerja. Sumamur (2009) menyatakan bahwa aspek
terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu
bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu
bekerja menurut periode waktu (pagi, sore, dan malam hari).
Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada
umumnya 8 jam, sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam
keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang
waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi,
efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat
penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul
kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan
kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang
umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam.
Menurut UU No 13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha
wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari
dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi
waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Selanjutnya
pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja. Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja
sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja,
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu,
dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang
bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
3.

Beban Tambahan dari Lingkungan Kerja


Terdapat lima faktor penyebab beban tambahan, antara lain :
1. Faktor fisik seperti: penerangan, suhu udara, kelembaban, dll;
2. Faktor kimia seperti : gas, uap, dll;
3. Faktor biologi seperti : tumbuhan dan hewan;
4. Faktor fisiologis seperti: sikap dan cara kerja;

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

24

5. Faktor mental-psikologis seperti : suasana kerja dan hubungan kerja


antara pekerja dan juga antar pengusaha.
Faktor-faktor tersebut dalam jumlah yang cukup dapat
mengganggu daya kerja seorang tenaga kerja, sebagai contohnya adalah :
1. Penerangan yang kurang menyebabkan kelelahan mata;
2. Kegaduhan mengganggu daya mengingat, konsentrasi pikiran;
3. Gas-gas debu diserap tubuh lewat pernafasan;
4. Sifat badan yang salah mengurangi hasil kerja dan timbul kelelahan.
Sebaliknya apabila faktor-faktor tersebut dicari kemanfaatannya
dapat diciptakan suasana kerja yang lebih serasi misalnya :
1. Penggunaan musik di tempat kerja;
2. Penerangan diatur penyebarannya;
3. Dekorasi warna di tempat kerja;
4. Bahan-bahan yang beracun dalam keadaan dikendalikan bahayanya;
5. Penggunaan suhu yang nikmat untuk bekerja;
6. Perencanaan mesin dan manusia dengan sebaik-baiknya.
Baik aspek fisik maupun sosio-fisikologis lingkungan pekerjaan
membawa dampak kepada keselamatan dan kjesehatan kerja. Kondisikondisi sosio-fisikologis membawa dampak besar bagi keselamatan dan
kesehatan kerja, dan perusahaan yang harus melakukan sesuatu untuk
mengatasinya, yaitu, misalnya para pekerja setelah jam kerjamenerimah
petunjuk mengenai metode-metode manajemen stress. Petunjuk-petunjuk
ini meliputih meditasi, latihan pernapasan, dan satu teknik yang disebut
dotstopin. Teknik yang sejenis dengan biofekback ini mengajarkan para
pekerja untuk mengendalikan stress mereka dengan mengenang suatu saat
yang indah dan memusatkan diri pada perasaan-perasaan dan sensasisensasi yang mereka alamih pada waktu itu. Dewasa ini, upaya-upaya
untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja tidaklah lengkap
tanpa suatu strategi untuk mengurangi stress fisikologis yang berhubungan
dengan pekerjaan.
3.

Kapasitas Kerja

Kapasitas Kerja merupakan berat ringannya beban kerja yang dapat


diterima oleh tenaga kerja, dan dapat digunakan untuk menentukan berapa lama
seseorang tenaga kerja dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
Semakin berat beban kerja, akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk
bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya.
Kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu orang dengan
orang lainnya dan sangat tergantung kepada keterampilan, keserasian, keadaan
gizi, usia, dan ukuran tubuh. Semakin tinggi keterampilan kerja yang dimiliki
seseorang, maka semakin efisien badan dan jiwa bekerja, sehingga beban kerja

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

25

menjadi relatif sedikit. Kesegaran jasmani dan rohani adalah penunjang penting
dalam produktifitas seseorang dalam bekerja. Tingkat gizi seseorang, terutama
bagi pekerja kasar dan berat adalah faktor penentu derajat produktifitas kerjanya.
Herrianto ( 2010 ) menyatakan bahwa untuk pekerjaan manual di sektor
industri yang menggunakan waktu selama 8 jam per hari, seseorang dapat bekerja
paling banyak 33 %, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Sedangkan
untuk pekerjaan manual selama 10 jam per hari, seseorang dapat bekerja hanya 28
%, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Kapasitas kerja individu
tergantung pada derajat kebugaran tubuh, kapasitas kerja otot dan kapasitas kerja
jantung.
Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan menurunnya daya
kerja pada tenaga kerja, dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Substitusi
Substitusi yaitu mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan
yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali, misalnya
tetrachlorida diganti dengan tetra chlor etilen.
b. Ventilasi umum
Ventilasi umumyaitu mengalirkan udara sebanyak menurut
perhitungan ke dalam ruang kerja, agar kadar dari bahan yang berbahaya
lebih rendah dari nilai ambang batas (NAB).
c. Ventilasi ke Luar setempat (Local Exhausters)
Local Exhaustersialah alat yang biasanya menghisap udara di tempat
kerja tertentu, agar-agar bahan-bahan yang membahayakan dihisap dan
dialirkan ke luar.
d. Isolasi
Isolasi yaitu mengisolasi operasi atau proses dalam perusahaan yang
membahayakan, misalnya isolasi mesin yang sangat bising.
e. Alat pelindung diri (APD)
APD yaitu masker, kaca mata, sarung tangan, sepatu, topi, dan
pakaian kerja.
f. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja bagi calon yang akan bekerja
baik pemeriksaan fisik maupun mental.
g. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala untuk mengevaluasi
apakah faktor-faktor penyebab itu telah menimbulkan gangguangangguan atau keiainan pada tubuh pekerja.
h. Penyuiuhan sebelum bekerja, agar pekerja mengetahui dan mentaati
peraturan-peraturan dan agar mereka berhati-hati.
i. Pendidikan dan latihan tentang kesehatan dan keselamatan kerja kepada
pekerja secara rutin atau kontinu.Tujuan pendidikan keselamatan dan
kesehatan kerja adalah mencegah terjadinya kecelakaan. Cara efektif untuk

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

26

mencegah terjadinya kecelakaan adalah pengambilan tindakan yang tepat


terhadap tenaga kerja dan perlengkapan, agar tenaga kerja memiliki konsep
keselamatan dan kesehatan kerja demi mencegah terjadinya kecelakaan.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

27

Bab 4
Penyakit Akibat Kerja
4.1

Pendahuluan

Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan


kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) di kalangan petugas kesehatan dan
non kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Sebagai faktor penyebab,
sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan
pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan resiko kerja,
sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan
hidupnya. Dalam bekerja, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan
faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami
sakit dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga, dan lingkungannya.
Salah satu komponen yang dapat meminimalisir penyakit akibat kerja adalah
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani
korban yang terpapar penyakit akibat kerja dan dapat memberikan penyuluhan
kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Tujuan memahami penyakit akibat kerja ini adalah untuk memperoleh informasi
dan pengetahuan agar lebih mengerti tentang penyakit akibat kerja dan dapat
mengurangi korban yang terpapar penyakit akibat kerja guna meningkatkan
derajat kesehatan dan produktif kerja.

4.2

Pengertian Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,


alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit
akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Sejalan
dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit
Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang
ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang
berhubungan dengan pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013)
Penyakit Akibat Kerja (PAK), menurut KEPPRES RI No. 22 Tahun 1993,
adalah penyakit yang disebabkan pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit akibat

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

28

kerja terjadi sebagai pajanan faktor fisik, kimia, biologi, ataupun psikologi di
tempat kerja.

4.3

Penyebab Penyakit Akibat Kerja

Terdapat beberapa penyebab PAK yang umum terjadi di tempat kerja,


berikut beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab dari penyakit
yang ada di tempat kerja. Diantaranya:
a. Golongan fisik: bising, radiasi, suhu ekstrim, tekanan udara, vibrasi,
penerangan
Efek pencahayaan pada mata, kekuatan pencahayaan beraneka ragam,
yaitu berkisar 2.000-100.000 lux di tempat terbuka sepanjang hari dan pada
malam hari dengan pencahayaan buatan 50-500 lux.
Kelelahan pada mata ditandai oleh :
1. Iritasi pada mata / conjunctiva
2. Penglihatan ganda
3. Sakit kepala
4. Daya akomodasi dan konvergensi turun

b.
c.
d.
e.

5. Ketajaman penglihatan
Upaya perbaikan penggunaan pencahayaan di tempat kerja. Grandjean
(1980) menyarankan sistem desain pencahayaan di tempat kerja sebagai
berikut:
1. Hindari sumber pencahayaan lokal langsung dalam penglihatan pekerja
2. Hindari penggunaan cat mengkilap terhadap mesin-mesin, meja, kursi, dan
tempat kerja.
3. Hindari pemasangan lampu FL yang tegak lurus dalam garis penglihatan
Golongan kimiawi: semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan,
kabut
Golongan biologik: bakteri, virus, jamur, dll
Golongan fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban kerja.
Golongan psikososial: stres psikis, monotomi kerja, tuntutan pekerjan.

4.4

Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja

Adapun beberapa penyakit akibat kerja, antara lain:


Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena peristiwa
alamiah maupun ulah manusia, yaitu lewat kegiatan industri dan teknologi.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

29

Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada
macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada. Partikel-partikel udara
sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang tercemar oleh
partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau
pneumoconiosis.
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh
adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap didalam paru-paru. Penyakit
pneumoconiosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang
masuk atau terhisap kedalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis
yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan
teknologi, yaitu silikosis, asbestosis, bisinosisi, antrakosis, dan beriliosis.
1. Penyakit Silikosis
Penyakit silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,
berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian
mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja,
keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir,
menggerinda) dll. Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat
penampang besi, timah putih dan tambang batu bara. Pemakaian batu bara
sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkam debu silika bebas SiO2. Pada
saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama
dengan partikel yang lainya, seperti debu alumunia, oksida besi dan karbon
dalam bentuk debu. Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu
silika perlu mendapatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan
lingkungan yamg ketat sebab penyakit silikosis belum ada obatnya yang
tepat.
2. Penyakit Asbestosis
Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh
debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari
berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat.
Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan
asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain
sebagainya. Debu asbes yang terhirup ke dalam paru-paru akan
mengakibatkan gejala sesak nafas dan batuk-batuk yang disertai dahak.
Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak besar/melebar. Apabila dilakukan
pemeriksaan pada dahak maka akan tampak debu asbes dalam dahak tersebut.
Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya perlu diikuti
dengan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan lingkungan agar jangan
mengakibatkan asbestosis ini.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

30

3. Penyakit Bisnosis
Penyakit bisnosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran
debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap kedalam paruparu. Pencemaran ini dapat dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik
tekstil, perusahaan, atau pergudangan kapas. Masa inkubasi penyakit bisnosis
cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal penyakit bisnosis ini
berupa sesak nafas, terasa berat pada dada, terutama peda hari senin (yaitu
hari awal kerja pada setiap minggu). Pada bisnosis yang sudah lanjut atau
berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis
kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.
4. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh debu batu bara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerjapekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan
penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif
(stoker), dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler
pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Penyakit antrakosis
ada tiga macam, yaitu: penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantrakosis,
dan penyakit tuberkolosilkoantrakosis.
5. Penyakit Beriliosis
Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa
logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat
menyebabkan penyakit saliran pernafasan yang disebut beriliosis. Debu
logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis, dan
pneumonitis yang ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering, dan
sesak nafas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri
yang menggunakan logam campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik
fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio, dan juga pada pekerja pengolahan
bahan penunjang industri nuklir.
6. Penyakit Saluran Pernafasan
PAK pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun kronis. Akut
misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai tracheobronchitis akut
atau karena virus kronis, misal: asbestosis. Seperti gejala Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) atau edema paru akut. Penyakit ini disebabkan
oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

31

7. Penyakit Kulit
Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam
kehidupan, dan kadang sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan,
90% merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Penting
riwayat pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab,
membuat peka, atau karena faktor lain.
8. Kerusakan Pendengaran
Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukan akibat pajanan
kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat
pekerjaan secara detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang dengan
gangguan pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya
hilang pendengaran.
9. Gejala pada Punggung dan Sendi
Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan penyakit pada
punggung yang berhubungan dengan pekerjaan daripada yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Penentuan kemungkinan bergantung pada
riwayat pekerjaan. Artritis dan tenosynovitis disebabkan oleh gerakan
berulang yang tidak wajar.
10. Kanker
Adanya presentase yang signifikan menunjukan kasus Kanker yang
disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. Bukti bahwa bahan di tempat kerja
(karsinogen) sering kali didapat dari laporan klinis individu dari pada studi
epidemiologi. Pada Kanker pajanan untuk terjadinya karsinogen mulai > 20
tahun sebelum diagnosis.
11. Coronary Artery
Penyakit ini disebabkan oleh karena stres atau Carbon Monoksida dan
bahan kimia lain di tempat kerja.
12. Penyakit Liver
Sering didiagnosis sebagai penyakit liver oleh karena hepatitis virus
atau sirosis karena alkohol. Penting riwayat tentang pekerjaan, serta bahan
toksik yang ada.
13. Masalah Neuropsikiatrik
Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan tempat kerja
sering diabaikan. Neuropatiperifer, sering dikaitkan dengan diabet, pemakaian

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

32

alkohol, atau tidak diketahui penyebabnya. Depresi SSP oleh karena


penyalahgunaan zat-zat atau masalah psikiatri. Kelakuan yang tidak baik
mungkin merupakan gejala awal dari stres yang berhubungan dengan
pekerjaan. Lebih dari 100 bahan kimia (a.I solven) dapat menyebabkan
depresi SSP. Beberapa neurotoksin (termasuk arsen, timah, merkuri, methyl,
butyl ketone) dapat menyebabkan neuropati perifer. Selain itu, Carbon
disulfide dapat menyebabkan gejala seperti psikosis.
14. Penyakit yang Tidak Diketahui Sebabnya
Alergi dan gangguan kecemasan mungkin berhubungan dengan bahan
kimia atau lingkungan sick building syndrome. Multiple Chemical
Sensitivities (MCS), misal: parfum, derivate petroleum, rokok.

4.5

Faktor- Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja


a. Faktor Fisik
1. Suara tinggi atau bising dapat menyebabkan ketulian
2. Temperature atau suhu tinggi dapat menyebabkan Hyperpireksi,
Miliaria, Heat Cramp, Heat Exhaustion, dan Heat Stroke
3. Radiasi sinar elektromagnetik infra merah dapat menyebabkan
katarak
4. Ultraviolet dapat menyebabkan konjungtivitis
5. Radio aktif/alfa/beta/gama/X dapat menyebabkan gangguan
terhadap sel tubuh manusia
6. Tekanan udara tinggi menyebabkan Coison Disease
7. Getaran menyebabkan Reynauds Desiase, ganguan metabolisme,
Polineurutis
Pencegahan:
1. Pengendalian cahaya di ruang laboratorium.
2. Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup
memadai.
3. Menurunkan getaran dengan bantalan anti vibrasi
4. Pengaturan jadwal kerja yang sesuai.
5. Pelindung mata untuk sinar laser
6. Filter untuk mikroskop

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

33

b. Faktor Kimia
Asal: bahan baku, bahan tambahan, hasil sementara, hasil
samping(produk), sisa produksi atau bahan buangan. Bentuk: zat
padat, cair, gas, uap maupun partikel Cara masuk tubuh dapat melalui
saluran pernafasan, saluran pencerrnaan kulit dan mukosa. Masuknya
dapat secara akut dan sevara kronis. Efek terhadap tubuh: iritasi,
alergi, korosif, asphyxia, keracunan sistematik, kanker, kerusakan
kelainan janin.
Terjadi pada petugas/ pekerja yang sering kali kontak dengan
bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika. Demikian pula
dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik,
desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan
cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap
kesehatan. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis
kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan,
terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut
atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang
terpapar.
Pencegahan :
1. Material safety data sheet (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang
ada untuk diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
2. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk
mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol.
3. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar.
4. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara
mata dan lensa.
5. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
c. Faktor biologis
1. Viral Desiases: rabies, hepatitis
2. Fungal Desiases: Anthrax, Leptospirosis, Brucellosis, TBC,
Tetanus
3. Parasitic Desiases: Ancylostomiasis, Schistosomiasis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi
berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama kumankuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

34

pasien, benda-benda yang terkontaminasi, dan udara. Virus yang


menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV
dan Hepatitis B) dapat menginfeksi pekerja sebagai akibat kecelakaan
kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang
terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan
Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis kemungkinan kontaminasi
pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter di Rumah Sakit
mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada
dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan
menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan
yang tercemar kuman patogen maupun debu beracun mempunyai
peluang terkena infeksi.
1. Pencegahan:
2. Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang
kebersihan, epidemilogi, dan desinfeksi.
3. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan pekerja untuk
memastikan dalam keadaan sehat badan, punya cukup kekebalan
alami untuk bekrja dengan bahan infeksius, dan dilakukan
imunisasi.
4. Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang benar
(Good Laboratory Practice).
5. Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang
benar.
6. Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan
infeksius, dan spesimen secara benar.
7. Pengelolaan limbah infeksius dengan benar.
8. Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai. 8)
Kebersihan diri dari petugas.
d. Faktor ergonomi/fisiologi
Faktor ini sebagai akibat dari cara kerja, posisi kerja, alat kerja,
lingkungan kerja yang salah, dan kontruksi yang salah. Efek terhadap
tubuh: kelelahan fisik, nyeri otot, deformirtas tulang, perubahan
bentuk, dislokasi, dan kecelakaan.
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya
menyerasikan alat, cara, proses, dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia untuk terwujudnya
kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan tercapai
efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

35

konseptual dan kuratif, secara populer kedua pendekatan tersebut


dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job.
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan
Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis,
misalnya tenaga operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang
digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai
dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan
dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi
kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan
fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah
nyeri pinggang kerja (low back pain).
e. Faktor psikologi
Faktor ini sebagai akibat organisasi kerja (tipe
kepemimpinan, hubungan kerja, komunikasi, keamanan), tipe kerja
(monoton, berulangulang, kerja berlebihan, kerja kurang, kerja shift,
dan terpencil). Manifestasinya berupa stress. Beberapa contoh faktor
psikososial yang dapat menyebabkan stress antara lain:
1. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan
menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di
laboratorium kesehatan di tuntut untuk memberikan pelayanan
yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahantamahan
2. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan
atau sesama teman kerja.
4. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor
formal ataupun informal.

4.6

Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Berikut ini beberapa tips dalam mencegah penyakit kerja, diantaranya:
a. Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur
b. Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi lebih
lanjut
c. Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang
berkelanjutan
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat
ditempuh seperti berikut ini:
1. Pencegahan primer health promotion

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

36

a.
b.
c.
d.

a.
b.

a. Perilaku kesehatan
b. Faktor bahaya di tempat kerja
c. Perilaku kerja yang baik
d. Olahraga
e. Gizi
2. Pencegahan sekunder specifict protection
Pengendalian melalui perundang-undangan
Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam kerja
Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
3. Pencegahan tersier
a. Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
c. Pemeriksaan lingkungan secara berkala
d. Surveilans
e. Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
f. Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya
yang wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan bisa
dilakukan secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa pulih
tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak
menimbulkan kecacatan lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit
akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat.
Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.
Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan dikontrol.
Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara
teratur serta dilakukan pengobatan.
Disamping itu perubahan awal seringkali bisa pulih dengan
penanganan yang tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat
kerja sangat penting. Sekurang-kurangnya ada tiga hal menurut WHO
yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam deteksi dini yaitu:
a. Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat di ukur melalui
analisis laboraturium. Misalnya hambatan aktifitas kolinesterase
pada paparan terhadap pestisida organofosfat, penurunan kadar
hemoglobin (HB), sitologi sputum yang abnormal, dan
sebagainya.
b. Perubahan kondisi fisik dan sistem tubuh yang dapat dinilai
melalui
pemeriksaan
fisik
laboraturium.
Misalnya
elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf, dan
sebagainya.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

37

c. Perubahan kesehatan umum yang dapat dinilai dari riwayat medis.


Misalnya rasa kantuk dan iritasi mukosa setelah paparan terhadap
pelarutpelarut organik
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat
ditempuh yaitu pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini
meliputi:
a. Pemeriksaan sebelum penempatan
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum seorang dipekerjakan
atau ditempatkan pada pos pekerjaan tertentu dengan ancaman
terhadap kesehatan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik yang
ditunjang dengan pemeriksaan lain seperti darah, urine, radiologis,
serta organ tertentu, seperti mata dan telinga, merupakan data
dasar yang sangat berguna apabila terjadi gangguan kesehatan
tenaga kerja setelah sekian lama bekerja.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan kesehatan berkala sebenarnya dilaksanakan
dengan selang waktu teratur setelah pemeriksaan awal sebelum
penempatan. Pada medical check-up rutin tidak selalu diperlukan
pemeriksaan medis lengkap, terutama bila tidak ada indikasi yang
jelas. Pemeriksaan ini juga harus difokuskan pada organ dan
sistem tubuh yang memungkinkan terpengaruh bahan-bahan
berbahaya di tempat kerja, sebagai contoh, audiometri adalah uji
yang sangat penting bagi tenaga kerja yang bekerja pada
lingkungan kerja yang bising. Sedang pemerikaan radiologis dada
(foto thorax) penting untuk mendeteksi tenaga kerja yang berisiko
menderita pneumokonosis, karena lingkungan kerja tercemar
debu.

Bab 5
Manajemen
Resiko
dan
Penyakit Di Tempat Kerja
5.

Pencegahan

Konsep Dasar Manajemen Risiko

Tujuan Upaya K3 adalah untuk mencegah kecelakaan yang ditimbulkan


karena adanya suatu bahaya dilingkungan kerja.
Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau
insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material dan
lingkungan. Risiko menggambarkan besarnya potensi bahaya tersebut untuk dapat

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

38

menimbulkan insiden atau cedera pada manusia ditentukan oleh kemungkinan dan
keparahan yang diakibatkannya.
Adanya bahaya dan risiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan melalui
manajemen K3 yang baik karena manajemen K3 memiliki kaitan yang sangat erat
dengan manajemen risiko.
Kerugian/Loss
PEME
(people enuironment materials equipment)

Hazar
ds

Incide
nt

Safety
Managem
ent

RISK
Sumber bahaya mengandung risiko yang dapat menimbulkan
insiden terhadap manusia, lingkungan, atau properti
Gambar 1.1 Hubungan Bahaya dan Risiko
Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan
prosedur mengenai indentifikasi bahaya (Hazards Indentification), penilaian
resiko (risk assessment), dan menetukan pengendaliannya (Risk Controls)
atau disingkat HIRARC. Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen
risiko (risk management).
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan langsung dengan upaya
pencegahan dan pengendalian bahaya. Disamping itu, HIRARC juga
merupakan bagian dari sistem manajemen risiko (Risk Management).
Menurut OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan diseluruh aktivitas
organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi
bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan
kerja.
Selanjutnya hasil HIRARC menjadi masukan untuk penyusunan
objektif dan target K3 yang akan dicapai, yang dituangkan dalam program
kerja.
Elemen-elemen lainnya seperti pelatihan, dokumentasi, komunikasi,
pengukuran, pengendalian rekamandan lainnya adalah untuk menopang atau
mengacu kepada program pengendalian risiko.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

39

Manajemen risiko kesehatan adalah proses yang bertahap dan


berkesinambungan. Tujuan utama manajemen risiko kesehatan adalah
menurunkan risiko pada tahap yang tidak bermakna sehingga tidak menimbulkan
efek buruk terhadap kesehatan pekerja.Tujuan tersebut hanya akan tercapai
melalui kerja sama antara profesional kesehatan dan keselamatan kerja yang
membantu manajemen dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
program kesehatan kerja, dengan pengusaha yang bertanggung jawab dalam
menjamin kesehatan dan keselamatan perusahaan pada tingkat yang setinggi
tingginya. Terkait dengan pemenuhan legislasi dan peraturan, pencegahan
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, serta peningkatan keselamatan dan
kesehatan kerja merupakan tanggung jawab dari pengusaha. Meskipun demikian
keberhasilan kegiatan manajemen risiko kesehatan dengan efektifitas dan
efisiensinya sangat tergantung pada kerjasama antara berbagai pihak yang terlibat
dalam program kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk pekerja. Dalam
hubungan ini, partisipasi pekerja merupakan hal mutlak yang tidak hanya terkait
dengan peningkatan pengetahuan melalui pelatihan, tetapi menjamin
implementasi program promosi kesehatan dan menjamin tercapainya keberhasilan
program.
Manajemen risiko kesehatan di tempat kerja mempunyai tujuan:
meminimalkan kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan
kesempatan/peluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang
aman, sehat dan nyaman,memotong mata rantai kejadian kerugian akibat
kegagalan produksi yang disebabkan kecelakaan dan sakit, serta pencegahan
kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Komponen utama manajemen risiko kesehatan dalam kesehatan kerja
adalah penilaian risiko (risk assessment), surveilans kesehatan (health
surveillance), dan pencatatan (records). Di dalam komponen penilaian risiko (risk
assessment), terdapat unsur tahapan yang meliputi Identifikasi bahaya (hazard
identification), Penilaian dosis/intensitasefek (dose-effect assessment), dan
karakterisasi risiko. Untuk dapat melakukan karakterisasi risiko perlu diketahui
status kesehatan pekerja dan penilaian pajanan. Di dalam komponen surveilans
kesehatan tercakup unsur surveilans medis dan pemantauan biologis.
Program Kesehatan Kerja mempunyai tujuan utama yaitu memberikan
perlindungan kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan
lingkungan kerja dan promosi kesehatan pekerja. Lebih jauh lagi adalah
menciptakan kerja yang tidak saja aman dan sehat, tetapi juga nyaman serta
meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas.
Kantor Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2005 memperkirakan
bahwa diseluruh dunia setiap tahun 2.2 juta orang meninggal karena kecelakaankecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja. Dan kematian-kematian akibat

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

40

kerja nampaknya meningkat. Lagi pula, diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi
270 juta kecelakaan-kecelakaan yang akibat kerja yang tidak fatal (setiap
kecelakaan paling sedikit mengakibatkan paling sedikit tiga hari absen dari
pekerjaan) dan 160 juta penyakit-penyakit baru akibat kerja.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan permasalahan pemerintah,
pengusaha, pekerja dan keluarganya diseluruh dunia. Sementara beberapa industri
bersifat lebih berbahaya dari industri yang lain, kelompok pekerja migran dan
pekerja berpenghasilan kecil yang lain lebih banyak dihadapkan pada risiko
mengalami kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dan kesehatan yang kurang baik,
karena kemiskinan seringkali memaksa mereka untuk menerima pekerjaan yang
tidak aman.
Berbagai pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam
organisasi atau perusahaan misalnya:
a. Mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar
kendali manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang
tidak tepat, karena tidak semua risiko berada diluar jangkauan kendali
organisasi / perusahaan.
b. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal
ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, karena semua
aktivitas ditempat kerja sampai tingkat tertentu selalu mengandung risiko.
c. Menerapkan Manajemen Risiko, dalam pengertian umum, risiko tinggi yang
dihadapi sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan
melalui suatu pemikiran positif diharapkan akan memberikan nilai tambah
atau imbalan hasil yang tinggi pula.
Aspek ekonomi, sosial dan legal merupakan beberapa hal yang berkaitan
dengan penerapan manajemen risiko. Dampak finansial akibat peristiwa
kecelakaan kerja, gangguan kesehatan atau sakit akibat kerja, kerusakan atau
kerugian aset, biaya premi asuransi, moral kerja dan sebagainya, sangat
mempengaruhi produktivitas. Demikian juga aspek sosial dan kesesuaian
penerapan peraturan perundang undangan yang tercermin pada segi kemanusiaan,
kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat memerlukan penyelenggaraan
manajemen risiko yang dilaksanakan melalui partisipasi pihak terkait.
Manajemen risiko kesehatan di tempat kerja mempunyai tujuan:
meminimalkan kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan
kesempatan/peluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang
aman, sehat dan nyaman, memotong mata rantai kejadian kerugian akibat
kegagalan produksi yang disebabkan kecelakaan dan sakit, serta pencegahan
kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

5.
2
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

41

Hubungan Manajemen Risiko dan Manajemen K3


Manajemen risiko merupakan elemen sentral dari manajemen K3 yang
diibaratkan sebagai mata uang dengan dua sisi. Manajemen risiko
memberikan warna dan arah terhadap penerapan dan pengembangan sistem
manajemen K3. Jika tida ada bahaya dan tidak ada risiko, maka upaya K3
tentu tidak diperlukan dan sebaliknya, manajemen K3 diperlukan sebagai
antisipasi terhadap adanya bahaya dan risiko.
Oleh karena itu, sebelum mengembangkan program K3, terlebih
dahulu darus diketahui apa saja risiko dan potensi bahaya yang terdapat dalam
kegiatan organisasi. Selanjutnya kembangkan program pengendalian risiko
yang tepat melalui pendekatan sebagai berikut:
a. Manusia (Human approach)
b. Teknis (engineering) seperti sarana, mesin peralatan atau material
dan lingkungan kerja.
c. Sistem dan prosedur, yang berkaitan dengan pengoperasian, cara
kerja aman atau sistem manajemen K3.
d. Proses, misalnya proses seacar kimia atau fisis.
Dari keempat aspek tersebut dikembangkan berbagai elemen
implementasi yang lebih rinci sesuai kebutuhan organisasi. Untuk
mengendalikan unsur manusia misalnya dilakukan upaya pendidikan,
pelatihan, kompetensi, peningkatan kesadaran, cara kerja aman dan perilaku
K3 (safety behavior).
Berkaitan dengan saran dikembangkan sistem rekaya inspeksi,
kalibrasi dan kajian K3 agar semua sarana aman dan dapat dioperasikan
dengan optimal. Berkaitan dengan aspek proses dikembangkan identifikasi
bahaya dalam operasi pemeliharaan, manajemen perubahan, keamaan operasi,
serta sistem tanggap darurt.
Dari sisi prosedur dikembangkan sistem dokumentasi, pengolahan data
dan informasi, pengukuran k3, tinjau ualng manajemen dan lainnya. Semua
program tersebut merupakan elemen dasar untuk mengelola risiko dan bahaya
yang ada dalam organisasi. Dengan demikian, terlihat bahwa manajemen
risiko K3 merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen K3.
5.
3

Proses Manajemen resiko

Mengelola risiko harus dilakukan secara komprehensif melalui


pendekatan manajemen risiko sebagaimana terlihat dalam Risk Management
Standard AS/NZS 4360, yang meliputi:
a. Penentuan konteks,

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

42

b. Identifikasi risiko,
c. Analisa risiko,
d. Evaluasi risiko,
e. Pengendalian risiko,
f. Komunikasi, dan
g. Pemantauan dan tinjau ualng.
Langkah awal mengembangkan manajemen risiko adalah menentukan
konteks yang diperlukan karena manajemen risiko sangat luas dan bermacam
aplikasinya salah satu diantaranya adalah manajemen risiko K3. Untuk
manajemen risiko K3 sendiri, juga diperlukan penentuan konteks yang akan
dikembangkan misalnya menyangkut risiko kesehatan kerja, kebakaran,
higiene, industri dan lainnya. Dari konteks tersebut masih dapat
dikembangkan lebih lanjut misalnya manajemen risiko untuk aktivitas rumah
ssakit, industri kimia, kilang minyak, konstruksi dan bidang lainnya.
Penentuan konteks ini diseleraskan dengan visi misi organisasi serta sasaran
yang ingin dicapai. Lebih lanjut ditetapkan pula kriteria risiko yang sesuai
bagi organisasi. Setelah menerapkan konteks manajemen risiko, langkah
berikutnya adalah melakukan identifikasi bahaya, analisa dan evaluasi risiko
serta menentukan langkah atau strategi pengendaliannya.

Gambar 2.1 proses manajemen risiko

5.
4

Identifikasi Bahaya

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

43

a. Prosdur identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus


mempertimbangkan:
1. Aktivitas rutin dan non rutin
2. Aktivitas dari semua individu yang memiliki akses tempat
kerja termasuk distributor.
3. Perilaku manusia, kemampuan dan faktor manusia lainnya.
4. Identifikasi semau bahaya yang berasal dari luar tempat kerja
yang dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan dan
keselamatan manusia yang berada di bawah perlindungan
organisasi di tempat kerja.
5. Bahaya yag ditimbulkan di sekitar tempat kerja dari aktivitas
yang berkaitan dengan pekerjaan yang berada di bawah kendali
organisasi.
6. Infrastrukutur, peralatan dan material di tempat kerja, apakah
yang disediakan organisasi atau pihak lain.
7. Perubahan atau rencana perubahan dalam organisasi,
kegiatannya atau material.
8. Modifkasi pada sistem manajemen K3, termasuk perubahan
sementara dan dampaknya terhadap operasi dan aktivitasnya.
b. Setiap persyaratan legal yang dapat diberlakukan berkaitan dengan
pengendalian risiko dan implementasi dan pengendalian yang
diperlukan.
c. Rancangan
dari
lingkungan
kerja,
proses,
instalasi,
permesinan/peralatan, prosedur operasi dan organisasi kerja,
termasuk adaptasinya terhadap kemampuan manusia.
Sejalan dengan proses manajemen risiko, OHSAS 18001
mensyaratkan prosedur identifikasi bahaya dan penilaian risiko sebagai
berikut:
a. Mencakup seluruh kegiatan organisasi baik kegiatan rutin maupun
non rutin. Tujuannya agar semua bahaya yang dapat diidentifikasi
dengan baik termasuk potensi bahaya yang dpaat timbul dalam
kegiatan yang bersifat non rutin seperti pemeliharaan, proyek
pengembangan dan lainnya.
b. Mencakup seluruh aktivitas individu yang memiliki akses ke
tempat kerja. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang No.1 tahun
1970, perlindungan keselamatan berlaku bagi setiap orang yang
berada di tempat kerja termasuk pihak lain yang masuk ke tempat
kerja. Karena itu, identifikasi bahaya juga mempertimbangkan
keselamatan pihak luar organisasi seperti kontraktor, pemasok atau
tamu.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

44

c. Perilaku manusia, kemampuan dan faktor manusia lainnya. Faktor


manusia harus dipertimbangkan ketika melakukan identifikasi dan
penilaian risiko bahaya. Manusia dengan perilaku, kemampuan,
pengalaman, latar belakang pendidikan dan sosial memiliki
kerentanan terhadap keselamatan. Perilaku yang kurang baik
mendorong terjadinya tindakan berbahaya yang dapat mengarah
pada terjadinya insiden.
d. Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia yang berada ditempat kerja. Organisasi tidak mungkin
hidup atau jalan sendiri tanpa interaksi dengan pihak lainnya.
Banyak sumber bahya yang masuk ke dalam organisasi seperti dari
bahan, jasa, individu, atau material yang dipasok dari luar. Masingmasing akan membawa potensi bahay yang dapat membahayakan
organisasi.
e. Bahaya yang timbul di sekitar tempat kerja dari aktivitas yang
berkaitan dengan pekerjaan yang berada di bawah kerndali
organisasi. Sumber bahaya tidak hanya berasal dari internal
organisasi tetapi juga dapat bersumber dari sekitar tempat kerja.
Sebagai contoh, kemungkinan penjalaran api, gas, suara dan debu
dari aktivitas yang berada di sekitar lokasi kerja dapat
menimbulkan bahay terhadap organisasi. Faktor eksternal ini harus
diidentifikasi dan dievaluasi.
f. Mencakup seluruh infrastruktur, peralatan dan material di tempat
kerja, baik yang disediakan organisasi atau pihak lain. Infrastruktur
jga mengandung potensi bahaya yang dapat menimbulkan
kecelakaan.
g. Perubahan dalam organiasi, kegiatan atau material.
h. Setiap perubahan atau modifikasi yang dilakukan dalam, organisasi
termasuk perubahan sementara harus memperhitungkan potensi
bahaya K3 dan dampaknya terhadap operasi, proses, dan aktivitas.
i. Setiap persyaratan legal yang berlku berkaitan dengan
pengendalian risiko dan implementasi pengendalian yang
diperlukan.
j. Rancangan lingkungan kerja, proses, instalasi, mesin, peralatan,
prosedur operasi dan organiasasi kerja, termasuk adaptasinya
terhadap kemampuan manusia.
Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi
bahaya dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang
bahaya dapat di identifikasi. Hal ini banyak dilupakan dalam pengembangan

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

45

sistem manajemen K3. Identifikasi bahaya dilakukan seadanya atau hanya


bersifat visual belaka sehinga tidak mampu menjangkau bahaya yang lebih
rinci misalnya berkaitan dengan proses, peralatan, prosedur dan lainnya.
Untuk membantu upaya identifikasi bahaya, dekembangkan berbagai metode
mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi
bahaya yang ada di lingkungan kerja. Dengan mengetahui sifat dan
karakteristik bahaya, kita dapat berhati-hati, waspada dan melakukan langkahlangkah pengamanan agar tidak terjadi kecelakaan. Namun demikian, tidak
semua bahaya dikenali dengan mudah.
Kita tidak dapat mengetahui secara rinci dan bahaya suatu pabrik
kimia yang rumit dengan berbagai sifat proses dan material yang digunakan
atau dihasilkan. Karena itu perlu suatu teknik atau metode untuk mengenal
bahaya dengan mudah.
5.3.1

Metode Identifikasi Dan Penilaian Risiko

Metode identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus:


a. Dibuat dengan memperhatiakn lingkup, bentuk dan waktu untuk memastikan
agar proaktif ketimbang, reaktif dan
b. Memberikan identifikasi, prioritas dan dikumentasi risiko, serta penerapan
pengendalian jika diperlukan.
Organisasi harus menetapkan metode identifikasi bahaya yang akan
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek antara lain:
a. Lingkup identifikasi bahaya yang dilakukan, misalnya meliputi seluruh
bagian, proses atau peralatan kerja atau aspek kerja K3 seperti bahaya
kebakaran, penyakit akibat kerja, kesehatan, ergonomi dan lainnya.
b. Bentuk identifikasi bahaya, misalnya bersifat kualitatif atau kuantitatif.
c. Waktu pelaksanaan identifikasi bahaya, misalnya di awal proyek, pada saat
operasi, pemeliharaan atau modifikasi sesuai dengan sikluas atau daur hidup
organisasi.
Metoda identifikasi bahaya harus bersifat proaktif atau prediktif, sehingga
diharapkan dapat menjangkau seluruh bahaya baik yang nyata maupun yang
bersifat potensial.
Selanjutnya dalam memilih teknik identifikasi bahaya yang dapat
memberikan acuan untuk menentukan peringkat risiko serta prioritas
pengendaliannya misalnya menggunakan matrik risiko atau peringkat risiko
secara kuantitatif atau kuantitatif.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

46

Teknik identifikasi
diklasifikasikan atas:

bahaya

ada

berbagai

macam

yang

dapat

1) Teknik Pasif
Metode ini sangat rawan karena tidak semua bahaya dapat
menunjukkan eksistensisnya sehingga dapat terlihat dengan mudah. Sebagai
contoh, di dalam suatu pabrik kimia, terdapat berbagai jenis bahan dan
perlatan. Selama bertahun-tahun dipabrik tersebut tidak pernah terjadi
kecelakaan atau kejadian lainnya. Dalam hal ini, belum tentu bahwa pabrik
tersebut aman dan tidak mengundang bahaya. Jika tidak dilakukan
identifikasi bahaya, mungkin masih terdapat sumber bahaya yang setiap saat
dapat menimbulkan kecelakaan melakukan identifikasi pasif, ibarat
menyimpan bom waktu yang dapat meledak setiap saat.
2) Teknik Semi Pasif
Teknik ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain karena kita
tidak perlu mengalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik karena tidak perlu
mengalami sendiri setelah itu baru mengetahui adanya bahaya. Namun teknik
ini juga kurang efektif karena:
a) Tidak semua bahaya telah diketahui atau pernah menimbulkan dampak
kejadian kecelakaan.
b) Tidak semua kejadian dilaporkan atau diinformasikan kepada pihak lain
untuk diambil sebagai pelajaran.
c) Kecelakaan telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian,
walaupun menimpa pihak lain.
Sejalan dengan hal ini, OHSAS 18001 mensyaratkan untuk
melakukan penyelidikan kecelakaan sebagai lesson learning agar kejadian
serupa tidak terulang kembali. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa
kecelakaan merupakan aib bagi perusahaan,sehingga data-data dan informasi
tentang kejadian sulit diperoleh. Jika di ekspose, mungkin kejadiannya sudah
dipoles sedemikian rupa sehingga tidak sesuai lagi dengan fakta kejadian
sebenarnya.
3) Metode Proaktif
Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah proaktif, atau
mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau dampak
yang merugikan. Tindakan proaktif memiliki kelebihan:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

47

1. Bersifat prefentif karena bahaya dikendalikan sebelum menimbulkan


kecelakaan atau cedera.
2. Bersifat peningkatan berkelanjutan (continual improvement) karena
dengan mengenal bahaya dapat dilakukan upaya perbaikan.
3. Meningkatkan awareness semua pekerja setelah mengetahui dan
mengenal adanya bahaya disekitar tempat kerjanya,
4. Mencegah pemborosan yang tidak diinginkan,karena adanya bahaya
dapat menimbulkan kerugian. Misalnya ada katup yang bocor tanpa
diketahui maka akan terus menerus mengeluarkan bahaya/bocoran
sehingga menimbulkan kerugian.
Terdapat berbagai teknik identifikasi bahaya yang bersifat proaktif
antara lain:
1. Data kejadian
2. Daftar periksa
3. Brainstorming
4. What if analysis
5. Hazops (hazards and operability study)
6. Analisa moda kegagalan dan efek (failure mode and effect analysis)
7. Task Analysis
8. Event Tree Analysis
9. Analisa Pohon Kegagalan
10. Analisa keselamatan Pekerjaan
Masih banyak teknik lainnya yang dikembangkan oleh para ahli K3.
Berbagai teknik ini dapat diterapkan sepanjang daur hidup organisasi mulai
dari tahap pengembangan sampai ke operasi.

a. Pemilihan teknik identifikasi bahaya


Pemilihan teknik yang sesuai bagi perusahaan sangat
menentukan efektifitas identifikasi bahaya yang dilakukan.
Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan teknik
identifikasi bahaya antara lain:
1) Sistematis danterstruktur
2) Mendorong pemikiran kreatif tentang kemungkinan bahaya yang
belum perna dikenal sebelumnya.
3) Harus sesuai dengan sifat dan skala kegiatan perusahaan
4) Mempertimbangkan ketersediaan informasi yang diperlukan
5) Sebagai bahan pertimbangan dari berbagai teknik identifikasi
ditinjau dari tingkat kesulitan dan upaya yang diperlukan.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

48

b. Data Kejadian
Teknik inibersifat semi proaktif karena berdasarkan sesuatu
yang telah terjadi. Dari suatu kecelakaan atau kejadian akan diperoleh
informasi penting mengenai adanya suatu bahaya. Dari kejadian
tersebut dapat digali informasi yang lebih mendalam apa saja bahaya
yang terdapat di lingkungan kerja. Misalnya ada seseorang hampir
celaka akibat genangan air di lantai.
Dari kejadian ini dapat digali lebih dalam, kemungkinan
adanya kondisi tidak aman seperti pipa yang bocor, penerangan kurang
baik, rambu-rambu tidak tersedia dan lainnya.
c. Daftar Periksa
Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan membuat suatu
daftar periksa tempat kerja. Melalui daftar periksa dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap seluruh kondisi dilingkungan kerja seperti
mesin, penerangan, kebersihan, penyimpanan material dan lainnya.
Daftar periksa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, kondisi, sifat
kegiatandan jenis bahaya yang dominan.
d. Brainstrorming
Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan teknik
Brainstrorming dalam suatu kelompok atau tim di tempat kerja. Tim
ini dapat berasal dari suatu bidang atau depertememn tetapi dapat juga
bersifat lintas fungsi. Dalam pertemuan kelompok ini di bahas kondisi
tempat kerja. Setiap anggota kelompok dapat mengemukkan pendapat
atau temuannya mengenai bahaya yang ada di lingkungan masingmasing.
e. What If
Teknik What If merupakan teknik identifikasi yang
bersifatproaktif dengan menggunakan kata ganti What If, sebagai
contoh:
What If ... jika pompa tiba-tiba mati.
What If ... jika alat pengaman tidak berfungsi.
What If ... jika drum penyimpan bahan kimia tiba-tiba bocor.
f. Hazops (Hazords and Operability Study)
Merupakan teknik identifikasi bahaya yang sangat
komprehensif dan terstruktur. Digunakan untuk mengidentifikasi suatu
proses atau unit operasi baik pada tahap rancang bangunan, konstruksi,
operasi maupun modifikasi. Hazops dilakukan dalam bentuk tim

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

49

dengan menggunakan kata bantu (guide word) yang dikombinasikan


dengan parameter yang ada dalam proses seperti level, suhu, tekanan,
aliran dan lainnya. Kata bantu yang digunakan antara lain More, No,
Low, Less, High, dan lainnya. Contoh: Kata bantu more dapat
dikombinasikan dengan parameter aliran (flow) akan menjadi More
Flow, No Flow, Less Flow, Reverse Flow, dan lainnya. Dengan
menggunakan kata bantu ini dapat diidentifikasi potensi bahaya apa
saja yang dapat terjadi dalam suatu proses.
g. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Merupakan suatu teknik identifikasi bahaya yang digunakan
pada perlatan atau sistem. Teknik ini mengidentifikasi apa saja
kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi serta dampak yang
mungkin ditimbulkannya. Dengan denikian dapat dilakukan upaya
pengendalian dan pengamanan yang tepat.
Sebagai contoh, FMEA dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
bahaya pada suatu turbin gas, kopresor, alat kontrol, katup pengaman,
dan lainnya.
h. Analisa Pekerjaan (Task Analysis)
Analisa pekerjaan digunakan untuk mengidentifikasi bahaya
yang berkaitan dengan pekerjaan atau suatu tugas. Misalnya bahaya
dalam aktifitas seorang operator pabrik, tukang las, operator alat berat,
dan lannya.
Pada dasarnya berbagai teknik atau metode identifikasi bahaya
tersebut ditujukan untuk aspek manusia, proses, peralatan, dan
prosedur. Untuk mengidentifikasi dan menilai risiko yang berkaitan
dengan keempat aspek tersebut dapat dilakukan dengan teknik tertentu
antara lain:
a. Aspek Manusia
Identifikasi bahaya yang berkaiitan dengan manusia dapat
dilakukan dengan teknik Job Safety Analysis (JSA) atau Task Risk
Analysis.
b. Proses
Untuk mengidentifikasi bahaya berkaitan dengan proses seperti
pada industri kimi atau perminyakan dapat dilakukan dengan
berbagai pilihan metode seperti Hazops, What If, atau FTA.
c. Peralatan
Potensi bahaya pada peralatan dapat dilakukan dengan teknil FMEA
(Failure Mode and Effect Analysis) atau FEMA (Failure Event and
Effect Analysis)
d. Prosedur atau kesisteman

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

50

Untuk menganalisa prosedur atau sistem manajemen dapat


dilakukan dengan teknik What If atau Preliminary Hazard Analysis
(PHA)
Dengan tersedianya berbagai perangkat untuk melakukan
identifikasi bahaya dan penilaian risiko tersebut, maka organisasi
dapat memiliki dan menyesuaikan dengan kebutuhannya masingmasing.
i. Manajemen Perubahan
Organisasi harus mengidentifikasi bahaya dan risiko K3
berkaitan dengan perubahan dalam organisasi, sistem manajemen K3
atau aktivitasnya sebelum melakukan sesuatu perubahan.
Di dalam suatu organisasi yang dinamis, perubahan dapat
terjadi setiap saat untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan baik internal maupun eksternal organisasi.
Perubahan dimaksudkan, misalnya untuk meningkatkan
efisiensi, meningkatkan produktivitas atau menekan biaya. Perubahan
dapat menyangkut peralatan, proses, material, sistem kerja, atau pasar,
persepsii masyarakat dan lainnya. Jika perubahan tersebut tidak
dilakukan dengan hati-hati dapat menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan. Banyak kecelakaan terjadi yang berkaitan dengan proses
perubahan.
Oleh karena itu OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi agar
menidentifikasi semua perubahan yang mungkin membawa dampak
terhadap K3.
Dampak K3 akibat perubahan dapat dilihat dari contoh berikut:
1. Organisasi akan melakukan perubahan sistem jam kerja dari 3 shift
menjadi 2 shift. Sebelumnya waktu kerja adalah 8 jam sehari san
diubah menjadi 12 jam sehari. Perubahan ini dapat mengakibatkan
berbagai dampak misalnya daktor kelelahan, suasana kerja, pola
pengawasan, danlainnya. Perubahan ini dapat meningkatkan
potensi terjadinya kecelakaan.
2. Organisasi akan menambah unit pompa baru yang lebih besar
menggantikan pompa lama yang sering mengalami kerusakan.
Perubahan spesifikasi pompa akan menimbulkan berbagai dampak,
misalnya kebutuhan energi yang lebih tinggi, tingkat kebisingan,
prosedur menjalankan pompa, prosedur pemeliharaan, kecepatan
aliran dan kapasitas produksi. Jika tidak diperhitungkan dengan
baik dapat menimbulkan potensi bahaya.
3. Pemerintah mengeluarkan persyaratan baru tentang keselamatan
dan kesehatan kerja, misalnya tentang bahan kimia berbahaya.
Keluarnya ketentuan perundangan yang bersifat wajib ini akan
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

51

berpengaruh terhadap operasi perusahaan. Perusahaan harus


meninjau ulang semua prosedur dan fasilitas yang ada apakah telah
sesuai dengan persyartan yang berlaku. Perubahan ini akam
membawaa dampak luas seperti perubahan dalam proses produksi,
penyimpanan, pengelolaan dokumen, sistem pelaporan dan
sebagainya.
Untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan akibat
perubahan tersebut, perlu dilakukan analisis mendalam apa saja dampak
K3 yang dapat timbul akibat suatu perubahan.
Salah satu pendekatan adalah dengan menjalankan prosedur
perubahan (management of change) yang sekurangnya mencakup aspek
berikut.
1) Adanya prosedurmengenai aktivitas perubahan yang menetapkan
dan mengatur hal
2) Tata cara melakukan perubahan dalam organisasi
3) Sistem dan prosedur manajemen perubahan
4) Wewenang atau otorisasi melakukan perubahan
5) Analisa bahaya dalam setiap perubahan
6) Identifikasi pihak yang terkait dengan perubahan
7) Identifikasi pihak yang terkait dengan perubahan
8) Pemilihan teknik identifikasi bahaya dan penilaian risiko
9) Komunikasi hasil identifikasi bahaya ke semua pihak terkait
sebelum perubahan dilaksanakan
10) Manajemen perubahan di implementasikan dalam sepanjang siklus
aktivitas organisasi mulai dari perencanaan, pembangunan atau
kontruksi, operasi, pemeliharaan dan pasca operasi.
5.
5

Penilaian Resiko

Setelah melakukan identifikasi bahaya dilanjutkan dengan penilaian resiko


yang bertujuan untuk mengevaluasi besarnya risiko serta skenario dampak yang
akan ditimbulkannya. Penilaian risiko digunakan sebagai langkah saringan untuk
menentukan tingkat risiko ditinjau dari kemungkinan kejadian dan keparahan
yang dapat ditimbulkan.
Ada berbagai pendekatan dalam menggambarkan kemungkinan dan
keparahan suatu risiko baik secara kualitatif , semi kuantitatif atau kuantitatif.
Contoh kategori kemungkinan terjadinya risiko secara kualitatif sebagai
berikut:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

52

Ting
kat
A

Uraian

Sering terjadi

Dapat terjadi

Kadang-kadang

Jarang sekali

Hampir
terjadi

Contoh rinci
pasti

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

Dapat terjadi setiap saat dalam


kondisi
normal,
misalnya
kecelakaan lalu lintas di jalan raya
pada
Terjadi beberapa kali dalam
periode waktu tertentu, misalnya
kecelakaan kereta api
Resiko dapat terjadi namun tidak
sering, misalnya jatuhh dari
ketinggian di lokasi proyek
Kadang-kadang terjadi misalya
kebocoran pada instalasi nuklir
Dapat terjadi dalam keadaan
tertentu misalnya orang tersambar
petir

53

Contoh keparahan atau konsekuensi suatu kejadian secara kualitatif


sebagai berikut:
Ting
kat
1

Uraian

Contoh rinci

Tidak signifikan

Kecil

Sedang

Berat

Bencana

Kejadian
tidak
menimbulkan
kerugian atau cedera pada manusia
Menimbulkan
cedera
ringan,
kerugian
kecil
dan
tidak
menimbulkan
dampak
serius
terhadap kelangsungan bisnis
Cedera berat dan dirawat di rumah
sakit, tidak menimbulkam cacat tetap,
kerugian finansial sedang
Menimbulkan cedera parahdan cacat
tetap dan kerugian finansial besar
serta menimbulkan dampak serius
terhadap kelangsungan usaha
Mengakibatkan korban meninggal
dan kerugian parah bahkan dapat
menghentikan
kegiatan
usaha
selamanya

Peringkat kemungkinan seperti di atas bersifat kualitatif dan subjektif


karena hanya diungkapkan dengan kata-kata. Dengan demikian, tidak
dapatdiartikan bahwa kejadian A adalah dua kali lipat kemungkinannya di
bandinngkan kejadian B. Demikian juga dengan tingkat keparahan.
Peringkat 4 bukan berarti dua kali lebih besar dibandingkan peringkat dua.
Untuk menghindarkan hal tersebut digunakan pendekatan secara semi kuantitatif
atau kuantitatif yang mnebggunakan peringkat yang lebih konkrit.
Selanjutnya hasil kemungkinan dan konsekuensi yang diperileh
dimasukkan ke dalam tabel matril resiko yang akan menghasilkan peringkat
resiko.
Kemungkin
an
A
B
C
D
E

Konsekuensi
Tidak
signifikan
T
S
R
R
R

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

kecil

sedan
g
E
T
T
S
E

T
T
S
R
R

54

berat
E
E
E
T
T

benca
na
E
E
E
E
T

E-Risiko
ekstrim

T-resiko
tinggi

S-risiko
sedang

R-risiko
rendah

Kegiatan tidak boleh dilaksanakan atau


dilanjutkan sampai risiko telah direduksi.
Jika tidak memungkinkan untuk mereduksi risiko
dengan sumber daya yang terbatas, maka
pekerjaan tidak dapat dilaksanakan
Kegiatan tidak boleh dilaksanakan sampai risiko
telah direduksi.
Perlu pertimbangan sumber daya yang akan
dialokasiakn untuk mereduksi risikio.
Apabila risiko terdapat dalam pelaksanaan
pekerjaan yang masih berlangsung, maka
tindakan harus segera dilakukan
Perlu tindakan untuk mengurangi risiko, tetapi
biaya pencegahan yang diperlukan harus dii
perhitungkan dengan teliti dan dibatasi.
Pengukuran
pengurangan
resikoo
harus
diterapkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Risiko dapat diterima. Pengendalian tambahan
tidak diperlukan.
Pemantauan diperlukan untuk memastikan bahwa
pengendalian telah dipelihara dan diterapkan
dengan baik dan benar.

Tingkat risiko merupakan kombinasi dari kemungkinan kejadian dan


keparahannya. Suatu risiko yang kemungkinan terjadi sangat tinggi (A), dan jika
terjadi akan menimbulkan bencana dan korban yang sangat besar (5), maka risiko
tersebut.
Dapat digolongkan sebagai ekstreem. Sebagai contoh pekerja konstruksi
yang bekerja memasang menara di ketinggian 50 meter. Menurut data, kejadian
jatuh dari ketinggian dapat terjadi (C) dan jika jatuh dari ketinggian akan
menimbulkan kematian (5). Dengan demikian bekerja pada menara konstruksi
tinggi dapat dikategorikan sebagai risiko ekstrem.
Peringkat kemungkinan dan keparahan secara kualitatif ini sangat relatif
dan bervariasi, misalnya dengan menggunakan 3, 4, atau 5 peringkat. Karena itu
dapat dikembangkan oleh masing-masing organisasi sesuai dengan kebutuhan
masing-masing atau mengacu kepada suatu referensi tertentu misalnya yang
dikeluarkan oleh AN/NZS 4360, OHSA, atau institut of risk management, UK.
Langkah berikutnya setelah risiko ditentukan adalah melakukan evaluasi
apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak, merujuk kepada kriteria risiko

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

55

yang berlaku atau ditetapkan oleh managemen organisasi. Risiko yang dapat
diterima sering diistilahkan sebagai ALARP-As Low As Reasonably Practicable,
yaitu tingkat risiko terendah yang masuk akal dan dapat dijalankan.
Risiko memang harus ditekan, namun memiliki keterbatasan seperti faktor
biaya, teknologi, kepraktisan, kebiasaan dan kemampuan dalam menjalankannya
dengan konsisten. Suatu risiko misalnya dapat ditekan dengan menggunakan
teknologi canggih untuk penyediaan sistem pengaman, namun dampaknya biaya
akan meningkat sehingga tidak dapat diterima secara ekonomian.
Untuk menentukan batas risiko yang dapat diterima (ALARP) tidak
mudah, namun memerlukan kajian mendalam dari berbagai aspek seperti teknis,
sosial, moral, lingkungan atau keekonomiannya misalnya dengan melakukan cost
benefit analysis. Batas risiko yang dapat diterima antara satu orang, badan,
perusahaan atau lembaga akan berbeda. Kerugian sebesar Rp. 1 juta bagi
pengusaha angkot merupakan risiko besar, namun bagi perusahaan skala milyaran
rupiah, kerugian tersebut dinilai kecil dan tidak signifikan bagi kelangsungan
bisinisnya.
Hubungan antara pengeluaran untuk K3 dengan kelangsungan bisnis dapat
dilihat pada gambar diatas. Jika pengeluaran untuk K3 ditingkatkan, pada level
tertentu akan baik untuk bisnis. Namun jika pengeluaran K3 terus ditingkatkan,
mungkin akan baik bagi kemanusiaan namun buruk dampaknya terhadap bisnis.
Perusahaan mungkin akan mendapatkan pujian dan penghargaan karena peduli K3
dengan mengeluarkan dana untuk mengembangkan dan meningkatkan K3.
Akan tetapi pengeluaran tersebut tidak seimbang dengan revenue yang
diterima sehingga suatu saat perusahaan akan bangkrut. Karena itu, tingkat
ALARP yang ditetapkan harus baik untuk K3 dan baik pula untuk bisnis sehingga
kelangsungan usaha dapat terjamin.
Setelah kriteria risiko yang dapat diterima ditetapkan, maka akan
dibandingkan dengan hasil penilaian risiko yang telah dilakukan. Apakah risiko
tersebut dapat diterima atau tidak. Jika risiko masih berada di atas batas yang
dapat diterima, harus dilakukan langkah pengendalian.

5.
6

Pengendalian Risiko
Klausul : 5.3.1

Organisasi harus memastikan bahwa hasil penilaian risiko


dipertimbangkan dalam menentukan pengendaliannya.
Ketika menentukan pengendalian, atau perubahan dari pengendalian
yang telah ada, perlu pertimbangan untuk mengurangi risiko menurut
hierarki berikut ini.
a. Eliminasi;

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

56

b. Substitusi;
c. Pengendalian teknis;
d. Rambu/peringatan dan/atau pengendalian administratif;
e. Alat pelindung diri (APD)
Sejalan dengan konsep manajemen risiko, OHSAS 18001 mensyaratkan
organisasi melakukan pengendalian risiko sesuai hasil identifikasi bahaya dan
penilaian risiko yang telah dilakukan.
Pengendalian risiko dilakukan terhadap seluruh bahaya yang ditemukan
dalam proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan peringkat risiko untuk
menentukan, prioritas dan cara pengendaliannya.
Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus mempertimbangkan
hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi, pengendalian teknis,
administratif dan terakhir penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan dengan
kondisi organisasi, ketersediaan biaya, biaya operasionil, faktor manusia dan
lingkungan.
Pengendalian risiko merupakan langkah menentukan dalam keseluruhan
manajemen risiko. Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi risiko dapat ditentukan
apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima, tentunya
tidak diperlukan langkah pengendalian lebih lanjut. Misalnya perusahaan telah
memilih menerima risiko penggunaan suatu peralatan mekanis dalam proses
produksinya. Hasil analisa risiko menunjukkan bahwa tingkat kebisingan sebesar
85 dB.
Dalam peringkat risiko, tingkat kebisingan tersebut dikategorikan sebagai
risiko rendah sehingga dapat diterima perusahaan. Karena itu tidak diperlukan
tindakan pengendalian lebih lanjut. Perusahaan cukup melakukan pemantauan
berkala baik di tempat kerja maupun terhadap tenaga kerja untuk mengetahui
apakah ada efek yang tidak diinginkan.
Sebaliknya jika tingkat kebisingan mencapai 100-110 dB, maka risiko ini
tidak dapat diterima karena berbahaya terhadap pendengaran dan kesehatan
pekerja. Karena itu harus dilakukan tindakan pengendalian yang dapat dilakukan
dengan beberapa pilihan yaitu:
Mengurangi kemungkinan (reduce likelihood)
Mengurangi keparahan (reduce consequance)
Pengalihan risiko sebagian atau seluruhnya (risk transfer)
Menghindar dari risiko (risk avoid)
Berkaitan dengan risiko k3, pengendalian risiko dilakukan dengan
mengurangi kemungkinan atau keparahan dengan mengikuti hierarki sebagai
berikut:
a. Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber
bahaya, misalnya lubang di jalan ditutup, ceceran minyak dilantai
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

57

b.

c.

d.

e.

dibersihkan, mesin yang bising dimatikan. Cara ini sangat efektif karena
sumber bahaya dieliminasi sehingga potensi risiko dapat dihilangkan. Karena
itu, teknik ini menjadi pilihan utama dalam hirarki pengendalian risiko.
Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat,
bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau
lebih rendah bahayanya. Teknik ini banyak digunakan, misalnya bahan kimia
berbahaya dalam proses produksi diganti dengan bahan kimia lain yang lebih
aman. Bahan kimia CFC untuk AC yang berbahaya bagi lingkungan diganti
dengan bahan lain yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Pengendalian Teknis
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang
ada di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan
melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan
peralatan pengaman. Sebagai contoh, mesin bising dapat diperbaiki secara
teknis misalnya dengan memasang peredam suara sehingga tingkat
kebisingan ditekan.
Pencemaran di ruang kerja dapat diatasi dengan memasang sistem
ventilasi yang baik. Bahaya pada mesin dapat dikurangi dengan memasang
pagar pengaman atau sistem interlock.
Pengendalian Administratif
Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif
misalnya dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur
kerja yang lebih aman, rotasi atau pemeriksaan kesehatan.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai
alat pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, pelindung
pernafasan (respirator atau masker), pelindung jatuh, dan pelindung kaki.
Dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan terakhir atau
lastresort dalam pencegahan kecelakaan.
Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah
kecelakaan (reduce likelihood) namun hanya sekedar mengurangi efek atau
keparahan kecelakaan (reduce consequances). Sebagai contoh, seseorang
yang menggunakan topi keselamatan bukan berarti bebas dari bahaya
tertimpa benda. Namun jika ada benda jatuh, kepalanya akan terlindung
sehingga keparahan dapat dikurangi. Akan tetapi, jika benda yang jatuh
sangat berat atau dari tempat yang tinggi, topi tersebut mungkin akan pecah
karena tidak mampu menahan beban.
Alat keselamatan ada berbagai jenis dan fungsi yang dapat
dikategorikan sebagai berikut:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

58

1) Alat pelindung kepala, untuk melindungi bagian kepala dari benda yang
jatuh atau benturan misalnya topi keselamatan baik dari plastik,
aluminium, atau fiber.
2) Alat pelindung muka untuk melindungi percikan benda cair, benda padat
atau radiasi sinar dan panas misalnya pelindung muka (face shield), dan
topeng las.
3) Alat pelindung mata untuk melindungi dari percikan benda, bahan cair
dan radiasi panas, misalnya kaca mata keselamatan, google dan kacamata
las.
4) Alat pelindung pernafasan untuk melindungi dan bahan kimia, debu uap
dan asap yang berbahaya dan beracun. Alat pelindung pernafasan sangat
beragam seperti masker debu, masker kimia, respirator, dan breathing
apparatus(BA).
5) Alat pelindung pendengaran untuk organ pendengaran dari suara yang
bising misalnya sumbat telingan (ear plug), dan katup telingan (ear
muff).
6) Alat pelindung badan untuk melindungi bagian tubuh khususnya dada
dari percikan benda cair, padat, radiasi sinar dan panas misalnya appron
dari kulit, plastik, dan asbes.
7) Alat pelindung tangan untuk melindungi bagian jari dan lengan dari
bahan kimia, panas atau benda tajam misalnya sarung tangan kulit, PVC,
asbes dan metal.
8) Alat pelindung jatuh untuk melindungi ketika terjatuh dari ketinggian
misalnya ikat pinggang keselamatan (safety belt), harness, dan jaring.
9) Alat pencegah tenggelam melindungi jika jatuh ke dalam air misalnya
baju pelampung, pelampung dan jaring pengaman.
10) Alat pelindung kaki untuk melindungi bagian telapak kaki, tumit atau
betis dari benda panas, cair, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan
lainnya, misalnya sepatu karet, sepatu kulit, sepatu asbes, pelindung kaki
dan betis. Untuk melindungi dari kejatuha benda, sepatu keselamatan
dilengkapi dengan pelindung logam di bagian ujungnya (steel to cap).
Sesuai dengan ketentuan pasal 14C Undang-undang Keselamatan
Kerja No.1 tahun 1970, pengusaha wajib menyediakan alat keselamatan
secara cuma-cuma sesuai dengan sifat bahayanya. Oleh karena itu, pemilihan
alat keselamatan harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan
jenis bahaya serta diperlakukan sebagai pilihan terakhir.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

59

5.
7

Proses Pengembangan Manajemen Risiko

Pengendlian risiko harus dilakukan secara komprehensif dan menjangkau


semua aktivitas yang ada dalam organisasi. Sesuai dengan prinsip manajemen K3,
hasil manajemen risiko akan menentukan arah dan bentuk manajemen K3 yang
akan dikembangkan dalam organisasi sehingga penerapannya tidak salah arah atau
virtual. Oleh karena itu proses pengembangan manajemen risiko sangat
menentukan efektifitas pelaksanaan K3 dalam organisasi, sehingga harus
dilakukan secara terencana dan efektif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pemetaan Aktivitas
Langkah pertama untuk mengembangkan manajemen resiko adalah
melakukan pemetaan apa saja aktivitas organisasi yang memiliki atau akan
menimbulkan dampak risiko K3. Banyak cara melakukan pemetaan, salah satu
diantaranya menggunakan pendekatan input - process output yang di
kembangkan oleh HSE Executive.
a. Masukan
Pengendalian risiko dimulai pada sisi masukan. Setiap organisasi
memiliki masukan sesuai dengan kegiatannya masing-masing. Sebagai
langkah awal semua masukan harus diidentifikasi dan dipetakan.
Masukan ke dalam suatu organisasi dapat berupa :
1) Manusia sebagai pekerja dalam proses produksi, pemasok, manajemen
maupun pihak eksternal seperti pekerja kontraktor yang terkait dalam
proses produksi.
2) Material, seperti bahan baku atau bahan tambahan yang digunakan
dalam proses produksi.
3) Mesin dan peralatan kerja yang digunakan.
4) Teknologi yang digunakan untuk kegiatan dalam perusahaan.
5) Sumber daya seperti modal yang diperlukan.
6) Lingkungan, seperti lingkungan kerja, lingkungan sosial, lingkungan
hidup atau alam sekitar.
Potensi risiko dapat timbul dari berbagai unsur yang masuk ke
dalam sistem organisasi tersebut. Dengan membeli atau memasukkan
bahan baku, suatu perusahaan telah mengambil berbagai risiko terkait
dengan bahan tersebut. Bahan kimia misalnya akan membawa serta
potensi bahaya terkait dengan jenis dan karakteristik bahan tersebut. Jika
perusahaan menggunakan bahan baku yang mudah terbakar dengan
sendirinya risiko bahaya kebakaran akan turut masuk ke lingkungan
perusahaan.
Demikian pula dengan unsur lainnya seperti mesin, peralatan,
proses atau teknologi dan sumberdaya yang dipergunakan. Sebagai contoh,
penggunaan tenaga outsourcing , jika tidak memenuhi persyaratan K3
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

60

akan menimbulkan risiko terhadap keamanan operasi perusahaan.


Lingkungan alam juga berperan, misalnya suatu perusahaan membangun
pabrik berdekatan dengan laut, gunung atau berada di kawasan rawan
gempa akan menghadap risiko bencana alam.
b. Proses
Semua unsur produksi diproses dalam perusahaan menghasilkan
keluaran yang diinginkan. Proses dalam perusahaan beragam seperti dalam
industri jasa, manufaktur, konstruksi, proses kimia dan lainnya. Unsur
produksi yang terlibat dalam proses produksi ini antara lain manusia,
material, mesin, dan metoda.
Semua unsur ini akan berinteraksi dalam proses produksi. Interaksi
antara unsur produksi ini berpotensi menimbulkan bahaya yang tidak
diinginkan. Jika proses produksi tidak terkendali maka bahaya akan timbul
dan menimbulkan berbagai dampak. Semua unsur yang ada dalam proses
ini, baik menyangkut peralatan, material, proses kerja, aktivitas orang dan
barang, lingkungan, dan lainnya harus diidentifikasi. Kecelakaan yang
terjadi dalam proses produksi dapat bersumber atau menimbulkan dampak
terhadap manusia, peralatan maupun lingkungan kerja.
c. Keluaran
Keluaran dari organisasi harus di kelola dengan baik, karena
mungkin mengandung berbagai potensi bahaya atau risiko antara lain :
1) Produk atau jasa yang dihasilkan,
2) Produk antara (intermediate),
3) Produk sampingan,
4) Limbah atau dampak,
5) Informasi keluar dari perusahaan,
6) Penimbunan dan pengangkutan.
Langkah 2 : Melakukan Identifikasi Bahaya
Setelah semua elemen dalam masukan, proses dan keluaran diiventarisasi,
dilakukan identifikasi bahay untuk setiap unsur baik pada masukan, proses
maupun keluaran. Pada tahap masukan ini, dilakukan identifikasi semua potensi
risiko terdapat dalam unsur masukan yang berpengaruh terhadap keselamatan
operasi perusahaan. Demikian juga pada sisi proses, dan keluaran, dilakukan
identifikasi semua potensi bahaya dan risiko yang ada.
Langkah 3 : Melakukan Analisa Risiko
Berdasarkan hasil identifikasi bahaya, dilakukan penilaian risiko yang
mencakup analisa dan evaluasi risiko sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

61

Hasil penilaian risiko khususnya yang bersifat kualitatif dapat di gunakan sebagai
saringan awal dari seluruh risiko yang ada. Organisasi dapat memfokuskan diri
terhadap risiko-risiko yang signifikan misalnya memiliki peringkat sedang sampai
tinggi.jika diperlukan analisa lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan
metoda kuantitatif kehingga kriteria risiko dapat lebih objektif.
Langkah 4 : Melakukan Evaluasi Risiko
Hasil analisa risiko digunakan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut
untuk menentukan apakah risiko dapat diterima atau tidak. Jika dapat diterima
tentunya aktivitas dapat diteruskan. Jika risiko tidak dapat diterima, perlu
dilakukan langkah pengendalianuntuk menekan tingkat risiko.
Langkah 5 : Pengendalian Risiko
Langkah berikutnya adalah mrnrntukan langkah atau cara pengendalian
agar risiko yang tersisa (residual risk) masih dapat diterima. Pengendalian yang
baik harus mampu menekan tingkat risiko.
Langkah 6 : Komunikasi Risiko
Hasil penelitian dan pengendalian risiko harus dikomunikasikan kepada
semua pihak terkait baik internal maupun eksternal organisasi. Siapkan data risiko
yang ada dan dokumentasikan sehingga mudah diperoleh. Data tersebut harus di
mutakhirkan sesuai dengan perkembangan pengendaliannya.
Langkah 7 : Dokumentasi Manajemen Risiko
Hasil manajemen risiko harus di dokumentasikan dengan baik karena
diperlukan untuk pengembangan program K3 selanjutnya misalnya program
pengendalian bahaya, rencana modifikasi, audit K3 dan analisa kejadian.
Catatan risiko (risk register) tersebut memuat dengan rinci seluruh
informasi mengenai risiko antara lain nomor urut risiko, lokasi, jenis, tingkat
risiko dan rencana pengendaliannya.informasi ini harus disimpan dan di
komunikasikan kepada semua pihak terkait, sehingga dapat digunakan dalam
aktivitas masing-masing.

Langkah 8 : Implementasi Manajemen Risiko

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

62

Seperti yang di kemukakan dalam BAB I, manajemen risiko merupakan


inti dari sistem manajemen K3. Karena itu OHSAS 1801 mensyaratkan agar hasil
identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko dijadikan sebagai masukan
dalam mengembangkan sistem manajemen K3 sehingga penerapan K3 yang salah
acak, atau virtual dapat dihindarkan.
Tahap
Aktivitas
Langkah 1. Tentukan
konteks
1
manajemen
risiko
Menetapk
organisasi.
2.
Tetapkan risk kriteria bagi
an
organisasi.
Konteks
3. Identifikasi dan petakan
risiko
korporat
yang
dihadapi
organisasi
(gunakan
penclekatan
masukan-proses-keluaran).
Langkah 1. Identifikasi risiko K3 (OHS
2
Risk)
untuk
setiap
Identifikas
organisasi.
2.
Buat registrasi risiko yang
i Bahaya
ada.

Langkah
3
Penilaian
Risiko

1.

2.

3.
1.

2.

Hasil/Penjelasan
Evaluasi berdasarkan visi
dan
misi
organisasi,
tuntutan
pemangku
kepentingan dan strategi
bisnis.
Buat
kriteria
risiko
berdasarkan kondisi dan
kemampuan organisasi
Susun peta risiko secara
korporat.
Pemetaan dapat dilakukan
menurut proses, aktivitas
atau struktur organisasi.
Risk Register mencatat
semua sumber bahaya,
lokasi, tingkat risiko dan
rencana pengendaliannya.
Gunakan kriteria risiko
yang telah ditetapkan.
Gunakan matrik risiko yang
telah ditetapkan.

1. Lakukan Penilaian risiko 1.


untuk setiap bahaya yang
2.
ada.
2. Tentukan risiko clan bunt
Risk Matrix.
Langkah 1. Saring
semua
risiko
Gunakan kriteria risiko
4
menggunakan
peringkat
yang telah ditetapkan.
Analisis
risiko yang telah ditetapkan.
2.
Lakukan analisa secara
Risiko
kualitatif atau kuantitatif
jika diperlukan.
Tahap
Aktivitas
Hasil/Penjelasan
Langkah 1. Tentukan
langkah
Gunakan kriteria ALARP
5
pengendalian sampai yang
yang telah ditetapkan.
Pengendal
dapat diterima.
ian Risiko
Langkah 1. Komunikasikan
semua
Gunakan semua media yang
6
risiko kepada pihak terkait.
ada seperti pendidikan,

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

63

Komunika
si Risiko
Langkah
7
Dokument
asi
Manajeme
n Risiko
Langkah
8
Implement
asi
Manajeme
n Risiko

5.
8

2. Sebarkan hasilnya keseluruh


pihak terkait.
1. Dokumentasikan
semua
program manajemen risiko.
2. Dokumentasikan
hasil
identifikasi
bahaya,
penilaian clan pengendalian.

buletin, clan manual K3.

1. Implementasikan semua hasil


pengendalian risiko dalam
setiap tahapan aktivitas.
2. Masukkan
program
pengendalian risiko dalam
rencana kerja.

Upaya pengendalian risiko


berjalan dengan baik clan
terarah sehingga angka
kecelakaan dapat ditekan.

Potensi bahaya diketahui


oleh semua pihak dalam
organisasi
sehingga
keperluan meningkat.

Peran Tenaga Kesehatan Dalam Menangani Korban Kecelakaan


Kerja

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja
yang menderita gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih
mudah mengalami kecelakaan kerja. Menengok ke negara-negara maju,
penanganan kesehatan pekerja sudah sangat serius. Mereka sangat menyadari
bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara akibat suatu
kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat besar dan dapat ditekan
dengan upaya-upaya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja.
Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan keselamatan kerja dan
banyak buku serta hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja
yang telah diterbitkan. Di era globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada
di negara maju. Dalam hal penanganan kesehatan pekerja, kitapun harus
mengikuti standar internasional agar industri kita tetap dapat ikut bersaing di
pasar global. Dengan berbagai alasan tersebut rumah sakit pekerja merupakan hal
yang sangat strategis. Ditinjau dari segi apapun niscaya akan menguntungkan baik
bagi perkembangan ilmu, bagi tenaga kerja, dan bagi kepentingan (ekonomi)
nasional serta untuk menghadapi persaingan global.
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada, rumah sakit pekerja
akan menjadi pelengkap dan akan menjadi pusat rujukan khususnya untuk kasuskasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Diharapkan di setiap kawasan industri
akan berdiri rumah sakit pekerja sehingga hampir semua pekerja mempunyai
akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Setelah itu
perlu adanya rumah sakit pekerja sebagai pusat rujukan nasional. Sudah barang
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

64

tentu hal ini juga harus didukung dengan meluluskan spesialis kedokteran okupasi
yang lebih banyak lagi. Kelemahan dan kekurangan dalam pendirian rumah sakit
pekerja dapat diperbaiki kemudian dan jika ada penyimpangan dari misi utama
berdirinya rumah sakit tersebut harus kita kritisi bersama.
Kecelakaan kerja adalah salah satu dari sekian banyak masalah di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat menyebabkan kerugian jiwa dan
materi. Salah satu upaya dalam perlindungan tenaga kerja adalah
menyelenggarakan P3K di perusahaan sesuai dengan UU dan peraturan
Pemerintah yang berlaku. Penyelenggaraan P3K untuk menanggulangi kecelakaan
yang terjadi di tempat kerja. P3K yang dimaksud harus dikelola oleh tenaga
kesehatan yang professional.
Yang menjadi dasar pengadaan P3K di tempat kerja adalah UU No. 1
Tahun 1970 tentang keselamatan kerja; kewajiban manajemen dalam pemberian
P3K, UU No.13 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Mentri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja ;
tugas pokok meliputi P3K dan Peraturan Mentri Tenaga Kerja No. 05/Men/1995
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
5.
9

Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)

Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control) Yaitu upaya


untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition)
kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis
pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang
sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya.
Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat,
mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas
masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan
diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment).
Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja
yang meliputi :
1.

Pemeriksaan Awal Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum


seseorang calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai
melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah
calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

65

pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Anamnese umum Pemerikasaan


kesehatan awal ini meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Anamnese pekerjaan
Penyakit yang pernah diderita
Alrergi
Imunisasi yang pernah didapat
Pemeriksaan badan
Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :
- Tuberkulin test
- Psiko test
2.
Pemeriksaan Berkala Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan
secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya
resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak
waktu antar pemeriksaan berkala. Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal
dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan
resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
3.
Pemeriksaan Khusus Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada
khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada
atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai
unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern
laboratorium kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga
harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di
sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk
mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau
masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act
dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.

5.14.
0

Pemantauan dan pengukuran Kinerja

Sebagian dari siklus manajemen PDAC, pemantauan dan pengukuran


merupakan persyaratan dalam manajemen K3. Pemantauan dan pengukuran
untuk mnegetahui bagaimana kondisi pelaksanaan K3 dalam organisasi,
apakah telah berjalan sesuai
dengan rencana rencana atau terjadi
penyimpangan yang tidak diinginkan. Berkaitan dengan tersebut, OHSAS
18001 mensyaratkan adanya sistem dan prosedur pemantauan dan pengukuran
kinerja K3 sebagai berikut:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

66

5.8.1 Pemantauan
Proses pelaksanaan manajemen K3 harus dipantau secara berkala
dari waktu ke waktu untuk memastikan bahwa sistem berjalan sesuai
dengan rencana. Sama halnya dengan berbagai petunjuk yang ada di
dash board mobil, pemantauan akan membantu pengemudi sepanjang
perjalanan. Pengemudi dapat mengetahui beberapa jarak yang sudah
ditempuh, berapa bahan bakar yang masih tersisa, kondisi mesin
kendaraan dan parameter lainnya. Jika ada penyimpangan, manajemen
dapat segera mengambil langkah koreksi.
Pemantauan dapat dilakukan melalui observasi, laporan atau
rapat pelaksanaan yang diadakan secara berkala untuk melihat progres
report kemajuan pelaksanaan K3.
5.8.2 Pengukuran kinerja
Pengukuran kinerja K3, sejalan dengan konsep manajemen
modern, dilakukan sepanjang proses SMK3 sejak tahap perencanaan
samapai pelaksanaannya.
Pengukuran dilakukan secara konsepsional agar dapat
memberikan makna dan manfaat bagi manajemen. Frank Bird dalam
Loss Control Management menyesuaikan tahan pengukuran kinerja
dengan proses kecelakaan yang meliputi 3 tahap yaitu pengukuran
sebelum kejadian (pre-contact), saat kejadian (contact), dan sesudah
kejadian (post-contact).

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

67

Gambar 3.1 Tahapan proses kecelakaan menurut Frank Bird

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

68

a. Pengukuran konsekuensi (Measurement of Consequency)


Yaitu pengukuran yang dilakukan setelah kejadian (postcontact) seperti kecelakaan kerja, kebakaran, tumpahan minyak dan
lainnya. Metode pengukuran kejadian ini telah banyak
dikembangkan dan dibakukan misalnya standar ANSI Z.61-1 atau
BSL-OSHA (Bereau Statistic of Labour). Yang paling populer dan
banyak digunakan adalah ukuran Frekuensi Rate (FR) dan Severity
rate (SR) untuk kecelakaan kerja yang mengakibatkan kehilangan
hari kerja. Bentuk lain yang banyak digunakan adalah angka
kecelakaan nihil (zero accident) yang didasarkan jumlah jam kerja
yang aman bebas dari kecelakaan.
Ukuran kinerja ini hanya melihat aspek kejadiannya tanpa
memandang bagaimana proses pencegahan atau upaya
pengendalian yang telah dilakukan, sehingga sering dinilai kurang
objektif jika digunakan sebagai ukuran kinerja.
b. Measurement of Cause
Yaitu pengukuran faktor penyebab kejadian misalnya
kondisi tidak aman dan tindakan tidak aman yang memicu
terjadinya kecelakaan. Dengan mengukur adanya faktor penyebab
ini dapat dinilai bagaimana tingkat kerawanan dan kondisi K3
dalam suatu organisasi.
c. Measurement of Control
Bertujuan untuk mengukur upaya pencegahan atau
pengendalian yang dilakukan dalam organisasi. Ukuran kinerja ini
dititik beratkan kepada upaya atau program K3 khususnya yang
berkaitan dengan manajemen K3. Sistem pengukuran ini lebih
komprehensif, namun lebih rumit dan memerlukan sistem audit
yang baik.
Teknik pengukuran yang dapat digunakan antara lain:
a. Hasil dari identifikasi bahaya, penakaran risiko dan
pengendaliannya.
b. Inspeksi sistematik dengan menggunakan daftar perkara.
c. Inspeksi K3 misalnya dengan cara walk through).
d. Inspeksi peralatan untuk memastika kelengkapan peralatan K3.
e. Safety sampling
f. Environmental sampling.
Ketiga tahap pengukuran tersebut dapat dikelompokkan atas 2
macam pengukuran, yaitu logging dan leading indikator.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

69

Lagging indikator adalah pengukuran hasil, akibat atau keluaran dari


proses K3 seperti angka kecelakaan kerja, kebakaran, penyakit akibat kerja,
jumlah jam kerja aman dan angka absen. Termasuk lagging indicator adalah
pengukuran konsekuensi yang disebut juga pemantauan reaktif (reactive
monitoring). Pengukuran lagging indicator ini sangat populer karena mudah
digunakan dan dapat langsung dirasakan. Misalnya angka kecelakaan dan
kebakaran/tahun dapat diukur dengan mudah dan dibandingkan dari tahun
ke tahun.
Leading indicator mengukur proses atau masukan dalam sistem
manajemen K3 yang menunjukkan upaya yang dilakukan untuk mencapai
objektiif K3 yang meliputi pengukuran faktor penyebab dan pengendalian.
Karena itu engukuran ini bersifat proaktif sebelum kejadian.
Kedua pengukuran tersebut harus di kombinasikan agar diperoleh
gambaran yang objektif. Dalam praktik, kebanyakan organisasi hanya
mengukur konsekuensi (lagging indicator) seperti Accident Frequency Rate
dan accident Severity Rate, zero accident dan lainnya. Pengukuran ini
sekilas mudah dilaksanakan dan langsung memberikan gambaran kepada
manajemen tentang kinerja K3. Namun memiliki kelemahan, yaitu kurang
objektif menggambarkan kinerja K3 yang sebenarnya. Sebagai contoh,
perusahaan yang tidak beroperasi karena pesanan terhenti, akan memiliki
jam kerja aman yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja
dengan intensitas tinggi.
Untuk menghindarkan subjektivitas tersebut, banyak organisasi yang
mengkombinasikan antara lagging indicator dengan leading indicator.
OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi melakukan pengukuran
kinerja K3, baik yang bersifat reaktif maupun pengukuran proaktif.
Kekerapan pengukuran ditentukan berdasarkan pertimbangan dan
kebutuhan organisasi. Misalnya bulanan,triwulan,semesteran,atau tahunan.
Contoh pengukuran kinerja
1. Pengukuran angka kecelakaan (Incident Rate)
a. Tingkat kekerapan (Accident Frequency Rate) dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
jumlah kecelakaan X 200.00
FR=
jumlah jam kerjaorang
Catatan:
Jumlah kecelakaan adalah jumlah kejadian kecelakaan yang
mengakibatkan kehilangan hari kerja

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

70

200.000 adalah rata-ratajam kerja dalam setahun yang dihitung


selama 8 jam sehari 40 jam seminggux50 minggu pertahun
Jumlah jam kerja orang adalah total jam kerja dalam perusahaan
untuk periode tertentu misalnya sebulan atau setahun termasuk jam
kerja lembur.
b. Tingkat keparahan kecelakaan (seferytired) di hitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut
jumla h hari hilang x 200.000
SR=
Jumla h jam kerja
Contoh:
Perusahaan PT ABC memiliki 500 pekerja yang bekerja 8 jam
sehari atautotal4000 jam sehari.Jam kerja sebulan sebesar 25 hari x 4000
jam= 100.000 jam.jumlah lembur pada bulan januari 2009 tercatat 50.000
jam. Dengan demikian total jam kerja untuk bulan januari 2009 adalah
150.000 jam kerja.
Pada bulan januariterjadi 5 kecelakaan dengan data sebagai
berikut:
3 kali kecelakaan ringan kategori pertolongan pertama atau tidak ada
hari hilang.
2 kali kecelakaan yang masing-masing mengakibatkan korban di
rawat di rumah sakit 5 dan 10 hari.
Total hari hilang akibat kecelakaan bulan januari sebesar 15 hari
Hitung FR dan SR untuk bulan januari:
2 x 200.000
=2,66
FR= 150.000
SR=

15 x 200.000
=20
150.000

2. Peralatan Pengukuran
Pengukuran K3 juga memerlukan berbagai peralatan atau alat ukur
sesuai dengan kebutuhan manusia misalnya:
a. Pengukuran kebisingan sound level meter
b. Pengukuran cahaya
c. Pengukuran suhu
d. Detektor kebakaran
e. Pengukuran ketinggian
f. Pengukuran gas beracun dan berbahaya
Alat-alat ukur ini sangat penting dan menentukan keselamatan
operasi.Alat ini harus di rawat kalibrasi dan digunakan sebagai manaa
mestinya.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

71

Petugas yang melakukan pengukuran harus kompeten dan terlatih


melakukan pengukuran dan menganalisa hasilnya.Hasil kalibrasi dan
pengukuran ini harus di dokumentasikan dan di simpan sebagai rekaman
K3.
Jika di perlukan hasil pengukuran harus dapat di verivikasi dan
divalidasi baik secara internal maupun oleh pihak lainnya yang
berwenang.
OHSAS 18001 mensyaratkan diadakannya penyelidikan setiap
insiden yang terjadi dalam organisasi. Insiden adalah semua kejadian yang
menimbulkan atau dapat menimbulkan kerugian baik materi, kerusakan
atau cedera pada manusia. Insiden meliputi kecelakaan, kebakaran,
penyakit akibat kerja, kerusakan dan hampir celaka.
Penyelidikan bertujuan untuk:
a. Mencari faktor utama penyebab kejadian untuk mencegahterulangnya
kejadia serupa,
b. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan dengan melakukan penyelidikan dapat diketahui faktor
penyebab utama, dan tidak menjadikan pekerja sebagai kambing hitam
penyebab kecelakaan,
c. Sebagai bahan laporan kecelakaan kepada institusi terkait termasuk
kepetingan suransi kecelakaan,
d. Mengetahui kelemahan yang ada dalam sistem manajemen K3. Setiap
kecelakaan mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem
manajemen K3 organisasi.
e. Penyelidikan insiden bukan untuk mencari siapa yang salah tetapi apa
yang tidak aman. Karena itu, penyelidikan tidak mudah sehingga harus
dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi antara lain:
f. Pengetahuan teknis yang cukup mengenai aktivitas dan operasi terkait
dengan kecelakaan.
g. Bersifat obyektif, tidak memihak dan dapat bekerja sama.
h. Kemampuan berkomunikasi tertulis dan lisan.
i. Pengetahuan mengenai K3 khususnya konsep kecelakaan
j. Kemampuan menganalisa permasalahan secara sistematis
Penyelidikan insiden paling tepat dilakukan oleh pengawas
setempat atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja dengan pertimbngan
antara lain:
a. Pengawas paling bertanggung jawab menjaga kelancaran dan
keselamatan operasi sehari-gari
b. Pebgawas paling mengetahui dan memahami kondisi operasi, sifat
pekerjaan kondisi pekerja serta permasalahan yang ada yang
mendukung terjadinya kecelakaan
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

72

c. Pengawas juga memiliki ikatan personal dan emosional yang erat


dengan pekerja yang mengalami kecelakaan sehingga paling
merasakan dampak dari suatu kecelakaan.
Penyelidikan insiden sebaiknya dilakukan secepat ,ungkin setelah
kejadian. Namun dalam pelaksanaannya sangat tergantung dari kondisi
setempat, sifat kecelakaan, skala kecelakaan dan kerugian yang
ditimbulkannya.
Untuk kecelakaan ringan dan skala kerugian terbatas, mungkin
dapat dilakukan dengan segera oleh pengawas atau petugas setempat.
Untuk kecelakaan besar yang memiliki dampak luas, penyelidikan perlu
dilakukan oleh tim khusus baik dari dalam maupun luar organisasi seperti
instansi pemerintah atau kepolisian.
Beberapa pertimbangan yang perlu mendapat perhatian dalam
pengembangan prosedur penyelidikan insiden anatara lain:
1. Persyaratan umum
Prosedur penyelidikan insiden sekurangnya memuat hal sebagai
berikut:
Tanggung jawab dalam penyelidikan insiden, termasuk tindak
lanjutnya.
Ketentuan mengenai pelaporan kejadian dan batasannya misalnya
kejadian hampir celaka, kecelkaan ringan, berat atau fatal
Prosedur penyelidikan insiden, pelaporan dan tindak lanjutnya
2. Tindakan segera
Setiap kejadian, terutama yang menimbulkan cedera atau
kerusakan besar diperlakukan sebagai keadaan darurat yang harus
ditangani dengan cepat. Dalam prosedur harus dijelaskan bagaimana
prosedur melaporkan kejadian termasuk tindakan penanganan dan
pengamanannya. Organisasi sekurangnya menetapkan nomor telepon
khusus untuk melaporkan setiap kejadian kepada pihakberkepentingan
misalnya ambulace, security, petugas K3 dan lainnya.
3. Rekaman kejadian
Data dan informasi mengenai kejadian harus tercatatdan disimpan
dengan baik misalnya di klinik darurat, security atau kantor K3.
4. Penyelidikan
Prosedur juga mencakup proses penyelidikan kejadian, termasuk
penentuan penanggung jawab penyelidikan yang meliputi:
Siapa yang melakukan penyelidikan baik secara individu maupun
dalam bentuk tim penyelidikan kejadian,
Tujuan penyelidikan kejadian
Proses dan teknik penyelidikan
Laporan penyelidikan kejadian
5. Tindakan Koreksi

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

73

Setelah kejadian harus segera diambil langkah koreksi untuk


menghilangkan faktor penyebab kejadian atau penyimpangan yang
ditemukan dalam penyelidikan awal. Langkah ini diperlukan agar
kondisi operasi dapat pulih kembali dan amal dari sumber bahaya.
Tindakan koreksi dapat mencakup manusia, mesin, alat kerja,
lingkungan kerja atau proses yang berbahaya
6. Tindakan Pencegahan
Tindakan pencegahan harus segera dilakukan agar kecelakaan
tidak meluas sehingga menimbulkan korban atau kerusakan yang lebih
besar.
7. Tindak Lanjut
Prosedur juga memuat tindak lanjut upaya pencegahan,
termasuk tanggung jawab, batas waktu pelaksanaan dan pelaporannya.

5.8.3. Ketidaksesuaian, Tindak Koreksi dan Tindakan Pencegahan


Klausul 4.5.3.2.
Organisasi harus menetapkan, menjalankan dan memelihara prosedur untuk
menangani ketidaksesuaian atau potensi ketidaksesuaian yang ditemukan dan
mengambil tindakan koreksi dan perbaikan.
Prosedur harus menjelaskan persyaratan untuk :
a.
Identifikasi dan koreksi ketidaksesuaian dan tindakan untuk mengurangi
konsekuensi K3;
b.
menyelidiki ketidaksesuaian, menemukan penyebab dan mengambil
tindakan untuk mencegah agar tidak terulang kembali;
c.
mengevaluasi tindakan yang diperlukan untuk mencegah ketidaksesuaian
dan menjalankan tindakan yang perlu untuk mencegah agar tidak
terulang;
d.
merekam dan mengkomunikasikan hasil tindakan-tindakan koreksi dan
tindakan pencegahan yang diambil; dan
e.
mengkaji efektivitas tindakan koreksi dan pencegahan yang telah
diambil.
Dimana tindakan koreksi dan pencegahan mengidentifikasi adanya bahaya
baru atau perubahan bahaya atau perlunya pengendalian baru atau perubahan,
prosedur harus mempersyaratkan bahwa tindakan diambil melalui suatu
analisa risiko sebelum dilaksanakan.
Setiap tindakan koreksi dan pencegahan yang timbul dari tindakan koreksi
dan pencegahan dibuat pada sistem dokumentasi K3.
a.

Ketidaksesuaian

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

74

Dalam program K3, sangat penting untuk melakukan langkah


perbaikan dan peningkatan jika ditemukan adanya kondisi di bawah standar
seperti tindakan dan kondisi tidak aman yang dapat menjurus terjadinya
kecelakaan. Kondisi di bawah standar (substandard condition) ini dapat
ditemukan melalui kegiatan audit, inspeksi, atau assesment.
Ketidaksesuaian dapat bersumber dari sistem manajemen K3, kondisi
fisik tempat kerja, individu, lingkungan dan faktor non teknis lainnya. Semua
ketidaksesuaian harus diidentifikasi dan dievaluasi dan dikelompokkan
misalnya menurut jenis, lokasi, kejadian atau keparahan yang
ditimbulkannya. Dengan adanya data mengenai ketidaksesuaian ini,
manajemen akan memperoleh gambaran mengenai kondisi pelaksanaan K3
dalam organisasi sekaligus prioritas yang diperlukan untuk perbaikannya.
OHSAS 18001 mensyaratkan adanya prosedur untuk menangani
ketidaksesuaian ini yang memuat sekurangnya hal sebagai berikut:
Identifikasi ketidaksesuaian dan langkah koreksi yang diperlukan untuk
mengurangi damoak K3 yang ditimbulkan.
Melakukan penyelidikan atas semua ketidaksesuaian untuk mengetahui
penyebab dasar (root causes) sehingga dapat diambil tindakan koreksi
dan pencegahan yang tepat.
Menentukan tindakan koreksi dan pencegahan agar kondisi serupa tidak
terjadi kembali.
Melakukan evaluasi apakah langkah pencegahan atau koreksi telah
berjalan baik dan efektif untuk menghilangkan ketidaksesuaian yang ada.
b.
Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi dimaksudkan untuk mengambil langkah
menghilangkan faktor dasar penyebab ketidaksesuaian, insiden atau
kecelakaan yang ditemukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Untuk mengembangkan prosedur mengenai tindakan koreksi ini ada beberapa
hal yang perlu menjadi pertimbangan:

Identifikasi dan pelaksanaan tindakan koreksi dan perbaikannya baik


untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Evaluasi mengenai dampak atau efek yang timbul dari, ketidaksesuaian
terhadap hasil identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko yang ada.
c.
Tindakan Pencegahan
Dari hasil temuan ketidaksesuaian dan setelah melakukan tindakan
koreksi organisasi harus mengambil langkah pencegahan untuk mencegah hal
serupa tidak terulang kembali. Langkah pencegahan harus bersifat umum dan
mendasar, baik yang bersifat teknisataupun manajemen seperti perbaikan
dalam sistem pelatihan, organisasi, prosedur kerja, dokumentasi, komunikasi
dan lainnya.
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

75

Hasil tindakan pencegahan ini harus dievaluasi dan di pantau untuk


melihat efektivitasnya.
Dalam mengembangkan langkah koreksi dan pencegahan ada
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
Langkah koreksi dan pencegahan harus mempertimbangkan faktor risiko
untuk menghindarkan adanya bahaya baru yang timbul akibat langkah
koreksi yang dilakukan.
Langkah koreksi atau pencegahan hendaknya proporsional dengan
ketidaksesuaian yang ada, tidak berlebihan atau menimbulkan kesulitan
baru, baik dari segi operasional maupun biaya.
Setiap langkah koreksi dan pencegahan, harus diikuti dengan perbaikan
dalam prosedur atau sistem manajemen yang ada.oleh karena itu perlu
dilakukan kajian dan evaluasi, apakah untuk tindakan koreksi tersebut
diperlukan prosedur baru atau cukup melakukan perubahan dari prosedur
yang sudah ada.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

76

Bab 6
Aplikasi Epidemiologi dalam Bidang K3
6.

Pendahuluan

Pelaksanaan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di dunia usaha


dan dunia kerja didasarkan atas tiga alasan penting, yaitu Hak Asasi Manusia
(HAM) untuk perlindungan pekerja, kewajiban pemberi kerja yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, dan alasan ekonomi, yaitu untuk mencapai
sustainable development suatu organisasi. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan salah satu upaya untuk mengelola hazard di tempat kerja agar tercapai
pekerja yang sehat, selamat, sejahtera, produktif dan kompetitif serta organisasi
yang sustain, melalui konsep manajemen terhadap risiko yang ditimbulkan hazard
di tempat kerja. Hazard atau faktor risiko di tempat kerja dapat berupa (1) hazard
lingkungan, meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi; (2) hazard ergonomi,
meliputi faktor postur janggal, beban, durasi, dan frekuensinya; (3) hazard
somatik, meliputi faktor antara lain antropometri, status kesehatan, status
kebugaran, ataupun penyakit; (4) hazard perilaku, meliputi antara lain kebiasaan
merokok, makanan padat energi tinggi lemak kurang serat, sedentary lifestyle
(kurang aktivitas fisik); dan (5) hazard pengorganisasian pekerjaan dan budaya
kerja, berupa faktor stres kerja.
Hazard dan risiko bila tidak dikendalikan dapat menurunkan kapasitas
kerja dan status kesehatan pekerja, karena menimbulkan penyakit, penyakit akibat
kerja atau luka akibat kecelakaan kerja. Konsep dasar Manajemen Risiko adalah
upaya mengendalikan risiko yang dilakukan untuk mencapai tujuan K3 berupa (1)
antisipasi; (2) rekognisi hazard; (3) evaluasi atau penilaian tingkat risiko, dan, (4)
control atau intervensi untuk menghilangkan atau mereduksi risiko ke tingkat
yang dapat diterima.
Dalam rangka mengenal atau rekognisi hazard dan risiko K3, diperlukan
analisis data. Epidemiologi yang salama ini banyak dianggap sulit bahkan oleh
para akademisi, kenyataannya di lapangan sudah banyak dimanfaatkan oleh
praktisi keselamatan dan kesehatan kerja, dalam membantu manajemen di
perusahaan atau otoritas yang terikait dengan kegiatan K3. Hal ini sejalan dengan
kegiatan epidemiologi yaitu (1) melihat besar masalah; (2) menilai hubungan
sebab akibat; (3) membandingkan kondisi sebelum dan sesudah intervensi; dan (4)
melakukan evaluasi.
Aplikasi epidemiologi di dunia usaha dan dunia kerja berspektrum luas,
bisa dalam bentuk epidemiologi deskriptif yang sederhana sampai kepada
epidemiologi analitik yang kompleks. Dalam bentuk sederhana seperti
menghitung frekuensi distribusi kecelakaan kerja atau absensi sakit, analisis trend
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

77

dan diteruskan dengan memberikan rekomendasi, untuk menetapkan program


perbaikan berdasarkan faktor risiko yang teridentifikasi, hal ini dilakukan dalam
rangka menurunkan angka kecelakaan atau angka absensi. Lebih lanjut, praktisi
K3 dapat bekerjasama dengan akademisi melakukan studi epidemiologi analitik
yang lebih kompleks, mencari faktor risiko yang merupakan determinan penting
terjadinya gangguan kesehatan atau kecelakaan kerja, untuk digunakan sebagai
masukan dalam perencanaan program K3. Dalam makalah ini, disajikan beberapa
contoh aplikasi epidemiologi deskriptif dan analitik di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, di dunia usaha dan dunia kerja, baik formal maupun informal.

6.

Aplikasi Epidemiologi Deskriptif

6.2.1. Evaluasi Absensi Sakit Di Pabrik Motor Tahun 2004 2005


Absensi sakit adalah semua ketidakhadiran dari pekerjaan yang
berhubungan dengan ketidakmampuan, kecuali karena kondisi hamil atau
melahirkan (Encyclopaedia of Occupational Health and Safety I: 1998). Kondisi
tersebut menimbulkan berbagai macam kerugian, baik kerugian langsung maupun
kerugian tidak langsung.
Beberapa contoh Kerugian Langsung yang timbul akibat absensi sakit
antara lain:
a. Pengeluaran biaya pengobatan
b. Gaji atau upah
c. Kompensasi biaya jam-jam absen
Sementara itu, beberapa contoh Kerugian Tidak Langsung yang timbul
akibat absensi sakit antara lain:
a. Penurunan produktivitas
b. Penurunan efisiensi penggunaan dana
c. Penurunan efektivitas terselesaikannya pekerjaan
d. Peningkatan biaya lain (seperti lembur, subkontrak, dll)
e. Penurunan moral kerja
Absensi sakit dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor risiko,
misalnya kondisi geografi, kondisi perusahaan atau organisasi, maupun kondisi
individu/pekerja itu sendiri. Berikut keterangan lengkap mengenai faktor risiko
absensi sakit:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

78

Tabel 1. Faktor Risiko Absensi Sakit


Geografi
Perusahaan atau
Individu
Organisasi
Daerah
Jenis dan Ukuran
Umur
Perusahaan
Iklim
Relasi Industri
Jenis Kelamin
Etnis
Kebijakan Personalia
Pekerjaan
Pelayanan Kesehatan
Insentif atau Upah Sakit
Kepuasan Kerja
Epidemic
Kualitas Supervisor
Kepribadian
Sistem Asuransi
Kondisi dan Bahaya di
Krisis Kehidupan
Lingkungan Kerja
Tingkat pengangguran
Shift Kerja
Kondisi Kesehatan
Sikap Sosial
Fasilitas Perusahaan
Alkohol
Usia Pensiun
Tanggung Jawab keluarga
Status Sosial Ekonomi
Kegiatan Sosial
Perjalanan ke Tempat kerja
Status Pernikahan
Pelayanan kesehatan kerja harus mampu melakukan identifikasi, analisis,
evaluasi, maupun pengendalian risiko yang berkaitan dengan absensi sakit. Untuk
mengukur absensi sakit di suatu tempat kerja, beberapa parameter yang diperlukan
antara lain:
a. Frekuensi Rate, yaitu jumlah spell absensi dalam 1 periode dibandingkan
dengan jumlah pekerja. Formulasinya adalah sebagai berikut:
jumlah spell absensi dalam 1 periode
x 100
jumlah pekerja( populasi beresiko)
b. Severity Rate
1. Durasi Absensi Sakit, yaitu rata-rata atau jumlah hari absen sakit dalam
periode waktu tertentu. Formulasinya adalah sebagai berikut:
jam/h ari h ilang karena absen sakit
x 100
jam/ h ari kerja total xjumlah pekerja
2. Durasi Spell, yaitu rata-rata lama atau jumlah hari absen sakit tiap spell.
Formulasinya adalah sebagai berikut:
jam/h ari h ilang karenaabsensi sakit
jumla h spell absensi dalam1 periode
Berikut contoh grafik distribusi frekuensi absen sakit berdasarfkan
beberapa faktor risiko di suatu pabrik motor tahun 2004 2005.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

79

1. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Waktu

2. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Unit Kerja

3. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Umur

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

80

4. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Masa Kerja

5. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Jabatan

6. Durasi Absensi Sakit berdasarkan Status Pernikahan

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

81

7. Tingkat Kepuasan Kerja

Simpulan yang dapat ditarik dari contoh kasus absensi sakit di suatu
Pabrik Motor periode 2004 2005 adalah distribusi absensi sakit paling banyak
pada:
a. Bulan Mei dan Oktober 2004 serta bulan Juli 2005
b. Unit kerja PPIC
c. Kelompok umur 30 39 tahun
d. Masa kerja > 10 tahun
e. Jabatan Operator (pekerja Direct manual)
f. Kelompok pekerja permanen dan sudah menikah
g. Penyakit dengan keluhan demam

a.
b.
c.
d.

Sementara itu, saran yang dapat diberikan antara lain:


Memperbaiki sistem job description serta meningkatkan kualitas supervisi.
Adakan rotasi kerja
Meningkatkan promosi kesehatan seperti perbaikan gizi serta mengadakan
rekreasi untuk menciptakan iklim kerja yang sehat dan kondusif
Melaksanakan penelitian lanjutan untuk melihat hubungan dan signifikansi
antarvariabel

6.2.2. Dugaan Penyakit Akibat Kerja di Pabrik Colour Printing tahun 1985

Pada tahun 1985, bagian kesehatan suatu pabrik colour printing menerima
laporan berupa tiga orang dirawat dengan kondisi hepatitis akut. Satu orang di
antaranya mengalami gagal ginjal akut. Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan
evaluasi faktor risiko hepatitis dan gagal ginjal akut dengan hasil sebagai berikut:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

82

1. Keberadaan Hepatitis A dan B dapat dilihat dari IgM-HAV dan HBsAg orang
sakit dibandingkan dengan orang tang tidak sakit. Hasil pemeriksaan tidak
menemukan pasien terinfeksi virus hepatitis
2. Kebiasaan minum alkohol tidak ditemukan
3. keberadaan pelarut di tempat kerja (misalnya kloroform), dengan rincian
sebagai berikut:
a. 17 dari 25 orang pekerja memiliki fungsi hati yang abnormal
b. Pekerja pernah bekerja di salah satu dari 3 ruangan dengan sistem 1 AC
c. Pekerja lain merupakan pembersih mesin cetak (terpajan CCl4)
d. Dilakukan simulasi membersihkan mesin (diketahui kadar lingkungan 115
495 ppm).
Dari kasus tersbut dapat ditarik simpulan berupa:
1. Diduga CCl4 merupakan faktor risiko
2. Setelah eliminasi CCl4, tidak ditemukan kasus baru
3. Perbaikan orang sakit setelah stop pajanan

6.2.3.
Pajanan Benzena, Toluena, dan Xylena Pada Pekerja Pembuat
Sepatu4
Pada pabrik pembuatan sepatu di beberapa daerah di Jawa Barat dan
Banten, seperti Bandung, tangerang, dan Bogor diketahui konsentrasi BTX
sebagai berikut:
Tabel 2. Konsentrasi BTX Pabrik Pembuatan Sepatu di Beberapa Kota di
Indonesia
ppm
Mean
Tangerang
Range
Tangerang
Mean
Bandung
Range
Bandung
Mean
Bogor
Range
Bogor

Benzene
2.29

Toluene
40.81

Xylene
< 0.01

CER
6,63

0,02-5,50

0,71-98,74

< 0.01

0,39-15,94

2.69

21.08

< 0.01

6.44

0,75-7,42

0,56-52,10

< 0.01

2,12-15,63

1.40

76.38

< 0.01

6,62

0,68-3,29

10,51147,36

< 0.01

1,90-13,68

Selain pengukuran pajanan BTX di lingkungan, dilakukan pula


pengukuran pajanan BTX personal pada pekerja. Pengukuran tersbut dilakukan
dengan melihat kadar asam t,t mukonat dan asam hipurat pada urin pekerja.
Hasilnya adalah sebagai berikut:

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

83

Tabel 3. Kadar Asam t,t Mukonat dan Asam Hipurat pada Pekerja Pembuat
Sepatu
t,t-muconic acid
(ug/g creatinine)
Tangerang Bandung Bogor
Geomean 22806.21 11698.05 11808.25
Rerata
27267.58 16004.52 20250.77
SD
22732.43 14017.17 22497.65
min
10796
2786
1454
max
131765
69439
83395

Hypuric acid
(g/g creatinine)
Tangerang Bandung
0.46
0.15
0.61
0.26
0.34
0.30
0.018
0.026
1.192
1.098

Bogor
0.34
0.62
0.71
0.02
2.945

Keterangan:
- Konsentrasi asam t,t mukonat urin sebesar 500 ug/g kreatinin (BEI)
- Konsentrasi asam hipurat urin sebesar 1,6 ug/g kreatinin (BEI)
Berdasarkan hasil pengukuran kadar BTX di lingkungan dan
biomonitoring terhadap metabolit BTX di urine pekerja, dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Konsentrasi benzena dalam sebagian besar sampel udara lingkungan kerja
melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Hal ini berbanding lurus dengan
konsentrasi asam t,t mukonat yang juga melebihi Indeks Pajanan Biologi
(IPB).
2. Kadar toluena pada sampel udara lingkungan kerja, terdapat 11 dari 21 pabrik
melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Hal ini berbanding lurus dengan kadar
asam hipurat yang juga melebihi Indeks Pajanan Biologi (IPB).
3. Konsentrasi xylena pada semua sampel udara lingkungan di bawah Nilai
Ambang Batas (NAB)
4. Hanya ada 2 dari 21 pabrik yang memiliki CER (Cumulative Exposure Ratio)
<1
Rekomendasi yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil tersebut
berupa Manajemen Risiko Kesehatan Kerja yang antara lain berupa:
1. Training K3 bagi semua pekerja
2. Perbaikan sistem ventilasi
3. Penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja
4. Penelitian epidemiologi lebih lanjut (studi kohort)
6.

Aplikasi Epidemiologi Analitik

6.3.1. Kajian Kontribusi Faktor Genetik dan Faktor Lingkungan terhadap


Timbulnya Silikosis
Silikosis atau pneumoconiosis merupakan penyakit parenkhim paru yang
bersifat kronik progresif walaupun pajanan telah dihentikan. Di beberapa negara
seperti Inggris, Belanda, dan Perancis banyak ditemukan kasus baru silikosis pada
Kelompok IV - Epidemiologi 014
Epidemiologi K3

84

pekerja setelah pekerja tersebut pensiun. Epidemiologi klasik belum dapat


menjawab mengapa silikosis tidak terjadi pada semua pekerja, karena hanya
menilai pajanan dan efek kesehatan yang manifest. Namun belakangan ini,
epidemiologi genetik dan molekuler mampu mengidentifikasi kerentanan pada
tahap sebelum terjadi perubahan struktur/fungsi serta lebih memahami
patogenesis silikosis, melalui penilaian pemarka pajanan dan pemarka efek berupa
perubahan struktur dan fungsi jauh sebelum terjadinya kelainan klinik. Untuk
menjawab masalah ini, telah dilakukan penelitian terhadap sekitar 6000 pekerja
yang terdaftar di suatu pabrik semen di Jawa Barat, dengan menggunakan nested
case control study, suatu design studi kohort.
Hal tersebut diteliti dengan menggunakan kerangka konsep sebagai berikut:

Tabel 4.

Karakteristik Pajanan Kumulatif Debu dan Silika Bebas


dengan Melihat Nilai Rerata pada Kasus Silikosis dan Nonsilikosis

Hasil tersebut terdapat suatu kejanggalan, yaitu pekerja yang nonsilikosis


terpajan silika lebih berat dibandingkan dengan pekerja silikosis. Diketahui dari

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

85

catatan bagian hygiene indsusti bahwa perusahaan telah berhasil mempertahankan


kadar pajanan silica bebas di bawah NAB dan dibuktikan dari hasil pemantauan.
Tabel 5.
Distribusi Variasi Genetik Gen TNF- Pada Posisi 308 Kasus Silikosis Dan
Nonsilikosis

Analisis faktor genetic mendapatkan bahwa (Tabel 5):


1. Variasi genetic (AG/AA) lebih kerap pada silikosis (13,45%)
2. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian di Afrikas Selatan (39,67%) dan di
Amerika (58,16%)
Tabel 6.

Distribusi Kadar TNF-, Kadar IL-10 Dan Rasio TNF-:Il-10

Simpulan yang dapat ditarik dari kajian ini antara lain:


1.
Tidak dapat membuktikan hubungan pajanan kumulatif dan silikosis.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

86

2.

Proporsi variasi genetik gen TNF- pada posisi -308 pneumokoniosis


13,45%, lebih rendah bila dibandingkan dgn silikosis penambang batu bara di
Afrika Selatan dan penambang mas bawah tanah di Amerika
3.
Rasio TNF-:IL-10 > 1 berisiko 3 x terjadi silikosis bila dibandingkan
nilai <1
4.
Variasi genetik gen TNF- pada posisi -308, berperanan dalam terjadinya
silikosis, tidak secara langsung, tetapi melalui mekanisme peningkatan kadar
TNF- -- memicu kadar IL-10, dan rasio TNF-:IL-10 yang menentukan
terjadinya silikosis (hipotesis dibuktikan)
Sedangkan saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Manajemen wajib melakukan pemeriksaan kesehatan awal atau berkala bagi
semua pekerja, sementara Departemen Kesehatan wajib menentukan jenis
pemeriksaan minimal.
2. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan variasi genetic gen TNF-.
3. Penelitian lebih lanjut mengenai sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi
lain.
6.3.2.

Analisis Trend Kecelakaan Kerja


Kejadian kecelakaan diprediksi akan meningkat pada tahun 2020 dan
menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian. Salah satu faktor risiko kejadian
kecelakaan antara lain tidak digunakannya sabuk keselamatan oleh pengendara
kendaraan roda empat atau lebih. Sabuk keselematan tersebut telah dibuat sejak
tahun 1950an.
Survey di Universitas Indonesia Depok menunjukkanhasil sebagai berikut:
a. 30% pengendara tidak menggunakan keselamatan (bulan maret 2009)
b. Adanya anggapan bahwa di lingkungan kampus aman walaupun tidak
menggunakan sabuk keselamatan
Penelitian tersebut menggunakan kerangka konsep sebagai berikut:

Gambar 7. Kerangka Konsep penelitian Penggunaan Sabuk Keselamatan di


Kalangan Mahasiswa Universitas Indonesia Kampus depok

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

87

Penelitian ini bersifat semikuantitatif dengan desain penelitian cross


sectional. Populasinya adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang mengendarai
sendiri kendarannya. Sementara sampel dibatasi pada mahasiswa yang berusia 18
25 tahun. Besar sampel yang digunakan adalah 93 orang ( 5%, 80%, Uji
Hipotesis 2 sisi).
Tabel 7. Hubungan faktor Risiko dan Persepsi Risiko
Faktor
Persepsi
Total
P Value
Risiko
n
%
Umur
28(56.0)
22(44.0)
50
0.225
>20 tahun
21(43.8)
27(56.3)
48
20 tahun
Jenis Kelamin
21 (58.3)
15 (41.7)
36
0.209
Perempuan
28 (45.2)
34 (54.8)
62
Laki-laki
Pengalaman
5(10.6)
42(89.4)
47
0.000
Banyak
44(86.3)
7(13.7)
51
Sedikit
Kepercayaan
34(63.0)
20 (37.0)
54
0.004
Tinggi
15 (34.1)
29(65.9)
44
Rendah
Teman
7 (14.3)
42 (85.7)
49
0.000
Banyak
42(85.7)
7(14.3)
49
Sedikit
Hukum dan
33 (45.8)
39 (54.2)
72
0.170
Peraturan
16 (61.5)
10 (38.5)
26
Baik
Buruk
Media Massa
39 (47.6)
43(52.4)
82
0.274
Banyak
10 (62.5)
6(37.5)
16
Sedikit
Hubungan Persepsi Risiko terhadap Penggunaan Sabuk Keselamatan
Persepsi Risiko 37 (75.5)
12 (24.5)
49
0.000
keselamatan
2 (4.1)
47 (49.9)
49
berkendara:
Buruk
Baik
Simpulan dari penelitian ini adalah:
1. Faktor internal yang signifikan membentuk persepsi risiko adalah
pengalaman dan kepercayaan
2. Faktor eksternal: teman
3. Persepsi risiko keselamatan mahasiswa UI: 50% baik dan 50% buruk
4. Mayoritas penggunaan sabuk keselamatan mahasiswa UI baik (60,2%)

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

88

5.

Ada hubungan antara persepsi risiko keselamatan berkendara dengan


perilaku penggunaan sabuk keselamatan, dengan OR 72,458 (15,26-334,02
Sementara itu, saran yang dapat diberikan antara lain;
a. Menceritakan pengalam kepada teman
b. Saling mengingatkan
c. Bermain peran (role play)
d. Promosi keselamatan di lingkungan kampus.

Kelompok IV - Epidemiologi 014


Epidemiologi K3

89

Anda mungkin juga menyukai