Anda di halaman 1dari 831

(Na Yi Jian Di Feng Qing, 1982)

Karya : Gu Long, Ting Jing


Saduran : Tjan I D

Pendahuluan.

Sebuah bilik, sebuah lampu lentera, sepoci arak,


seorang kakek, seorang pemuda.

�Berpisah biasanya untuk bertemu kembali,� kakek itu


berkata sambil menegak arak, �Tiada perpisahan,
darimana datangnya pertemuan?�

�Tiada pertemuan, apa ada perpisahan?�


�Betul.�

�Senjata kait Nyo Cing dinamakan Kait perpisahan


karena dia ingin bertemu dan berkumpul sepanjang
masa dengan kekasih hatinya.�

�Benar!�

�Lalu apa nama pisau setipis kertas milik Ti Cing-ling?�

�Ada bayangan tanpa jejak, ada bentuk tanpa


wujud, cepat bagai sambaran kilat, lembut bagai
rambut seorang gadis, pisau setipis kertas itu bernama
Un-lo (Kelembutan).�

�Kelembutan? golok yang seperti pisau digunakan


untuk membunuh disebut Golok Kelembutan?�

�Betul, sebab setiap kali membunuh, golok itu selalu


melakukan dengan amat lembut, bagai pelukan lembut
seorang kekasih.�

�Shau Gong-cu telah membuat golok kelembutan


dengan menggunakan lempengan baja ribuan tahun
yang dibawa Ban Kun-bu, kemudian benda itu telah
ditukar Ing Bu-ok dengan sejilid kitab ilmu pedang yang
tidak utuh.�

�Sisi kiri kitab pedang itu telah terbakar hangus,


karena itu setiap jurus serangan yang tercantum dalam
kitab pusaka itu tinggal setengah jurus, boleh dibilang
mustahil untuk menguasai sebuah ilmu pedang yang
sempurna.�
�Justru lantaran ada kitab pedang yang tidak utuh,
maka muncul senjata Kait perpisahan.�

�Benar, dengan menggunakan inti baja milik Lan toasianseng


yang tidak utuh, Shau Gong-cu telah
menempanya menjadi sebilah senjata Kait perpisahan.�

�Dengan cacad menutupi cacad, dengan tidak utuh


menutupi tidak utuh, karena muncul kitab pedang yang
tidak utuh maka muncul senjata pedang yang cacad
kemudian berubah jadi senjata kaitan. Inikah yang
dimaksud kehendak Thian?�

�Mungkin bukan kehendak Thian, mungkin saja


kehendak Shau suhu pribadi?�

�Kalau memang ada golok dan senjata kaitan,


bukankah seharusnya ada juga sebilah pedang?�

�Benar.�

�Kalau memang ada pedang, kenapa tidak ada


yang tahu kabar beritanya?�

�Menurut cerita yang beredar dalam dunia persilatan,


Shau suhu menghabisi nyawa sendiri lantaran gagal
menempa inti baja yang dibawa Lan Toa-sianseng
menjadi sebilah pedang, padahal cerita itu keliru besar,
Shau suhu bunuh diri bukan lantaran senjata kaitan, tapi
karena senjata yang ketiga.�

�Oh�?�
�Setelah golok kelembutan dan Kait perpisahan
muncul dalam dunia persilatan, lamat-lamat seakan
muncul sebuah kekuatan kasat mata yang mendesak
Shau Gong-cu untuk melebur sisa dari baja yang dipakai
untuk membuat golok kelembutan serta sisa baja yang
dipakai untuk membuat kait perpisahan, ditambah
cucuran darah yang meleleh keluar dari kawanan jago
di bukit Thay-heng-san untuk menempa pedang ketiga.�

�Pedang macam apa itu?�

�Nu-kiam (Pedang Amarah)!�

�Pedang itu bernama pedang amarah?�

�Benar, sebab ketika pedang itu selesai ditempa, garis


yang timbul ditubuh pedang ruwet bagai serat ulat
sutera, garis cahaya diujung pedang mirip cahaya api
yang memancar ke empat penjuru, malah secara
kebetulan ketika pedang itu baru diangkat dari
perapian, langit tiba-tiba menjadi mendung gelap,
halilintar menyambar-nyambar dan guntur menggelegar
tiada hentinya, hujan musim semi jatuh setengah bulan
lebih awal dari jadwal biasa.�

�Ketika pedang diangkat dari perapian, hujan musim


semi turun lebih awal dari jadwal?�

�Betul, karena itulah dinamakan Pedang amarah,


disebut juga kemarahan musim semi.�

�Berada dimana pedang itu sekarang?�


�Pedang tersebut adalah sebuah benda maksiat
pembawa bencana, persis seperti orang yang dilahirkan
dengan sifat buas, sejak lahir sudah membawa hawa
sesat, karena itulah ketika selesai menempa pedang itu,
Shau suhu tidak segan mengakhiri hidupnya sendiri.�

�Dia mengubur pedang itu lalu mengubur dirinya


sendiri?�

�Benar.�

�Dikubur di mana?�

�Sebuah tempat yang menyeramkan!�

Sebuah penjara yang sempit, gelap, lembab dan


penuh dengan kutu busuk, mendampingi seorang kakek
cacad yang kurus, ceking, bau dan amis, seorang kakek
yang cacad kedua belah kakinya dan batuk tiada
hentinya.

Biarpun sinar matahari di bulan ke sembilan terasa


cerah dan lembut, selembut belaian tangan gadis cilik
yang mencorong masuk melalui jendela penjara, namun
yang tersisa hanya bayangan tubuh si kakek yang
terbias dipermukaan tanah, bayangan seorang kakek
yang masih batuk tiada hentinya.

Kakek itu merangkak ditanah mengelilingi ruangan


yang sempit, dia merangkak dengan kedua belah
tangannya sambil menyeret sepasang kakinya yang
cacad.
Memang hanya gerakan semacam ini yang bisa dia
lakukan, inilah satu-satunya hiburan yang dia miliki dan
bisa dia nikmati.

Dengan menyeret sepasang kakinya yang cacad,


sepasang kaki yang sudah kehilangan perasa, dia
sengaja menggesekkannya diatas dinding penjara yang
kasar, menggesek diatas batu cadas yang tidak rata,
membiarkan kulit kakinya robek lalu terkoyak,
membiarkan darah bercucuran, meski terluka namun
mimik muka kakek itu justru memperlihatkan kenikmatan,
suatu kenikmatan yang diperoleh dari menyiksa diri, dari
suatu perbuatan yang sadis.

.............Menyiksa diri, kadangkala merupakan


semacam pelampiasan, semacam pelampiasan yang
mengandung maksud mengejek diri sendiri.

Tampak selembar daun kering melayang dan


meronta ditengah udara, ditengah hembusan angin
musim gugur, seolah-olah sedang mencari tempat akhir
bagi dirinya.

........... daun yang rontok akhirnya akan jatuh ke


tanah, dekat akarnya, tapi bagaimana dengan para
perantau? Para gelandangan? Apakah kalian telah
menemukan persinggahan yang terakhir?

Daun kering menembusi cahaya matahari, melayang


masuk lewat daun jendela lalu melayang jatuh
dihadapan orang tua itu tanpa daya. Seakan dia tahu,
kehidupan kakek itu pun segera akan berakhir, maka dia
khusus datang untuk menemaninya.

Daun-daunan selalu rontok dimusim gugur, kakek


itupun tahu, hari ini merupakan hari terakhirnya sejak dia
menghuni penjaranya tujuh tahun berselang.
Memandang daun dilantai yang kering dan kuning,
paras muka kakek itu nampak semakin layu, kusut, tua
dan letih.

Tiba tiba dia bergumam, bergumam dengan penuh


rasa syukur disamping perasaan duka yang mendalam,
�Thian dilangit Tee dibumi, tiada kejadian lain yang lebih
nyata daripada sebuah kematian!�

Kembali kakek itu menghela napas, pelan-pelan


memungut rontokan dedaunan kering itu lalu dipeluknya
dengan lembut, selembut seorang pemuda yang
sedang memeluk kekasihnya.

Mendadak terdengar Derap kaki manusia bergema


dari serambi panjang yang hening, derap kaki manusia
yang amat nyaring.

Kakek itu tidak bergumam lagi, dia terbungkam.

Langkah kaki kian mendekat lalu berhenti, disusul


terdengar suara gemerincing gembokan yang dibuka
orang, suara gemerincing yang bergema nyaring dalam
penjara itu, bergaung tiada hentinya.

Daun-daunan kering semakin banyak berguguran ke


tanah ketika tertimpa angin, musim gugur telah
mendekati penghujung. Tiada perasaan takut atau ngeri
yang melintas diwajah kakek itu, yang tersisa hanya
wajah pasrah, wajah tidak berdaya.

Komandan sipir penjara yang membuka gembokan


kunci tadi sudah mulai berjalan menelusuri serambi
panjang, dua orang petugas sipir dengan satu di kiri,
satu di kanan, menggotong kakek yang cacad kedua
belah kakinya, berjalan ikut di belakangnya.

Serambi itu panjang sekali, selama perjalanan yang


terasa hanya keangkeran dan suasana seram, ditambah
suara gemerincing borgol di kaki orang tua itu ketika
bergesek dengan lantai batu.

Suara itu amat membuat pedih hati, bagaikan jeritan


tikus menjelang ajalnya, membuat hati orang merasa
miris, ngeri.......

Tatkala rombongan itu tiba dipertengahan jalan di


serambi panjang itu, tiba-tiba komandan sipir itu
membalikkan badan sambil berjongkok, entah sejak
kapan ditangannya telah bertambah dengan dua
batang jarum yang lembut tapi panjang ramping.

Dengan satu gerakan cepat dia menusukkan jarumjarum


tajam itu ke atas jalan darah Giok-swan-hiat di
tumit si kakek yang cacad.

Belum sempat dua orang sipir yang menggotong


kakek cacad itu mengetahui apa yang lelah terjadi,
tahu tahu mereka sudah dipukul roboh oleh komandan
sipir itu, sementara kakek cacad itu mendadak berdiri
sendiri, berdiri tegak setelah dua batang jarum tajam itu
menancap di tumitnya.

Darah berwarna hitam memancar keluar dari jalan


darah giok-swan-hiat, menetes ke lantai menelusuri
batang jarum itu, sang komandan yang menggenggam
jarum itu hanya mengawasi kakek tersebut dengan
pandangan tenang.

Lambat laun kakek cacad yang terbatuk batuk itu


mulai menunjukkan perubahan, mimik mukanya mulai
berubah menjadi semu merah, pinggangnya yang
semula terbungkuk kini mulai berdiri lurus dan tegak.

Mendadak dia merentangkan sepasang lengannya,


kemudian terdengarlah serentetan bunyi ledakan yang
beruntun, bagai bunyi mercon bambu bergemuruh dari
balik tubuh kakek tua itu.

Wajah kuyuh, sayu dan lemah dari seorang kakek


yang terbatuk-batuk telah hilang lenyap entah ke mana,
orang yang berdiri dihadapannya sekarang adalah
seseorang yang seolah-olah telah berganti rupa,
seorang lelaki dengan wajah yang sangat dingin,
hambar dan senyum tidak senyum.

Tiba-tiba komandan sipir yang menggenggam jarum


itu kembali mencabut keluar sebilah pisau, sebilah pisau
yang tipis bagaikan kertas, sebilah pisau tipis yang
memancarkan cahaya kebiru-biruan, dengan sikap
yang sangat hormat dia menpersembahkan pisau
tersebut kehadapan kakek itu.

Cahaya kebiru-biruan yang tawar memantul diwajah


kakek itu, membiaskan sekilas cahaya yang menyilaukan
mata.

Disaat dia menggenggam pisau tipis bercahaya biru


itulah, paras muka kakek itu seolah telah pulih kembali
dengan wajah ganteng yang anggun seperti masa lalu,
wajah Ti Cing-ling, Ti Siau-hoya yang memandang nama
dan harta bagaikan sampah, memandang kuda
jempolan dan wanita cantik bagaikan nyawa sendiri.

Cahaya pisau sangat tawar, amat tipis, setipis dan


setawar cahaya bulan sabit yang tergantung diawangawang.

Kini pisau tidak bergerak, Ti Cing-ling pun tidak


bergerak. Kecuali sepasang matanya, dia seolah-olah
telah berubah jadi sebuah patung arca, berubah
menjadi patung semenjak menggenggam pisau itu.

Seluruh kekuatannya, semangatnya, hawa murninya,


tenaganya, rohnya, sukmanya seakan telah terhimpun
didalam pisau tipis yang berada dalam genggamannya
itu, terhimpun dalam waktu singkat.

Ti Cing-ling mengawasi pisau tipis itu lekat-lekat,


sampai lama kemudian dia baru membuka mulut dan
berbicara, mengucapkan sepatah kata yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan pisau tersebut.
�Kau tentu sudah lama... lama sekali tidak pernah
makan dengan nikmat, makan dengan kenyang, karena
raut mukamu sudah menunjukkan tanda-tanda
kelaparan.�

Komandan sipir yang menggenggam jarum itu berdiri


tertegun, dia seakan tidak mengerti mengapa orang itu
mengucapkan kata-kata yang sama sekali tidak
dipahami.

�Setiap benda mestika yang diciptakan seorang ahli,


seorang empu kenamaan, persis sama seperti
kehidupan manusia biasa,� ujar Ti Cing-ling dengan sorot
mata setajam sembilu, �Bukan saja dia berwajah,
bahkan punya aura, punya nyawa, bila lama sekali tidak
menikmati segarnya darah manusia, dia pasti akan
perlihatkan tanda-tanda kelaparan.�

Sorot mata Ti Cing-ling pelan pelan mulai bergeser,


dari atas pisau tipisnya dialihkan ke tempat kejauhan
sana, tiba-tiba sekilas rasa benci dan dendam yang
amat dalam memancar dari balik matanya.

�Nyo Cing, gembirakah kehidupanmu selama tujuh


tahun terakhir ini?�
BAGIAN - 1

Pedang amarah Bunga kalap.

BAB 1.

Pembicaraan ditengah hujan.

Perasaan hati Cong-hoa amat gembira, tapi sayang


cuaca amat buruk. Hujan sudah turun selama dua hari
dua malam, kalau dilihat dari derasnya hujan yang
turun, mungkin sampai hari ketiga pun belum tentu akan
reda.

Walaupun hujan di musim gugur sangat meresahkan


hati, bila Cong-hoa teringat kembali mimik muka Thi-juibu-
cing (tangan besi tanpa perasaan) Tu Thian, Tu toaya
sewaktu menderita kekalahan pagi tadi, dia pingin sekali
berjumpalitan beberapa kali saking gembiranya.

Thi-jiu-bu-cing, Tangan besi tanpa perasaan memang


sebuah julukan yang gagah dan keren, tapi tidak
menjamin pemiliknya adalah seorang opas kenamaan
atau seorang enghiong hohan yang gagah berani.

Namun juga tidak berarti Tu Thian adalah seseorang


perampok ulung yang gampang marah, tidak
berperasan dan selalu telengas bila turun tangan, tidak
pernah membiarkan korbannya tetap hidup.
Thi-jiu-bu-cing, tangan besi tanpa perasaan hanya
melukiskan kekikiran Tu Thian, orang yang kelewat
hitungan dalam soal duit.

Tu Thian bukan nama aslinya, nama sesungguhnya


adalah Tu It-toa. Tapi lantaran dia anggap nama Tu Ittoa
susah disebut, lagipula untuk menulis nama sendiri
pun terlalu banyak membuang waktu, maka dia
berpendapat mempunyai dua huruf jauh lebih
berhemat ketimbang tiga huruf.

Apalagi bila diartikan secara harfiah, It-toa hanya


mengartikan satu lembar yang besar, itu tidak cukup
baginya, dia berharap bisa lebih besar daripada langit,
oleh karena itulah dia pun mengubah namanya dari Tu
It-toa menjadi Tu Thian.

Di kota ini, hampir sebagian besar pedagang dan


tuan rumah kenal dengan Tu Thian, tapi jangan harap
ada seorang pun yang mampu membawa pulang uang
setengik pun dari tangannya, apalagi mendapatkan
semacam barang.

Dia selalu ingin ikut campur dalam bisnis macam


apapun yang bisa mendatangkan keuntungan, asal dia
sudah ikut campur, biasanya rekan-rekan seprofesi yang
ada disekelilingnya akan segera angkat kaki untuk
mencari selamat.

Kalau tidak, bukan saja uang gagal diperoleh, pada


akhirnya ceceran darah sendiri pun akan ikut
mengering.
Untuk meminjam uang setengik saja dari orang ini jauh
lebih susah ketimbang memanjat ke langit, apalagi
untuk mendapatkan tiga puluh guci arak Li-ji-ang yang
telah berusia banyak tahun.

Tapi hari ini, Cong-hoa telah berhasil menangkan tiga


puluh guci arak Li-ji-ang dari tangannya.

Udara di pagi hari memang selalu paling segar, paling


pas untuk dinikmati, pagi hari juga merupakan saat yang
paling tenang dikala segala makhluk bumi belum
mendusin dari tidurnya.

Tu Thian amat senang pagi hari, dia berpendapat


pagi hari merupakan saat otak seseorang paling segar,
paling terang, saat seperti inilah merupakan saat yang
paling cocok untuk mengurusi segala persoalan dan
menganalisa pelbagai masalah.

Oleh sebab itu dia selalu keluar dari rumah setiap pagi
hari, mengunjungi pelbagai toko dan warung untuk
memeriksa dan menyelesaikan pelbagai persoalan.

Walaupun hujan dimusim gugur telah turun selama


dua hari berturut turut, tidak lantaran persoalan ini Tu
Thian lantas menghentikan kebiasaannya melakukan
pekerjaan di pagi hari.

Ketika keluar dari rumah pagi tadi, dia telah


menjumpai satu kejadian yang sangat aneh, satu
kejadian aneh yang dia anggap sangat lucu dan
menggelikan.
Dia menjumpai seorang gadis, ditengah hujan yang
amat deras sedang berusaha memanjat naik keatas
salah satu diantara tiga puluh batang pohon besar yang
tumbuh di kedua belah sisi pintu gerbang rumahnya.

Untuk memanjat ke atas sebatang pohon yang


demikian besar memang amat sulit, apalagi ditengah
hujan lebat, namun gadis itu masih tetap berusaha
dengan sepenuh tenaga untuk memanjat ke atas.

Batang pohon itu amat licin, ditambah lagi


perempuan itu memang tidak memiliki kekuatan tubuh
yang kuat, tidak heran setiap kali memanjat sampai
separuh jalan, tubuhnya selalu terpeleset jatuh lagi ke
bawah.

Namun gadis itu tidak putus asa, setiap kali terpeleset


jatuh ke bawah, dia selalu bangkit berdiri dan memanjat
lagi, jatuh lagi, memanjat lagi...

Melihat caranya memanjat ke atas pohon yang


begitu lucu, Tu Thian tidak tahan untuk tertawa geli.

�Ketiga puluh batang pohonku itu tidak pernah


berbuah aneh, juga tidak pernah menghasilkan emas
lantakan, kenapa sih kau terburu-buru ingin memanjat ke
atas?�

Tiba tiba gadis itu berpaling sambil melotot besar,


serunya, �Pertama, aku tidak terburu-buru ingin
memanjat ke atas, kedua aku pun tidak ingin
mengambil buah mestika atau emas lantakan dari atas
pohon, aku hanya ingin menikmati keindahan air hujan
dari puncak pohon, ketiga aku ingin membuktikan
bukan hanya lelaki yang mampu memanjat pohon.�

�Baik, baik, tapi kalau memanjat dengan cara begitu,


sampai tahun kapan baru bisa sampai diatas?�

�Ooh?� gadis itu berhenti memanjat, berpaling


menengok Tu Thian dan serunya, �Jadi maksudmu, kau
dapat memanjat lebih cepat ketimbang aku?�

�Sebenarnya aku ingin sekali bertanding melawanmu,


sayang kondisi tubuh dan usiaku sudah tidak mendukung
untuk berbuat begitu.�

Tu Thian tidak terhitung kelewat gemuk, bobot


tubuhnya baru mencapai seratus enam puluh kati,
usianya juga belum termasuk tua, paling banter baru
empat-lima puluh tahunan.

Kalau suruh orang semacam ini bertanding minum


arak, dia yakin pasti dapat memenangkan pertarungan
itu, tapi kalau suruh dia memanjat pohon, tidak usah
dijawab pun sudahjelas semuanya.

Apalagi dia adalah Tu Toaya, tauke Tu, mana


mungkin Tu toaya mau bertanding memanjat pohon
dengan orang lain? Tentu saja tidak mungkin.

Tu Thian memang enggan memanjat, tapi dia bisa


suruh orang lain memanjat, maka dia pun mengajukan
usul kepada gadis tersebut.
�Asal dalam seperempat jam kau sanggup memanjat
ketiga puluh batang pohon itu, apa pun yang kau
inginkan pasti akan kuberi.�

�Kalau gagal memanjat seluruh pohon itu?� gadis itu


mulai bertanya dengan wajah tertarik.

�Kau mesti bekerja untukku selama tiga tahun!�

�Baik!�

Tentu saja gadis itu tidak lain adalah Cong-hoa.

Sudah lama Cong-hoa merasa sebal dengan watak


kikir dan hitungan dari Tu Thian, ia berjanji suatu ketika
pasti akan mengerjainya, dia selalu menunggu
datangnya kesempatan seperti itu.

Tapi kehidupan pribadi Tu Thian seperti gadis perawan


dalam pingitan, dia tidak pernah memberi kesempatan
kepada orang lain.

................ Tapi, biarpun seorang perawan pingitan,


suatu hari toh tetap harus menjadi seorang ibu.

Kelemahan terbesar dari Tu Thian adalah senang


bertaruh, bertaruh sesuatu yang hasil kemenangannya
seratus persen pasti berada dipihaknya.

Oleh sebab itu Cong-hoa sudah pasti akan kalah


dalam taruhan ini, menyelesaikan panjatan tiga puluh
batang pohon dalam seperempat jam? Jelas bukan
satu pekerjaan yang gampang.
Tentu saja Tu Thian tahu kalau gadis itu bakal kalah
dalam taruhan ini, mustahil gadis itu dapat
menyelesaikan panjatannya dalam waktu seperempat
jam kepada ketiga puluh batang pohon itu.

Maka dia pun mengajaknya bertaruh. Ketika Conghoa


menyelesaikan panjatannya pada pohon keempat,
Tu Thian mulai tidak dapat tertawa, namun
ketika gadis itu mulai memanjat pohon yang kedua
puluh lima, senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya.

Dia yakin dan percaya, gadis itu paling banter Cuma


mampu memanjat sampai pohon yang kedua puluh
sembilan.

Pada satu setengah menit terakhir, Cong-hoa baru


mulai memanjat pohon yang ketiga puluh, dia sudah
pasti tidak punya waktu lagi untuk turun dari pohon itu.

Tertawa Tu Thian sangat lebar, dia sangat gembira.


Biarpun keberhasilan Cong-hoa untuk memanjati pohon
yang ketiga puluh merupakan satu kejadian yang jauh
diluar dugaannya, namun dia yakin gadis itu sudah
kehabisan waktu untuk turun dari pohon tersebut.

Ketika dia sudah bersiap sedia menerima pekerja


gratis itu bekerja rodi untuknya, mendadak satu peristiwa
yang sama sekali tidak masuk diakal telah terjadi
dihadapannya.
Dia menyaksikan Cong-hoa menjatuhkan diri dari atas
pohon, dia bukan melompat turun tapi membiarkan
badannya terbanting jatuh ke atas tanah.

Pada detik yang terakhir, tubuh Cong-hoa telah


mencium bumi. Karena itulah gadis ini berhasil
memenangkan taruhan.

Mimik muka Tu Thian waktu itu persis seperti seorang


jejaka yang baru saja menyaksikan seorang nenek
berusia delapan puluh tahun telanjang bulat. Dia sangat
kecewa, sangat galau... pada saat seperti itulah dia
mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk di
belakang tubuhnya.

Seorang lelaki gelandangan yang memakai jubah


panjang berwarna abu-abu muncul dari belakang
pohon sambil batuk tiada hentinya.

Padahal tadi, mereka semua tidak pernah melihat


kehadiran orang itu, di belakang pohon jelas tidak
pernah ada orangnya, tapi... mengapa pada saat ini
orang tersebut bisa tiba-tiba muncul dari belakang
pohon?

Orang itu berjalan lamban sekali, suara batuknya


amat keras dan berat.

Bersama dengan munculnya orang itu, air hujan


dimusim gugur seakan ikut berubah warna karena
kehadirannya, langit tampak berubah jadi putih keabuabuan,
kosong, hampa dan mengenaskan.
Orang itu mempunyai sepasang mata berwarna
hitam, sepasang mata yang hitam pekat.

.............. Putih keabu-abuan atau hitam pekat,


semuanya merupakan warna yang dominan ketika
seseorang mendekati saat ajalnya! Bukankah kematian
merupakan batas akhir dari kekosongan, kehampaan
dan kesepian?

Sambil terbatuk tiada hentinya lelaki gelandangan itu


berjalan mendekat dengan langkah yang sangat
lamban, tiba tiba dia berhenti, menghentikan
langkahnya persis di hadapan Cong-hoa, suara
batuknya juga tiba-tiba ikut berhenti.

�Apa artinya?�

Cong-hoa tidak mengerti apa maksud dari perkataan


itu, belum sempat bertanya, orang itu sudah
membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke arah Tu
Thian.

Dengan perasaan terkesiap Tu thian memandang


lelaki gelandangan itu, tiba tiba orang itu tertawa
kepadanya dan berkata pula,

�Buat apa?�

Baru selesai dia berkata, lelaki gelandangan itu sudah


berbatuk-batuk lagi, bahkan pelan-pelan berjalan
meninggalkan tempat itu.
Dengan wajah terkesima Tu thian mengawasi
bayangan punggungnya, begitu juga dengan Conghoa,
dia awasi orang itu dengan pandangan
keheranan, dia seakan tidak paham apa maksud dari
perkataannya itu.

Baru saja Cong-hoa hendak menyusulnya untuk


bertanya lebih jauh, ternyata bayangan tubuh orang itu
sudah hilang lenyap tidak berbekas.

Walaupun langkah kakinya sangat lamban, namun


dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
tidak berbekas, bahkan suara batuknya juga sama sekali
tidak kedengaran lagi.

�Aneh...sungguh aneh...� gumam Tu thian keheranan,


�Mengapa aku merasa seperti amat mengenal dengan
wajah orang itu?�

Cong-hoa juga sedang bergumam, �Aneh...sungguh


aneh...sudah jelas aku yang menang, kenapa belum
ada yang bertanya kepadaku mau minta apa?�

Benda yang diminta Cong-hoa tentu saja tiga puluh


guci arak Li-ji-ang yang sudah berusia tua.

�Menjatuhkan diri� dan �melompat turun� adalah dua


gerakan turun yang beda sekali unsur kecepatannya.

Berbicara dari unsur kecepatan, �melompat turun�


jelas masih termasuk jenis gerakan yang lebih lamban,
karena masih terbuka kemungkinan terhambat oleh
rentangan batang dan ranting pohon.
Berbeda sekali dengan �menjatuhkan diri�, gerakan
tersebut adalah gerakan jatuh dengan punggung
menghadap ke bawah, berhubung separuh tubuh atas
manusia biasanya lebih berat ketimbang separuh
tubuh bagian bawah, maka kecepatan meluncurnya
jelas jauh lebih cepat.

Tapi, berhubung harus menjatuhkan diri dari atas


pohon yang begitu tinggi dan besar, jelas tidak setiap
orang berani dan mampu melakukannya.

Hingga kini, punggung Cong-hoa masih terasa sakit


sekali, namun hatinya berbunga, sangat gembira,
bagaimana pun juga belum pernah ada orang kedua di
dunia ini yang mampu menipu Tu Thian hingga masuk
perangkap.

Tidak heran bila perasaan hati Cong-hoa gembira


sekali, amat riang.

Hujan dimusim gugur masih mengguyur permukaan


bumi, sang surya sudah mulai condong ke langit barat.

Sinar matahari senja memang jarang muncul dibalik


deraian air hujan.

Sinar matahari senja tampak begitu lembut, begitu


halus menerobos keluar dari balik kabut hujan, sinar itu
nampak begitu sepi, begitu menyendiri...

Begitu pula dengan manusia, selalu merasa kesepian,


selalu terasing, tersendiri....
............... Kecuali ada urusan penting, biasanya
amat jarang ada orang mau berjalan-jalan ditengah
hujan deras.

Sejak kecil Cong-hoa senang air hujan, terutama


hujan dimusim gugur, dia senang sekali dengan
perasaan kemalas-malasan yang terbias dari balik hujan
dimusim gugur.

Hanya sewaktu berada ditengah curahan hujan, dia


dapat melupakan untuk sementara semua kenangan
yang sudah terkubur dalam-dalam di lubuk hatinya,
terkubur dibalik tulang belulangnya yang paling dalam.

......................Apakah manusia macam dia juga


memiliki penderitaan yang sudah merasuk hingga ke
tulang sumsum?

................... Benarkah semua penderitaan mudah


dilupakan?

Sinar matahari seperti senjata memancar dari balik


hujan, menerangi jalan raya, menerangi pula tubuh
Cong Hoa, selain dia seorang, dijalan raya tidak nampak
bayangan manusia lain, termasuk bayangan setan
sekalipun.

Sementara Cong Hoa masih terbuai dalam mabuk


ditengah curahan hujan yang deras, saat itulah tiba-tiba
dia menyaksikan satu rombongan manusia.

Satu rombongan pemuda berusia tujuh-delapan


belas tahunan, semuanya berwajah tampan, mereka
muncul dari ujung jalan raya sana dan perlahan-lahan
berjalan mendekat, ditangan mereka ada yang
membawa tiang bambu, ada yang membawa
permadani ada pula yang membawa perabot.

Selama hidup belum pernah Cong Hoa mempunyai


kesempatan untuk menyaksikan satu rombongan besar
pemuda tampan, maka dengan seksama dia awasi
setiap pemuda itu, mengawasinya dengan bersungguh
hati.

Agaknya kehadiran kawanan pemuda itu memang


bertujuan mendatangi Cong Hoa, mereka berhenti
persis dihadapannya, kemudian dengan cepat
mendirikan sebuah tenda bambu, menyiapkan
permadani merah dan menata rapi meja dan kursi.

Ketika semuanya telah selesai dipersiapkan, seorang


pemuda yang agak jangkung perawakannya maju
mendekat sembari mem-beri hormat.

�Hoa toa siocia, silahkan duduk!� katanya.

Cong Hoa tidak mengucapkan perkataan apapun,


dia maju mendekat, menarik sebuah bangku dan
langsung duduk.

�Diatas meja tersedia aneka macam hidangan, tapi


lebih baik kau jangan memakannya,� kata seorang
pemuda lagi dengan hormat, �Karena didalam aneka
macam hidangan itu sudah dibubuhi sedikit racun.�
Cong Hoa mengambil sumpit dan dengan cepat
mencicipi semua hidangan yang tersedia dimeja.

�Racun didalam botol arak itu paling banyak, lebih


baik jangan diminum!�

Cong Hoa tetap membungkam, dia sambar sebotol


arak, membuka penutupnya dan langsung menuang isi
botol itu ke dalam perutnya, nyaris tanpa berganti napas
dia telah habiskan isi botol itu dalam sekali tegukan.

Tiba-tiba terdengar seseorang menghela napas


panjang dari belakang tubuhnya.

�Arak yang begitu wangi ternyata diteng-gak dengan


cara sekasar itu, benar benar telur busuk makan bakmi,
hanya membuang percuma barang bagus.�

�Kau keliru besar, bukan telur busuk yang makan


bakmi, tapi seekor kura-kura yang sedang makan
bakmi,� dengan kata yang sama Cong Hoa balas
menjawab.

Seorang kakek muncul sambil tertawa terbahakbahak.

�Hahaha... Ternyata kau bukan telur busuk, melainkan


seekor kura-kura,� ejeknya.

�Kalau seekor telur busuk makan semangkuk bakmi,


mungkin dia menyia-nyiakan makanan enak, tapi jika
kura-kura yang minum arak, tidak mungkin dia menyia
nyiakan barang bagus. Apalagi kalau arak itu adalah
arak Li-ji-ang yang telah berusia lima puluh tahun.�

�Bagus, bagus sekali!� seru si kakek sambil tertawa


riang, �Ternyata Hoa toa-siocia memang tidak malu
disebut Hoa toa-siocia.�

Tiba-tiba Cong Hoa merasa kakek itu sangat menarik


hati, bila bertemu orang yang menarik tanpa minum
arak, keadaan tersebut persis seperti bermain catur
melawan diri sendiri.

Maka Ciong Hoa pun kembali mengambil sebotol

arak, kali ini dia meneguknya sedikit lebih lambat.


�Arak Li-ji-ang sebagus ini bila tidak diminum dalam
keadaan hangat, sungguh patut disayangkan.�
katanya.
�Benar!�
Kakek itu segera mengulapkan tangannya memberi
tanda, seorang pemuda segera muncul dengan
membawa sebuah anglo, didalam anglo ada arang,
arang itupun sudah menyala.

Kakek itu segera mengambil sebuah j apitan untuk


menggeser arang arang menyala itu, kemudian
meletakkan satu guci arak Li-ji-ang diatas anglo tersebut,
setelah itu dia baru membuka mulut guci dengan sangat
berhati-hati.
Semua perbuatan itu dilakukan si kakek dengan
penuh kasih sayang, seakan seorang nenek yang
sedang membelai cucu perempuannya.

Ketika penutup guci telah dibersihkan, kakek itu baru


mengambil selembar kertas dan disegelkan di mulut guci
tadi, kemudian dengan rasa puas katanya,
�Menghangatkan arak persis sama seperti membuat air
teh, besar kecilnya api harus diperhatikan, suhu
kehangatannya juga mesti pas,� kakek itu
menerangkan, �Bila api kelewat besar, suhu kelewat
tinggi, maka rasa asli arak itu pasti akan turut menguap
hingga rasanya jadi tawar.�

Cong Hoa sangat setuju dengan perkataan itu, dia


mengangguk cepat.

�Sebaliknya bila api kelewat kecil hingga tingkat


kehangatannya berkurang banyak, arak itu pasti
rasanya kecut,� kakek itu seakan sedang membicarakan
satu masalah yang amat serius, �Bila api nya cukup,
kehangatannya juga cukup, bau asli arak itu baru akan
terasa, dengan sendirinya arak itupun akan sangat
bermanfaat bagi tubuh manusia.�

Api yang cukup, waktu yang cukup dan kehangatan


yang cukup, tidak gampang untuk mencapai taraf
seperti ini, dibutuhkan kegagalan yang berulang kali
untuk mendapatkan pengalaman yang semakin
meningkat.
�Waktu hawa arak dalam gunci baru saja
mengepulkan asap, kau mesti angkat guci itu dari atas
anglo,� kakek itu meletakkan guci arak ke atas meja
sambil menerangkan, kemudian tunggu sampai uap
panas membasahi kertas segel diatas mulut guci, saat
itulah usahamu telah berhasil.�

Kakek itu menuangkan secawan arak hangat untuk


Cong Hoa.

�Saat ini tingkat kehangatan dari arak tersebut persis


selisih dua derajat setengah dibandingkan suhu badan
manusia, dan itulah suhu yang paling ideal,� kakek itu
melanjutkan.

Belum lagi arak diteguk, bau harum semerbak telah


terendus diseluruh ruangan.

Begitu arak mengalir di dalam tenggorokan, terasa


bagaikan ada sebuah cairan manis mengalir lewat
secara perlahan masuk ke dalam rubuh, membuat
seluruh badan serasa berada diatas awan.

�Bagus, arak bagus!� puji Cong Hoa dengan


bersungguh hati, �Tapi yang lebih bagus adalah karya
sianseng.�

�Terima kasih,� kakek itu menuding guci arak itu dan


menambahkan, �Guci arak tersebut merupakan salah
satu diantara tiga puluh guci arak yang harus dibayar Tu
toaya karena kekalahannya, sisanya yang dua puluh
sembilan guci Hoa toa-siocia dapat mengambil setiap
saat.�

�Bisa menenggak arak hangat hasil karya lo-sianseng


sudah merupakan satu kejadian besar bagi hidupku,
apalah artinya sisa arak yang lain?�

�Bukan begitu maksudnya, mengapa kau harus


membuat Tu toaya memikul beban sebagai orang yang
ingkar janji?�

BAB 2.

Dongeng yang misterius.


Cong Hoa tentu saja tidak bermarga Cong, juga
bukan merupakan julukan yang disandang
sebagaimana para enghiong hohan pada umumnya.

Sejak kecil Cong Hoa memang bernama Cong Hoa.

Semenjak kecil dia senang dengan bunga, seringkali


Dia berdiri termangu hanya demi sekuntum bunga yang
tidak diketahui namanya.

Dia pernah cukup lama bersedih hati lantaran kuncup


bunga yang layu sebelum berkembang, lalu mencari
sebuah tempat yang tersembunyi dan mengubur
kuncup bunga itu.
Justru lantaran Dia suka bunga maka ada orang yang
memanggilnya siau-hoa, bunga kecil, ada juga yang
memanggilnya Siau Cong-hoa, penyembunyi bunga
kecil, bahkan ada yang memanggilnya Conghoa-ji.

Apa pun nama panggilannya, tidak ada seorangpun


yang tahu dia datang dari mana dan berasal dari
mana?

Cong Hoa tidak pernah menjelaskan soal itu, hingga


akhirnya ada juga yang memanggilnya Siau Ya-hoa si
bunga liar kecil.

Selain berarti bunga liar kecil, siau Ya-hoa sendiri juga


mengartikan bahwa dia adalah bocah buangan, bocah
yang tidak dikehendaki siapapun.

Tentu saja Cong Hoa tahu akan hal ini, juga mengerti,
namun dia tidak pernah marah, jangan lagi berdebat,
membantah pun tidak.

Namun anehnya, orang-orang yang sering


memanggilnya si bunga liar kerapkali merasakan
gebukan tongkat yang aneh dan tidak jelas sumbernya,
malah kadangkala, ketika mendusin dari tidur, mereka
jumpai mulutnya sudah penuh dijejali lumpur kotor.

Secara garis besar, orang kaya terbagi jadi berapa


jenis: jenis orang pelit, berjiwa kerdil, sayang keluar duit
dan sering berlagak miskin dengan mencari keuntungan
dari orang lain.
Ada pula yang berlagak macam orang kaya
mendadak, kalau bisa dia ingin orang diseluruh dunia
tahu kalau dia berduit, ada juga yang mau keluar duit
tapi sering mencari kambing hitam.

Diantara sekian jenis orang kaya, tentu saja orang


yang pandai menggunakan uang, pandai menikmati
hidup dengan uangnya merupakan jenis yang paling
ideal, Tu Thian termasuk orang kaya jenis ini.

Seluruh lantai rumah Tu Thian dilapisi dengan karpet


berbulu putih yang khusus didatangkan dari negeri jauh
yang bernama Persia, ketika orang berjalan melalui
lapisan karpet itu maka terasa bagaikan sedang
melayang-layang ditengah lapisan kabut putih yang
nyaman.

Konon semua perabot rumahnya juga didatangkan


dari negeri yang lebih jauh lagi, negeri barat. Bukan saja
tiap benda sangat indah, antik dan menawan, bahkan
amat leluasa bila digunakan.

Ambil contoh kursi yang sedang diduduki Cong Hoa


sekarang, ukuran kursinya khusus dirancang dan dibuat
sesuai dengan perawakan tubuh manusia.

Punggung kursi sedikit dibuat melengkung ke dalam,


bikin orang yang mendudukinya serasa bagaikan
pedang yang masuk kedalam sarungnya, begitu rapat,
begitu pas dan begitu nyaman.
Baru saja duduk dikursi itu, Cong Hoa sudah
merasakan kenyamanan yang luar biasa, diam-diam dia
punya rencana, bila ada uang nanti dia pun ingin
membeli kursi semacam ini untuk dinikmati di dalam
rumah.

Ada kursi tentu saja ada meja, meja yang berada


dirumah Tu Thian ini jauh lebih hebat, jauh lebih menarik
lagi.

Permukaan meja itu bulat, ditengah bulatan meja


terdapat pula sebuah bulatan kecil yang bisa diputar,
aneka macam hidangan diletakkan pada bulatan kecil
ditengah meja itu.

Bulatan meja kecil itu dapat berputar, ketika kau


pingin mengambil sejenis hidangan, tidak usah bangkit
berdiri, asal kau putar bulatan itu maka hidangan yang
kau inginkan segera akan berputar sendiri ke
hadapanmu.

Cong Hoa memutar bulatan meja kecil itu tiada


hentinya, bukan untuk mengambil hidangan yang ada
disitu, dia hanya merasa aneh, lucu dan amat menarik
hati.

�Meja ini khusus didatangkan dari negeri barat yang


jauh sekali letaknya, sengaja dirancang untuk para
bangsawan dan ningrat di negeri barat,� Tu Thian
menerangkan dengan penuh rasa bangga, �Aku lihat
cocok sekali bila digunakan sewaktu bersantap, maka
aku telah memberi sebuah nama untuk meja ini.�
�Apa namanya?

�Meja makan ala barat.

�Jadi kursi yang disinipun ada namanya?� Cong Hoa

bertanya keheranan, �Apakah dinamakan bangku


makan raja barat?�

Sambil tersenyum Tu Thian manggut-manggut.

�Kalau begitu rumah makannya disebut rumah raja


barat?� lanjut si nona cepat.

�Rasanya memang begitu,� dengan perasaan riang

Tu Thian meneguk habis isi cawannya.


Kembali si kakek penghangat arak menuang penuh
cawan araknya kemudian sekali lagi mundur ke
samping.
Cawan itu terbuat dari kristal putih, sementara
araknya berwarna merah muda.

Ketika arak berwarna merah muda dituang kedalam


cawan kristal putih, kelihatan sekali bentuknya bagai
bibir basah seorang gadis perawan.

�Cara membuat arak inipun berasal dari negeri


barat,� kembali Tu Thian menerangkan.

�Apakah dinamakan arak raja barat?�

�Arak itu terbuat dari campuran sejenis arak anggur


dengan beberapa macam cairan buah yang diaduk
menjadi satu,� Tu Thian angkat cawannya sambil
mengawasi isi cawan dengan termangu, �Sewaktu
diramu, warnanya terdiri dari lima macam warna yang
aneka ragam, persis seperti ekor ayam jago, karena itu
arak semacam ini dinamakan Khee-wi-ciu arak ekor
ayam.�

�Khee-wi-ciu?� Cong Hoa mengalihkan sorot


matanya keluar jendela, memandang suatu tempat
dikejauhan sana, �Bila ada kesempatan, mungkin
akupun akan berpesiar ke negeri barat itu.�

�Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini,


kemungkinan itu selalu terbuka untukmu.�

�Apakah aku sudah mabuk, atau telinga ku ada


penyakitnya?� suara Cong Hoa persis seperti orangnya,
penuh keraguan dan rasa curiga, �Aku seakan
mendengar ada seseorang sedang mengucapkan
perkataan yang amat menarik.�

�Kujamin telingamu pasti normal,� kembali Tu Thian


menenggak arak dicawannya, �Aku lihat takaran minum
arakmu tidak kelewat cetek.�

�Maukah kau mengulang sekali lagi perkataan yang


menawan itu?�

�Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini,


kemungkinan itu selalu terbuka untukmu.�

�Heran, aku tahu kalau itu omongan bohong,


mengapa kedengarannya selalu nyaman di hati.�
�Ini bukan omongan bohong tapi kata yang
sejujurnya!� Tu Thian menegaskan dengan wajah serius.

�Kaupun mesti perhatikan, tempat yang ingin


kudatangi bukan dapur dirumahmu tapi sebuah tempat
yang jauh sekali.�

�Jangan bilang kau akan ke negeri barat untuk


mengambil kitab seperti dalam cerita See-yu, mau
belajar falsafat ajaran Khong-hu-cu pun tidak jadi soal,�
ujar Tu Thian sambil menatap Cong Hoa serius, �Asal kau
selesaikan dulu satu hal.�

Tiba-tiba Cong Hoa tidak bicara lagi, dengan


sepasang matanya yang bulat besar dia awasi wajah Tu
Thian, matanya mirip dengan bintang yang terang di
ufuk timur.

�Maksudmu sudah kupahami,� kata Cong Hoa


kemudian sambil menempelkan cawan araknya disisi
hidung, �Bukankah ada satu masalah yang tidak
mampu kau selesaikan sendiri, maka kau minta aku yang
tampil, asal dapat kuselesaikan persoalan itu maka
kaupun bersedia menghantar aku pergi, bukan begitu?�

�Benar, ada sedikit urusan �kecil� yang harus kau


selesaikan dulu, terlepas berhasil atau tidak, kau tetap
akan peroleh imbalan yang setimpal, soal ke mana kau
akan pergi, itu bukan urusanku!�

�Aku boleh tidak kesana?� tanya Cong Hoa serius.


�Tentu saja boleh,� Tu Thian segera bertepuk tangan,
�Hantar tamu.�

Kakek penghangat arak segera berjalan menuju ke


tepi pintu dan berseru pelan, �Siapkan kuda.�

�Malam sudah menjelang tiba,� ujar Tu Thian pula


sambil tersenyum, �Selisih jarak dari sini hingga ke
gerbang kota masih butuh waktu setengah jam, maka
sering kusediakan kuda untuk digunakan para tamu
yang mau berlalu, �Terima kasih untuk pelayananmu,
aku pergi dulu,� ujar Cong Hoa sambil bangkit berdiri.

�Tidak menghantar, tidak menghantar.�

Dengan satu langkah cepat Cong Hoa keluar dari


ruangan, tidak selang berapa saat kemudian terdengar
suara ringkikan kuda yang semakin menjauh.

�Aaai...� sepeninggal Cong Hoa, Tu Thian menghela


napas panjang, �Kukira asal mencari dia maka urusan
segera akan beres, ternyata dia jauh berbeda dengan
apa yang tersiar dalam dunia persilatan selama ini.�

�Manusia macam apa aku ini di dalam dongeng


yang tersiar selama ini?� tiba tiba Cong Hoa berseru
sambil melompat masuk lewat jendela.

�Haah, bukankah kau sudah pergi?� Tu Thian


kelihatan terkejut bercampur ragu.

�Sudah pergi? Itu mah kudanya yang pergi,� Cong


Hoa duduk kembali di bangkunya, �Sedang aku? Aku
pingin tahu manusia macam apa aku ini didalam
dongeng yang tersiar dalam dunia persilatan.�

�Latah, angkuh dan ngawur!�

�Aku ngerti maksud kata latah dan angkuh, tapi


ngawur.....?� Cong Hoa memenuhi cawan sendiri
dengan arak, �Kenapa aku dibilang ngawur?�

�Ngawur artinya jauh lebih berani bertindak daripada


berani, berani berbuat berani menghadapi!� nada
ucapan Tu Thian dipenuhi sindiran dan tertawa.

Berani berbuat berani menghadapi memang


terhitung perbuatan seorang lelaki sejati, bahkan
dewasa ini tidak banyak �pendekar� yang sanggup
melakukan hal tersebut.

Ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut,


kau menghadiahkan satu bacokan golok kepadaku dan
akupun membalas satu tusukan pedang untukmu, mana
budi mana dendam selamanya terpisah secara jelas,
dalam kehidupan seorang pendekar, hal semacam ini
adalah lumrah.

...... Selama hidup tidak pernah merugikan diri sendiri,


menunggang kuda tercepat, mendaki gunung tertinggi,
makan hidangan terpedas, minum arak terkeras, main
golok tercepat dan membunuh orang terkejam. Seperti
misalnya Hong Su-nio sang pengantin wanita yang harus
kabur pada malam pertama pengantinnya......KoYa-lam
sang murid Hoa-san yang dikejar Oh Thi-hoa sampai
dua-tiga tahun lamanya dan memaksanya untuk
kawin....... Yan Jit yang pernah mati tujuh kali dan
menyamar jadi lelaki untuk merecoki Kweek Taylok..... Cu
toa-siocia Cu Jit-Jit. yang mengembara hampir tiga
puluh tahun dengan Sim Long, So Yong-yong si bunga
anggrek malam yang dari cinta tumbuh rasa bencinya
hingga berusaha membunuh Cho Lu-hiang.
Kesemuanya itu adalah jago-jago persilatan kenamaan
yang sangat menggemparkan sungai telaga, mereka
adalah pendekar wanita yang sulit dilupakan siapapun,
namun bila dibandingkan dengan Cong Hoa, maka
terasa mereka ada sedikit kekurangannya.... mereka

kurang latah, kurang gila.


Angin malam dipermulaan musim gugur meski tidak
terlampau dingin, namun mendatangkan suara yang
mengibakan.
�Kau pernah tahu manusia yang bernama Ti Cingling?�
tanya Tu Thian sambil mene-rawang keluar
jendela, �Ti Siauho bangawan Ti yang memandang
harta kekayaan bagaikan sampah, tapi menganggap
kuda jempolan dan wanita cantik melebihi nyawa
sendiri?�

�Aku tahu,� sebuah jawaban yang dingin, hambar


dan ringkas.

�Berarti kau pasti tahu juga tentang Nyoo Cing? Dulu


dia hanya seorang opas tidak ternama,� sikap Tu Thian
sedikit agak aneh. Sayang Cong Hoa tidak terlalu
menaruh perhatian, ketika tahu pun kejadian tersebut
sudah lewat sangat lama.

�Aku paling kagum dengan orang ini!� seru Cong Hoa


penuh semangat, �Dulu, dia hanya seorang opas kecil,
tapi dengan kekuatan dan kemampuan seorang diri dia
berhasil membongkar kebusukan yang dilakukan Ti Cingling,
bangsawan nomor wahid masa itu.�

Tu Thian tidak bicara, pelan-pelan dia letakkan


kembali cawannya ke meja, seakan ada satu masalah
serius yang sedang dipikirkan dan dipertimbangkan.

Masalah serius apa yang membuatnya berpikir begitu


serius? Rasa ingin tahu Cong Hoa semakin bertambah,
apalagi persoalan tersebut sudah menyangkut masalah
Nyoo Cing dan Ti Cing-ling.

�Aku minta kau pergi menolong Ti Cing-ling!� akhirnya


sepatah demi sepatah kata Tu Thian berbisik.

Cong Hoa tertegun, sampai lama kemu-dian dia baru


berbisik, �Tampaknya kau sudah mabuk berat...�

�Tidak, dia tidak mabuk!� sela kakek penghangat arak


sambil memenuhi cawan Tu Thian dengan arak.

�Berarti dia pasti sedang sakit,� sambung Cong Hoa


tertawa, �Hanya pikiran orang yang sedang sakit
ngawur dan tidak waras, hanya orang macam begini
yang senang mengigau dan bicara tidak karuan.�
�Sungguh tidak beruntung dia pun sama sekali tidak
sakit,� kembali si kakek berkata sambil tertawa.

�Kalau begitu aku sendiri yang lagi bermimpi?�

�Malam belum larut, kaupun belum tidur, dari mana


bisa bermimpi?� ujar Tu Thian sambil mengangkat
cawannya.

�Daripada kau kebingungan, biar aku saja yang


menuturkan masalahnya,� kakek penghangat arak
akhirnya mengambil tempat duduk dan menuang
secawan arak untuk diri sendiri, �dulu ada sebuah negeri
di timur jauh yang amat jauh dan misterius...�

................. Konon keluarga bangsawan di negeri


misterius itu bila mati, jenasahnya selalu diawetkan
dengan sejenis ramuan rahasia, kemudian seluruh
tubuhnya diperban dengan memakai sejenis kain yang
khusus.

.............. Setelah melalui kedua proses pengawetan


itu, mereka menyebut jenasah itu sebagai �Mummi�.

.............Mereka pun menyimpan �mummi� itu ke


dalam sebuah peti berbentuk kotak.

........ dibawah bimbingan dan pengawasan seorang


Hoatsu, mummi itu dikirim ke dalam sebuah bangunan
piramida yang besar dan tinggi dan menyimpannya
disitu.
........Konon bila dilakukan semua upacara ritual itu,
biar sudah melewati ratusan bahkan ribuan tahun pun,
dalam suatu kondisi dan situasi tertentu, mummi itu
dapat bangkit dan hidup kembali.

�Ramuan dan resep rahasia pembuatan mummi itu


dibawa masuk kenegeri kita oleh seorang pendeta asal
negeri Thian-tok (India) dan konon akan
dipersembahkan kepada Baginda raja,� si kakek
menurut ceritanya dengan meneguk cawan arak ke
tujuh.

�Tapi begitu memasuki wilayah negeri kita, tiba-tiba


pendeta itu hilang lenyap tidak berbekas,� lanjut Tu
Thian, �Kabar beritanya hilang begitu saja bagai uap air
yang lenyap di udara.�

�Biarpun lenyap tidak berbekas, sebelumnya pasti


ada orang yang pernah bersua dengannya bukan?�
tanya Cong Hoa.

�Benar, memang ada, dia adalah Ti Cing-ling.�

�Ti Cing-ling?� seru Cong Hoa tercengang.

�Benar, dia adalah utusan rahasia yang dikirim Sri


baginda untuk menjemput pendeta itu, jadi hanya Ti
Cing-ling seorang yang tahu jejak pendeta itu.�

�Karenanya kalian minta aku untuk pergi menolong Ti


Cing-ling?� ujar Cong Hoa sambil mengawasi kakek itu
dan Tu Thian lekat-lekat, �Tapi apa hubungannya urusan
ini dengan kalian berdua?�
�Gara-gara persoalan ini, sudah hampir dua puluh
tahun lamanya kami hidup mengasingkan diri dan
menyembunyikan identitas asli,� kata si kakek sambil
menghela napas panjang.

Cong Hoa menyumpit sepotong daging dan


dikunyahnya perlahan-lahan, dia seperti mencoba
meresapi apa yang dituturkan si kakek barusan.

Berapa saat kemudian dia baru berkata, �Sudah dua


puluh tahun? Aku dengar pada dua puluh tahun
berselang, ketika Ti Cing-ling berhasil dijebloskan ke
dalam penjara besar oleh Nyoo Cing, dua orang tokoh
kenamaan dalam kerajaan pun ikut hilang lenyap
secara tiba-tiba...�

Ditatapnya Tu Thian lekat-lekat, kemu-dian terusnya,


�Yang seorang adalah pengawal kelas satu dari istana
terlarang, Tu Bu-heng.�

�Satu tusukan pedang tanpa meninggalkan jejak, Tu


Bu-heng,� sambung Tu Thian.

�Benar,� kata Cong Hoa manggut manggut,


kemudian sambil berpaling ke arah kakek penghangat
arak, lanjutnya, �yang lain adalah wajah besi berhati
lembut.�

�Un-hwee sianseng,� sambung sang kakek.

�Yaa, aku dengar Un-hwee sianseng adalah ketua


mahkamah termuda dalam sejarah kerajaan, sejak
berusia dua puluh lima tahun sudah memangku jabatan,
orang kejaksaan menyebutnya Un It-to, konon ilmu
goloknya luar biasa dahsyat dan cepatnya!�

Lalu sambil menatap tajam wajah kakek itu, dia


melanjutkan, �Apa yang kuucapkan tidak keliru bukan
Un-hwee sianseng?�

�Tepat sekali!� Un-hwee sianseng manggut-manggut,


�Sungguh tidak kusangka setelah hidup mengasingkan
diri hampir dua puluh tahun lamanya, masih ada juga
orang yang teringat akan diriku.�

Un-hwee sianseng berusia empat puluh tujuh tahun,


dia adalah petugas mahkamah agung yang
memegang peran penting dalam penyelidikan kasus
besar.

Yang membuat banyak orang tidak habis mengerti


adalah disaat namanya makin mero-ket dan
jabatannya makin memegang peranan penting, tahutahu
di usianya yang kedua puluh tujuh dia telah
menyerahkan jabatannya kepada orang lain, bahkan
sejak itu kabar beritanya hilang lenyap tidak berbekas.

Dibawah sinar lentera, wajah Un-hwee sianseng


kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya.

......... Alasan apa yang membuat wajahnya nampak


jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya? Apakah
lantaran dia terlalu banyak membunuh orang?

Sementara itu Cong Hoa telah berpaling ke arah Tu


Thian, kemudian ujarnya lagi, �Sinar pedang berkelebat,
pinggang putus darah berhampuran, tiada bekas
tertinggal dibadan... apakah kau adalah Tu Bu-heng?�

Tiba-tiba tampak cahaya tajam berkelebat lewat,


entah sedari kapan tahu-tahu Tu Bu-heng sudah
meloloskan sebilah pedang.

�Pedang ini sudah dua puluhan tahun tidak pernah


menghirup darah,� ujar Tu Bu-heng kemudian sambil
mengamati pedangnya, �Tidak dinyana masih juga ada
orang yang mengenalinya.�

�Mengapa kalian berdua meninggalkan jabatan dan


hidup mengasingkan diri justru disaat kedudukan kalian
sedang tinggi dan pamor kalian sedang tersohor?�

�Aaai..... apa lagi kalau bukan lantaran Ti Cing-ling,�


sahut Tu Bu-heng sambil menghela napas.

�Kami mendapat perintah rahasia dari Sri Baginda


untuk menyelidiki kabar berita pendeta dari Thian-tok
itu,� sambung Un-hwee sianseng perlahan, �Tapi biarpun
sudah peras tenaga dan keringat hampir tiga bulan
lamanya, jangan lagi bayangan tubuhnya, bau
kentutnya pun tidak berhasil kami temukan.�

Gagal menyelesaikan tugas yang dititahkan sang


Kaisar berarti harus potong kepala, sambil memegang
tengkuk sendiri Tu Bu-heng berkata lebih jauh,
�Mengingat jasa kami bagi kerajaan sudah terlalu
banyak maka hukum pacung dapat ditiadakan, namun
karena kegagalan tersebut terpaksa kami harus
lepaskan semuajabatan dan hidup mengasingkan diri.�

�Oleh karena itu kalian hidup bersem-bunyi disini


karena Ti Cing-ling memang berada dalam penjara
besar di Lam-koen-ong-hu?� sela Cong Hoa cepat, �Tapi
ada satu hal yang membuat aku tidak habis mengerti,
persoalan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kalian,
mengapa kalian tetap ngotot akan menolong Ti Cingling?�

�Haai... sebelum pengharapan kami terpenuhi,


masalah itu terasa masih mengganjal di dalam hati,
membuat kami selalu tidak enak makan tidak nyenyak
tidur.�

�Oooh rupanya begitu,� Cong Hoa manggut


manggut, �Dua puluh tahun berselang kalian tidak
berhasil mengorek keterangan dari mulutnya,
memangnya dua puluh tahun kemudian kalian punya
cara untuk mendapatkan keterangan?�

�Kami berpendapat, sekeras apapun hati seseorang,


bila sudah merasakan siksaan dan penderitaan selama
dua puluh tahun dalam penjara, paling tidak pikiran dan
hatinya akan berubah lebih lunak,� Un-hwee sianseng
menerangkan.

�Persoalannya sekarang, mengapa kalian tidak turun


tangan sendiri melakukan pertolongan, mengapa harus
aku yang tampil?�
�Karena Lo Kay-sian tidak takut kepada siapa pun,
namun cuma takut kepadamu.�

Padahal Ti Cing-ling sudah ditolong orang semenjak


tiga belas tahun berselang, mengapa Tu Bu-heng dan
Un-hwee sianseng masih tetap bersikeras minta Cong
Hoa menyerbu ke penjara besar untuk menolong orang
itu?

Apa yang sebenarnya terjadi dan ada rahasia apa


dibalik kesemuanya itu?

BAB 3.
Bertemu lagi dengan Nyoo Cing.
Hujan di musim gugur baru saja berhenti, suasana di
dalam hutan selain gelap pun amat becek dan lembab,
bukan saja sinar matahari di siang hari tidak mampu
menembus masuk, dimalam haripun tidak bisa tampak
bintang dan rembulan, tidak heran kalau tidak seorang
manusia pun berani memasuki hutan itu kelewat dalam,
orang dusun disekitarnya juga karena takut, bisa tersesat
hingga selama hidup jangan harap bisa keluar dari
hutan itu dalam keadaan selamat.
Orang lain demikian takut, namun Nyoo Cing tidak
takut.

Sejak kecil dia memang suka berjalan menelusuri


hutan belantara itu, tatkala mencapai usia sembilan
tahun, dia bahkan saban hari bermain satu dua jam
lamanya dalam hutan itu, malah kadangkala ditengah
malam buta dia juga berani menerobos masuk ke dalam
hutan.

Tidak seorang pun tahu apa yang dia lakukan


didalam hutan itu, dia pun tidak pernah mengijinkan
siapa pun turut serta bersamanya.

Hingga dua puluh tahun berselang, gara-gara harus


berduel melawan Ti Cing-ling, saat itulah dia baru
mengajak Lu Siok-bun pindah ke situ.

Bila menelusuri jalan setapak dalam hutan lebat itu,


setelah berbelok kiri kanan hampir setengah jam
lamanya, maka akan tiba ditepi sebuah mata air yang
muncul jauh ditengah hutan belantara, disamping mata
air itulah berdiri sebuah rumah kayu kecil yang sudah
kuno dan bobrok.

Setelah lewat puluhan tahun lamanya, hari ini untuk


pertama kalinya Nyoo Cing datang kembali ke situ,
tampak bangunan rumah kecil itu masih berdiri seperti
sedia kala, tapi bagaimana dengan manusia yang
dirindukan?
Pintu rumah masih berada dalam keadaan terkunci,
dibalik ruangan hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah
meja, sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah
lentera dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat.

Semua benda sudah dipenuhi debu, sarang labalaba


hampir menyelimuti seluruh sudut ruangan, lumut
hijau yang tebal bagai permadani terhampar dipintu
depan, hal ini membuktikan kalau sudah sangat lama
tempat itu tidak pernah dijamah manusia.

�Dulu, sewaktu masih ada orang tinggal disini, tempat


ini pasti amat sederhana, sepi dan susah,� tidak kuasa Lu
Siok-bun bertanya kepada Nyoo Cing, �Tempat apa ini?
Kenapa kau bisa menemukan tempat seperti ini?�

�Karena dulu hampir setiap hari aku berada disini,


kadangkala dalam sehari bisa datang berkunjung
hampir dua kali.�

�Mau apa datang kemari?�

�Datang menjenguk seseorang!�

�Siapa?�

Nyoo Cing termenung berapa saat lamanya,


perasaan hormat dan tersiksa tiba-tiba melintas diatas
wajahnya, lama kemudian dia baru menjawab, sepatah
demi sepatah kata, �Aku datang menjenguk ayahku.�

Kemudian sambil mengawasi lapisan lumut diluar


jendela, dia melanjutkan, �Disaat dia orang tua akan
meninggal dunia, hampir setiap hari aku selalu berdiri di
muka jendela ini, menunggu dia datang menengokku.�

Lu Siok-bun nampak agak tertegun.

Sejak Nyoo Cing masih bayi, dia sudah hidup didusun


tepi hutan lebat ini, ibunya selalu hidup menjanda dan
bekerja sebagai tukang cuci baju dan menjahit pakaian
orang untuk menyambung hidup.

Selama ini Lu Siok-bun tidak tahu kalau Nyoo Cing


mempunyai ayah, orang dusun pun tidak ada yang
tahu.

Sebenarnya dia ingin bertanya kepada Nyoo Cing,


mengapa ayahnya hidup seorang diri ditengah hutan
lebat dan tidak mau bertemu dengan orang lain?

Namun dia tidak bertanya.

Setelah melalui pelbagai pengalaman hidup, dia


sudah belajar ikut memikirkan orang lain, belajar
menyimpan rahasia orang lain, tidak berusaha mencari
tahu rahasia orang dan tidak mengajukan pertanyaan
yang orang lain enggan untuk menjawab.

Untung saja Nyoo Cing mengatakannya sendiri.

... Walaupun mereka tidak pernah menikah secara


resmi, namun Nyoo Cing dan Lu Siok-bun selalu hidup
bersama layaknya suami istri.
... Diantara suami istri biasanya memang tidak akan
saling merahasiakan sesuatu.

�Ayahku berwatak kasar dan berangasan, musuh


besarnya tersebar diseantero jagad, ketika aku
dilahirkan, orang tua kami bersembunyi dalam hutan
karena kuatir disatroni orang,� cerita Nyoo Cing dengan
wajah sedih, �Ketika aku berusia delapan tahun, ayahku
terluka sangat parah sehingga harus mengungsi ke
dalam hutan untuk merawat lukanya, saat itulah aku
baru berkesempatan untuk bertemu dengannya.�

�Ap luka ayahmu berhasil disembuhkan?� Dengan


sedih Nyoo Cing menggeleng, �Setelah dia mengungsi
ke dalam hutan itu, para musuh besarnya yang tersebar
di seantero dunia tidak pernah berhasil menemukannya
kembali. Itulah sebabnya ketika kita mengha-dapi
ancaman dulu, aku pun membawamu mengungsi
kemari, sebab tidak akan ada orang yang bisa
menemukan tempat ini.�

Malam sudah semakin kelam, suasana disana amat


gelap karena tidak ada lentera yang menerangi
ruangan, ditengah kegelapan itulah Nyoo Cing
mengenang kembali masa lalunya yang penuh dengan
masalah.

------�Aku sengaja membawamu kemari karena


setelah kepergianku nanti, tidak mungkin ada orang
yang bisa menemukan dirimu disini.�
Tiba-tiba Nyoo Cing merasa bibirnya seakan berubah
jadi dingin dan membeku, namun dia berusaha keras
untuk mengendalikan gejolak perasaan hatinya.

Ketika dia berhasil mengalahkan Ti Cing-ling dan balik


kembali ke rumah gubuk ditengah butan itu, bukan Lu
Siok-bun yang ditemukan didalam rumah gubuk itu,
melainkan hanya selembar kertas.

Sepucuk surat ancaman yang isinya berbunyi begini,

�Karena kau menawan Ti Cing-ling, maka aku


menawan Lu Siok-bun.

Tertanda: Cing-liong-hwee�

Rembulan masih memancarkan sinarnya yang redup


di angkasa, malam itu penuh bintang, angin malam pun
berhembus kencang.

Sinar rembulan yang redup menembusi daun-daunan


yang lebat, memancar masuk ke dalam ruang gubuk
melalui jendela dan menerangi wajah Nyoo Cing yang
murung.

Angin kencang berhembus menggoyangkan daun


dan ranting sehingga menimbulkan suara gemerisik yang
nyaring.

Tiba tiba Nyoo Cing merasakan munculnya segulung


hawa panas dari belakang punggungnya, hawa panas
itu segera menyebar ke seluruh tubuh dan seakan
hendak mencabik cabik tubuhnya.
Dengan perasaan kaget Nyoo Cing berpaling, dia
menyaksikan ada segulung semburan api telah
menerjang masuk melalui pintu depan, semburan api itu
bagaikan sebuah toya baja yang membara, langsung
disodokkan keatas tubuhnya.

Bara api itu luar biasa panasnya, jangan lagi tubuh


manusia, besi baja pun akan meleleh bila tersembur
olehnya.

Belum lagi semburan api itu mengenai tubuhnya,


Nyoo Cing sudah merasakan hawa panas yang luar
biasa.

Buru buru dia menyambar permukaan meja dan


menekannya ke bawah, tekanan yang kuat membuat
kaki meja patah jadi dua.

Menggunakan kesempatan itu Nyoo Cing menerobos


ke bawah untuk berkelit, semburan api itu dengan cepat
menyambar lewat persis dari atas punggungnya.

Untung sejak kecil dia sudah melatih diri dengan


tekun, reaksinya sangat cepat dan pendengarannya
tajam, coba kalau bukan begitu, saat ini mungkin dia
sudah mati tersembur kobaran api dahsyat itu.

Biarpun berhasil lolos dari maut, tidak urung baju yang


dikenakan hangus sebagian, bahkan lamat-lamat dia
merasakan punggungnya amat sakit.

Ketika gagal mengenai sasarannya, semburan api itu


segera lenyap dibalik pohon-pohonan sana, namun
sebagai gantinya muncul semburan air yang kuat dari
balik jendela, semburan air itu menyambar datang
dengan cepatnya, bahkan membawa suara gemuruh
bagaikan ada beribu-ribu kuda yang sedang lari
bersama.

Kembali Nyoo Cing berjumpalitan meloloskan diri dari


sergapan semburan air itu, sementara tubuhnya masih
melambung di udara, semburan api kembali muncul
dan langsung menghantam tubuhnya yang masih
berada di udara.

Pada saat bersamaan, serangan air muncul lagi dari


arah bawah.

Tampaknya serangan air dan api itu berusaha


menggencet tubuh Nyoo Cing yang sedang
melambung, kini dia kehabisan jalan dan terdesak
hingga musti mundur ke sudut ruangan.

Tampaknya tubuh Nyoo Cing segera akan tertelan


oleh gulungan api dan air yang datang menyerang
secara dahsyat itu.

Nyoo Cing memiliki sebuah kelebihan ketika sedang


bertarung melawan orang, setiap waktu setiap saat dia
bisa menyerang secara nekad, bila dia sudah nekad,
biasanya cara yang digunakan jauh lebih nekad dari
siapa pun.

Yang dia pergunakan bukan ilmu silat yang benar,


belum pernah ada orang melihat dia bertarung
menggunakan jurus silat yang benar, begitu pula ketika
sedang menghadapi ancaman yang lain, modalnya
hanya satu, nekad!

Tapi kali ini dia dibuat kelabakan, karena yang


dihadapinya sekarang sama sekali berbeda, bukan
manusia yang harus dihadapi melainkan semburan air
dan api yang maha dahsyat.

Bagaimana mungkin dia bisa nekad? Bagaimana


mungkin dia bisa mengadu jiwa bila lawannya adalah
benda yang tidak bernyawa?

Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia tetap nekad,


dia tetap menerjang tanpa memperdulikan nyawa
sendiri.

Tentu saja yang dia terjang bukan semburan api, juga


bukan semburan air, tiba-tiba ia membalikkan badan
lalu menumbukkan batok kepalanya ke atas dinding
ruangan, tumbukan yang keras sekali.

Dia harus menumbuk dinding itu kuat-kuat karena


dinding yang tebal tidak akan jebol bila tidak diterjang
dengan tenaga besar. �Blaaaam....!�

Dinding tembok itu seketika jebol dan rontok ke


tanah, namun sebagai gantinya darah segar
menyembur keluar dari atas jidat Nyoo Cing.

Tapi dia tidak ambil perduli, lebih baik jidat sendiri


terluka daripada mati konyol karena dibakar semburan
api.
Dengan cepat Nyoo Cing merangkak bangun sambil
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

�Bagus, bagus sekali, ternyata Nyoo Cing memang


tetap nekad!� seseorang berbaju putih berwajah bersih
berseru memuji dengan suaranya yang dingin.

Nyoo Cing segera berpaling, ternyata orang itu berdiri


di bawah sebatang pohon, wajahnya tampak dingin
membeku dan dihiasi dengan mimik muka senyum tidak
senyum.

Begitu bertemu dengan orang itu, kontan Nyoo Cing


merasakan tubuhnya dingin membeku, tubuhnya
seolah olah sudah terperosok ke dalam bongkahan salju
yang sudah berusia ribuan tahun.

Wajah yang dingin dengan mimik muka senyum tidak


senyum itu sangat dikenal olehnya, biar sudah berubah
jadi abu pun Nyoo Cing tidak bakal melupakan raut
wajah orang itu.

Karena orang inilah terpaksa dia harus menggunakan


Kait perpisahan.

Karena orang inilah terpaksa dia harus berpisah


dengan Lu Siok-bun.

Orang ini tidak lain adalah.. .Ti Cing-ling.

�Sudah dua belas tahun tujuh bulan empat belas hari


berlalu,� ujar Ti Cing-ling dengan nada dingin, �Selama
ini apakah kehidupanmu amat gembira?�
�Gembira, gembira sekali!� jawab Nyoo Cing sambil
berusaha mengendalikan amarahnya, �Bagaimana
denganmu?�

�Walaupun kehidupanku jauh lebih baik ketimbang


sewaktu hidup dalam penjara, namun setiap hari aku
selalu paksakan diri untuk bergabung dengan Un-lo
(kelembutan)�

Entah sejak kapan tahu-tahu Ti Cing-ling telah


meloloskan sebilah golok yang tipis melebihi kertas,
kemudian terusnya, �Karena aku percaya suatu saat
nanti kita bakal bertemu kembali.�

Sekilas cahaya biru memancar keluar dari tubuh


golok, sekilas cahaya yang sangat tawar, setawar
cahaya fajar yang baru muncul diufuk timur.

... Golok tipis itu adalah sebilah golok pembunuh,


namun dia memberi nama senjata pembunuh itu
sebagai kelembutan.

Dengan pandangan tajam Nyoo Cing mengawasi


�kelembutan�, sementara Ti Cing-ling mengawasi Nyoo
Cing tanpa berkedip.

�Kini aku sudah mempersiapkan golokku, bagaimana


denganmu?� jengek Ti Cing-ling dengan senyum tidak
senyum, �Mana kait perpisahanmu?�

Secara tiba-tiba Nyoo Cing merasa tidak mampu


berbicara lagi, sebab dia sadar selama belasan tahun
terakhir, genggamannya sudah bukan memegang kait
perpisahan, bukan juga golok atau pedang melainkan
cawan, cawan arak.

Dengan satu getaran ringan, pedang �kelembutan�


kembali lenyap dari genggaman Ti Cing-ling.

�Dua puluh tahun berselang kau sudah kalah, bukan


kalah oleh ilmu silatku,� Nyoo Cing menatap tajam
wajah Ti Cing-ling, �Kau kalah karena kesombonganmu,
yang tidak pernah memandang sebelah matapun
kepada orang lain.�

Ti Cing-ling memang seorang jago yang kelewat


sombong, tapi dia mempunyai alasan yang nyata untuk
bersikap sombong: Kepandaian silatnya memang tidak
nanti bisa ditandingi Nyoo Cing, diapun tidak
menggunakan ilmu pedang yang luar biasa untuk
menghadapi lawannya, senjata yang dipergunakan
hanya sebilah golok yang amat pendek dan amat tipis.

�Kelembutan� tidak jauh berbeda dengan senjata


Kait perpisahan milik Nyoo Cing, sama-sama hasil
tempaan seorang empu yang sama, karena salah
menempa sebilah pedang maka muncullah senjata kait
perpisahan dan golok kelembutan.

Kepandaian Ti Cing-ling dalam memakai golok


kelembutan telah mencapai tingkat yang luar biasa,
setiap serangan dapat dia lancarkan sesuai dengan
kehendak hatinya, seakan-akan gerakan golok itu sudah
menyatu dengan jalan pikirannya, kemana dia berpikir,
kesanalah golok itu menyambar, jika dia ingin menusuk
ulu hati seseorang, tidak nanti golok itu akan melenceng
biar setengah inci pun.

Tampak cahaya golok berkelebat lewat, ujung golok


segera menembusi jalan darah ci-ti-hiat di tubuh Nyoo
Cing, karena memang tempat itulah yang ingin Ti Cingling
tusuk dengan golok kelembutannya.

Dia tidak ingin Nyoo Cing mati kelewat cepat, dia pun
tahu bila jalan darah Ci-ti-hiat seseorang sampai
tertusuk, maka separuh badan korbannya akan
kesemutan, kaku dan akhirnya kehilangan rasa, dan dia
tidak akan mampu mengerahkan tenaganya lagi.

Sebetulnya rencana dan jalan pemikirannya sudah


tepat dan bagus, sayang dia tidak menyangka kalau
Nyoo Cing bukan saja tidak menghindar, sebaliknya
justru malah menerjang ke depan dengan penuh
kekuatan.

Tidak ampun golok kelembutan langsung menusuk


diatas jalan darah ci-ti-hiat hingga tembus ke dalam
tulang belulangnya, menanti dia ingin mencabut
goloknya, cahaya kilat yang memancar keluar dari
senjata kait perpisahan telah menyambar tiba diatas
tenggorokannya.

... Siapa sombong dia pasti kalah, perkataan ini


memang sangat tepat, sudah sewajarnya bila diingat
oleh setiap manusia.
�Siapa sombong dia pasti kalah...� Ti Cing-ling berbisik
hambar, �Aku telah mengorbankan waktu hampir dua
puluh tahun lamanya untuk menebus hal ini.�

Cahaya rembulan memancarkan sinarnya


menembusi hutan belukar, menyinari jalan setapak yang
tidak rata, menyinari pula wajah Nyoo Cing.

Tiba tiba satu perubahan mimik muka yang sangat


aneh melintas diatas wajahnya.

Biarpun Ti Cing-ling hanya berdiri bermalas-malasan


disitu, namun dia seperti mendatangkan tenaga
tekanan seberat ribuan kati diatas dadanya.

Seandainya saat itu ada orang berdiri di belakang


Nyoo Cing, dia pasti akan melihat kalau pakaiannya
sudah basah kuyup oleh peluh yang jatuh bercucuran.

Sekalipun Ti Cing-ling belum menggerakkan senjata


goloknya, bahkan dia masih berdiri agak jauh
dihadapannya, namun secara lamat-lamat Nyoo Cing
dapat merasakan hawa golok yang luar biasa tajamnya.

... Dia merasa seluruh tubuh Ti Cing-ling seolah


merupakah sebilah golok yang sedang diasah, dari
seluruh tubuhnya memancarkan hawa pembunuhan
yang mengerikan.

Mimpi pun Nyoo Cing tidak menyangka, setelah


berpisah belasan tahun bukan saja Ti Cing-ling
bertambah hebat bahkan berubah lebih tajam dan
menggidikkan hati.
Angin malam berhembus lewat, mengibarkan ujung
baju Ti Cing-ling, biarpun kakinya sama sekali belum
bergeser, namun Nyoo Cing merasa seakan lawannya
sudah mulai bergerak.

Dia tahu Ti Cing-ling telah mengerahkan seluruh


tenaga dalamnya, mengubah tenaga dalam menjadi
hawa setajam golok, membuat orang lain hanya bisa
merasakan tekanan hawa goloknya yang mengerikan
dan melupakan kehadiran dari wujud tubuhnya.

Tubuhnya seolah-olah telah menyatu dengan hawa


golok, hawa tekanan maha dahsyat yang menyelimuti
seluruh jagad, itulah sebabnya walaupun tidak bergerak,
orang merasa dia sedang bergerak, ketika dia mulai
bergerak, orang mengira dia sama sekali tidak bergerak.

Angin malam meski berhembus amat kencang,


namun seluruh jagad seolah-olah telah membeku.

Nyoo Cing merasakan butiran keringat jatuh


bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa
seluruh jagad telah berhenti, sama sekali tidak bergerak,
bahkan waktu pun seperti ikut berhenti berputar.

Dia seakan merasa ada sebuah tangan tanpa wujud


yang sedang mencekik tengkuknya, membuat dia
tidak mampu bernapas.

Tidak seorang pun bisa membayangkan betapa


tersiksa dan menderitanya Nyoo Cing, tapi pada saat
itulah, tiba-tiba dia menghem-buskan napas lega
kemudian menatap wajah Ti Cing-ling dengan
pandangan tercengang.

Pada detik yang terakhir, disaat mati hidupnya segera


akan ditentukan, tiba-tiba hawa golok yang mengerikan
itu hilang lenyap tidak berbekas.

Sudah jelas Ti Cing-ling telah bersiap-siap menghabisi


nyawa Nyoo Cing, bahkan dia bisa mencabut nyawa
musuhnya secara gampang, mengapa secara tiba-tiba
dia lepaskan kesempatan baik itu dengan begitu saja?

Dengan perasaan tidak habis mengerti Nyoo Cing


mengawasi wajah Ti Cing-ling.

�Aku masih ingat, bulan sepuluh tanggal tujuh


merupakan hari pertunanganmu dengan Lu Siok-bun�
ujar Ti Cing-ling, �Juga merupakan kali pertama Lu Siokbun
memasuki rumah kayu kecil ini.�

Nyoo Cing terbungkam, hatinya serasa diiris-iris


dengan beribu bilah pisau tajam.

�Hari ini adalah bulan sembilan tanggal dua puluh


enam, lewat berapa hari lagi merupakan ulang tahun
pertunanganmu dengan Lu Siok-bun, �suara Ti Cing-ling
seolah datang dari tempat yang jauh sekali, �Apakah
kau ingin bertemu dengannya?�

Rindu memang merupakan siksaan batin yang amat


berat bagi umat manusia.
Bagaimana pula rasanya bila seseorang berusaha
mengendalikan rasa rindu yang mencekam hatinya?

Itu berarti kau harus memendam rasa cinta mu


kedalam hatimu yang terdalam, harus dipendam dibalik
tulang belulangmu.

Jika �Rindu� adalah sebilah golok yang mengiris hati


maka �tidak berani rindu� merupakan sebilah golok
yang sedang mengiris tulang belulangmu.

�Dia� mengiris dirimu dari dasar tulang belulang yang


paling dalam, sekali demi sekali menyayat terus tiada
hentinya, ketika kau gunakan arak untuk membuatnya
membeku maka hanya penderitaan yang semakin
menghimpit perasaan hatimu.

Nyoo Cing sesungguhnya bukan seseorang yang


banyak pikiran dan gampang murung, dia selalu
berpandangan terbuka terhadap masalah apa pun,
mau kumpul, mau pisah, baginya bukan siksaan yang
berat, sebab dia bisa menerima semua kenyataan.

Baginya, kehidupan manusia di dunia ini hanya


berlangsung sesaat, seandainya dapat berkumpul,
berapa lama kau bisa berkumpul? Seandainya harus
berpisah, berapa lama perpisahan itu harus
berlangsung? Cepat atau lambat semuanya akan beres
sendiri, buat apa dia mesti memandang serius hal seperti
itu? Sekarang dia sadar bahwa pandangannya dulu
adalah keliru besar.
Hubungan antar manusia ibarat bintang meteor yang
melintas diangkasa, kau hanya akan menjumpainya
dalam waktu sekejap, karena semuanya segera akan
berlalu.

Nyoo Cing dapat menerima pandangan seperti ini,


tapi dia pun bukan manusia yang tidak berperasaan.

Walaupun Lu Siok-bun sudah tidak berada disana,


namun gerak-geriknya, luapan perasaan hatinya,
keharuman tubuhnya seakan tetap tertinggal di atas
ranjang, tersisa ditepi meja, tertinggal disetiap sudut
ruangan rumah kayu itu.

Perasaan itu pun masih tertinggal di hati Nyoo Cing,


dalam benaknya, dalam pandangan nya, dalam
pikirannya, dia selalu dan selamanya tetap tertinggal
pada dirinya.

Sekalipun dia tahu tidak mungkin istrinya akan balik,


namun dia seperti masih mendengar dengus napasnya,
tetap bisa merasakan kehadirannya.

Itulah sebabnya kenangan dalam kesepian telah dia


ubah menjadi kenikmatan dalam kehangatan.

�Kau ingin bertemu dengannya?�

Nyoo Cing menatap tajam wajah Ti Cing-ling, bukan


curiga akan keseriusan perkataan itu, tapi dia sedang
menganalisa apa maksud dan tujuan perkataannya.
Ti Cing-ling adalah anggota perkumpulan naga hijau,
dia pasti tahu kasus penculikan ini.

Lu Siok-bun jelas diculik oleh orang-orang


perkumpulan naga hijau, sudah pasti Ti Cing-ling
mengetahui kabar beritanya, tapi pada saat ini
mengapa dia mengajukan pertanyaan seperti itu?

�Tadi, seharusnya kau bisa melihat, kalau aku ingin


membunuhmu maka hal itu bisa kulakukan segampang
memotong tahu,� sekulum senyuman licik menghiasi
ujung bibir Ti Cing-ling, �Tapi sebelum kulakukan hal
tersebut, ada satu hal perlu kau ketahui, kini kau sudah
menjadi seorang ayah.�

Perkataan tersebut ibarat sebuah martil yang


menghantam batok kepala Nyoo Cing keras-keras, sorot
mata kegembiraan bercam-pur perasaan ngeri segera
terpancar keluar dari balik matanya.

Dia gembira karena Lu Siok-bun terbukti belum mati,


bahkan melahirkan seorang anak untuknya.

Dia merasa ngeri karena secara lamat lamat sudah


dapat menebak maksud dan tujuan Ti Cing-ling.

Tiba-tiba muncul segulung kabut tebal dari balik


hutan, kabut itu perlahan-lahan melayang datang dan
menyelimuti sekeliling tempat itu.

Dibalik tebalnya kabut, dia melihat ada sesosok


bayangan manusia sedang berkelebat.
Senyuman licik yang menghiasi ujung bibir Ti Cing-ling
nampak semakin menebal, senyuman itu terasa semakin
menggidikkan hati.

Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia masih


mengawasi bayangan manusia dibalik kabut tebal itu
tanpa berkedip.

Kabut tebal telah menyelimuti angkasa, membungkus


seluruh tubuh Nyoo Cing, menyelimuti pula seluruh hutan
belukar itu.

Bayangan manusia yang muncul dari balik kabut


kelihatan makin lama semakin mendekat sebelum
akhirnya muncul dihadapannya.

Ternyata seorang gadis muda!

Dia memiliki pandangan mata yang lembut dan


bening bagaikan sinar matahari dimusim semi.
Rambutnya halus mengkilap, pinggangnya ramping
menawan, tidak ubahnya seperti ranting pohon liu yang
berhembus angin sepoi.

Perempuan itu bukan jenis perempuan yang bisa


mendatangkan rangsangan napsu ketika dipandang
kaum lelaki, sebab pria mana pun yang pernah bertemu
dengannya, dia seperti akan melupakan segalanya,
melupakan semua persoalan kecuali raut mukanya.

Dan sekarang, perempuan itu sedang berjalan keluar


dari balik kabut. Berjalan dengan langkah yang amat
lambat.
Meskipun perempuan itu melangkah dengan santai,
namun gerak-geriknya menampilkan keindahan dan
keanggunan yang menawan.

Pakaian yang dia kenakan bukan pakaian mewah,


dia tidak mengenakan perhiasan apa pun, sebab
benda-benda mewah semacam itu sama sekali tidak
berguna baginya, sama sekali tidak akan
mempengaruhi keanggunannya.

Betapa pun mahalnya perhiasan dan pakaian, tidak


akan menutupi kecerahan dari penampilan tubuhnya.

Betapapun tebalnya dandanan yang dia kenakan


juga tidak bakal menambah kecantikan wajahnya.

Kini, dia muncul dihadapan Nyoo Cing.

Begitu bertemu dengan perempuan itu, nyaris Nyoo


Cing menjerit keras...betapa miripnya wajah perempuan
ini dengan wajah Lu Siok-bun.

Terutama ujung matanya yang memancarkan


kekerasan hati, satu penampilan yang mirip sekali
dengan istrinya.

Ditengah remang-remangnya cahaya bintang yang


menembusi ketebalan kabut, gadis itu seakan sedang
mandi dibawah cahaya bintang.

Tangannya begitu lembut dan halus, wajahnya putih


bersih dan mulus bagaikan sinar bintang.
Pakaian yang dikenakan berwarna putih, amat
ringan, amat tipis, ketika terhembus angin, ujung baju
yang tipis itu berkibar tiada hentinya.

Kecantikan wajah gadis ini tidak terlukiskan dengan


kata-kata, semacam kecantikan yang mendekati
kesempurnaan.

Kecantikan yang mendatangkan rasa mabuk bagi


yang memandang, kecantikan yang gampang
membuat perasaan manusia terkoyak koyak.

Dengan pandangan mata yang sayu gadis itu balas


mengawasi wajah Nyoo Cing, dari balik pandangan
matanya itu seakan terlintas perasaan sedih yang
mendalam.

Nyoo Cing merasakan hatinya remuk, perasaan


hatinya seakan tersayat-sayat, dia ingin sekali menerjang
ke muka dan memeluknya erat erat, tapi dia tidak
melakukannya karena (diantara mereka berdua seolah
sudah dipisahkan oleh sebuah sekat, sebuah dinding
pemisah yang amat tinggi dan tebal.

Dinding pemisah itu tidak lain adalah kehadiran Ti


Cing-ling.

�Dia dari marga Hoa, bernama U-gi,� Ti Cing-ling


menerangkan.

Dari marga Hoa? benarkah dia putriku? Tapi,


mengapa wajahnya begitu mirip dengan Lu Siok-bun?
Dengan pandangan ragu dan penuh tanda tanya Nyoo
Cing melihat Ti Cing-ling.

�Sebetulnya dia dari marga Nyoo, tapi lantaran


ibunya kuatir ditertawakan orang karena punya anak
tidak punya bapak, maka sebelum kelahirannya, dia
telah menikah dengan seorang lelaki yang bernama
Hoa Ciok,� kembali Ti Cing-ling menerangkan.

Sorot mata Hoa U-gi memancarkan sinar kepedihan


yang semakin tebal, setebal kabut yang sedang
menyelimuti tempat tersebut.

Nyoo Cing tidak berani menatapnya, dia takut


pertahanan batinnya runtuh. Dia terlebih tidak berani
menanyakan tentang kabar berita ibunya, semua
pertanyaan, semua perasaan harus disimpan dalam
dalam didasar hatinya.

�Dua puluh tahun berselang, sebenarnya kau punya


kesempatan untuk membunuhku, tapi hal tersebut tidak
kau lakukan,� kembali Ti Cing-ling berkata sambil
menatap tajam wajah lawannya, �Maka hari ini, akupun
memberi satu kesempatan untukmu, bawalah putrimu
dan pergilah dari sini, setahun kemudian bawa senjata
kait perpisahanmu, tunggulah aku ditempat ini.�

Begitu selesai bicara, bayangan tubuh Ti Cing-ling


sudah lenyap dibalik tebalnya kabut.

Kini dalam hutan hanya tinggal Nyoo Cing dan U-gi


berdua.
Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi gadis
ini, dia tidak tahu apa yang harus diucapkan sekarang?
Menanti dia berpaling kembali, menatap wajah gadis itu
sekali lagi, semua kenangan masa lalu yang sudah lama
hilang dari pikirannya, kini muncul kembali dihadapan
mata.

Oh Thian! Betapa miripnya wajah nona ini dengan


dirinya.

Sekali lagi Nyoo Cing merasakan hatinya hancur


lebur.

Ulah CongHoa.

Senja telah menjelang, hanya sebuah cahaya lentera


menerangi sebuah ruangan.

Api yang membara dibawah tungku tidak terlalu


besar, Lo-kaysian seorang kakek tua sedang
menggunakan sebuah garpu besi membakar ikan
diatasnya, sambil memanggang ikan, tiada hentinya dia
semir tubuh ikan dengan bumbu minyak.

Agaknya seluruh perhatian orang tua itu sedang


tertuju pada bakaran ikan, dia seolah tidak
memperdulikan suasana disekelilingnya.

Sewaktu Cong Hoa masuk ke dalam, lo-kaysian juga


tidak tahu.

Setiap kali sedang memanggang ikan, biar langit


runtuh pun dia tidak pernah ambil perduli, sekalipun
terjadi peristiwa besar, urusan baru bisa dibicarakan
setelah dia selesai membakar ikannya.

Bau harum makin lama semakin menyengat hidung,


akhirnya Cong Hoa tidak kuasa menahan diri, dia
menghela napas panjang.

�Kelihatannya panggang ikanmu sudah matang?�

Lo Kaysian tidak menggubris, dia tetap membungkam


diri.

�Kalau dipanggang lebih lama apa tidak hangus?�


kembali Cong Hoa bertanya.

BAB 4.

�Aaai! Kenapa sih kau mengganggu terus?� keluh Lo


Kaysian sambil menghela napas, �Setelah perhatianku
terpecah, rasa ikan ini tentu kurang sedap. Biar aku
berikan untukmu saja!�

Sambil menyodorkan garpu besi berisi ikan panggang


itu kembali Lo Kaysian bergumam, �Orang yang tidak
sabaran, mana mungkin bisa menikmati hidangan
lezat?�

�Paling tidak, bagi orang yang tidak sabaran masih


bisa menikmati hidangan gratis,� sela Cong Hoa sambil
tertawa tergelak, tanpa sungkan dia menyambar pula
dua guci arak.

�Kau memang seorang teman yang bermuka tebal...�


sekali lagi Lo Kaysian menghela napas, dia mengambil
seekor ikan dan mulai memanggangnya kembali,
�Bertemu manusia macammu, entah kesalahan siapa?�

Cong Hoa benar-benar tidak berlaku sungkan, dia


langsung duduk bersila dan mulai melahap ikan
panggang itu.

�Caramu makan pun jauh lebih cepat dari kecepatan


orang biasa, berhadap manusia macam mu, aku benar
benar mati kutu, orang lain baru menghabiskan seekor,
kau sudah menghabiskan sepuluh ekor.�

Kali ini Cong Hoa yang tidak ambil perduli, dia giat
melahap ikan bakar itu, ketika selesai melahap, sorot
matanya kembali mengincar ikan yang sedang dibakar
Lo Kaysian.

�Sudah matang belum?� Cong Hoa menelan air


liurnya.

�Dimeja sebelah sana masih ada sedikit arak dan


hidangan, Hoa toa-siocia, kenapa kau tidak mengisi
perutmu dengan hidangan tersebut.�

�Mana ada hidangan lain selezat ikan


panggangmu?� Cong Hoa pejamkan matanya seraya
menggeleng, �Telapak beruang pernah kucicipi, ikan
paohi pernah kusantap, tapi bila dibandingkan ikan hasil
bakaran Lo Kaysian, aku rela melepaskan telapak
beruang dan ikan paohi.�

�Ooh, tidak kusangka pengetahuanmu soal makan


hebat juga!�

Bulan sembilan tanggal dua puluh enam, lewat


tengah hari.

Udara hari ini amat cerah, matahari memancarkan


sinarnya menerangi empat penjuru, meski tidak sampai
menyinari ruang sempit yang lembab lagi remang itu,
paling tidak masih ada sedikit cahaya yang menerobos
ke dalam.

Cong Hoa mengisi dua cawan arak, satu diberikan


kepada Lo Kaysian. Sementara kakek tua itu sedang
mengawasi si nona dengan mata melotot besar.

�Kau tahu sekarang sudah jam berapa?�

�Sudah tengah hari!�

�Tengah hari sudah mulai minum arak?�

�Memangnya minum arak harus melihat waktu?�

�Tengah hari tidak boleh minum, malam hari baru


boleh, hari terang tidak boleh, harus menunggu sampai
hujan turun, Je-it dan Cap-ngo juga tidak boleh minum,
harus menunggu sampai ji (dua) Si (empat) lak (enam)�
sambil mengoceh, Lo Kaysian mengangkat cawannya
dan menegak habis isinya, �Sekarang arak sudah
kuhabiskan Hoa toa siocia!�

�Tidak bisa, kau mesti meneguk tiga cawan.�

�Bagaimana kalau dua cawan saja?� Cong Hoa


menggeleng. �Kalau begitu dua cawan setengah?�
Cong Hoa tetap menggeleng, dia tunjukkan ketiga jari
tangannya.

�Aaai...kelihatannya pada penghidupanku yang lalu


aku sudah banyak hutang kepadamu....� keluh Lo
Kaysian sambil mengisi kembali araknya.

�Kau memang tidak tahu diri!� omel Cong Hoa,


�Padahal orang yang ingin minum arak denganku
sampai berbaris dari sini hingga luar pintu gerbang kota,
aku tulus mengundangmu minum, kau masih mengomel
melulu...�

�Baik, baik...lain kali bisa kah kau tidak usah


mengundangku minum?�

�Tidak bisa, aku harus mengundangmu!� Cong Hoa


kembali duduk, mengawasi hidangan diatas meja lalu
gelengkan kepalanya.

�Kau tidak punya bini, tidak punya anak, tidak punya


saudara, uang yang kau peroleh selama ini, untuk apa
kalau tidak untuk dinikmati?�
�Justru lantaran tidak punya keluarga maka aku harus
tinggalkan sedikit modal, kalau tidak, setelah mati nanti
siapa yang sudi mengurusi diriku?�

�Benar juga perkataanmu,� Cong Hoa mengangguk


sambil menyumpit sepotong sayur, �Tapi, bila kau
benar-benar sudah mampus, siapa yang akan
membantu menguburkan jenasahmu?�

�Aaah, pengetahuanmu benar-benar amat cetek,


masa kau tidak tahu kalau ada semacam kuil yang bisa
disewa?�

�Aku tahu, orang-orang yang sudah tua, yang tidak


ingin hidup sendirian di rumah, bisa mengeluarkan sedikit
uang untuk menyewa sebuah kamar didalam kuil,
kemudian meminta penghuni kuil merawat mereka.�

�Betul tahukah kau selain tempat untuk menumpang


hidup, ada lagi semacam kuil yang disebut Ki-poan?�

�Ki-poan?� Cong Hoa mengulang, dia segera


menggeleng, �Aku kurang tahu.�

�Hahaha...rupanya ada juga persoalan yang tidak


kau ketahui!� Lo Kaysian tertawa senang, �Kau tahu
bukan, banyak anak yang tidak berbakti di dunia ini,
seringkali mereka hidup berfoya-foya hingga
menghabiskan semua harta orang tuanya, maka dari itu
untuk menghindari setelah mati terlantar, orang bisa
menitipkan dulu uangnya di kuil, agar setelah dia mati
nanti, pihak kuil yang akan mengurusi segala urusan
terakhir orang tersebut.�

�Selain yang berkeluarga, ternyata ada juga jenis


manusia lain yaitu orang macam kau, hidup sebatang
kara di dunia ini,� sela Cong Hoa.

�Benar, sistim seperti inilah yang dinamakan Kipoan(


titip untuk dikerjakan), mengerti?�

Cong Hoa manggut-manggut, mendadak tanyanya


lagi, �Kalau ada orang hukuman yang mati, siapa yang
mengurusi layonnya?�

�Tentu saja keluarga dari terhukum.�

�Kalau dia tidak punya keluarga?�

�Biasanya akan dilakukan pihak pemerintah, tentu


saja penguburan secara sederhana dan ala kadarnya.�

�Bagi komandan sipir penjara macammu, masa


setelah meninggal, pihak pemerintah tidak
membantumu?�

�Jangan bermimpi!� seru Lo Kaysian sambil


mempertinggi suaranya, �Tapi aku dengar Lam-ong-ya
sangat menyayangi anak buahnya.�

�Bagaimana dengan Nyoo Cing?�

�Dia amat menyayangi anak buahnya, selalu


bijaksana dan bijaksana, siapa salah dihukum, siapa
berjasa diberi hadiah.�
�Konon dimasa lalu seorang diri dia berhasil
membongkar rencana keji yang dilakukan bangsawan
nomor wahid Ti Cing-ling?� tanya Cong Hoa.

�Kalau menyinggung soal sepak terjangnya,


diceritakan selama tiga hari tiga malam pun tidak bakal
habis,� ucap Lo Kaysian, �Ketika itu Ong-ya pun tidak
lebih hanya seorang komandan opas kota keresidenan
itu, konon dia tidak kenal susah, tidak kenal menderita,
dengan gagah berani dia lawan perbuatan semenamena
bangsawan kaya itu...�

Mengenai kegagahan dan kepahlawanan Nyoo


Cing, sudah banyak kali Cong Hoa mendengar orang
bercerita, tapi setiap kali mendengar kisah itu, dia
selalu merasakan darah ditubuhnya bergolak. Dalam
pandangannya, baik dia seorang pria atau wanita,
patut meniru teladan dari Nyoo Cing, harus belajar
memiliki keberanian, ketulusan dan kejujuran seperti
dirinya.

-------Dalam beberapa hal, sepak terjang yang


dilakukan Cong Hoa memang mirip sekali dengan
perbuatan Nyoo Cing.

�Manusia busuk macam Ti Cing-ling, sudah


sepantasnya dihukum pacung dari dulu, kenapa mesti
dikurung dalam penjara?� tanya Cong Hoa.

�Itu semua merupakan keputusan atasan, kami orang


bawahan tahu apa?�
Cong Hoa mendongakkan kepalanya mengawasi
sekejap ruang penjara diujung lorong sebelah depan,
lalu katanya lagi, �Kalau aku yang mesti dikurung selama
dua puluh tahun ditempat seperti ini, kalau bukan edan,
aku pasti sudah mampus, mati konyol!�

�Aaai, siapa sih manusia di dunia ini yang rela masuk


ke tempat semacam ini?� Lo Kaysian menghela napas
panjang, �Asal tidak melakukan tindak pidana, sekalipun
kau ingin masukpun belum tentu akan menemukan
pintunya.�

�Aku dengar Ti Cing-ling pada dua puluh tahun


berselang adalah seorang pemuda yang tampan,
perlente dan romantis, entah bagaimana keadaannya
setelah melewati �tujuh� tahun siksaan disini?� gumam
Cong Hoa.

�Kalau soal itu, aku kurang tahu.�

�Aneh, bukankah dia dikurung dalam sel nomor satu?


Bukankah setiap hari kau mengontrol penjara dan
bertemu dengannya?�

�Siapa bilang dia dikurung disini?� Lo Kaysian


membelalakkan matanya, �Kalau dia disekap disini,
tidak nanti orang itu bisa kabur dari penjara.�

�Jadi dia tidak dikurung disini?�

�Benar!�

�Dan dia berhasil kabur dari penjara?�


�Benar!� Lo Kaysian balik bertanya, �Masa berita
seheboh itupun kau tidak pernah dengar?�

Cong Hoa mulai meraba ujung hidungnya. ...Setiap


kali menghadapi kesulitan, dia punya kebiasaan suka
meraba ujung hidungnya sendiri.

�Dulu, dia dikurung di mana? Sejak kapan kabur dari


penjara?�

�Dia disekap dalam sebuah gua granit dibukit Bu-hoasan,


sebelah barat kota. Kabur pada tiga belas tahun
berselang, dimusim gugur.�

�Bukit Bu-hoa-san? Tiga belas tahun berselang?�


Cong Hoa termenung sejenak, �Lalu siapa yang dikurung
dalam ruang penjara nomor satu itu?�

�Cong Hui-miat!�

�Maksudmu Hui-thian-miat-tee, thian-he-tok-cun


(Penghancur langit pemusnah bumi, jago tunggal di
kolong langit) Cong Hui-miat?�

�Benar!�

Cong Hoa mengangkat cawan araknya dan pelanpelan


menegak habis isinya.

Ti Cing-ling tidak pernah dikurung dalam penjara ini


bahkan sudah kabur dari penjara sejak tiga belas tahun
berselang, apakah Tu Bu-heng dan Un-hwee
mengetahui kejadian ini?
Mustahil kalau mereka tidak tahu.

Tapi seandainya mereka sudah tahu, kenapa masih


memerintahkan Cong Hoa untuk datang
menyelamatkan Ti Cing-ling?

Pesanggrahan salju penuh diliputi bunga salju, di situ


pun ada bunga, aneka bunga yang mekar dengan
indahnya.

Saat ini baru musim gugur, saat bunga seruni mekar


dengan indahnya.

Keng Siau-tiap dengan mengenakan baju yang


dibawanya dari negeri Hu-siang (Jepang) sedang
merawat tanaman bunganya dalam pesanggrahan
salju.

Dia sangat menguasahi ilmu pertanaman, dia tahu


bunga itu jenis apa, kapan harus dirabuk, kapan harus
disirami, kapan harus dipotong dan kapan harus dirawat,
kemampuannya tidak ada yang mampu
menandinginya.

Sejak kecil dia memang mendapat didikan yang


ketat dari ayahnya, bahkan dia amat menguasahi
kepandaian tentang �Hoa-liu.�

�Hoa-liu� merupakan sejenis ilmu pengetahuan yang


berhubungan dengan tanaman bunga dan berasal dari
negeri Hu-siang, ilmu ini terbagi dalam dua kelompok
besar, pertama tentang ilmu menanam dan kedua
tentang ikebana yaitu ilmu merangkai bunga.
Oleh karena Keng Siau-tiap adalah seorang yang
sangat ahli dalam hal tanam-menanam, ilmu merangkai
bunga yang dimiliki juga nomor satu, maka Nyoo Cing
tidak segan mengundang nya datang dari ngeri Husiang
khusus untuk merawat pesanggrahan soat-lu nya.

Sinar senja di musim gugur meski cerah namun terasa


lembut, sinar yang lembut menyinari diatas permukaan
salju, menyinari juga diatas aneka bunga yang tumbuh
dengan indahnya.

Saat senja merupakan saat untuk menyiram bunga


dan memotong ranting, tidak heran kalau saat ini
merupakan saat yang paling sibuk bagi Keng Siau-tiap.

Biasanya, saat inilah raja muda Lam-kun-ong Nyoo


Cing datang ke kebun untuk menikmati keindahan
aneka bunga.

�Bunga mawar itu ibarat kecantikan seorang wanita,


bunga teratai melambangkan kesucian, bunga bwee
melambangkan keteguhan dan kesabaran,� Nyoo Cing
berkata kepada Siau-tiap, �Tahukah kau, kalau bunga
seruni itu melambangkan apa?�

�Kesepian,� jawab Siau-tiap tanpa berpaling.

�Kesepian?� seru Nyoo Cing agak terperanjat,


�Kenapa?�

�Bunga seruni itu berbeda dari jenis bunga lainnya


yang memiliki banyak kuntum bunga dalam satu ranting,
bunga seruni hanya memiliki sekuntum bunga di setiap
batangnya.�

Siau-tiap memandang sekejap bunga seruni yang


sedang bergoyang terhembus angin, kemudian
terusnya, �Tangkai bunga seruni ramping lagi panjang,
bunga tumbuh dipuncak tangkainya, coba lihat sewaktu
terhembus angin, mirip sekali dengan seorang manusia
yang dengan susah payah mendaki sebuah puncak
bukit, tapi setibanya diatas puncak, dia merasa bahwa
dirinya hanya seorang diri, saat itulah dia baru
menyadari bahwa dirinya telah mencapai kesuksesan
dari sebuah kesepian.�

�Kesuksesan dari sebuah kesepian?� gumam Nyoo


Cing.

Apakah kesepian itu? Hidup seorang diri? Tidak ada


yang menemani minum arak dan berbincang-bincang?
Inikah yang dinamakan kesepian?

Tiada orang yang bisa memahami perasaan hatimu,


meski punya teman banyak tapi tidak seorang pun yang
bisa memahami dirimu, tidak bisa diajak bertukar pikiran,
mengeluarkan isi hati, apakah inipun yang dinamakan
kesepian?

Kalau kau mengatakan benar, maka pendapatmu


keliru besar, keadaan seperti itu bukan bernama
kesepian, apa yang kau rasakan hanya merupakan
perasaan yang kesepian.
Kesepian yang sebenarnya adalah sebuah perasaan
hamba yang sudah merasuk ke tulang sumsum,
membuat kau merasakan kehampaan yang luar biasa.

Walaupun kau sedang bergembira, meski kau sedang


tertawa, namun perasaanmu tetap hampa, kau akan
tetap merasa sedih, murung dan masgul dihati kecilmu.

Nyoo Cing bukan Cuma tahu, diapun sangat


memahami, karena perasaan hampa seperti inilah yang
setahap demi setahap menggerogoti tulang
belulangnya.

�Orang bilang, menjumpai kegembiraan akan


menyegarkan semangat, tapi aku lihat perkataan ini
tidak sesuai untukmu,� ujar Siau-tiap sambil menatap
wajah Nyoo Cing.

�Oya? Kenapa?� Nyoo Cing balik bertanya sambil


tertawa.

�Tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu muncul


seorang anak perempuan yang bukan saja berwajah
cantik, tubuhnya pun indah dan perangainya lembut,
siapa sih yang tidak menginginkan perempuan seperti
ini?�

�Benarkah begitu?�

U-gi memang seorang gadis yang sempurna, belum


sehari tiba di pesanggrahan itu, dia sudah dapat
bergaul hangat dengan semua orang.
Dia ramah, halus dalam bertutur kata bukan karena
dirinya adalah putri dari seorang raja muda, dia tidak
pernah berlagak sok.

Gadis semacam ini memang merupakan harapan


dari setiap orang, tapi bagaimana dengan Nyoo Cing?
Ketika secara tiba-tiba dan diluar dugaan dia harus
menerima seorang anak perempuan, untuk berapa
waktu Nyoo Cing jadi kebingungan sendiri, dia tidak
tahu harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya.

Seandainya U-gi masih seorang bocah, mungkin dia


bisa menggunakan waktu untuk membangun hubungan
batin antara ayah dan anak.

Seandainya U-gi adalah seorang anak lelaki, hal ini


lebih mudah lagi untuk menjalin hubungan, asal arak
dan sayur dihidangkan, tiga empat cawan arak
kemudian hubungan mereka akan mencair dan dapat
berkembang makin akrab.

Tapi kenyataannya sekarang, U-gi adalah seorang


gadis muda yang cantik jelita, apalagi gadis itu sudah
memiliki jalan pikiran sendiri, punya kemampuan untuk
mengambil keputusan.

Terbayang kembali sewaktu pertama kali bertemu


didepan rumah kayu kecil, sorot mata kesedihan dan
kemurungan yang terpancar dari balik mata gadis itu,
hingga kini masih terkesan dalam benak Nyoo Cing.
Apa yang dia sedihkan? Apa yang dia murungkan?
Apakah dia sedih dan murung karena dirinya tidak
pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang
ayah?

Dibalik kelembutan U-gi terpancar keteguhan hatinya,


dia tidak pernah sembarangan mengutarakan perasaan
hatinya, dia telah mewarisi watak dari Lu Siok-bun,
ibunya.

Sebenarnya Nyoo Cing ingin sekali bertanya tentang


kondisi Lu Siok-bun, dia ingin tahu istrinya kini berada
dimana?

Dia pun ingin tahu apa yang telah terjadi selama dua
puluh tahun perpisahan, dia ingin tahu setelah Lu Siokbun
kawin lagi dengan Hoa Coat, apakah dia hidup
dengan gembira dan bahagia?

Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya ingin dia


tanyakan, namun setiap kali terbentur dengan sorot
matanya yang murung dan sedih, semua perkataan
seolah tertelan kembali ke perut.

Inilah sebab utama mengapa dia tidak bersemangat


walaupun sedang mengalami satu kejadian yang
menggembirakan.

Sinar matahari senja masih memancarkan sisa


cahayanya dari balik bukit, namun angin telah berhenti
berhembus.
Aneka bunga dengan aneka warna tumbuh
memenuhi seluruh tanah kebun, sejauh mata
memandang aneka bunga itu mirip sekali dengan
segerombol ikan yang sedang berenang ditengah
samudra luas, penuh dengan tenaga kehidupan, penuh
dengan keindahan dari sebuah kehidupan.

Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi aneka


bunga itu, sementara minum arak, menikmati bunga
adalah sebuah acara yang tidak boleh ketinggalan.

Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil,


membuka penutupnya dan mene-guk isinya, kemudian
dia bergumam, �Arak wangi, bunga indah, wanita
cantik, apa lagi yang diharapkan seorang lelaki?�

Dia alihkan sorot matanya ke wajah Siau-tiap, lalu


katanya lagi, �Udara sangat dingin, bagaimana kalau
kau juga meneguk secawan arak untuk
menghangatkan tubuh?�

�Terima kasih atas pemberianmu.�

Siau-tiap menerima botol itu dan meneguk satu


tegukan, Nyoo Cing memang amat mengagumi type
manusia semacam ini.

Ketika dia sedang menerima balik botol arak itu dari


tangan Siau-tiap, mendadak Nyoo Cing mendengar
sebuah suara yang aneh.

Semacam suara hancurnya lapisan salju yang tebal.


Menyusul kemudian lamat-lamat terlihat ada dua
sosok bayangan manusia berjumpalitan ditengah udara
kemudian langsung meluncur ke tubuh Nyoo Cing.

Kedua sosok bayangan manusia itu tidak membawa


senjata, namun Nyoo Cing dapat merasakan tekanan
hawa golok yang sangat menggidikkan, hawa golok
yang semakin menghimpit tubuhnya sejalan dengan
kemunculan bayangan itu.

Tatkala bayangan manusia itu semakin mendekat,


tiba tiba Nyoo Cing menyaksikan adalahnya sekilas
cahaya tajam dari balik tangan orang-orang itu.

... Kalau tidak membawa senjata, darimana


munculnya pantulan cahaya tajam?

Nyoo Cing yang sudah siap menangkis dengan


tangannya tapi tiba-tiba mengurungkan niatnya, cepat
dia mengegos ke samping.

Serangan pembunuh gelap yang muncul secara tibatiba


itu tidak sampai membuat Siau-tiap ketakutan,
dengan jelas dia dapat menyaksikan kalau pembunuh
itu menggerakkan tangannya dengan cepat ketika
selisih jarak dengan lengan kiri Nyoo Cing tinggal tiga
depa jauhnya.

Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan membabat,


seakan-akan pembunuh itu sedang memegang sebilah
golok dan waktu itu sedang membabat lengan kiri
lawannya.
Apakah pembunuh itu tidak sadar kalau dia tidak
memegang senjata? Siau-tiap mulai tertawa, tapi belum
selesai senyumannya mengembang, tiba-tiba wajahnya
kembali membeku kaku.

Ternyata dia menyaksikan lengan kiri Nyoo Cing mulai


berdarah, dia seakan tidak percaya dengan
pandangan mata sendiri, setelah mengucak matanya
berulang kali, dia coba memastikan penglihatannya.

Benar saja, ternyata lengan kiri Nyoo Cing sudah


berlumuran darah. Mungkinkah si pembunuh itu benar
benar menyembunyikan sebilah golok tidak berwujud
didalam genggamannya?

Setelah berhasil dengan serangannya, kawanan


pembunuh itu tidak melanjutkan kembali serangannya,
mereka hanya meng-awasi Nyoo Cing dengan
pandangan dingin.

Sebaliknya Nyoo Cing sendiri masih bersikap malasmalasan,


senyuman malas tersungging diujung bibirnya.

�Kau adalah satu-satunya korban yang berhasil lolos


dari serangan golok salju,� kata pembunuh itu dingin.

Rupanya senjata yang mereka gunakan bukan


senjata biasa melainkan golok yang terbuat dari salju.
Selain berwarna putih bening, ketika digunakan
didaerah yang diliputi salju maka bentuknya jadi tidak
nampak hingga sekilas pandang mirip sekali dengan
sebuah senjata tak berwujud.
Tadi, apabila perkiraan Nyoo Cing keliru atau dia
agak terlambat menganalisa situasi, mungkin saat ini
sebuah lengannya sudah berpisah meninggalkan
badannya.

�Peng-to-ji-sat (Dua pembunuh golok salju) sudah


kutemui satu orang, mana pembunuh lainnya?� jengek
Nyoo Cing kemudian.

�Hmmm, selamanya tidak pernah ada manusia hidup


yang pernah berjumpa dengan pembunuh kedua!�
suara seseorang menyahut dari balik pepohonan.

Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tiba-tiba


tampak selapis tenaga tekanan yang maha dahsyat
diiringi selapis demi selapis bunga salju yang tebal
menyebar ke empat penjuru, menyusul kemudian
tampak sekilas cahaya golok berkelebat lewat, langsung
mengancam dada Nyoo Cing.

Serangan golok ini bukan saja meluncur datang


dengan kecepatan luar biasa bahkan tanpa wujud,
kehebatannya mengerikan, meski hanya satu bacokan
namun membuat lawan serasa sulit untuk menghindari.

Sekalipun waktu itu Nyoo Cing mengenakan mantel


yang tebal, tidak urung dia merasakan juga hawa tajam
yang menggidikkan hati menekan badannya, tahu-tahu
cahaya tajam dari golok salju itu sudah muncul di depan
mata.
Dalam posisi demikian, andaikata dia berkelit kekiri
maka tulang rusuk sebelah kanannya akan berlubang,
sebaliknya bila dia menghindar kekanan berarti lengan
kirinya harus di korbankan, sebaliknya jika dia berkelit ke
arah timur maka dadanya bakal bertambah dengan
dua lubang besar.

Atau dengan perkataan lain, ke arah manapun dia


menghindar, sulit baginya untuk menandingi kecepatan
gerak serangan maut itu.

Nyoo Cing adalah seorang jagoan yang sudah


banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai
pertarungan, namun sepanjang hidupnya belum pernah
dia jumpai serangan golok seaneh dan secepat ini.

�Sreeet!� tahu-tahu golok salju itu sudah menyambar


lewat dan merobek mantel bulu yang dia kenakan.

Pada saat yang bersamaan itulah dengan menempel


disisi mata golok lawan Nyoo Cing menggeser
badannya ke samping, ketika mata golok yang dingin
menempel diatas kulit tubuhnya, ia merasakan bulu
kuduknya pada bangun berdiri.

Agaknya si pembunuh gelap kaget juga setelah


mengetahui babatan goloknya mengenai sasaran
kosong, golok salju yang lain segera diayunkan ke udara
langsung membabat ke depan dengan gerakan
mendatar, kali ini serangannya jauh lebih cepat dan
tajam.
Kendatipun serangan yang pertama berhasil dihindari
Nyoo Cing, sebenarnya dia sudah mengerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya, belum lagi
tenaganya pulih kembali, serangan kedua dari golok
salju telah tiba di depan mata.

Siau-tiap yang mengikuti jalannya pertarungan itu dari


tepi arena ikut bergidik juga setelah menyaksikan
keadaan tersebut, tanpa sadar peluh dingin telah
membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa Nyoo Cing
sudah tidak sanggup lagi untuk menghindarkan diri dari
serangan yang kedua.

Pada detik terakhir yang amat kritis itulah tiba-tiba


Nyoo Cing menyambitkan botol arak dalam
genggamannya ke arah serangan golok yang kedua itu.

�Criiing!� begitu botol itu meluncur ke udara dan


membentur diatas golok salju lawan, diiringi suara
gemerincingan nyaring, golok salju itu hancur
berantakan.

Meskipun Nyoo Cing berhasil memunahkan serangan


golok yang kedua, namun hancuran golok salju yang
berhamburan ibarat beribu-ribu keping senjata rahasia
segera meluncur ke depan menyongsong tubuhnya.

Jurus serangan kedua dari golok salju itu sudah


termasuk aneh dan luar biasa, namun perubahan jurus
yang terjadi saat ini terlebih diluar dugaan siapa pun,
tampaknya ancaman yang datang sulit untuk dihindari.
Dengan perasaan bangga dan puas kawanan
pembunuh itu siap menyaksikan Nyoo Cing tewas
dibawah serangan maut itu.

Mendadak hancuran golok salju yang berkepingkeping


itu berguguran keatas tanah, seolah terhadang
oleh sebuah lapisan dinding yang tidak berwujud, bukan
saja serangan itu gagal menerjang lebih ke depan,
bahkan seakan kehilangan kekuatan tahu tahu
kepingan salju itu sudah rontok semua ke tanah...

Diantara hancuran salju yang berguguran, Nyoo Cing


menyaksikan sesuatu yang aneh, dia melihat diantara
guguran bunga salju itu ternyata terselip pula putik
bunga seruni yang berwarna kuning.

Entah sejak kapan, tahu-tahu didepan pesanggrahan


salju telah muncul seorang pemuda yang berbaju
perlente, dalam genggaman orang itu terlihat sebatang
bunga seruni berwarna kuning.

�Hei anak muda!� mendadak Nyoo Cing menegur


sambil menatap wajah pemuda itu, �sudah tahu bunga
seruni itu berumur pendek, kenapa kau malah
memetiknya?�

Sudah diselamatkan jiwanya oleh pemuda itu, bukan


saja dia tidak tahu berterima kasih, sebaliknya malah
menegur orang itu karena memetik bunga seruninya,
kecuali Nyoo Cing, siapa lagi yang bisa bersikap begitu?
�Bunga seruni meski sudah kupetik, lain waktu dia
akan tumbuh kembali,� sahut pemuda itu sambil tertawa
ewa, �Sebaliknya kalau orang sudah mati, memangnya
dia bisa bangkit dan hidup lagi?�

Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya,


�Aku benar-benar heran, bagaimana mungkin
kemunculan dua orang manusia salju di
pesanggrahanmu bisa lolos dari pengamatanmu?�

�Mungkin lantaran kau kuatir aku terlalu lama hidup


menganggur, maka dengan sengaja membiarkan
mereka datang kemari untuk mengajakku melemaskan
otot,� sahut Nyoo Cing tertawa.

Anak muda itu tersenyum dan tidak bicara lagi.

Dalam pada itu paras muka kedua orang pembunuh


itu nampak berubah sangat hebat, seakan melihat ada
delapan puluh ekor harimau yang siap menerkam
mereka, dengan perasaan terkejut dan keheranan
mereka berdiri mematung ditempat.

Semula mereka mengira serangan bokongan yang


dilakukan kali ini pasti akan berhasil merenggut nyawa
lawan, tidak disangka bukan saja serangannya gagal
total, bahkan mereka berhasil dibikin keok secara
gampang oleh pihak lawan.

Serangan maut yang selama ini mereka anggap luar


biasa dan sangat mematikan, dalam kenyataan tidak
sanggup membendung serangan lawan yang Cuma
memakai sekuntum bunga seruni.

Kegagalan berarti kematian, inilah prinsip yang


dipegang anggota persilatan selama ini.

�Kalian boleh pergi sekarang!� tiba-tiba Nyoo Cing


berkata hambar, �Semoga dengan pelajaran yang
kalian terima hari ini, dikemudian hari kamu berdua bisa
lebih memahami bagaimana cara bersikap sebagai
seorang manusia.�

Kedua orang pembunuh itu nyaris tidak percaya


dengan pendengaran sendiri, mereka tidak menyangka
pihak lawan mempersilahkan mereka berlalu dalam
keadaan hidup.

Siau-tiap juga merasa keheranan, serunya tanpa


sadar, �Kau akan melepaskan mereka dengan begitu
saja?�

�Hahahaha...kalau tidak dilepas, memang nya aku


harus memelihara mereka sepanjang hidup?� Nyoo
Cing balik bertanya sambil tertawa tergelak, �Aku pun
tidak ingin tahu siapa dalang dibalik layar yang
perintahkan mereka melakukan percobaan
pembunuhan ini.�

Setelah berhenti sejenak, dia menengok kearah dua


orang pembunuh itu, kemudian lanjutnya, �Segera
pulang dan beritahu kepada tauke dibelakang layarmu,
katakan, jika dia tidak ingin hidup tenteram, lebih baik
utus orang yang lebih berguna.�

Setiap masalah pasti ada si penghutang dan si


terhutang, orang-orang diluar lingkup itu tidak lebih
hanya boneka boneka yang bekerja berdasarkan
perintah, lalu apa gunanya menyusahkan para boneka
itu?

Inilah prinsip hidup yang dipegang Nyoo Cing selama


ini.

Maka berlalulah kedua orang pembunuh itu tanpa


kekurangan sesuatu apa pun, berbareng dengan
menyingkirnya mereka berdua, Nyoo Cing mendengar
pula suara tepuk tangan yang keras.

Pertama kali mendengar suara tepuk tangan, suara


itu berasal dari rumah kayu kecil ditengah hutan, waktu
itu yang bertepuk tangan adalah Ti Cing-ling, lalu siapa
pula yang bertepuk tangan kali ini?

�Bagus, bagus sekali, Nyoo Cing memang tidak malu


bernama Nyoo Cing,� suara tepuk tangan kali ini berasal
dari atas dinding pekarangan yang dilakukan seorang
nona.

�Anak perempuan tidak baik memanjat dinding


pekarangan, apalagi yang kau panjat adalah dinding
pekarangan orang!� tegur Nyoo Cing.

�Aach, perduli amat, asal aku senang, perduli baik


atau tidak baik!� sahut perempuan itu yang tidak lain
adalah Cong Hoa �Apalagi yang kupanjat bukan
dinding pekarangan orang lain tapi dinding
pekaranganmu.�

�Apa bedanya?� seru Nyoo Cing keheranan.

�Aku memanjat pekaranganmu tentu saja karena


mau mencari kau, masa ada tamu berkunjung, kau
sebagai tuan rumah malah mengusir tamunya?�

�Itu tergantung tamu macam apa dia!� sang


pemuda yang selama ini membungkam tiba-tiba ikut
menimbrung, �Selain itu juga mesti diketahui dulu ada

urusan apa datang mencari tuan rumah.�


�Hey, siapa kau?� tegur Cong Hoa.
�Aku bernama Thay Thian,� sahut sang pemuda,
�Suya dari ong-ya!�
�Ooh! Jadi kau adalah Thay Thian yang disebut orang
sebagai siau-lautau si kakek kecil?� seru Cong Hoa
sambil mengamati lawannya lekat-lekat.

�Siapa pula kau?�

�Aku? Aku bernama Cong Hoa!�

�Oooh, rupanya kau adalah Cong Hoa yang disebut


orang sebagai Yajin Huang-hoa, Put-cong-ya-huang
(manusia liar bunga latah, tidak disimpan pun tetap
latah)� timbrung Nyoo Cing dari samping.
�Memangnya kau pernah berjumpa dengan Cong
Hoa kedua?�

�Untung Cuma ada satu! Mau apa kau memanjat ke


dinding pekaranganku?�

�Aku ingin minta bantuanmu,� ucap Cong Hoa


sepatah demi separah, �Aku ingin tahu bagaimana
ceritanya semenjak kau selamatkan Cong Hui-miat dari
penjara bawah tanah!�

BAB 5.

Daya pikat kekasih.

Salju kembali turun dengan derasnya.


Bunga salju telah menyelimuti seluruh permukaan
tanah, menyelimuti juga daun jendela, begitu lembut
bunga-bunga salju itu persis seperti bisikan lembut
seorang kekasih.

Jalan raya tampak bersih bagaikan baru dicuci,


walaupun tumpukan salju yang turun semalam sudah
disapu ke tepian, namun bunga salju yang turun pagi ini
kembali menyelimuti seluruh permukaan.

Dalam suasana seperti ini, tampak dua orang masih


terjaga, semalaman suntuk mereka telah bergadang.
Tu Bu-heng duduk sambil memandang ke tempat
kejauhan, meski dia memegang cawan arak namun
tidak setegukpun yang dia minum, hidangan dimeja pun
tidak disentuhnya, dalam cuaca sedingin ini tampak
hidangan itu sudah mulai membeku.

Un Hwee duduk disampingnya sambil menikmati


semangkuk bakmi tarik. Dalam cuaca sedingin ini, bakmi
tarik yang masih panas memang merupakan hidangan
yang sangat nikmat.

Namun paras muka Un hwee sama sekali tidak


menunjukkan perasaan gembira atau menikmati,
berulang kali keningnya berkerut kencang, seolah-olah
bakmi kuah yang sedang dimakannya sama sekali tidak
lezat.

�Apa dia benar-benar bisa menyelamatkan Cong


Hui-miat?� Un Hwee bertanya kepada Tu Bu-heng.

�Kalau orang lain mungkin tidak sanggup,� perlahan


Tu Bu-heng menghirup araknya, �Tapi bagi Cong Hoa,
urusan ini tidak terlalu sulit.�

�Mengapa kau tidak terus terang beritahu


kepadanya kalau orang yang akan diselamatkan
adalah Cong Hui-miat? Kenapa kau harus
membohonginya?�

�Kalau kita berterus terang, belum tentu dia bersedia


menolongnya!�
�Setibanya di penjara bawah tanah, dia pasti akan
tahu kalau kita sedang membo-honginya, bagaimana
kalau saat itu dia menolak untuk menyelamatkannya?�

�Tidak mungkin, dia pasti akan menyelamatkannya,�


kata Tu Bu-heng yakin, �Setiap orang tentu mempunyai
rasa ingin tahu, dia pasti akan berpikir mengapa kita
harus membohonginya, apa tujuan membohonginya?�

Setelah memenuhi kembali cawan dengan arak,


kembali dia melanjutkan, �Dia pasti pingin tahu apa
maksud dan tujuan kita dibalik kesemuanya itu, untuk
mengetahui rahasia ini, mau tidak mau dia mesti
selamatkan dulu Cong Hui-miat setelah itu baru melihat
permainan apa yang sedang kita lakukan.�

�Tapi Lo Kaysian yang menjaga penjara bawah tanah


bukan lentera yang kehabisan minyak,� Un Hwee masih
sedikit sangsi.

�Dia tak nanti akan minta tolong kepada Lo Kaysian


untuk selamatkan Cong Hui-miat.�

�Terus dia akan minta tolong kepada siapa?�

�Nyoo Cing!�

�Nyoo Cing?� Un Hwee tercengang, �Belum pernah


ada seorang manusiapun bisa menyelamatkan
seseorang dari tangan Nyoo Cing.�

�Ada! Dan Cong Hoa pasti berhasil!� sahut Tu Bu-heng


sangat yakin.
Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar
seseorang berseru lantang, �Terima kasih, terima kasih
atas pujianmu!�

Dengan wajah penuh senyuman Cong Hoa


melangkah masuk ke dalam ruangan.

�Bagus sekali,� Tu Bu-heng turut tertawa,


�Kedatanganmu memang tepat waktu, jadi aku tidak
perlu mengulang lagi apa yang barusan kukatakan.�

�Kelihatannya kau sangat memahami watakku,�


Cong Hoa ambil tempat duduk, menyambar cawan
arak dan meneguk isinya, �Kau telah memperhitungkan
watak dan jalan pemikiranku secara tepat sekali.�

�Sayang aku tidak mengira kalau kau bakal datang


seorang diri.�

�Kadangkala watak dan jalan pemikiran seseorang


bisa sedikit melenceng dari kebiasaan,� kata Cong Hoa
sambil menatap tajam Tu Bu-heng, �Kalau toch kau bisa
meraba watakku sejelas itu, semestinya kau bisa
menduga kalau aku pasti akan sangat penurut dengan
kata-katamu bukan?�

�Lain kali aku pasti akan memperhatikan lebih


seksama.�

�Bagus, tahu salah dan mau berubah itu baru lelaki


sejati!� jengek Cong Hoa tertawa.
Angin diluar rumah masih berhembus kencang,
hembusan angin yang membawa bau lembab daundaunan
yang telah membusuk.

Walau dipagi hari, lentera masih menerangi ruangan


itu, Tu Bu-heng sedang mengawasi api lentera dengan
termangu, seolah dia sedang memikirkan sesuatu.

Un Hwee tetap sibuk dengan anglo nya,


mengkonsentrasikan diri menghangati arak, sikapnya
seakan dia sama sekali tidak tersangkut dengan
persoalan ini.

Cong Hoa menghirup araknya dengan santai, dia


sama sekali tidak gelisah pun tidak usah terburu napsu,
karena dia tahu Tu Bu-heng tentu akan memberikan
sebuah jawaban yang memuaskan.

Untuk sesaat suasana jadi hening, ketiga orang itu


sama sama membungkam, sama-sama tidak berbicara.

Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Tu Bu-heng


buka suara namun sorot matanya masih tetap
bergeming, mengawasi lidah api diujung lentera.

�Cerita tentang kedatangan pendeta Ku-heng-ceng


dari negeri Thian-tok yang membawa rahasia �mummi�
sebenarnya bukan kabar bohong,� nada suara Tu Buheng
seolah datang dari kejauhan sana, �Tujuan
kedatangannya yang paling utama adalah membawa
sebuah tugas yang amat rahasia.�

�Tugas rahasia apa?�


�Dia datang dengan membawa sebuah Sebuah
nama?

�Benar, nama seorang pengkhianat negara, seorang


penjahat penjual negara,� Tu Bu-heng menerangkan,
�Dua puluh tahun berselang, seorang pejabat kerajaan
telah bersekongkel dengan seorang jenderal perang
dari negeri Thian-tok, mereka berencana berkhianat dan
melakukan pemberontakan.�

Setelah berhenti sejenak, sambil mengalihkan sorot


matanya mengawasi wajah Cong Hoa, lanjutnya,
�Nama yang dibawa pendeta Ku-heng-ceng adalah
nama si pengkhianat kerajaan itu.�

Tampaknya Cong Hoa menaruh minat yang besar


terhadap kejadian yang menyangkut keamanan
kerajaan.

Terdengar Tu Bu-heng berkata lebih jauh, �Jauh


sebelum pendeta Ku-heng-ceng berjum-pa dengan Ti
Cing-ling, kami telah melakukan kontak dengannya.�

�Maksudmu, kau dan Un Hwee sianseng?�

�Betul, sayangnya ketika kami berhasil bertemu


dengan pendeta itu, napasnya sudah tinggal satu dua.�

�Kenapa?�

�Rupanya ada orang yang datang lebih awal


daripada kami, di tempat yang dijanjikan kami jumpai
pendeta itu sudah terkapar ditanah, saat itu dia sedang
menulis sesuatu dilantai dengan menggunakan
hidungnya yang penuh berpelepotan darah.�

�Menulis dengan hidung?� gumam Cong Hoa


keheranan, �Hey, apa kau lupa, kalau ingin menulis
sesuatu harus memakai tangan?�

�Tentu saja aku tahu, tapi saat itu dia sudah tidak
mampu menulis dengan tangannya lagi,� Un Hwee
sianseng menerangkan, �Sebab kedua tangan dan
kedua kakinya sudah ditebas orang hingga kutung.�

Cong Hoa paling benci dengan tindakan kejam


seperti ini, tidak aneh dia langsung menggeram gusar.

�Kelihatannya orang yang berusaha membunuhnya


mengira dia sudah mati,� ujar Tu Bu-heng lagi, �Siapa
sangka ilmu yang dilatih pendeta Ku-heng-ceng adalah
kepandaian untuk mempertahankan diri, daya
kemampuannya untuk tetap hidup luar biasa besarnya.�

�Tapi sayang baru menulis dua huruf dia sudah keburu


putus nyawa,� sambung Un Hwee sianseng, �Selama
hidup belum pernah kusaksikan satu sorot mata
ketakutan yang begitu mengerikan daripada sorot
matanya.�

... Tidak jelas ketakutan itu lantaran dia merasa ngeri


dengan sang pembunuh? Atau dia ketakutan karena
harus menghadapi maut?

�Mungkin saja perasaan takutnya lantaran alasan


lain,� kata Tu Bu-heng sambil menghela napas panjang,
�Sayangnya, rahasia ini telah dia bawa pergi untuk
selamanya.�

�Tapi kadangkala satu huruf pun sudah bisa


mengungkap banyak rahasia, apalagi dia telah menulis
dua huruf, apa yang dia tulis?� tanya Cong Hoa.

�Dia hanya meninggalkan dua huruf, Tanpa dosa!�

�Tanpa dosa?� seru Cong Hoa tercengang. �Benar!�

�Lalu apa arti dari kedua hurud itu? Dia


melambangkan apa?� gumam Cong Hoa, �Tanpa dosa
itu dimaksudkan pembunuhnya yang tidak berdosa atau
dia menjelaskan dirinya yang tanpa dosa?�

�Kami butuh tujuh belas tahun untuk berpikir dan


menganalisa sebelum akhirnya berhasil memecahkan
rahasia kedua huruf itu,� ucap Un Hwee sianseng.

�Tujuh belas tahun? Wouw... satu perjuangan yang


luar biasa, lalu rahasia apa yang berhasil kalian
singkap?�

�Ternyata kedua huruf itu melambangkan nama


seseorang,� Tu Bu-heng menerangkan.

�Nama dari si pengkhianat penjual negara itu?�

�Mula mula kamipun menduga begitu,� ujar Tu Buheng


setelah menghirup arak setegukan, �Semua arsip
dan buku catatan yang ada didalam istana telah kami
bongkar, namun tidak seorangpun yang ada
hubungannya dengan kedua huruf itu.�

�Kami butuh waktu dua tahun lamanya untuk


membongkar pula arsip yang berhubungan dengan
pendeta Ku-heng-ceng,� Un Hwee sianseng berkata
pula setelah memenuhi cawan Cong Hoa dengan arak,
�Ternyata pendeta itu berasal dari marga Cong, dia
mempunyai seorang putra yang sudah belasan tahun
hidup berpisah, putranya itu bernama Cong Bo-cui!
(Cong tanpa dosa)�

�Cong Bo-cui? Cong si Tanpa dosa? Masa sang anak


membunuh bapaknya sendiri?� seru Cong Hoa
tercengang.

�Menurut hasil penyelidikan kami, ternyata maksud


kedatangan Ku-heng-ceng masuk ke daratan kali ini
selain hendak melaksanakan tugas rahasia itu, dia pun
bermaksud untuk menjumpai putranya.�

�Kini putranya berada di mana? Apa sangkut


pautnya dengan masalah yang berhu-bungan dengan
Cong Hui-miat ?�

�Ternyata Cong Hui-miat tidak lain adalah Cong Bo-


cui!�

�Benar,� kata Un Hwee sianseng pula, �Kami duga,


setelah kematian pendeta itu, seluruh rahasia yang dia
bawa tentu sudah terjatuh ke tangan putranya.�
�Oleh sebab itu kami inginkan kau pergi menolong
Cong Hui-miat,� sambung Tu Bu-heng, �Cuma kamipun
berharap jangan sampai kejadian ini diketahui pihak
kerajaan, termasuk Nyoo Cing sekalipun.�

Setelah melewati sebuah jembatan kecil yang


berlapiskan salju, sebuah hutan bunga bwee terbentang
luas.

Sisi hutan bwee adalah ujung dari sebuah air terjun.

Sebuah air terjun yang memuntahkan airnya dari


tengah bukit, melatar belakangi sebuah hutan bunga
bwee yang luas, pemandangan semacam ini persis
seperti sebuah lukisan indah.

Di dalam lukisan itu terdapat pula sebuah rumah kecil,


juga ada manusianya.

Manusia itu berpakaian panjang berwarna hijau,


dandanannya amat rapi bahkan rambutnya juga disisir
hingga berkilap.

Di tangan kanannya terlihat menggotong sebuah


gentong air, sementara tangan kirinya nampak
kosong.... karena dia memang berlengan tunggal.
Usianya seputar tujuh puluh tahunan, tapi bila diamati
dengan teliti, usianya paling banter baru empat-lima
puluh tahunan.

Usianya memang sukar diduga, waktu itu dia sudah


menggotong tong berisi air melewati hutan bunga bwee
memasuki rumah kayu. Dalam bangunan itu meski tiada
perabotan yang mewah namun segala sesuatunya
nampak bersih mengkilap, tidak sedikit debu pun yang
kelihatan.

Disudut ruangan terdapat sebuah meja bulat, lelaki


setengah umur itu mengambil selembar kain lap dari
dalam tong air kemudian mulai membersihkan meja. Dia
membersihkan dengan amat lambat tapi cermat,
seakan-akan tidak satu debu pun yang boleh tertinggal
disitu.

�Lan toako, kau sedang membersihkan ruangan?�


dari balik ruangan terdengar suara teguran seorang

wanita.
�Daripada menganggur hujin!� sahutnya sambil
berpaling.
Orang ini tidak lain adalah Sin-gan-sin-kiam (mata
sakti pedang sakti) Lan Toa-sianseng, Lan It-ceng.
Walaupun wajahnya nampak jauh agak tuaan
namun mimik mukanya sama sekali tidak berubah,
hanya sorot matanya tidak setajam tempo hari.

Sebagaimana diketahui, demi menjajal kepandaian


Nyoo Cing dalam menggunakan senjata kait
perpisahan, dia tidak segan telah mengorbankan
sebuah lengannya.

Dia pernah berjanji kepada Nyoo Cing untuk tetap


tinggal di rumah kayu diluar hutan belukar itu untuk
menemani Lu Siok-bun hingga sepulangnya Nyoo Cing.
Tapi mengapa dia berada disana saat ini? Apakah dia
tersangkut dengan peristiwa lenyapnya Lu Siok-bun?

Tirai kamar disingkap orang dan muncullah seorang


perempuan setengah umur. Perempuan itu berparas
putih pucat, sepasang matanya yang semula indah kini
nampak sudah kehilangan pamornya, namun tidak
menutupi sifat kekerasan hatinya. Wajah itu hambar
tanpa perasaan, seolah dia sudah merasa hambar
dalam menghadapi hiruk pikuknya kehidupan duniawi.

Melihat kemunculan perempuan itu, Lan Toa-sianseng


segera maju menghampiri sambil menegur, �Hujin,
kesehatanmu belum pulih, kenapa turun dari
pembaringan?�

�Aku sudah bosan berbaring terus, tulang belulangku


terasa pada kendor,� jawaban perempuan itu
kedengaran begitu tawar, begitu kesendirian dan
kesepian, �Mumpung cuaca hari ini agak segar, aku
ingin sedikit beroleh raga.�

Lan Toa sianseng segera membimbingnya untuk


duduk dibangku dekat jendela, perempuan itu duduk
dengan perlahan lalu membuang pandangan matanya
keluar jendela, mengawasi hutan bunga bwee
dikejauhan sana.
�Tampaknya bunga bwee di tahun ini berkembang
lebih awal,� katanya lagi perlahan, �Ini artinya musim
dingin akan datang pula lebih cepat.�

�Benar,� Lan Toa-sianseng mengangguk, �Itulah


sebabnya bunga bwee tumbuh lebih semarak dan lebat
di tahun ini.�

Kembali perempuan itu mengalihkan sorot matanya


ke tempat kejauhan sana, setelah lama sekali dia baru
berkata lagi, �Aaai... entah bagaimana dengan bunga
bwee di sana, apakah tahun ini ikut mekar dengan
indahnya?�

�Pasti mekar sangat indah, suhu udara disana jauh


lebih dingin daripada tempat ini.�

�Kalau tidak ada yang merawatnya, apakah bungabunga


itu bisa mekar?�

�Dia pasti akan merawatnya dengan baik!� sahut Lan


Toa-sianseng setelah termenung berapa saat.

Suasana kembali hening berapa saat lamanya, tibatiba


perempuan itu menarik kembali pandangan
matanya dan mengawasi wajah Lan Toa-sianseng lekatlekat,
tanyanya lirih, �Apakah dia....dia masih hidup?�

�Pasti masih hidup!� jawab Lan Toa-sianseng penuh


keyakinan, �Ada semacam manusia di dunia ini yang
tidak gampang mati, kebetulan dia termasuk manusia
jenis ini.�
�Hari ini sudah bulan sembilan tanggal dua puluh
delapan, berarti dua puluh tahun telah lewat...� air mata
mulai mengembang diujung mata perempuan itu.

�Hujin, apakah perlu aku menemanimu pergi ke


sana?� tanya Lan Toa-sianseng perlahan.

�Waktunya belum tiba, mana mungkin kita boleh


melanggar janji?� sahut perempuan itu sedih, �Dua
puluh tahun sudah kita lewati, kenapa mesti kita
hiraukan sisa waktu yang terus berjalan?�

�Aaai, benar juga,� Lan Toa-sianseng menghela


napas panjang.

�Aku ingin tahu bagaimana keadaan Hoa-ji saat ini?


Mungkin dia sudah tumbuh semakin dewasa...�

�Pasti dia tambah cantik dan pintar!� senyuman yang


menghiasi ujung bibir Lan Toa-sianseng penuh diliputi
kelembutan yang mendalam.

Walaupun dia tahu mengenang kembali masa lalu


ibarat meneguk arak yang getir, namun perempuan itu
seakan rela mencicipi arak kegetiran itu.

Bulan sembilan tanggal dua puluh delapan, selewat


tengah hari, beruntung sinar matahari masih
memancarkan cahayanya yang hangat.

Sinar sang surya yang lembut menembusi daun


jendela, menerangi kulit tubuh Hoa U-gi yang halus licin
bagaikan kaca, air dalam bak kayu masih tampak
hangat, dia berbaring didalam air dengan bermalasmalasan.

Walaupun berada dalam suasana santai, namun


perasaan Hoa U-gi sangat tidak gembira.

Padahal bisa mandi air hangat ditengah cuaca


musim salju yang begini dingin merupakan satu kejadian
yang sangat menggembirakan, namun apabila
seseorang sedang dirundung pikiran dan perasaan
seperti apa yang dialaminya saat ini, mungkin mereka
pun ikut merasa murung.

Sejak tiba di istana Ongya-hu tiga hari berselang, dia


baru dua kali bersua dengan ayahnya, apakah dia
kelewat sibuk sehingga tidak punya waktu? Ataukah
sedang berusaha menghindarinya?

Sejak kecil dia sudah mendambakan bisa bersua


dengan ayahnya, seringkaki dia menciptakan sebuah
bayangan yang indah tentang ayahnya itu, bahkan
kadangkala, ditengah mimpi pun dia berharap
senyuman hangat ayahnya secemerlang bintang di
langit.

Kadangkala diapun memungut daun kering yang


berguguran di halaman rumah dan menganggapnya
sebagai surat yang dikirim ayahnya, menyimpan surat itu
dengan penuh seksama, lalu ketika malam sudah tiba,
dia akan mengeluarkannya dan memandangnya
dengan penuh kerinduan.
Segala sesuatu yang dia lakukan pertanda betapa
besarnya dia mengharapkan kehadiran seorang ayah,
tapi kini...?

Biarpun hidup seatap dengan ayahnya, namun


hubungan mereka terasa lebih asing daripada orang
dijalanan.

Pikir punya pikir, Hoa U-gi merasa semakin sedih,


tanpa terasa butiran air mata jatuh berlinang
membasahi pipinya.

... Mengapa kenyataan selalu berbeda dengan


impian?

Air hangat dalam bak kayu semakin mendingin, Hoa


U-gi tidak melanjutkan lamunannya... air yang dingin
tidak lebih menyiksa daripada dinginnya perasaan hati.

�Daripada berjumpa, lebih baik tidak,� kini, Hoa U-gi


dapat menyelami apa arti yang sebenarnya dari
perkataan itu.

Butir air mata perlahan-lahan meleleh keluar


membasahi pipinya dan menetes ke dalam air, riak air
yang terjadi bagaikan pergolakan perasaan hatinya
saat ini.

�Nona, kau baik-baik saja bukan?� tiba-tiba terdengar


suara sapaan dayang dari luar pintu, �Ong-ya sedang
menunggu bersantap.�
Berbinar sepasang mata Hoa U-gi, mimik mukanya
sedikit berubah tapi tidak ketahuan dia sedang girang?
Ataukah kaget?

Dua orang dengan delapan macam hidangan


tertata rapi dimeja, selain aneka macam sayuran,
hidangan daging musang buah yang langka pun ikut
dihidangkan diatas meja.

�Apa kau terbiasa dengan hidangan disini?� tanya


Nyoo Cing.

�Asal kau temani, hidangan apa pun akan terasa


lezat,� sahut Hoa U-gi dengan kepala tertunduk.

Nyoo Cing merasakan hatinya pedih bagaikan ditusuk


jarum tajam, dia awasi wajah gadis itu sekejap,
kemudian baru katanya lagi, �Mumpung masih panas,
makanlah yang banyak, nanti kalau sudah dingin malah
kurang lezat.�

Sembari berkata dia menghabiskan isi cawannya


kemudian menuang lagi secawan penuh arak.

�Ayah...� nada panggilan ini kedengaran begitu


asing, �Jangan banyak minum arak, kurang baik untuk
kesehatan!�

�Jarang kita bisa makan bersama, aku... ayah sangat


gembira, apa salahnya minum sedikit lebih banyak?�

Kembali dia meneguk habis isi cawannya.


Langit semakin gelap, bunga salju kembali
berhamburan diseluruh angkasa, udara yang semakin
dingin membuat perasaan hatinya semakin gundah.

�Apa... apakah ibumu baik baik saja?� tanya Nyoo


Cing lirih. Sebuah pertanyaan yang amat bodoh.

Hoa U-gi mendongakkan kepalanya, mengawasi


wajah Nyoo Cing sekejap lalu balik bertanya,
�Bagaimana pula dengan kehidupan ayah selama dua
puluh tahun terakhir?�

�Aku...� Nyoo Cing tidak tahu bagaimana mesti


menjawab pertanyaan ini.

�Ibu pernah berkata begini kepadaku,� nada suara


Hoa U-gi kedengaran sedih dan murung, �Di dalam
perjalanan hidupnya kali ini, dia pernah hidup, pernah
mencintai, pernah datang dalam kehidupan ini, apa
pun akibat yang harus dideritanya, dia tidak pernah
akan menyesal.�

Pernah datang dalam kehidupan, pernah hidup dan


pernah mencintai seseorang, kalau seseorang sudah
pernah mengalami ketiga hal itu, apalagi yang harus
disesalkan?

�Pernah datang, pernah hidup, pernah mencintai?�


Nyoo Cing mengangkat cawannya sambil termangu,
entah sampai berapa saat kemudian dia baru
melanjutkan, �Mengapa manusia harus hidup? Apa
tujuan manusia hidup di dunia ini? Karena duit? Karena
cinta? Atau karena ingin berkarya?�

Setelah menghela napas panjang, terusnya, �Sayang


sekali... apa pun tujuanmu hidup, kemurungan dan
kemasgulan tetap akan menyertai kehidupanmu.�

Dia teguk habis isi cawannya, arak yang mengalir


masuk melalui tenggorokan ke dalam lambung terasa
panas bagaikan dibakar, namun sepanas apa pun tidak
akan mengatasi rasa sakit yang dia rasakan dalam
hatinya.

Hoa U-gi mengawasi ayahnya dengan penuh rasa


sayang, namun dia hanya termangu- mangu.

Air mata mengembang dalam kelopak matanya


membuat pandangan jadi kabur, sekabur cahaya
bintang di langit yang makin redup.

�Ayah, apakah dia... benar-benar selihay apa yang


dikatakan orang selama ini?� tiba-tiba Hoa U-gi
bertanya.

Yang dia maksudkan sebagai �dia� adalah Ti Cingling.

�Aku hanya tahu, sejak dulu hingga sekarang, kaum


sesat tidak akan bisa menangkan kaum lurus,� sahut
Nyoo Cing.

�Lalu, mengapa kau tidak berusaha untuk


mengalahkannya dan menangkap lagi dirinya?�
Setiap orang yang berlatih silat, disaat ilmu silatnya
sudah mencapai puncak kesempurnaan maka dia akan
mulai merasa kesepian, karena saat itu akan semakin
sulit baginya untuk menemukan seorang lawan yang
benar-benar sanggup menghadapinya.

Oleh karena itu ada sementara orang yang tidak


segan �mengharapkan kekalahan�, karena dia
beranggapan, asal dapat berjumpa dengan seorang
lawan yang betul-betul tangguh, biar kalah pun
kekalahan itu akan diterima dengan gembira.

Sekalipun begitu, perasaan Nyoo Cing �saat itu� sama


sekali tidak gembira, pikiran dan perasaan hatinya
sangat kalut..

... Ketika secara tiba-tiba dia mendapat tahu kalau


orang yang dicintai belum tewas, ketika secara tiba-tiba
dia tahu kalau dirinya punya keturunan dan
keturunannya mendadak berdiri dihadapannya,
bagaimana mungkin perasaan hatinya tidak kalut?

Waktu itu dia pun sadar, bila harus berduel melawan


jago tangguh macam Ti Cing-ling dengan membawa
perasaan hati sekalut ini, kecil sekali kemungkinannya
untuk meraih kemenangan.

Dia bukan lelaki yang takut mati, tapi dalam keadaan


begini, dapatkah dia mati dengan begitu saja?
BAB 6.

Pengalaman Cong Hoa.

Musim gugur sudah mencapai ujungnya, daun kering


berguguran memenuhi seluruh permukaan bumi.

Biarpun angin yang berhembus sudah makin mereda,


namun bunga salju mulai berguguran di seluruh udara.

Dalam suasana begini, langit terasa begitu suram,


sesuram perasaan hati manusia yang sedang dirundung
kesedihan.

Jalan perbukitan itu Berliku-liku tidak rata, namun


sambung-menyambung dari kaki bukit menuju ke arah
kota.

Meski Cong Hui-miat mengenakan satu stel baju yang


masih baru, namun tidak dapat menutupi raut mukanya
yang penuh kesendirian, kesepian dan penderitaan
yang amat menekan batinnya.

Terutama bekas bacokan golok yang melintang


diantara alis matanya, terkesan perasaan sendu yang
mendalam.

Biarpun dia mengayunkan langkahnya cukup cepat,


namun kecepatannya sangat terbatas,
penghidupannya selama banyak tahun dalam penjara
membuat semangat, kekuatan dan pamornya terlibas
habis.

Dengan wajah penuh keheranan dan rasa ingin tahu


yang besar Cong Hoa mengawasi cara Cong Hui-miat
berjalan, dia merasa cara orang ini berjalan amat
berbeda dengan kebanyakan orang, berjalan
selangkah demi selangkah.

Kaki kirinya selalu melangkah lebih duluan kemudian


baru disusul dengan ayunan langkah kanannya, setiap
kali melangkah kelihatan sekali kalau dia amat tersiksa
dan menderita.

Apakah dia berjalan dengan cara begini lantaran


sudah kelelahan? Ataukah sepasang kakinya memang
sudah cacad? Cong Hoa pingin sekali menanyakan
persoalan ini, dia ingin tahu mengapa dia berjalan
dengan cara begitu? Namun akhirnya gadis itu
mengurungkan niatnya, dia memang selalu menghargai
rahasia pribadi seseorang.

Dia beranggapan, setiap orang berhak untuk


merahasiakan masalah pribadinya yang tidak ingin
diketahui orang lain, setiap orang pun berhak untuk
menolak menjawab pertanyaan yang tidak berkenan di
hatinya.

Sejauh mata memandang hanya salju putih yang


menyelimuti seluruh permukaan, bunga salju yang masih
melayang turun tiada hentinya salju telah mengotori
rambut, wajah dan ujung hidung Cong Hui-miat,
membuat ayunan langkahnya semakin melambat.

Anehnya, dia sama sekali tidak berusaha untuk


menyeka wajahnya dari noda bunga salju, orang ini
seakan sudah begitu malas untuk hidup sehingga dia
enggan untuk melakukan perbuatan apapun.

Dengan susah payah Cong Hoa telah selamatkan dia


dari siksaan penjara, walaupun nona ini tidak berharap
orang lain menangis dihadapannya karena terharu,
paling tidak orang itu harus mengucapkan rasa terima
kasih kepadanya.

Tapi dia tidak melakukannya. Dengan pandangan


yang sangat tenang dia hanya mengawasi Cong Hoa
sambil bertanya hambar, �Kau ingin aku melakukan apa
untukmu?�

Mula mula Cong Hoa melengak, akhirnya dengan


rasa geli bercampur mendongkol ia tertawa getir dan
menjawab, �Tidak perlu melakukan apa pun, lakukan
saja apa yang ingin kau lakukan.�

Kembali Cong Hui-miat mengawasinya sesaat, setelah


itu dengan cara berjalan yang sangat aneh ia mulai
meninggalkan kota menuju ke tanah perbukitan itu.

Tentu saja Cong Hoa harus mengikuti dari


belakangnya, tujuannya menolong orang ini tidak lain
karena dia ingin tahu rahasia dibalik �Mummi� yang
penuh misteri itu.
Dia masih berjalan terus, walaupun tidak terhitung
lamban namun setiap langkahnya dilalui dengan penuh
siksaan.

Kalau berjalan terus dengan cara begini, harus


menunggu sampai kapan dia baru tiba ditempat
tujuan?

Dia tidak tahu, bahkan untuk dibayangkan pun malas.

Setelah mulai berjalan, dia tidak ingin berhenti lagi,


sekalipun ancaman maut sudah menanti
dihadapannya, dia tidak akan menghentikan ayunan
kakinya.

Sebelum mencapai tujuan, dia tidak akan berhenti.

Waktu itu hari masih pagi, memandang jauh ke kaki


bukit didepan sana, lamat-lamat kelihatan bayangan
sebuah kota.

Jalan raya yang membentang dalam kota itu meski


tidak terlalu panjang dan lebar, namun disisi kiri
kanannya terdapat puluhan buah warung dan toko.

Saat itu suasana dijalanan itu cukup ramai, bahkan


seramai suasana di kotaraja, aneka macam barang
dijual disitu, kaki lima memenuhi pinggir jalan.

Tiba di tempat seperti ini, sepasang mata Cong Hoa


segera berbinar, dia tidak menyangka kalau Cong Huimiat
akan menuju ke tempat seperti ini.
Sejak pandangan pertama Cong Hoa sudah
menyukai suasana di kota ini, dia merasa setiap orang
dan benda yang ada disitu mendatangkan kesan yang
mendalam baginya, keramah tamahan penduduk disitu
tebal dengan perasaan kemanusiaan.

Para nona dengan dandanan yang sederhana


bergerombol dimuka penjual kelontong, mencari bedak
dan gincu yang memenuhi selera mereka.

Sementara si tauke penjual kelontong, mencuri


kesempatan untuk diam diam �melahap� �tahu� si nona
bergaun merah.

Nona bergaun merah itu segera tertawa cekikikan,


dengan wajah memerah lantaran jengah dia buru buru
berlalu dari situ.

Seorang nyonya setengah umur yang gemuk dengan


membawa seorang bocah yang rambutnya dikuncir
seperti sebuah mercon, mendekati penjaja makanan
kecil dan membeli gula gulali.

Tiga orang kakek yang wajahnya sudah penuh keriput


dimakan usia, duduk bergerombol disudut dinding dan
menikmati air teh sambil mengisahkan kembali
kegagahannya di masa muda dulu.

Seorang lelaki kekar berbaju kasar, dengan


mendorong sebuah kereta barang bergerak dari ujung
jalan sana menuju kemari, sambil mendorong keretanya
dia berteriak minta jalan.
Sementara disudut lain, serombongan penjual
akrobatik sedang memainkan topeng monyet.

Tempik sorak yang gegap gempita mengiringi


pertunjukkan itu, banyak malah diantara penonton yang
sudah kerogoh kocek dan melemparkan kepingan uang
ke tengah arena.

Kehidupan yang manusia, suasana kota yang tebal


mendatangkan perasaan yang nyaman bagi Cong
Hoa, dia berpendapat, bila seseorang dapat
mempertahankan suasana seperti ini, maka tidak nanti
akan terjadi kejahatan disitu.

Bagi Cong Hui-miat sendiri meski dia tidak dapat


mendalami suasana seperti itu, namun kepedihan yang
tersirat diantara kerutan alis matanya, kini nampak jauh
lebih tawar.

Tanpa terasa mereka telah tiba dibagian tengah dari


jalan raya itu, persis dekat lapangan dimana
pertunjukkan topeng monyet sedang berlangsung.

Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang


meneriakkan dua kata dengan lantang, kemudian
semua peristiwa pun terjadi dalam waktu sekejap,
sedemikian cepatnya sampai sebelum Cong Hoa
mengetahui apa yang terjadi, semuanya telah berakhir.

Ternyata dua kata yang diteriakkan itu adalah kata:


�Tanpa dosa.�
Belum habis teriakan itu, si monyet yang semula
sedang melakukan pertunjukkan topeng monyet itu
sudah melompat melewati gerombolan orang banyak
dan langsung mencakar wajah Cong Hui-miat.

Bersamaan waktunya, perempuan setengah umur


penjual gula gulali itu pun sudah turun tangan pula,
dengan satu ayunan kuat, gulali yang ada ditangannya
sudah disodokkan ke dada orang she-Cong.

Bukan Cuma begitu, tiga orang kakek yang sedang


duduk bergerombol pun tiba-tiba melejit ke udara, lalu
dengan gerakan tubuh yang gesit mereka menyerang
sepasang kaki lawan, sedangkan lelaki yang mendorong
kereta barang telah memutar keretanya lalu
diterjangkan ke tubuh Cong Hui-miat.

Seluruh serangan yang dilancarkan hampir semuanya


ditujukan ke tubuh Cong Hui-miat, ketika Cong Hoa baru
saja ingin maju memberi bantuan, tiba-tiba si nona
bergaun merah yang baru saja membeli bedak itu
sudah melemparkan bedak ditangannya ke wajah
perempuan itu.

Dalam waktu singkat bedak beterbangan di udara,


menutupi seluruh pemandangan disitu, untung sebelum
datangnya serangan dia sudah menyadari kalau atap
rumah merupakan tempat yang paling aman untuk
meloloskan diri.

Maka sambil memejamkan matanya dia melejit ke


udara, sesaat sebelum melompat, ia menyempatkan diri
berteriak ke arah Cong Hui-miat, �Cepat sembunyi ke
atap rumah!�

Dalam suasana yang amat kabur dia seolah


menyaksikan Cong Hui-miat melompat naik ke atap
rumah, dia pun lamat-lamat menyaksikan si tauke
penjual barang kelontong meloloskan sebatang cambuk
panjang kemudian diayunkan ke udara untuk
menggulung tubuh Cong Hui-miat.

Bagaikan seekor ular berbisa, cambuk panjang itu


langsung menjerat tengkuk orang she-Cong itu.

Bagaimana kejadian selanjutnya, dia tidak tahu.

Waktu itu, meski tubuhnya sudah berada diatap


rumah, namun matanya tidak mampu dibuka lantaran
kemasukan bedak.

Dalam keadaan begini, dia hanya bisa mendengar


dengan menggunakan telinga, tapi tempat yang
semula ramai dan penuh suara hiruk pikuk itu tiba tiba
berubah jadi hening, sepi, tidak kedengaran sedikit suara
pun, sedemikian sepinya hingga mirip dengan suasana
di tanah pekuburan.

... Sebenarnya apa yang telah terjadi disitu?

...Apakah Cong Hui-miat berhasil kabur dari sergapan


itu?

...Mengapa orang-orang dikota ini menyerang Cong


Hui-miat secara serentak?
... Kenapa secara tiba-tiba suasana jadi hening, sama
sekali tidak kedengaran suara?

Cong Hoa ingin sekali segera mengetahui


jawabannya, apa mau dikata sepasang matanya yang
kemasukan bedak terasa pedih sekali, sedemikian
pedihnya sehingga tidak mampu dibuka kembali.

Ada angin berhembus lewat.

Sebuah papan nama yang ada disisi jalan bergoyang


kencang ketika terhembus angin, goncangan keras
menimbulkan suara denyutan yang nyaring. Papan
nama itu sebenarnya merupakan papan nama sebuah
toko, tapi kini keadaannya sudah rongsok dan lapuk,
persis seperti gigi orang tua.

Dibalik noda darah yang mengotori papan nama itu,


lamat-lamat masih terbaca berapa tulisan, �toko
keluarga Li�. Sayang suasana dijalan raya itu jauh lebih
parah ketimbang keadaan papan nama tersebut.

Cong Hoa berdiri ditengah jalan dengan termangu,


berdiri sambil mengawasi papan nama yang bergoyang
dihembus angin, menanti hembusan angin telah berlalu,
dia baru perlahan-lahan mengalihkan pandangan
matanya ke ujung jalan.

Walaupun tempat itu bukan sebuah kota besar,


namun kota ini amat ramai, tamu yang kebetulan dalam
perjalanan dari utara ke selatan atau sebaliknya, selalu
akan menginap selama dua-tiga hari disitu.
Tapi sekarang, keadaan kota itu seolah sebuah kota
kecil yang sudah tiga tahun tidak pernah dihuni
manusia. Coba kalau bukan masih terlihat sisa-sisa
barang dagangan yang berserakan di sepanjang jalan,
Cong Hoa akan mengira dia sedang bermimpi buruk.

Seburuk apa pun mimpi itu suatu ketika orang akan


mendusin kembali dari tidurnya, tapi impian buruk yang
dialami Cong Hoa, sampai kapan baru bisa mendusin
dari tidurnya? Apakah Cong Hui-miat masih hidup? Atau
sudah mati? Mengapa penghuni kota itu berniat
membunuhnya? Kini, kemana perginya orang-orang itu?
Mengapa dalam waktu sekejap sudah lenyap tidak
berbekas? Mengapa Cong Hui-miat mengajaknya
kemari? Mungkinkah kota kecil ini adalah kota dimana
Ku-heng-ceng menemui ajalnya? Iblis bengis macam
apa yang bersembunyi dalam kota itu? Apakah dia
sedang menanti kedatangan orang asing, lalu
menelannya bulat-bulat?

Tengah hari baru saja lewat, ada sinar matahari, ada


angin, tapi tidak ada salju.

Dalam akhir musim gugur yang sangat dingin ini, hari


ini merupakan hari yang paling hangat udaranya,
namun sayang Cong Hoajustru merasakan munculnya
hawa dingin dari dasar telapak kakinya dan merasuk ke
dalam tulang sumsumnya.

Dalam keheningan yang mendekati suasana mati,


hanya angin yang berhembus melewati jendela
menimbulkan suara desis, tapi dalam suasana dan
keadaan seperti ini, suara itu justru lebih mirip suara
depakan sayap kelelawar yang sedang terbang keluar
dari pintu neraka.

Mengapa Cong Hoa masih berdiri tenang disana? Dia


sedang memikirkan semua peristiwa yang baru saja
dialami? Ataukah sedang menantikan sesuatu?

Kalau sedang membayangkan kembali semua


peristiwa yang baru lewat, sejak awal hingga akhir dia
tidak pernah bisa menyaksikan secara jelas, lalu apa
pula yang mesti dibayangkan?

Jika sedang menantikan sesuatu, apa pula yang


sedang dia nantikan? Menanti kemunculan orang-orang
tadi? Atau kematian? Kalau kematian? Apakah
kematian yang kedua kalinya?

Langit sudah mendekati senja, salju mulai turun


membasahi permukaan tanah.

Ada salju, angin pun tetap berhembus. Diantara deru


angin, mendadak dia menangkap suara nyanyian...

Suara nyanyian yang muncul dari balik keheningan,


muncul dari balik kemisteriusan, seolah-olah nyanyian
yang datang dari neraka.

�Diujung jalan kehidupan, lenyap musnahkan


manusia.

Manusia tengah diujung jalan kematian, belum putus


nyawa sudah terlanjur musnah.
Begitu mendengar suara nyanyian itu, dari balik
pandangan mata Cong Hoa yang kosong, tiba-tiba
terbesit cahaya yang sangat aneh.

...Terlepas seaneh apapun penampilannya waktu itu,


yang pasti bukan penampilan kesedihan atau
penderitaan.

Suara nyanyian makin lama semakin mendekat,


akhirnya muncullah sang penyanyi, ternyata dia adalah
seorang pengemis.

Ternyata pengemis itu berjalan keluar dari dalam


ruang toko dimana masih tergantung papan namanya,
�toko keluarga Li�.

Pengemis itu bernyanyi sambil menundukkan


kepalanya, dalam genggaman tangannya dia
memegang sebiji goanpo, langkahnya tidak terhitung
cepat, namun dia pun tidak pernah memperhatikan
jalanan.

... Apakah dia sudah tahu kalau kota kecil ini tidak
berpenghuni? Apakah dia tahu kalau sesosok mayatpun
tidak ada disitu maka dengan perasaan lega dia
berjalan sambil menundukkan kepala?

Cong Hoa masih berdiri disitu, berdiri di satu-satunya


tempat dijalanan itu yang masih bisa dilewati, maka
tidak ampun pengemis itupun menumbuk tubuh Cong
Hoa.
�Kenapa kau berdiri disitu sehingga tertabrak aku?�
teriakan pengemis itu ternyata keras sekali.

Cong Hoa sangat geli, biasanya dia memang geli bila


bertemu manusia macam begini.

�Sobat, siapa namamu?�

�Aku bukan sahabatmu, kaupun bukan sahabatku!�


pengemis itu melotot besar, �Buat apa kau menanyakan
namaku?�

Cong Hoa masih tetap tersenyum.

�Sobat, siapa kau?� kembali bertanya.

�Aduuh... bagaimana sih kau ini? Aku paling benci


kalau ada orang bertanya begitu kepadaku, siapa pula
kau?� teriakan pengemis itu semaian keras.

�Aku justru paling senang bertanya begitu, siapa


kau?�

Tampaknya pengemis itu memang bloon, biarpun


satu pertanyaan yang sederhana namun dia mesti
mengulangnya berulang kali seperti orang kebingungan
saja.

Sementara Cong Hoa akan berganti cara lain,


pengemis itu sudah berkata duluan, �Dengarkan baikbaik,
sekarang akan kukatakan siapa aku.�
Sambil menunjuk hidung sendiri, katanya, �Aku she-Ui,
bernama Sauya, Ui sauya adalah aku, aku adalah Ui
Sauya.�

�Ui sauya?� Cong Hoa sedikit tercengang.

Ternyata pengemis itu bernama Ui sauya atau Tuan


muda Ui!

�Sudah ingat baik-baik?� pengemis itu seakan kuatir


gadis itu lupa dengan namanya, kembali dia bertanya,
�Siapa namaku? Siapa aku?�

�Sudah kuingat baik-baik, kau adalah Ui sauya, Ui


sauya adalah kau.�

�Betul, lain kali jangan bertanya lagi kepadaku, siapa


kau?� pengemis itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, �Aku paling benci kalau ada yang
bertanya kepadaku, siapa kau. Tapi orang lain justru
selalu bertanya kepadaku, siapa kau? Aaai....!�

Pengemis itu menghela napas panjang, tiba-tiba dia


menyusup melalui bawah ketiak Cong Hoa kemudian
kabur secepat cepatnya meninggalkan tempat itu.

Cepat sekali lari orang itu, bahkan kecepatannya


tidak berada dibawah orang yang punya dasar ilmu
meringankan tubuh.

Tampaknya lari cepat memang merupakan


kepandaian khas para pengemis.
Sayang Cong Hoa dapat berlari jauh lebih cepat
darinya.

�Hey, mau apa sih kau ini?� sambil belari pengemis itu
berseru dengan napas terengah, �Apakah kau hendak
merampas goanpo yang ada ditanganku?�

Cong Hoa tertawa geli, tiba-tiba dia menyambar ke


muka dan betul-betul meram-pas goanpo yang berada
dalam genggaman pengemis itu.

�Tolong, tolong... ada rampok merampas uangku!�


kontan pengemis itu menjerit keras.

Masih untung jalanan itu sepi dan tidak ada orang,


kalau tidak entah apa yang akan dilakukan Cong Hoa,
kalau sampai uang milik seorang pengemis pun
dirampas, bukankah dia sudah menjadi seorang bandit
kelas teri?

�Cepat kembalikan uang itu kepadaku!� teriakan si


pengemis semakin keras, �Kalau tidak, aku akan beradu
nyawa denganmu.�

�Asal kau bersedia menjawab berapa pertanyaanku,


bukan saja uang ini akan kukembalikan, bahkan akan
kutambah dengan sekeping goanpo yang jauh lebih
besar dari yang ini.�

Pengemis itu mengerdipkan matanya berulang kali,


setelah mempertimbangkan lama sekali dia baru
mengangguk.
�Baik, apa yang ingin kau tanyakan?�

�Sudah lama kau berdiam di kota kecil ini?�

�Benar.�

�Apakah kau ikut menyaksikan semua peristiwa yang


telah terjadi di jalanan ini tengah hari tadi?�

Pengemis itu kelihatan agak gemetar, tapi dia segera


mengangguk.

�Coba ceritakan, apa yang telah terjadi di kota ini?


Apakah sahabatku itu masih hidup atau sudah mati? Ke
mana perginya semua penghuni kota ini?

Secara beruntun Cong Hoa mengajukan tiga buah


pertanyaan, tapi ketiga buah pertanyaan itu seolah tiga
batang tiang salju yang menghujam ke tubuh pengemis
itu, tubuhnya seketika gemetar keras, bahkan giginya
pun seakan sedang berkelahi.

�Aaku.. .aku.. .melihat.. .tidak.. .tidak.....melihat...�

Pada dasarnya dia memang tidak pernah bicara


secara jelas, apalagi sekarang, dalam keadaan
ketakutan setengah mati, ucapannya semakin melantur
tidak jelas.

Mendadak Cong Hoa mengeluarkan sekeping


goanpo besar lalu digoyang-goyangkan dihadapan
pengemis itu.
Ternyata goanpo itu jauh lebih berkasiat ketimbang
obat mujarab, bukan saja pengemis itu sudah tidak
gemetar, sepasang matanya terbelalak lebar lebar,
mengawasi goanpo yang ada ditangan perempuan itu
tanpa berkedip.

�Dapatkah kau menceritakan kembali peristiwa yang


terjadi tengah hari tadi?� tanya Cong Hoa perlahan.

�Dapat... boleh...�

Baru saja pengemis itu akan mengambil goanpo


tersebut, Cong Hoa telah menariknya kembali, ujarnya,
�Ceritakan dulu kejadiannya, kemudian baru kuberikan
kepadamu.�

�Baik!� pengemis itu menengok sekejap ujung jalanan,


wajahnya mulai diselimuti perasaan ngeri, tampaknya
dia sedang mengenang kembali kejadian yang
dialaminya tengah hari tadi.

�Ketika kau melompat ke atap rumah, sobat yang


punya bekas bacokan di alis matanya juga ikut
melompat...�

Kejadian sebelum itu sudah diketahui semua oleh


Cong Hoa, justru yang dia ingin tahu adalah peristiwa
yang terjadi kemudian.

�Ketika tauke penjual gincu melihat sobatmu ikut


melompat, tiba-tiba dari dalam tangannya me....
melompat keluar seutas cambuk yang amat panjang...�
makin berbicara pengemis itu nampak semakin
ketakutan, �Cambuk panjang yang meliuk-liuk di udara
itu seakan mempunyai mata, dengan cepatnya dia
menyambar tengkuk sahabatmu, kemudian...�

�Kemudian...kemudian bagaimana?� tanya Cong


Hoa gelisah.

�Kemudian... kemudian...� pengemis itu menelan air


liurnya sambil menatap si nona tanpa berkedip,
�Kemudian tidak ada lagi.�

�Tidak ada lagi? Barang apa yang tidak ada lagi?�

�Tidak ada lagi yaa tidak ada lagi,� pengemis itu


menyengir lirih, �Tak ada lagi maksudnya aku hanya
menonton sampai disitu saja, karena selanjutnya aku
pingsan.�

�Kau...� saking jengkelnya Cong Hoa sampai tidak


mampu berbicara.

�Kau... kau kenapa kau? Aku pun manusia yang terdiri


dari darah dan daging. Memangnya kau suruh aku
menyaksikan semua peristiwa tragis itu dengan mata
melotot? Karena aku tidak sanggup menolong
sahabatmu, maka aku pun jatuh tidak sadarkan diri.�

Cong Hoa hanya bisa mengawasi pengemis itu


dengan mata melotot, dia tidak tahu mesti mendongkol
atau geli?

Mendadak pengemis itu merebut goanpo yang ada


ditangannya sambil berseru, �Kau berjanji akan berikan
goanpo ini kepadaku begitu selesai aku menjawab
pertanyaanmu, sekarang aku sudah selesai menjawab,
maka goanpo ini sudah menjadi milikku.�

Biarpun sudah ditanyakan, hasilnya tetap percuma,


karena apa yang dia katakan, diketahui juga oleh nona
itu, tapi apa yang ingin dia ketahui justru tidak terjawab
oleh pengemis itu.

Jika kejadian ini dialami dimasa dulu, mungkin dia


sudah merampas balik goanpo itu kemudian
menghadiahkan pula dua tempelengan keras.

Untung Cong Hoa sekarang bukan manusia semacam


itu, dia hanya menghela napas sambil ujarnya sedih,
�Pergilah, goanpo itu sudah menjadi milikmu.�

�Sungguh?� pengemis itu sedikit kurang percaya.

Cong Hoa m anggut m anggut.

�Kau tidak akan merampasnya kembali?� sambil


melangkah pergi, tiada hentinya pengemis itu berpaling.

Cong Hoa menggeleng.

�Aku boleh pergi dari sini?� kembali dia


menggeserkan tubuhnya.

Sekali lagi Cong Hoa mengangguk. �Aku pergi dulu?�

Kali ini Cong Hoa sudah malas untuk mengangguk.


�Aku betul-betul boleh pergi?� tampaknya pengemis
itu seakan tidak percaya, kali ini dia malah berjalan balik
satu langkah.

Cong Hoa merasa muak, dia benar benar sudah


sebal untuk mendengarnya.

Sekali lagi pengemis itu melangkah pergi, bisiknya,


�Kali ini aku benar benar akan pergi?�

�Sudah selesai belum ributmu?� Cong Hoa mulai


mendidih hatinya.

�Sudah, sudah selesai,� pengemis itu segera kabur


terbirit birit, dari kejauhan sana dia masih
menyempatkan diri untuk berpaling memandang
kearah Cong Hoa, kalau ditinjau dari mimik mukanya,
mungkin dia sudah menganggap gadis itu sebagai satu
makhluk aneh.

Cong Hoa masih berdiri tenang ditengah jalan, paras


mukanya sama sekali tidak menampilkan perubahan
apa pun.

Namun perasaan hatinya amat kalut.

Walaupun Tu Bu-heng bisa menebak kalau dia bakal


menolong Cong Hui-miat dari tangan Nyoo Cing, namun
tidak seorang pun yang tahu dengan cara apa dia
menyelamatkan Cong Hui-miat dari dalam penjara.

Tentu saja kecuali Nyoo Cing seorang.


Tapi sekarang, jangan lagi berbicara soal Cong Huimiat,
apakah dia masih hidup atau sudah mati pun
sama sekali tidak diketahui olehnya, bagaimana
mungkin dia bisa menghadap Nyoo Cing?

Dengan cara apa pula dia memberikan tanggung


jawabnya kepada Nyoo Cing?

Kabur. Bisa saja dia melarikan diri ke ujung langit,


sekalipun Nyoo Cing punya kekuasaan sehebat seorang
Kaisar pun belum tentu dia bisa berbuat banyak.

Tapi gadis itu tidak sudi kabur, dia pun tidak bisa
kabur. Karena itulah prinsip hidupnya selama ini.

Betapa pun serius dan beratnya suatu masalah, dia


tetap akan menghadapinya secara jantan, betapa
beratnya hukuman yang bakal dilimpahkan kepadanya,
dia tetap akan menjalaninya.

Yang pasti, dia tidak akan melarikan diri.

�Siapa pun tidak akan mengabulkan permintaanmu


yang kelewatan ini,� Nyoo Cing berkata sambil menatap
tajam wajah Cong Hoa.

�Tapi aku percaya kepadamu, kau boleh membawa


pergi Cong Hui-miat, tapi setengah bulan kemudian
harus kau bawa kembali kemari.�

�Aku pasti akan mengembalikan kemari,


membawanya balik dalam keadaan utuh!� dengan
nada serius dan meyakinkan Cong Hoa berjanji.
�Bila hingga waktunya kau belum juga membawa
balik, aku akan menuduhmu sebagai komplotan yang
bersekongkel untuk membawa kabur narapidana
penting kerajaan,� sepatah demi sepatah kata Nyoo
Cing berkata, �Kau bisa dijatuhi hukuman mati, bahkan
seluruh keluargamu akan ditumpas!�

Hari ini, kendatipun jaraknya dengan setengah bulan


masih ada tiga belas hari, namun Cong Hoa tidak tahu
Cong Hui-miat berada di mana, bahkan mati hidupnya
pun tidak diketahui.

Dengan cara apa dia akan mencarinya? Kemana dia


harus pergi untuk mencari jejaknya?

Kegelapan malam hari akhirnya mulai menyelimuti


seluruh jagad.

Walaupun salju sudah lama berhenti, namun hawa


yang dingin dan membeku telah mengubah jalan raya
itu seakan lapisan salju yang keras, tiang salju yang
bergelantungan di wuwungan rumah persis seperti gigi
serigala yang sedang menyeringai, seolah sedang
bersiap-siap akan menggigit manusia.

Tidak ada manusia yang berlalu lalang di jalanan,


seluruh kota kecil itu tercekam dalam keheningan yang
luar biasa, keheningan bagaikan sebuah tanah
pekuburan, seluruh angkasa dan bumi seolah telah
diselimuti oleh selapis hawa �kematian� yang membeku.
Tiada angin, bahkan air hujan pun seakan ikut
membeku jadi bongkahan salju.

Cong Hoa duduk didalam sebuah rumah makan,


rumah makan diujung jalan, ternyata diatas meja
tersedia arak dan hidangan.

Hidangan ditemukan dari dalam dapur, tentu saja


arak diperoleh dari guci dibelakang meja kasir.

Dia duduk disisi jendela, saling berhadapan dengan


jalanan yang sepi dan mati, sorot matanya dialihkan
keujung langit, mengawasi bayang bayang kegelapan
nun jauh di sana.

Dia masih tetap berada di kota kecil itu, bukan berarti


dia sedang menunggu munculnya �kemukjijatan�,
dalam keadaan seperti ini, dia butuh sebuah tempat
yang tenang, duduk manis sambil mereka ulang seluruh
kejadian yang dialaminya, dari awal hingga akhir.

... Tempat mana lagi yang jauh lebih tenang


ketimbang tempat ini? Cong Hoa memang manusia
macam begitu, diwaktu biasa, tingkah lakunya macam
orang sinting, perbuatan apapun berani dilakukan,
terhadap masalah apa pun tidak acuh.

Tapi setelah menjumpai persoalan yang pelik, dia


dapat berpikir secara tenang dan kepala dingin, dia
dapat menganalisa dan mengambil kesimpulan,
kemudian mengatur strategi guna menyelesaikan
persoalan itu.
Diambilnya cawan arak dimeja, lalu pelan pelan
meneguk isinya.

Dia mulai mereka ulang semua peristiwa itu, sejak dia


mencari Tu Thian dan mengajaknya bertaruh, hingga Tu
Thian dan Un-hwee sianseng mengemukakan identitas
sebenarnya serta tujuan mereka.

Diantara peristiwa ini, semestinya tidak ada bagian


yang pantas dan patut dicurigai, satu satunya yang
mencurigakan hanya munculnya seorang lelaki
gelandangan yang batuk tiada hentinya disaat dia
sedang bertaruh dengan Tu Thian, waktu itu si
gelandangan mengucapkan berapa kata yang hingga
kini masih belum dipahami maksudnya.

�Buat apa?�

�Kenapa harus begitu?�


Sebenarnya siapakah lelaki gelandangan itu? Apa
maksud dia mengucapkan dua kata itu?

Kembali Cong Hoa meneguk habis isi cawannya,


kendatipun kota kecil ini amat sepi dan terpencil,
ternyata arak yang tersedia disitu adalah arak
kenamaan Tiok-yap-cing.

Tentu saja hidangan yang tersedia bukan terhitung


lezat dan mewah, tapi dalam situasi seperti ini, hidangan
tersebut sudah lebih dari cukup.
Cong Hoa meletakkan kembali cawan araknya, sekali
lagi dia mengalihkan sepasang matanya yang bening
dan penuh kehangatan itu memandang ke tempat
kejauhan sana.

Tu Bu-heng telah menggunakan Ti Cing-leng sebagai


umpan, memancing hingga kegembiraannya mulai
berkobar maka dia pun menceritakan rahasia yang
menyangkut Cong Hui-miat dengan boneka 'mummi' itu.

Kalau urusan sudah menjadi begini, biar Cong Hoa


tidak ingin mencampuri urusan juga sudah tidak
mungkin... siapa suruh dia punya watak ingin tahu yang
kelewat besar?

Dia menggunakan cara yang paling tidak masuk akal


berhasil 'meminjam' Cong Hui-miat dari tangan Nyoo
Cing, maka diapun bersama Cong Hui-miat tiba di kota
kecil ini.

Kemudian pada hari ini terjadilah peris-tiwa yang


membuat kepalanya pusing tujuh keliling, kejadian aneh
yang sangat mencengangkan hati.

Dan akibatnya dia pun jadi perempuan linglung yang


harus menunggu macam orang bodoh di tempat
gersang, dimana burungpun enggan bertelur, meneguk
arak 'pengangguran' yang masam.

Walaupun persoalan ini menyangkut masalah


'mummi' yang penuh misteri, tapi secara keseluruhan
rasanya tidak ditunggangi rencana busuk lainnya.
Semakin berpikir Cong Hoa merasa semakin aneh dan
keheranan, dia sendiri tidak tahu dimana letak
keanehan itu, tapi dia sadar bahwa ada sesuatu yang
tidak beres dengan kejadian ini.

Malam, tiada rembulan tiada bintang.

Rembulan dan bintang yang biasanya menghiasi


angkasa, saat ini pada sembunyi semua, seolah merasa
takut juga dengan suasana 'kematian' yang mencekam
kota kecil itu.

Hembusan angin gunung membawa bau tanah


lumpur dari tanah perbukitan dike-jauhan sana,
membawa pula suara batuk yang lirih.

Cong Hoa seketika membelalakkan matanya lebarlebar,


dia segera pasang telinga sambil mendengarkan
dengan seksama.

Kembali suara batuk bergema memecahkan


keheningan, kali ini suara tersebut muncul dari tengah
jalan raya.

Tidak tahan lagi Cong Hoa melongok ke luar jendela.

Dari balik kegelapan malam, lamat-lamat dia seperti


melihat ada sesosok bayangan manusia sedang
berjalan mendekat dari ujung jalan sana, setiap berjalan
dua langkah, orang itu kembali terbatuk batuk hingga
membungkukkan tubuh.
Setiap kali setelah meludahkan riak kentalnya, dia
baru meluruskan tubuhnya dan melanjutkan perjalanan
menuju ke rumah makan itu. Menanti dia sudah muncul
di depan pintu, Cong Hoa baru dapat melihat jelas raut
mukanya.

Dia mengenakan sebuah jubah panjang berwarna


putih yang kini telah berubah jadi keabu-abuan lantaran
kelewat sering dicuci, perawakan tubuhnya tinggi kurus,
wajahnya pucat pias persis seputih bunga ombak
samudra yang memecah ditepian karena menghantam
batu karang.

Usianya sudah tidak muda, diujung matanya terlihat


banyak kerutan, dari setiap kerut matanya seakan
tersimpan kepedihan dan kesendirian yang dideritanya
selama perjalanan hidup.

Biarpun wajahnya tidak memperlihatkan perubahan


perasaan apa pun, tapi meninggalkan kesan hampa
dan murung bagi siapa pun yang memandangnya.

Hanya sepasang matanya yang kelihatan masih


muda. Sepasang mata anehnya itu seakan berwarna
biru tua, sebiru langit disiang hari, mata itupun seakan
hembusan angin musim semi yang menggoyangkan
ranting pohon liu, lembut tapi lincah.

�Ada tamu yang datang dari jauh, kenapa tuan


rumah tidak menyapa?� itulah ucapan pertama yang
diutarakan begitu memasuki pintu rumah makan.
Ternyata dia telah menganggap tempat itu sebagai
rumah kediaman Cong Hoa dan menganggap gadis itu
sebagai tuan rumah.

Mula-mula Cong Hoa agak melengak, tapi segera


disahutnya sambil tertawa, �Telah kusiapkan arak kasar
dan hidangan seadanya, anggap saja sebagai rasa
hormatku.�

Orang itu menarik napas panjang, lewat lama


kemudian dia baru berbisik, �Ehmm, arak bagus, jelas
tiok-yap-cing ini paling tidak telah berusia dua puluh
tahunan.�

Benar benar seorang setan arak, hanya dari bau nya


saja dia sudah dapat membedakan kwalitas arak itu.

Cong Hoa menuangkan secawan arak dan


disodorkan kepadanya, lalu memenuhi juga cawan arak
sendiri.

�Keringkan secawan arak ini!� ujar Cong Hoa, �Perduli


siapa kah kau dan apa tujuanmu kemari, memandang
kemampuan yang baru saja kau perlihatkan, aku sudah
putuskan untuk bersahabat denganmu.�

Selesai menghabiskan secawan arak itu, lelaki


setengah umur itu kembali batuk tiada hentinya, batuk
yang hebat dan tiada putusnya membuat paras
mukanya yang semula memucat muncul semu merah
membara.
...Cahaya merah yang mirip jilatan api dari neraka,
api neraka yang sedang membakar tubuh dan
sukmanya.

�Aneh, sungguh aneh...� Cong Hoa mulai bergumam,


�Aku seakan pernah bertemu dengannya?�

Akhirnya berhenti juga batuk lelaki setengah umur itu,


dia menarik napas dalam-dalam, mengatur napas,
kemudian memenuhi kembali cawan araknya dan
mengangkat cawan itu dengan penuh keriangan.

�Sekali lagi kita telah berjumpa muka, terima kasih


banyak atas hadiah arakmu.�

�Berjumpa sekali lagi?� Cong Hoa mulai berpikir,


mendadak dia teringat akan sesuatu, kontan teriaknya,
�Yaaa. Sekarang teringat sudah aku! Bukankah kau
adalah lelaki gelandangan yang berjalan keluar dari
belakang pohon ketika hari itu aku sedang bertaruh
dengan Tu Thian?�

Sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir lelaki


setengah umur itu.

�Tadi aku malah sempat terpikir akan dirimu, tidak


tahunya kau benar-benar telah muncul!� seru gadis itu
lagi.

�Oya?�

�Apa maksud perkataan yang kau ucapkan pada


hari itu?�
�Kau benar benar tidak mengerti?�

�Tidak mengerti.�

Lelaki setengah umur itu meneguk araknya lalu


tertawa, tampaknya dia ingin batuk lagi, tapi akhirnya
ditahan, ditatapnya wajah Cong Hoa sambil tertawa.

�Buat apa?� senyuman secerah udara yang baru


diguyur hujan kembali tersungging diujung bibirnya,
�Padahal kau sudah tahu dengan jelas, tidak perlu
menjatuhkan diri kebawah, buat apa kau tetap
membiarkan tubuhmu tersiksa rasa sakit dan
penderitaan?�

�Ooh, jadi kau telah melihatnya?� ujar Cong Hoa,


�Bayangkan saja, dalam sepuluh menit aku harus
selesai memanjat tiga puluh batang pohon. Aku hanya
rikuh untuk membuat dia kalah secara mengenaskan.�

�Kau anggap Tu Thian benar-benar telah kalah


bertaruh?� kembali lelaki setengah umur itu bertanya.

�Memangnya tidak?�

�Sekalipun dia tidak kalah dalam pertaruhan ini,


kujamin Tu Thian tetap akan pergi mencarimu.�

�Mencari aku?� Cong Hoa tercengang, �Lantaran


urusan Cong Hui-miat?�

�Sebetulnya persoalan itu hanya satu urusan kecil


diantaranya.�
�Jadi masih ada urusan lain?� berkilat sepasang mata
Cong Hoa, �Berarti urusan lain itulah baru persoalan
besar yang sebenarnya?�

�Nah begitu baru agak mirip Cong Hoa yang


sebenarnya.�

Perkataan apa itu? Tapi Cong Hoa sangat


memahaminya.

Jika harus ditukar dengan perkataan lain, kira kira dia


sedang berkata begini,�Nah begitu baru mirip Cong Hoa
yang konon sangat pintar dan cekatan.�

Cong Hoa meneguk habis isi cawannya, kemudian


menatap cahaya lentera dengan termangu.

�Jadi cerita tentang Mummi dan pengkhianat penjual


negara yang dikisahkan Tu Bu-heng, semuanya hanya
cerita bualan belaka?�

�Tidak, semuanya merupakan kenyataan, bahkan


kejadian sebenarnya jauh lebih serius daripada apa
yang dia kisahkan.�

�Kelihatannya aku harus sedikit mengubah sifat rasa


ingin tahuku.�

�Sudah terlambat!� kata lelaki setengah umur itu


hambar, �Menurut apa yang kuketahui, dalam lima hari
mendatang, paling tidak akan muncul enam tujuh orang
yang mencarimu.�
�Mencari aku? Demi persoalan besar itu?�

�Kalau demi urusan besar itu, mungkin Coh Liu-hiang


dan Siau-Li si pisau terbang sudah ikut datang sejak
dulu,� senyuman yang menghiasi bibir lelaki setengah
umur itu makin tebal, �Mereka datang karena persoalan
mummi.�

�Aneh, kenapa dari jaman dulu hingga sebelum


kejadian ini belum pernah ada orang yang bicara soal
mummi itu, tapi sekarang, tiba tiba saja benda itu seolah
merupakan harta karun, setiap orang ingin
mendapatkannya.�

�Masalah ini disebabkan ada orang yang sengaja


menyiarkan berita ini ke dalam dunia persilatan.�

�Benarkah rahasia seputar mummi itu sangat menarik


perhatian orang banyak?�

�Jaman dulu, raja Chin Shi-huang saja sampai


mengirim utusan untuk mencari obat panjang umur,
apalagi kalau sekarang terdapat ilmu rahasia yang bisa
membuat orang yang sudah mati bisa bangkit kembali,�
ujar lelaki setengah umur itu sambil tertawa getir.

�Sesungguhnya bukan masalah seseorang bisa hidup


panjang umur atau tidak, yang penting justru hidupmu
cukup berharga atau tidak? Mendatangkan makna
yang berarti atau tidak?�

�Jika setiap orang bisa memiliki pemikiran seperti kau,


dunia ini pasti aman.�
�Manusia itu memang tidak kenal puas!�

... Tidak kenal puas memang merupakan salah satu


kelemahan manusia yang terbesar.

Musim gugur telah berakhir, namun malam belum


kelewat larut.

Hembusan angin terasa makin kencang, membuat


satu satunya papan nama yang masih tersisa di kota
kecil itu bergoyang tiada hentinya.

�Kau bilang dalam lima hari mendatang ada enamtujuh


orang akan datang mencariku,� kata Cong Hoa,
�Manusia macam apa sih ke enam orang itu?�

�Tentu saja jagoan yang memiliki kungfu hebat,


terutama tiga orang diantaranya.�

Cong Hoa tidak memberi komentar, tapi dia


mendengarkan dengan asyik.

�Kau pernah mendengar tentang Say Siau-li?� tanya


lelaki setengah umur itu.

�Say Siau-li?�

�Benar!� lelaki setengah umur itu meneguk secawan


arak, �Sudah enam tahun dia terjun ke dalam dunia
persilatan, tapi pisau terbangnya baru digunakan
sebanyak enam belas kali.�

�Tidak pernah meleset?�


�Tidak pernah meleset!� sorot mata lelaki itu
menerawang ke tengah jalan raya.

�Sekalipun pisau terbangnya lebih hebat pun, ada


satu hal dia tidak akan mampu menandingi Li Sin-huan.�

�Dalam hal apa?�

�Pisau terbang Li Sin-huan digunakan untuk menolong


orang, sementara pisau terbang dia digunakan untuk
membunuh orang,� kata Cong Hoa, �Dalam hal ini jelas
dia tidak akan mampu mengungguli Siau-Li si pisau
terbang.�

Lelaki setengah umur itu manggut-manggut,


lanjutnya, �Nama orang yang kedua amat tersohor
diseantero jagad, jarang yang tidak pernah mendengar
namanya.�

�Benarkah?�

�Betul, dia adalah Liong-ngo kongcu!�

�Liong Ngo dari Kwangtong?� Cong Hoa berkerut


kening.

�Rasanya Cuma ada seorang Liong Ngo di dunia


kangouw saat ini.�

�Waaah, tampaknya sangat menarik...� seru Cong


Hoa, setelan termenung sejenak bertanya lagi, �Lantas
siapakah orang ketiga?�
Lelaki setengah umur itu tidak langsung menjawab,
sebaliknya malah perlahan-lahan mengangkat
cawannya lalu menghirup isinya dengan santai, dari
mimik mukanya bisa diduga kalau dia sedang
mempertimbangkan sesuatu.

Entah sedari kapan angin telah berhenti berhembus,


suasana terasa hening dan sepi, sedemikian heningnya
hingga mendatangkan perasaan tidak enak bagi siapa
pun.

Kendatipun angin telah berhenti, hawa dingin justru


semakin merasuk tulang.

Setelah ditunggu sekian waktu belum juga


kedengaran lelaki setengah umur itu berbicara, Cong
Hoa tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya keras,
�Malaikat darimana sih orang ketiga itu?�

�Aku tidak tahu.�

Jawaban dari lelaki setengah umur itu kontan


membuat Cong Hoa terperanjat, ia memandang orang
itu dengan mata terbelalak.

�Tidak tahu?�

�Sebenarnya akupun berharap bisa tahu siapakah


dia,� kata lelaki setengah umur itu sambil meletakkan
kembali cawannya ke meja, �Konon orang itu
bertingkah laku macam orang sinting, setiap hari dia
selalu mondar mandir ke sana kemari sambil memegang
sekeping goanpo ditangannya.�
Dalam benak Cong Hoa segera terlintas bayangan si
pengemis cilik yang dijumpainya sore tadi.

�Jika dia berikan goanpo miliknya kepadamu sambil


tertawa cengar-cengir, itu berarti sebentar lagi kau akan
berpesta bersama raja akhirat,� kata lelaki setengah
umur itu lebih jauh, �Biasanya tidak sampai tiga hari,
orang itu akan lenyap tidak berbekas!�

�Memangnya kalau lenyap lantas berarti sudah


mampus?� tanya Cong Hoa.

�Mati atau tidak, paling tidak mesti ada mayatnya,

tapi kalau bertemu dengan orang ini, kau tidak akan


menemukan apa-apa lagi.�
�Maksudmu selain nyawanya diambil, mayatnya pun
ikut diambil?�
�Rasanya begitu.�
Bayangan tentang si pengemis cilik itu semakin jelas
melintas dalam benak Cong Hoa.

Benarkah seorang pengemis cilik yang begitu menarik


sesungguhnya adalah seorang raja iblis pembunuh
manusia?

�Darimana kau bisa mengetahui semua persoalan itu


secara jelas?� dengan sorot mata setajam sembilu Cong
Hoa mengawasi lelaki setengah umur itu, �Siapa pula
dirimu?�
�Aku hanya seseorang yang sudah mati,� sekilas
perasaan pedih melintas diwajah lelaki setengah umur
itu, �Semestinya aku adalah seseorang yang sudah
mati.�

�Kau orang mati? Orang mati berarti setan?�

Lelaki setengah umur itu tidak menjawab, namun


senyuman dingin segera tersungging diujung bibirnya.

�Kau ini termasuk setan gantung atau setan


penasaran? Atau mungkin setan penuntut balas?�
kembali Cong Hoa menggoda.

�Namanya adalah setan yang sepantasnya


mampus!� mendadak seseorang menanggapi, suara itu
seakan datang dari ujung jalan, tapi seperti juga berasal
dari dalam ruangan rumah makan itu.

BAB 7.

Kehilangan satu hari.

�Namanya adalah setan yang sepantasnya


mampus!�

Mendengar teriakan tersebut, kembali lelaki setengah


umur itu menghela napas panjang, namun kepedihan
diwajahnya sudah jauh berkurang, sebagai gantinya
terlintas perasaan hormat yang tebal.
Sementara itu Cong Hoa sudah tertawa terbahakbahak,
dia merasa amat geli dengan seman itu.

Bersamaan dengan bergemanya suara teriakan itu,


terendus juga bau ikan bakar yang harum semerbak.

... Ikan bakar mana yang bisa menangkan ikan bakar


hasil olahan Lo Kay-sian?

�Sekarang aku baru sadar, ternyata menilai orang


jangan hanya menilai dari wajahnya,� kata Cong Hoa
sambil menghela napas panjang.

�Kenapa?� suara itu masih mengalun ditengah udara.

�Bukan saja kepandaianmu memanggang ikan


terhitung nomor wahid, pura-puramu jadi orang bodoh
jauh lebih hebat lagi.�

�Darimana kau bisa tahu kalau aku...?�

�Aku toh bukan seekor kucing, siapa yang tahan


dengan bau amis ikanmu?� ejek Cong Hoa tertawa.

�Sekalipun bukan kucing, tapi hidungmu lebih tajam


daripada hidung seekor anjing,� menyusul perkataan itu,
Lo kay-sian muncul dari mulut tangga.

�Tapi ada sementara orang yang justru jadi anjing pun


tidak pantas!� kata Cong Hoa uring-uringan, �Sudah
jelas memiliki kemampuan untuk melacak jejak orang,
tapi dia masih bersikeras tidak mau mengakui.�
�Dia tidak punya kemampuan untuk melacak,� kata
lelaki setengah umur itu sambil tertawa, �Akulah yang
telah mengundangnya kemari.�

Sambil tertawa terkekeh Lo Kay-sian mengambil


tempat duduk, ternyata ditangannya telah membawa
sebuah cawan.

�Orang ini memang kebangetan, memangnya dia


anggap kita tidak bakal mengundangnya minum arak?
Masa membawa cawan sendiri!� seru Cong Hoa lagi.

�Kau toh sudah tahu kalau aku ini malas sekali,� kata
Lo Kay-sian sambil memenuhi cawannya dengan arak,
�Kalau urusan bisa sekaligus diselesaikan, kenapa aku
mesti mengerjakannya dua kali?�

�Tapi kau pandai berlagak edan, sudah puluhan


tahun kau berlagak begitu.�

�Dia bukan berlagak edan, sesungguhnya dia hanya


pegang janji,� lelaki setengah umur itu menerangkan.

�Pegang janji siapa?�

�Cong Poan-long.�

�Cong Poan-long? Siapa Cong Poan-long?�

�Cong Poan-long adalah bapanya Cong Hui-miat,


yaitu pendeta Ku-heng-ceng,� lelaki setengah umur itu
mulai batuk-batuk.
Setelah meneguk secawan arak dan menarik napas
panjang, dia melanjutkan, �Ketika pertama kali masuk ke
daratan Tionggoan, orang pertama yang hendak
dijumpai Cong Poan-long adalah dia!�

Dia menuding ke arah Lo Kay-sian, kemudian


terusnya, �Mereka adalah sahabat yang amat karib.�

Lo Kay-sian tertawa, namun tertawanya amat sedih


dan getir.

�Tempat pertemuan yang mereka janjikan kebetulan


adalah tempat ini.�

Berarti disinilah Ku-heng-ceng menemui celaka.

�Dia datang selangkah lebih awal ketimbang Tu Buheng


serta Un-hwee, tapi toh tetap terlambat!� kata
lelaki setengah umur itu, �Ketika tiba disini, dia jumpai
Cong Poan-long sudah tergeletak bersimbah darah,
buru buru dia bertanya siapakah pembunuhnya, tapi
Cong Poan-long hanya mengawasinya dengan sinar
mata penuh ketakutan.�

�Aku cukup mengerti apa yang menjadi


kehendaknya,� kata Lo Kay-sian pula hambar, �Dia tahu
kepandaian silatku masih kalah jauh bila dibandingkan
pembunuh itu, dia takut setelah kuketahui namanya
maka akan pergi mencarinya dan balaskan dendam
sakit hatinya.�

�Cong Poan-long memohon kepadanya agar


merawat Cong Hui-miat secara baik baik,� ujar lelaki
setengah umur itu, �Untuk melaksanakan permohonan
tersebut maka selama puluhan tahun dia berlagak
bodoh.�

�Kalau memang Cong Poan-long datang dengan


membawa rahasia, kenapa dia tidak langsung bertemu
dengan Tu Bu-heng sekalian?� tanya Cong Hoa.

�Inilah salah satu sebab yang tidak kami pahami,�


kata lo Kay-sian.

�Dia takut kau tidak mampu melawan pembunuh itu,


kenapa dia tidak beritahu kepada Tu Bu-heng sekalian?

Masa dengan kekuatan kerajaan, merekapun tidak


sanggup menghadapinya?�
Persoalan inipun merupakan salah satu hal yang
mencurigakan.
�Kalau dia memang membawa rahasia itu untuk
diserahkan kepada Pemerintah, kenapa setelah
dibunuh, rahasia tersebut malah tidak disampaikan?
Kemudian jika masalah ini menyangkut satu kejadian
yang luar biasa, kenapa hingga akhir-akhir ini persoalan
tersebut baru mencuat?�

Setelah berhenti sejenak, kembali Cong Hoa berkata


kepada lelaki setengah umur itu, �Jika kau memang
orang yang sepatutnya mati, kenapa sekarang bisa
bangkit dan hidup kembali? Kenapa kau pun
mengetahui dengan sangat jelas semua seluk beluk
mengenai peristiwa ini?�
Setelah menarik napas, lanjutnya, �Kenapa Cong Huimiat
mengalami kejadian begitu sampai disini? Kenapa
pula kau mengundang Lo Kay-sian untuk berjumpa
disini?�

Tiada rembulan, tiada bintang, yang tersisa hanya


awan gelap yang bergeser terhembus angin.

Pikiran dan perasaan Cong Hoa pun diliputi pelbagai


kecurigaan dan perasaan tidak habis mengerti.

Lelaki setengah umur itu meski sedang memandang


Cong Hoa, namun ditinjau dari mimik mukanya yang
penuh diliputi kedukaan, seakan dia sedang
melamunkan kembali kejadian lama...

Tiga puluh enam orang bocah berbaju putih dengan


membawa tujuh puluh dua batang tempat lilin yang
terbuat dari tembaga hijau perlahan-lahan berjalan
masuk, meletakkan tempat lilin itu disekeliling dinding
ruangan, kemudian mengundurkan diri dari situ.

Tempat itu merupakan sebuah bangunan rumah


yang luas, dindingnya berwarna putih bersih tanpa
debu, lantainya terbuat dari keramik yang bening
bagaikan cermin.

Dalam ruangan itu tidak ada benda lain, kecuali dua


buah alas duduk.

Ing Bu-oh duduk bersila diatas salah satu alas duduk,


sebuah tongkat bambu hijau yang didalamnya terselip
sebilah pedang ular berbisa, diletakkan diatas lututnya,
dia duduk tidak bergerak, seakan sedang berada dalam
keadaan 'tenang'.

Ti Cing-ling juga duduk di sebuah alas duduk yang


lain, mereka berdua duduk saling berhadapan, siapa
pun tidak tahu sudah berapa lama mereka duduk disitu.

Malam semakin larut... saat itupun akhir musim gugur.

Tiba-tiba Ti Cing-ling bangkit berdiri, dengan sangat


hormat dia menjura ke arah Ing Bu-oh, ujarnya, �Tecu Ti
Cing-leng akan melakukan percobaan pedang untuk ke
sebelas kalinya, mohon suhu sudi memberi petunjuk.�

Pertarungan antara dua jago tangguh seringkah akan


selesai dalam satu gebrakan, mati hidup menang kalah
pun akan ditentukan sesaat.

Tapi sekarang mereka sedang menjajal pedang,


menjajal pedang milik Ti Cing-ling.

Cahaya fajar sudah mulai mencorong masuk melalui


atap ruangan, Ti Cing-ling memutar cahaya pedangnya
satu lingkaran, tiba-tiba dia menghentikan serangannya.

Mereka sudah bertempur semalam suntuk.

Ing Bu-ok mundur beberapa langkah kemudian


perlahan lahan duduk diatas alas duduk, tampaknya dia
amat kelelahan.

Paras muka Ti Cing-ling sama sekali tidak berubah,


pakaiannya yang berwarna putih tetap bersih tanpa
debu, setetes keringat pun tidak nampak membasahi
wajahnya.

�Kali ini adalah kali ke sebelas kau menjajal pedang,


tidak kusangka kau telah berhasil!� kata Ing Bu-ok
perlahan, dia tidak tahu harus gembira atau sedih
karena kejadian ini.

Ti Cing-ling tidak mengucapkan sepatah kata pun,


tiba-tiba dia berjalan keluar dengan langkah lebar,
sewaktu lewat disamping Ing Bu-ok, tiba tiba dia
membalikkan pedangnya dan menusuk punggung
gurunya hingga tembus ke jantung.

Kembali lelaki setengah umur itu termenung, dia


merasakan juga sakit yang luar biasa di bekas lukanya
persis disisi jantung, sorot matanya yang semula dipenuhi
kehangatan kini mulai suram dan dicekam kesedihan,
matanya redup seakan mata seorang lelaki buta.

Tiba-tiba paras muka Lo Kay-sian berubah amat serius,


sambil menatap lelaki setengah umur itu perlahan-lahan
ujarnya, �Dialah Ing Bu-ok!�

Ku-bok sinkian (pedang sakti mata buta) Ing Bu-ok.

Ketika nama besar Ing Bu-ok menggetarkan sungai


telaga, mungkin orang tua Cong Hoa belum lagi mulai
'berpacaran'.

Tentu saja diapun tahu kalau Ing Bu-ok tewas diujung


pedang Ti Cing-ling.
Tapi, kenapa Lo Kay-sian mengatakan kalau lelaki
setengah baya ini adalah Ing Bu-ok?

�Bukankah Ing Bu-ok sudah dibunuh oleh Ti Cing-ling?�


tanya Cong Hoa.

�Benar, Ing Bu-ok memang sudah dibunuh!�

�Lalu... kenapa bisa muncul seorang Ing Bu-ok lagi?�


tanya Cong Hoa sambil melirik lelaki setengah baya itu
sekejap.

�Dia adalah guru Ti Cing-ling, Ing Bu-ok. Dia juga Ing


Bu-ok yang telah dibunuh Ti Cing-ling.�

Cong Hoa semakin kebingungan, dengan termangu


diawasinya kedua orang itu, lama kemudian ia baru
bertanya lagi, �Memangnya waktu itu Ti Cing-ling
merasa tidak tega sehingga memperingan tusukannya?
Atau Ing Bu-ok yang memiliki dua buah jantung?�

�Aku tidak mempunyai dua buah jantung, serangan Ti


Cing-ling pun tidak lembek,� lelaki setengah umur itu
berkata hambar, �Tapi, aku mempunyai seorang
sahabat karib.�

Sepasang mata lelaki setengah baya yang sudah


bagaikan mata orang buta itu kembali bersinar, dia
memandang ke arah Lo Kay-sian kemudian katanya
lagi, �Meskipun aku sudah tahu dengan jelas manusia
macam apakah Ti Cing-ling, namun aku tetap melengak
juga sewaktu dia membalikkan tubuh sambil
menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuhku, aku tidak
menyangka kalau dia bisa menggunakan saat, tempat
dan situasi semacam itu untuk melancarkan
tusukannya.�

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, �Mungkin lantaran


aku melengak itulah tusukan yang dilancarkan Ti Cingling
jadi sedikit melenceng.�

... Disaat orang melengak bercampur kaget, konon


jantung seseorang bisa menyusut kecil lantaran terkena
rangsangan.

�Oleh sebab itu ketika Bong Si-khong datang kesitu,


kendatipun napasku sudah tinggal satu dua, namun
setelah berusaha hampir tiga hari tiga malam lamanya,
akhirnya dia berhasil juga menarik keluar diriku dari pintu
gerbang Kui-bun-kwan.�

�Ooh, pendekar pedang rindu?� Cong Hoa


menghela napas panjang, �Biarpun jantungku sudah
berapa kali berdebar hari ini, namun debaran jantungku
benar-benar menghebat setelah tahu kalau kau adalah
Bong Si-khong.�

�Puluhan tahun sudah lewat, tidak kusangka masih


ada orang yang masih teringat akan diriku,� gumam Lo
Kay-sian sambil meneguk isi cawannya.

'Pendekar pedang rindu, satu tusukan bikin orang


selalu rindu'. Dengan sebilah pedangnya, dulu dia
pernah mengalahkan tujuh orang jago pedang paling
kosen dalam dunia persilatan.
Jurus pedangnya bukan Cuma ganas dan telengas,
reaksi dan gerakannya luar biasa cepatnya, membuat
orang tidak menyangka kalau serangan itu telah
merenggut nyawanya. Pendekar ini memang selalu
membuat orang merasa rindu.... khususnya kaum
wanita.

�Aku berani jamin, dari seratus orang paling tidak ada


sembilan puluh sembilan setengah orang tidak akan
percaya jika Pendekar pedang rindu telah menjadi
seorang kepala sipir penjara,� kata Cong Hoa sambil
menatap orang tua itu.

�Pendekar pedang rindu sudah mati lama sekali,�


ucapan Lo Kay-sian lirih tidak bertenaga, �Sudah mati
semenjak belasan tahun berselang.�

Dengan termangu Cong Hoa mengawasi Lo Kay-sian,


setelah lama kemudian dia baru berkata, �Benar,
pendekar pedang rindu sudah mati!�

Dengan perasaan berterima kasih Lo Kay-sian melirik


sekejap ke arahnya.

Tidak gampang bagi seseorang mendapat 'nama


besar', untuk mempertahankannya juga teramat sulit,
tapi untuk memusnahkannya, ternyata dapat dilakukan
dalam waktu sekejap.

�Mari kita bersulang satu cawan arak!� Cong Hoa


mengangkat cawannya, �Manusia yang tidak dapat
dipercaya tidak akan bisa tancapkan kaki di dunia ini,
ucapan tersebut bisa saja diucapkan setiap orang, tapi
ada berapa banyak yang sanggup melaksanakannya?�

Sekali teguk menghabiskan isi cawan, hawa


kehangatan seketika muncul dari perut dan menyebar
ke seluruh bagian tubuh.

�Darimana kau bisa tahu kalau aku akan kemari?�


tanya Cong Hoa kemudian sambil berpaling ke arah Ing
Bu-ok, �Mau apa kau undang Bong Si... Lo Kay-sian
datang kemari?�

�Seandainya kau menjadi Cong Hui-miat, setelah


keluar penjara, pertama-tama tempat mana yang akan
kau kunjungi?� bukannya menjawab, Ing Bu-ok malah
baik bertanya.

�Tentu saja datang kemari,� jawab Cong Hoa setelah


berpikir sejenak.

�Itulah dia, aku pun mengajak Lo Kay-sian untuk


berjumpa disini, kami bermaksud bersama-sama pergi
mencari Cong Hui-miat dan menerangkan beberapa
masalah, kemudian merundingkan bagaimana langkah
berikut, tidak disangka....�

�Tidak disangka telah terjadi peristiwa di pagi hari


tadi,� sambung si nona.

�Betul, tidak kusangka tindakan yang dilakukan pihak


lawan jauh lebih cepat daripada apa yang kuduga.�

�Siapa sih pihak lawan?�


�Perkumpulan naga hijau, Cing-liong-hwee.�

�Perkumpulan naga hijau?� tampaknya Cong Hoa


agak terperanjat, �Wah, tampaknya aku mesti
membayar mahal untuk mengetahui duduk persoalan
yang sebenarnya!�

... Ada benarnya juga perkataan ini, sebab peristiwa


tesebut merupakan sebuah intrik paling besar yang
pernah terjadi selama seratus tahun terakhir dalam
dunia persilatan, bukan saja menyangkut banyak pihak,
yang mati dan terluka pun sudah banyak sekali, sebuah
peristiwa yang tidak mudah dibayangkan.

�Hampir selama belasan tahun lamanya aku selalu


melacak dan menyelidiki sebab musabab kematian
Cong Poan-long,� ujar Ing Bu-ok, �Hasil analisaku adalah
terdapat dua hal yang sangat aneh!�

�Hal aneh? Apa itu?�

�Ternyata sebelum tiba disini, Cong Poan-long telah


bertemu lebih dulu dengan Cong Hui-miat.�

�Mereka sudah berpisah hampir belasan tahun


lamanya, kenapa begitu sampai di daratan Tionggoan,
dia langsung dapat menemukan jejaknya?� kata Cong
Hoa, �Kenapa selama ini Cong Poan-long selalu
merahasiakan kejadian nya?�

�Ketika Lo Kay-sian tiba di tempat kejadian,


kendatipun kondisi Cong Poan-long sudah kritis dan
napasnya tinggal satu dua, namun kaki dan tangannya
masih dapat bergerak, anehnya, kenapa ketika Tu Buheng
sekalian berjumpa dengan Cong Poan-long, kaki
dan tangannya sudah dipotong orang? Kenapa pula
dia meninggalkan tulisan �Tidak berdosa� dua patah
kata?�

Arak sudah tidak jelas mengisi poci yang ke berapa,


namun ketiga orang itu sama sekali belum menunjukkan
pertanda mabuk.

Rahasia dibalik peristiwa ini tampaknya jauh lebih


manjur ketimbang �air teh penyadar mabuk�, membuat
peredaran darah ditubuh mereka beredar lebih cepat
dan panas.

Cahaya fajar sudah mulai menghiasi ufuk timur, kini


angin telah berhenti berhembus, namun bunga salju
belum lagi beterbangan.

Seluruh bumi dicekam dalam keheningan dan udara


beku.

...Mengapa udara selalu terasa dingin membeku,


suasana selalu dicekam keheningan disaat malam
hampir lewat, fajar hampir menyingsing?

�Aku pernah bertemu dengan Ui sauya,� kata Cong


Hoa sambil menerawang ujung jalan.

�Kau pernah bertemu?� tanya Ing Bu-ok keheranan,


�Kapan? Di mana?�
�Kemarin, disini. Dia adalah seorang lelaki yang
bertubuh mungil tapi punya kepala yang sangat besar,
waktu bicara senang membalikkan bola matanya
sehingga sekilas pandang, dia lebih mirip dengan
seorang bocah idiot.�

�Dia tidak menghadiahkan goanponya kepadamu?�


tanya Lo Kay-sian agak tegang.

�Tidak!� sahut Cong Hoa sambil menarik kembali


pandangan matanya dan berpaling ke arah Lo Kay-sian,
�Justru dia yang telah melarikan goanpoku.�

Lo Kay-sian maupun Ing Bu-ok segera


menghembuskan napas lega.

Ui Sauya tidak menghadiahkan goanpo nya kepada


gadis itu, berarti untuk sementara waktu nyawa si nona
masih dapat dipertahankan.

�Ui sauya sangat percaya dengan hukum karma, dia


tidak pernah mau berhutang pada orang lain, maka
setiap kali hendak membunuh seseorang, dia selalu
akan menyerahkan dulu sejumlah uang, uang untuk
membeli nyawa orang tersebut,� Ing Bu-ok
menerangkan.

�Anehnya, kalau toh dia tidak berniat membunuhmu,


kenapa pula malah merebut uangmu?� sambung Lo
Kay-sian.

�Jangan jangan...dia pernah menyelamatkan


nyawamu, maka uangmu baru dibawa lari?�
Cong Hoa berpikir sejenak, kemudian menggeleng.

�Tidak mungkin, dia mengambil uangku lantaran aku


mengajukan pertanyaan kepadanya.�

�Bertanya soal apa?�

�Tanya apa yang telah terjadi setelah aku melompat


naik ke atap rumah.�

�Apakah dia telah menyaksikan peristiwa itu sejak


awal hingga akhir?�

�Dia hanya bilang...�

Mendadak Cong Hoa menghentikan perkataannya,


perasaan terkejut, kaget, ngeri dan tidak percaya
berkecamuk diatas wajahnya.

Dia mengawasi ujung jalan tanpa berkedip, seakanakan


ditempat itu sudah menyaksikan sesosok
bayangan setan yang gemar makan manusia.

Sebenarnya apa yang telah dia saksikan?

Kejadian berharga apa yang telah dia saksikan di


jalanan itu sehingga membuatnya terkesiap?

Bukan hanya di kota propinsi atau kota besar saja, di


desa kecil pun pasti ada rumah penduduk, juga ada
pertokoan.
Dimana ada rumah penduduk dan pertokoan, ibarat
muncul cahaya terang dari balik kegelapan, suasana
pasti lebih hidup dan ramai.

Tatkala cahaya pertama memancar keluar dari ufuk


timur, ayam pun mulai berkokok dan anjing pun mulai
menggonggong.

Bunga salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah


mulai mencair, lamat lamat dapat terlihat alas batu hijau
yang tertanam dibalik lapisan salju.

Hari kesibukan untuk penduduk kota pun dimulai. Para


pedagang mulai membuka pintu toko nya dan
berharap dagangannya hari ini laris manis.

Asap mulai mengepul dari arah dapur, para ibu mulai


mempersiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara
bocah bocah nakal mulai kelayapan di tengah jalan.

Tapi keramaian semacam itu tidak dijumpai di kota


kecil ini, suasana yang mencekam tempat itu sangat
berbeda dengan suasana di kota kota lain.

Semenjak usaha pembunuhan terhadap Cong Huimiat


terjadi dikota itu, seluruh penduduk kota seakan ikut
lenyap tak berbekas.

Suasana yang mencekam kota itu sedemikian sepi


dan heningnya hingga melebihi suasana di tanah
pekuburan, jangan lagi manusia, kokokan ayam dan
gonggongan anjing pun sama sekali tidak kedengaran.
Mengapa setelah lewat satu malaman, orang-orang
itu kembali muncul disitu? Bahkan seolah tidak pernah
terjadi peristiwa di siang kemarin?

Tauke penjual bedak dan gincu masih dengan


pakaian yang dikenakan kemarin, menjajakan barang
dagangannya ditepi jalan.

Tiga orang kakek masih tetap duduk di kaki lima,


berbincang tentang kegagahan mereka di masa
lampau. Bahkan nona bergaun merah yang
melemparkan bedaknya ke arah Cong Hoa pun, hari ini
muncul kembali dengan senyuman yang penuh
keriangan.

Semua orang, semua kejadian, sama persis seperti


keadaan kemarin siang, bayangkan saja bagaimana
mungkin Cong Hoa tidak terperanjat dibuatnya?

Sinar sang surya menebarkan kehangatan ditengah


suasana yang dingin membeku, tapi gadis ini justru
merasakan tubuhnya makin menggigil, semakin
kedinginan, seakan akan tubuhnya telah terjerumus ke
dalam sebuah jurang yang dalamnya mencapai ribuan
kaki.

Dia seakan merasakan tubuhnya terperosok ke dalam


neraka. Apa yang dia saksikan di jalan raya itu bahkan
jauh lebih menakutkan daripada apa yang terdapat di
dalam neraka.
�Apakah orang-orang itu yang kau saksikan
kemarin?� bisik Lo Kay-sian.

Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengangguk.

�Jadi merekalah yang menyerang Cong Hui-miat


kemarin siang?� tanya Ing Bu-ok pula.

Meski Cong Hoa sudah mengangguk, namun dia


merasa tubuhnya seakan sudah membeku kaku.

Dengan termangu Ing Bu-ok mengawasi orang yang


berlalu lalang ditengah jalan, entah lewat berapa saat

kemudian, sekilas perasaan aneh melintas diatas


wajahnya.
Pada saat itulah terdengar ada orang sedang
berbicara.
�Tuan bertiga, tampaknya kalian sedang bergembira,
sepagi ini sudah datang minum arak?�

Dengan mata masih mengantuk dan berjalan sambil


menguap, seorang pelayan muncul dari belakang
ruangan, kendatipun dia berbicara dengan penuh
sopan namun nadanya jelas sedang menegur,
mengapa sepagi ini Cong Hoa sekalian sudah datang
mengusik tidurnya.

Menyaksikan munculnya pelayan rumah makan itu,


rasa kaget dan tercengang yang semula menghiasi
wajah Cong Hoa seketika hilang lenyap.
�Kau keliru besar, bukan sedari pagi tadi tapi sejak
semalam aku sudah minum disini,� sahut Cong Hoa
sambil tertawa, �Memangnya semalam kau sedang
libur? Tidak ada ditempat?�

�Kekkoan, kau sedang bergurau nampaknya, tamu


terakhir yang meninggalkan rumah makan ini adalah
Sam sauya keluarga Tan yang tinggal di seberang jalan,�
kata si pelayan cepat, �Dia malah minum sampai
menjelang kentongan pertama, akulah yang
memayangnya pulang.�

�Benarkah begitu? Masa kau tidak melihat peristiwa


yang terjadi ditengah jalan siang kemarin? Masa kau
tidak mengetahuinya?�

�Peristiwa yang terjadi kemarin siang?� walaupun


sang pelayan tidak paham apa maksud perkataan itu,
namun sahutnya juga sambil tertawa, �Tempat kami
adalah kota kecil, jarang orang yang berlalu lalang
disini, sekalipun pernah terjadi urusan kecil, paling tidak
kejadian tersebut akan menjadi bahan perbincangan
sampai tiga hari tiga malam. Boleh tahu kejadian mana
yang kekkoan maksudkan?�

Sikap maupun nada bicaranya masih amat jujur dan


sopan, namun dalam hati kecilnya dia sudah
menganggap ketiga orang tamunya itu sebagai orang
sinting.
Ing Bu-ok berlagak memandang sekejap cahaya
sang surya diluar ruangan, lalu katanya sambil menghela
napas panjang.

�Aaaai... melihat sang surya pada tanggal satu bulan


sepuluh, dikemudian hari pasti akan terjadi bencana
besar.�

�Untung hari ini baru akhir bulan Sembilan,� sambung


pelayan itu sambil tertawa.

�Ooh, aku sangka hari ini sudah tanggal satu bulan


sepuluh!� Ing Bu-ok diam-diam memberi tanda kepada
Cong Hoa dan Lo Kay-sian, kemudian terusnya,
�Kelihatannya aku sudah mulai pikun, masa sampai hari
apa pun tidak jelas.�

Hari ini jelas sudah tanggal satu bulan sepuluh,


mengapa pelayan itu masih ngotot mengatakan hari ini
baru akhir bulan sembilan?

Jangan-jangan dia pun mengidap penyakit lupa hari?


Atau mungkin ada sebab yang lain?

�Kelihatannya mereka sudah kehilangan satu hari,�


ketika beranjak keluar dari rumah makan itu Ing Bu-ok
berbisik.

�Kehilangan satu hari?� tanya Cong Hoa,


�Maksudmu, semua penduduk kota yang muncul di hari
kemarin bukan orang-orang ini?�
Dia memandang sekejap orang yang sedang berlalu
lalang di jalanan, kemudian lanjutnya, �Berarti orang
yang membunuh Cong Hui-miat adalah anggota
perkumpulan naga hijau yang menyamar jadi penduduk
kota?�

Tidak menunggu Ing Bu-ok menjawab, kembali dia


menambahkan, �Ini berarti semua penduduk kota telah
dibius dengan semacam obat pemabuk sehingga
mereka tertidur sehari semalam, karena itulah mereka
jadi kehilangan satu hari.�

�Rasanya memang begitu,� kata Ing Bu-ok tertawa


getir, �Dan memang kejadiannya juga begitu.�

Ketika sinar matahari menyinari wajah Ing Bu-ok, siapa


pun semestinya dapat melihat betapa sangsi perasaan
hatinya, dia merasa curiga, merasa serba salah...

Cong Hoa berlagak seakan tidak melihat apa-apa,


tiba di tengah jalan, dia menarik napas panjang lalu
membenahi bajunya yang kusut.

Salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah


mencair, entah darimana datangnya hembusan angin,
selembar daun kering melayang dari udara dan jatuh ke
tanah.

Cong Hoa memungut daun itu dan diselipkan disisi


bajunya, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali
di tengah udara, dia menghampiri Lo Kay-sian dan
katanya sambil tertawa, �Coba tebak, apa yang
sedang kupikirkan sekarang?�

Lo Kay-sian bukan Cuma terperanjat, tampaknya ia


sudah tertegun dibuatnya. Ing Bu-ok pun tidak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.

�Aku ingin mencari sebuah tempat dan tidur.�

�Saat ini kau ingin tidur?� Lo Kay-sian semakin terkejut.

�Besok aku masih ada urusan, tentu saja aku harus


menyimpan tenaga.�

�Memangnya kau bisa.... bisa tidur?�

�Kenapa tidak bisa....�

�Tapi kota ini...Cong Hui-miat lenyap di kota ini...�

�Bagaimana pun sekarang kita sudah tahu kalau


Cong Hui-miat tewas ditangan perkumpulan naga hijau,
jadi urusan yang lain bisa kita bicarakan dikemudian
hari.�

Dengan wajah melongo Ing Bu-ok mengawasi gadis


itu, dia seolah belum pernah berjumpa dengan manusia
semacam ini. Tapi sejujurnya, manusia macam begini
memang jarang sekali dijumpai.

Bila orang lain yang sedang menghadapi masalah


semacam ini, mereka tentu murung, kesal dan sedih, tapi
gadis itu? Dia seakan sudah melupakan semua
persoalan, seolah semua kemurungan dan kesedihan
telah dibuangnya jauh jauh.

Setelah menghela napas panjang dan tertawa getir,


kata Lo Kay-sian, �Kelihatannya meski sedang
menghadapi persoalan yang lebih besar pun, dia
sanggup membuang semuanya dalam waktu singkat.�

�Di dunia ini sesungguhnya memang tidak ada


persoalan yang berharga untuk dirisaukan.�

�Aaai, manusia macam kau memang orang yang


paling hokki,� Ing Bu-ok menghela napas panjang.

Cong Hoa tidak menyangkal.

�Besok kau masih ada urusan apa lagi?� tidak tahan


Lo Kay-sian bertanya.

�Sebuah urusan yang amat penting.�

Sambil tersenyum Cong Hoa menggapaikan


tangannya, lalu seakan selembar pelangi yang
menyambar lewat, tahu-tahu dia sudah jauh
meninggalkan tempat itu.

Mengawasi hingga bayangan tubuh nona itu lenyap


diluar kota, Lo Kay-sian baru menghela napas panjang,
ujarnya sambil tertawa getir, �Sekarang aku baru tahu
kenapa dia tidak pernah risau, rupanya dia bisa
berjumpalitan, setiap setelah berjumpalitan maka semua
kerisauan pun ikut lenyap.�
Cong Hoa memang memiliki kemampuan itu, bila
tidak menguasai kepandaian ini, mungkin sekarang dia
sudah menumbukkan kepalanya diatas dinding.

BAB 8.

Dia sudah mengerti.

Tanggal dua, tengah hari.

Cong Hoa sudah balik ke kota propinsi, dengan


langkah lebar dia memasuki rumah makan Cin-cun-wan.

Bila berganti orang lain yang menjumpai pelbagai


kejadian seperti apa yang dialaminya sekarang,
mungkin orang itu sudah mampus sejak dulu, tapi ketika
memasuki rumah makan, wajahnya masih tetap berseri,
semangatnya bugar seakan akan baru saja mendapat
rejeki nomplok.

Begitu melihat kehadirannya, sang pelayan segera


maju menyambut dengan hormat, �Selamat pagi
nona.�

�Pagi!� sambil tersenyum Cong Hoa men-cari tempat


duduk yang dekat jendela.
�Selama dua hari belakangan mencari rejeki di
mana? Sudah tidak kelihatan selama berhari-hari.�

�Aaah, menemani teman lama keluar kota.�

�Silahkan duduk, silaukan duduk, segera akan


kupersiapkan hidangan.�

Matahari bersinar cerah, hari ini udara memang


nampak segar.

Setelah balik ke sana, Cong Hoa merasakan perasaan


hatinya jauh lebih riang, jauh lebih gembira.

Dia memang patut gembira, sebab dia sudah


mengerti, telah berhasil memahami sesuatu...� Jika
bukit tidak datang ke hadapanmu, kaulah yang
mendatangi bukit itu.�

Sekalipun peristiwa ini aneh dan penuh misteri, asal


mau rajin melacak dan menyelidiki, Cong Hoa yakin
akhirnya dia pasti akan berhasil mencapai tujuan.

Tapi Cong Hoa tetap bingung, kejadian ini


nampaknya saja sederhana tanpa liku liku, akan tetapi
dia tidak tahu harus dimulai dari mana.

Karena bingung tidak tahu harus berbuat apa, maka


diapun putuskan untuk menunggu disitu.... biar orang
lain yang datang mencarinya.
Tapi mimpi pun Cong Hoa tidak menyangka kalau
orang pertama yang datang mencarinya ternyata
adalah dia.

Meskipun agak kepagian untuk minum arak sepagi ini,


namun ditengah udara yang begini dingin, tidak ada
salahnya untuk meneguk satu dua cawan arak guna
menghangatkan tubuh.

Setelah melahap sesuap sayur dan menghirup


seteguk arak, Cong Hoa menghembuskan napasnya
perlahan.

Ditepi jalan tumbuh sebatang pohon, seseorang


duduk disisi pohon sambil memegang sebuah cupucupu
berisi arak, anehnya orang itu tidak menenggak
isinya tapi hanya mengendusnya dengan hidung,
kemudian setelah menghirup napas dalam dalam, dia
membuang napas itu perlahan.

Kalau dilihat dari tampangnya, orang itu seperti ingin


sekali meneguk arak wangi itu, tapi dia pun merasa
sayang untuk menghabiskan isinya, maka dia hanya
mengendusnya untuk memenuhi hasratnya.

Menyaksikan orang itu Cong Hoa langsung tertawa,


bahkan tertawanya sangat gembira.

�Orang persilatan menyebut Ui sauya, hanya sayang


otaknya sedikit miring.�
Ternyata orang yang sedang duduk dibawah pohon
itu tidak lain adalah si pengemis yang tidak tahu diri itu,
Ui sauya.

Hari ini dia tidak muncul sambil mem-bawa goanpo


tapi memegang sebuah cupu-cupu berisi arak, apakah
kehadirannya hari ini bukan untuk membunuh orang?

Benarkah dia seseram apa yang diberitakan dalam


dunia persilatan? Cong Hoa merasa dia tidak mirip,
sekalipun wajah senyum tidak senyumnya memang
kelihatan sangat jelek, tapi jelek yang menarik, jelek
yang tidak mendatangkan rasa muak, jelek yang
membuat orang jadi tertarik.

Baru saja Cong Hoa hendak membawa arak


menghampiri Ui sauya yang menarik itu, mendadak dia
merasakan hawa pembunuhan yang sangat kuat
muncul dari seberang jalan.

Diseberang jalan sanapun terdapat sebatang pohon,


dibawah pohon berdiri manusia.

Empat orang manusia.

Seorang sedang minum arak, dua orang sedang


bermain catur dan seorang lagi pemuda berbaju putih
sedang menggunakan sebilah pisau belati untuk
membersihkan kukunya.

Paras muka pemuda itu memang kelihatan seperti


pisaunya, dibalik warna putih terselip semu hijau, hijau
yang sangat menakutkan.
Dari dua orang yang sedang bermain catur, seorang
adalah hwesio, meski alis matanya sudah memutih
namun wajahnya merah bagaikan wajah bayi,
sementara seorang yang lain memakai baju hijau
celana putih, sebuah cincin menghiasi jari tangannya,
cincin itu adalah sebuah batu kemala putih Pek-hangiok
yang tidak ternilai harganya.

Pupil mata Cong Hoa tiba-tiba menyusut kencang,


wajahnya yang munggil pun men-dadak berubah jadi
semu merah.

Ternyata orang yang sejak tadi hanya tundukkan


kepala sambil minum arak itu, kini sedang
mendongakkan kepalanya dengan perlahan.

�Bagaimana daganganmu akhir-akhir ini?� Cong Hoa


segera menegur.

�Masih lumayan...sejelek apa pun, masih ada juga


suami istri bodoh yang menyumbang uang minyak
untukku,� sahut hwesio beralis putih itu cepat, �Apalagi
mendekati musim gugur, inilah musim makmur bagi
kami.�

Biarpun dandanannya adalah seorang pendeta,


namun lagak dan cara berbicaranya persis seperti
seorang toa tauke.

�Banyak toa tauke yang tidak menyenangkan, tidak


nyana kau justru amat menyenangkan,� Cong Hoa
tertawa terkekeh kekeh.
�Hahahaha... aku memang bernama Yu Ki
(menyenangkan)� hwesio beralis putih itu ikut tertawa.

�Yu Ki? Kau dari marga apa?� senyuman Cong Hoa


mulai nampak agak dipaksakan. �Aku she-Bwee!�

�Bwee? Bwee Yu Ki?�

Sekarang Cong Hoa tidak bisa tertawa lagi. Dia cukup


mengenal nama orang itu.

Dua puluh tahun berselang, dia adalah salah satu dari


empat pelindung hukum kuil Siau-lim-si, bukan saja
tingkah lakunya sedikit sinting bahkan ambisi nya besar
sekali. Waktu itu hongtiang kuil Siau-lim, Un-sim taysu
sudah mengetahui akan rencana busuknya, tapi sayang
tidak punya bukti atau saksi.

Setiap hari Bwee Yu-ki menyembunyikan diri bagaikan


seorang gadis pingitan, jangan lagi mendekatinya, mau
bertemu saja susahnya setengah mati.

Tapi suatu ketika, akhirnya dia masuk perangkap


hingga diusir keluar dari pintu siau-lim-si.

Cong Hoa mengawasi Bwee Yu-ki tanpa berkedip, dia


tidak berani bersikap gegabah bahkan mengendorkan
perhatiannya sekejap pun tidak berani.

Siapa tahu baru saja dia berpaling, bidak catur yang


ada ditangannya telah diletakkan diatas papan catur.
Tapi baru dia letakkan biji bidak tadi, dengan cepat
tangannya kembali mengobrak abrik seluruh bidak yang
ada di papan catur sembari berseru, �Aku mengaku
kalah!�

�Kau kalah karena perhatianmu sudah terpecahkan,


mana boleh dianggap satu kekalahan,� sahut lelaki
setengah umur berbaju hijau bercelana putih itu cepat.

�Hanya gara-gara salah langkah, seluruh permainan


jadi berantakan, mana boleh dianggap tidak kalah?�

�Betul, apalagi bermain catur sama seperti bermain


pedang, tidak seharusnya pikiran bercabang, kalau
konsentrasi sampai buyar, mana mungkin bisa menjadi
seorang jagoan tangguh?� sambung lelaki setengah
umur penjual gincu dan pupur itu cepat.

�Masih untung kendati sewaktu bermain catur pikiran


taysu bisa bercabang, namun setelah menggenggam
tombak Ciang-liong-ngo-bwee-ciang (tombak lima
bunga bwee penakluk naga), konsentrasi mu tidak
pernah buyar.�

Cong Hoa memandang sekejap lelaki setengah umur


berbaju hijau bercelana putih itu, kembali perasaan
keheranan melintas diatas wajahnya.

�Jadi kau dari marga Li?� tanyanya kemudian.

�Bok Cu-li,� jawab lelaki itu sambil mengangguk.

�Ooh, jadi kau adalah Li Ki-tong (Li si bocah catur)?�


�Persoalan di dunia ibarat permainan catur, apalah
arti dari sebuah nama?� Li Ki-tong menghela napas
panjang, �Aku tidak lebih hanya seorang anak catur.�

Siapa pun tidak akan menyangka kalau orang yang


kelihatannya sangat sederhana ini ternyata adalah
seorang pembunuh bayaran yang paling misterius dan
paling tinggi bayarannya dalam dunia persilatan.

Mungkin saja namanya kalah tenar bila dibandingkan


Bwee Yu-ki, namun tidak akan lebih bijaksana dan welas
kasih daripada dirinya.

... Pembunuh bayaran memang selalu hidup dalam


kesepian dan keterpencilan.

Asal tawaran harganya cocok, tidak ada sasaran


yang ditolak untuk dibunuh.

Konon untuk membantai si pisau kilat Tan Beng, dia


telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun enam
bulan lewat tiga hari.

Ketika usaha pembunuhannya gagal maka dia akan


mengulang untuk kedua kalinya, ketika usahanya yang
kedua kembali gagal maka dia akan mengulang yang
ketiga dan seterusnya hingga usaha pembunuhannya
berhasil, untuk membinasakan si pisau kilat Tan Beng, dia
telah melakukan dua puluh lima kali percobaan
pembunuhan.
Menghadapi manusia penyabar dan tidak kenal
putus asa macam dia, siapa lagi manusia di dunia ini
yang tidak mampu dibunuhnya?

Biarpun senyuman masih menghiasi bibir Cong Hoa,


namun perasaan hatinya sudah gelisah bagai semut
yang ada di kuali panas. Kelihatannya dalam gerakan
kali ini perkumpulan naga hijau telah mempertaruhkan
jumlah uang yang sangat banyak.

Bagi Cong Hoa, dia tidak lebih hanya mendapat


titipan untuk membawa Cong Hui-miat keluar dari
�penjara bawah tanah�, sedang masalah yang
menyangkut kabar angin serta hubungannya dengan
pihak pemerintah, baginya sama sekali tidak ada
sangkut pautnya.

Tapi sekarang, mengapa perkumpulan naga hijau


mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk
menghadapi dirinya?

�Kemarin, bukankah kalian sudah berhasil membunuh


Cong Hui-miat?� kata Cong Hoa kepada lelaki penjual
gincu itu, �Andaikata menginginkan juga nyawaku,
bukankah kalian bisa melakukan bersamaan waktunya?
Kenapa harus menunggu hingga hari ini?�

�Sebetulnya dalam operasi yang dilakukan waktu itu,


kami memang berencana akan membunuh kau dan
Cong Hui-miat,� ujar lelaki setengah umur itu hambar,
�Tapi secara tiba-tiba kami tidak berani melakukannya.�
�Kenapa?�

�Karena bila kami membunuhmu maka kamilah yang


bakal mampus!�

�Kalian yang bakal mampus?� Cong Hoa


membelalakkan matanya lebar-lebar, �Memangnya
kalian anggap kemampuanku sanggup untuk
membunuh kalian?�

�Mungkin kau memang tidak sanggup, tapi dia


sanggup,� kata lelaki itu sambil memandang ke arah
seberang jalan, lamat-lamat perasaan ngeri dan takut
memancar keluar dari balik matanya.

Tanpa berpaling pun Cong Hoa tahu siapa yang


dimaksud, tapi, benarkah hari itu Ui sauya yang telah
menyelamatkan jiwanya?

Tiba tiba dia teringat kembali dengan perkataan Ing


Bu-ok... �Dia mengambil uang milikmu, jangan-jangan
dia telah selamatkan jiwamu?�

Dalam pada itu Ui sauya telah berjalan mendekat


sambil tertawa cengengesan, ketika dekat disamping
gadis itu sapanya,

�Waah, kelihatannya kita memang punya jodoh, baru


berpisah kemarin, hari ini sudah bertemu lagi.�

�Ada apa? Apa goanpo mu sudah habis dipakai?�


tegur Cong Hoa sambil tertawa, �Apakah hari ini kau
ingin merampas goanpo milikku lagi?�
�Kau? Tentu saja kau, goanpo siapa lagi yang bisa
dirampas segampang milikmu?�

�Ehmm, betul juga perkataanmu itu,� Cong Hoa


mengangguk.

�Sincia sudah hampir tiba, kalau tidak merampas


sedikit goanpo lagi, bagaimana caraku merayakan
tahun baru kali ini?� kembali Ui sauya menghela napas.

�Kami mempunyai banyak goanpo, apakah anda


tertarik untuk mengambilnya?� mendadak lelaki
setengah umur itu menawarkan. �Goanpo milik
perkumpulan naga hijau �susah diperoleh�, kalau kau
dermakan sembarangan, apa tidak kuatir si naga yang
ada diatas loteng itu mencak-mencak marah?�

Berubah hebat paras muka lelaki setengah umur itu,


baru saja akan berkata lagi, Bwee Yu-ki sudah
memotong duluan, �Kalau soal itu mah kau tidak perlu
kuatir, dia sama seperti kau, percaya akan karma dan
reinkarnasi.�

�Lalu berapa banyak goanpo yang telah dia


sediakan untuk membeli karma baikku ini?� tanya Ui
sauya.

�Paling tidak cukup untuk membuat sebuah peti mati


dari emas murni untukmu.�

�Waah, itu sih kebanyakan, kalau aku hanya pingin


mendapat goanpo yang cukup membuatku merayakan
tahun baru dengan gembira.�
�Hmm!� Bwee Yu-ki segera tertawa dingin.

Cong Hoa cukup memahami maksudnya, apakah Ui


sauya masih bisa hidup melewati hari inipun masih
menjadi tanda tanya besar, buat apa dia memikirkan
tahun baru?

Cong Hoa segera berpaling dan mengawasi Ui sauya,


tapi pengemis itu masih menampilkan tampangnya
yang bloon dan acuh tidak acuh.

Say Siau-li masih membersihkan kuku jarinya, tangan


itu masih tetap tenang dan mantap, namun dibalik sinar
mata kejinya kini sudah mulai menampilkan perasaan
gelisah dan tak tenangnya.

Ternyata Ui sauya sedang mengawasi dirinya.

Lamat-lamat otot hijau sudah mulai mengejang keras


dibalik tangannya, seakan dia harus menggunakan
tenaga yang ekstra besar untuk membuat sepasang
tangannya itu tetap tampil mantap.

Gerakannya masih tetap sangat ringan dan lamban,


bahkan gayanya sama sekali tidak berubah, memang
tidak gampang baginya untuk tetap tampil dalam sikap
seperti ini.

�Tanganmu amat stabil!� tiba-tiba Ui sauya menegur.

�Memang selamanya stabil,� jawab Say Siau-li


hambar.
�Seranganmu tentu cepat sekali,� kembali Ui sauya
tertawa cengir, �Bahkan setelah golok lepas dari tangan
pun, golok itu masih dapat melakukan pelbagai
perubahan.�

�Kau dapat melihatnya?�

�Aku dapat melihat kalau kau melempar pisaumu


dengan menggunakan tiga jari, oleh sebab itu diatas
mata pisau masih tersisa tenaga untuk berputar,� kata Ui
sauya, �Akupun dapat melihat kalau kau melempar
pisaumu dengan tangan kiri, mula-mula bergerak lewat
samping lalu baru mengarah ke sasaran.�

�Bagaimana mungkin kau dapat melihatnya?�


akhirnya Say Siau-li menghentikan juga kegiatannya
membersihkan kuku jari.

�Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu


kelewat bertenaga.�

�Tajam amat pandangan matamu,� Say Siau-li


tertawa, walau tertawanya sangat dipaksakan.

�Pisau bagus!�

�Pisau ini memang bagus!�

�Biarpun pisau itu bagus, sayang kau bukan Li Sinhuan.�


Tentu saja Say Siau-li mengerti apa yang diartikan Ui
sauya dengan perkataan itu, tidak heran kalau otot hijau
pada punggung tangannya pada menonjol semua.

Ui sauya tidak menggubrisnya lagi, sambil tertawa dia


berpaling ke arah Li Ki-tong dan menegur, �Mana
pedangmu?�

�Pedangku ada disini.�

Bersamaan dengan perkataan itu, Li Ki-tong


meloloskan sebilah pedang dari balik bajunya ... Pedang
bunga mawar!

Biasanya pedang itu disembunyikan di-balik bajunya


sebagai sebuah sabuk, pedang itu memang lembek,
sarung pedangnya juga lembut lagi lembek, warnanya
merah menyala.

Warna merah itu tidak ubahnya seperti bunga mawar


merah di musim semi.

�Inikah pedang bunga mawar, pedang yang dulu


digunakan Yan Lam-hui?� Ui sauya memandang
pedang itu sekejap, �Walaupun pedangnya memang
pedang bunga mawar, tapi sayang...�

�Tapi sayang aku bukan Yan Lam-hui?� sambung Li Kitong.

Ui sauya tidak menanggapi, dia hanya tertawa.


�Mana kapakmu?� kini giliran Li Ki-tong yang
mengawasi Ui sauya, �Akupun tahu kalau kau
menggunakan senjata kapak.�

�Hahahaha... kapan kau pernah melihat ada orang


mencabut bunga dengan menggunakan kapak?� Ui
sauya tertawa tergelak.

�Mencabut bunga?�

�Memangnya mawar bukan termasuk bunga?�

�Kalau kau ingin mencabut bunga mawar, semestinya


tidak lupa dengan duri ditangkai mawar bukan? Bukan
saja duri itu bisa melukai tanganmu, juga dapat melukai
perasaan hatimu.�

�Aku sudah tidak punya perasaan hati yang bisa


dilukai lagi,� tukas Ui sauya.

�Tapi tanganmu bisa terbuka!�

�Jika dia melukai tanganku, akupun akan melukai


hatinya,� kembali Ui sauya tertawa tergelak.

�Mana mungkin hati pedang bisa terluka?�

�Pedang sih tidak punya, tapi kau punya.�

Pertama kali bertemu Ui sauya, Cong Hoa merasa


orang ini agak dogol, tidak pintar, ketika barusan
melihat dia sedang minum arak di bawah pohon,
diapun merasa orang ini menarik, tapi setelah
menyaksikan tampang mukanya sekarang, dia merasa
penampilan orang ini seakan seorang pendekar
kenamaan.

Sebetulnya manusia macam apakah dia? Tidak kuasa


Cong Hoa mulai mengamati wajahnya dengan
seksama.

Dia mempunyai perawakan tubuh yang tidak


terlampau tinggi, bentuk kepalanya kelewat besar, kulit
mukanya mirip kulit jeruk, dibawah lubang hidungnya
terlihat kumis yang tidak terlalu tebal.

Cara dia tertawa amat istimewa, pun amat menarik


dipandang.

Kalau orang lain mulai tertawa, ada yang matanya


tertawa duluan, ada juga mulutnya tertawa duluan.

Tapi jika dia yang mulai tertawa maka hidungnya


yang tertawa duluan, mula-mula hidungnya sedikit
berkerut kemudian dari pipinya pelan pelan muncul
lesung pipitnya yang amat dalam.

Sekarang dia sedang tertawa, dikala lesung pipinya


menampilkan senyuman yang paling dalam itulah si
lelaki setengah umur penjual gincu yang selama ini
hanya berdiri tenang disamping mulai melancarkan
serangan.

Sebatang cambuk lemas yang sangat panjang


secara diam-diam melingkar ke tengkuk Ui sauya, persis
seperti lilitan yang menggulung tengkuk Cong Hui-miat
ketika berada di jalan raya tempo hari.
Menanti Cong Hoa menyadari akan hal itu, ujung
cambuk sudah berada tiga inci dari tengkuk Ui sauya,
dalam jarak sedekat ini, biar dia memberi peringatan
pun sudah tidak ada gunanya.

�Plaaak!� cambuk panjang itu sudah melingkar ke


depan.

Ternyata yang digulung bukan tengkuk Ui sauya


melainkan buli-buli arak yang berada dalam
genggamannya.

Padahal ancaman itu jelas mengarah ke atas tengkuk


dan serangan itu serasa mustahil untuk dihindari, tapi
entah mengapa tiba-tiba saja cambuk itu hanya
berhasil melilit buli-buli arak.

Lelaki setengah umur itu tampak terperanjat, buruburu


dia buang buli-buli itu ke tanah, tapi pada saat
itulah Ui sauya sudah melempar buli-buli itu ke depan,
secepat petir benda itu menerjang ke arah Bwee Yu-ki.

Dalam pada itu Bwee Yu-ki telah mempersiapkan


tombak lima bwee penakluk naganya, begitu ujung
tombak bergetar, segera muncullah lima kuntum bunga
bwee yang menyelimuti angkasa.

Ketika buli-buli itu masuk ke balik pusaran bunga


bwee, seakan kuntum bunga yang diterbangkan angin
topan, seketika membuyar jadi beribu keping dan
berhamburan kemana-mana.
Li Ki-tong tertawa dingin, dia menyerang dengan
pedangnya, serangan dilancarkan cepat lagi tepat
sasaran. Pengalamannya menghadapi pelbagai
pertempuran sengit membuat dia sangat menguasahi
jurus serangannya, setiap gerakan yang digunakan
biasanya akan mendatangkan hasil yang luar biasa.

Ui sauya masih tertawa tapi tangannya sudah mulai


bergerak, gerakannya sangat lamban, pada setiap
gerakannya disertai irama yang aneh, seakan pohon
Yang-liu yang berkibar terhembus angin, sama sekali
tidak terlihat tenaga kekuatan yang bisa merenggut
nyawa.

Saat itu pedang bunga mawar dari Li Ki-tong sudah


menusuk ke wajah lawan, tapi ketika ujung pedangnya
hampir menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba saja
senjatanya sudah tergulung masuk ke balik pusaran
angin yang sangat aneh itu, seakan sebuah kerang
yang berbentuk tajam digulung oleh ombak samudra.

Tatkala air mulai surut, seluruh tenaga serangan yang


disertakan pun turut hilang lenyap tidak berbekas.

Menyusul kemudian Li Ki-tong seperti mengendus


semacam bau yang sangat aneh, semacam bau yang
anyir seperti bau darah.

Pandangan matanya tiba-tiba berubah jadi selapis


warna merah, kecuali warna merah menyala, nyaris dia
tidak dapat melihat apa-apa, dia pun merasa seakan
ada sekilas bayangan merah yang tiba-tiba bergerak
naik didepan matanya.

Perasaan hatinya terkesiap, dia ingin menyingkirkan


kabut merah itu dengan pedang bunga mawarnya,
menusuk dan menembusnya, tapi reaksinya sudah amat
lamban, gerak-geriknya jadi lambat sekali, menanti
cahaya merah itu hilang lenyap, dia baru menjumpai
kalau tenggorokannya terasa amat kering, mulutnya
terasa getir bercampur pahit.

Disamping itu dia pun merasa amat lelah, sedemikian


lelahnya hingga nyaris mau muntah.

�Trinng!� diiringi dentingan nyaring, pedang bunga


mawar itu sudah rontok ke tanah.

Cong Hoa menghembuskan napas panjang,


tampaknya barusan dia pun merasakan juga tenaga
tekanan yang sangat lembut tapi aneh itu.

Bwee Yu-ki menghembuskan napas panjang, keringat


dingin telah membasahi jidatnya, sekalipun dia sudah
empat puluh tahun belajar silat namun tidak sedikitpun
bisa melihat gerak serangan apa yang barusan
digunakan Ui sauya.

Say Siau-li masih berdiri ditempat sembari


membersihkan kukunya, ternyata sejak tadi dia belum
juga bergerak.

�Kepandaian macam apa itu?� gumam lelaki


setengah umur itu sambil mengawasi Li Ki-tong yang
tergeletak di tanah, �Apa benar di dunia ini terdapat
kungfu macam ini?�

Belum habis dia bergumam, tiba-tiba Ui sauya sudah


membalikkan badan mengawasi Say Siau-li.

Seketika itu juga Say Siau-li menghentikan semua


gerak-geriknya.

Lama Ui sauya mengawasi wajahnya, kemudian baru


berkata, �Seandainya Yap Kay yang melepaskan pisau
terbangnya, mungkin hanya satu orang dalam dunia
persilatan saat ini yang bisa menghadapinya.�

�Bagaimana dengan pisau terbangku?�

�Paling tidak ada dua orang yang hadir disini saat ini
dapat menghadapi pisau terbangmu itu!� sahut Ui sauya
hambar.

�Apa salah satunya dirimu?� tanya Sau Siau-li sambil


menatap tajam lawannya.

�Tentu saja.�

Perlahan-lahan Ui sauya membalikkan tubuhnya,


menarik tangan Cong Hoa dan tanpa berpaling lagi
segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

Bwee Yu-ki dan lelaki setengah umur itu tidak


bergerak, ternyata Say Siau-li juga tidak bergerak,
bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pisau terbang sudah siap, tangan pun sudah siap, tapi
pisau terbangnya tidak pernah dilepaskan, dia hanya
mengawasi bekas kaki yang membekas diatas
permukaan salju.

Dari balik paras mukanya yang tanpa perasaan,


tersungging segulung senyuman yang sangat dingin.

Bekas telapak kaki membekas sangat dalam, bekas


kaki yang ditinggalkan Ui sauya, sebab dia harus
menghimpun segenap tenaga yang dimilikinya untuk
bersiap siap menghadapi pisau terbang dari Say Siau-li.

Namun Say Siau-li sama sekali tidak turun tangan, dia


tidak pernah melepaskan pisau terbangnya.

Setelah meninggalkan jalan raya itu Ui sauya baru


mendongakkan kepalanya sambil menghembuskan
napas panjang, tampaknya dia merasa amat kecewa.

... Bukan Cuma kecewa, bahkan sedih dan murung.

�Kau sedang sedih? Murung?� tegur Cong Hoa.

�Ternyata Say Siau-li jauh lebih menakutkan daripada


siapa pun yang telah kujumpai berapa tahun terakhir.�

�Kenapa?�

�Sebenarnya aku sudah melihat jelas aliran pisau


terbangnya, aku sudah berusaha memanasi hatinya
agar dia turun tangan,� kata Ui sauya, �Jika dia turun
tangan saat ini, mungkin aku masih bisa
menghadapinya, aku punya keyakinan itu.�

... Siapa tahu sikap dingin dan tenang dari Say Siau-li
jauh lebih dingin ketimbang pisau terbang yang berada
dalam genggamannya, jauh lebih menakutkan.

�Bila tiga tahun kemudian dia baru turun tangan, aku


tidak tahu apakah masih sanggup untuk
menghadapinya?�

Walaupun di pagi hari matahari masih bersinar cerah,


tapi begitu lewat tengah hari cuaca sudah mulai

berubah, ketika malam menjelang tiba, angin dan salju


mulai berhamburan.
Bunga salju beterbangan diseluruh angkasa,
hembusan angin puyuh membuat seluruh benda serasa
bergoncang keras.
Dalam cuaca separah ini, tidak seorang pun yang
bersedia keluar dari rumah.

Tentu saja Tu Bu-heng juga tidak bisa keluar dari


rumah, sejak tadi dia sudah memasak air panas untuk
mandi, kemudian setelah berganti pakaian bersih, dia
membaringkan diri diatas bangku berselimut bulu
domba, meneguk arak hangat dan menikmati bunga
salju yang beterbangan diluar jendela.

�Menikmati bunga salju yang beterbangan di


angkasa, benar-benar merupakan satu perbuatan yang
amat seni,� tentu saja perkataan semacam ini hanya
diucapkan mereka yang mengenakan pakaian tebal,
duduk dalam ruangan yang hangat dan menikmati arak
wangi yang panas.

Coba kalau kau melepaskan seluruh pakaiannya


kemudian melemparkan dia ke tengah jalan dan
menyuruhnya minum secangkir air dingin, lihat saja
apakah dia masih sanggup mengucapkan perkataan
tersebut.

Meskipun Tu Bu-heng tidak mengucapkan


�perkataan� itu, tapi dia dapat merasakan juga bahwa
apa yang dialaminya sekarang benar benar merupakan
satu kenikmatan.

Dia tidak pernah mau membagi kenikmatan


semacam itu dengan orang lain, termasuk juga Un-hwee
sianseng.

�Lewat berapa hari lagi musim salju akan tiba,� Tu Buheng


memandang ke tempat kejauhan, �Waktu itu,
persoalan tersebut pasti sudah beres!�

Setiap kali teringat akan hal ini, dengan penuh riang


gembira dia akan meneguk habis isi cawannya
kemudian dengan cepat meme-nuhi lagi cawannya
dengan arak.

Inilah tuangan araknya yang paling akhir dalam masa


kehidupannya sekarang.

Gaya tubuhnya masih sama persis seperti ketika dia


menuang arak itu, senyuman masih menghiasi
wajahnya, akan tetapi sepasang matanya sudah tidak
bersinar, pupil matanya lambat laun berubah jadi pucat
keabu-abuan.

Arak masih tetap memenuhi cawannya, tidak setetes


pun yang tumpah keluar, sekarang biar kau membalik
cawan araknya pun arak dalam cawan tidak akan
tumpah.

Karena arak dalam cawan itu sudah membeku jadi


es.

Seluruh wajah Yu Bu-heng dilapisi juga oleh selembar


salju yang amat tipis.

Suhu udara didalam ruangan itu seakan anjlok secara


tiba-tiba, entah sejak kapan, entah datang dari mana,
tahu tahu selapis kabut telah menyelimuti tempat itu.

Ketika kabut sudah menyelimuti seluruh ruangan,


lamat lamat terlihat ada sesosok bayang manusia, tapi
seakan juga bayangan manusia itu terbentuk dari kabut
yang membeku.

Bayangan manusia ditengah kabut itu melayang


perlahan dihadapan Tu Bu-heng, sepasang matanya
yang berada ditengah kabut terlihat seakan cahaya
bintang yang muncul ditengah hujan.

Biarpun kemampuan Un-hwee sianseng mengolah


arak sangat hebat, dia sendiri tidak pernah minum arak
yang dihangatkan.
Seperti juga koki yang sangat jarang menikmati
hidangan yang dimasak sendiri.

Kamar tidurnya tidak lebih besar dari kamar milik Tu


Bu-heng, tapi jauh lebih nyaman, waktu itu dia pun
sedang minum arak.

Dia tidak sedang menikmati bunga salju di luar


jendela, dia sedang membaca buku, sejilid buku yang
tebal, buku cerita �Kim-ping-bwee� yang menceritakan
lakon Phoa Kiem-lian dan Seebun Khing.

Ketika capai membaca, dia letakkan kembali


bukunya dan pejamkan mata untuk beristirahat sejenak.

Tapi ketika dia membuka matanya kembali, dijumpai


seluruh kamar tidurnya telah diselimuti kabut yang amat
tebal.

Dia berpaling mengawasi sekejap daun jendelanya


yang terbuka, sudah pasti kabut masuk melalui jendela
itu, dia bangkit berdiri dan menutup rapat daun jendela
ruangannya.

�Dalam udara sedingin ini masa ada kabut setebal


ini?�

Bukan hanya ada kabut, disitu pun ada seseorang.


Sesosok bayangan manusia sedang duduk ditempat
dimana dia membaca buku tadi.

Biar kaget bercampur tercekat, Un-hwee sianseng


masih bersikap sangat tenang.
�Sobat, siapa namamu? Ada urusan apa datang
kemari?�

Orang dibalik kabut masih duduk tidak bergerak disitu.

Perlahan-lahan Un-hwee berputar menuju ke depan


meja, menanti dia dapat melihat jelas wajah orang
dalam kabut itu dia nampak terperangah, mulutnya
melongo seperti akan mengucapkan sesuatu, namun
tidak sepotong suara pun yang bisa diucapkan.

Dia sama seperti Tu Bu-heng, berdiri kaku dan tidak


mampu bergerak lagi, wajahnya tiada rasa kaget atau
ngeri, yang tertinggal hanya perasaan tidak percaya.

Tidak percaya apa?

Tidak percaya orang itu bisa membunuhnya?

Atau tidak percaya orang itu bisa muncul di tempat


itu?

Kabut sudah mulai menipis, orang dibalik kabut juga


telah lenyap tidak berbekas, saat itulah terdengar
seseorang menghela napas.

�Aaaai! Rahasia hanya akan membawa kematian


bagi seseorang, mengapa kalian masih juga tidak
mengerti?�

Ucapan telah lenyap, kabut pun sudah buyar.


Di dalam ruangan hanya tersisa tubuh Un-hwee
sianseng yang sudah membeku serta sejilid kitab yang
sangat tebal, buku cerita Kim-ping-bwee.

Apa yang dimaksud rahasia?

Rahasia adalah sesuatu yang bisa kau nikmati


seorang diri.

Mungkin dia bisa membuat kau gembira, mungkin


bisa membuat kau menderita, apa pun dia, seluruhnya
menjadi milikmu seorang.

Bila dia adalah penderitaan, hanya kau seorang yang


menanggung. Bila dia adalah kegembiraan, kau juga
yang akan menikmati tanpa membagi rasa dengan
orang lain.

Bahkan tidak untuk sahabat karibmu sekalipun.

Sebab jika ada orang kedua yang mengetahui


rahasiamu, maka rahasia tersebut sudah tidak bisa
dianggap sebagai rahasia lagi.

Ada sementara rahasia memang benar-benar


merupakan semacam kenikmatan.

Ketika kau selesai bersantap, selesai mandi air panas,


mengenakan baju yang lebar, duduk seorang diri di kursi
malas yang empuk, memandang sinar senja diluar
jendela kemudian teringat kembali rahasiamu dimasa
lalu, dari hati kecilmu akan muncul semacam perasaan
hangat yang tidak terlukiskan dengan kata...
Bila rahasiamu hanya satu macam, maka simpanlah
baik-baik untuk selamanya, atau cepatlah kau ungkap
keluar rahasia tersebut.

Tapi jika rahasiamu adalah kau mengetahui �rahasia


dari seseorang� atau �rahasia dari suatu gerakan
gelap�, kuanjurkan kepadamu, lebih baik cepatlah
mencari tempat yang sangat jauh, sangat tersembunyi
untuk menyembunyikan diri, makin cepat makin baik.

Lebih baik lagi jika kau dapat bersem-bunyi


sepanjang hidupmu.

Kalau tidak, bagaimana akhir dari nasibmu, tentunya


kau lebih jelas dari siapapun.

�Rahasia� tidak mungkin bisa dinikmati bersama


orang lain.

Cong Hoa duduk dibawah emperan rumah, dia


sudah lama sekali duduk disitu.

Selama masih ada pekerjaan yang bisa dilakukan,


tidak nanti dia bisa duduk ditempat itu.

Ada orang yang lebih suka kelayapan diluaran,


menyaksikan orang lain berlalu lalang, melihat anjing liar
berkelahi disudut jalan, ketimbang mengunci diri
didalam rumah.

Cong Hoa adalah type manusia semacam ini. Tapi


sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa dia
kerjakan hanya duduk disitu, sebab dia butuh mencari
sebuah tempat yang tenang untuk memikir ulang seluruh
peristiwa yang dialaminya selama ini.

Lagipula malam sudah semakin larut, udara pun


dinginnya setengah mati, bukan saja dijalanan tidak
dijumpai sesosok manusia pun, bahkan anjing anjing
liarpun entah sudah pada sembunyi dimana.

Dia sudah hidup selama dua puluh tahun, sudah


menjalani dua puluh kali musim dingin, tapi belum
pernah dia alami musim dingin sedingin sekarang.

Seluruh permukaan bumi seolah sudah kembali ke


jaman es dulu, semuanya beku, semuanya dingin
setengah mati.

Lamunan Cong Hoa pun terbawa kembali ke setiap


kunci persoalan yang menyangkut peristiwa aneh ini.

Sepintas lalu, kelihatannya Cong Hoa lah yang


berkemauan pergi mencari Tu Bu-heng, tapi bila
dipikirkan kembali dengan seksama, dia seakan sejak
awal sudah terjerumus ke dalam sebuah perangkap.

Kepicikan Tu Bu-heng, kegemarannya bermain judi


dan segala sesuatu tentang Tu Bu-heng, dia peroleh dari
sang pelayan yang ada di Sim-cun-wan.

Maksud pelayan itu, manusia macam Tu Bu-heng


sudah sepantasnya mendapat ganjaran.

Maka Cong Hoa pun pergi mencari Tu Bu-heng dan


menantangnya bertaruh, karena itu diapun mulai
memanjat pohon, minum arak sambil kongkouw dan
pembicaraan pun mulai berlangsung.

Dengan termangu Cong Hoa menerawang


memandang kegelapan malam, pikirannya terbayang
kembali ke wajah sang pelayan yang dijumpainya di
Sim-cun-wan.

Sepintas lalu pelayan itu kelihatan seperti orang di luar


garis, tapi Cong Hoa percaya kalau kejadian ini
merupakan satu jebakan maka pelayan itu pastilah
umpannya.

Bila ingin mengungkap kejadian yang sesungguhnya


dari kejadian ini, dia mesti turun tangan dimulai dari sang
umpan.

Berpikir sampai disitu, bagaikan kelinci yang terkena


panah, Cong Hoa segera melompat bangun dan
berlarian menuju keluar.

Dia tidak ambil perduli sekarang sudah jam berapa,


dia pun tidak mau tahu apakah pelayan itu sudah
tertidur atau belum.

Dia tidak berani membuang waktu lagi, biar sekejap


pun, dia takut jika kenyataan sesuai dengan apa yang
dibayangkan maka keselamatan jiwa pelayan itu pasti
terancam.

Dia harus secepat mungkin menemukan pelayan itu,


kalau tidak...
Kebanyakan pelayan yang bekerja di rumah makan
adalah para bujangan, sebab mereka harus berdiam
didalam rumah makan, disamping lebih leluasa, pun
sekalian menjaga rumah makan itu.

A-ci juga tinggal didalam rumah makan, meskipun


malam sudah kelam, jarak dengan fajar pun semakin
dekat, namun A-ci tidak bisa tidur, dia kelewat gembira
sehingga tidak sanggup memejamkan matanya.

Selesai tutup warung tadi, dia bermain judi dengan


berapa orang rekannya, hari ini adalah hari
keberuntungannya, dia berhasil menang besar.

Baru pertama kali ini dia berhasil menang besar, dia


berencana besok malam akan menantang berapa
orang rekannya untuk sekali lagi bertaruh.

Kemudian dia pun mencari Siau Tho-hong untuk


kembali ke dalam biliknya yang kecil, memasak berapa
macam sayur, dan mereka berdua bersembunyi disitu
sambil berpacaran.

Kejadian semacam ini memang selalu menjadi


kejadian yang paling menggembirakan, apalagi bila
membayangkan tubuh Siau Tho-hong yang begitu
bahenol, Aci merasakan bagian tubuh tertentunya mulai
mengalami perubahan.

Dia benar-benar ingin sekali kalau sekarang adalah


besok malam.
Disaat bagian tubuh tertentunya berubah mencapai
�puncak� nya itulah, tiba-tiba Cong Hoa menerjang
masuk ke dalam kamarnya.

Begitu menyaksikan kemunculan gadis itu, buru-buru


Aci menutupi �tubuh bagian tertentu� nya dengan
sepasang tangan, sementara paras mukanya berubah
jadi merah padam bagaikan buah apel yang ranum.

Begitu bertemu dengan Aci, perasaan Cong Hoa pun


ikut lega sekali, setelah mengatur sebentar napasnya
yang tersengal, ujarnya sambil tertawa, �Kalau lelaki
memikirkan perempuan, itu adalah kejadian lumrah,
sejak dulu hingga sekarang selalu begitu. Buat apa
pipimu jadi semu merah?�

�Aku... aku...� Aci gelagapan dan tidak tahu apa


yang harus diucapkan.

�Biarpun kaum cewek suka jual mahal, tapi uang jauh


lebih menarik ketimbang orangnya,� Cong Hoa mulai
duduk dihadapan Aci, �Asal ada uang, biar ditengah
malam buta pun kau tetap bisa menyeretnya keluar dari
balik selimut, dan dia tetap akan melayanimu sambil
tertawa.�

Betul, kenapa tidak terpikir sejak tadi? Aci betul betul


menyesal, tahu begini, mungkin saat ini dia sudah
berbaring disamping Siau Tho-hong, bahkan mungkin
bisa dapat menya-lurkan hasratnya sejak tadi dan tidak
perlu merasa jengah seperti saat ini.
Akhirnya �perubahan� yang dialami Aci mulai
mereda dan pulih jadi normal kembali, dia menuangkan
secawan arak untuk Cong Hoa.

�Walaupun aku tahu kalau cara kerjamu rada sedikit


sinting, tapi aku benar-benar tidak habis mengerti, ada
urusan apa kau menerjang masuk ke dalam kamarku
ditengah malam buta begini macam seekor kuda liar?�

�Menurutmu?�

�Tidak perlu ditebak lagi, siapa sih yang bisa menebak


cara kerja serta sepak terjangmu!�

�Sebenarnya aku ingin mengucapkan beberapa


patah kata yang enak didengar, tapi kau pasti tidak
akan percaya.�

�Belum tentu,� sahut Aci sambil meneguk araknya,


�Aku tidak pernah melarang orang lain mengucapkan
kata-kata pujian padaku!�

�Terus terang aku takut kau mati secara mendadak!�


kata Cong Hoa dengan wajah serius.

Begitu mendengar perkataan itu, Aci pun balas


memandangnya dengan serius, lewat berapa saat
kemudian dia baru menghela napas panjang.

�Apakah siang tadi aku sudah salah menghitung


uang rekeningmu?�

�Tidak, malah untung aku!�


�Jadi aku telah menyalahimu?

�Mana mungkin?

�Atau temanmu kurang senang terhadapku?

�Tidak ada!

�Kalau tidak ada urusan, kenapa kau malah

menyumpahi aku cepat mati?�


Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi
wajahnya, lewat sesaat kemudian ia baru mengambil
cawan araknya, menghirup setegukan kemudian baru
berbisik, �Cepat beritahu urusan mengenai Tu Thian,
sebetulnya waktu itu kehendakmu sendiri atau ada
orang menyuruh kau berbuat begitu?�
�Tu Thian? Kau maksudkan si pelit?� tanya Aci tak

habis mengerti.
�Benar!�
�Tentu saja maksudku, juga maksud semua orang.�
�Apa artinya?�
�Dia kelewat pelit, kelewat itungan, setiap orang yang

pernah dirugikan selalu ingin mengerjai dirinya.�


�Benarkah begitu?�
�Kelihatannya kau seperti tak percaya?�
�Aku hanya curiga, curiga ada orang minta
bantuanmu untuk mengerjai aku.�

�Mengerjaimu?� Aci tertawa terbahak-bahak, �Yaa,


memang ada satu orang.�

�Siapa?� berbinar sepasang mata Cong Hoa.

�Belum lahir,� jawab Aci cepat, �Asal dia adalah


manusia hidup, tidak seorang pun berani mengerjai
dirimu.�

Kelihatannya cara inipun tidak berjalan lancar, Cong


Hoa merasa sedikit kecewa bercampur sedih. Tapi ada
satu hal yang membuatnya sedikit terhibur, merasa agak
lega, ternyata Aci bukan �umpan� seperti apa yang
semula dibayangkan.

Persahabatan tidak pernah dinilai dari kaya miskin


terhormat tidaknya seseorang, juga bukan dinilai dari
tinggi rendahnya jabatan serta status sosial seseorang.

Teman tetap teman.

Teman adalah mereka yang bisa mendatangkan


kehangatan setiap kali kau terbayang akan dirinya
ditengah bekunya cuaca.

Dalam hati kecil Cong Hoa pun lamat-lamat terasa


munculnya secerca perasaan hangat.

Betapa pun tebalnya bunga salju yang beterbangan


ditengah jalan, betapa pun kencangnya angin dingin
yang berhembus lewat, betapa dinginnya hawa beku
yang merasuk ke tulang sumsum melalui lapisan
pakaiannya, namun Cong Hoa tidak merasa kedinginan.

Baru saja nyaris dia �kehilangan� seorang sahabat,


kehilangan sahabat yang mana pun merupakan
kejadian yang sangat tidak diharapkan Cong Hoa.

Bunga salju yang tertimpa cahaya bintang


membiaskan sinar putih keperak perakan, begitu putih
sehingga mirip buih ombak yang memecah ditepian.

Segumpal salju jatuh diatas kepala Cong Hoa,

melayang lewat diujung hidungnya, perlahan ia


membersihkan bunga salju itu, seakan dia sedang
membersihkan debu yang mengotori dedaunan.
BAB 9.
Ikan dalam jala.

Bintang sudah makin memudar, malam sudah


mencapai pada ujungnya.

Dari balik kegelapan malam yang masih menyelimuti


angkasa, secerca cahaya merah tampak bersinar dari
ufuk timur.

Sinar fajar memang selalu mendatangkan cahaya,


kegembiraan dan pengharapan bagi umat manusia.
Tapi yang dibawa Lu Siok-bun hanya kesedihan,
hanya duka dan nestapa.

�Kembali fajar telah menyingsing,� gumam Lu Siokbun


sambil duduk di pembaringan dan mengawasi
malam hari yang segera berakhir, �langit pasti akan
terang benderang!�

Langit tentu saja akan terang benderang, sama


seperti manusia tetap akan mati juga.

... Bila perjalanan hidup manusia hanya singkat, jadi


orang buat apa berpikiran sempit dan berhati picik?

Ketika angin berhembus lewat, embun pagi baru saja


melayang naik dari balik kegelapan malam, membasahi
pepohonan bunga bwee.

Kini bintang telah lenyap di balik kabut.

Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tiga. Sebuah


hari yang amat sederhana.

Namun bagi Lu Siok-bun, tanggal itu merupakan


tanggal yang paling menyakitkan hatinya, membuat dia
pedih, membuat dia selalu tenggelam dalam kenangan.

Dua puluh tahun sudah lewat.

Hari ini pada dua puluh tahun berselang, didalam


sebuah hutan bunga bwee yang persis seperti hutan
ditempat ini, dalam sebuah rumah kayu yang tidak
beda dengan rumah sekarang, dia dan dia telah
menanamkan kenangan, sebuah kenangan yang
penuh kegembiraan, sebuah kenangan yang penuh
penderitaan.

Hari sudah terang tanah, minyak lentera sudah


mengering, asap hijau yang membumbung tinggi tak
ubahnya seperti embun dipagi hari.

Lu Siok-bun sudah semalaman suntuk duduk terpekur


ditempat itu.

Semalam tanpa tidur sudah cukup membuat badan


jadi kurus, apalagi ditambah kenangan pahit yang
sangat membekas dalam hatinya, bagaimana mungkin
tidak membuatnya lesu dan layu?

�Cinta� terkadang membuat orang terbuai, membuat


orang mabuk, tapi terkadang mendatangkan juga
perasaan sedih yang menyayat.

Bagaimana pula rasanya �cinta yang tidak


kesampaian�?

Mungkin hanya orang yang pernah merasakan,


pernah mengalaminya, baru bisa memahami
bagaimanakah rasanya waktu itu.

Bunga bwee ditengah kabut pagi nampak jauh lebih


dingin, menambah kemurungan, menambah
kemasgulan.

Apakah bunga bwee di sana sama dinginnya? Sama


menambah kemurungan dan kemasgulan?
Apakah orang yang ada disana sama seperti orang
yang ada disini, dipenuhi kenangan, dipenuhi perasaan
rindu yang meluap?

Siapa bilang tidak ada setan di dunia ini? Siapa


bilang?

Didalam hutan di belakang pepohonan tampak


kabut tebal menyelimuti permukaan bumi, ada manusia
dibalik kabut, orang itu berada didalam hutan bunga
bwee.

Bayangan yang sedang melayang ditengah kabut,


apakah sukma gentayangan yang untuk memasuki
pintu neraka pun ditolak?

Tubuh Nyoo Cing seakan telah menyatu dengan


kabut dingin yang menyelimuti permukaan bumi,
mulutnya serasa terbenam dalam kabut, hidungpun
terbenam didalam kabut.

Yang tersisa saat itu hanya sepasang matanya yang


memancarkan sinar tajam.

Cahaya dibalik matanya sudah tidak secerah tadi,


kini sinar matanya dibalut dalam kepedihan dan
kesedihan.

Sekarang matanya sedang menyapu perlahan


sekeliling tempat itu, setiap pohon bunga bwee, setiap
jengkal tanah, tidak satupun yang dilewatkan.
Menyusul kemudian secerca senyuman lega
terpancar dari balik matanya.

Bunga bwee masih mekar menyambut datangnya


sinar fajar, rumah kayu kecil masih berdiri kokoh diatas
permukaan bumi.

Pemandangan masih sama seperti dulu, tapi


bagaimana dengan manusianya?

Nuyoocing nyaris sudah menelusuri setiap jengkal


tanah disekitar sana, sudah menginjak setiap kuntum
bunga bwee yang ada dalam hutan itu.

Setiap pohon, setiap jengkal tanah yang ada disana


telah mendatangkan kenangan yang tak sanggup
dihadapinya, kenangan masa lalu yang sangat
memabukkan.

Embun pagi telah membasahi bajunya, setiap ayunan


langkahnya segera menimbulkan suara mencicit dari
sepatu yang dia kenakan, alas sepatu telah basah oleh
embun pagi.

Hari ini, hari ini pada dua puluh tahun berselang, untuk
pertama kalinya dia mengajak Lu Siok-bun mendatangi
tempat ini.

Pada malam itulah dia telah menanamkan bibit


cintanya dalam rahim sang kekasih.

Pada hari itu juga, untuk pertama kalinya dia


mengeluarkan senjata kait perpisahan andalannya.
Nyoo Cing membongkar sekeping papan dari
permukaan tanah, dari lubang dibawah papan itu
mengeluarkan sebuah peti besi yang mulai berkarat.

Ternyata didalam peti besi itu tersedia korek api.

Ketika Nyoo Cing menyulut obor, Lu Siok-bun pun


menyaksikan sebuah senjata yang belum pernah
dijumpai sebelumnya.

Dibawah cahaya api, didalam peti besi itu tersimpan


sebilah senjata yang sangat aneh bentuknya,
membiaskan cahaya dingin yang amat tajam,

membuat alis mata Lu Siok-bun segera berkerut.


�Benda apakah itu?� tidak tahan dia bertanya
dengan tubuh gemetar.
�Sebilah senjata, senjata yang pernah digunakan
ayahku semasa hidupnya,� Nyoo Cing menjelaskan
dengan wajah sedih, �Inilah satu satunya barang yang
diwariskan ayah kepadaku, tapi berulang kali dia orang
tua berpesan, kalau bukan mengancam jiwamu, jangan
sekali kali kau gunakannya bahkan menyinggung nama
senjata inipun jangan.�

�Sudah banyak orang persilatan yang kujumpai,


pelbagai jenis senjata tajam telah kusaksikan,� kata Lu
Siok-bun, �Tapi belum pernah kusaksikan bentuk senjata
seaneh ini.�
�Tentu saja kau tidak pernah menjumpainya, sebab
senjata langka semacam ini tiada duanya dikolong
langit.�

�Sebenarnya senjata ini sebilah pedang atau senjata


kaitan?�

�Sebetulnya sebilah pedang, tapi ayahku telah


memberikan sebuah nama istimewa padanya, senjata
ini disebut Kait perpisahan.�

�Kalau memang sebuah kaitan, seharusnya senjata itu


disebut kaitan, kenapa harus ditambahi dengan kata
perpisahan?�

�Sebab bagian tubuh manapun yang terkena kaitan,


bagian itu pasti akan menimbulkan perpisahan,� ucap
Nyoo Cing sambil mengamati senjatanya, �Bila dia
mengait tanganmu maka tanganmu akan
mengucapkan selamat berpisah, bila kakimu yang
digaet maka kakimu akan menyampaikan salam
perpisahan.�

�Bila tenggorokanku yang terkait, apakah aku akan


mengucapkan salam perpisahan dengan dunia ini?�

�Benar.�

�Mengapa kau harus menggunakan senjata yang


begitu kejam, begitu sadis?�
�Karena aku tidak ingin berpisah,� Nyoo Cing
menatap wajah Lu Siok-bun lekat lekat, �Aku tidak ingin
berpisah denganmu.�

Nada ucapannya mengandung semacam perasaan


lembut yang nyaris mendekati penderitaan.

�Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena


aku ingin selalu berkumpul denganmu, sepanjang hidup
sepanjang masa selalu berkumpul denganmu,
selamanya tidak akan berpisah lagi.�

�Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena


aku ingin selalu berkumpul denganmu,� kata-kata inilah
yang selama dua puluh tahun selalu melekat dalam
benak Lu Siok-bun.

Dia sudah menyimpan selama dua puluh tahun


dalam hatinya.

Dua puluh tahun berselang, ketika dia pergi


membawa kait perpisahan, tidak sepatah kata pun
yang dia katakan, dia lebih suka seorang diri tetap
tinggal ditempat itu, menantinya kembali dalam
keadaan putus asa, daripada memaksanya untuk tetap
tinggal disitu.

Sebab dia tahu, dia harus melakukan tugasnya,


melakukan kewajibannya, jika dia tetap tidak
mengijinkannya pergi maka dia pasti akan tersiksa
sepanjang masa, menderita dan menyesal sepanjang
hidup. Dia lebih rela dirinya yang merasakan
penderitaan ini daripada mencegah lelakinya
melakukan pekerjaan yang dia anggap harus
dikerjakan.

... Dibutuhkan berapa besar keberanian bagi seorang


wanita untuk melakukan hal tersebut?

Hari ini, walaupun tidak ada cahaya matahari, salju


pun belum turun, suhu udara terasa sedikit lebih hangat.

Lu Siok-bun mendongakkan kepalanya memandang


cuaca, sinar fajar telah menyelimuti seluruh bumi.

Dia menghela napas panjang, baru saja akan turun


dari ranjang, mendadak teringat olehnya, diwaktu biasa
pada saat seperti ini Lan It-ceng selalu berada di hutan
bunga bwee sambil merawat bunga, mengapa sampai
saat ini belum nampak juga dia munculkan diri? Apakah
semalam dia tidur agak larut sehingga pagi ini tidak
dapat bangun?

Atau dia sakit?

Dengan perasaan sangsi Lu Siok-bun turun dari


ranjangnya, mengenakan mantel dan keluar dari pintu
kamarnya.

�Lan toako!�

Tiada jawaban, di ruang tamu pun tidak nampak Lan


It-ceng.
Dia berjalan menuju ke depan pintu lalu perlahanlahan
mengetuk pintu kamarnya.

Suasana didalam kamar sangat hening, sekali lagi Lu


Siok-bun mengetuk, kali ini dia mengetuk lebih keras.

Tetap tiada jawaban, suasana tetap hening.

Dia membuka pintu kamar lalu melongok ke dalam.

Seprei pembaringan masih tertata rapi, seakan tidak


pernah digunakan semalam, atau malam tadi dia tidak
tidur? Apakah dia terjaga sepanjang malam?

Lu Siok-bun masuk ke dalam kamar, celingukan


kesana kemari, tapi makin memandang keningnya
makin berkerut.

Gejala semacam ini belum pernah dijumpai


sebelumnya, selama dua puluh tahun Lan It-ceng
merawat dan menjaganya, belum pernah sekalipun dia
melakukan tindakan yang membuatnya merasa kuatir.

Ke mana dia pergi? Sepagi ini kenapa sudah tak


nampak batang hidungnya?

Baru saja akan beranjak keluar, menda-dak Lu Siokbun


menemukan sepucuk surat, sepucuk surat yang
ditujukan kepadanya.

Membaca isi surat itu Lu Siok-bun merasakan matanya


mulai basah, lelehan air mata tak terbendung lagi, dari
ujung matanya mengalir turun ke bawah.
�Dua puluh tahun pun sudah terlewatkan, mengapa
kau tidak menggubris aku hanya untuk dua tahun yang
terakhir?� gumam perempuan itu, �Lan toako, buat apa
kau harus mengingkari janjimu?�

Nyoo Cing perlahan-lahan berjalan keluar dari hutan.

Mengunjungi kembali tempat lama, tiada perubahan


yang terpancar dari balik wajahnya.

Kendatipun dalam hati dia merasa amat sedih, amat


pedih dan sangat menderita, namun dia tak akan
memperlihatkan diatas wajahnya.

Siapa pun itu orangnya, bila dia pernah merasakan


penderitaan dan siksaan seperti apa yang dialaminya,
sudah pasti mereka pun akan belajar bagaimana
menyembunyikan perasaan didalam hati.

Pelbagai perasaan disembunyikan di dalam hati.

Tapi sayang perasaan sama seperti arak, semakin


dalam kau simpan dia, semakin lama kau simpan dia
maka dia akan berubah lebih kental, berubah lebih
keras.

Dia berjalan sangat lamban, sudah tiga kali dia


mengelilingi tempat itu.

Angin masih berhembus, udara terasa sangat dingin,


sedingin mata pisau, mata pisau yang sedang menyayat
kulit wajahnya.
Perlahan dia menembusi hutan bunga bwee, diamdiam
menghitung kuntum bunga yang mekar sepanjang
ranting.

Berapa banyak kuncup bunga yang telah mekar?


Berapa kuncup yang belum mekar? Dia mengetahui
dengan sangat jelas.

Dia menghentikan langkah kakinya sambil mengawasi


sekuncup bunga bwee, didalam kelopak bunganya
masih tersisa air embun kemarin malam.

Butiran embun yang bening, sebening biji mata �nya�,


setegas sorot matanya.

... Bila saat ini usiaku sepuluh tahun lebih muda, aku
pasti akan berkata begini, pasti akan kuusahakan
dengan pelbagai cara untuk menahanmu, minta
kepadamu untuk membuang jauh jauh semua
persoalan, tinggal bersamaku disini dan hidup
berbareng hingga akhir jaman.

Perkataan itulah yang ia dengar sebagai


perkataannya yang terakhir.

Waktu itu, seandainya dia benar-benar berbuat


demikian, perasaan hati Nyoo Cing mungkin malah jauh
lebih lega, tapi dia begitu dingin, dia begitu tenang.

... berapa besar pengorbanan yang harus dilakukan


seseorang untuk memperoleh ketenangan dan sikap
sedingin itu?
Perasaan hati Nyoo Cing sedang sakit, namun tiada
pancaran perasaan diatas wajah.

Selama dua puluh tahun dia telah berusaha dengan


sepenuh tenaga, mencari dengan pelbagai cara, tapi
tetap gagal untuk menemukan jejak Lu Siok-bun.

Sejak perempuan itu diculik perkumpulan naga hijau,


dia seolah hilang lenyap tidak berbekas, sejak itu dia
tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya.

Masih hidupkah Lu Siok-bun? Atau dia sudah mati?


Persoalan inilah yang amat merisaukan perasaan hati
Nyoo Cing.

Berapa hari berselang, Ti Cing-ling telah muncul


secara tiba-tiba bukan saja membawa kabar berita
tentang dirinya, juga mengajak serta satu satunya putri
Nyoo Cing... Hoa U-gi.

Lu Siok-bun kawin lagi dengan Hoa Ciok, dia pasti


berbuat demikian karena suatu alasan yang sulit
dijelaskan.

Dia dapat memahami perasaan hatinya, dia pun


mau memahami situasi yang sedang dihadapinya,
kendatipun hingga kini belum sempat bersua, asal sudah
memperoleh berita mengenainya, dia sudah merasa
lebih dari cukup.

Nyoo Cing menghela napas panjang, dia melangkah


masuk ke dalam rumah kayunya, menyusul kemudian
dia menjumpai seseorang yang membuatnya terkesiap,
membuat hatinya amat gembira.

Orang itu duduk di bangku depan meja, dia


mengenakan jubah panjang berwarna biru, baju bagian
lengan kirinya nampak kosong melompong.

Waktu itu dia sedang mengawasi Nyoo Cing yang


berdiri didepan pintu dengan pandangan tidak
berkedip.

Nyoo Cing balas menatapnya, memandang tanpa


bicara.

Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Nyoo Cing


berkata, �Aku masih ingat, kau pun pernah berjanji akan
menantiku disini?�

�Benar.�

�Sungguh tidak kusangka, janji ini baru bisa terpenuhi


setelah dua puluh tahun kemudian.�

�Akupun tidak menyangka!�

�Sahabat lama kembali berjumpa, perjumpaan ini


tidak boleh tidak ada arak!�

�Aku membawa arak!�

Orang berlengan tunggal itu mengeluarkan sebotol


arak kemudian meneguknya satu tegukan, setelah itu
dia baru melemparkan botol araknya ke tangan Nyoo
Cing.
Nyoo Cing tidak banyak bicara, dia sambut botol itu,
meneguk isinya kemudian baru menyapa, �Dua puluh
tahun tidak berjumpa, apakah penghidupanmu cukup
baik?�

�Baik sekali, akupun sudah terbiasa hidup dengan


tangan sebelah.�

Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi lengannya


yang kutung, lengan itu kutung karena terbabat oleh
kait perpisahan, senjata andalannya.

Tentu saja orang berlengan buntung itu tidak lain


adalah Lan It-ceng.

Dengan amat seksama Lan It-ceng mengawasi Nyoo


Cing, mengamatinya dari ujung kepala hingga ke ujung
kaki.

Dua puluh tahun sudah lewat, ada berapa banyak


dua puluh tahun dalam kehidupan manusia?

Usia tidak meninggalkan bekas diwajah Nyoo Cing,


yang ada hanya telah terhapusnya sikap angkuh dan
jumawa yang pernah dimilikinya.

Nyoo Cing menatap pula Lan It-ceng lekat lekat, dia


merasa jagoan pedang yang disebut orang sebagai sin-
wan-sin-kiam (pedang mata sakti) Lan toa sianseng ini
sudah tidak kegagah dan kekeren dulu.

Sekarang dia ibarat seekor singa ompong yang hanya


bisa mendekam diatas bukit sambil menyaksikan kelinci
liar berlarian dihadapannya, mau menerkam sayang
sudah tidak punya tenaga.

Jalannya usia telah meninggalkan bekas yang amat


mendalam ditubuhnya.

Walaupun saat itu matahari sudah berada diatas


angkasa, namun cuaca serasa kelam, seakan selapis
kabut abu abu menyelimuti seluruh permukaan bumi.

Kedua orang itu berdiri saling berhadapan bagaikan


patung arca, lama, lama sekali, akhirnya Lan It-ceng
baru berkata, �Dulu kau hanya seorang opas desa yang
tidak punya nama, tapi sekarang kau sudah menjadi
seorang raja muda, seorang pembesar yang
berkedudukan tinggi.�

�Kau keliru, aku masih tetap Nyoo Cing yang dulu!�

�Tapi sayang aku sudah bukan Lan It-ceng yang


dulu.�

�Kau tetap Lan It-ceng yang dulu, berjalannya usia


telah menyelimuti cahaya diwajahmu tapi tidak
menutupi kegagahanmu, bila perlu, kau pasti bisa
bangkit kembali seperti yang dahulu.�

�Sungguh?� berbinar sepasang mata Lan It-ceng.

�Kapan aku pernah berbohong kepadamu?�

�Sekarang, saat ini kau sedang berbohong, sekarang


kau sedang berpura-pura!�
Nyoo Cing tidak menanggapi, dia hanya mengawasi
Lan It-ceng tanpa menjawab.

�Bukankah kau sangat ingin mengetahui kabar


beritanya?� seru Lan It-ceng agak emosi, �Bukankah kau
ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang?
Mengapa kau tidak bertanya?�

Nyoo Cing tahu siapakah �dia� yang dimaksud,


sahutnya tetap tenang, �Aku sangat memahaminya.�

�Memahaminya?� Lan It-ceng tertawa dingin,


�penderitaan selama dua puluh tahun hanya ditukar
dengan kata memahami?�

Nyoo Cing tidak menjawab, padahal dalam dua


puluh tahun terakhir dia sendiripun hidup dalam
penderitaan, apa pula yang dia peroleh?

...Kata-kata yang menyakitkan hati mengapa selalu


mendatangkan perasaan kecut? Mengapa membuat
jantung orang berdebar keras?

Nyoo Cing mengambil cawannya, meneguk habis isi


cawannya kemudian baru berkata, �Kau bilang akan
menungguku disini, tapi ketika aku kembali, bukan saja
tidak menjumpai kau, bahkan Lu Siok-bun pun ikut
lenyap...� ditatapnya wajah rekannya lekat lekat,
�Pernahkah aku bertanya kepadamu apa yang telah
terjadi? Pernahkah aku mencurigaimu?�

�Tidak pernah.�
�Tahukah kau mengapa? Sebab aku percaya
kepadamu, seperti aku memahami perasaan Lu Siokbun.�

Lan It-ceng membungkam, apa yang diucapkan


rekannya memang satu kenyataan, ucapan sejujurnya
yang muncul dari sanubari.

�Kau tidak menungguku disini, diapun lenyap tidak


berbekas, dua kejadian yang cukup membuatku sewot,
naik darah dan marah marah, tapi kenyataannya aku
tidak berbuat begitu, tahukah kau mengapa? Karena
kau adalah sahabatku.�

Kata �sahabat� kedengaran begitu lembut, begitu


hangat, begitu menawan tapi juga begitu menakutkan.

Sahabat tidak bedanya dengan arak, dapat


membuat orang mabuk, dapat membuat orang pikun,
dapat membuat orang melakukan kesalahan.

Walaupun sahabat adalah �orang dekat� mu, tapi


sebagian besar merupakan juga �musuh� mu, kalau
bukan sahabatmu, dari-mana dia bisa mengetahui
�segala sesuatu� tentang dirimu?

Tapi dalam dunia dewasa ini jarang sekali ada


sahabat yang benar benar mau sehidup semati
denganmu.

Suami istri saja jarang yang mau sehidup semati,


apalagi teman?
Walaupun dari dulu hingga sekarang amat jarang
ada teman yang benar benar mau sehidup semati
bukan berarti teman semacam ini sama sekali tidak ada.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal, yang bisa
membuat kau �sedih�, �menderita� dan �menyesal�
biasanya hanya �sahabat�.

Lan It-ceng tertawa, ketika Nyoo Cing mulai


mengucapkan kata �kau adalah sahabatku�, dia mulai
tertawa, mengawasi Nyoo Cing sambil tertawa.

�Jadi kau menegur aku karena tidak menjalankan


kewajiban sebagai seorang sahabat, menyalahkan
aku karena tidak sepenuh tenaga melindungi Lu Siokbun?
Terlebih menyalahkan dia karena pergi
meninggalkan tempat ini dengan begitu saja?�

�Cuaca saja gampang berubah, bunga gampang


gugur, pohon gampang mengering, apalagi manusia?�

�Tahukah kau sepeninggalmu dari sini, apa yang telah


terjadi ditempat ini?�

�Mungkin sedikit yang kuketahui.�

�Mungkin sedikit? Seberapa sedikitnya?�

�Sepeninggalku dari situ, meski orang-orang


perkumpulan naga hijau datang membuat onar dan
mungkin saja kalian sempat bertarung, tapi mengapa
kalian tidak mencoba untuk kabur? Memangnya secara
tiba-tiba kalian lupa kalau bisa menggunakan kaki untuk
kabur?�

�Aaai...! � Lan It-ceng menghela napas panjang,


�kalau sudah tahu siapa yang muncul waktu itu,
mungkin sekarang kau akan bersyukur karena kami
masih tetap hidup.�

�Oya?�

�Tidak usah menyebut yang lain, cukup menyinggung


salah satu diantaranya saja sudah cukup membuat hati
orang bergidik.�

�Siapa?�

�Seng Sam!�

Begitu mendengar nama tersebut, mendadak Nyoo


Cing memperlihatkan semacam sikap yang sangat
aneh.

Seng Sam mungkin saja bukan bermarga Seng dan


tidak menempati urutan ketiga, orang lain menyebutnya
Seng Sam lantaran orang yang pernah dia �permak�
biasanya hanya ada �tiga� hal yang bisa �tersisa�.

Ketiga hal yang mana?

Orang yang sudah dia �permak� biasanya akan


berada dalam kondisi.... kehilangan nyawa, rambutnya
rontok semua, matanya dicongkel keluar, hidung lidah
telinga nya dipotong orang, gigi dan kuku sudah
dicabut keluar, kulit sudah dikelupas, anggota badan
dikutungi bahkan tulang belulang pun dipukul hingga
hancur.

Lalu tiga hal apa pula yang tersisa dari manusia


macam begini?

Biasanya tidak pasti, bagian mana yang ingin


disisakan Seng Sam maka bagian itulah yang akan
disisakan.

Selesai �permak� seseorang, biasanya dia akan


meninggalkan tiga jenis barang untuk orang itu.

�Aku ini penuh welas kasih,� seringkali Seng Sam


berkata demikian kepada orang lain, �Aku sangat
perasa dan tahu penderitaan orang, maka aku paling
tidak suka melakukan pembantaian hingga seakar
akarnya.�

Malah dia sering berkata begini, �Apa pun yang


kulakukan, aku selalu akan menyisakan sedikit untuk
orang lain, malah terkadang yang kutinggalkan bukan
Cuma tiga macam benda.�

Suatu kali dia memang meninggalkan lebih dari tiga


macam benda untuk orang yang baru �dipermak� nya
yaitu selembar rambut kepala, sebiji gigi, sebiji kuku dan
sebuah lubang dari hidung.

�Seng Sam?� dengan perasaan terperanjat Nyoo


Cing berseru, �sungguh tidak kusangka perkumpulan
naga hijau berhasil mengundangnya.�
�Bukan mengundangnya, tapi dia memang anggota
perkumpulan naga hijau,� Lan It-ceng menerangkan,
�bahkan dia adalah Tongcu dari Jit-gwee-tong (ruang
bulan ke tujuh) dari Cing-liong-hwee.�

�Tampaknya perkumpulan naga hijau benar benar


merupakan sarang naga gua harimau,� keluh Nyoo
Cing.

�Sebetulnya aku adalah seekor naga, tapi dalam


perkumpulan naga hijau aku tidak lebih hanya
dianggap sebagai seekor tikus,� mendadak terdengar
seseorang berkata.

Suara itu berasal dari luar pintu.

Suara itu selain tinggi melengking, bahkan sangat tak


enak didengar, seperti suara tikus yang keinjak ekornya.

Ketika Nyoo Cing berpaling, seseorang telah berdiri di


depan pintu.

Orang itu tampak seperti seorang yang ramah dan


saleh, wajahnya bundar, waktu tertawa matanya hanya
kelihatan bagaikan sebuah garis.

Sekarang dia sedang tertawa, sepasang matanya


kelihatan merapat bagai sebuah garis, garis panjang itu
sedang memandang ke arah Lan It-ceng.

Mendengar suara orang itu, paras muka Lan It-ceng


seketika berubah hebat, begitu bertemu orangnya, dia
seakan membeku karena tercebur ke dalam kubang
salju, bukan Cuma putih memucat bahkan mulai
gemetar.

Menjumpai orang itu, Nyoo Cing pun ikut tertawa,


sepasang matanya seakan membentuk sebuah garis
panjang juga.

�Kenapa orang lain menyebutmu sebagai seorang


ahli permak?� tegur Nyoo Cing kemudian. �Karena aku
memang tukang permak.�

�Kau pandai permak apa?�

�Manusia!�

�Manusia juga perlu dipermak?�

�Tentu saja, justru benda yang paling perlu dipermak


di dalam dunia ini adalah manusia!�

�Betul juga perkataanmu itu,� ternyata Nyoo Cing


setuju dengan pendapatnya, �Tempat sampah perlu
dibersihkan, tahi juga perlu dibersihkan, kalau semua
tidak disapu bersih, bagaimana mungkin dunia ini bisa
bersih dari segala yang berbau, tapi memang manusia
yang perlu dikerjakan nomor satu, sebab ada sementara
orang bila tidak segera dibersihkan, kujamin dunia ini
pasti akan bertambah bau, bukan begitu Seng Sam
sianseng?�

�Tepat sekali,� jawab Seng Sam, �Tapi siapa yang kau


maksud?�
�Yang kumaksud adalah mereka yang telah
melanggar hukum tapi tidak mau mengakui
kesalahannya, mereka yang berhati busuk, pinginnya
membongkar rahasia orang lain, serta mereka yang jelas
harus dihukum seberat beratnya tapi masih saja dapat
keluyuran secara bebas.�

�Manusia macam begitu memang patut dibersihkan,�


agak berubah wajah Seng Sam, �Tapi ada semacam
orang yang terlebih harus dibereskan lebih dulu.�

�Manusia macam apa?'

�Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan,


mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain?�

Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat


semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa
dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut
ruangan.

�Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama


disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak? Siapa
yang akan kau bereskan?� tanya Nyoo Cing.

�Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau


ditambah seorang lagi pun tidak masalah.�

�Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus


dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus
dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan
pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah.�
�Tepat sekali!�

�Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan


kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa
membereskan kami berdua?�

Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak


menjawab.

Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan


kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan
senyuman dari Seng Sam tadi.

Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun


mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu
singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu
sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap.

�Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan,


mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain?�

Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat


semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa
dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut
ruangan.

�Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama


disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak? Siapa
yang akan kau bereskan?� tanya Nyoo Cing.

�Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau


ditambah seorang lagi pun tidak masalah.�
�Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus
dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus
dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan
pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah.�

�Tepat sekali!�

�Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan


kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa
membereskan kami berdua?�

Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak


menjawab.

Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan


kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan
senyuman dari Seng Sam tadi.

Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun


mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu
singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu
sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap.

Nyoo Cing juga sedang mengawasi ke delapan


sembilan orang lelaki setengah baya itu, dia mengawasi
mereka dengan seksama, mengawasi setiap bagian
tubuh mereka dengan teliti, seakan seorang lelaki
hidung bangor yang sedang mengawasi seorang gadis
perawan yang sedang bertelanjang bulat.

Sejak Seng Sam muncul disitu sampai rumah kayu itu


dibongkar orang, Lan It-ceng hanya duduk tenang
ditempat semula tanpa melakukan suatu gerakan pun,
dia hanya mengawasi gerak-gerik orang-orang itu tanpa
komentar.

Apapun yang dilakukan orang-orang itu, Lan It-ceng


merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, peluh
dingin jatuh bercucuran membasahi tubuhnya, bahkan
sekarang, setiap jengkal otot dan daging tubuhnya
mulai menyusut, termasuk pantatnya pun mulai
mengejang keras.

Namun bila kau perhatikan mimik mukanya, dia


seakan tidak menunjukkan perubahan perasaan apa
pun.

Terhadap cara kerja dan sikap yang diperlihatkan


anak buahnya, Seng Sam merasa sangat puas.

Dia senang melakukan pekerjaan semacam ini, tapi


dia tidak senang menjumpai kejadian diluar dugaan, kini
jumlah anak buahnya sudah tidak banyak, dia berharap
mereka masih bisa hidup hingga usia delapan puluh
tahun.

Kendatipun situasi saat ini sudah berada dalam


kendalinya, akan tetapi dia tetap tidak ingin melakukan
sedikit kesalahan pun, bagi mereka yang melakukan
pekerjaaan semacam ini, kesalahan sedikitpun berarti
akan mendatangkan bencana kematian.

Oleh sebab itu dia ingin mengajukan pertanyaan


terlebih dulu, mencari keterangan sejelas jelasnya
sebelum bertindak lebih jauh, tentu saja yang menjadi
sasaran pertanyaan adalah Nyoo Cing.

�Benarkah sahabatmu bernama Lan It-ceng?�

�Benar!�

�Jadi kau adalah Nyoo Cing?�

�Benar.�

�Putra dari Nyoo Heng?�

�Rasanya begitu.�

�Tidak bakal salah?�

�Rasanya tidak.�

�Kalau begitu tampaknya aku tidak salah masuk dan


tidak salah mencari orang,� Seng Sam menghembuskan
napas panjang.

�Kau memang tidak keliru,� Nyoo Cing turut menghela


napas, �Kau tidak salah tempat, juga tidak salah orang,
tapi kau telah melakukan satu kesalahan.�

�Kesalahan apa?�

�Kau tidak seharusnya membongkar rumah kayu ini.�

Begitu dia selesai bicara, tidak menunggu Seng Sam


memahami maksud ucapannya, dia sudah mulai
melakukan tindakan.
Serangan yang dilancarkan Nyoo Cing bukan
ditujukan ke arah Seng Sam, juga bukan terhadap ke
delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu, tinju
nya langsung disodokkan ke tubuh Lan It-ceng.

Mengapa dia malah menyerang Lan It-ceng?

Tindakan diluar dugaan yang dilakukan Nyoo Cing ini


seketika membuat Seng Sam serta anak buahnya
melengak, tidak habis mengerti, dengan wajah melongo
mereka saksikan kepalan dari Nyoo Cing menghajar
perut Lan It-ceng.

Pukulan itu sangat kuat. Bukan saja Lan It-ceng dibuat


melengak, dia bahkan terperanjat dan melongo. Dia
benar benar tidak habis mengerti, mengapa Nyoo Cing
malah menghajarnya?

Dalam keadaan begini dia hanya bisa mengawasi


pukulan itu bersarang telak diatas perutnya... sebuah
pukulan yang amat bertenaga.

Ketika melayangkan pukulannya itu, gaya Nyoo Cing


tak ubahnya seperti seorang jagal yang sedang
mengayunkan goloknya.

Sedemikian keras pukulan itu, mungkin termasuk


pukulan paling bertenaga yang pernah dilancarkan
Nyoo Cing sepanjang hidupnya.

Dia harus memukul dengan sepenuh tenaga, bila


kekuatannya berkurang sedikit saja maka
pengharapannya tak akan tercapai.
Apa pengharapannya dengan pukulan itu?

Tatkala tenaga pukulan Nyoo Cing yang sangat kuat


itu hampir menghantam perut Lan It-ceng, mendadak
tenaga serangannya yang keras berubah jadi lunak,
jotosan berubah jadi dorongan.

Rupanya dia sedang melontarkan tubuh Lan It-ceng


dengan sekuat tenaga, melemparnya keluar dari
kepungan, melemparnya ke dalam hutan bunga bwee.

Tubuh Lan It-ceng bagaikan sebuah batu kerikil yang


dilempar ke tengah udara, langsung meluncur ke dalam
hutan lebat itu.

Menanti Seng Sam sadar akan apa yang telah terjadi,


bayangan tubuh Lan It-ceng sudah lenyap dibalik
pepohonan yang lebat.

Terdengar Nyoo Cing berkata sambil tertawa,


�Sekarang, kau pasti sudah tahu bukan dimana letak
kesalahanmu?�

Paras muka Seng Sam saat ini persis seperti seseorang


yang mulutnya sekaligus dijejali tiga butir telur ayam.

Ke delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu


tetap berdiri ditempat, sebelum ada perintah dari Seng
Sam, mereka tak bakalan melakukan suatu gerakan.

Perlahan lahan Nyoo Cing duduk kembali, mengambil


cawan araknya dan seteguk demi seteguk menikmati
isinya.
�Sewaktu kau munculkan diri tadi, aku masih kuatir
dengan cara apa bisa menghantar Lan It-ceng keluar
dari tempat ini, sungguh tidak disangka rekan rekanmu
itu telah membantu aku,� kata Nyoo Cing sambil
tertawa, �Hal ini menjadi pelajaran bagimu bahwa
segala kejadian pasti ada sisi untungnya diluar sisi rugi.�

Angin dingin berhembus lewat membawa udara


yang sangat dingin, tapi seakan membawa pula keluh
kesah yang datang dari utara.

Lamat-lamat dari balik hutan pohon bwee itu seakan


terdengar juga suara jeritan ngeri yang memilukan hati.

Dalam situasi dan kondisi tertentu, reaksi yang


ditunjukkan setiap orang ketika mendengar suatu suara
selalu berbeda-beda.

Bila kau sedang berjalan seorang diri disebuah lorong


sempit ditengah malam buta, bila scara tiba-tiba
mendengar suara rintihan, apa reaksimu waktu itu?

Ada orang akan tercengang, ada orang


terperangah, ada orang ingin tahu, ada orang tidak
acuh bahkan ada orang merasa gembira atau bahkan
menangis.

Tapi terlepas bagaimana reaksi dan perubahan mimik


wajah orang-orang itu, yang pasti tidak akan seperti
reaksi yang ditunjukkan Nyoo Cing saat ini.
Sorot mata yang semula terang cemerlang tiba tiba
saja berubah jadi redup, alis matanya yang tebal mulai
berkerut bahkan hidungnya ikut berkerut.

Bibirnya yang digigit kuat-kuat kini mulai terluka dan


berdarah, otot-otot hijau di tengkuknya pada menonjol
keluar semua bagai kawat baja.

Paras mukanya juga berubah, berubah menjadi


warna yang kelabu, warna yang mendekati �kematian�.

... Warna kematian sesungguhnya berbentuk warna


apa?

... Benarkah warna kematian termasuk satu jenis


warna yang tidak bisa dilukiskan dengan perkataan?

Ketika berkumandang suara jeritan ngeri yang


terbawa hembusan angin utara, paras muka Nyoo Cing
mulai berubah hebat.

Suara itu datang dari balik hutan pohon bwee, bukan


saja Nyoo Cing sangat mengenal suara tersebut bahkan
tahu suara itu berasal dari mulut siapa.

Sebenarnya dia mengira dengan tenaga


dorongannya yang kuat tadi, dia telah mengirim Lan Itceng
menuju ke suatu tempat yang aman.

Paling tidak dia mengira hutan pohon bwee itu


merupakan sebuah tempat yang cukup aman.

Tapi kenyataannya?
Ketika hembusan angin utara membawa suara jerit
kesakitan, Nyoo Cing sadar bahwa dugaannya ternyata
keliru besar.

Inilah kesalahan kedua yang pernah dilakukan


sepanjang hidupnya. Dua kali kesalahan yang dilakukan
dari tempat yang sama. Kesalahan pertama adalah
meletakkan Lu Siok-bun ditempat ini, tempat yang
dianggapnya paling aman.

Untuk kedua kalinya lagi lagi dia melakukan


kesalahan yang sama, dia mengira hutan pohon bwee
itu merupakan tempat yang �aman�, oleh karena itulah
dia mengirim Lan It-ceng ke tempat itu.

Kini dia hanya bisa �bersumpah�, sejak hari ini tidak


akan melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang
pertama sudah membuat dia harus menuai penderitaan
selama dua puluh tahun.

Lalu bagaimana dengan kesalahan yang kedua?

Apakah dia harus menjalani penderitaan lagi selama


dua puluh tahun? Tidak!

Nyoo Cing tidak ingin mengalami hal semacam ini,


dia sudah tidak punya cukup waktu untuk menanti
selam dua puluh tahun lagi.

Oleh sebab itu begitu jeritan ngeri berkumandang,


tubuhnya bagaikan anak panah yang terlepas dari
busur telah menerjang menuju ke dalam hutan.
Pada saat tubuhnya melambung ke udara itulah,
Seng Sam beserta anak buahnya ikut melambung ke
tengah udara.

Tubuh Seng Sam beserta anak buahnya segera


membentuk selembar jaring ditengah udara.

- selembar jaring yang sukar ditembus.


- selembar jaring yang dipenuhi ancaman bahaya.
Menyusul kemudian lembaran jaring itu menggulung
ke tubuh Nyoo Cing, persis seperti sebuah jala yang
menjaring seekor ikan.

Ketika sang ikan masuk ke dalam jaring, tak seekor


pun akan berhasil meloloskan diri.

Tapi bagaimana dengan Nyoo Cing?

Kini sang jaring sudah mulai mengencang, Nyoo Cing


terjebak di dalam jaring itu.

Mungkinkah sang ikan yang terjaring dalam jala


manusia berhasil meloloskan diri?

BAB 10.
Pesanggrahan Tabib sakti.

Manusia macam apakah orang yang sedang sakit?


Penjelasannya sangat banyak, ada yang bilang:
Orang sakit adalah seseorang yang sedang menderita
suatu penyakit.

Tentu saja keterangan semacam ini sangat masuk


diakal, namun penjelasannya masih kurang begitu pas,
kurang tepat.

Terkadang orang yang tidak menderita suatu


penyakit pun disebut orang sakit.

Seperti misalnya, orang yang terluka, orang yang


keracunan, apakah mereka tidak bisa dimasukkan ke
dalam kategori orang sakit? Tentu saja tidak mungkin
bukan? Setiap jaman, dalam dunia persilatan pasti akan
muncul pendekar besar, pahlawan, pencuri sakti
bahkan seorang pendekar wanita.

Dalam setiap kasus pasti akan terjadi pula proses


kelahiran, ternama, terluka akhirnya kematian, oleh
karena itu dalam setiap jaman pasti akan muncul juga
seorang tabib sakti.

Tabib sakti yang muncul dari jaman mana pun selalu


disanjung dan dihormati orang, akan tetapi tidak akan
ada yang lebih termashur daripada Hong Coan-sin.

Hong Coan-sin adalah tabib sakti jaman itu, namun


namanya masih sering disebut orang pada jaman
berapa generasi kemudian.

Manusia macam apakah dia? Mengapa begitu


termashur namanya?
Karena ilmu tabibnya yang luar biasa? Atau karena
orangnya?

Dia disebut orang Tabib sakti, tentu saja ilmu


pengobatannya luar biasa, tapi nama besarnya bukan
ilmu pengobatan, juga bukan dirinya.

Pengobatan adalah �pekerjaan�nya.

Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek dibangun bersandar


pada bukit.

Pintu gerbangnya berada di kaki bukit, begitu masuk


ke pintu depan maka sejauh mata memandang yang
terlihat hanya jalan besar yang tegak lurus beralaskan
batu granit hijau.

Dikedua sisi jalan besar tumbuh aneka pohon, bunga


dan rumput, disitu pun banyak dipelihara unggas
terbang yang langka..

Ketika tiba diujung jalan maka sampailah di


pesanggrakan lapis pertama, Tee-it-tiong-khek.

Tee-it-tiong-khek merupakan sebuah ruangan yang


besar, besar sekali, ditengah ruangan yang sangat besar
itu terdapat sebuah kolam air yang tidak terhitung kecil,
tentu saja dalam kolam dipelihara pelbagai jenis ikan.

Disebelah kiri ruang utama itu terdapat sebuah meja


yang amat panjang, di belakang meja duduk empatlima
orang gadis berbaju putih.
...Semua penghuni pesanggrahan Coan-sin-ie-khek
memang mengenakan pakaian seragam berwarna
putih.

Meja panjang itu disebut para penghuni


pesanggrahan pengobatan sebagai �Leng-ho-so�
(tempat mengambil nomor).

Semua pasien yang datang ke pesanggrahan itu


untuk memeriksakan penyakitkan, mereka wajib menuju
ke Leng-ho-so untuk mendaftarkan diri kemudian
mengambil nomor urut sesuai dengan urutan terdepan.

Didalam ruang utama banyak tersedia kursi dan meja,


selesai mendaftarkan diri dan mengambil nomor urut
mereka bisa menunggu dalam ruangan itu sambil
menunggu panggilan.

Bila nomornya dipanggil, maka pasien bisa masuk ke


ruang dalam melalui sebuah pintu disisi kanan ruangan.

Setelah masuk ke dalam pintu, akan terlihat sebuah


serambi panjang yang dibangun sangat indah dan
artistik.

Diujung serambi panjang itu terdapat sebuah


ruangan, biasanya didalam ruangan itu sudah siap dua
sampai tiga orang pemuda berbaju putih.

Mereka semua sudah masuk ke dalam pesanggrahan


semenjak kecil, disana mereka belajar pelbagai cara
pengobatan, biasanya orang-orang itu dimulai sebagai
petugas yang menanyai para pasien, bagian tubuh
mana yang kurang enak, bagian tubuh mana yang
terluka?

Kemudian berdasarkan kasus penyakit yang diderita,


para pasien dikirim ke ruang �bagian penyakit dalam�
atau ruang �bagian penyakit luar�.

Yang disebut bagian penyakit dalam adalah


pelbagai penyakit yang menyangkut isi tubuh
seseorang, diantaranya termasuk juga soal keracunan.

Sebaliknya bagian penyakit luar meng-urusi luka luar,


seperti misalnya terluka boleh bacokan senjata, tulang
patah, diantaranya termasuk juga �operasi wajah�.

Masuk ke bagian mana pun, pasien akan dikirim ke


dalam sebuah ruangan yang ditata secara apik dan
mewah.

Ruangan ini disebut para penghuni pesanggrahan


sebagai ruang pemeriksaan.

Para pasien biasa bila datang memeriksakan


penyakitnya, mereka akan diperiksa oleh murid
pesanggrahan kemudian akan dibukakan resep disitu.

Dengan membawa resep obat, pasien harus pergi


dulu ke loket pembayaran, setelah membayar semua
ongkos, resep itu baru bisa ditukar dengan obat-obatan.

Tapi bagi pasien yang sakitnya agak parah, mereka


harus mondok disitu untuk perawatan.
Kamar pasien pun ada yang besar, ada yang kecil,
ada yang mewah ada pula yang sederhana

Tapi yang pasti, sekali pasien mondok di


pesanggrahan tersebut, bersiap-siaplah mengeluarkan
sejumlah uang untuk beaya perawakan disitu.

Karena itulah tatkala Seng Sam mulai membentuk


jaringan yang kuat untuk mengurung Nyoo Cing, tentu
saja tanpa memperdulikan apa pun Nyoo Cing bersiapsiap
untuk �adu jiwa�.

Bila tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan di


rumah kayu kecil itu, sudah pasti tidak akan percaya
dengan keteguhan hatinya untuk berjuang mati-matian.

Sengitnya pertempuran disitu sudah tidak bisa


dilukiskan lagi dengan kata-kata.

Pertempuran itu merupakan pertempuran paling


tragis yang pernah terjadi dalam dunia persilatan
dewasa ini.

Sambaran angin pukulan yang menderu-deru diselipi


cahaya berkilauan, menghantam ke arah Nyoo Cing
secara membabi buta.

Kalau hanya pukulan, kenapa bisa muncul cahaya


berkilauan?

Kalau bukan golok yang menyambar, kenapa


cahaya bisa berkilauan?
Jaring yang terbentuk dari rajutan benang telah
membelenggu Nyoo Cing di tengah udara.

Nyoo Cing tidak bisa bertarung, tapi dia bisa


menghindar, namun berapa besar yang bisa dia
hindari?

Namun mana mungkin dia mandah dipukul?

Maka terpaksa dia harus mengadu nyawa.

Dia tidak menghindar, dia sengaja membiarkan


tubuhnya dihantam seorang lelaki setengah baya yang
berada disisi kirinya.

bisa dipakai untuk membunuh, dia seolah lupa kalau


tubuhnya bukan terbuat dari besi atau baja.

Tubuhnya segera terkena bogem mentah, dihajar


lelaki setengah baya itu bertubi-tubi. Diantara deruan
angin pukulan, tiba-tiba terpercik darah segar.

Begitu darah mulai menyembur keluar, seseorang pun


mulai berteriak keras, �Bunuh dia!�

�Jangan biarkan dia kabur!� ada yang mulai


mengumpat.

Pukulan itu keras sekali.


... Berapa orang yang mampu menerima pukulan
sedemikian kerasnya?
Nyoo Cing seakan lupa kalau kepalan pun sama saja,
Tentu saja Nyoo Cing tidak boleh mati. Dalam hal ini
tentu saja dia tahu sangat jelas. Tapi diapun tahu, asal
dia masih hidup, maka tidak akan ada orang yang bisa
membunuh Lan It-ceng dihadapannya.

Tapi dugaannya keliru besar.

Dengan tubuhnya yang terdiri dari darah dan daging,


meskipun untuk sementara bisa menghadang serbuan
Seng Sam beserta para begundalnya, namun mana
mungkin dia bisa menolong Lan It-ceng �tepat pada
waktu�nya?

Justru karena perhitungannya yang salah, Lan It-ceng


pun mati sia-sia. Justru karena itu, Nyoo Cing terpaksa
digotong masuk ke pesanggrahan pengobatan Coansin-
ie-khek.

Pukulan yang dilontarkan lelaki setengah baya yang


berada disebelah kiri itu dengan telak bersarang di
lambung Nyoo Cing.

Sementara Nyoo Cing pun dengan senang hati


menerima sodokan keras itu, karena pada saat yang
bersamaan Seng Sam sedang melambung ke udara dari
sisi kanannya.

Karena dia terhajar pukulan itu, tubuhnya mencelat


kesamping dan kebetulan menumbuk diatas tubuh Seng
Sam yang sedang menerjang tiba.

Tentu saja tubrukannya persis menerjang tepat


ditubuh Seng Sam.
Karena terjadi tubrukan, Nyoo Cing pun
memanfaatkan kesempatan itu untuk menceng keram
tubuh Seng Sam.

Tangan Nyoo Cing segera mencengkeram tengkuk


Seng Sam, sementara tangan yang lain menekan diatas
jalan darah pada tulang iganya.

Tidak ada yang tahu jalan darah apa yang kena


disodok tersebut, tapi siapapun bisa menduga kalau
jalan darah tersebut pastilah sebuah jalan darah yang
mematikan.

Begitu Seng Sam kena dicengkeram tengkuknya,


semua rekan-rekannya pun serentak menghentikan
serangan mereka, mimik muka mereka sangat jelek dan
tidak sedap dipandang, seolah baru saja perutnya kena
ditendang keras-keras.

Kini Nyoo Cing tertawa, mengawasi lelaki setengah


baya yang barusan menghantamnya dengan
senyuman.

�Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan, kenapa


kubiarkan tubuhku kau tinju!� ujar Nyoo Cing sambil
tertawa riang.

Oleh karena dia kena dihajar orang, Seng Sam pun


pasti kurang waspada, kejadian ini sangat lumrah
karena siapa pun pasti akan mengendorkan
konsentrasinya setelah menyaksikan anak buah sendiri
berhasil menghajar lawannya.
�Mau apa kau sekarang?� tanya Seng Sam kemudian
sambil menghela napas.

�Aku tidak ingin apa-apa, hanya ingin mengajakmu


bicara soal barter.�

�Barter apa?�

�Menggunakan selembar nyawamu untuk ditukar


dengan dua lembar nyawa.�

�Bagaimana tukarnya?�

�Sederhana sekali,� Nyoo Cing tertawa, �Bila salah


satu diantara mereka ada yang mati, maka jangan
harap kau bisa hidup terus!�

�Bila aku pun mati?�

�Bila kau mati, tentu saja akupun tidak akan hidup


terus, tapi mana mungkin aku biarkan kau mati dengan
begitu saja?�

�Bagus.�

Siapa pun tidak akan mengerti apa arti dari


perkataan �bagus� itu, tiba-tiba saja terlihat dalam
genggaman Seng Sam telah bertambah dengan sebilah
pisau dan pisau itu langsung dihujamkan ke bawah.

Ternyata pisau itu dihujamkan ke dadanya sendiri.

Nyoo Cing adalah jago kawakan, sebagai jago


kawakan dia pasti sudah memperhitungkan semua
kemungkinan yang terjadi, terma-suk berusaha melukai
orang.

Sebetulnya perhitungannya sudah sangat tepat,


hanya sayang dia telah melupakan satu hal.

Walaupun Seng Sam tidak mampu membunuhnya,


namun dia masih mempunyai kemampuan lebih untuk
membunuh diri sendiri.

Semburan darah segar pun segera berhamburan


kemana-mana.

Cairan darah berwarna hitam gelap itu menyembur


keluar melalui dada Seng Sam, sebagian menyembur ke
wajah Nyoo Cing bagai hujan gerimis.

Seketika itu juga sepasang mata Nyoo Cing tertutup


oleh noda darah, menyusul kemudian dia pun
mendengar suara teriakan gusar bagai binatang buas
yang terjatuh dalam perangkap.

�Prajurit nekad jangan diserang.�

Dalam pertempuran antar dua negera, kejadian


semacam ini merupakan satu kejadian yang amat
menakutkan.

Sebab �prajurit nekad� tidak bakal takut mati,


semangat juang mereka pasti tinggi, bahkan seringkah
melakukan tindakan yang sama sekali diluar dugaan
siapa pun.
Dalam hal ini Nyoo Cing mengetahui jauh lebih jelas
dari siapa pun, namun sekarang dia tidak bisa untuk
tidak menggempurnya.

Begitu Sam Seng mati, kawanan anak buahnya


segera menyerang bagai orang gila, dengan kalap
mereka menyerang Nyoo Cing habis-habisan.

Jeritan keras, deraan angin pukulan datang dari


empat arah delapan penjuru dan semuanya tertuju ke
tubuh Nyoo Cing.

Dalam keadaan begini dia hanya bisa melompat,


menghindar, berkelit, berusaha keras membuka
matanya kembali.

Sudah berapa kali dia berusaha namun belum


berhasil juga melihat sesuatu dengan jelas, yang dia
saksikan hanya selapis cahaya darah yang amat silau.

Dia melompat kebawah kemudian melejit lagi ke


atas, baru mengigos ke kiri, sebuah sodokan tinju telah
melayang tiba dari kanan, tahu-tahu pahanya terasa
sangat dingin, seperti tersayat sesuatu, menyusul
kemudian seluruh kekuatan kakinya seolah hilang lenyap
tidak berbekas.

Tidak ampun tubuhnya segera terperosok ke bawah.

Dia tahu bila dia terperosok terus maka selamanya


dia akan tenggelam dalam kegelapan yang tiada
tepian, anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut
atau ngeri meski harus menghadapi situasi yang
berbahaya, yang muncul hanya perasaan pedih yang
tidak terhingga.

Tibatiba saja dia teringat akan Lu Siok-bun.

... Sesaat menjelang ajalnya, apa pula yang dipikirkan


seorang manusia?

Tidak seorangpun bisa menjawab pertanyaan ini.

Karena setiap orang, dalam situasi seperti ini, pasti


sedang membayangkan hal yang berbeda.

Yang dipikirkan Nyoo Cing hanya Lu Siok-bun,


membayangkan pandangan matanya yang begitu
teguh, membayangkan juga perasaannya yang panas
dan membara.

Sekilas senyuman segera tersungging diujung bibirnya,


menyusul kemudian tubuhnya tenggelam ke bawah.

Cahaya golok yang berkilauan serasa bagai pusaran


air yang kencang, menimbulkan gelombang di
permukaan telaga lalu hening, sepi...

Mendadak terlihat seseorang melayang turun dari


tengah udara, dengan membawa sepasang golok dia
menerjang ke tengah kepungan.

Menyusul kemudian Nyoo Cing merasakan suatu


perasaan yang amat santai, segala sesuatunya terasa
mengendor, karena dia telah mendengar suara dari
orang yang membawa sepasang golok itu.
Akhirnya dia tenggelam ke bawah, roboh terkapar di
tanah, bahkan sepasang mata pun terasa malas untuk
dipentangkan kembali. Untung matanya tidak sempat
dipentangkan lebar.

Jika dia sempat membuka matanya dan menyaksikan


keadaan sekarang, mungkin perasaan hatinya akan
hancur, usus pun mungkin akan ikut putus dan remuk.

Cahaya golok yang berkilauan kembali saling


menyambar di udara.

Rekan-rekan Seng Sam seakan sudah sinting semua,


sepasang mata mereka sudah berubah jadi �merah�,
mereka seakan sudah lupa kalau tubuh merekapun
terdiri dari darah dan daging, mereka seakan sudah
lupa kalau golok si pendatang itu diayunkan untuk
membunuh mereka.

Bagaikan rombongan manusia kalap, manusia yang


tidak punya otak, mereka langsung menerjang masuk ke
tengah berkele-batnya cahaya golok.

Kembali percikan darah segar berhamburan ke


empat penjuru.

Sudah dua orang roboh bersimbah darah, namun


rekan lainnya seakan tidak sadar, mereka masih
menerjang, masih menyerang bagaikan orang
kesurupan. Gelombang golok kembali menggulung
angkasa, pusaran kencang kembali menggulung seluruh
arena.
Dalam waktu singkat sekujur tubuh si pembawa
sepasang golok itu sudah berubah jadi merah padam,
merah karena bermandikan darah..

Matahari ditengah udara yag dingin memancar


masuk melalui jendela dengan kemalas malasan,
menyinari wajah Nyoo Cing yang berbaring diatas
ranjang.

Menyinari pula Tay Thian yang berada disisinya.


Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah Tay
Thian.

�Sudah sejak awal aku tahu kalau kepandaian silatmu


sangat bagus,� katanya perlahan, �Tapi hingga hari ini
aku baru tahu kalau permainan sepasang golokmu
memang tiada keduanya dikolong langit.�

Tay Thian hanya tertawa, sama sekali tidak


menjawab.

�Seseorang yang disebut orang yang menakutkan


pasti mempunyai bagian yang menakutkan,� kata Nyoo
Cing sambil membuang pandangan matanya ke luar
jendela, �seperti misalnya Seng Sam, dia menakutkan
karena orang itu tidak pernah takut mati.�

�Sebenarnya dendam kesumat apa sih yang terjalin


antara kau dengan Seng Sam?

Mengapa dia begitu ngotot ingin menghabisi


nyawamu?� tanya Tay Thian.
�Karena dia tahu, jika tidak mampu membunuhku
maka sekembalinya dari sini dia akan mati dalam
keadaan yang lebih mengenaskan, lebih menakutkan.
Perkumpulan naga hijau paling tidak memiliki tiga puluh
macam cara untuk menghabisi nyawa seseorang, cara
mana pun yang digunakan pasti akan membuat orang
itu menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia.�

Tay Thian mengalihkan juga sorot matanya ke luar


jendela.

�Perkumpulan naga hijau?� tanyanya, �organisasi


macam apakah itu? Kenapa dalam jangka waktu
seratus tahun terakhir belum pernah ada seorang
manusia pun yang bisa mengungkap rahasia ini?�

Kemudian setelah menatap wajah Nyoo Cing sesaat,


lanjutnya, �Seandainya pemimpin perkumpulan naga
hijau belum mati, semestinya saat ini sudah berusia
seratus tahun lebih?�

�Kenapa kau tidak langsung bertanya sendiri kepada


yang bersangkutan?�

�Sebetulnya aku ingin, sayang dia enggan berjumpa


denganku.�

�Siapa tahu kalian sudah pernah bersua, hanya saja


kau tidak menyadarinya.�

Apa yang dia katakan memang bisa sebuah


kenyataan, perkumpulan naga hijau memang
merupakan organisasi paling rahasia semenjak seratus
tahun terakhir.

Jangan lagi siapa pemimpinnya, untuk melacak siapa


saja yang menjadi anggotanya pun sudah susahnya
setengah mati.

Mungkin saja dia adalah Thio Sam atau Li su? Mungkin


juga dia adalah sahabat yang paling akrab.

Bahkan ada kemungkinan dia hanya seseorang yang


sama sekali tidak menyolok, seseorang yang amat
bersahaja.

Pokoknya bila �dia� sampai muncul dalam wajah


aslinya, pasti akan dibuat siapapun terperanjat setengah
mati.

�Lan It-ceng mati ditempat atau dia baru mati setelah


dikirim kemari?� tanya Nyoo Cing kemudian.

�Sewaktu aku tiba disana, dia sudah putus nyawa,�


sahut Tay Thian, �Waktu itu aku terburu-buru akan
menghantarmu kemari, maka sekalian kubawa dia
kemari.�

�Tolong kuburlah jenasahnya secara layak.�

�Sudah ada petugas yang menanganinya.�

�Siapa?�

�Masa kau tidak tahu aturan yang berlaku di


pesanggrahan Coan sin-ie-khek?�
�Aturan apa?�

�Asal sudah memasuki pesanggrahan pengobatan


Coan sin-ie-khek, maka hanya ada sejenis manusia yang
bisa pergi meninggalkan tempat ini, manusia hidup!�

�Bagaimana dengan yang mati?�

�Dikubur disini. Hong Coan-sin menganggap bila ada


yang sampai mati disini berarti ilmu pengobatan mereka
kurang canggih, maka sebagai pengganti dari rasa
kecewa keluarganya, mereka akan mengubur
jenasahnya secara baik-baik.�

�Sungguh sebuah kejadian yang aneh,� kata Nyoo


Cing, �Tapi Lan It-ceng bukan tewas disini!�

�Tapi dia sudah masuk ke dalam pesang grahan


Coan sin-ie-khek.�

�Jadi jenasahnya tetap mereka urus?�

�Benar.�

�Jadi kita pun tidak boleh mencampuri urusan


penguburannya?�

�Orangnya toh sudah mati, mau dikubur dengan cara


apapun tetap sama saja,� kata Tay Thian tertawa, �Asal
hati kita tulus, itu sudah lebih dari cukup.�

Nyoo Cing merasa perkataan itu cengli sekali, maka


dia pun mengangguk tanda setuju.
�Butuh berapa lama untuk membangun kembali
rumah kayuku itu?�

�Ketika kau keluar dari pesanggrahan pengobatan,


kujamin rumah kayumu sudah berdiri kembali seperti
sedia kala.�

Rumah yang sudah rubuh dapat dibangun kembali,


musim semi yang lewat, tahun mendatang akan datang
kembali, bila perut lapar, setiap saat dapat makan.

Tapi bagaimana dengan orang yang mati?

Apakah perasaanmu terhadapnya akan semakin

memudar dengan berjalannya waktu?


BAB 11.
Satu tambah satu adalah dua.
Bau panggangan ikan yang harum semerbak telah
menyelimuti seluruh ruangan.

Tiga ekor ikan bakar sudah berpindah ke dalam perut


Cong Hoa, tapi sepasang matanya masih mengawasi
terus ikan yang sedang dibakar Lo Kay-sian.

Saat ini Lo Kay-sian sudah kembali ke dalam


kamarnya yang sempit, kecil lagi pengap, sudah
memulihkan kembali jabatannya sebagai kepala sipir
penjara.

�Kenapa ikan hasil bakaranmu selalu berbeda


dengan hasil bakaran orang lain?� tanya Cong Hoa,
�dengan ikan yang sama, resep yang sama, cara
membakar yang sama, tapi hasil akhir yang diperoleh
selalu berbeda?�

�Perhatian khusus,� sahut Lo Kay-sian dengan wajah


serius, �Jik segala persoalan dikerjakan dengan
perhatian khusus, hasil yang diperoleh pasti akan beda.�

�Perhatian khusus dalam membakar?�


�Benar.�
�Tampaknya saja gampang, padahal berapa banyak
orang yang benar-benar bisa melaksanakannya?�
�Kau,� jawab Lo Kay-sian, �Ketika menikmati ikan
bakar, tampaknya kau pun menaruh perhatian khusus.�

�Ketika aku ingin membuatmu jengkel, akupun


menaruh perhatian yang khusus,� sambung Cong Hoa
sambil tersenyum, �Tapi hasilnya kenapa tidak selalu
sukses?�

�Ini dikarenakan aku pun menaruh perhatian khusus,


sama sekali tidak ambil perduli denganmu,� Lo Kay-sian
tertawa tergelak.
�Jadi menurutmu, aku belum cukup perhatian dalam
menangani kasus itu?�

�Oooh?�

�Kalau tidak mengapa Cong Hui-miat bisa mati,


setelah mati kenapa jenasahnya pun tidak kutemukan?
Secara keseluruhan persoalan ini nampaknya tidak ada
ancaman bahaya apa pun, namun aku selalu merasa
adanya ancaman bahaya maut yang datang dari
empat penjuru, seakan disemua tempat telah dipenuhi
oleh perangkap dan jebakan.�

�Jadi kau menganggap persoalan ini sangat rumit?�

Cong Hoa mengangguk.

�Kau merasa seolah seluruh tubuhnya diliputi kabut


tebal, bukan saja tidak dapat melihat jalanan, sekeliling
tempatmu pun tidak bisa kau raba dengan jelas?�

�Benar!� Cong Hoa menghela napas panjang.

Lo Kay-sian segera meletakkan garpu ikan ke meja,


mengawasi gadis itu lekat-lekat, sampai lama kemudian
dia baru berkata, �Kau kelewat cerdas!�

�Apa maksud perkataanmu?�

�Oleh karena kau kelewat pintar, kelewat pandai


berpikir maka kau jadi kebingungan setengah mati,�
ucap Lo Kay-sian, �Seandainya kau sedikit lebih bodoh,
tidak berpikir yang aneh-aneh, mungkin persoalan ini
tidak akan kelewat sulit untuk dipecahkan.�

�Aneh, kenapa kau semakin berbicara, kepalaku


terasa semakin membesar?�

�Coba jawab satu tambah satu jadi berapa?� tibatiba


Lo Kay-sian bertanya, �lima tambah tiga kurangi
tujuh tambah satu jadi berapa?�

�Kelihatannya kau seperti lagi menguji ilmu


berhitungku?� seru Cong Hoa, �tentu saja jawabannya
dua!�

�Nah itulah dia,� kembali Lo Kay-sian mulai sibuk


membakar ikan, �Sama-sama jawabannya adalah dua,
hanya cara berhitungnya saja yang beda.�

�Maksudmu caraku menyelesaikan persoalan ini yang


keliru? Aku telah menggunakan cara rumit yang
gampang membuatku kebingungan sendiri?� tanya
Cong Hoa dengan mata berkilat.

�Benar!�

Satu persoalan yang sama, bila diselesaikan oleh


orang yang berbeda maka hasil yang diperoleh pun
pasti beda.

Seperti juga sebuah hutang, setiap orang mempunyai


cara yang berbeda untuk menghitung, cara
menghitung setiap orang tidak ada yang sama.
Bagi orang persilatan, hutang biasanya hanya bisa
diselesaikan dengan satu macam cara.

Cara yang mana? Seharusnya sudah tahu cara


apakah itu.

Ada hutang yang Cuma bisa dilunasi dengan darah,


tanpa darah mustahil hutang itu bisa dibayar lunas.

Malah terkadang darah yang kelewat sedikit tidak


bisa menyelesaikan persoalan, dibutuhkan darah dalam
jumlah yang banyak.

Jika darah seorang belum cukup, dibutuhkan darah


dari orang yang lebih banyak lagi. Lalu hutang dari
Cong Poan-long harus dibayar dengan berapa banyak
darah agar bisa lunas?

Jika dibutuhkan darah dari dua puluh orang untuk


membayar lunas, lalu bagaimana dengan Cong Huimiat?

Dendam lama ditambah permusuhan baru,


dibutuhkan berapa banyak darah lagi untuk bisa
dianggap impas?

Terlepas itu dendam lama atau permusuhan baru,


persoalan itu merupakan masalah keluarga Cong,
dengan Cong Hoa sama sekali tidak ada sangkut
pautnya. Dia tidak lebih hanya seorang manusia yang
gemar mencampuri urusan orang lain.
Bila manusia gemar mencampuri urusan orang lain
yang harus membuat pertimbangan, tentu saja dia tidak
akan mempertimbangkan penggunaan darah untuk
menyelesaikan persoalan ini. Benarkah sama sekali tidak
perlu mema-kai darah?

�Rencanamu akan pergi kemana? Dengan wajah


tercengang Lo Kay-sian bertanya.

Ketika selesai menghabiskan ikan bakar ke enam


yang disiapkan Lo Kay-sian, Cong Hoa membesut
mulutnya, bertepuk tangan sambil bangkit berdiri
kemudian beranjak dari tempat itu.

�Disini sudah tidak tersedia ikan bakar lagi, padahal


perutku masih sangat lapar,� kata Cong Hoa, �Kalau
tidak pergi mencari sasaran lain, memangnya aku bisa
mengatasi perutku yang kosong?�

�Tampaknya kau memang pandai menerima


kenyataan, tapi siapa yang akan kau cari?�

Sambil memandang gunung dikejauhan sana, sahut


Cong Hoa, �Tiba-tiba saja aku jadi kangen dengan Tu
Bu-heng, khususnya arak kegirangannya.�

Mendadak Lo Kay-sian menuang dua cawan


dihadapannya dengan arak, satu diserahkan ke tangan
Cong Hoa, satu lagi untuk diri sendiri.

�Biar aku bersulang untukmu!� katanya.


Tindak tanduk Lo Kay-sian yang sangat aneh ini
segera membuat Cong Hoa kebingungan sendiri.

�Apa-apaan kau ini?�

�Aku hanya berharap kau bersedia menghabiskan


secawan arak itu, sebab setibanya di alam baka, kau
akan bertemu dengan banyak sahabat lama.�

�Kau mendoakan aku agar cepat mampus?�

�Tidak, kau sendiri yang bilang begitu.�

�Aku hanya berkata akan pergi menjumpai Tu Buheng.�

�Nah itulah dia!� seru Lo Kay-sian sambil menatapnya


tajam, �Bila kau ingin menemukan Tu Bu-heng, maka
satu-satunya tempat yang bisa kau tuju hanyalah
neraka.�

�Maksudmu dia...�

�Benar, dia sudah mati sejak dua hari yang lalu!�

�Mati?� Cong Hoa terkesiap, �Kenapa tidak ada


kabar berita tentang kematiannya? Kenapa dia bisa
mati?�

�Aku sendiripun tidak tahu sebab berita ini


disampaikan Tay suya.�

Cong Hoa termenung berapa saat, kemudian dia


baru bertanya, �Tu Bu-heng dikubur di mana?�
�Aku tidak tahu!�

�Tidak tahu?� Cong Hoa makin terkesiap, �Tay Thiahong


telah menyampaikan berita kematiannya, masa

dia sendiripun turut lenyap tak berbekas?�

�Rasanya nasib Tay suya tidak sedrastis itu.�

�Lantas kenapa kau bilang tidak tahu?�

�Tidak tahu maksudnya aku tidak tahu Tu Bu-heng

sudah dikubur di mana? Sudah dikubur atau belum, aku


sama sekali tak tahu.�

�Lalu siapa yang tahu?�

�Hong Coan-sin!�

�Hong Coan-sin? Pemilik pesanggrahan


pengobatan Coan sin-ie-khek?�

�Benar.�

�Kenapa kau hubungkan Tu Bu-heng dengan


dirinya?�

�Karena hanya dia yang bisa menyelidiki sebab


musabab kematian Tu Bu-heng.�

Cong Hoa kembali termenung, tapi kali ini dengan


cepat ia berseru lagi, �Bagaimana dengan Un-hwee
sianseng? Apakah dia....�

�Tidak!� jawab Lo Kay-sian singkat.


Cong Hoa segera menghembuskan napas lega,
belum lagi sempat bicara, Lo Kay-sian sudah berkata
lagi, �Maksudku dia tidak berhasil melarikan diri, dia
sama seperti rekannya, sudah mati!�

�Kau...� Cong Hoa membelalakkan matanya lebarlebar.

�Ada apa? Bukankah kau bertanya apakah dia...


maka kujawab tidak!�

�Aku bertanya kepadamu, apakah dia sudah mati?�

�Oooh, kukira kau bertanya apakah dia berhasil kabur


dari musibah ini.�

Jika sorot mata bisa digunakan untuk membunuh


orang, sekarang paling tidak Lo Kay-sian sudah mati
enam ratus kali, mati dibantai Cong Hoa.

Setelah berhari-hari salju turun dengan derasnya, hari


ini udara sangat cerah bahkan matahari mulai
memancarkan sinarnya menerangi seluruh bumi.

Biasanya cuaca seperti ini sangat digemari orang


banyak, tidak heran kalau di jalan raya banyak manusia
berlalu lalang, malah ada yang memindahkan kursinya
duduk di tepi jalan sambil menikmati hangatnya sinar
sang surya.

Banyak orang bersuka ria dalam cuaca secerah ini,


bahkan anjing dan kucing pun saling bergumulan ditepi
jalan. Semua orang bergembira ria, hanya satu orang
terkecuali.

Mimik muka Cong Hoa saat ini seperti dinamit yang


sudah disulut sumbu nya, asal ada yang berani
mendekat, dijamin tubuhnya segera akan diledakkan
hingga hancur berkeping.

Berapa orang yang dihari biasa punya hubungan


cukup akrab dengan Cong Hoa, sebenarnya sudah
mengangkat tangannya hendak menyapa, tapi begitu
melihat mimik mukanya yang masam, mereka segera
menarik kembali tangannya yang sudah diangkat lalu
pura-pura garuk kepalanya yang tidak gatal, setelah itu
secara diam-diam ngeloyor pergi.

Cong Hoa dalam keadaan gembira saja sudah bikin


orang pusing kepala, apalagi dalam kondisi marah
marah.

Tidak heran kalau ada berapa orang yang secara


diam-diam mulai pergi menjauhi jalanan itu.

Dalam suasana seperti inilah tiba-tiba dari ujung jalan


meluncur datang sebuah kereta kuda yang dilarikan
kencang.

Kuda jempolan, kereta mentereng lagi mewah, ruang


kereta yang masih baru berkilat bagai sebuah cermin,
sang kusir dengan sebuah cambuk panjang berwarna
hitam diayunkan berulang kali ke tengah udara. Cong
Hoa seolah tidak melihat, seakan sama sekali tidak
mendengar.

Siapa tahu kereta kuda itu ternyata berhenti persis


disampingnya, enam orang lelaki kekar segera
berlompatan keluar dari dalam kereta dan mengepung
gadis itu.

Seorang lelaki dengan mata melotot gusar dan gerakgerik


lincah segera menegur, �Jadi kau si Bunga latah?�

�Jika kedatangan kalian untuk berkelahi, semua


sudah menemukan sasaran yang tepat.�

Sejak dibuat jengkel dan mendongkol di rumah Lo


Kay-sian tadi, Cong Hoa memang sedang bingung
kemana harus melampiaskan rasa mendongkolnya, dia
merasa kedatangan ke enam orang lelaki ini tepat
waktu.

Kawanan lelaki itu tertawa dingin, tampaknya mereka


tidak pandang sebelah mata pun terhadap gadis ini.

�Sayang sekali kedatangan kami bukan untuk


mencarimu berkelahi.�

�Bukan?�

�Kami hanya berharap kau bersedia ikut kami pergi


sejenak.�

�Aaai....� Cong Hoa menghela napas panjang,


agaknya dia merasa sangat kecewa.
�Kau jangan menganggap kami adalah manusia
yang takut berkelahi!� kembali lelaki itu berseru keras,
�Sayangnya tauke kami bersikeras ingin bertemu
denganmu, memaksa kami harus membawamu pulang
dalam keadaan hidup, jika sampai patah lengan atau
kakinya, dia tentu akan merasa sangat tidak senang
hati.�

�Siapa tauke kalian?�

�Setelah bertemu nanti kau akan tahu sendiri.�

Seorang lelaki diantaranya segera mengeluarkan


secarik kain hitam.

�Buat apa kain hitam itu?� tanya Cong Hoa.

�Kain hitam dipakai untuk menutup mata, tanggung


tidak bakal bisa melihat apa pun.�

�Mau dipakai untuk menutup mata siapa?�

�Kau!�

�Ohh, jadi kalian tidak membiarkan aku mengetahui


jalan?�

�Kelihatannya kali ini kau lebih pintar.�

�Kalau aku menolak ditutup matanya atau menolak


untuk pergi?�
Lelaki kekar itu tertawa dingin, mendadak dia
mengayunkan tinjunya dan menghantam sebatang
pohon besar yang tumbuh ditepi jalan.

�Kraaaak!� sebuah lubang besar segera muncul


diatas dahan pohon itu.

�Lihay! Sungguh lihay!� seru Cong Hoa sambil


bertepuk tangan.

Lelaki itu mendengus angkuh, sambil membelai


tinjunya dia berkata lagi, �Kalau sudah tahu kelihayanku,
lebih baik ikut saja dengan kami tanpa melawan.�

�Kepalanmu tidak merasa sakit?� tanya Cong Hoa


seakan menaruh perhatian.

Lelaki itu nampak sangat bangga, terlihat seorang


rekannya tidak mau unjuk kelemahan sendiri, mendadak
dia berjongkok sambil melancarkan sebuah sapuan,
sebuah bangku batu yang tertanam lebih kurang dua
depa diatas tanah seketika terangkat berikut akarnya.

�Woouw, hebat, hebat, kakimu tidak sakit?� seru


Cong Hoa seakan makin terkejut.

�Jika kau menolak untuk ikut pergi, kau yang bakal


kesakitan, bahkan seluruh tubuhmu akan kesakitan.�

�Bagus sekali!�

�Apa maksudmu berkata bagus sekali?�


�Bagus sekali artinya sekarang aku sudah mempunyai
alasan untuk berkelahi.�

Begitu selesai dia berkata, tangan Cong Hoa sudah


bekerja keras, sebuah jotosan menghancurkan hidung
seorang lelaki, sebuah tamparan membuat rekannya
kehilangan tujuh biji gigi, lalu sambil membalik tangan,
sikutnya menghajar patah lima kerat tulang iga lelaki
ketiga.

Kakinya juga tidak tinggal diam, dengan satu


tendangan dia menyepak tubuh seseorang hingga
menggelinding bagaikan bola, rekan yang lain kena
dijejak perutnya sampai terbongkok-bongkok tubuhnya
lantaran kesakitan, bukan Cuma tubuhnya yang
terbung-kuk, air mata, ingus serta keringat dinginnya ikut
bercucuran keluar.

Sisanya yang seorang hanya bisa berdiri kaku tanpa


mampu bergerak, dia jadi kaku lantaran kaget
bercampur ngeri, saking lemasnya seluruh tubuh sampai
basah kuyup oleh keringat.

Cong Hoa mulai tertawa terkekeh kekeh.

Lelaki kekar itu pingin tertawa, namun tertawanya


jauh lebih jelek ketimbang menangis.

�Aku rasa tertawamu merupakan tertawa paling jelek


yang pernah kujumpai tahun ini,� ujar Cong Hoa sambil
menatapnya.
Lelaki itu seketika terbungkam, tidak berani tertawa
lagi.

�Apakah sekarang kalian masih ingin memaksaku


untuk ikut pergi?�

Lelaki itu segera menggeleng, menggeleng kuat-kuat.

�Bagus sekali!�

Begitu mendengar perkataan tersebut, paras muka


lelaki itu seketika berubah jadi pahit bagaikan buah
paria.

�Kenapa kali ini kau tidak bertanya kepadaku, bagus


sekali itu apa artinya?�

�Aku... hamba...�

�Kau tidak berani bertanya?�


Lelaki itu segera mengangguk, mengangguk kuatkuat.

�Tidak berani pun tidak bisa,� mendadak Cong Hoa


menarik wajahnya sambil melotot besar, �Kalau tidak
bertanya berarti ingin digebuk!�

�Aku...� terpaksa lelaki itu harus keraskan kepala dan


bertanya dengan suara tergagap, �ba... .bagus sekali itu
apa artinya?�

�Bagus sekali itu artinya sekarang aku sudah siap ikut


kalian pergi,� kata Cong Hoa tertawa.
Ternyata Cong Hoa benar-benar menyingkap tirai
kereta dan siap naik keatas kereta itu, mendadak
serunya lagi sambil berpaling, �Bawa kemari.�

�Aa...apanya yang bawa kemari?� lelaki itu


terperanjat.

�Kain hitam itu, yaaa...kain hitam yang berada dalam


genggamanmu itu, kain untuk menutupi mata.�

Lelaki itu segera menggunakan kain hitam itu untuk


menutup matanya sendiri.

�Hey, kenapa kau menutup mata mu sendiri? Bawa


kemari, tutup mataku!� teriak Cong Hoa lagi.

Lelaki itu jadi melongo, untuk sesaat dia tidak tahu


apa yang harus diperbuat. Dia tak tahu sebenarnya
gadis ini orang gila atau orang goblok?

Cong Hoa segera merampas kain hitam itu dari


tangan lelaki tadi dan benar benar ditutupkan keatas
mata sendiri, setelah itu dia melompat naik ke dalam
kereta, duduk dengan santai dan menghela napas
panjang.

�Tampaknya menutupi mata dengan kain hitam


memang enaknya luar biasa...� gumamnya.

Cong Hoa tidak edan, diapun tidak goblok.


Tapi jika orang lain ingin memaksanya untuk
melakukan sesuatu, biar tubuhnya dilubangi enam tujuh
belas tempat pun dia tidak bakal mau melakukannya.

Selama hidup dia hanya melakukan pekerjaaan yang


dia ingin lakukan dan senang melakukannya. Dia mau
duduk didalam kereta kuda itu karena dia merasa
pekerjaan ini selain penuh kemisteriusan juga sangat
menarik. Maka sekarang, biar orang lain melarangnya
ikut pun dia tetap memaksa akan ikut.

Kereta bergerak sangat cepat, tiba-tiba dia teringat


kembali dengan Cong Hui-miat.

Cong Hoa bukannya tidak pernah bertemu dengan


orang-orang dari kalangan atas, dalam sepanjang
hidupnya, tempat semegah dan semewah apapun
sudah pernah dia kunjungi.

Maka sewaktu berada dalam kereta, dia pun mulai


menduga-duga kereta itu akan membawanya menuju
ke tempat macam apa.

Padahal tempat seperti apa pun sudah dia


bayangkan semua, tapi dia tidak pernah menyangka
akan �tempat semacam ini�.

Mimpi pun dia tidak akan menyangka kalau kereta itu


akan membawanya menuju ke �tempat semacam ini.�

Ketika angin berhembus lewat, kabut tebal berwarna


abu-abu telah menyelimuti seluruh angkasa.
Salju terasa dingin membeku, kabut sangat tebal, di
sebuah rumah yang terpencil tidak nampak seorang
manusia pun, bahkan setan pun tidak kelihatan.

Ternyata kereta itu membawa Cong Hoa menuju ke


sebuah tanah pekuburan.

Langit diselimuti warna putih kelabu, cahaya sang


surya yang baru saja masih bersinar kini sudah
bersembunyi dibalik awan, yang nampak saat itu hanya
selapis kabut yang amat tebal, apa pun tidak terlihat.

Perlahan-lahan Cong Hoa melepaskan kain hitam


penutup matanya dan turun dari kereta, kendatipun
apa yang kemudian terlihat membuat perasaan hatinya
terkejut namun sekulum senyuman masih menghiasi
bibirnya.

Biarpun dihati kecilnya merasa ngeri bercampur


seram, perasaan tersebut tak nanti akan diperlihatkan
diwajahnya.

... siapa pun itu orangnya, asal pernah mengalami


kejadian seperti apa yang dia alami, sudah semestinya
dia telah belajar bagaimana menyembunyikan setiap
perubahan perasaan hatinya di dalam dasar hati yang
terdalam.

Angin yang berhembus ditanah pekuburan seolah


jauh lebih dingin daripada ditempat lain, sedemikian
dinginnya hingga mirip sebilah pisau, pisau tajam yang
menyayat kulit wajah Cong Hoa, juga menyayat tanah
pekuburan, menyayat batu nisan di depan gundukan
tanah itu.

Batu nisan ada yang sudah tumbang, ada pula yang


sudah dilapisi salju tebal, membuat tulisan yang tertera
disitu sama sekali tidak terbaca.

...Siapa saja yang telah dikubur di tanah pekuburan


itu?

Tidak seorang pun yang menggubris, tidak seorang


pun yang menaruh perhatian. Ketika mereka masih
hidup dulu, orang-orang itupun memiliki kebanggaan,
kenistaan, kegembiraan dan kepedihan.

Dan kini? Mereka tidak memiliki apa-apa, tidak satu


pun yang dimilikinya lagi.

...Lalu sebagai manusia hidup, buat apa mereka


selalu mengingat semua kebanggaan, semua kenistaan,
semua kegembiraan dan semua kepedihan?

Cong Hoa menghela napas panjang. Pada saat


itulah dia seakan merasa lapisan kabut yang ada
dihadapannya mulai menipis.

Lamat-lamat dari balik lapisan kabut, dia menyaksikan


ada tiga buah tenda besar yang didirikan ditengah
tanah pekuburan itu.

Bentuk tenda itu sangat aneh, berapa bagian mirip


tenda peternak Mongol yang biasa digunakan dipinggir
perbatasan, tapi berapa bagian mirip juga dengan
tenda yang digunakan tentara.

Didepan tenda itu terlihat seonggok api unggun. Tiga


buah tenda dengan tiga onggok api unggun.

Dengan sorot mata yang tajam Cong Hoa


mengawasi ketiga buah tenda itu. Tiba-tiba dari tenda
bagian tengah terlihat ada seseorang berjalan keluar.

Orang itu adalah seorang kakek yang mengenakan


baju berwarna hitam, seluruh tubuhnya dibungkus kain
hitam, wajahnya sedingin salju dan rambutnya telah
beruban, dalam genggamannya dia membawa
selembar kartu undangan berwarna merah.

Selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke


hadapan Cong Hoa, lalu dengan sorot mata yang tajam
mengawasinya.

�Hoa toa-siocia?�

�Cong Hoa!�

�Disini ada selembar kartu undangan yang khusus


dihantar kemari untuk mengundang Hoa toa-siocia.�

�Ada orang mengundang aku makan?�

�Benar.�

�Kapan?�

�Sekarang!�
�Di mana?�

�Di tempat ini?�

�Waaah, kalau begitu tidak usah repot-repot!� seru


Cong Hoa sambil tertawa.

�Benar, memang tidak usah repot-repot, asal Hoa


toa-siocia maju berapa langkah saja ke depan,
maka kau sudah sampai di tempat tujuan.�

�Lalu siapa tuan rumahnya?�

�Tuan rumah sudah menunggu, asal Hoa toa-siocia


masuk ke situ, kau pasti akan bertemu dengannya.�

�Kalau memang begitu, buat apa kau mesti mengirim


surat undangan?�

�Tata krama tidak boleh diabaikan, surat undangan


itu penting, silaukan Hoa toa-siocia menerimanya.�

Sekali kakek berbaju hitam itu mengang-kat


tangannya, surat undangan itupun perlahan-lahan
melayang kedepan, melayang sangat tenang, sangat
lambat, seakan akan ada sebuah tangan tidak
berwujud yang menyunggih dibawahnya dan dihantar
ke depan.

Cong Hoa tertawa, dia segera menerimanya,


kemudian baru ujarnya hambar, �Ooh, rupanya kau
sengaja datang kemari mengirim surat undangan
karena ingin aku saksikan kehebatan tenaga khikang
mu?�

�Hoa toa-siocia mentertawakan.�

Ternyata tuan rumah adalah Liong Ngo dari


Kwangtong.

Liong Ngo duduk diatas kursi malas berlapis kulit


macannya sambil menatap tajam wajah Cong Hoa,
begitu tajam pandangan matanya seolah dia hendak
membuat dua buah lubang diatas wajah gadis itu.

Bahkan saat ini Cong Hoa sendiripun merasa kalau


diatas wajahnya telah bertambah dengan dua buah
lubang.

Selama hidup belum pernah dia saksikan sorot mata


setajam ini, juga belum pernah berjumpa dengan
manusia seperti ini.

Dalam bayangannya, Liong Ngo dari Kwangtong


tidak seperti ini.

Lalu seperti apakah Liong Ngo dari Kwangtong?

Dia pasti tinggi besar, sangat berwibawa, sangat


kekar berotot, mungkin rambutnya sudah beruban
namun pinggangnya pasti masih tegak dan selurus toya,
tampangnya mirip dengan dewa penjaga pintu yang
sering dilihatnya dalam lukisan.
Suaranya sewaktu berbicara pun pasti senyaring
genta, yang dapat membuat kendang telingamu terasa
sakit, apalagi jika dia sudah naik pitam, cara yang
terbaik adalah menyingkir sejauh jauhnya dari orang
tersebut.

Cong Hoa benar-benar pingin sekali melihat tampang


wajahnya ketika sedang marah, pingin mendengar
auman teriakannya sewaktu naik pitam.

Sayang apa yang dia bayangkan semuanya keliru


besar.

Begitu berjumpa dengan Liong Ngo, dia segera tahu


bahwa tidak gampang untuk membuat naik pitam
orang semacam ini.

... Hanya orang yang tidak pernah naik darah


merupakan manusia yang betul betul sangat
menakutkan.

Paras mukanya pucat pasi, rambutnya jarang,


kumisnya kelimis, tapi semuanya terawat dan ditata
sangat rapi dan bersih, sepasang tangannya juga
terpelihara dengan baik, membuat orang lain susah
untuk percaya kalau tangan semacam ini pernah
digunakan untuk membunuh banyak orang.

... Sama seperti ada sementara orang desa yang


tidak percaya kalau pelacun pun dulunya pernah jadi
gadis perawan.
Pakaian yang dia kenakan sangat sederhana, karena
dia sendiripun tahu, tanpa mengenakan baju mewah,
perhiasan mahal, intan permata, Mutu manikam pun
orang sudah tahu kalau dia kaya raya dan berstatus
sosial tinggi.

Didalam tenda yang amat besar itu suasana terasa


amat sepi, kecuali Cong Hoa dan Liong Ngo, tidak ada
orang ketiga yang ikut hadir di situ.

Sudah cukup lama Cong Hoa masuk ke dalam tenda,


namun dia hanya mengucapkan empat patah kata,
�Aku adalah Cong Hoa!�

Sebaliknya tak sepatah kata pun yang diucapkan


Liong Ngo, bila berganti orang lain, dia pasti
menganggap orang ini tidak mendengar perkataannya
tadi.

Tapi Cong Hoa sama sekali tidak berpikir begitu.

Ada semacam orang yang selamanya tidak pernah


salah bicara, jelas dia termasuk manusia macam ini.

... anehnya, justru manusia semacam inilah yang


sering salah bicara sepuluh laksa patah kata namun dia
tetap menganggapnya benar.

Cong Hoa tahu, dia pasti sedang mengambil sikap


sebelum akhirnya buka suara, maka dia menunggu.
Menunggu dalam posisi berdiri.
Mendadak Liong Ngo menggerakkan jari tangannya
menunjuk ke arah sebuah bangku beralas kulit serigala
yang berada dihadapannya.

�Duduk!�

Lalu dia menuding lagi ke arah sebuah poci arak


yang ada diatas meja kecil. �Arak!�

Cong Hoa menuang secawan dan langsung diteguk


hingga habis.

Liong Ngo mengangkat juga cawan porselen


dihadapannya dan pelan-pelan meneguk satu tegukan,
lalu dia alihkan sorot matanya yang tajam menatap
wajahnya.

�Apakah kau tahu, siapa aku?�

�Memangnya dikolong langit terdapat Liong Ngo


lebih dari satu?� sahut Cong Hoa sambil tertawa.

�Kau tidak takut?�

�Kenapa aku harus takut?� suara Cong Hoa semerdu


burung nuri, �Apalagi kau yang mengundangku kemari,
aku adalah tamu, mana ada tuan rumah membunuh
tamunya?�

�Sudah tahu kenapa kuundang kau datang kemari?�

�Masalah Cong Hui-miat?� balik bertanya.


Perlahan-lahan sorot mata Liong Ngo yang tajam
mulai melemah, tapi dia masih menatap gadis itu tanpa
berkedip.

�Aku suka orang yang berterus terang, akupun suka


orang pintar, kebetulan kau memiliki keduanya.�

�Terima kasih!�

�Bolehkah aku berjumpa dengannya?�

�Tidak boleh!�

�Kenapa?�

�Sebab aku sendiripun tidak tahu berada di mana dia


sekarang!�

Kembali berkilat sorot mata Liong Ngo, bahkan lebih


tajam dari sebilah golok.

�Bukankah kau yang membawanya keluar dari


penjara bawah tanah?� tegurnya.

�Benar!�

�Apakah dia yang membawamu ke kota Say-cu-tin?�

Ternyata kota dimana Cong Hui-miat lenyap bernama


Say-cu-tin.

�Benar.�

�Lantas kenapa kau masih mengatakan tidak tahu


dia berada dimana sekarang?�
�Sebab setibanya di kota Say-cu-tin, dia telah diculik
orang.�

�Siapa yang telah menculiknya?�

�Perkumpulan naga hijau!�

�Perkumpulan naga hijau?�

�Benar!� Cong Hoa mengangguk.

Kembali Liong Ngo menatapnya tanpa berkedip, dia


seakan sedang memeriksa apakah jawaban dari Cong
Hoa itu jujur.

Cong Hoa balas menatapnya, sikap maupun gerakgeriknya


sangat tenang. Ketiga buah tenda raksasa itu
didirikan persis ditengah tanah pekuburan liar itu.

Kini langit semakin kelam, awan kelabu menyelimuti


seluruh bumi.

Lama sekali Liong Ngo mengawasi wajah Cong Hoa,


berapa saat kemudian dia baru mengambil cawan
kemalanya dan pelan-pelan menghirup setegukan arak.

�Perkataanmu sulit untuk dipercaya orang lain,�


katanya, �Tapi aku percaya!�

�Apa yang kukatakan memang kejadian yang


sesungguhnya.�

Kini Liong Ngo membuang pandangan matanya ke


tempat kejauhan, katanya kemudian, �Tampaknya
pertarunganku melawan perkumpulan naga hijau sudah
tidak terelakkan lagi.�

�Bagaimana kalau kau tunggu sampai aku selesaikan


dulu perhitungan hutang piutangku dengan mereka
kemudian baru bertindak?�

�Kau juga ingin bertarung melawan perkumpulan


naga hijau?�

�Bukan ingin, tapi pasti!� tukas Cong Hoa, �Mereka


telah melarikan Cong Hui-miat persis di hadapanku, jelas
tindakan mereka sama sekali tidak memberi muka
kepadaku, mana mungkin aku bisa berpeluk tangan
dan menyudahi begitu saja peristiwa ini?�

�Bila kau masih ingin hidup berapa tahun lebih lama,


lebih baik urungkan pikiran seperti itu.�

�Maksudmu, kungfuku masih belum memadai?�

�Benar.�

�Hmm!� kontan Cong Hoa tertawa dingin. �Tahun ini


berapa usiamu?� mendadak Liong Ngo bertanya lagi.

Walaupun Cong Hoa tidak tahu apa maksudnya


menanyakan soal umur, tapi jawabnya juga, �Dua puluh
tahun.�

�Sejak usia berapa kau berlatih silat?'

�Tiga tahun.�
�Itu berarti kau baru tujuh belas tahun berlatih silat,
mana mungkin bisa menandingi kemampuan
perkumpulan naga hijau?�

�Sekalipun baru belajar silat selama satu hari, aku


tetap akan menantang perkumpulan naga hijau untuk
bertarung habis-habisan.�

�Bagus! Punya nyali, punya semangat!� mendadak


Liong Ngo mendongakkan kepalanya dan tertawa
nyaring.

Ditengah gelak tertawanya yang keras, tiba tiba


tubuhnya melambung ke tengah udara, tubuhnya
melayang seolah ada tangan tak nampak yang sedang
mengangkat dan menahan tubuhnya di tengah udara.

Tanpa sadar Cong Hoa bangkit berdiri, dia kenali


gerakan jurus ini sebagai Thian-liong-ngo-si (lima
gerakan naga langit) yang sering didengarnya.

Gerakan pertama Cian-liong-sin-thian (naga


mendekam terbang ke langit).

Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata


dikolong langit ada orang yang bisa menguasahi ilmu
meringankan tubuh sedemikian sempurna.

Mendadak terdengar Liong Ngo berseru lagi, �Hati


hati jalan darah Cing-leng-hiat kiri dan kananmu.�

Jalan darah Cing-leng-hiat berada sepertiga didalam


tekukan ketiak orang, jika tertotok maka sepasang
lengannya sama sekali tidak mampu diangkat, tapi
pabila kau tidak mengangkat sepasang lenganmu,
mustahil orang lain akan menotok kedua buah jalan
darahmu itu.

Cong Hoa tertawa dingin, pikirnya, �Sekalipun aku


bukan tandinganmu, tapi bila ingin menotok jalan darah
Cing-leng-hiat ku, jangan harap bisa kau lakukan
dengan gampang.�

Dia memutuskan dalam keadaan seperti apa pun, dia


tidak akan mengangkat sepasang lengannya.

Dengan status dan kedudukan Liong Ngo dalam


dunia persilatan, setelah mengatakan akan menotok
jalan darah Cing-leng-hiat nya, tidak nanti dia akan
menyerang bagian lain.

Diiringi deruan angin kencang tahu-tahu Liong Ngo


sudah tiba dihadapan Cong Hoa, deruan angin dahsyat
membuat pakaian yang dikenakan berkibar kencang.

Buru-buru gadis itu memutar tubuhnya, baru saja dia


ingin menggunakan gerakan tersebut untuk
memunahkan kekuatan yang tiba, mendadak tangan
kanan Liong Ngo sudah ditebas ke jalan darah Ciancing-
hiat di bahu kiri kanannya.

�Plaak, plaaak!� tahu-tahu kedua lengan tersebut


sudah tidak sanggup diangkat kembali.
Entah sejak kapan Liong Ngo sudah berbaring lagi
diatas ranjang empuknya, dia masih kelihatan santai,
seolah belum pernah menggerakkan tubuhnya.

Merah padam selembar wajah Cong Hoa saking


jengkelnya, dengan lantang teriaknya, �Jalan darah
yang kau totok itu jalan darah Cian-cing-hiat, bukan
Cing-leng-hiat.�

�Tidak usah kau jelaskan, masa aku tidak bisa


membedakan mana jalan darah Cian-cing-hiat, mana
Cing-leng-hiat?�

�Hey, janjimu bisa dipercaya tidak?�


�Kapan aku mengatakan akan menotok jalan darah
Cing-leng-hiatmu?�
�Tadi jelas kau mengatakan begitu�
�Aku hanya suruh kau menaruh perhatian, jika sedang
bertarung melawan orang, setiap jalan darah
ditubuhmu harus kau perhatikan dengan seksama,� cara
bicara Liong Ngo seperti seorang guru sedang memberi
nasehat kepada muridnya, �Apalagi ilmu silat memang
digunakan untuk menghadapi segala perubahan yang
terjadi, selain cekatan, otak juga harus encer, karena
tidak bisa menotok jalan darah Cing-leng-hiat mu, tentu
saja aku harus menotok jalan darah Cian-cing-hiat mu.�

Setelah meneguk secawan arak, kembali lanjutnya,


�Hasilnya toh sama saja, kedua lenganmu sudah tidak
bisa digerakkan lagi, buat apa aku mesti susah susah
mengarah jalan darah Cing-leng-hiat mu? Kalau teori
semacam ini saja tidak kau pahami, biar harus berlatih
seratus tujuh puluh tahun lagi pun jangan harap kau bisa
menjadi seorang jagoan tangguh.�

Saking mendongkolnya Cong Hoa tidak sanggup


mengucapkan perkataan apapun.

�Kenapa? Kau tidak puas?�

�Tentu saja tidak puas!� jawab Cong Hoa sambil


menggigit bibirnya.

�Baik.�

Tampak dia mengayunkan tangannya, entah benda


apa yang disambitkan keluar, tahu-tahu jalan darah Sinhong-
hiat ditubuh Cong Hoa sudah kena ditimpuk.

Cong Hoa segera merasakan ada segulung kekuatan


muncul dari dadanya dan menyebar ke empat anggota
tubuhnya, dalam waktu singkat kedua lengannya sudah
dapat digerakkan lagi.

Menimpuk udara menghajar jalan darah merupakan


ilmu silat langka yang jarang dijumpai dalam dunia
persilatan, sungguh tidak disangka Liong Ngo bahkan
bisa menggunakan ilmu menimpuk udara
membebaskan jalan darah.

Baru saja Cong Hoa dapat menggerakkan kedua


lengannya, mendadak kembali terasa segulung angin
hangat berhembus lewat, jalan darah Cing-leng-hiat di
kiri kanan ketiaknya mendadak jadi kaku dan kedua
lengan tersebut kembali jadi kaku dan tidak bisa
digerakkan.

Ketika berpaling ke arah Liong Ngo, tampak dia


sudah berbaring kembali di tempat semula, sikapnya
tetap amat santai.

Cong Hoa menengok sekejap ke arahnya, mendadak


dia tertawa tergelak.

�Apa yang kau tertawakan?� Liong Ngo tampak


melengak.

�Aku sedang mentertawakan ilmu silatmu.�

�Ilmu silatku tidak bagus?�

�Bagus, bagus sekali!� sahut Cong Hoa sambil


tertawa, �Tapi sayang, biarpun pemimpin perkumpulan
naga hijau memiliki kungfu sepuluh kali lipat lebih
lihay dari kungfu mu pun, aku tetap akan pergi
mencarinya.�

�Kau tidak takut mati?�

�Takut, takut setengah mati. Cuma... takut adalah


satu persoalan, mencari balas adalah persoalan lain.�

�Jadi kau tetap nekad akan pergi mencarinya?�

�Benar.�

Cerita tentang Opium.


Disudut timur laut Pesanggrahan pengobatan Coansin-
ie-khek terdapat sebuah bangunan rumah, biasanya
jarang ada orang yang muncul disitu.

Penghuni pesanggrahan pengobatan sebisa mungkin


tidak berjalan menuju ke rumah tersebut, bila perlu pun
biasanya akan muncul dengan terburu-buru, begitu
selesai dengan tugasnya tergesa-gesa pula pergi
meninggalkan rumah itu.

Rumah itu hanya diurus seorang kakek yang tuli lagi


bisu, penghuni pesanggrahan memanggilnya paman
bisu.

Diatas pintu rumah tergantung sebuah papan nama,


diatas papan itu tertera tiga huruf besar: Tay-peng-uh
(rumah ketenangan/aman).

Tempat itu memang selalu aman, karena orang yang


dikirim ke tempat itu biasanya memang aman aman
saja, mereka jarang ribut, jarang berkelahi, juga tiada
luapan perasaan maupun napsu.

... Orang mati memang tidak pernah ribut, tidak


pernah berkelahi, mereka pun tiada luapan perasaan
maupun napsu.

Oleh sebab itu orang mati selalu aman, selalu damai


dan tenang.

Yang dimaksud rumah ketenangan tidak lain adalah


ruangan untuk meletakkan layon orang yang telah mati.
BAB 12.

Jenasah Tu Bu-heng, Un-hwee sianseng serta Lan Itceng


semuanya disimpan dalam ruangaitu.

Paman bisu dengan membawa segenggam hio yang


sudah disulut berjalan masuk ke dalam rumah
ketenangan. Biarpun waktu itu masih pagi hari, namun
suasana dalam rumah ketenangan terasa dingin
menyeramkan, cahaya disitu pun terasa sangat redup.

Bila kelewat lama berada dalam ruangan itu, meski


kau kenakan pakaian tebal sepuluh lapis pun, sepasang
kakimu tetap akan gemetaran.

Paman bisu hanya mengenakan satu stel pakaian


kasar, dia berjalan masuk ke dalam ruangan dan
terlihatlah tubuh Tu Bu-heng, Un-hwee serta Lan It-ceng
dibaringkan diatas sebuah altar yang berbentuk
panjang. Tanpa perubahan mimik muka paman bisu
menancapkan dua batang hio diujung kaki Lan It-ceng,
kemudian menuju ke depan Tu Bu-heng dan
menancapkan lagi dua batang hio.

Menanti dia sudah menancapkan dua batang hio


didepan Un-hwee sianseng, dengan tanpa perubahan
mimik muka paman bisu berlalu dari situ.
Enam batang hio didepan tiga sosok tubuh manusia,
perlahan lahan mengepulkan asapnya ke udara.

Sekalipun semasa hidup kau adalah seorang


enghiong atau seorang hohan atau bahkan seorang
pengemis, pembesar atau rakyat jelata, setelah mati,
semuanya adalah sama. Yang diperoleh waktu itu
hanya dua batang hio serta sebuah gundukan tanah
pekuburan.

Oleh sebab itu buat apa hidup sebagai manusia


harus berpikiran picik dan berhati sempit?

Ditengah keheningan dan suasana seram yang


menyelimuti rumah ketenangan, mendadak terdengar
suara gemerutuk yang sangat perlahan bergema
memecahkan keheningan.

Menyusul suara tersebut, altar panjang yang dipakai


untuk membaringkan tubuh Un-hwee tiba-tiba
tenggelam ke bawah.

Tidak selang berapa saat kemudian tubuh Un-hwee


sudah sama sekali tenggelam ke bawah tanah dan
tidak terlihat lagi.

Ke mana perginya tubuh Un-hwee?

Didalam rumah yang amat �tenang� ini, mengapa


bisa terjadi peristiwa seperti ini?

Kalau orangnya sudah mati, apa mungkin junasahnya


masih punya nilai untuk dipergunakan lagi? Kenapa
jenasahnya amblas ke bawah? Apakah dibawah sana
masih terdapat rahasia lain?

Kalau memang ada rahasianya, rahasia macam


apakah itu?

Dibawah sana memang ada rahasia, semacam


rahasia yang bisa membuat orang tidak percaya.
Ternyata dibawah rumah ketenangan masih terdapat
sebuah ruangan lagi yang aneh sekali bentuknya.

Didalam ruangan itupun terdapat sebuah altar


panjang, altar itu bukan terbuat dari kayu melainkan
dibuat dari besi putih. Disisi altar panjang yang terbuat
dari besi putih itu terdapat pula berapa buah meja kecil
yang terbuat dari besi putih juga.

Diatas meja kecil tersedia aneka macam benda yang


aneh, ada pisau kecil, ada penjepit, ada tang, ada
kapak kecil juga ada gergaji kecil, anehnya disitu pun
terdapat gunting, jarum dan benang.

Diatas meja kecil yang lain terletak aneka macam


botol dan guci kecil, ada yang tinggi, ada yang pendek,
bulat, gepeng bahkan ada botol botol berbentuk aneh.

Didalam aneka botol itu tersimpan aneka macam


cairan yang berwarna-warni.

Biarpun ruangan itu terletak di bawah tanah, namun


suasananya jauh lebih benderang ketimbang ruang
atas, disekeliling tempat itu tergantung berapa buah
lampu kristal. Selain itu terendus pula bau semerbak obat
obatan yang amat tebal.

Tubuh Un Hwee yang barusan amblas dari ruang atas,


kini berbaring membujur diatas altar panjar terbuat dari
besi putih itu.

Apa kegunaan ruangan ini?

Kenapa terdapat begitu banyak barang aneh disitu?

Disekeliling ruangan tidak tampak jendela, juga tak


nampak pintu.

Pada saat itulah dari dinding ruangan sebelah kiri


mendadak muncul sebuah �pintu�. Pintu itu muncul dari
balik dinding, ketika lapisan dinding bergerak naik ke
atas maka muncullah sebuah lubang pintu disitu.
Menyusul kemudian tampak seseorang berjalan keluar
dari balik pintu.

Hong Coan-sin dengan mengenakan baju panjang


berwarna hijau rumput dan menutup lubang hidung dan
mulutnya dengan secarik kain berwarna hijau pula
berjalan keluar dari pintu dan mendekati altar tersebut.

Rambutnya tampak ditutup juga dengan kain hijau,


bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang
tembus pandang.

Perlahan-lahan dia menghampiri altar itu, wajahnya


serius namun tidak menutup rasa girangnya yang
meluap, dia menatap tubuh Un Hwee tanpa berkedip.
Dia mulai melepaskan seluruh pakaian yang
dikenakan Un-hwee, tidak selang berapa saat kemudian
Un-Hwee sudah berada dalam keadaan telanjang
bulat.

Hong Coan-sin mengeluarkan sebilah pisau kecil,


kemudian dengan menggunakan tangan yang lain dia
mulai menekan perut jenasah itu.

Ketika dia sudah puas menekan, pisau kecilnya baru


mulai digunakan untuk membelah perut Un-hwee.
Biarpun pisau itu kecil namun tajamnya luar biasa, tanpa
mengeluarkan banyak tenaga dia sudah membelah
perut Un-hwee hingga terbelah lebar.

Hong Coan-sin meletakkan kembali pisau kecilnya,


lalu mengambil sebuah tang dan mulai menjepit usus
yang ada didalam perut, tangan yang lain mengambil
gunting dan dia mulai memotong usus tersebut. Usus
yang sudah tergunting dia masukkan ke dalam sebuah
kotak bulat yang berisi cairan berwarna merah.

Tidak sampai setengah jam kemudian, seluruh isi perut


Un-hwee sudah dikeluarkan oleh Hong Coan-sin dan
masing-masing dimasukkan ke dalam pelbagai tempat
yang berbentuk aneh itu. Setelah itu dia baru
menghembuskan napas panjang, dengan perasaan
puas ditatapnya kotak kotak berisi isi perut tadi.

Hong Coan-sin berjalan ke depan sebuah lampu


kristal, menekan sebuah tombol pada lampu tadi dan
dari sisi lentera itupun muncul sebuah lemari.
Didalam almari itu tersimpan puluhan buah kotak
kecil, Hong Coan-sin mengambil sebuah kotak yang
berisi bubuk berwarna coklat dan segera dituang ke
dalam perut Un-hwee. Kemudian setelah menyimpan
kembali kotak kecil itu, dia mengambil jarum dan mulai
menjahit bekas luka di perut itu.

Gulungan kain perban berada disebuah tongkat


yang lembut lagi panjang, Hong Coan-sin menarik ujung
perban itu kemudian mulai membungkus kaki Un-hwee
dengan kain perban itu, tidak selang berapa saat
kemudian seluruh tubuh Un-hwee sudah terbalut oleh
kain perban itu hingga keadaannya mirip dengan
sebuah mummi.

Kembali Hong Coan-sin memutar sebuah lampu


lentera, lagi lagi dari balik dinding muncul sebuah almari
besar.

Dari balik almari yang besar itu Hong Coan-sin


mengeluarkan sebuah peti sebesar tubuh manusia,
membuka penutupnya, membopong tubuh Un-hwee
dan memasukkan ke dalam peti.

Setelah merapatkan kembali peti itu, Hong Coan-sin


baru memberi tanda diatas peti itu dengan nomor urut
serta tanggal. Peti itu bernomor tujuh puluh tiga dan
tertanggal bulan sepuluh tanggal lima.

Bulan sepuluh tanggal lima adalah hari ini.

Lantas nomor tujuh puluh tiga melambangkan apa?


Apakah mayat ke 73 yang di otopsi olehnya? Atau
akan disimpan selama 73 hari?

Kini peti panjang itu sudah diletakkan kembali di


tempat semula. Hong Coan-sin memandang sekejap
sekeliling tempat itu, ketika merasa puas dia baru
membalikkan tubuh sambil memutar lampu lentera yang
lain.

Kembali muncul sebuah pintu rahasia, dengan tubuh


yang penat dia berlalu dari situ, perlahan-lahan
bayangan tubuhnya lenyap dibalik kegelapan.

Walaupun hari ini tidak nampak cahaya matahari,


namun udara tidak sedingin kemarin.

Pakaian yang dikenakan Tay Thian jauh lebih sedikit


dibandingkan kemarin. Saat ini dia sedang duduk saling
berhadapan dengan Hong Coan-sin. Diantara kedua
orang itu dipisahkan sebuah meja besar, sebuah meja
yang berben-tuk melengkung.

Meja itu terbuat dari kayu wangi, besar lagi bagus


ukirannya, dalam sekilas orang akan tahu kalau meja
tersebut tidak ternilai harganya.

Ruangan ini digunakan Hong Coan-sin sebagai ruang


kerja, biasanya disitu juga dia menerima kunjungan
�tamu agung�.

�Sudah diketahui racun penyebab kematian Tu Buheng


sekalian?� Tay Thian membuka pembicaraan.
�Didekat negara kita terdapat sebuah wilayah yang
disebut orang segitiga emas, ditempat itu dihasilkan
sejenis tanaman yang disebut bunga opium,� Hong
Coan-sin menjelaskan, �Mereka menyebutnya sebagai
buah kejahatan.�

�Bunga opium merupakan sejenis bahan obat yang


sangat aneh, bila kadar penggunaannya sedikit dia
akan menjadi obat yang mustajab, dapat mencegah
kau kesakitan, tapi bila kau gunakan dalam kadar
banyak, maka bibit bencana segera akan menempel
ditubuhmu, kau akan selamanya diperbudak obatobatan
sampai akhirnya mati secara mengenaskan.�

�Jadi Tu Bu-heng dan Un-hwee tewas karena bunga


opium itu?� tanya Tay Thian.

�Benar!� Hong Coan-sin membenarkan.


�Mereka menelannya sendiri? Atau dipaksa orang?�

�Semuanya bukan,� perlahan Hong Coan-sin


mengalihkan pandangan matanya ketempat kejauhan,
nada suaranya pun seolah datang dari tempat yang
jauh.

�Pengaruh bunga opium yang menyerang mereka


bukan lewat makanan, tapi melalui semacam hawa
tubuh.�

�Hawa tubuh?�
�Benar, hawa tubuh yang menyusup masuk melalui
pori-pori kulit, kemudian tanpa disadar mereka
keracunan dan mati.�

�Maksudmu bunga opium itu diolah menjadi


semacam hawa tubuh, kemudian menyebarkan hawa
tersebut di udara, asal ada orang tersentuh hawa
beracun itu maka serbuk racun akan menembusi pori-
pori badan dan menyebabkan kematian?�

�Benar.�

�Siapa yang memiliki kepandaian sehebat itu, dapat


mengubah racun itu menjadi sejenis hawa tubuh?�

�Pernah dengar tentang bubuk pemabuk Ngo-masan?�

�Bubuk pemabuk Ngo-ma-san?� seru Tay Thian, �Obat


yang dibuat dari resep rahasia Hoa Tuo? Bukankah
setelah kematian Hoa Tuo, resep itu turut lenyap?�

�Tapi ada seseorang yang bertekad akan


mempelajari kembali resep rahasia itu, dia telah
menghabiskan waktu selama enam belas tahun untuk
mempelajarinya, bukan saja telah memburu pelbagai
rumput obat yang ada di kolong langit, bahkan
tidak segan menggunakan istri dan putrinya sebagai
kelinci percobaan.�

�Dia berhasil?�
�Betul, dia berhasil,� Hong Coan-sin mengangguk,
�Tapi putrinya telah menjadi buta sementara istrinya
edan.�

Dari balik kelopak mata Hong Coan-sin seakan


terlintas perasaan yang sendu, lanjutnya, �Konon
putranya menjadi orang pertama yang berkorban
karena terkena bubuk racun Ngo-ma-san itu.�

�Siapakah orang itu? Dari marga apa?�

�Aku kurang tahu, tapi menjelang dia terjun ke sungai


untuk bunuh diri, resep rahasia ini telah dia wariskan
kepada seseorang.�

�Dia melompat ke sungai, bunuh diri?� tanya Tay


Thian terperanjat.

�Seandainya bini dan putrimu berubah jadi seperti


mereka, aku yakin kau pun akan terjun ke sungai untuk
bunuh diri.�

Tay Thian berpikir sebentar kemudian mengangguk


tanda setuju, tanyanya lagi, �Resep rahasia itu dia
wariskan kepada siapa?�

�Seseorang dari marga Toan, bernama Toan Capsa.�

�Toan Capsa?�

�Dia memiliki tiga belas bilah pisau, semuanya


merupakan pisau menolong nyawa.�
�Aneh, kenapa belum pernah aku dengar tentang
orang ini?�

�Sebab selama Yan Capsa masih hidup, dia tidak


akan berani tampilkan diri.�

�Maksudmu Toh-mia si pencabut nyawa Yan Capsa?�

�Benar!�

�Yan Capsa sudah mati, kenapa Toan Capsa belum


berani menongolkan diri?�

�Karena Toan Capsa pun sudah mati!�

�Toan Capsa sudah mati?� Tay Thian semakin


tercengang, �siapa yang telah membunuhnya?�

�Yan Capsa.�

�Aaah, makin bicara semakin membingungkan,


bukankah Toan Capsa selalu bersembunyi dari Yan
Capsa? Kenapa dia malah mati ditangan Yan Capsa?�

�Karena Toan Capsa adalah Yan Capsa.�

Matahari telah condong ke barat, sang surya nampak


sangat merah. Aneka bunga dalam pesanggrahan
pengobatan sedang mekar dan menyiarkan bau harum
semerbak, membuat suasana di senja itu nampak lebih
cantik menawan.

Sesaat menjelang tibanya kegelapan yang


mencekam seluruh jagad, langit selalu meninggalkan
secercah sinar yang amat terang, seakan seperti orang
yang menjelang kematiannya, dia akan selalu tampil
lebih bijak, lebih pintar dan lebih segar. Itulah kehidupan.

Bila kau benar benar memahami arti dari hidup maka


banyak kesedihan bisa kau abaikan, hidup pun akan
bertambah senang dan bahagia.

Tiba tiba sorot mata tajam berkilat dari balik mata Tay
Thian, dia menghembuskan napas panjang dan
bergumam, �Mengerti aku sekarang, mengerti aku
sekarang...�

�Aku tahu, kau pasti mengerti!� kata Hong Coan-sin


pula sambil menghela napas panjang.

�Bila seseorang ingin menjadi seorang pendekar


pedang yang sejati, dia harus tidak punya perasaan,�
kata Tay Thian, �Tapi orang itu sebelum melompat ke
sungai untuk bunuh diri telah menyerahkan rahasia
pertabibannya kepada dia, hal ini sama artinya dia
telah menanamkan bibit �perasaan� dihatinya.�

Hong coan-sin setuju dengan pandangan itu,


karenanya dia manggut-manggut.

�Oleh sebab itulah muncul manusia yang bernama


Toan Cap-sa. Yan Capsa gemar membunuh orang,
sementara Toan Capsa gemar menolong orang. Dua
orang dengan karakter yang bertolak belakang, tidak
heran kalau Toan Capsa selalu harus menghindari Yan
Capsa.�
�Betul!�

�Pertarungan antara Yan Capsa melawan Sam sauya


Cia Siau-hong harus tetap diselenggarakan,� kembali
Tay Thian memandang ke tempat kejauhan, �Dalam
pertarungan itu Cia Siau-hong terkena racun, sebetulnya
racun itu susah dipunahkan, tapi Toan Capsa telah
selamatkan jiwanya.�

�Padahal hanya bubuk Ngo-ma-san yang bisa


digunakan untuk menyelamatkan nyawa Sam sauya!�

�Aku dengar ilmu pedang paling lihay yang dimiliki


Yan Capsa bukan Toh-mia Capsa-kiam (tiga belas jurus
pedang pencabut nyawa) nya, melainkan perubahan
ke lima belas yang ada diluar tiga belas jurus
pedangnya itu,� kata Tay Thian lagi, �Konon jarang ada
yang mampu menghindarkan diri dari serangan
mautnya itu.�

�Apakah Sam sauya sendiripun tidak mampu?�

�Tidak mampu.�

�Tapi dia tidak menggunakan jurus serangan


andalannya untuk membunuh Sam sauya?�

�Jika dia gunakan jurus serangan tersebut, dapat


dipastikan Sam sauya akan segera tewas,� Tay Thian
menghela napas panjang, �Sayang hingga detik
terakhir, dia tidak sanggup menggunakan jurus serangan
itu lagi!�
�Kenapa?�

�Karena dia sudah kehilangan hawa napsu untuk


membunuh.�

�Bukankah Yan capsa sangat bernapsu ingin


membunuh Sam sauya? Kenapa sampai detik yang
terakhir justru dia kehilangan napsu untuk membunuh?�

�Karena Toan Capsa pernah selamatkan nyawa Sam


sauya, sekalipun antara Toan Capsa dan Yan Capsa
merupakan watak dua orang manusia yang bertolak
belakang, tapi bibit �perasaan� yang tertanam dalam
hatinya sudah mulai tumbuh sebagai kecamba.�

�Jika kau pernah selamatkan nyawa seseorang, maka


sulit bagimu untuk melakukan pembunuhan,� kata Hong
Coan-sin, �Sebab kau sudah mempunyai perasaan
terhadap orang yang pernah kau tolong itu.�

�Betul!� Tay Thian manggut manggut, �Perasaan


semacam ini memang sulit diterangkan dengan
perkataan, karena hanya manusia yang bisa merasakan
perasaan seperti itu, justru karena hanya manusia yang
bisa merasakan maka manusia tetaplah manusia.�

�Sekalipun Yan Capsa tidak tega membunuh Sam


sauya, dia sendiri toch tidak perlu harus mati!�

�Sebetulnya aku sendiripun tidak mengerti, kenapa


dia harus mati!�

�Dan sekarang kau telah memahaminya?�


�Waktu itu, meski dihati kecilnya dia tidak ingin
membunuh Sam sauya, namun pikirannya sudah tidak
mampu mengendalikan pedang yang berada dalam
genggamannya,� kata Tay Thian, �Karena kekuatan
yang timbul pada pedangnya merupakan suatu
kekuatan yang tidak mungkin bisa dikendalikan oleh
manusia manapun, asal dilancarkan, pasti ada orang
akan mati diujung pedangnya.�

...Setiap manusia pasti pernah menghadapi sebuah


persoalan yang diri sendiripun susah mengendalikan, diri
sendiripun susah memahaminya. Karena di dunia ini
memang terdapat suatu kekuatan misteri yang sukar
dikendalikan oleh kekuatan manusia.

�Sebetulnya yang ingin dia musnahkan bukan diri


sendiri, melainkan pedangnya,� Tay Thian melanjutkan.

�Bukankah pedang itu merupakan ilmu pedang yang


tiada duanya di kolong langit, ilmu pedang yang sudah
mencapai tingkatan kesempurnaan? Kenapa dia ingin
memusnahkannya?�

�Karena secara tiba-tiba dia menjumpai bahwa yang


didatangkan pedang tersebut hanya kepunahan dan
kematian, dia tidak ingin membiarkan ilmu pedang
semacam ini tetap berada di dunia ini, dia tidak ingin
menjadi manusia paling berdosa dalam dunia
persilatan.�
�Tapi.... bukankah perubahan serta kekuatan yang
ditimbulkan pedang tersebut sudah tidak bisa dia
kendalikan lagi?� kata Hong Coan-sin.

�Yaa, kondisinya saat itu seperti seseorang yang


memelihara seekor ular, tiba-tiba diketahui olehnya
bahwa ular tersebut ternyata seekor ular berbisa,
sekalipun melingkar ditubuhnya namun tak mau
mentaati perintahnya, bahkan mau dibuang ke tanah
pun susah dilepaskan, akhirnya dia pun hanya bisa
menunggu sampai ular berbisa itu menggigitnya,
menghisap darahnya dan merenggut nyawanya.�

Sekilas perasaan duka melintas dibalik mata Tay Thian,


terusnya, �Oleh sebab itu terpaksa dia harus
memusnahkan diri sendiri.�

�Yaa, sebab nyawa dan tubuhnya telah melebur jadi


satu dengan ular berbisa itu, karena ular berbisa tersebut
tidak lain adalah inti kekuatan yang dimiliki dalam
tubuhnya, maka bila ingin memusnahkan ular berbisa itu,
dia harus memusnahkan dulu diri sendiri.

Peristiwa semacam ini selain tragis juga sangat


mengerikan, dipenuhi pelbagai misteri dan teror namun
mengandung juga makna serta falsafah yang tinggi.
Biarpun sekilas pandang cerita ini kelewat tak masuk
diakal, namun sesungguhnya merupakan sebuah
kenyataan, tidak ada orang yang bisa memastikan
keberadaannya.
Pendekar pedang yang termashur di seantero jagad
Yan Capsa telah menghabisi nyawa sendiri, oleh sebab
itu Toan Capsa pun ikut mati.

Jurus pedang pencabut nyawa yang diciptakan Yan


Capsa pun turut musnah bersama kematiannya, resep
mestika Ngo-ma-san pun ikut lenyap bersama kematian
Toan Capsa.

Beginilah kehidupan seorang manusia. Manusia


memang hidup dalam suasana serba salah, antara
memperoleh dan kehilangan selalu susah dijelaskan
secara nyata.

Jago pedang kenamaan memang sudah lenyap,


namun pedangnya masih utuh.

Bagaimana dengan ilmu pertabiban? Bagaimana


dengan resep mustajab?

�Apakah bubuk Ngo-ma-san diolah dari sari bunga


opium?� tanya Tay Thian kemudian sambil menatap
tajam wajah Hong Coan-sin.

�Benar!�

�Jago pedang telah mati, ilmu pedang telah punah,


resep Ngo-ma-san juga telah kembali ke bumi, siapa
pula yang kini mulai berusaha menggalinya kembali?�

Tidak menanti Hong Coan-sin menang-gapi, kembali


Tay Thian melanjutkan, �Apakah sejarah akan terulang
kembali? Haruskah ada bini yang jadi gila, anak
perempuan yang jadi kalap sebelum resep obat itu
berhasil tercipta?�

�Entahlah!�

... Hingga saat ini tidak seorang manusia pun dapat


menjawab pertanyaan itu.

Daun berguguran diterpa hembusan angin yang


dingin.

Mengawasi daun yang berguguran, Tay Thian tampak


masgul dan murung.

�Andaikata orang mati masih bisa merasakan, saat ini


apakah Yan capsa akan berpikir lebih baik dia yang
hidup dan membiarkan Sam sauya yang mati?� gumam
Hong Coan-sin seorang diri.

Pertanyaan semacam inipun tidak ada yang bisa


menjawab.

Angin musim gugur berhembus kencang, perasaan


hati Hong Coan-sin terasa murung dan bergelombang
seakan terhembus oleh angin.

�Benarkah Yan Capsa bisa mati tanpa menyesal?�

�Benar!� jawab Tay Thian.

�Kau yakin ular beracun yang telah membunuh


dirinya, tidak akan hidup lagi ditubuh orang lain?�

�Bisa, mungkin juga tidak bias!�


�Jawaban macam apa itu?�

�Bila di kolong langit saat ini masih ada orang yang


mampu menggunakan jurus pedang tersebut, orang itu
sudah pasti Sam sauya.�

�Oleh sebab itu ketika mata pedang menggorok


tenggorokan Yan Capsa, sorot matanya sudah tidak
memperlihatkan lagi perasaan takut dan ngeri, saat itu
sorot matanya berubah jadi tenang sekali,� kata Hong
Coan-sin sambil memandang ke tempat kejauhan,
�Karena dia telah menanamkan bibit �ular beracun� itu
didalam hati Sam sauya.�

...Bibit yang ditanam itu suatu saat pasti akan tumbuh,


bila saatnya telah tiba maka ular beracun itupun akan
bangkit dan hidup kembali.

Mungkinkah ular berbisa itu akan tumbuh dan hidup


dalam tubuh Sam sauya?

Kalau memang hingga detik terakhir Yan Capsa


enggan membunuh Sam sauya yang pernah
ditolongnya, mengapa dia justru menanamkan bibit
tersebut di dalam hati Sam sauya?

Kenapa?
BAGIAN -2

Bertemu lagi Kait perpisahan.

BAB 1.

Manusia persilatan.

Ada sementara orang sama persis seperti senjata


tajam yang terbuat dari baja asli, sekalipun lenyap dari
peredaran namun masih ada wujudnya.

Di dunia memang selamanya terdapat dua jenis


manusia.

Jenis pertama adalah manusia yang hidup untuk


membakar diri, untuk menempa diri, karena dengan
membakar diri dia baru tampak bercahaya.

....Sekalipun cahaya tersebut hanya memancar


sekilas.

Jenis kedua adalah manusia yang selamanya


menyaksikan orang lain membakar diri, menyaksikan
orang lain menempa diri, membiarkan cahaya yang
muncul dari tubuh orang lain menyinari dirinya sendiri.

Manusia semacam inikah yang disebut manusia


pintar?
Padahal perubahan jurus pedang ke lima belas yang
dimiliki Yan Capsa bukan hanya Sam sauya seorang
yang pernah menjumpainya.

Tatkala Yan Capsa mengggunakan jurus serangan


tersebut, secara diam-diam Thiat Kay-seng berdiri
menonton disisi arena.

Thiat Kay-seng terhitung salah satu orang yang


�pernah� mendapat petunjuk dari Yan Capsa, namun
tidak pernah diakui sebagai �murid�nya.

...�Dia pasti sangat ingin bertemu denganmu, sebab


walaupun kau bukan muridnya namun kaulah satu
satunya ahli waris yang pernah memperoleh petunjuk
darinya, dia pasti berharap dapat melihat pedangmu
untuk terakhir kalinya.�

Perkataan itu disampaikan Sam Sauya kepada Thiat


Kay-seng dikemudian hari. Oleh sebab itu orang yang
bisa menggunakan jurus ke lima belas hasil gubahan Yan
Capsa bukan hanya Sam sauya seorang.

Thiat Kay-seng pun bisa.

Seandainya �ular berbisa� akan muncul kembali,


belum tentu itu terjadi di tubuh Sam sauya.

�Sekali kau menjadi orang persilatan, selamanya kau


akan menjadi seorang manusia persilatan,� perkataan
itu diucapkan Sam sauya kepada Thiat Kay-seng.
�Sekali kau menjadi Cia Siau-hong, selamanya kau
tetap Cia Siau-hong!� inilah jawaban dari Thiat Kay-seng.

Padahal hidup sebagai orang persilatan, walaupun


mereka bagaikan daun yang gugur terhembus angin,
daun teratai diatas permukaan air. Walaupun mereka
tidak berakar, namun orang-orang itu mempunyai
semangat, memiliki jiwa setia kawan.

Sekalipun mereka kerap berada dalam kesulitan


namun tidak pernah mengeluh kepada langit, tidak
pernah mengeluh pada bumi. Mereka tetap memiliki
penghidupan yang penuh warna-warni, penghidupan
yang senang dan bahagia.

Jalan raya yang membentang dalam dunia persilatan


walaupun tidak pernah bisa diramalkan, tapi hidup
sebagai orang persilatan, mereka tetap akan
merindukan semua kejadian yang ada dalam dunia
kangouw.

�Jika ada orang dapat menemukan kembali resep


Ngo-Ma-San berarti ada orang yang dapat
menciptakan juga hawa tubuh,� kata Tay Thian sambil
menatap Hong Coan-sin.

�Banyak kejadian di dunia ini yang sukar untuk


diramalkan, ada orang rela terjun ke sungai, ada pula
yang senang bunuh diri.�
Tay Thian menghela napas panjang, sambil
membalikkan tubuh ujarnya, �Kuburlah mereka baik
baik!�

Yang dimaksud adalah Tu Bu-heng serta Un-hwee.

�Pasti!� jawab Hong Coan-sin serius, �Memang


begitulah peraturan yang berlaku dalam Pesanggrahan
pengobatan Coan-sin.�

Benarkah begitu?

Ada saat matahari terbit, ada saat matahari


terbenam, oleh sebab itu ada malam hari.

Ada orang jahat, ada pula orang baik, maka muncul


orang yang bertugas menegakkan hukum. Semuanya itu
bukan berubah dalam waktu sekejap, semenjak
kehidupan dimulai, semuanya pun dimulai.

Tapi ada satu hal yang sudah ada, sudah ditentukan


sejak adanya kehidupan, yaitu ... kejahatan tidak akan
bisa memenangkan kebenaran.

Selamanya hukum itu berlaku, dari dulu hingga nanti.

Istana raja muda Lam-ong sangat lebar, luas dan


megah. Apalagi bila malam telah menjelang tiba, orang
selalu merasakan hawa menyeramkan yang tidak
terlukiskan dengan perkataan.

Orang tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan


seram seperti ini, mungkinkah lantaran bangunan
istananya kelewat luas? Atau karena suasananya
kelewat hening?

Malam semakin larut, udara pun terasa makin


membeku, kedipan bintang bertaburan diseluruh
angkasa.

Cu congkoan sudah belasan tahun bertugas di istana


raja muda Lam-ong, diawali dari seorang kacung hingga
kini menjabat seorang congkoan, suatu perjalanan karier
yang tidak mudah.

Sekalipun sudah amat lama dia berdiam disitu,


namun jika malam tiba, dia sendiripun tidak berani
berjalan seorang diri dalam kebun yang luas itu.

Cu congkoan bernama Cu Liok, liok yang berarti hijau.

Dia mempunyai tiga orang saudara, semuanya


menggunakan warna sebagai namanya, lotoa bernama
Cu Lan (biru), loji bernama Cu Pek (putih), losam
bernama Cu Liok (hijau) dan si buncit bernama Cu Cing
(hijau pupus).

Walaupun Cu Liok bernama si hijau (liok), dia justru


paling benci mengenakan pakaian berwarna hijau,
tentu saja dia terlebih tidak suka bila mesti mengenakan
topi berwarna hijau, (mengenakan topi hijau artinya
punya bini yang selingkuh).

Dalam hal ini, asal dia seorang lelaki, hampir


semuanya tidak suka dengan hal tersebut.
Malam ini Cu congkoan mengenakan jubah
berwarna biru tua, dengan susah payah dia telah
meronda satu putaran disekeliling gedung Lam-ong-hu.

Itulah tugas yang harus dia selesaikan setiap malam


menjelang naik ranjang untuk tidur.

Tidak mungkin ada pencuri berani mencuri barang


dalam istana raja muda, dalam hal ini Cu congkoan
sangat paham, namun setiap malam dia tetap harus
melakukan perondaan.

Selesai meronda di loteng Teng-gwee-siau-lo,


perlahan-lahan Cu Liok menghembuskan napas lega,
dia memutuskan sekembalinya ke kamar nanti dia akan
menyuruh bininya menyiapkan berapa macam
hidangan untuk teman minum arak.

Malam sudah semakin kelam, suasana pun


bertambah sepi, semua orang sudah mulai terlelap tidur
di kamar masing masing.

Sejak tadi Hoa U-gi sudah naik ke pembaringannya,


dia tinggal di loteng Teng-gwee-siau-lo.

Raja muda selatan Nyoo Cing berdiam di


pesanggrahan pengobatan untuk merawat lukanya,
Thay suya mendampingi disisinya.

Inilah kesempatan bagi anak buah yang bekerja di


istana Lam-ong-hu untuk mengendorkan
kewaspadaannya, sebagian ada yang sudah kabur,
sebagian sudah molor.
Tidak heran kalau suasana dalam istana itu sangat
hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit suarapun.

Ditengah keheningan yang mencekam itulah


mendadak terlihat sesosok bayangan manusia
berkelebat masuk ke balik pepohonan.

Bayangan itu ramping dan langsing, mirip sekali


dengan tubuh seorang wanita.

Dia mengenakan pakaian Ya-heng-ie berwarna


hitam, wajah berikut kepalanya ditutup dengan kain
kerudung hitam sehingga yang nampak hanya
sepasang matanya yang jeli.

Begitu tiba dalam hutan, dia menengok sekeliling


tempat itu sekejap kemudian dengan cekatan
menyelinap ke balik kegelapan. Sekali lagi dia melayang
turun didepan pintu kamar tidur raja muda, setelah
menyapu sekeliling tempat itu sebentar, perlahan dia
mendorong pintu dan menyelinap masuk ke dalam.

Suasana dalam kamar itu gelap gulita, tapi


perempuan itu tetap melakukan penggeledahan
diseluruh ruangan. Gerak-geriknya cekatan, teliti dan
terlatih, sekilas pandang dapat diketahui kalau dia
adalah seorang jago yang sudah mendapat latihan
ketat.

Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah selesai


menggeledah seluruh ruangan, tapi kelihatannya benda
yang dicari tidak berhasil ditemukan.
Dengan cepat orang itu melakukan penggeledahan
lagi, satu ruangan demi satu ruangan, hampir semuanya
diperiksa dengan seksama.

Sebenarnya apa yang sedang dia cari?

Tampaknya orang itu semakin gundah bercampur


gelisah, baru saja akan menerobos jendela untuk
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dari luar sana
meluncur lagi sesosok bayangan manusia. Sungguh
cekatan orang itu, sepasang tangannya yang tajam
bagai golok secepat kilat membacok ke arah tubuh si
pendatang.

Serangkaian serangan berantai dilancarkan bertubi


tubi, selain cepat, serangannya pun ganas dan
telengas. Dia tidak ingin rahasianya ketahuan pihak lain,
maka dia harus menghabisi nyawa si pendatang
secepatnya.

Sudah tiga puluh enam jurus serangan yang dia


lancarkan, namun jangan lagi melukai musuhnya,
menyentuh ujung bajunya pun tidak mampu.

Baru saja si penjalan malam itu siap melancarkan


serangan mematikan, tiba tiba terdengar orang itu
berkata, �Seharusnya, sejak awal melancarkan serangan
tadi kau sudah menggunakan ilmu andalanmu.�

Begitu mendengar perkataan tersebut, si pejalan


malam segera menghentikan serangannya, dengan
pandangan keheranan dia berseru, �Kau adalah.......�
�Langit bening bagai air, naga terbang di angkasa.�

�Bulan berapa tanggal berapa?� si pejalan malam


segera membalas.

�Bulan tiga tanggal tujuh.�

Jelas bukan nama seseorang tapi suatu tanggal,


mungkin juga bukan nama tanggal tapi sebuah kode
rahasia.

Tapi kode rahasia itu kini melambangkan seseorang,


melambangkan salah satu anggota dari suatu organisasi
rahasia yang sangat besar.

Dalam empat ratus tahun terakhir belum pernah di


dalam dunia persilatan terdapat sebuah organisasi
rahasia yang sedemikian besarnya melebihi
perkumpulan Cing-liong-hwee (perkumpulan naga
hijau).

Anak buahnya terdapat di tiga ratus enam puluh


buah cabang yang tersebar di seantero jagad dengan
penanggalan Imlek sebagai kode rahasianya.

�Sa-gwee-je-jit� atau bulan tiga tanggal tujuh hanya


melambangkan seorang Toucu dari sebuah kantor
cabang.

�Kau?� kedengaran si pejalan malam berseru kaget.

�Kau pasti tidak menyangka kalau aku adalah Sagwee


Je-jit bukan?�
Ketika cahaya bintang memancar masuk melalui
jendela dan menerangi wajah orang itu, terlihatlah
selembar wajah yang cantik, bersih dan sama sekali
polos.

Ternyata orang ini tidak lain adalah Siau-tiap.

Sambil tertawa dia awasi pejalan malam itu kemudian


katanya, �Jarang sekali ada orang yang tahu kalau aku
adalah anggota perkumpulan naga hijau.�

�Yaa, memang sama sekali tidak kuduga,� kata orang


itu sambil menghela napas, �Bahkan mimpi pun aku

tidak pernah menyangka.�


Siau-tiap tertawa cekikikan.
�Akupun tidak mengira kalau kau akan turun tangan
pada malam ini,� katanya.
�Bila melewati malam ini, mungkin kita sudah tidak
akan menemukan kesempatan baik seperti ini lagi.�

�Selewat malam ini, sang ular pun telah diusik, mana


mungkin bisa dijumpai kesempatan baik lagi?� dibalik
senyuman Siau-tiap terselip nada menyindir.

�Bagaimana menurut pendapatmu?�

�Ketika pertama kali masuk kemari, waktu itu aku


masih berusia enam belas tahun, sama seperti kau,
akupun ingin cepat cepat mencetak pahala dengan
segera melakukan tindakan,� Siau-tiap menghela napas
panjang, �Aaai! Akhirnya nyaris aku kehilangan nyawa.�

�Oya?�

�Sepintas lalu Nyoo Cing kelihatan seperti orang polos


yang tidak punya akal, jika kau menganggapnya begitu,
kuanjurkan lebih baik cepat-cepatlah siapkan peti mati
untuk dirimu.�

Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan,


�Terlebih manusia yang bernama Tay Thian itu, dia
adalah seorang jagoan yang harus diwaspadai.�

�Benarkah?�

�Tidak perduli pada saat apa, dimana dan berada


dalam suasana apapun, asal kau berbincang dengan
Tay Thian maka secara diam-diam dia akan mencatat
semua pembicaraannya dalam sebuah buku catatan,�
ujar Siau-tiap, �Mungkin dia akan mengarsip data
tersebut dan tidak pernah akan digunakan untuk
selamanya, tapi bila suatu ketika kau berhadapan
dengannya sebagai lawan, maka catatan itu akan
menjadi titik kelemahanmu.�

Pejalan malam itu mendengarkan dengan seksama.

Kembali Siau-tiap berkata, �Semua orang yang


pernah bersua dengannya pasti ada data didalam buku
catatannya, termasuk data tentang dirimu maupun
aku.�
�Bagaimana dengan Nyoo Cing? Apakah dia pun
menyimpan data raja muda?�

�Benar.�

�Aku pikir aku sudah memiliki kelemahan dari Tay


Thian,� kata orang itu sambil memandang ke tempat
kejauhan.

�Kau keliru.�

�Kenapa?�

�Jika kau anggap karena dia menyimpan data

tentang Ong-ya maka hal ini bisa kau jadikan titik


kelemahannya, pemikiranmu itu keliru besar.�

�Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?�

�Balik ke kamarmu dan segera tidur, anggap saja


tidak pernah terjadi apa-apa.�

�Hanya begitu?�

�Benar.�

�Baiklah,� pejalan malam membalikkan badan dan


berlalu.

Dengan tenang Siau-tiap mengawasi pejalan malam


itu hingga lenyap dari pandangan, sekulum senyuman
dingin tiba-tiba tersungging diujung bibirnya.
Dia menutup kembali daun jendela lalu membuka
pintu dan berjalan keluar dari situ, setelah itu dia
merapatkan kembali pintu ruangan.

Suasana dalam ruang baca itupun pulih kembali


dalam keheningan. Betulnya sangat hening?

Tidak lama sepeninggal Siau-tiap, dari balik kamar


baca yang hening tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki manusia.

Langkah itu sangat lirih, meski lirih namun masih bisa


diketahui kalau suara itu memang langkah kaki manusia.

Dari balik sudut ruangan yang gelap muncul


seseorang, dia menuju ke depan jendela, menghentikan
langkahnya kemudian baru menengok ke arah luar.

Cahaya bintang menyinari wajahnya membuat raut


muka orang itu kelihatan sangat jelas, ternyata dia
adalah Cu congkoan, Cu Liok.

Sejak tadi Cu Liok bersembunyi di dalam kamar baca,


mengapa Siau-tiap dan pejalan malam itu tidak
menyadari kehadirannya?

Padahal ilmu silat yang dimiliki Siau-tiap berdua


sangat tangguh, mengapa mereka tidak sadar kalau
didalam kamar masih terdapat orang ketiga?

Apakah ilmu silat yang dimiliki Cu Liok jauh lebih


tangguh dari mereka?
Atau ketajaman pendengaran mereka tidak setinggi
kungfu yang mereka miliki?

Kedua duanya bukan!

Siau-tiap bisa diutus perkumpulan naga hijau menjadi


mata-mata ditempat itu, jelas kepandaiannya pasti
hebat, ketajaman pendengarannya pasti luar biasa.

Mereka tidak berhasil menemukan jejak Cu Liok


karena Cu congkoan sangat sederhana. Sedemikian
sederhana dan bersahajanya sehingga walau dia
berada disisimu pun kau tetap tidak menyadari.
Sedemikian sederhananya sehingga kau tidak

memperhatikannya.
Oleh karena dia kelewat sederhana maka kau tidak
berdaya untuk memperhatikannya.
BAB 2.

Kait perpisahan yang tidak berdaya.

Siau-tiap berjalan menuju ke balik hutan kemudian


berhenti, dengan tenang diawasinya loteng Teng-gweesiau-
lo.

Entah berapa saat kemudian, senyuman dingin


tersungging diujung bibirnya yang mungil.
Berapa saat setelah itu tangannya berge-rak
perlahan di udara, melakukan sebuah gerakan yang
sangat aneh. Belum selesai gerakan aneh itu dilakukan,
entah sejak kapan, dihadapannya telah muncul
seseorang.

Seorang pemuda berbaju hijau telah memberi hormat


kepadanya sambil berbisik, �Sa-gwee-je-jit cu-si (bulan
tiga tanggal tujuh jam Cu) datang melapor!�

Terhadap anak buahnya yang mampu bekerja,


biasanya Siau-tiap menaruh kepercayaan sangat besar,
dia segera menurunkan perintah, �Ajak serta Yu-si dan
Su-si, masuk ke kamar tidur Nyoo Cing serta kamar baca
dan ciptakan keonaran.�

�Baik!�

�Harus pakai cara kerja seorang ahli!�

�Baik.�

Dengan rasa puas Siau-tiap mengangguk, orang


berbaju hijau itupun lenyap dibalik kegelapan.

Malam semakin gelap, di langit tidak nampak cahaya


rembulan, tidak ada bintang, yang ada hanya awan
gelap yang menyelimuti seluruh angkasa.

Pada malam yang sama, disebuah tempat yang jauh


sekali dari gedung raja muda.
Di tempat itu sebenarnya terdapat sebuah bangunan
rumah kayu yang kecil dan reyot, sekarang pun
terdapat sebuah rumah kayu yang sama, tapi tidak
reyot pun tidak kuno, bangunan itu nampak masih baru.

Meskipun bangunan rumah itu sudah dirobohkan oleh


Seng Sam dan anak buahnya, namun dengan cepat
Tay Thian telah memerintahkan orang untuk
membangunnya kembali.

..... Ada orang pandai membongkar rumah, ada pula


yang pandai membangun rumah, di dunia ini memang
tersedia pelbagai macam kejadian, tinggal kau pilih apa
yang hendak dilakukan.

Bangunan baru ini tidak jauh berbeda dengan bentuk


bangunan lama, bahkan bahan yang digunakan untuk
membangun pun sama, balok balok kayu besar.

Tentu saja semua perabotan dan dekorasi yang ada


didalam rumah kecil itu pun tidak jauh berbeda.

Sekalipun Tay Thian telah berusaha dengan sepenuh


tenaga untuk membangun kembali rumah ini, tapi
sayang ada satu hal yang tidak mungkin bisa dia
tampilkan kembali.

Dia tidak mungkin bisa mengembalikan kenangan.

Kenangan yang tertinggal di rumah kayu itu,


kenangan yang sudah lewat bertahun-tahun lamanya.
Seperti misal di depan pintu rumah tergantung
sebuah gembokan yang telah berkarat, kini gembokan
itu sudah diganti dengan yang baru.

Meja kursi, ranjang, mangkuk, lentera serta anglo


yang ada dalam rumah pun sebenarnya diliputi debu
dan terkesan kuno, tapi sekarang semuanya nampak
bersih dan baru.

Sekalipun semuanya serba baru, masih untung ada


sebuah tempat yang masih menyimpan benda lama,
sebuah tempat yang sangat rahasia dalam rumah kecil
itu.

Dibalik tanah terdapat sebuah peti besi yang penuh


dengan debu, pasir dan karat.

Dalam peti besi yang karat itu masih tersimpan


pemetik api serta sebilah senjata yang dulu pernah
menghebohkan dunia persilatan.

Kait perpisahan.

�Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada dalam


urutan ke empat dari urutan daftar senjata, tapi
mengapa disebut Kait perpisahan?�

�Sebab senjata kait tersebut, bila mengaet bagian


mana pun pasti akan menciptakan perpisahan, jika dia
menggaet tanganmu maka tangan akan berpisah
dengan pergelangan, bila menggaet kakimu, kaki pun
akan berpisah dengan pangkal paha.�
�Jika leherku yang terkait, bukankah aku akan
berpisah dengan dunia ini?�

�Benar.�

�Mengapa kau harus menggunakan senjata yang


brutal dan keji semacam ini?�

�Sebab aku tidak ingin dipaksa orang untuk berpisah


dengan orang yang kucintai.�

�Aku mengerti maksudmu.�

�Kau benar-benar mengerti?�

�Kau menggunakan kait perpisahan tidak lain karena


ingin berkumpul terus.�

�Benar.�

Tapi kini?

Kait perpisahan telah terkunci kembali di dalam peti


besi itu.

Nyoo Cing tetap Nyoo Cing.

Bagaimana dengan Lu Siok-bun? Di manakah dia


sekarang?

Ketika dia mengeluarkan kait perpisahan dulu,


bukankah tujuannya agar mereka selalu berkumpul
menjadi satu? Tapi bagaimana hasilnya?
Kait perpisahan masih tetap seperti sedia kala, tetap
terkunci didalam peti besi yang telah karatan, tetap
disimpan dalam tempat yang sangat rahasia.

Apakah suatu saat nanti dia akan muncul kembali


dalam dunia persilatan?

Sekalipun senjata itu amat tersohor, namun bila ada


ada orang yang menggunakannya, benda itu tidak
beda jauh dengan sebatang balok kayu.

Malam semakin larut.

Sepanjang apapun malam hari akhirnya harus berlalu


juga. Sinar fajar sudah mulai muncul di ufuk timur,
menembusi ranting pepohonan dan kebetulan
menyinari wajah Siau-tiap.

Angin pagi menggoyangkan ranting,. Membuat


cahaya sang surya seakan sedang melompat, seperti
juga detak jantungnya saat ini, berdetak sangat cepat.

Dia tahu hari ini gedung raja muda akan luar biasa
sibuknya.

Semalam ada tiga orang tamu tidak diundang telah


menyusup masuk ke dalam kamar tidur serta kamar
baca raja muda.

Siau-tiap tersenyum lebar, tiga orang tamu diundang


itu adalah anak buahnya, dia yang mengutus mereka
untuk membuat keonaran.
Ketiga orang tamu tidak diundang itu pasti akan
tertangkap, karena memang itulah tujuannya yang
terutama.

Jika tertangkap mereka pasti akan disiksa, cara Tay


Thian menghadapi para tawanannya paling tidak ada
tiga puluh tiga macam.

Cara manapun yang akan dipergunakan sudah lebih


dari cukup untuk mengungkap seluruh rahasia yang
dimiliki mereka, ketiga orang tamu tidak diundang itu
pasti tidak akan kuat menahan siksaan, mereka pasti
akan mengakui kalau mereka diutus oleh perkumpulan
Cing-liong-hwee.

Mereka hanya akan mengakui sebagai anggota


Cing-liong-hwee, tidak akan mengakui kalau diutus oleh
Siau-tiap.

Semalam, pejalan malam telah menyusup ke dalam


kamar tidur dan kamar baca, walaupun cara kerjanya
bersih tanpa meninggalkan jejak, tapi dia percaya tidak
bakal bisa lolos dari ketajaman mata si rase tua Tay
Thian.

Padahal rahasia identitas pejalan malam tidak boleh


terbongkar, oleh sebab itu harus ada orang lain sebagai
kambing hitamnya.

Itulah salah satu tujuan Siau-tiap mengutus ketiga


orang anak buahnya, tujuan yang paling utama adalah
membiarkan mereka tertangkap.
Tay Thian pasti akan mengompas mereka, pasti akan
memaksa mereka untuk mengakui, mengapa malam
malam menyatroni gedung raja muda.

Dan diapun pasti akan peroleh jawabannya, ingin


mencuri kait perpisahan.

..... Tujuan terutama kedatangan Siau-tiap dan


pejalan malam itu memang bertujuan untuk
mendapatkan kait perpisahan.

Tay Thian pasti dapat mengetahui kalau jawaban dari


para tamu tidak diundang itu adalah jawaban yang

jujur.
Tentu sajajawaban mereka adalah jawaban yang
sejujurnya.
Asal Tay Thian percaya maka tujuan mereka pun
sudah tercapai.
Dia percaya Tay Thian pasti akan melakukan suatu
tindakan, asal dia melakukan satu tindakan,
bagaimanapun hati hatinya dia, bagaimana pun
rahasianya gerak-geriknya, Siau-tiap pasti dapat
menyelidikinya.

Sudah cukup lama perkumpulan Cing-liong-hwee


mengawasi gerak-gerik Nyoo Cing, tujuannya tidak lain
adalah untuk mengincar kait perpisahan.

Sehari kait perpisahan masih berada ditangan Nyoo


Cing, sehari pula perkumpulan Cing-liong-hwee tidak
berani bergerak, oleh sebab itu kait perpisahan
merupakan benda yang harus didapatkan mereka.

Nyoo Cing pasti mengetahui juga akan hal ini, dan


dia pasti akan menyimpan senjata itu tidak jauh dari
tempat tinggalnya, dia pasti menyimpan benda tersebut
disuatu tempat yang mudah diambil bilamana perlu.

Sekalipun Tay Thian belum tentu mengetahui letaknya,


yang pasti dia akan melaporkan kejadian ini kepada
Nyoo Cing.

Mungkin saja Nyoo Cing tidak akan melakukan


sesuatu tindakan, tapi dia tentu akan menaruh curiga,
mungkinkah senjata kait perpisahannya telah tercuri
orang?

Jika timbul kecurigaan dalam hati Nyoo Cing, maka


tujuan perkumpulan Cing-liong-hwee pun tercapai.

Pagi ini, Siau-tiap bangun dari tidurnya dengan penuh


pengharapan, selesai menyisir rambut dia berjalan
keluar dari kamarnya, menembusi udara dingin yang
membekukan badan.

Dari kamarnya bila ingin menuju ke ruang depan, dia


harus melalui Taman bunga Soat-lu, baru saja dia tiba di
depan taman, Siau-tiap segera menjumpai ada
seseorang baru saja berjalan keluar dari situ.

Cu Liok dengan membawa sebongkok bunga bwee


berjalan keluar dari Soat-lu dengan amat santainya,
begitu bertemu Siau-tiap, dia segera menyapa sambil
tersenyum, �Selamat pagi nona Siau-tiap.�

�Selamat pagi, waah.... kelihatannya Cu congkoan


suka bunga, sepagi ini sudah menggunting bunga
Bwee, mau ditaruh ke mana?�

�Sekalipun aku suka bunga, sayang aku hanya


manusia biasa, bukan aku yang menggunting bunga
Bwee itu, mana mungkin aku memiliki kepandaian
seperti itu.�

�Lalu siapa yang mengguntingnya?�

�Sebetulnya aku ingin minta tolong nona Siau-tiap,


siapa tahu ketika tiba disini, kulihat toa-siocia sudah
berada disini.�

�Hoa toa-siocia?�

�Benar.�

�Jadi dia yang membantumu menggunting bunga


Bwee ini?�

�Benar.� Hoa U-gi muncul dari dalam taman bunga.

�Seharusnya pekerjaaan semacam ini adalah


tugasku,� buru buru Siau-tiap berkata, �Tapi semalam
tidurku kelewat nyenyak hingga bangun agak
siangan........�

�Aaaah, siapa pun yang mengerjakan sama saja,�


tukas Hoa U-gi, �Apalagi pagi ini aku memang
bermaksud membawa bunga untuk menjenguk ke
pesanggrahan pengobatan.�

�Kebetulan juga Tay Thian baru memberi kabar


kepadaku untuk mengirim bunga bwee ke
pesanggrahan pengobatan, maka akupun datang
kemari,� Cu Liok menimpali.

�Sebetulnya tugas itu merupakan tanggung


jawabku,� kata Siau-tiap, �sekalipun ditengah malam
buta pun, tetap akan kukerjakan.�

�Aku sendiripun baru memperoleh pemberitahuan


pagi tadi,� kata Cu Liok.

�Pagi tadi? Cu congkoan tidur sampai pagi?�

�Benar, semalam tidurku amat nyenyak.�

�Tidak ada peristiwa apa-apa semalam?� tanya Siautiap


lagi agak tertegun.

�Tidak ada!� mendadak Cu Liok menarik kembali


senyumannya, �Apakah menurut nona Siau-tiap,
semestinya semalam telah terjadi sesuatu peristiwa?�

�Aaah mana mungkin,� buru buru Siau-tiap menutupi


kelengahan yang baru saja dia lakukan, �Aku hanya
merasa seperti mendengar sesuatu ditengah malam
buta tadi!�

�Seperti?�
�Maksudku, dalam tidurku aku seperti mendengar
sesuatu, atau mungkin aku sedang bermimpi?�

�Betul, terkadang aku pun mengalami hal yang


sama,� Hoa U-gi segera menimpali, �Memangnya dalam
istana telah terjadi sesuatu? Tidak mungkin bukan?�

�Betul, seharusnya tidak mungkin,� kata Cu Liok sambil


tertawa, �Ooh ya, aku masih ada urusan lain, sampai
jumpa!�

�Ayoh kita jalan bersama!� seru Hoa U-gi, �Kebetulan


aku pun hendak menuju ke ruang depan.�

�Baik.�

Hoa U-gi manggut-manggut ke arah Siau-tiap


kemudian bersama Cu Liok beranjak pergi dari situ,
tinggal Siau-tiap seorang masih berdiri melongo.

Mana mungkin tidak terjadi apa-apa?

Dia cukup memahami kemampuan yang dimiliki anak


buahnya, tapi, kemana perginya ketiga orang anak
buahnya itu?

Kenapa tidak terjadi sesuatu dalam istana raja muda?


Mungkinkah perbuatan yang dilakukan anak buahnya
kelewat �ahli� sehingga tidak diketahui siapa pun?

Mustahil, perintah yang harus mereka lakukan bukan


begitu.
Atau mungkin Tay Thian sengaja merahasiakan
kejadian ini? Kalau memang begitu, seharusnya rahasia
tersebut hanya berlaku untuk orang luar, bukankah Siautiap
bukan orang luar?

Jangan jangan...... jangan jangan mereka sudah


mengetahui rahasianya?

Mustahil.

Sudah enam tujuh tahun lamanya Siau-tiap


bergabung di istana raja muda, tidak mungkin rahasia
identitasnya terbongkar, apalagi cara kerja Tay Thian
selalu berpegangan pada prinsip, jika dia sudah
mengetahui rahasia penyamarannya, mustahil orang itu
masih bisa bersikap begitu tenang.

Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi? Siau-tiap


menjumpai dirinya seakan sudah terperosok ke dalam
jurang sedalam ribuan kati, dia merasa tubuhnya seolah
sudah terjebak dalam kobaran api neraka.

Dia benar benar tidak habis mengerti apa yang telah


dikerjakan ketiga orang anak buahnya semalam, ke
mana mereka telah pergi? Dia mulai sadar, pagi ini
bukan pagi yang dipenuhi dengan pelbagai harapan.

Baginya mungkin tidak ada pengharapan, tapi tidak


demikian bagi orang lain, apalagi bagi mereka yang
berbaring sakit.
Nyoo Cing berbaring sambil mengawasi bunga bwee
yang memenuhi ruang tidurnya, tentu saja Tay Thian
yang mengirim bunga itu ke situ, hasil petikan Hoa U-gi.

�Sudah selesai dibangun?� tanya Nyoo Cing sambil


mengawasi bunga Bwee dalam kamarnya.

�Sudah.�

�Rumah yang roboh bisa dibangun kembali, bunga


yang layu bisa tumbuh kembali.........kalau manusia telah
berpisah?� nada suara Nyoo Cing kedengaran amat
sendu.

�Pasti akan berkumpul kembali,� sahut Tay Thian,


�Bukankah kalau ada perpisahan baru ada
perjumpaan?�

�Berpisah biasanya hanya untuk berkumpul dengan


orang lain,� ucap Nyoo Cing sambil tertawa getir.

Perkataan ini memang sangat tepat, sejak dulu


hingga kini, bila seseorang berpisah dengan seseorang,
biasanya dia akan berkumpul dengan orang lain.

Tanpa perpisahan dari mana datangnya


perjumpaan? Tapi...

Tanpa perjumpaan, darimana pula datangnya


perpisahan?
Sebenarnya berapa jauh jarak antara perjumpaan
dan perpisahan? Berapa kesulitan dan kesedihan yang
harus dialami?

Ada orang bilang, berkumpul itu susah, ada juga


yang bilang berpisah itu susah. Bagaimana denganmu?

Kalau menurut aku, yang susah itu menjadi manusia,


setuju dengan pendapat ini?

�Aku tidak setuju!� Tay Thian langsung menjawab.

Tampaknya Nyoo Cing sudah menduga kalau dia


akan bicara begitu, maka wajahnya sama sekali tidak
tercengang.

�Kenapa?� tanyanya.

�Biasanya berpisah karena akan berjumpa dengan


orang lain, beda dengan kau.�

�Kenapa?� sekali lagi Nyoo Cing bertanya.

�Biarpun senjata kaitan yang kau gunakan bernama


kait perpisahan, tapi dalam kenyataan kau berbuat
begitu karena ingin selamanya berkumpul dengan
orang yang dicintainya, kalau tiada perpisahan dari
orang itu, bagaimana mungkin kalian bisa berkumpul?�

Kembali sebuah ucapan yang sangat masuk akal.

Bukankah berkumpulnya kalian merupakan


perpisahannya orang lain? Oleh sebab itu
perpisahannya kalian akan merupakan kegembiraan,
karena berkumpulnya orang lain.

Berpisah kenapa harus sedih? Bertemu kenapa harus


digirangkan?

Asal kau bisa memandang lebih terbuka, dapat


berpikir lebih terbuka, persoalan apa lagi yang bisa
mendatangkan penderitaan bagimu?

�Tidak ada orang lain yang berpisah, mana mungkin


kalian dapat berkumpul?� gumam Nyoo Cing.

Dia mengulang perkataan itu sekali, dua kali..... entah


sudah berapa kali, entah sudah berapa lama, tiba-tiba
dia tertawa, tertawa sangat riang, tertawa sangat kalap,
tertawanya pun nampak sangat menderita.

Gelak tertawa segera memenuhi seluruh ruangan.

�Bagus sekali,� suara Nyoo Cing kedengaran agak


sedih, �Benar-benar sebuah perkataan yang amat
bagus.�

Tidak menunggu Tay Thian bicara, dia kembali


katanya lagi, �Berpisah? Berkumpul? Kalau memang
tidak ada perjumpaan, dari mana datangnya
perpisahan?�

Matahari di musim dingin kendatipun nampak indah


dan menyenangkan, sayang tidak dapat mengusir
hawa dingin yang menggidikkan hati.
�Kalau memang tidak pernah ada perjumpaan, dari
mana datangnya perpisahan?� kata Nyoo Cing.

�Kalau memang ada perpisahan, pasti akan ada


perjumpaan,� kata Tay Thian, �Ada sementara
perjumpaan sesungguhnya hanya terjadi di dalam hati,
tidak pernah terwujud.�

�Dalam hati? Nyoo Cing mengulang sepatah demi


sepatah, �Perjumpaan di hati, perpisahan pun di hati?�

�Benar, walaupun kalian berkumpul, namun bila


hatinya tetap renggang, darimana kau bisa nikmati
indah dan gembiranya suatu perjumpaan?�

Atau dengan perkataan lain ... �Walaupun kalian


berpisah, selama dihati tetap berkumpul, tetap
bersatu, kenapa kau mesti menderita karena
perpisahan?�

Nyoo Cing tertawa, benar-benar tertawa yang


muncul dari sanubari hatinya.

Biarpun berpisah, asal bertemu dan bersatu didalam


hati, mengapa mesti risaukan deritanya suatu
perpisahan?

Dalam dua puluh tahun terakhir, baru kali ini semua


kemasgulannya tersapu bersih oleh sepatah perkataan
itu. Dengan pandangan berterima kasih dia tatap wajah
Tay Thian.
Ganjalan yang selalu menyesakkan napasnya selama
dua puluh tahun terakhir, bila secara tiba tiba hilang
tidak berbekas, tentu saja Nyoo Cing merasa sangat
gembira.

Angin fajar meski dingin namun membawa bau tanah


lembab yang harum, mendatangkan pula harapan
musim semi yang datang lebih awal.

Nyoo Cing berbaring diatas pembaringan dengan


wajah berseri, sorot matanya kelihatan lebih lembut dan
hangat.

�Tampaknya musim semi tahun ini akan datang lebih


awal,� katanya.
�Bukan datang lebih awal, tapi sudah dating!� jawab
Tay Thian.
�Sudah datang?�
�Benar.

�Sejak kapan datangnya?

�Sejak semalam!

�Berapa orang?

�Tiga orang di tempat terang dan dua orang

ditempat gelap.�
�Cukup besar?�
�Yang seorang sudah kita ketahui sejak awal,� kata
Tay Thian, �Yang seorang lagi tidak dikenali Cu Liok.�

�Kenapa?�

�Bukan saja dia mengenakan pakaian Ya-Heng-ie


(pakaian berjalan malam), tampaknya dengan ilmu Sutkut-
kang (ilmu penyusut tulang) dia sengaja
memperkecil tubuhnya dan bicara dengan
menggunakan ilmu perut dari negeri Thian-tok.�

�Oya?� Nyoo Cing kelihatan seperti termenung


sebentar, �Lalu tiga yang terang?�

�Sudah disekap dalam penjara bawah tanah di ruang


baca!�

Hembusan angin tentu pernah terasa hangat,


curahan hujan tentu pernah lembut dan manusia pun
pasti pernah muda.

..... Karena manusia ada yang muda, tentu ada pula


yang tua. Jika musim dingin telah datang, musim semi
sudah tidak jauh menunggu.

Mengawasi udara musim dingin yang membeku,


Nyoo Cing bergumam, �Jika musim dingin telah berlalu,
musim semi segera akan menjelang tiba bukan?�

�Betul.�

�Kalau begitu, marilah kita sambut datangnya musim


semi!�
�Benar benar akan menyambut datangnya musim
semi?� Tay Thian seakan tidak percaya.

�Benar,� sahut Nyoo Cing hambar, �kau anggap


terlalu awal?�

�Tidak.�

Dengan perasaan puas Nyoo Cing mengangguk,


katanya sambil menghembuskan napas lega, �Musim
dingin kali ini betul betul kelewat membekukan badan,
jika musim semi bisa datang lebih awal, kenapa kita
mesti menolak kehadirannya?�

�Benar.�
�Ayoh kita tinjau rumah kayu kecil ditengah hutan
bunga bwee!�
BAB 3.

Tiga belas bilah pisau tipis.

Kabut sangat tebal, air mengalir dengan lembutnya,


bunga bwee masih tampak mekar dan menyiarkan
harum semerbak. Ternyata kabut pada malam ini sangat
tebal.
Kabut melayang diatas air yang mengalir lembut,
menyelimuti hutan bunga bwee, menyusup ke dalam
bangunan rumah kayu kecil itu.

Air selokan mengalir perlahan ditengah kegelapan


malam, bunga bwee bergoyang lembut diterpa angin
lembut, kabut diatas bukit masih tebal bagaikan asap.

Malam terasa begitu sendu, sungai pun sendu,


bahkan udara pun serasa sendu. Tidak berbeda suasana
di dalam bangunan rumah kayu itu.

Cong Hoa berjalan masuk menembusi hutan bunga


bwee, melalui tepi sungai kecil, mendekati bangunan
rumah kayu itu dan menghentikan langkahnya sambil
mengawasi bangunan itu dengan termangu.

Dia awasi bangunan itu dengan khusuk, dengan


seksama, mengawasinya dengan penuh perasaan.

.......Sedemikian berperasaannya dia menatap,


pancaran perasaan yang tebal segera muncul dari balik
matanya, begitu tebal bagai musim gugur. Padahal dia
sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan
bangunan rumah itu, diapun baru pertama kali ini
datang kemari, mengapa dari balik matanya terpancar
sinar perasaan yang begitu tebal?

Angin berhembus lewat, membuyarkan kabut tebal


yang mengelilingi sekitar tubuhnya, tapi dengan cepat
menyelimuti kembali seputar bangunan rumah kayu itu.
Selangkah demi selangkah Cong Hoa mendekati
bangunan rumah itu, tangannya mulai meraba dinding
kayu diseputarnya. Dia meraba dengan sangat lambat,
meraba dengan sangat lembut. Sikapnya seakan
seseorang yang sudah lama merindukan desa
kelahirannya, dan kini dia sudah muncul kembali di
rumah kenangan, dia seolah ingin meraba dan
mengenali kembali suasana disekeliling situ.

Suatu perubahan mimik muka yang sulit dilukiskan


dengan perkataan lambat laun muncul diwajah Cong
Hoa, tangannya mulai gemetar keras. Kenapa?
Mengapa dia tunjukkan sikap seperti itu?

Perlahan-lahan tangan Cong Hoa mulai meraba pintu


rumah, memegang sebuah gembokan sementara
tangan lain mengeluarkan sebuah anak kunci. Dia
segera membuka pintu itu lebar lebar.

Pemandangan didalam rumah kayu itu masih seperti


semula, hanya ada sebuah meja, sebuah pembaringan,
sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah lentera
dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat.

Cong Hoa masuk ke dalam, suasana dibalik ruangan


gelap gulita, tapi dia seakan sangat hapal dengan
keadaan disitu, berjalan menghampiri bangku dan
pelan-pelan terduduk. Walaupun diatas meja tersedia
lampu, dia tidak ingin menyulutnya, dia tidak ingin
menerangi suasana disitu.
Kabut tebal menyusup masuk ke dalam ruangan
melalui pintu yang terbuka lebar, membuat ruangan
makin kabur, menyelimuti pula seluruh tubuh Cong Hoa.

Ditengah kegelapan yang mencekam dia awasi


setiap sudut ruangan itu, seolah sedang mengawasi
desa kelahirannya.

Waktu berlalu sangat cepat, namun sikap Cong Hoa


masih belum berubah, dia tetap duduk pada posisi
semula, hingga sepasang kakinya mulai terasa
kesemutan, dia baru menghela napas panjang, bangkit
berdiri, menuju ke sudut dinding sebelah kiri dan kembali
berjongkok.

Malam semakin kelam, walaupun lentera dimeja


penuh berisi minyak, dia tidak menyulutnya, karena itu
suasana di dalam ruangan tetap gelap gulita.

Cong Hoa yang berjongkok seakan sedang


memikirkan sesuatu, seakan juga sedang
mempertimbangkan sesuatu, tapi akhirnya dia
membuka selembar kayu yang ada diatas tanah.

Kemudian dari bawah papan kayu itu dia


mengeluarkan sebuah peti besi yang telah berkarat,
ditatapnya peti itu tanpa berkedip.

Sepasang matanya seakan bintang timur ditengah


kegelapan. Perlahan dia membuka peti besi itu. Didalam
peti terdapat pematik api, akhirnya dia mengambil
pematik itu dan membuat obor. Cahaya terang segera
memancar ke empat penjuru, menyinari wajah Cong
Hoa, menyinari bangunan rumah itu, menyinari juga peti
besi itu.

Cahaya lentera bersinar terang di dalam ruangan,


begitu terangnya seakan berada di siang hari saja.

Walaupun Nyoo Cing sedang mengajukan


pertanyaan kepada Tay Thian, namun sorot matanya
masih mengawasi luar jendela tanpa berkedip.

�Da sudah ke sana?�

�Benar,� jawab Tay Thian.

�Berapa bagian kemungkinannya untuk menang?�


�Empat bagian.�
�Empat bagian? Kelewat besar!� sahut Nyoo Cing
masih mengawasi luar jendela.
�Tidak berlebihan, pun tidak kurang, pas sekali!�

�Ooya? Kenapa?�

�Jika dia memiliki peluang sepuluh bagian untuk


meraih kemenangan, maka rencana kita pasti akan
gagal total, bila dia hanya memiliki dua bagian
kesempatan maka rencana kitapun akan gagal,� Tay
Thian menerangkan, �Apakah perkumpulan Cing-lionghwee
mau percaya kalau kau hanya mengutus seorang
manusia macam dia untuk mengambil kait perpisahan?�
Nyoo Cing mengangguk dengan perasaan setuju.

�Setiap orang pandai membuat ca sawi, tapi


masalah enak atau tidak masakannya, kemampuan
setiap orang berbeda,� kata Tay Thian lebih jauh.

Nyoo Cing mengalihkan sorot matanya mengawasi


luar jendela, mengamati bintang yang bertaburan di
angkasa, namun pikiran dan perasaan hatinya justru
tidak ada disitu, dia sedang memikirkan seseorang
disuatu tempat yang amat jauh...

Ketika cahaya api memancar ke empat penjuru,


terlihatlah sebuah senjata berbentuk sangat aneh
tersimpan rapi didalam peti besi itu, senjata aneh yang
memancarkan cahaya dingin, begitu dingin
menggidikkan hati membuat kening Cong Hoa langsung
berkerut.

Tidak kuasa gadis itu gemetar perlahan. Entah karena


hawa yang kelewat dingin, atau... Cong Hoa awasi
senjata kait perpisahan yang berada dalam
genggamannya dan bergumam, �Kait perpisahan
wahai kait perpisahan... ada orang mengharapkan
kehadiranmu di dunia ini demi suatu perjumpaan, tapi
yang kau hadirkan justru hanya perpisahan...�

Kait perpisahan tidak menyahut, tapi pancaran hawa


dinginnya semakin menguat, seakan dia sedang
memprotes atas perkataan tersebut.
�Kalau toch kau sudah mati selama dua puluh tahun,
mengapa masih ada orang yang mengharapkan
kebangkitanmu kembali?�

Dibawah cahaya api, kait perpisahan itu seakan


memancarkan kepedihan yang tipis.

�Mungkinkah kebangkitanmu kali ini akan


mendatangkan suatu perjumpaan? Suatu pertemuan?�

�Tidak mungkin!� Cong Hoa menjawab sendiri


pertanyaannya, �Yang kau hadirkan hanya
penderitaan, ketidak berdayaan, kesedihan dan
kepedihan yang menyayat hati.�

Seandainya kait perpisahan bisa berpikir, dapat


berbicara, akankah dia bantah perkataan dari Cong
Hoa itu?

Cong Hoa masih menatapnya, mengawasinya


dengan tenang, mengawasinya sangat mendalam.

�Semestinya sekarang, dia sudah dapatkan kait


perpisahan itu bukan?� kali ini Nyoo Cing menatap
tajam wajah Tay Thian.

Memandang sekejap suasana malam diluar jendela


sana, sahut Tay Thian perlahan, �Bila ditinjau dari
waktunya, sekarang seharusnya dia sudah pergi
meninggalkan bangunan rumah itu.�
�Maksudmu, andaikata terjadi penyerangan,
seharusnya pertempuran sengit sudah berlangsung di
saat ini?�

�Benar.�

Cahaya api sudah padam, yang tersisa di alam jagad


hanya kabut yang sangat tebal.

Cong Hoa berjalan keluar dari rumah kayu itu,


mengunci kembali pintu depan. Dalam bopongannya
terlihat sebuah peti besi yang sudah berkarat.

Tiada suara ataupun sesuatu yang aneh diseputar


hutan bunga Bwee, air masih mengalir tenang, bunga
bwee masih bergoyang dipermainkan angin.

Kabut yang tebal pun masih menyelimuti seluruh


jagad.

Dengan langkah perlahan Cong Hoa melalui tepi


sungai, berjalan masuk ke tengah hutan bunga bwee.

Tiba tiba... setitik cahaya terang seolah sedang


bergoyang dibalik permukaan air, seakan berkilauan
dari ujung selokan sana.

....... Aneh, darimana munculnya cahaya berkilauan


itu? Dalam suasana dan situasi semacam ini, darimana
munculnya sinar itu?

Tampaknya Cong Hoa tidak menyadari akan


munculnya setitik cahaya terang itu, dia masih
melanjutkan perjalanannya memasuki hutan bunga
bwee.

Kabut yang menyelimuti hutan itu semakin pekat,


sedemikian tebalnya hingga susah melihat ke lima jari
tangan sendiri, tapi Cong Hoa masih melanjutkan
langkahnya, berjalan menelusuri jalan setapak dalam
hutan.

Dimana ada tikungan, dia pun berbelok, di mana ada


batu yang menghadang, dia pun jalan berputar.

Dia masih berjalan terus menembusi kabut ditengah


hutan, langkahnya begitu mantap dan tenang seakan
sedang berjalan di dalam rumah sendiri, biar tanpa
lampu pun hapal diluar kepala.

Suasana makin hening, makin sepi. Cong Hoa


berjalan terus menembusi keheningan.......

Mendadak terdengar suara aneh berkumandang dari


balik tebalnya kabut, suara yang amat ringan, amat
lembut, langsung mendekati kepala Cong Hoa.
Sedemikian lembut dan lirihnya suara itu membuat
orang tidak menaruh perhatian, tapi Cong Hoa segera
mendengarnya, dengan penuh kewaspadaan dia
mendongakkan kepalanya.

Kecuali kabut, di udara tiada benda lain, dia sama


sekali tidak menjumpai sesuatu apa pun.
Cong Hoa segera melejit ke tengah udara,
menerobos kabut langsung menghampiri sumber
berasalnya suara itu.

Baru saja tubuhnya melejit ke udara, mendadak dari


sisi kirinya berkumandang suara desingan angin tajam,
�Sreeet!� menyusul kemudian muncul segumpal bola api
yang langsung menerjang tempat di mana Cong Hoa
berdiri tadi, lalu terlihatlah semburan api yang sangat
ganas membakar sekeliling tempat itu.

Gumpalan demi gumpalan api itu membara


membakar apapun yang dijumpai, lingkarannya pun
makin lama menyusut makin mengecil, akhirnya
gumpalan api yang paling atas membakar persis
ditempat Cong Hoa berdiri tadi.

Rupanya berapa puluh lingkaran bola api itu


membentuk sebuah kerucut yang pada ujungnya persis
menghimpit tempat dimana Cong Hoa berada tadi.
Sewaktu tubuh Cong Hoa melambung ke udara tadi, dia
segera menyaksikan datangnya bola api tersebut, maka
ketika api mulai membakar, dia pun melayang turun
kembali ke bawah.

Kenapa dia harus melayang turun? Kenapa


bukannya menyingkir ke tempat lain?

Sebetulnya Cong Hoa ingin menyingkir ke tempat lain,


tapi tatkala tubuhnya melejit ke udara tadi, kepalanya
segera menyentuh ujung sebuah lingkaran tali yang
sudah menghadang diatasnya.
Begitu menyentuh ujung tali, dia pun sadar tiada
harapan lagi baginya untuk menerobos keluar dari situ,
sebab lingkaran tali itu merupakan sejenis rotan yang
tumbuh di seputar wilayah Biau, bila kulit rotan diambil
kemudian direndam dalam arak selama delapan kali
delapan, enam puluh empat hari, maka tali yang
terbentuk akan ulet dan sangat alot.

Tali jenis ini bukan saja susah dipotong dengan golok


maupun pedang, lagipula tahan dibakar. Sekali kau
sudah terjerat tali jenis ini, biar meronta dengan cara
bagaimana pun jangan harap bisa terlepas dengan
gampang. Maka bila kau yang dihadapkan situasi
seperti apa yang dialami Cong Hoa sekarang, hanya
ada satu jalan yang bisa ditempuh membiarkan
tubuhmu terbakar hangus oleh kobaran api dahsyat itu.

Api makin lama berkobar makin membesar, lingkaran


yang terbakar pun kian lama kian bertambah ciut.
Tampaknya sebentar lagi tubuh Cong Hoa akan
terbakar hangus, tapi dia sama sekali tidak gelisah.

..... Aneh kalau orang tidak gelisah dalam keadaan


seperti ini.

Dia tengok ke sekeliling tempat itu, memeriksa


apakah ada peluang untuk melarikan diri. Ternyata tidak
ada. Setitik peluang pun tidak dijumpai.

Kobaran api yang membara dibalik tebalnya kabut


seakan datang dari neraka!
Cahaya api yang memancar dari balik lampu kristal
amat cerah, tidak heran seluruh ruangan terang
benderang.

Mengawasi bara api dibalik lentera Nyoo Cing


berkata lirih, �Seandainya melakukan sergapan secara
tiba-tiba, entah cara apa yang mereka pergunakan?�

Tay Thian berpikir sejenak, kemudian sahutnya, �Kait


perpisahan merupakan senjata yang diincar
perkumpulan Cing-liong-hwee, mereka bersumpah akan
mendapatkan benda tersebut dengan cara apapun,
meski Cong Hoa hanya seorang gadis, tapi hingga kini
belum seorang manusia pun pernah menyaksikan
kepandaian sesungguhnya yang dia miliki, semisal aku
harus bertarung melawannya, terus terang, aku
sendiripun agak takut.�

Dia tatap wajah Nyoo Cing sekejap, kemudian


lanjutnya, �Andaikata Cing-liong-hwee bertekad ingin
mendapatkan benda tersebut, aku yakin cara yang
digunakan pasti dapat membuat Cong Hoa kaget
setengah mati.�

Disambut dengan kobaran api yang membara


memang cukup membuat Cong Hoa terperanjat.

Lingkaran api yang makin lama makin mengecil


membuat Cong Hoa merasakan hawa panas yang
menusuk tulang, lamat lamat diapun mulai mengendus
bau hangusnya rambut.
Nyoo Cing menghembuskan napas panjang,
berpaling memandang kegelapan malam yang
membentang di angkasa.

�Aku sangat menikmati manusia macam Cong Hoa,�


katanya sambil tertawa, �Dalam banyak hal, dia mirip
sekali dengan diriku.�

Tay Thian tidak menjawab, dia tahu Nyoo Cing pasti


akan melanjutkan perkataannya.

�Perasaan hatiku sekarang seolah seperti


memperoleh sesuatu tapi terasa pula seakan kehilangan
sesuatu,� dia tertawa lebar, �Aku harap sambutan yang
diberikan Cing Liong Hwee kali ini tidak membuat dia
tersiksa.�

Cong Hoa bersumpah dalam hati kecilnya, lain kali


dia tidak akan sudi makan ikan panggang lagi, sekarang
dia baru tahu bagaimana rasanya kalau menjadi ikan
panggang.

Berapa bagian bajunya sudah mulai terbakar, buruburu


dia memadamkannya. Dengan tangan sebelah
membopong peti besi, tangan yang lain memadamkan
jilatan api, gerak-geriknya betul betul sangat tidak
leluasa. Peti besi.

Mendadak Cong Hoa teringat dengan peti besi yang


berada dijepitannya, menyusul kemudian sekulum
senyuman menghiasi bibirnya, senyuman yang disertai
air mata.
Begitu senyuman mulai menghiasi bibirnya, dia sudah
mengangkat peti besinya tinggi-tinggi, melampaui
kepalanya, kemudian tubuhnya ikut menerjang ke atas,
menerjang ke ujung lingkaran api itu.

Ketika peti besi itu membentur ujung lingkaran api,


Cong Hoa pun menembus keluar dari kepungan api itu
sambil meluncur ke arah lain. Tubuhnya dengan
membawa kobaran api langsung terjun ke dalam sungai
yang penuh berisi air.

�Cessss....!� diiringi suara desisan panjang, asap putih


mengepul keluar dari permukaan sungai, gelembung air
pun bermunculan diseputar permukaan.

Tidak selang berapa saat kemudian Cong Hoa telah


muncul kembali dari dasar sungai, menarik napas
panjang dan menggeleng dengan penuh kepuasan.

�Lo Kay-sian memang keji, dia sukanya memanggang


ikan.�

Cong Hoa menggunakan tangannya memeras


rambutnya yang basah kuyup, ketika sudah agak
mengering dia baru berjalan menuju ke tepi sungai.

Baru berjalan tiga langkah, rasa sakit mendadak


muncul diwajah Cong Hoa, diikuti kemudian kaki kirinya
menekuk ke depan, darah segar segera berhamburan
membasahi permukaan air.
Dia menggertak gigi kuat kuat, kaki kanannya
menjejak dan tubuhnya segera melompat ke tepi
sungai.

Tampak sesosok bayangan manusia mengikutinya


dari balik sungai, sebuah golok panjang model Jepun
berada dalam genggamannya, kini golok tersebut
sedang menyapu ke pinggang Cong Hoa.

Begitu menyentuh pinggir sungai, Cong Hoa segera


menggelinding ke depan, meloloskan diri dari babatan
maut itu.

Orang itu tidak tinggal diam, dengan tangan kiri


menahan diatas permukaan, tangan kanan
menggenggam golok, dia berdiri dengan kaki kiri
setengah berjongkok, sepasang matanya mengawasi
gadis itu lekat-lekat.

Dengan cepat Cong Hoa menjumpai sebuah luka


memanjang membekas di kaki kirinya, darah masih
mengalir keluar dengan derasnya.

Dari dandanan dan gerak-gerik sang pembunuh, dia


segera tahu kalau orang itu adalah seorang ninja dari
negeri Hu-Siang (Jepang).

�Jangan-jangan dia adalah salah satu ninja dari


negeri Hu-Siang yang tersohor dengan ilmu �membunuh
dalam air� nya?� pikir Cong Hoa dalam hati, �aneh,
kenapa aku belum pernah mendengar kalau di daratan
Tionggoan pun ada orang yang berhasil mempelajari
ilmu sesat dari negeri manusia kate itu?�

Cong Hoa menggigit bibir menahan rasa sakit yang


luar biasa, berhadapan dengan musuh tangguh, dia
tidak berani bersikap gegabah.

Gegabah berarti kematian, maka sambil menatap


tajam ninja itu, tegurnya, �Kau datang dari negeri Hu-
Siang?�

�Benar!� jawabannya sama dinginnya dengan wajah


ninja tersebut.

�Siapa namamu?�
�Thian-hong Capsi-long!�
�Thian-hong Capsi-long?� seru Cong Hoa terperanjat.
Dulu di dalam dunia persilatan kedatangan seorang
ninja yang berasal dari lembah Giho di negeri Hu-Siang,
dia datang ke daratan Tionggoan dengan mengajak
kedua orang putranya, mula-mula dia menantang ketua
Kay-pang untuk berduel, tapi akhirnya terhajar sebuah
pukulan. Menyusul kemudian diapun menantang ketua
Siau-lim-pay, Thian-hong thaysu untuk berduel.

Ninja tersebut mengaku bernama Thian-hong Capsilong.

�Tiga puluh tahun berselang pernah muncul seorang


ninja yang sangat hebat dan tiada tandingan,
cianpwee kah ninja tersebut?� tanya Cong Hoa sambil
menatap tajam ninja itu.

�Benar.�

�Boleh tahu apa maksud kedatangan cianpwee


pada malam ini?�

�Untuk menagih hutang sebuah pukulan tinju dan


sebuah pukulan telapak tangan di masa lalu.�

�Sayang Jin locianpwee dan Thian-hong Thaysu


sudah wafat, harapan cianpwee sulit untuk terpenuhi.�

�Tidak perlu mereka berdua!�

�Tidak perlu mereka berdua?�

�Benar, kau bisa mewakili mereka berdua.�

Cong Hoa melengak tapi segera tertawa lebar.

�Sayang hari ini aku ada urusan penting hingga tidak


bisa memenuhi harapanmu, lain waktu saja kita bertemu
kembali,� katanya.

Mendadak Thian-hong Capsi-Long mendongakkan


kepalanya dan tertawa seram, suaranya nyaring dan
memekik telinga, membuat bunga bwee yang tumbuh
disekeliling tempat itu berguguran ke tanah.

Kembali Cong Hoa tercengang, dia tidak mengerti


apa yang sedang ditertawakan?
�Apa lain waktu bertemu lagi?� jengek ninja itu sambil
tertawa seram, �ketika termakan sebuah jotosan dan
sebuah pukulan telapak tangan dulu, aku pulang ke
negeri Hu-Siang dengan membawa malu, aku
bersumpah ketika muncul lagi di daratan Tionggoan,
aku pasti akan menghajar sebelas ribu seratus orang.�

Kemudian sambil menatap tajam wajah Cong Hoa


dengan sorot mata setajam pisau lanjutnya, �Kau
adalah orang ke delapan puluh tiga.�

�Kau adalah orang ke delapan puluh tiga.�

Begitu ucapan tersebut selesai diucapkan, terlihat


sekilas cahaya tajam meluncur keluar dari bawah ketiak
kiri ninja itu.

Cong Hoa merasa cahaya tajam yang amat


menyilaukan mata melintas dihadapannya, sekilas
cahaya perak seperti paruh burung elang telah muncul
persis dihadapannya dengan kecepatan bagaikan
sambaran petir.

Dengan cepat dia memutar tubuhnya sambil


bergeser tujuh kaki dari posisi semula, siapa tahu cahaya
perak tersebut seakan mempunyai mata, bagaikan
bayangan tubuh saja segera ikut bergeser pula ke
samping.

Cong Hoa menjejakkan kakinya bergantian,


bayangan tubuh berkelebat lewat, beruntun dia
menghindar sebanyak tujuh kali, tapi cahaya perak itu
ibarat bintang ditengah malam buta, mau dihindari
dengan cara apapun tetap mengikutinya.

Mendadak Cong Hoa menggerakkan tangan


kanannya ke muka, dari kiri berputar ke kanan
membetuk sebuah garis lingkaran, dari balik gerak
melingkar yang dibentuk tahu-tahu melesat keluar dua
titik cahaya bintang berwarna gelap.

�Criiing!� cahaya perak yang menyelimuti angkasa itu


tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas.

�Kurang ajar! Tidak nyana kau berhasil


menghancurkan ilmu gulungan maut ku!� umpat ninja itu
penuh amarah, �Hmmm! Bagus, sekarang rasakan
kehebatan ilmu ketulusan hatiku!�

Ninja itu membalikkan tubuhnya sambil mengayunkan


tangan, selapis kabur asap berwarna ungu bagaikan
gulungan ombak samudra langsung menghantam ke
arah Cong Hoa.

Dibalik tebalnya asap kabut itu terselip setitik cahaya


bintang berwarna ungu. Begitu kabut ungu meliputi
udara, tubuh Cong Hoa segera mundur ke belakang
kemudian melejit ke tengah udara.

�Blaaamm!� ledakan dahsyat menggelegar di


angkasa, bagaikan petir yang menyambar bumi, asap
ungu itu dengan cepat menyebar ke empat penjuru.

Sebatang pohon bwee yang tumbuh persis di


belakang Cong Hoa seketika hancur berkeping-keping,
hanya dalam waktu yang amat singkat pohon itu layu
kemudian mati, putik bunga yang semula putih
bagaikan salju kini berubah jadi kuning layu.

�Waaah, ternyata ilmu membunuh yang dimiliki kaum


ninja memang mengerikan hati!� pekik Cong Hoa
terperanjat.

Tiba-tiba dari balik mata ninja itu terpancar keluar


cahaya seperti gembira, seperti juga berduka, dia tatap
wajah Cong Hoa tanpa berkedip. Lambat laun cahaya
mata itu memancarkan sejenis sinar yang aneh, seolah
olah mengandung daya hipnotis yang mengerikan.

Biarpun senyuman masih menghiasi ujung bibir Cong


Hoa, namun secara diam diam dia tingkatkan
kewaspadaannya, tanpa berkedip dia awasi terus golok
samurai yang berada di tangan ninja itu.

Samurai yang sudah terangkat melampaui alis mata


perlahan lahan diangkat tegak lurus keatas, tangan
kirinya ditempelkan diatas gagang samurai lalu sambil
menggenggam, mengerahkan tenaga, dia memutar
senjatanya secepat kilat.

Cahaya hijau yang menusuk tulang segera terpancar


keluar dari tubuh samurai itu.

�Inikah jurus Eng-hong-it-to-cian (menyongsong angin


sekali tebasan)?� tanya Cong Hoa dengan kening
berkerut.
�Benar,� ninja itu menyeringai seram, �Jurus Eng-hongit-
to-cian merupakan seluruh inti sari dari ilmu pedang
yang ada, begitu serangan dilancarkan, korban pasti
tewas mengenaskan.�

Mata samurai telah tertuju ke arah Cong Hoa,


dengan sorot mata siluman ninja itu awasi lawannya
tajam-tajam.

Cahaya samurai dan sinar matanya telah


mengepung sekujur tubuh Cong Hoa.

Samurai sama sekali tidak bergerak, biar tidak


bergerak namun hawa membunuh yang terpancar
keluar makin lama kian bertambah menebal.

Cong Hoa tidak berani bergerak. Dia sadar, asal


tubuhnya bergerak, pasti ada lubang kelemahan yang
terbuka, samurai pembunuh sang ninja pun segera akan
manfaatkan peluang itu untuk melancarkan
babatannya dan dia pasti akan terbabat mampus.

Dengan tenang mengatasi gerak, inilah teori tingkat


tinggi dari ilmu silat.

�Musuh tidak bergerak, aku tidak bergerak, musuh


bergerak, aku bergerak duluan tidak menyerang berarti
melindungi diri, begitu menyerang sasaran pasti kena!�

Jika ada dua jago tangguh sedang bertarung, maka


menang kalah selalu ditentukan hanya dalam sedetik.
Kabut makin tebal menyelimuti angkasa, angin pun
berhembus kencang, hawa pembunuhan semakin
menyelimuti seluruh arena pertempuran.

Suara air yang mengalir terdengar kian lama kian


bertambah jauh, bahkan sama sekali tidak terdengar, di
alam jagad seolah tinggal dengus napas sang ninja dan
Cong Hoa.

Makin lama dengusan napas semakin bertambah


berat.

Disaat saling berhadapan dalam keadaan �tenang�,


ternyata jauh lebih menakutkan ketimbang saling
berhadapan dalam suasa �membunuh�. Karena
�tenang� jauh lebih sulit dilakukan daripada �gerak�.

�Gerak� dapat kau saksikan, setiap saat dapat kau


hadapi dan waspadai.

Sebaliknya �tenang� diliputi ketidak tahuan, ancaman


mara bahaya yang bisa muncul setiap saat.

..... Tidak seorangpun dapat menduga, serangan


golok �Eng-hong-it-to-cian� dari sang ninja akan dibabat
dari arah sebelah mana.

Biarpun berada ditengah malam ujung musim gugur


yang sangat dingin, Cong Hoa dapat merasakan butiran
keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran
membasahi ujung hidungnya.
Sorot mata sang ninja masih saja memancarkan
cahaya siluman yang aneh, bahkan ujung samurainya
sama sekali tidak bergetar.

Pada saat itulah tiba-tiba terasa ada segulung


desingan angin tajam menyergap wajah Cong Hoa.
Sepasang matanya berkedip.

Disaat matanya berkedip, samurai pun mulai


bergerak.

Ninja itu membentak nyaring, samurai yang berada


dalam genggamannya secepat kilat membabat ke
bawah.

Ayunan itu kelihatan biasa dan sangat sederhana,


tapi cepatnya menakutkan, demikian cepatnya
sehingga tidak meninggalkan kesan bahwa dia sedang
bergerak.

Sedemikian cepatnya hingga seakan sama sekali


tidak bergerak.

Babatan samurai itu memang kelihatan sederhana,


namun dibalik kesederhanaan terselip inti sari dari ilmu
silatnya, kecerdasan dalam menghadapi lawan serta
kemampuan tingkat tinggi yang terhimpun dan melebur
menjadi satu.

Sepasang mata ninja itu telah berubah jadi merah,


seluruh pakaian yang dikenakan ikut menggelembung
karena himpunan tenaga dalam yang telah disalurkan
hingga pada puncaknya.
Tampaknya dia bertekad akan menghabisi lawannya
dalam bacokan itu, dia sama sekali tidak menyisakan
kekuatannya lagi.

Betulnya bacokan samurai dengan jurus Eng-hong-itto-


cian merupakan sebuah serangan yang tiada
tandingannya di kolong langit?

Ketika angin serangan menyambar tiba, tubuh Cong


Hoa sudah berbaring sejajar dengan tanah, sementara
peti besi yang berada dalam genggamanya diangkat
ke atas menyongsong datangnya serangan itu.

�Traaang!� percikan bunga api menyebar ke empat


penjuru, ternyata peti besi itu terpapas hingga terbelah
jadi dua.

Dengan meletupnya bunga api, hawa pembunuhan


yang menakutkan pun ikut hilang lenyap tidak berbekas.

Ketika peti besi itu terbelah, ujung samurai pun


tampak gumpil sebagian. Dengan sekali jumpalitan
tahu-tahu Cong Hoa sudah menyelinap ke belakang
punggung ninja itu, sepasang tangannya langsung
disodokkan ke muka dan menghajar punggung
lawannya kuat-kuat.

�Duuukkk!� ninja itu tersungkur ke depan sambil


memuntahkan darah segar, tiada rasa sakit atau
penderitaan yang terlintas diwajarinya, orang itu malah
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.
Cong Hoa sama sekali tidak bergerak, ia berdiri
mematung ditempat, tiada perubahan mimik muka
diwajahnya, sementara butiran keringat masih
bercucuran membasahi jidatnya. Noda darah terlihat di
sepasang tangannya, lelehan darah segar masih
menetes melalui sela sela jari tangannya.

Ninja itu bangkit berdiri sambil tertawa nyaring, dia


ambil peti besi yang telah terbelah dua itu. Cong Hoa
masih tidak bergerak, hanya sepasang matanya
mengawasi terus bagaimana ninja itu mengambil peti
besi yang terbelah dari atas tanah.

�Itulah jurus tanpa penyesalan dari perguruan Giho,�


ujar ninja itu sambil tertawa keras, �Yang terkena
pukulan ringan akan mampus dalam satu jam,
sementara kau telah menggunakan tenaga sangat
besar, paling banter usiamu hanya tinggal dua jam.�

Cong Hoa masih menggigit bibirnya tanpa


menjawab, namun darah segar nampak meleleh keluar,
air mukanya tetap hambar tiada perubahan.

Tiada penderitaan, tiada rasa sakit, tiada penyesalan,


tiada perasaan, yang ada hanya perasaan dendam.
Sekali lagi ninja itu tertawa keras.

Ditengah gelak tertawa yang nyaring, bayangan


tubuhnya lenyap dibalik kegelapan hutan bunga bwee
yang rimbun. Tentu saja senjata kait perpisahan pun ikut
bersamanya lenyap dari pandangan mata.
Dialam jagad yang hening kini hanya tersisa Cong
Hoa seorang.

Titik cahaya terang diujung sungai terasa makin lama


semakin bertambah terang, makin lama semakin
membesar.

Suasana tetap hening, kabut tebal masih menyelimuti


seluruh permukaan. Ditengah keheningan itulah, tibatiba
berkumandang suara yang seruling yang lembut.

Angin dingin masih berhembus kencang.

Titik cahaya yang muncul diujung sungai dari balik


kabut, kini sudah bertambah terang. Bukan cahaya
lentera, melainkan cahaya api dari tungku.

Api dalam tungku itu berada diatas sebuah sampan,


dari atas sampan itulah suara seruling berkumandang.

Sebuah sampa kecil, setitik api merah dari tungku


tanah liat. Cahaya api yang berkerdip menyinari wajah
seorang kakek yang duduk bersila diujung perahu.

Dia mengenakan topi caping dengan jas hujan dari


jerami, rambutnya telah beruban, saat itu sang kakek
masih asyik meniup serulingnya.

Irama yang dibawakan terdengar rendah, berat dan


mengenaskan.

Ditengah hembusan angin yang dingin, lamat lamat


terendus bau harum semerbak yang menyegarkan, bau
harum itu berasal dari sebuah guci keramik yang ada
diatas tungku api.

Entah air teh atau obat yang sedang dimasak dalam


guci itu?

Sebuah sampan, setitik api tungku, seorang kakek,


sebatang seruling.

Irama seruling mengalun makin sendu....

Bagi kakek yang berada di sampan itu, semua


kesedihan, kegembiraan, perjumpaan maupun
perpisahan yang ada dalam perjalanan hidupnya kini
telah lewat bagai awan di angkasa.

Apakah dia merasa sudah mendekati ajalnya?

Mendengar irama seruling itu, Cong Hoa yang sama


sekali tidak tertarik tiba-tiba jadi tertarik, dia
membalikkan tubuh dan menengok ke arah orang tua
yang ada diujung sampan.

�Lotiang yang ada di sampan, dapatkah kau dayung


sampan mu mendekat?�

Irama seruling seketika terhenti.

�Mau apa kau?� kakek itu bertanya.

�Kau seorang diri meniup seruling diujung sampan,


sementara aku seorang diri melongo diatas daratan,
mengapa kita berdua tidak duduk bersama sambil
kongkow? Paling tidak bisa kita usir malam yang sepi ini
bersama sama?�

Kakek itu tidak menjawab, irama seruling kembali


berkumandang sementara sampan pun perlahan-lahan
mendekati daratan.

Air dalam guci keramik mulai mendidih, bau harum


yang lembut semakin menusuk penciuman.

�Ini air teh atau obat?� tanya Cong Hoa setelah


duduk diatas sampan.

�Air teh, juga obat,� sahut si kakek hambar.

Kakek itu mengawasi sekejap bunga api yang masih


membakar pepohonan, sebuah perubahan aneh
melintas diatas wajahnya, terdengar dia bergumam,
�Kau masih sangat muda, mungkin belum bisa
memahami makna dari getirnya air teh.�

�Aku tahu, kau harus menikmati dulu getirnya air teh


sebelum timbul rasa manis.�

Kakek itu mengangkat wajahnya, mengawasi gadis


itu sekejap kemudian tertawa, setiap garis kerutan diatas
wajahnya seolah ikut tertawa.

Kakek itu mengambil guci keramik itu, menuang


secawan lalu katanya, �Bagus sekali, kau boleh
mencicipi satu cawan.�

�Dan kau?�
�Aku tidak minum.�

�Kenapa?�

�Karena pelbagai macam air teh yang paling getir


pun di dunia ini sudah pernah kucicipi.�

Sebuah ucapan yang mengenaskan, tapi sewaktu


diutarakan dari mulutnya, justru kedengaran membawa
aroma yang berbeda.

�Kalau toch tidak minum, buat apa kau memasak air


teh?�

�Belum tentu orang yang masak air teh, dia harus


seorang peminum teh.�

Banyak sekali kejadian di dunia yang persis seperti


keadaan tersebut, sebagai orang muda tentu saja dia
tidak akan memahami teori tersebut.

Cong Hoa telah menerima cawan berisi penuh


dengan air teh.

Teh itu masih panas, meski cawannya agak besar da


kasar namun tanpa ragu gadis itu meneguknya hingga
habis.

Setiap kali sedang minum, baik minum teh maupun


minum arak, dia selalu meneguknya dengan cepat.
Dalam mengerjakan tugas apa pun, dia juga selalu
melakukannya dengan cepat.
Apakah ini disebabkan diapun merasa bahwa
kehidupan sendiri segera akan berakhir?

Kini air teh telah dikeringkan, apakah diapun akan


segera mati?

�Ada sepatah kata ingin kuutarakan,� kata Cong Hoa


sambil tertawa, �aku harap kau jangan terperanjat.�

�Katakan saja!�

�Aku adalah seseorang yang mendekati ajal!�

�Setiap manusia, begitu dilahirkan maka dia sudah


mulai menunggu saat kematiannya!�

�Aku bersungguh-sungguh!�

�Aku tahu.�

�Kau tidak mengusirku turun dari sampan mu?�

�Setelah naik ke atas sampan, kenapa pula harus


kuusir?� jawab kakek itu tenang.

�Tapi setiap saat mungkin aku bakal mati disini, mati


dihadapanmu.�

�Aku sudah kenyang melihat manusia dilahirkan di


dunia ini, sudah sering pula melihat manusia mati
meninggalkan dunia ini.�

�Kalau aku jadi kau, aku pasti tidak ingin menyaksikan


seorang asing mati diatas perahuku.�
�Perkataanmu memang betul!� kata si kakek,
�Sayang kau bukan aku, kaupun tidak bakal mati diatas
perahuku.�

�Kenapa?� seru Cong Hoa terperanjat.

�Sebab kau telah bertemu dengan Bu Capsa.�

�Bu Capsa? Siapa itu Bu Capsa?� tanya Cong Hoa.

�Aku!�

�Kau?� kembali Cong Hoa berseru, �Berjumpa


dengan kau berarti aku tidak bakal mati?�

�Benar,� suara kakek itu dingin lagi hambar, �Setelah


bertemu aku, biar ingin mati pun tidak bakalan bisa
mati.�

�Kenapa?�

�Karena akupun tidak ingin menyaksikan seorang


asing mati diatas sampan ku.�

Begitu mendengar jawaban tersebut, Cong Hoa


segera tertawa.

�Kau anggap aku tidak sanggup selamatkan


jiwamu?� kembali kakek itu bertanya.

�Kau hanya menyaksikan lukaku,� kata Cong Hoa


sambil mengawasi sepasang tangan sendiri, �Tapi tidak
melihat kalau aku sudah keracunan, oleh sebab itu kau
beranggapan dapat selamatkan nyawa ku.�
�Oya?�

�Biarpun luka ku hanya luka lecet, tapi racun yang


datang dari tempat kejauhan kini sudah merasuk hingga

ke tulang sumsum.�

�Oya?� mimik muka kakek itu tetap hambar.

�Tidak seorang pun sanggup memunahkan racun

dalam tubuhku.�

�Tidak seorang pun?�

�Mungkin masih ada satu orang,� kata Cong Hoa

sambil mengawasi kejauhan.

�Siapa?�

Cong Hoa tertawa getir, sambil menepuk bajunya

dan bangkit berdiri, ujarnya, �Yang pasti orang itu bukan


kau.�

�Oleh sebab itu kau ingin pergi?�

�Aku tidak ingin mati diatas perahumu!�

�Kau tidak bakal bisa pergi!�

�Kenapa?�

�Karena kau telah minum secawan teh getirku.�

�Teh getir? Kau minta ganti kerugian?�


�Kau tidak bakalan bisa mengganti, tidak mungkin
bisa mengganti...� kakek itu kembali mencukil arang
dibawah tungku nya.

Cong Hoa ingin tertawa namun tidak sanggup, tibatiba


dia merasa jari tangan dan jari kakinya mulai
kesemutan bahkan rasa kesemutan itu lambat laun
menjalar hingga ke seluruh tubuhnya.

�Tahukah kau, air teh apa yang barusan kau minum?�

�Air teh apa?�

�Ngo-ma-san,� jawab kakek itu hambar, �ngo yang


artinya lima, Ma yang artinya mati rasa dan San yang
berarti bubuk.�

�Ngo-ma-san? Bukankah resep itu berasal dari Tabib


Hoa Tuo? Konon sudah lama resep itu punah dari dunia
ini?�

�Tapi ada seseorang yang bertekad akan


menemukan kembali resep langka itu, dia telah
mengorbankan enam belas tahun lamanya sebelum
berhasil menciptakan kembali resep tersebut.�

Sewaktu mengucapkan perkataan itu, lamat-lamat


kelihatan sepasang mata kakek itu berkaca-kaca.

�Dan orang tersebut adalah kau?� tanya Cong Hoa.


Kakek itu tidak menjawab, tiba-tiba pancaran sinar
matanya kembali berubah jadi dingin, �Bayangkan
sendiri, sanggupkah kau mengganti air teh seperti ini?�

�Aku tahu, tidak mungkin aku bisa menggantinya,�


sahut Cong Hoa sambil tertawa getir, �Tapi andaikata
sejak awal aku tahu air teh macam apakah itu, tidak
nanti aku akan meminumnya!�

�Tapi sayang sekarang kau telah meneguknya!�

Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.

�Oleh sebab itu, sekarang ke empat anggota


badanmu pasti sudah kaku dan mati rasa, seandainya
aku mengiris kulit badanmu, kau pun tidak akan merasa
sakit.�

�Benarkah begitu?�

Kakek itu tidak menjawab, perlahan-lahan dia


mengeluarkan sebuah kotak kulit berwarna coklat tua
dari sakunya.

Sebuah kotak kulit berbentur lonjong dan pipih,


sekalipun sudah amat kuno namun kelihatan licin dan
bersinar karena kelewat sering dipegang orang.

Perlahan-lahan kakek itu membuka kotak kulit itu, dari


dalam kotak segera terpancar keluar semacam cahaya
terang berwarna hijau muda.

Cahaya tajam dari mata pisau. Tiga belas bilah pisau.


Tiga belas bilah pisau berbentuk aneh, ada yang
berupa kaitan, ada yang berupa gergaji, ada yang
pajang langsing, ada pula yang melengkung bagai
bulan sabit.

Dari ketiga belas bilah pisau itu hanya ada satu


kesamaan... mata pisau amat tipis, tipis tapi tajam.

Kakek itu mulai mengawasi ketiga belas bilah


pisaunya, dari balik sorot mata yang sayu tiba tiba
memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau.

�Dengan ketiga belas bilah pisau inilah aku akan


menghadapimu,� ujar si kakek dengan wajah serius.

�Pisau itu begitu tipis, bila dipakai untuk mengiris pasti


tidak akan terasa sakit,� kata Cong Hoa, dia ingin sekali
tertawa namun senyumannya justru kelihatan kaku.

Obat pemati rasa itu memang menakutkan, kini


sekujur badannya nyaris mati rasa, kecuali matanya bisa
melihat, mulutnya masih bisa berbicara.

Kini dia sedang mengawasi ketiga belas bilah pisau


itu, mau tidak mau dia harus melihatnya.

Arus sungai masih mengalir sangat tenang, api


dibawah tungku kian lama kian bertambah redup,
namun kabut tebal masih menyelimuti seluruh
permukaan.
Kakek itu sudah mengambil sebilah pisau yang sempit
lagi panjang, pisau itu panjang sembilan inci dan lebar
enam mili.

�Mula-mula aku akan menggunakan pisau ini untuk


menyayat dagingmu!� kata si kakek sambil memegang
tangan gadis itu, �Sebagian daging ditanganmu ini
sudah mulai membusuk.�

�Kemudian?�

�Kemudian aku akan menggunakan pisau yang ini


untuk menghadapimu!� kembali si kakek mengambil

sebilah pisau berbentuk kaitan, �Dengan pisau ini akan


kucongkel daging bagian bawah.�
�Lalu?�
Si kakek meletidakkan kembali pisau berbentuk kaitan
itu dan memilih pisau jenis lain.
�Setelah itu aku akan menggunakan pisau ini untuk
mengorek tulangmu, mengorek keluar seluruh sisa racun
yang mengendap disitu, mengoreknya hingga tuntas
berikut seakar akarnya.�

Kakek itu benar benar membelah daging dilengan


Cong Hoa, mengorek tulangnya dan membersihkan
racun yang tersisa disitu, selama operasi berjalan, gadis
itu sama sekali tidak mengerdipkan matanya, dia malah
mengawasi terus cara kerja si kakek dengan ketiga belas
bilah pisau bedahnya.
�Kujamin kau tidak akan merasakan sakit barang
sedikitpun,� kata si kakek sambil menatap wajahnya.

�Lantaran aku sudah minum bubuk Ngo-ma-san?�


Cong Hoa balik bertanya.

�Benar, inilah kasiat utama dari bubuk Ngo-ma-san.�

�Kau tahu kalau aku sudah keracunan?�

�Racun jenis ini sangat jahat dan mengerikan, hanya


manusia bejad dari negeri Hu-Siang (Jepang) yang bisa
melakukannya,� kata kakek itu sambil mengawasi
tangannya, �Ilmu tanpa penyesalan? Hmmmm, tidak
nyana bangsa kerdil pun bisa memikirkan nama seindah
itu.�

�Berarti kau sudah tahu kalau aku keracunan?� tegas


Cong Hoa sambil menatap tajam wajah kakek itu,
�Karena sudah tahu, maka kau siapkan cara terbaik ini
untuk menolongku?�

�Benar.�

�Darimana kau bisa tahu?�

�Karena aku telah berhutang budi kepada


seseorang.�

�Hutang budi? Kepada siapa?�

�Seseorang,� sahut si kakek sambil memandang ke


tempat kejauhan, �Seorang sahabat karib yang sudah
tua, tua sekali.�
�Siapakah orang itu?�

�Aaai, kalau orang sudah tua, biasanya gampang

kelupaan. Aku pun sudah lupa siapakah orang itu.�

Jelas dia sedang berbohong.

Cong Hoa tahu akan hal ini tapi dia enggan

membongkarnya. Dia memang tidak senang memaksa


orang lain melakukan apa yang tidak ingin dilakukan.

�Jadi dia yang memintamu untuk menolong aku?�


tanyanya hambar.

�Benar.�

�Kalau aku enggan menerima pertolonganmu?�

Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Cong Hoa


sudah merasakan rasa kesemutan yang menakutkan itu
mulai menjalar ke otaknya, ke jantungnya...

�Apa kau ingin mati?� dia mendengar kakek itu


bertanya.

�Tidak!� lamat-lamat dia mendengar jawaban


sendiri.

Suara terakhir yang terdengar oleh Cong Hoa adalah


suara ujung pisau yang sedang mengorek diatas tulang.

Jelas tulang itu adalah tulang sendiri.


Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasakannya,
sama sekali tidak terasa sakit...

Fajar telah menyingsing, kabut pun sudah membuyar.


Salju yang sudah lama tidak nampak, kini mulai
melayang dan bertaburan di udara.

Malam kemali menjelang. Salju masih turun dengan


derasnya. Diujung putik bunga bwee kini sudah penuh
dilapisi bunga salju.

Entah di pagi hari ataupun di malam hari, kehidupan


manusia selalu akan mengalami satu sisi yang paling
indah.

Bila seseorang masih bisa hidup, mengapa pula dia


harus mati?

..... Sejujurnya, siapa sih manusia di dunia ini yang


benar-benar ingin mati?

BAB 4.

Irama sendu dari rebab tiga senar.

Sebuah lorong sempit, sebuah warung bakmi, seorang


kakek, sebatang huncwee.

Malam sudah sangat larut, namun salju masih turun


dengan derasnya.
Dalam iklim seperti ini, dalam udara sedingin ini, siapa
yang akan datang membeli bakmi? Kakek Tan sadar
tidak akan ada orang yang mau bersantap malam
dalam suasana begini, dia pun sadar sudah saatnya
mulai bebenah untuk menyimpan sayur asin dan bakmi
yang tersisa, walaupun biasanya dia akan berjualan
hingga fajar.

Sebetulnya sudah lama Dia ingin pensiun, namun


setiap kali terbayang sobat-sobat miskinnya yang setiap
hari datang bertandang, dia tetap berjualan hingga
pagi menyingsing.

Bakmi yang dia jual selain enak, harganya murah


sekali bahkan boleh berhutang lagi. Bila suatu hari
secara tiba-tiba kakek Tan berhenti berjualan, bisa jadi
banyak orang akan menahan kelaparan.

Langit begitu dingin, bumi begitu membeku,


penghidupan tiap haripun begitu sengsara dan
menderita, sementara kehidupan paling hanya
berlangsung sekejap, mengapa dia harus berjualan
hingga larut malam? Mengapa Dia tidak tidur lebih
awal?

.....Kehidupan seseorang di dunia ini terkadang bukan


hidup demi diri sendiri, banyak orang justru hidup demi
kelangsungan hidup orang lain, sekali kau sudah
memikul beban tersebut maka jangan harap beban itu
bisa kau lepas dengan seenaknya.
Kakek Tan menghela napas dalam hati, dengan ibu
jarinya dia tekan sisa tembakau yang ada didalam
huncwee, kemudian menghisapnya kuat kuat, dia
berusaha untuk menghidupkan kembali percikan api
yang sedang membakar tembakaunya.

Asap tipis perlahan-lahan menyembur keluar dari


lubang hidung kakek Tan.

Warung bakmi itu terletak dalam sebuah lorong persis


di belakang penjara, kebetulan letaknya berada disisi kiri
pintu rumah Lo Kay-sian. Oleh sebab itu terkadang bila
tidak ada urusan penting, Lo Kay-sian kerap duduk
nongkrong di warung kakek Tan sambil minum arak.

Bakmi kecut pedas buatan kakek Tan sangat


membangkitkan selera makan Lo Kay-sian, apalagi di
malam dingin yang begini membeku, bisa menikmati
semangkuk bakmi pedas yang hangat sudah
merupakan satu peristiwa yang paling menyenangkan.

Malam ini, sedari awal Lo Kay-sian sudah bersembunyi


di balik selimut, tapi sudah setengah harian dia bolakbalik
kesana kemari namun belum juga tertidur, hatinya
seakan sedang dililit beribu macam masalah yang tidak
terpecahkan.

Akhirnya dia memutuskan untuk nongkrong di warung


bakmi kakek Tan sambil minum berapa cawan arak,
biasanya bila dua orang kakek rentan kumpul
berbareng, waktu akan berlalu tanpa terasa.
Baru tiba di depan warung bakmi, belum sempat Lo
Kay-sian buka suara, dia sudah menyaksikan kakek Tan
sedang memandang wajahnya dengan perasaan kaget
bercampur keheranan.

�Kau sakit?� tegur kakek Tan tercengang.

�Sakit?� Lo Kay-sian melengak, �Tidak!�

�Kalau bukan lagi sakit, biasanya disaat ini kau sudah


tidur dibalik selimutmu, mau apa kau malah nongkrong
di sini?�

�Apa lagi kalau bukan kangen dengan arakmu!�


jawab Lo Kay-sian sambil mencari tempat duduk, �Di
udara sedingin ini, keliru besar kalau tidak menenggak
berapa cawan arak.�

�Sama seperti biasanya?�

�Benar.�

�Benar, benar...� gumam kakek Tan, �Setiap kali


pesan lima piring sayur asin, sisanya tetap lima piring
sayur asin.�

Dia seakan tidak tahu, ada sementara orang ketika


minum arak dia enggan makan sayur, yang dinamakan
sayur biasanya hanya dijadikan pelengkap, sebagai
tontonan.

Tingkah lakunya memang seperti orang yang takut


kesepian, padahal didalam rumah tersedia ikan, daging
dan arak kelas satu, tapi dia lebih suka duduk nongkrong
dipinggir jalan sambil menikmati arak murahan.

Yang dia cari memang bukan arak atau hidangan,


dia sedang menikmati manusia yang ada disitu, hawa
dari manusia manusia itu.

Sepiring tahu kering, sepiring kuping babi, sepiring


babi sam-can, sepiring daging sapi asin, sepiring kacang
goreng.

Lima macam hidangan sudah berjajar diatas meja,


cawan ada dua, poci arak pun ada dua.

Lo Kay-sian dan kakek Tan duduk saling berhadapan,


masing-masing ditemani sebuah cawan dan sepoci
arak.

Dalam cawan penuh dengan arak, arak putih Sau-tocu.

�Sepoci arak didepan meja, hingga kapan mata baru


terpejam?� gumam Lo Kay-sian sambil meneguk
secawan arak.

�Menginap diluar rumah, meja sebelah ditemani si


tukang arak,� sambung kakek Tan sambil meneguk pula
secawan arak.

Lo Kay-sian tertawa, sambil memandang ke tempat


kejauhan kembali gumamnya, �Orang kalau sudah tua,
biasanya jadi cerewet, banyak bicara, padahal mereka
bukannya bawel, yang benar mereka takut akan
kesepian.�

Apa yang dia ucapkan memang kenyataan.

Orang tua kalau banyak omongnya, cerewet, bawel,


bukan berarti mereka itu suka bicara, mereka hanya
takut akan kesepian.

�Sepi� sebetulnya hanya sebuah kata yang amat


bersahaya, biasa, amat sederhana, tapi justru
merupakan sebuah kata yang sukar dipahami, susah
dicerna.

Orang tua banyak bicara, karena mereka kuatir tidak


bisa bicara.

Binatang yang selalu berisik pun karena mereka takut


akan kesepian.

�Oleh sebab itu bila usia seseorang makin tua,


bicaranya pasti makin banyak, semakin bawel, bukan
begitu?� ujar kakek Tan.

�Betul, tepat sekali!�

�Padahal kebawelan mereka karena bicara menurut


pengalaman yang pernah dialaminya,� kakek Tan
menghela napas.

�Tapi biasanya, generasi muda segan


mendengarkan, mereka segan menuruti nasehat orang
tua.�
�Itulah sebabnya di dunia ini orang tua dan orang
muda selalu dipisahkan oleh pandangan yang bertolak
belakang.�

�Begitu sekarang, begitu juga seribu tahun


mendatang, bahkan mungkin sejuta tahun lagi pun
keadaan tidak akan jauh berbeda.�

Gelak tertawa kedua orang itupun bergema


memecahkan keheningan, mengalun dari warung
bakmi lalu meluas ke empat penjuru. Belum putus gelak
tertawa kedua orang itu, tiba tiba diatas wajah mereka
terlintas semacam perubahan mimik muka yang sangat
aneh.

..... Terlepas perubahan mimik muka macam


apakah itu, yang pasti bukan mimik muka orang sedang
gembira.

Dari balik kegelapan malam yang sepi bagaikan


liang kubur, tiba-tiba berkumandang irama lagu yang
dipetik dari rebab bersenar tiga, dentingan itu sedih,
rendah, berat dan datang dari kejauhan mengikuti
hembusan angin.

Dalam suasana, saat dan keadaan seperti ini,


dentingan lagu dari rebab bersenar tiga itu seolah
datang dari dalam neraka.

..... Kau pernah mendengar suara yang berasal dari


neraka?
Lantas bagaimana pula suara yang datang dari
Nirwana? Belum pernah ada yang mendengar, belum
ada yang tahu.

Dapat dipastikan, belum pernah ada yang


mendengar!

Bila ada semacam suara sewaktu kau dengar dapat


membuat perasaan hatimu yang paling dalam terjadi
perubahan, balikan dapat membuat seluruh tubuhmu
seolah melebur dan menyatu dalam �irama musik� itu,
orang pasti akan menganggap suara tersebut sebagai
suara yang datang dari Nirwana.

Lo Kay-sian maupun kakek Tan tidak terlebur, mereka


sudah mabuk berat, mabuk didalam alunan musik yang
dipetik dari rebab bersenar tiga itu.

Irama rebab makin lama semakin bertambah dekat,


menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki
seseorang.

Biarpun lorong itu sempit, sebetulnya tidak terlalu


panjang, dari mulut lorong muncullah seorang kakek
yang membopong sebuah rebab bersenar tiga.

Semestinya dia memiliki perawakan tubuh yang


sangat tinggi, tapi sekarang sudah bongkok dan layu
seperti ebi kering, rambutnya telah beruban, wajahnya
penuh keriput, begitu banyak keriputnya hingga susah
dihitung satu per satu.
Dalam iklim sedingin ini, mau apa dia muncul di lorong
yang serba sempit ini? Mau jajan bakmi? Atau mau
menabuh rebab? Seandainya mau menabuh rebab,
mau didengarkan kepada siapa? Irama yang ditabuh
kelewat memedihkan hati, gampang membuat orang
merasa sedih, gampang membuat orang teringat
kembali kejadian masa lampau...

Lo Kay-sian berdua masih duduk dengan tenang,


mendengarkan dengan seksama.

Irama rebab bersenar tiga semakin sendu, seakan


akan muncul dari mulut seorang dayang yang sudah
lama hidup dalam lingkungan istana, seakan dia sedang
menuturkan seluruh suka duka yang dialaminya
sepanjang masa.

Walaupun dalam kehidupan ada masa masa


gembira, namun hanya sekejap mata semuanya telah
sirna, hanya kepedihan yang berlangsung langgeng,
mengapa kehidupan manusia sangat pendek?
Mengapa dari dulu hingga kini selalu ada manusia yang
berperan sebagai orang jahat?

Manusia mengapa harus berjuang? Mengapa harus


mengalami pelbagai penderitaan? Mengapa hanya
kematian yang bisa mendatangkan ketenteraman?

�Criiing, criiing...!� menyusul kemudian irama rebab


kembali berubah, kini dia mengisahkan tentang betapa
tenteramnya sebuah kematian, betapa indahnya alam
baka, semacam keindahan dan ketenteraman yang
tidak bisa diungkap melalui perkataan, hanya bisa
diutarakan melalui irama lagu.

..... Karena dia sendiri sebetulnya sudah mabuk di


dalam impian indah tentang �kematian�.

Tangan malaikat elmaut seolah ikut membantunya


memetik ketiga senar rebab itu, membujuk orang agar
mau melepaskan semua beban, mau berangkat ke
alam kematian untuk mencari ketenteraman yang
abadi.

Disana, bukan saja tiada penderitaan, juga tidak perlu


berjuang, tidak perlu bersaing dengan siapa pun. Di
sana tidak ada orang ingin membunuh orang lain, juga
tidak ada orang yang memaksa seseorang untuk pergi
membunuh orang lain.

Irama rebab semacam ini tidak disangkal merupakan


sebuah daya tarik yang susah ditentang, susah dilawan
oleh siapa pun.

Tangan kakek Tan mulai gemetar, pakaian yang


dikenakan mulai basah oleh keringat dingin.

..... Kalau toh kehidupan amat pahit dan penuh


penderitaan, mengapa harus hidup terus?

Malam semakin kelam, irama rebab terdengar


semakin menyayat hati.

Tiada harapan, tiada cahaya terang.


Irama rebab seakan sedang memanggil manggil,
kakek Tan seolah menyaksikan mendiang istrinya sedang
mengawasinya sambil tersenyum, memandangnya dari
�tempat sana�.

Kemudian dia mulai menggapai.

Apakah dia sedang membujuk, agar ikut bersamanya


pergi menikmati ketenangan yang penuh keindahan
dan kedamaian itu?

Salju masih turun, irama rebab yang memilukan hati


seakan datang bersama hembusan angin yang
menderu.

Irama lagu yang mengalun, persis seperti suara


sapaan, suara panggilan mesra dari orang yang
dicintainya, panggilan yang datang dari tempatjauh.

Dari lubuk hati Lo Kay-sian yang paling dalam mulai


tumbuh reaksi yang aneh, dia merasa seolah seluruh
tubuhnya sudah melebur dan menyatu dengan irama
rebab tersebut.

Janji janji kesetiaan, kejadian kejadian berdarah,


peristiwa pembunuhan, tiba-tiba berubah jadi amat
jauh... jauh sekali.

Lo Kay-sian merasa seluruh otot tubuhnya mengendor,


irama rebab telah menggiringnya menuju ke alam yang
lain, disana tidak ada hawa sesat, tidak ada golok, tidak
ada pembunuhan, tidak ada kekerasan, juga tidak ada
�sumpah setia�.
Sorot mata Lo Kay-sian lambat laun memancarkan
cahaya yang membingungkan, sementara tubuhnya
makin lama makin bertambah kendor.

Tapi tangannya masih menggenggam cawan arak,


menggenggamnya kuat kuat. Saking kuatnya menekan,
ibu jarinya telah berubah jadi putih memucat.

Salju turun semakin lebat, irama rebab melantun


makin memilukan hati. Seluruh tubuh kakek Tan sudah
tergeletak lemas, sementara jari tangan Lo Kay-sian
bertambah pucat, bahkan kini mulai gemetar keras.

Mendadak cawan yang digenggam Lo Kay-sian


diayunkan ke udara dan meluncur lewat...

Irama rebab seketika terhenti, senar rebab tiba tiba


putus.

Mengapa dia harus melempar cawan untuk


memutuskan tali senar rebab?

Kakek pemetik rebab mendongakkan kepalanya,


mengawasinya dengan pandangan terkesiap.

Begitu irama rebab terhenti, Lo Kay-sian merasa


seluruh tubuhnya seakan terbebas dari belenggu,
keringat dingin masih membasahi jidatnya, wajah yang
pucat pasi kelihatan bagaikan pualam putih ditengah
kegelapan.

�Biarpun irama rebabku tidak berkenan dalam


pendengaran anda, ketiga senar itu tidak bersalah,
mengapa kau harus memutusnya?� tegur kakek pemetik
rebab gusar, �Kenapa kau tidak langsung saja
memecah batok kepalaku?�

�Tiga senar tidak bersalah, manusia pun tidak


bersalah,� jawab Lo Kay-sian hambar, �Daripada aku
mati, lebih baik senar yang putus.�

�Aku tidak mengerti!�

�Kau pasti mengerti, tapi rasanya memang ada


banyak hal yang tidak kau pahami.�

Setelah memandang kakek pemetik rebab itu


sekejap, lanjutnya, �Boleh saja kau memberitakan
betapa pendeknya kehidupan manusia, kau boleh
mengajarkan bahwa pada akhirnya manusia bakal
mati, tapi tahukah kau bahwa kematian pun ada
banyak ragamnya.�

... Mati ada yang enteng bagai bulu angsa, ada pula
yang berat bagai bukit Thay-san.

�Karena seseorang telah dilahirkan di dunia ini,


sekalipun harus mati, diapun mesti mati dengan
membawa sebuah keberhasilan yang luar biasa,
dengan begitu dia baru bisa mati dengan perasaan
tenang,� ucap Lo Kay-sian.

.....Arti yang sesungguhnya dari kehidupan adalah


berjuang terus, asal kau sudah memahami akan makna
ini maka mustahil kehidupanmu tanpa arti.
Kepedihan yang dialami umat manusia, pada
dasarnya merupakan pekerjaan rumah yang harus
diperjuangkan setiap orang untuk mengendalikan dan
mengatasinya.

Seluruh tubuh kakek penabuh rebab itu sudah dilapisi


bunga salju, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke
warung bakmi, menilik dari raut mukanya yang murung
dapat diketahui betapa sedih dan menderitanya kakek
ini.

�Aku hidup hanya untuk menderita,� katanya dengan


suara yang kedengaran amat sendu.

�Kalau begitu berusahalah untuk melakukan suatu


pekerjaan yang bermanfaat, dengan melakukan hal itu
maka penderitaanmu akan berkurang, jika tidak kau
lakukan, biar sudah matipun kau tetap akan menderita,�
kata Lo Kay-sian, �Mati bukan berarti bisa menyelesaikan
semua persoalan, hanya orang bodoh lemah yang tidak
sanggup menghadapi tekanan akan menyelesaikan
persoalannya dengan sebuah kematian.�

�Tapi penderitaanku hanya bisa diselesaikan dengan


kematian!� kata kakek penabuh rebab.

�Kenapa?�

�Karena aku...� ucapan kakek itu makin lama makin


bertambah lirih.
Lo Kay-sian sama sekali tidak mendengar apa yang
sedang dia katakan, maka tegurnya, �Hey, kau bicara
apa? Keras sedikit suara mu.�

Biarpun bibirnya bergetar namun tidak kedengaran


jelas apa yang sedang diucapkan kakek penabuh
rebab itu, kepalanya makin tertunduk rendah, seolah ia
sedang menahan penderitaan yang luar biasa.

�Bicaralah lebih keras!�

Lo Kay-sian pingin tahu kenapa orang itu harus


menggunakan kematian untuk meng-atasi
penderitaannya, maka terpaksa dia maju lebih
mendekat, menempelkan wajahnya dekat bibir kakek
itu. Kembali teriaknya, �Mengapa hanya kematian yang
bisa membebaskan penderitaanmu?�

�Sebab...� tiba-tiba kakek itu mendongakkan kembali


kepalanya dan tertawa, �Sebab jika kau tidak mati,
akulah yang harus mampus.�

Belum selesai perkataan itu diucapkan, kakek


penabuh rebab telah menggunakan rebab bersenar
tiga nya untuk mencekik tengkuk Lo Kay-sian. Perubahan
ini terjadi mendadak dan sama sekali diluar dugaan,
kakek Tan jadi ketakutan setengah mati.

Lo Kay-sian dengan menggunakan sepasang


tangannya berusaha menyingkirkan senar rebab dari
atas tengkuknya, tapi kakek itu menjepit dan
menekannya semakin kuat.
Paras muka Lo Kay-sian telah berusah jadi merah
padam, merah karena kehabisan napas.

Buru buru ia menjejakkan kakinya sambil menekuk


pinggang, dengan sepenuh tenaga dia membalik
badannya melalui samping kepala kakek itu. Begitu
melayang turun ke sisi lain, senar rebab yang melilit
tengkuknya pun ikut mengendor dan terlepas.

Baru saja Lo Kay-sian ingin meraba tengkuknya yang


sakit, kakek tersebut kembali melancarkan serangan
dengan senar senar rebabnya, hanya kali ini dia tidak
mencekik melainkan menusuk dengan senarnya yang
telah menegang bagai paku baja.

Tusukan demi tusukan dilancarkan secara berantai,


dalam waktu singkat dia telah melancarkan lima kali
lima, dua puluh lima buah tusukan ke arah tenggorokan
lawan.

Nyaris sulit bagi Lo Kay-sian untuk meloloskan diri dari


serangkaian serangan berantai itu, masih untung dalam
warung bakmi itu berjajar banyak sekali meja dan
bangku yang bisa digunakan untuk menangkis.

Ketika selesai melancarkan tusukan yang kedua puluh


lima, mendadak kakek itu menghentikan serangannya,
mengawasi Lo Kay-sian dengan tenang.

�Bagus, bagus sekali, tidak malu disebut orang


Pendekar kerinduan!� pujinya.
Lo Kay-sian melengak, ditatapnya kakek itu dengan
penuh ragu.

�Sri.. .siapa kau?� tegurnya.

Kakek penabuh rebab itu tertawa terbahak-bahak.

�Sebelum malam ini, tidak seorangpun mengenali


aku, mulai besok pagi, orang akan membicarakan
tentang aku,� sahutnya.

�Jadi kau khusus datang untuk membunuhku?�

�Betul!� kata kakek itu lagi sambil tertawa, �Kau

adalah rencana pertamaku dari dua belas rencana lain


yang tersisa.�
�Kau ada tiga belas rencana? Apa saja ketiga belas
rencana mu itu?�
�Setibanya didepan raja akhirat, dia pasti akan
beritahu kepadamu.�

�Baiklah,� kata Lo Kay-sian kemudian sambil tertawa,


�Setibanya disana, aku pasti tidak lupa untuk bertanya.�

�Sebelum kau mati, akan kuperlihatkan semacam


barang kepadamu.�

Dari punggungnya kakek penabuh rebab itu


melepaskan sebuah buntalan. Ternyata di belakang
punggungnya terikat sebuah bungkusan, tadi Lo Kaysian
tidak memperhatikan oleh sebab itu dia tidak
melihatnya.
Buntalan itu diletidakkan diatas meja, dengan
senyuman penuh arti perlahan-lahan kakek itu
membuka buntalan tersebut.

�Kujamin setelah menyaksikan benda itu bukan saja


kau tidak akan percaya, bahkan pasti akan terperanjat
setengah mati!� katanya.

�Aku sudah hidup lima-enam puluh tahunan, kalau


mesti terperanjat, mungkin yang bisa membuatku
terperanjat sudah habis.�

�Benarkah begitu?�

Akhirnya si kakek membuka buntalan itu, dia


mengambil sesuatu benda dari balik buntalan lalu
mengangkat wajahnya menatap Lo Kay-sian. Perlahan
tangannya diangkat ke udara, sekilas cahaya berkilat
segera meluncur menyusul gerakannya itu.

Tiba-tiba saja Lo Kay-sian berdiri terpaku. Disaat


tangan si kakek meninggalkan buntalan tadi, dia sudah
melihat dengan jelas benda apakah itu, tapi dia masih
berharap matanya yang kabur hingga salah melihat,
menunggu tangan kakek itu sudah terangkat
seluruhnya, mau tidak mau dia harus percaya bahwa
pandangannya tidak keliru, itulah sebabnya dia berdiri
terpaku, terperangah!

Mustahil, bagaimana mungkin benda tersebut bisa


berada ditangannya?
Lo Kay-sian membelalakkan matanya semakin lebar,
dia ingin melihat benda itu dengan lebih seksama.
Ternyata tidak salah.

Dengan perasaan tidak percaya Lo Kay-sian


gelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya, �Mana
mungkin? Mana mungkin?�

�Inilah salah satu peralatan utama yang akan


membantuku menyelesaikan ketiga belas rencanaku,�
kata kakek penabuh rebab itu sambil tertawa bangga.

Sebenarnya benda apa yang telah diperlihatkan


kakek penabuh rebab itu hingga membuat Lo Kay-sian
terperangah? Benda apa lagi di kolong langit yang bisa
membuatnya terkejut, keheranan dan tidak percaya?

Sebenarnya bukan suatu benda istimewa yang


berada dalam genggaman kakek penabuh rebab itu,
dia hanya menggenggam sebilah senjata. Sejenis
senjata yang bentuknya agak aneh dan lain daripada
bentuk senjata pada umumnya.

Sebilah senjata yang golok tidak mirip golok, pedang


tidak mirip pedang, meskipun ujungnya melengkung
bagai kaitan namun jelas bukan senjata yang
digunakan untuk menggaet sesuatu.

Lo Kay-sian menatap senjata aneh itu tanpa berkedip,


dengan suara yang gemetar bisiknya, �Kait
perpisahan...!�
BAGIAN - 3

Salah? Salah? Salah?

BAB 1.

Kakek penabuh rebab bersenar tiga.

�Kakek penabuh rebab bersenar tiga?�

Ketika Cong Hoa mendengar nama tersebut, Lo Kaysian


sudah mati selama tiga hari.

Sekarang Cong Hoa berdiri disamping tubuh Lo Kaysian.

Tubuh Lo Kay-sian berbaring dalam ruang


�kedamaian� yang ada di pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-ie-khek.

Dua batang hio ditancapkan didepan kakinya, asap


tipis mengepul tidak berdaya di udara.

Dengan termangu mangu Cong Hoa berdiri didepan


altar panjang dimana tubuh Lo Kay-sian berbaring,
sudah hampir setengah jam dia berdiri dalam posisi
begitu, garis darah sudah muncul dalam kelopak
matanya, air mata pun sudah hampir tidak terbendung
lagi.
Bibirnya sudah penuh noda darah, darah yang
muncul dari luka bekas gigitan sendiri

.....Bukankah menyiksa diri termasuk salah satu cara


untuk melampiaskan kekesalan sendiri?

Lo Kay-sian merupakan korban kedua yang harus


�berpisah� dari sisinya.

Orang pertama adalah Cong Hui-miat, kendatipun


hingga kini dia belum tahu bagaimana nasibnya.

Orang kedua adalah Lo Kay-sian, kendatipun sewaktu


kejadian dia tidak hadir disampingnya, tapi secara moral
dia merasa turut bertanggung jawab. Paling tidak
senjata kait perpisahan direbut musuh dari tangannya.

Bila dia tidak kehilangan senjata kait perpisahan, tidak


mungkin kakek pemetik rebab bisa memaksa Lo Kay-sian
�berpisah dari dunia� dengan senjata kaitan tersebut.

Apa pun yang terjadi, dia akan menagih hutang ini


kepada perkumpulan Cing Liong Hwee.

Tapi sayang para pemimpin perkumpulan Cing Liong


Hwee seperti orang yang punya hutang bermilyar-milyar
tahil banyaknya, sampai hari ini tidak seorangpun berani
tampil didepan umum.

Dengan termangu Cong Hoa mengawasi sepasang


mata Lo Kay-sian yang terpejam rapat.
Mungkin ada seseorang yang bisa membantunya
menemukan Cing Liong Hwee, paling tidak orang itu
masih ada sedikit hubungan dengan organisasi rahasia
itu.

Cong Hoa memutuskan akan berhadapan


dengannya, dia tidak akan menghindari dirinya lagi.

Cepat atau lambat bakal berjumpa, mengapa dia


harus selalu menghindar?

�Menghindar� bukan sebuah penyelesaian yang


bijaksana.

Bunga bwee yang menghiasi kamar tidur Nyoo Cing


meski sudah ditaruh berapa hari, bunga-bunga itu
tampak masih segar dan indah.

Hingga kini Nyoo Cing masih berbaring diatas


pembaringan, dia belum mampu turun dari ranjang,
namun dibandingkan berapa hari berselang, paras
mukanya tampak jauh lebih segar, jauh lebih bertenaga.

Kini, dia sedang mengawasi wajah Cong Hoa dengan


sorot mata yang penuh semangat.

�Sudah berapa lama kita tidak bertemu?�

�Yaa, masih tersisa lima hari lagi.�

Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tujuh, dari batas


waktu lima belas hari masih ada sisa lima hari.
�Kelihatannya daya ingatmu sangat bagus!� puji
Nyoo Cing sambil tertawa getir.

�Mau tidak mau terpaksa harus kuingat terus secara


baik,� sahut Cong Hoa, �Orang itu kupinjam dari
tanganmu, aku pula yang menyanggupi batas waktu
lima belas hari.�

�Kalau toh sudah kau setujui, sekarang pun masih ada


sisa waktu lima hari, buat apa kau datang lebih awal?�

�Tidak mungkin lagi bagiku untuk tidak dating!�

�Kenapa?�

�Aku tidak pingin jadi kura-kura yang selalu


sembunyikan kepalanya, orang memang hilang
ditanganku, kait perpisahan pun direbut orang dari
tanganku.�

Setelah menatap tajam wajah Nyoo Cing, lanjutnya,


�Sekarang terserah keputusanmu!�

�Biarpun tinggal lima hari, lima hari adalah waktu


yang cukup lama, banyak pekerjaan yang masih bisa
dilakukan,� sahut Nyoo Cing sambil membuang
pandangan matanya ke tempat kejauhan.

Nun jauh disana, terlihat ada segumpal awan sedang


bergerak pelan.

�Tentang senjata kait perpisahan, aku sama sekali


tidak menyalahkan dirimu,� kembali Nyoo Cing
menambahkan, �Perkumpulan Cing Liong Hwee
memang bersumpah akan mendapatkan senjata
tersebut, walau dengan cara apa pun, bila orang lain
yang pergi mengambil, mungkin hasilnya jauh lebih
parah ketimbang kau.�

Reaksi yang diperlihatkan Nyoo Cing sama sekali


diluar dugaan Cong Hoa.

Melepaskan narapidana kelas satu merupakan dosa


yang bisa diancam dengan hukuman penggal kepala,
tapi Nyoo Cing seolah tidak acuh.

Kehilangan senjata kait perpisahan pun dia anggap


seperti seorang pendekar pedang yang terpapas kutung
sebuah jari tangannya, biar tidak bisa menggunakan
senjata lagi seumur hidup, namun Nyoo Cing tetap tidak
acuh.

Dengan sinar mata tidak percaya Cong Hoa


memandang Nyoo Cing, dia seakan sedang
memandang seekor dinosaurus yang aneh dan langka.

�Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?� tanya


Cong Hoa.

Nyoo Cing tertawa, berpaling, dengan pandangan


penuh senyuman ditatapnya wajah Cong Hoa, �Kau
heran mengapa reaksiku sama sekali berbeda dari
orang lain?�

�Bukan hanya berbeda, pada hakekatnya reaksimu


bukan reaksi normal dari seorang manusia.�
�Lantas apa yang harus kuperbuat hingga memenuhi
kriteria pandanganmu? Apakah menangkapmu?
Menjebloskan kau ke dalam penjara?�

�Paling tidak kau mesti bertanya kepadaku, kemana


larinya Cong Hui-miat, siapa yang telah merebut Kait
perpisahan.�

�Tidak perlu!�

�Apa artinya tidak perlu?�

�Tidak perlu artinya aku percaya kepadamu.�

�Percaya kepadaku?� tanya Cong Hoa, �Apa yang


dipercayanya?�

�Percaya kau pasti dapat memberi hasil akhir yang


sangat memuaskan,� ujar Nyoo Cing sambil tertawa,
�Dengan tabiatmu, sifatmu dan cara kerjamu,
memangnya kau akan biarkan semua kejadian berlalu
dengan begitu saja?�

�Tidak mungkin! Aku bersumpah akan memenggal


kepala naga hijau busuk itu dan memasaknya jadi
kaldu.�

�Nah, itulah dia! Kalau begitu, cepatl laksanakan!�

�Sayang kepala naga itu tidak ubahnya seperti kurakura,


sepanjang hari hanya menyembunyikan kepalanya
dalam kerangka.�
�Konon, jika ingin memaksa si kura-kura
memperlihatkan kepalanya, kau mesti membe-tot
ekornya.�

�Aku pun tidak berhasil menemukan ekornya,� kata


Cong Hoa, �Tidak menemukan ekornya, mana mungkin
bisa dibetot?�

Nyoo Cing tidak menjawab, kembali dia mengalihkan


pandangan matanya keluar jendela. Di halaman luar
ruangannya terlihat ada banyak pasien sedang berjalan
jalan.

�Musuh terbesar bagi umat manusia adalah diri


sendiri,� ujar Nyoo Cing, �Tapi musuh yang paling
menakutkan adalah sahabat.�

Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan lagi


dengan hambar, �Tapi ada sejenis musuh yang paling
menyedihkan dan paling membuat kita tidak berdaya.�

�Musuh macam apa itu?�

�Mata-mata.�

�Mata-mata?�

�Betul!� kata Nyoo Cing, �Untuk menjadi seorang


mata-mata yang sukses maka syarat pertama adalah
menghilangkan identitas sendiri. Itu berarti kau harus
mengorbankan semua persoalan yang paling bisa
membuat kau bahagia, terkadang kaupun harus bisa
menerima segala macam penghinaan, siksaan dan
cemoohan yang tidak terbayangkan sekalipun, ada
kalanya untuk menyukseskan sebuah tugas, diapun tidak
segan menghabisi nyawa orang yang paling dikasihi.�

Kembali Nyoo Cing berhenti, ditatapnya wajah Cong


Hoa lekat lekat, kemudian melanjutkan, �Tahukah kau
mata-mata mana yang selama ini paling mengenaskan
hidupnya?�

�See Si?�

�Betul, dan tahu mata-mata mana yang paling sukses


menjalankan misinya?�

�Siapa?�
�See Si!�
�Dia juga?�
�Benar,� ujar Nyoo Cing, �Demi membantu Kou Jian
membangun kembali negerinya, Huan Tay-hu tidak
segan mengirim wanita kesayangannya, See Si menjadi
seorang mata-mata, demi cinta See Si menjalankan
misinya, tahukah kau betapa tersiksa dan menderitanya
penghidupan wanita itu?�

�Aku dapat menyelami penderitaannya.�

�Akhirnya Kou Jian berhasil membangun kembali


negerinya, sebenarnya See Si ingin bunuh diri, tapi demi
menenteramkan perasaan hatinya Huan Tay-hu tidak
segan melepaskan jabatannya dengan membawa
wanita itu hidup menyepi di desa kelahirannya.�

�Oleh sebab itu See si menjadi mata-mata yang


paling mengenaskan hidupnya, tapi paling berhasil
menjalankan misinya?' kata Cong Hoa.

�Benar.�

Sekali lagi Cong Hoa menatap Nyoo Cing.

�Secara tiba-tiba kau menyinggung soal mata-mata,


apakah...�

Nyoo Cing menggoyangkan tangannya mencegah


gadis itu bicara lebih lanjut, dari atas pot bunga
diambilnya sebatang bunga bwee kemudian
ditatapnya dengan termangu.

�Konon bunga sakura yang tumbuh di negeri Husiang,


juga berbunga di musim dingin,� kata Nyoo Cing,
�Sekarang adalah musim dingin, sudah pasti bunga
sakura pun sedang mekar-mekarnya.�

�Bunga sakura? Negeri Hu-siang (Jepang)?�

Cong Hoa seakan teringat akan sesuatu, berbinar


sepasang matanya, ia nampak sangat gembira.

�Betul, bunga sakura memang berkem-bang di saat


musim salju!� serunya.
Dengan penuh kepuasan Nyoo Cing menatap wajah
gadis itu, katanya, �Asal bunga sakura dari negeri Husiang
dikirim kemari, belum tentu tidak akan berbunga.�

Perawakan tubuhnya setinggi enam kaki delapan inci,


kurus kering bagai tongkat bambu, tidak heran kalau
orang menyebutnya Ui si bambu ceking.

Tahun ini berusia tiga puluh delapan tahun, bermarga


Ui bernama Ceng-piau. Dia berada di urutan pertama
sebagai lotoa, dirumah masih punya dua orang adik,
seorang cici dan seorang moay-moay.

Wataknya suka mencari keuntungan kecil, sikapnya


terhadap khalayak ramai terhitung �cukup ramah.�.

Bininya dari marga �Hie�, terhitung seorang wanita


cantik. Hanya sayang sejak kecil tubuhnya lemah dan
penyakitan, tidak tahan terhadap hembusan angin,
tidak kuat dengan teriknya matahari.

Ilmu silatnya bersumber dari Siau-lim-pay, beragam,


sayang tidak cukup matang.

Resminya dia adalah seorang tauke sebuah toko


kelontong, diapun termasuk �mata-mata� dari Nyoo
Cing dengan kode panggilan �Tiong-ie�.

Dalam daftar tiga belas rencana:

Kode panggilan: �Tiong-ie�

Nama dalam daftar perencanaan: Ui Ceng-piau.


Julukan: Ui si bambu ceking. Usia: 38 tahun.
Pekerjaan: tauke toko kelontong.
Ilmu silat: aliran Siau-lim-pay.
Ilmu andalan: ilmu toya Ciang-mo-kun dari Siau-lim.
Batas waktu: 30 hari.
Yang perlu diwaspadai: bini.
Alasan: menjadi mata-mata Nyoo Cing dengan kode

rahasia Tiong-gi.
�Tauke, siapkan dua kati telur!� teriak enso Cho yang
ada dirumah tetanggal memang keras lagi nyaring.
�Segera!� jawab Ui Ceng-piau cepat, �Delapan belas
butir telur, persis dua kati!�
Setelah menerima pembayaran, sembari tertawa
kembali Ui Ceng-piau bertanya, �Enso Cho, memangnya
lagi cia-po (makan bergizi tinggi)?�
�Tidaklah!� enso Cho tertawa cekikikan, �Suamiku

senang makan telur, lagi pula menurut tabib banyak


makan telur bisa menambah tenaga kelakiannya!�
�Waah, kalau engkoh banyak makan telur dan

napsunya tambah kuat, enso Cho yang paling senang!�


�Aaah, salah kau!� goyangan pinggul dan pantat
enso Cho bertambah keras.
Ui Ceng-piau mengawasi goyangan pantat orang
hingga lenyap dari pandangan, kemudian baru
bergumam sambil tertawa getir, �Waah, biar sudah tua,
kelihatannya malah bertambah joss!�

Ui Ceng-piau gelengkan kepalanya berulang kali,


belum lagi memutar tubuh, tiba-tiba matanya
menangkap bayangan seorang kakek sedang berjalan
mendekat dari ujung jalan sana.

Seorang kakek yang seharusnya memiliki perawakan


tubuh yang sangat tinggi, namun karena dimakan usia,
sekarang sudah bongkok dan berkeriput hingga mirip
ebi kering, rambutnya sudah beruban dan wajahnya
penuh keriput.

Yang paling mencolok adalah sebuah rebab


bersenar tiga yang berada dalam bopongannya.

Caranya berjalan pun sangat istimewa, mula-mula


kaki kanannya melangkah duluan kemudian kaki kirinya
baru perlahan-lahan menyusul ke muka.

Kakek itu berjalan sangat lambat, tapi anehnya


hanya sekejap kemudian ia sudah tiba di muka pintu
toko kelontong. Sepasang matanya yang sayu
mengawasi Ui Ceng-piau beberapa kejap.

�Lo-sianseng, kau ingin membeli apa?� sapa Ui Cengpiau


sambil tertawa, �Persediaan barang kami lengkap,
silahkan memilih sesuai dengan yang dibutuhkan.�
�Aku datang untuk membunuhmu!� ujar si kakek
dengan suara yang lirih tidak bertenaga.

Mula-mula Ui Ceng-piau terperangah, menyusul


kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

�Hahahaha... Losianseng memang senang bergurau!�


katanya.

Kakek itu menggeleng, ujarnya lagi sambil menghela


napas, �Heran, kenapa setiap kali aku berbicara, orang
selalu tidak mau percaya.�

Dari punggungnya kakek itu melepaskan sebuah


buntalan kemudian perlahan-lahan membukanya.

�Bukankah kau bernama Ui Ceng-piau?� tanyanya


kemudian.

�Benar!� jawab Ui Ceng-piau sambil tertawa, namun


diam-diam dia sudah mening-katkan kewaspadaannya.

�Bukankah kode rahasiamu Tiong-Ie?�

Senyuman diwajah Ui Ceng-piau kontan membeku,


diawasinya kakek itu dari atas hingga ke bawah.

�Kau adalah Cuang?�

�Aku?� kembali kakek itu tertawa, �Aku tidak lebih


hanya seorang kakek pemetik rebab bersenar tiga.�

�Kakek pemetik rebab bersenar tiga?� Ui Ceng-piau


mulai terkesiap, �Jadi kaulah orangnya?�
�Sekarang sudah percaya bukan kalau
kedatanganku untuk membunuhmu?� akhirnya kakek itu
membuka buntalannya.

�Siapa disitu? Ditengah hari bolong sudah ribut mau


membunuh?� seorang perempuan kecil mungil
berwajah cantik menyingkap tirai pintu dan berjalan
keluar.

Kemudian sambil menggapai bahu Ui Ceng-piau,


lanjutnya, �Ceng-Piau, keluarga mana yang mau bunuh
ayam untuk cia-po?� kelihatannya dia masih belum
sadar kalau ada gelagat tidak beres, malah sambil
picingkan matanya dan tertawa kembali
menambahkan, �Apakah lo sianseng ini?�

�Enso cilik, aku memang ingin potong ayam untuk ciapo,


tapi nanti, setelah selesai membunuh suamimu,�
jawab si kakek sambil picingkan pula matanya.

Ketika mendengar separuh perkataannya yang


diatas, perempuan itu masih tertawa, tapi begitu selesai
mendengar semua ucapannya, paras muka perempuan
itu telah berubah jadi pucat pias.

�Ceng.... piau, dia... dia... apakah dia... sedang


bergurau?� nada suaranya mulai kedengaran agak
gemetar, gemetar lantaran takut.

�Masuklah dulu, sebentar semua akan beres,� bujuk


Ui Ceng-piau.

�Baik.... baiklah.....�
Dengan tubuh gemetar perlahan-lahan dia mundur
ke belakang, mungkin saking takutnya, kakinyajadi
lemas dan nyaris jatuh tertelungkup, terpaksa dia berdiri
bersandar dimeja sambil mengawasi kakek itu dengan
pandangan penuh ketakutan.

Ui Ceng-piau mengawasi terus buntalan itu tanpa


berkedip, apakah isi buntalan itu adalah kait perpisahan
yang amat menakutkan? Bila senjata ini berada
ditangan Nyoo Cing, mungkin saja semua
kehebatannya akan terpancar keluar, tapi sekarang
benda itu berada ditangan orang lain, apakah dia pun
bisa mengerahkan seluruh kehebatannya?

Diam diam ia mengambil keputusan, terlepas bakal


selamat atau mati, dia ingin menjajal kekuatannya.

Maka diam diam dia menghimpun tenaga dalamnya


dan disalurkan ke ujung jari tangan, dalam waktu singkat
ujung jari itu berubah jadi merah tua.

Kepandaian silat yang paling diandalkan Ui Cengpiau


memang ilmu cakar elang dari Hway-lam.

Orang persilatan tahunya dia mempelajari ilmu toya


penakluk iblis dari Siau-lim-pay, padahal ilmu tersebut
baru dipelajari selama berapa tahun terakhir.

Kepandaian yang sangat diandalkan olehnya adalah


ilmu Eng-jiau-kang, ilmu cakar elang yang maha sakti.

Cakar elang selalu mencengkeram mangsanya


secara jitu, cepat, tepat dan telengas.
Akhirnya kakek itu mencabut keluar kait perpisahan,
kening Ui Ceng-piau pun berkerut makin kencang.

�Inilah kait perpisahan!� kata kakek itu.

�Aku tahu.�

�Sekali kait langsung berpisah, sebetulnya untuk


bersua,� kata kakek itu lagi dengan suara hambar,
�Meskipun kau bakal berpisah dengan dunia ini, tapi
dengan cepat akan bersua lagi dengan rekan-rekan
lamamu yang sudah berada di alam baka, bukankah
kejadian semacam ini amat menggembirakan hati?�

Ui Ceng-piau tidak bicara lagi, tiba tiba sepasang


tangannya diayunkan ke muka, kiri kanan saling
mendukung melancarkan segulung cakar maut yang
mengerikan.

Lingkaran cakar yang terbentuk dari kecil makin


mengembang lebar, gulung demi gulung menghimpit
tubuh kakek itu.

Si kakek sama sekali tidak bergerak. Mendadak gaya


serangan Ui Ceng-piau kembali berubah, berubah jadi
amat sederhana. Cakar yang sederhana, langsung
mencekik ke leher kakek itu.

Kembali si kakek tidak bergerak, Cuma senjata kait


perpisahan yang berada dalam genggamannya mulai
beraksi.
Begitu kait perpisahan menyambar, lagi-lagi sebuah
perpisahan telah terjadi.

Tiba-tiba percikan darah segar menyembur


membasahi wajah kakek itu, kemudian bagaikan
bunga salju berhamburan ke mana-mana. Sebuah
telapak tangan telah rontok ke tanah, tangan dengan
jari berwarna merah tua.

Tangan kiri Ui Ceng-piau memegangi lengan


kanannya yang masih menyemburkan darah segar,
wajahnya tampak sangsi, dia masih tidak percaya kalau
lengan kanannya telah �berpisah�.

Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya,


menanti kepalanya terangkat, tiba-tiba dia pun dapat
menyaksikan tengkuk sendiri.

Aneh! Bagaimana mungkin seseorang dapat


menyaksikan bentuk dari tengkuk sendiri? Bukan saja Ui
Ceng-piau dapat menyaksikan tengkuk sendiri, diapun
sempat menyaksikan semburan darah yang memancar
keluar dari tengkuknya itu, kemudian diapun sempat
mendengar jeritan ngeri dari bininya, setelah itu dia tidak
dapat melihat apa-apa lagi, tidak bisa mendengar apaapa
lagi.

Kakek itu mengeluarkan selembar saputangan


berwarna putih, perlahan-lahan dia menggosok kait
perpisahan sementara sepasang matanya mengawasi
perempuan di belakang meja tanpa berkedip.
�Sekarang aku sudah siap cia-po,� katanya dengan
mata setengah terpicing.

Dengan tubuh gemetar perempuan itu bangkit


berdiri, tubuhnya menggigil keras.

�Aaaaii,� kembali kakek itu menghela napas panjang,


�Mestinya, orang seusia ku sudah tidak pantas
melakukan perbuatan semacam ini.�

Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat, kemudian


tambahnya, �Tapi kecantikanmu benar-benar membuat
aku tidak tahan, kalau tidak kulakukan, rasanya aku
tidak bisa memaafkan diriku sendiri.�

Dia simpan kembali senjata kait perpisahan, lalu


dengan wajah kesemsem selangkah demi selangkah
maju menghampiri.

Tampaknya perempuan itu semakin ketakutan,


terdengar dia sedang bergumam, �Satu, dua, tiga.......�

Begitu angka ketiga disebut, tiba-tiba kakek itu


menghentikan langkahnya, kening berkerut kencang,
paras mukanya mendadak berubah jadi amat tidak
sedap.

Sepasang matanya masih mengawasi perempuan itu


tanpa berkedip.

�Kau...�
Perempuan itu tertawa. Rasa ketakutan, tubuhnya
yang tadi menggigil, tiba-tiba hilang lenyap tidak
berbekas, dengan penuh daya pikat dia bangkit berdiri.

�Tampaknya kau lupa kalau aku bermarga Hie!�


ujarnya merdu.

�Hie?� mendadak pancaran sinar ngeri melintas


diwajah kakek itu, �Hie Bijin (perempuan cantik), Hie Bojin
(tidak ada manusia)..?�

�Tepat sekali!� suara tertawa perempuan itu makin


memikat, �Hie Bo-jin...�

�Atasan telah mengingatkan agar aku lebih berhati


hati terhadapmu, aku... rupanya aku telah memandang
ringan kemampuanmu,� kata kakek itu kemudian, �Tidak
kusangka ternyata kau adalah putri dari si ratu racun Hie
Ciu-si, ternyata kau adalah Hie Bwee-jin!�

�Belum pernah ada orang yang mampu meloloskan


diri dari racunku,� kembali Hie Bwee-jin berkata,
�Sekalipun lotoa dari Cing Liong Hwee dating!�

Dia tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Si


kakek sudah kesakitan hingga sepasang kakinya
mengejang keras, perlahan-lahan tubuhnya berjongkok
ke bawah, rasa menyesal, benci, dendam terpancar
dari balik matanya.

Disaat rasa bencinya makin menebal itulah,


mendadak dari balik toko kelontong menyembur keluar
selapis kabut yang sangat tebal.
Dengan cepat kabut itu menyelimuti kakek pemetik
rebab bersenar tiga, menyelimuti juga Hie Bwee-jin.

Kabut itu muncul secara tiba-tiba, buyar pun secara


tiba-tiba.

�Aneh benar kabut ini,� terdengar Hie Bwee-jin


bergumam keheranan, �Muncul secara tiba-tiba,
hilangpun secara mendadak.�

�Kau merasa heran?�

Si kakek yang semula sudah keracunan hingga


terjongkok, mendadak bangkit berdiri lagi, semua rasa
sakit dan tersiksa yang terpancar diwajahnya kini hilang
lenyap tidak berbekas, seolah lenyap bersama
berlalunya gumpalan kabut itu.

�Racun dari si Ratu racun memang susah dihadapi,�


kata si kakek lagi sambil tertawa, �Aaai! Sayangnya,
walaupun ada orang pandai melepaskan racun, tapi
ada pula yang pandai memunahkannya.�

Diawasinya perempuan itu dengan senyuman


mengejek, lanjutnya, �Ada sementara orang, bukan saja
pandai memunahkan racun, diapun sanggup
melepaskan racun, percaya kau?�

Hie Bwee-jin tidak menjawab, peluh sebesar kacang


kedele membasahi jidatnya, paras mukanya pun lambat
laun berubah jadi menghitam.
�Orang yang barusan memunahkan racunku tidak
lain adalah liong-tau (ketua) dari Cing Liong Hwee!�
kembali kakek itu berkata, �Dia juga yang telah
meracunimu!�

Seluruh tubuh Hie Bwee-jin telah berubah jadi hitam,


namun sepasang matanya justru bersinar terang.

Seterang batu kristal!

Angin dingin berhembus lewat menggoyang kuntum


bunga diatas ranting. Bunga bergerak, bunga pun
berguguran. Ketika bunga mulai berguguran, bunga pun

Siau-tiap kelihatan sangat riang, seriang kupu-kupu


yang beterbangan mengelilingi bunga, persoalan yang
selama dua puluh tahun membuat pusing para
pemimpin Cing Liong Hwee, akhirnya berhasil dia
selesaikan secara sukses.

Jelas keberhasilannya merupakan sebuah pahala


besar, bagaimana mungkin dia tidak merasa gembira?

Cong Hoa pun sangat gembira, bagaimana tidak?


Begitu memasuki kebun bunga Soat-lu, dia sudah
menyaksikan orang yang sedang dicarinya... Siau-tiap.

akan tumbuh kembali.


Siau-tiap perlahan-lahan bangkit berdiri, dengan
tangannya yang lembut dia petik sebatang bunga.
Bunga bwee.
Dengan wajah penuh senyuman dia berdiri di depan
pintu �Soat-lu�, mengawasi terus gerak-gerik Siau-tiap,
rasa tercengang bercam-pur kagum terlintas
diwajahnya.

Kecantikan Siau-tiap sungguh diluar dugaannya.


Kecantikan wajah Siau-tiap ibarat sekuntum bunga...
bunga... aaah betul! Ibarat sekuntum bunga sakura.
Selembut, seindah dan sehalus bunga sakura.

Hari ini dia mengenakan setelan baju berwarna


kuning dengan sebuah ikat pinggang berwarna merah
menyala, tubuhnya yang semampai kelihatan
bergoyang bagai ranting pohon yang-liu yang
terhembus angin.

Rambutnya yang hitam berkilat sama seperti


senyumannya yang manis, sangat menggetarkan
perasaan siapa pun yang memandangnya, yang lebih
penting lagi, keseluruhan dari nona itu mendatangkan
perasaan nyaman bagi siapa pun.

Cong Hoa mengawasi terus Siau-tiap tanpa berkedip,


diakah orang yang menyergapnya ditengah hutan
bunga bwee, diluar rumah kayu kecil pada malam itu?

Sama-sama berasal dari negeri Hu-siang, bunga


sakura berasal dari negeri Hu-siang! Ninja pun berasal
dari negeri Hu-siang!
Setelah memetik setangkai bunga bwee, dengan
riang gembira Siau-tiap bangkit berdiri, lalu dia pun
menyaksikan Cong Hoa berdiri persis di depan pintu.

Dengan pandangan tercengang Siau-tiap


mengawasi tamu tidak diundang itu, kemudian dia
membalikkan tubuh meski sorot matanya masih
mengawasi terus wajah Cong Hoa.

�Siapa kau?� tegur Siau-tiap kemudian.

�Cong Hoa, Cong yang berarti sembunyi, Hoa yang


berarti bunga.�

�Mau apa datang kemari?�

�Menengok kau.�

�Menengok aku?� Siau-tiap pura-pura tercengang,


�Apa bagusku untuk ditengok?�

�Banyak sekali,� kata Cong Hoa sambil tertawa,


�Wajahmu amat cantik.�

�Karena kecantikanku, kau khusus datang


menengokku?�

�Sejujurnya aku ingin sekali menjawab begitu, tapi


sayang kedatanganku lantaran maksud lain.�

�Apa tujuanmu?�
�Aku ingin melihat, kau kah orang yang akan
membunuhku di hutan bunga bwee pada berapa hari
berselang?�

�Aku?� Siau-tiap segera tertawa merdu.

�Aneh jika orang itu adalah kau, suara orang itu kasar
dan serak seperti suara babi, tapi terus terang,
perawakan tubuhnya maupun gerak-geriknya, persis
sekali dengan dirimu.�

�Sungguh?�

�Betul.�

�Jadi kau menganggap aku adalah ninja itu?�

... Ninja? Aneh sekali, padahal dia tidak menyinggung


soal ninja, kenapa begitu buka mulut, dia sudah
menyinggung soal ninja?

Tentu saja Cong Hoa mendengar juga akan hal ini,


dia tahu Siau-tiap telah salah bicara, namun dia sama
sekali tidak menegurnya, yang dilakukan sekarang
hanya tertawa, tertawa puas.

�Bila bunga tidak disirami setiap hari, apakah dia


tetap nampak cantik?� tanya Cong Hoa kemudian.

�Tidak mungkin!�

�Kalau disirami setiap hari?�


�Tergantung apakah kau bersungguh hati atau tidak,
tulus hati atau tidak?�

�Bersungguh hati? Tulus hati? Masa menyirami bunga


pun harus bertulus hati?�

�Benar, dalam melakukan pekerjaan apa pun, tulus


hati merupakan hal pokok yang harus ada.�

Setelah berhenti sejenak, ditatapnya wajah Cong


Hoa, kemudian lanjutnya, �Jika kau melakukan semua
pekerjaan secara tulus hati, paling tidak bisa
bertanggung jawabkan pada diri sendiri.�

�Aku percaya dengan perkataanmu itu,� Cong Hoa


balas menatap tajam Siau-tiap, �Aku selalu melakukan
semua pekerjaan secara sungguh sungguh dan tulus
hati, itulah sebabnya dengan perasaan �tulus� hari ini
aku datang menyambangimu.�

�Buat apa menyambangi aku? Memangnya ada


yang bisa kau nikmati?�

�Ada, tubuhmu, wajahmu, gerak-gerikmu, potongan


rambutmu, bedak dan gincumu, sepasang matamu.�

Setelah tertawa lebar, tambahnya, �Tapi yang paling


utama adalah ingin melihat ke tulusan hatimu.�

�Ketulusan hatiku? Kenapa mesti aku?� tanya Siautiap


tercengang.
�Karena kau mempunyai ketulusan hati menjadi
begundal orang,� sepatah demi sepatah Cong Hoa
berkata.

�Begundal orang?� tampaknya Siau-tiap semakin


tercengang.

�Rela diperintah orang, rela tunduk kepada orang,


kalau bukan begundal lantas apa namanya?�

Siau-tiap tidak bicara, dia hanya tertawa, tentu saja


suara tertawanya tidak leluasa karena dia seolah
mendengar bunga bunga yang tumbuh disekelilinginya
pun ikut tertawa.

Hanya Cong Hoa yang tidak tertawa, dia hanya


mengawasi Siau-tiap dengan tenang. Siau-tiap tertawa,
tiba tiba dia menghentikan tertawanya secara
mendadak. Dari balik sepasang matanya yang jeli bagai
cahaya matahari dimusim semi, sekonyong konyong
memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau.

�Nyoo Cing memang tidak malu menjadi Nyoo Cing,�


perkataan Siau-tiap pun setajam mata golok,
�tampaknya sejak aku memasuki istana raja muda, ia
sudah mengetahui identitasku yang sebenarnya.�

Cong Hoa tidak menjawab.

�Kalau memang sejak awal sudah mengetahui


rahasiaku, kenapa baru hari ini dia bongkar kedokku?�

Cong Hoa masih tetap tidak menjawab.


�Apakah dia baru merasakan seriusnya permasalahan
setelah kehilangan senjata kait perpisahan?� kata Siautiap,
�Oleh karena itu kau diminta datang untuk
menanyai aku?�

Cong Hoa tetap tidak menjawab.

�Bila dia suruh kau menanyakan siapa yang telah


merebut kait perpisahan, organisasi macam apakah
Cing Liong Hwee itu dan siapa liong-taunya? Maaf, aku
tidak nanti akan menjawab semua pertanyaan itu.�

Walaupun salju tidak sedang turun, langit berwarna


keabu abuan, seluruh jagad pun terlihat keabu-abuan,
pemandangan di dalam Soat-lu bagaikan sebuah
lukisan cat air yang sangat tawar, seolah semua warna
yang ada telah terlebur dalam warna kelabu.

Cong Hoa sendiripun seakan terlebur ke dalam warna


abu-abu, seperti juga baru menetas dari balik gumpalan
berwarna abu abu.

�Kau keliru!� ujarnya kemudian sambil memandang


Siau-tiap dengan hambar.

�Aku keliru? Dimana letak kekeliruanku?�

�Mungkin saja sejak awal Nyoo Cing sudah


mengetahui rahasiamu, tapi belum pernah dia minta
kepadaku untuk membongkar rahasia ini,� kata Cong
Hoa dingin, �Sebab dia beranggapan, dari dulu hingga
sekarang, pekerjaan yang paling mengenaskan dan
paling tidak berdaya adalah menjadi seorang matamata.�

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya,


�Seorang mata-mata bukan saja tidak memiliki
kebebasan, setiap saat dia perlu mengorbankan diri,
bahkan bila perlu orang yang terdekat pun akan
dikorbankan.�

Siau-tiap hanya mendengarkan dengan seksama,


sementara sepasang matanya memancarkan sinar yang
lebih tajam dari sembilu.

�Oleh sebab itu dia selalu memberi kesempatan


kepadamu,� lanjut Cong Hoa, �dia selalu memberi
peluang agar kau sadar akan kesalahan dan kembali ke
jalan benar.�

Angin dingin di akhir musim gugur berpusing didalam


pesanggrahan salju, mengalir diantara sela sela tubuh
kedua orang itu.

Bunga sedang bergerak, pakaian sedang berkibar,


rambut panjang Siau-tiap pun sedang berkibar, berkibar
seolah ranting pohon liu yang sedang meliuk liuk.

�Dalam kehidupan manusia hanya ada tiga kali


�kesempatan baik�, bila kau tidak dapat
memanfaatkannya secara baik dan selalu
melepaskannya dengan begitu saja, maka pada
akhirnya �kesempatan yang paling biasa� pun tidak
akan kau peroleh,� ujar Cong Hoa sambil menatap
wajah gadis itu, �Maka dari itu, hari ini akupun akan
memberi sebuah peluang kepadamu.�

�Peluang apa?�

�Asalkan dapat merobohkan aku, kau boleh pergi


dari sini.�

�Mau pergi, mau tetap tinggal disini, siapa yang


sanggup menghalangi aku?�

�Jadi kau anggap gampang untuk meninggalkan


tempat ini?� jengek Cong Hoa hambar, �kau anggap
Nyoo Cing dan Tay Thian adalah orang mampus?�

Bicara sejujurnya, memang bukan pekerjaan yang


mudah untuk meninggalkan tempat itu.

Siau-tiap mencoba untuk memeriksa sekeliling tempat


itu, dia ingin mencari adakah suatu tempat yang
�menguntungkan� baginya, terakhir pandangan
matanya terhenti disekeliling tembok pembatas.

Agaknya Cong Hoa dapat membaca jalan


pikirannya, dengan suara hambar kembali ujarnya,
�Kujamin diluar dinding pembatas itu paling tidak ada
lima puluh pasang busur, tiga puluh bilah golok dan dua
puluh batang tombak yang sedang menanti
kedatanganmu!�

Siau-tiap berkerut kening, kembali dia mengalihkan


pandangan matanya ke wajah Cong Hoa, tampaknya
ia sedang mencari tahu dari mimik muka gadis itu,
apakah ucapannya bisa dipercaya atau tidak.

�Hanya ada satu cara bila kau ingin meninggalkan


tempat ini dengan selamat,� kata Cong Hoa, �kalahkan
aku!�

�Kalau aku yang kalah?� tanya Siau-tiap.

�Yang menang jadi raja, yang kalah jadi perampok,�


Cong Hoa tertawa, �Sebagai orang yang asor tentu saja
harus bersikap sebagai orang yang asor!�

�Maksudmu, jika aku kalah maka aku harus

menjawab semua pertanyaanmu?�


�Benar.�
�Kalau aku segan menjawab?�
�Aku sendiripun tidak bisa berbuat apa-apa,� kata
Cong Hoa hambar, �Tapi aku dengar, paling tidak Tay
Thian mempunyai tujuh puluh macam cara untuk
memaksa orang bicara jujur, entah kau sempat melihat
berapa macam?�

Paras muka Siau-tiap berubah hebat, tentu saja dia


sangat mengerti cara Tay Thian menyiksa orang.

Jagad raya yang semula berwarna keabu abuan,


mendadak berubah jadi gelap.
Entah sejak kapan, awan gelap telah menyelimuti
seluruh angkasa, kelihatannya sebentar lagi akan turun
hujan badai.

Melihat perubahan cuaca yang sedang berlangsung,


diam diam Siau-tiap kegirangan. Kepandaian yang
dipelajarinya memang termasuk cara meloloskan diri
dalam situasi seburuk apapun, semakin buruk cuaca
disitu, semakin menguntungkan baginya.

Cong Hoa ikut mendongakkan kepalanya melihat


perubahan cuaca, dia hanya gelengkan kepalanya
sambil menghela napas panjang.

�Kelihatannya Thian lagi lagi memberi kesempatan


kepadamu,� ujarnya, �Bila hari ini kau tidak baik-baik
manfaatkan peluang ini, perbuatanmu benar benar
telah menghina Thian.�

Siau-tiap tidak menjawab, bunga yang berada


ditangannya digetarkan perlahan, sementara mimik
mukanya menunjukkan perubahan yang aneh. Orang
tidak tahu apakah dia sedang sedih atau gembira.

Dengan tangan kiri memegang bunga, tangan kanan


meraba putik bunga, dalam waktu singkat gadis itu telah
berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu Siau-tiap
tidak lebih hanya seorang nona yang cantik, polos dan
suci, sama sekali tidak berbau orang persilatan, tapi
sekarang, dia seakan akan seorang jago pedang yang
sangat berpengalaman.
Perubahan ini mirip sekali dengan sebilah pedang
tajam yang disarungkan dalam sebuah sarung kuno
yang amat jelek, begitu diloloskan keluar, segera
terpancarlah sinar yang berkilauan. Seluruh tubuhnya
seolah memancarkan cahaya terang, cahaya itu
membuat dia tampak lebih berhawa, hawa napsu
membunuh.

..... Memang sangat aneh, mengapa begitu


menggenggam bunga, dia langsung berubah jadi
begitu menakutkan... atau pada dasarnya dia memang
seseorang yang sangat menakutkan?

Bunga bergoyang dimainkan angin, angin berhembus


menembusi tanaman bunga.

Siau-tiap lama sekali menatap bunga yang berada


dalam genggamannya, mendadak dia menggunakan
bunga sebagai pengganti pedang dan melancarkan
sebuah tusukan. Padahal tangkai bunga itu sangat
lembek, mana mungkin bisa digunakan sebagai pedang
untuk melancarkan tusukan?

Tapi begitu Siau-tiap melancarkan tusukan, tangkai


bunga itu seketika berubah, berubah lebih bercahaya,
lebih bernyawa, lebih mengandung hawa pembunuhan.
Tampaknya dia telah menyalurkan segenap kekuatan
yang dimilikinya ke dalam tangkai bunga itu.

Tusukan tersebut tampaknya saja amat ringan, sama


sekali tidak ada perubahan, tapi begitu perubahan
dimulai maka semuanya mengalir selancar alur air di
sungai.

Tangkai bunga itu seketika berubah bagai kapak sakti


milik Lu Pan, senjata pena ditangan Kiang Ci, pedang
dalam genggaman Sam sauya, bukan saja bernyawa,
bahkan punya roh, punya hawa pembunuhan.

Dengan gerakan yang ringan dan cepat, dalam


waktu singkat tangkai bunga itu sudah melancarkan
tujuh buah tusukan maut. Semua tusukan tertuju ke
sepasang mata Cong Hoa serta bagian mematikan
lainnya.

Cong Hoa hanya merasa ada cahaya terang


berkelebatan didepan mata, semuanya terasa bagai
mengambang di angkasa, perubahan yang terjadi
sudah melampaui kekuatan manusia biasa, nyaris
membuat siapa pun sukar mempercayainya.

Kini, benda yang berada ditangan Siau-tiap sudah


bukan berupa tangkai bunga lagi, tapi sebilah senjata
maut yang bisa mencabut nyawa siapa pun.

Tiba-tiba dia menggetarkan tangkai bungannya, putik


bunga yang ada ditangkai seketika meluncur ke depan
dan mengancam tubuh musuh, perubahan yang terjadi
ini sama sekali diluar dugaan siapa pun. Sebuah jurus
serangan yang sangat mematikan.
Bukan saja jurus serangan itu aneh, ganas, telengas
dan tepat sasaran, bahkan mengarah bagian tubuh
Cong Hoa yang tidak terduga sebelumnya.

Dalam jurus serangan ini selain disertai seluruh inti


kemampuan yang dimiliki, bahkan terkandung pula inti
sari dari ilmu perang yang menakutkan.

Jurus serangan itu sangat menakutkan, sebuah jurus


serangan yang mematikan, dia yakin musuhnya pasti
akan tumbang oleh serangan mautnya ini.

Sayang dugaannya meleset, kecuali Cong Hoa, di


dunia ini memang tidak ada orang kedua yang sanggup
menghindari serangan maut itu, sebab dikolong langit
tidak ada orang kedua yang begitu memahami Siautiap
ketimbang Cong Hoa.

Dia bisa lolos dari ancaman tersebut bukan lantaran


dia sudah memperhitungkan waktu serta tempat
sasaran serangan itu, melainkan karena dia sudah
memperhitungkan bagaimanakah watak Siau-tiap yang
sesungguhnya.

.... Dia tahu, semua manusia yang datang dari negeri


Hu-siang, tidak nanti akan melancarkan serangan
secara gagah berani, terus terang dan terbuka.

Dia sudah perhitungkan secara tepat, dibalik jurus


serangan yang digunakan Siau-tiap sekarang pasti
masih tersembunyi jurus serangan lain yang lebih
mematikan.
Maka ketika sekilas cahaya terang melintas didepan
matanya, diapun segera pejamkan matanya rapat
rapat.

..... Jika kau tidak menggunakan matamu untuk


melintas, mana mungkin silaunya cahaya bisa
mempengaruhi dirimu.

Begitu memejamkan matanya, Cong Hoa mulai


pasang telinga baik-baik, kemudian dia pun mendengar
suara desiran angin yang sangat lirih.

Waktu itu seluruh bunga telah melesat meninggalkan


tangkai, semua putik bunga telah menyebar ke udara,
beribu ribu helai bunga bagaikan serangan senjata
rahasia mengancam perut Cong Hoa.

Jika waktu itu Cong Hoa tidak pejamkan mata, dia


pasti akan terpengaruh oleh silaunya cahaya, bila
konsentrasinya telah buyar, bagaimana mungkin dia
bisa mendengar serangan mematikan yang justru
tersembunyi di belakang cahaya terang yang
menyilaukan itu?

Bukan begitu saja, ternyata Cong Hoa cukup


mengayunkan sepasang tangannya, beribu helai bunga
yang menyerang bagaikan hujan senjata rahasia itu
tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas.

Walaupun Siau-tiap merasa sangat terperanjat


namun reaksinya cukup cepat, sambil menarik
tangannya memutar pinggul, dia sudah berpusing
bagaikan sebuah gangsingan.

Menanti putaran tubuhnya berhenti, dalam


genggaman Siau-tiap telah bertambah dengan sebilah
pedang samurai yang panjangnya satu kaki delapan
inci.

Samurainya diayun ke udara, jurus serangan pun ikut


berubah, berubah jadi lebih kuat, lebih bertenaga,
tanpa perasaan.

Kalau tadi serangan dengan tangkai bunganya ibarat


awan hitam yang menyelimuti seluruh angkasa, dipenuhi
hawa pembunuhan yang menakutkan, maka setelah
samurainya dihunus, keadaannya seperti awan hitam
yang mulai membuyar dan muncul cahaya matahari,
bukan saja hawanya panas menyengat bahkan
memancarkan cahaya emas yang amat menyilaukan
mata.

�Sebuah ilmu samurai yang hebat!� puji Cong Hoa


tanpa terasa.

Baru selesai kata pujian itu meluncur keluar, lagi-lagi


Siau-tiap melancarkan empat buah bacokan, hampir
semuanya seakan mengandung perubahan yang tidak
terhingga, terkadang seperti melayang, terkadang
seperti melesat, nyaris semua ancamannya ganas dan
telengas.
Cong Hoa tidak melancarkan serangan balasan,
diapun tidak menangkis.

Dia bahkan hanya meperhatikan...... seakan seorang


pemuda yang baru pertama kalinya melihat perempuan
cantik telanjang bulat.

Biarpun ke empat buah serangan itu sangat ganas


dan mematikan, akan tetapi jangan lagi melukai Cong
Hoa, menyentuh pun tidak.

Siau-tiap keheranan, ke empat serangannya itu jelas


sudah diarahkan ke tenggorokan lawan, tapi entah
mengapa semua serangannya itu seolah tergelincir dan
lewat dengan begitu saja, bacokan yang seharusnya
bersarang di dada, apa mau dikata tidak satupun yang
berhasil menyentuh ujung bajunya.

Setiap gerak serangan, setiap perubahan yang


terjadi, seolah olah sudah berada dalam dugaan Cong
Hoa.

Tiba tiba Siau-tiap mengubah gaya serangannya, kali


ini dia menyerang dengan sangat lambat, lambat sekali.

Begitu goloknya dibacokkan ke depan dengan


gerakan melambat, Cong Hoa tidak sanggup
menghindarkan diri lagi, bahu kirinya segera tersambar
hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang.

Rupanya gerak serangan yang nampaknya sangat


lambat itu sebenarnya telah mencapai batas
kecepatan yang paling luar biasa, begitu cepatnya
hingga sulit dilukiskan dengan perkataan.

Ketika samurai itu diayunkan ke depan, Cong Hoa


sama sekali tidak bergerak, seluruh gerakan tubuhnya
seakan terhenti secara tiba tiba.

Tampak ayunan samurai yang lambat lagi bebal itu


membacok ke tubuhnya, kemudian seluruh udara pun
seakan memercikkan selapis hujan bunga......

Bunga samurai memenuhi angkasa, bunga darah


memercik di udara. Bunga samurai kembali berputar,
dari lambat berubah jadi cepat, dari bebal berubah jadi
cepat, sekonyong-konyong selapis cahaya bianglala
kembali membias di udara.

Bianglala berwarna tujuh, tujuh buah bacokan


samurai, begitu semarak begitu beraneka warna...

Darah bercucuran dari bahu kirinya, tapi Cong Hoa


tidak ambil perduli, keningnya berkerut, ditatapnya
wajah Siau-tiap setengah ragu.

�Jadi inikah yang disebut ilmu samurai tujuh warna?�

Siau-tiap hanya membungkam, membungkam berarti


mengakui.

�Bagus, sebuah ilmu samurai yang hebat!� Cong Hoa


menghela napas panjang, �Hanya sayang, sayang
sekali.�
�Sayang? Apanya yang sayang?� tidak tahan Siautiap
bertanya.

�Sayang kau hanya memiliki satu serangan,


andaikata ada serangan kedua, aku tentu sudah mati.�

�Apa mungkin ada serangan yang kedua?�

�Ada, pasti ada,� Cong Hoa sedang termenung,


lewat lama kemudian ia baru berkata lebih jauh,
�sebenarnya pada serangan yang kedua lah seluruh inti
sari dari ilmu samurai itu terhimpun.�

Seluruh perubahan dan kekuatan yang terkandung


dalam ilmu samurai tujuh warna hanya berhasil melukai
bahu Cong Hoa pada ayunan yang kedua, waktu itu
dia sudah kehabisan tenaga, dalam tangan pun tidak
bersenjata, dalam keadan seperti itu mustahil dia bisa
lolos dari serangan berikut.

Masih untung hujan turun dengan derasnya waktu itu,


air hujan membuat bajunya basah kuyup, membuat
rambutnya ikut basah kuyup.

Ketika cahaya samurai berkelebat, gadis itupun


mengebaskan rambutnya dengan sepenuh tenaga,
dengan kebasan kepalanya, rambut pun ikut
menggulung ke atas, rambut yang basah membuat
ayunan itu jadi bertenaga.

Bila orang biasa yang mengebaskan rambutnya,


tentu saja tidak akan menghasilkan kekuatan apa-apa,
tapi Cong Hoa yang memang secara sengaja
mengebaskan rambutnya segera membuat air hujan
yang membasahi rambutnya itu memercik keluar bagai
rentetan tembakan senapan mesin.

�Criiing, criiiing!� bacokan samurai yang terbentur air


hujan menggaungkan suara dentingan nyaring.

Bukan hanya samurai itu yang terpercik air hujan,


wajah Siau-tiap pun terpercik keras bagaikan diserang
jarum tajam, buru buru dia pentangkan ke lima jari
tangannya untuk melindungi mata, sementar samurai
ditangan kanannya kembali melanjutkan bacokan ke
depan.

Sebetulnya sasaran yang dituju adalah tenggorokan


Cong Hoa, tapi Siau-tiap merasa hanya tempat kosong
yang tersentuh, rupanya bacokan itu mengenai sasaran
kosong.

Ke mana perginya Cong Hoa?

Ketika bacokan mengenai tempat kosong, Siau-tiap


pun tidak bergerak lagi, sebab ia mendengar suara
tertawa dari Cong Hoa berkumandang dari balik hujan,
suara itu berada di belakang tubuhnya, lebih kurang
dua depa di belakangnya.

�Serangan ketiga yang hebat!�

�Dengan cara apa kau berhasil lolos dari seranganku


ini?�
�Karena Thian telah memberi kesempatan
kepadaku.�

Siau-tiap membalikkan tubuhnya, dia tahu Cong Hoa


berada di belakang tubuhnya, dia pun dapat
menyaksikan luka memanjang yang menghiasi
tengkuknya, persis seperti sebuah pita merah yang
dikalungkan di leher seorang gadis.

�Seandainya aku sedikit terlambat untuk menghindar,


andaikata tidak ada hujan ini, mungkin tengkuk ku butuh
berapa jahitan untuk menyambungnya kembali.�

Kini samurai ditangan Siau-tiap sudah terkulai lemas,


semua keangkerannya sirna, semua hawa
membunuhnya lenyap, yang tersisa hanya kepolosan
wajahnya sebagai seorang gadis muda.

�Aku kalah!� bisiknya.

Suara dari Siau-tiap itu kedengaran tanpa perasaan.


Cong Hoa tidak bicara, dia hanya mengawasi gadis itu
dengan tenang.

�Sudah dua puluh tahun aku belajar silat, sudah dua


puluh kali aku bertempur sengit, tapi belum pernah sekali
pun menderita kekalahan,� kata Siau-tiap sambil
membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan,
�Semula aku mnegira, hujan yang turun sangat deras
akan menguntungkan posisiku, tidak disangka justru kau
yang telah mendapatkan keuntungan itu.�
Dengan pandangan mata yang agak cemas dia
menatap wajah Cong Hoa, kemudian tambahnya,
�Sekalipun kau yang berhasil menang, sayang tidak
akan kau peroleh jawaban dari mulutku.�

�Kenapa?�

�Sebab kabut segera akan datang!�

Cong Hoa melongo, dia tidak mengerti apa yang


dimaksudkan Siau-tiap dengan perkataan itu.

�Kabut? Kenapa kabut segera akan datang?�

Siau-tiap tidak menjawab, sambil memandang nun


jauh ke depan sana dia berbisik lagi, �Sejak menyadari
kalau aku sudah kalah, tiba-tiba saja aku seperti jadi
memahami akan semua hal.�

Setelah tarik napas panjang, terusnya, �Sebetulnya


apa yang telah kita berdua kerjakan dan rencanakan,
tidak lebih hanya merupakan sebiji anak catur yang
sedang dimainkan orang lain.�

Cong Hoa masih belum paham.

�Nyoo Cing memang cukup cerdik, tapi pada


akhirnya dia akan sadar kalau langkahnya keliru besar.�

Tiba-tiba Siau-tiap mendongakkan kepalanya dan


tertawa kalap, cara tertawanya sama sekali tidak mirip
seperti tertawa seorang nona kecil.
Caranya tertawa pada hakekatnya lebih mirip
tertawa orang gila. Begitu dia mulai tertawa, kabut tebal
pun mulai muncul. Sama seperti suara tertawa itu, kabut
muncul secara tiba tiba dan sama sekali diluar dugaan.

Dengan pandangan terperangah Cong Hoa


mengawasi Siau-tiap, mengawasi kabut tebal yang tibatiba
menyelimuti sekeliling tubuhnya.

Dalam waktu singkat kabut tebal telah menggulung


seluruh tubuh Siau-tiap, sebentar lagi Cong Hoa pun
akan segera tergulung di dalamnya.

Tiba tiba gadis itu mengernyitkan dahinya dengan


wajah berubah hebat, secepat anak panah yang
terlepas dari busurnya dia melejit keluar dari dalam
pesanggrahan salju.

Senyuman Siau-tiap mulai kaku, mulai membeku,


paras mukanya mulai menghitam, makin lama makin
pekat, tapi gelak tertawanya masih bergema di udara.

BAB 2.

Bungkusan obat dari Nyoo Cing.

Nama: Siau-tiap.

Usia: 24 tahun.
Tempat lahir: negeri Hu-siang.
Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna.
Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh.
Keahlian: bercocok tanam, ikebana.
Lokasi: Seputar istana raja muda, sebagai tukang

kebun Nyoo Cing.


Tinggi badan: lima kaki tiga inci.
Berat badan: delapan puluh empat kati.
Itulah data yang tercatat dalam buku catatan

rahasia Cing Liong Hwee.


Disuatu tempat rahasia yang lain, ternyata tercatat

pula data yang agak berbeda, data itu berbunyi:


Nama: Siau-tiap.
Usia: 24 tahun.
Tempat lahir: negeri Hu-siang.
Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna.
Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh.
Tanggal kematian: bulan sepuluh tanggal tujuh.
Pembunuh: Cong Hoa.
Catatan: karena sebab tertentu, akhirnya �utusan
kabut� yang melaksanakan eksekusi terakhir.

�Lagi-lagi obat ini.�

�Ini obat lambung, untuk melindungi lambungmu dari


luka,� dia membuka bungkusan berisi obat.

�Tapi lambungku tidak bermasalah.�

�Darimana kau bisa tahu kalau lambungmu tidak


bermasalah,� perempuan itu membantu Nyoo Cing
untuk duduk lebih enak, �Sekalipun lambungmu tidak
bermasalah, diminum pun tidak akan merugikan!�

Bagaikan seorang bocah saja Nyoo Cing minum obat


itu dengan terpaksa, kemudian cepat-cepat minum
seteguk air hangat.

Melihat gaya Nyoo Cing itu, perempuan itu tertawa,


kembali dia mengeluarkan sebuah bungkusan obat
yang bentuknya jauh lebih kecil.

�Bungkusan obat apa lagi itu?�

�Entahlah, bungkusan obat ini baru dibuka resepnya


pada hari ini, mungkin untuk mengobati tulang
belulangmu.�

Nyoo Cing kembali meneguk air hangat, kemudian


setelah menarik napas panjang dia memejamkan
matanya.
�Belum pernah ada orang takut minum obat
sepertimu,� kata perempuan itu sambil tertawa.

Tidak lama sepeninggal perempuan itu, Nyoo Cing


baru membuka matanya kembali, memandang pintu
kamarnya sekejap, ketika yakin pintu sudah tertutup, dia
baru memuntahkan seluruh obat yang baru
ditelannya, membungkus dengan selembar kertas dan
disembunyikan dibawah bantal.

Pada saat itulah kedengaran pintu kamarnya diketuk


orang.

�Tok, tok tok tok tok, tok tok!�

Setiap kali mengetuk pintu, Tay Thian selalu


menggunakan irama ketukan tertentu.

�Apa yang dikatakan Hong Coan-sin?� Nyoo Cing


segera mengajukan pertanyaan begitu berjumpa
dengan Tay Thian.

�Sama seperti Tu Bu-heng serta Un-hwee sekalian,�


jawab Tay Thian, �Termasuk keracunan oleh �buah
opium�, sari racun menyusup masuk melalui pori kulit dan
detak jantung pun segera terhenti, sebuah cara
kematian yang sama sekali tidak menimbulkan
penderitaan.�

�Bagaimana dengan jenasah Siau-tiap?�

�Sudah dikirim ke rumah perdamaian.�


Nyoo Cing mulai meraba ujung hidungnya, setiap kali
berjumpa dengan permasalahan yang tidak
terpecahkan, dia akan selalu meraba ujung hidung
sendiri.

�Untuk membina seorang kader jagoan macam Siautiap,


bukankah butuh banyak waktu, tenaga dan
uang?� dia bertanya.

�Benar.�

�Setelah bersusah payah membina seorang jagoan


macam begini, kenapa secara tiba-tiba perkumpulan
Cing Liong Hwee mematikan peranannya?�

�Rahasia identitasnya sudah terbongkar, dia sudah


tidak memiliki nilai untuk dipergunakan lagi,� kata Tay
Thian, �Bagi organisasi semacam Cing Liong Hwee,
sudah pasti dia akan membungkam mulut kadernya
yang sudah tidak berguna.�

�Sebetulnya tidak harus bertindak sekeji itu,� gumam


Nyoo Cing, �kalau bisa membunuhnya, seharusnya bisa
juga untuk selamatkan dirinya, lagipula Siau-tiap adalah
seorang jagoan berbakat yang banyak kegunaannya.�

Tay Thian tidak menjawab, rupanya dia sedang


termenung, alis matanya berkerut kencang, keraguan
dan rasa sangsi menyelimuti perasaan hatinya.

..... Sekalipun identitas Siau-tiap sudah terbongkar,


tidak seharusnya gadis itu dibunuh.
..... Hingga detik terakhir, dia sama sekali tidak
membongkar rahasia perkumpulan naga hijau, dia pun
tidak menunjukkan sikap akan berkhianat, kenapa
orang-orang Cing Liong Hwee justru menghabisi
nyawanya?

.....Apakah pihak perkumpulan naga hijau tidak


berkemampuan untuk menyelamatkan dirinya dari
dalam istana raja muda? Mustahil, mana mungkin ada
pekerjaan yang tidak mampu mereka laksanakan?

... Kenapa? Kenapa perkumpulan naga hijau harus


membunuh Siau-tiap? Jelas dibalik semua peristiwa ini
masih tersimpan rahasia lain yang tidak diketahui orang.

�Belum pernah pihak perkumpulan naga hijau


melakukan pengorbanan secara percuma, apalagi
manusia macam Siau-tiap merupakan manusia
berbakat yang bisa diandalkan,� kata Nyoo Cing,
�sudah pasti mereka berbuat demikian karena mereka
punya alasan yang jelas, pasti mereka mempunyai
maksud tujuan tertentu.�

Setelah berpikir sejenak, sesaat kemudian kembali ia


berkata, �Disamping itu, ada satu hal lagi membuat aku
keheranan.�

�Soal apa?�

�Ketika masih berkelana dalam dunia persilatan dulu,


apa julukan Lo Kay-sian?�

�Si pendekar pedang kerinduan!�


�Kendatipun sudah dua puluh tahun dia tinggalkan
dunia persilatan, sekalipun orang lain belum tentu
mengetahui taraf kepandaian silat yang dimilikinya, tapi
kita berdua toch tahu sangat jelas,� ujar Nyoo Cing,
�Kalau mesti bertarung beneran, belum tentu kita
berdua sanggup merobohkan dirinya dalam lima puluh
gebrakan.�

Tay Thian manggut-manggut tanda sependapat.

�Tapi menurut kakek Tan si penjual bakmi, Lo Kay-sian


cepat sekali menemui ajalnya,� ujar Nyoo Cing lebih
jauh, �Begitu kakek penabuh rebab bersenar tiga
membuka buntalannya, belum lagi bertarung sebanyak
tiga gebrakan, kepala Lo Kay-sian telah berpisah dari
tengkuknya.�

�Bahkan tidak sampai tiga gebrakan.�

�Mungkin saja kait perpisahan akan memancarkan


kehebatannya dikala berada ditanganku, bila terjatuh
ke tangan orang lain, paling banter senjata tersebut
hanya sebilah senjata berbentuk aneh, kenapa Lo Kaysian
tidak bisa bertahan lebih dari tiga gebrakan?�

�Mungkin si kakek penabuh rebab bersenar tiga pun


menguasai ilmu silat rahasia mu?�

�Tidak mungkin!� kata Nyoo Cing, �Setelah ayahku


berhasil mempelajari jurus serangan kait perpisahan, dia
telah memusnahkan kitab pusaka tersebut, tidak
mungkin di kolong langit terdapat orang kedua yang
sanggup menggunakan jurus serangan dari kait
perpisahan.�

Nyoo Cing mengalihkan pandangan matanya ke luar


jendela, mengawasi rembulan yang ada di angkasa,
lama, lama kemudian ia baru berkata lagi, �Jika masih
ada orang kedua yang mampu menggunakan jurus
serangan tersebut, maka orang itu pastilah dia!�

�Dia?� berbinar sorot mata Tay Thian, �Maksudmu Ti


Cing-ling?�

�Benar!�

�Kakek penabuh rebab bersenar tiga adalah


penyamaran Ti Cing-ling?�

�Rasanya hanya kemungkinan ini yang bisa


menjelaskan kenapa Lo Kay-sian menemui ajalnya
secepat itu.�

Kakek penabuh rebab bersenar tiga yang peyot lagi


tua itu adalah si bangsawan ganteng Ti Cing-ling?

Tiba tiba Nyoo Cing bertanya kepada Tay Thian,


�Bukankah Cu congkoan mempunyai seorang saudara
jauh yang sangat mahir dalam masalah obat obatan
dan ramuan obat?�

�Benar,� sahut Tay Thian, �Orang itu bernama Cu Hayjing,


berusia tiga puluh dua tahun, bukan saja mahir
dalam masalah obat-obatan dan ramuan, dia pun
sangat ahli dalam soal obat beracun, dia mampu
mengenali dan membedakan setiap jenis racun yang
dijumpai.�

�Bagus sekali!�

Nyoo Cing segera mengeluarkan bungkusan berisi


obat yang disembunyikan dibawah bantalnya itu dan
diserahkan ke tangan Tay Thian.

�Suruh Cu Liok berangkat malam ini juga, minta tolong


saudara jauhnya itu untuk melacak apa isi dari bubuk
obat yang ada dalam bungkusan ini.�

Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, �Suruh Cu


Liok menunggu, begitu peroleh hasil, segera balik untuk
memberi laporan.�

�Baik.�

�Awas, jangan sampai ada orang ketiga yang tahu.�

�Baik.�

Sepeninggal Tay Thian, Nyoo Cing baru merasakan


hatinya lega, diapun mulai kantuk dan tidak lama
kemudian sudah terlelap tidur.

Menjelang fajar.

Setitik cahaya terang mulai muncul di ufuk timur,


sebentar lagi langit akan mendusin dari tidurnya, tapi
suasana di dalam kota kecil itu masih amat sepi, para
penghuninya masih terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Ketika Cu Liok tiba di kota kecil itu, sudah ada dua
tiga rumah yang dapurnya mulai mengepul asap,
beberapa ekor anjing terlihat bergerombolan disudut
jalan.

Rumah saudara jauhnya berada di selatan kota,


dalam sebuah lorong disudut jalan besar.

Didalam lorong itu, sebagian besar bangunan rumah


sudah berdinding batu bata, hanya rumah saudara
jauhnya merupakan satu satunya rumah yang terbuat
dari bambu.

Mengawasi bangunan rumah dari bambu itu cu Liok


gelengkan kepalanya berulang kali. Saudara jauhnya ini
pandai dalam semua hal, wataknya pun tidak terhitung
jelek, sayang dia mempunyai sebuah penyakit, tidak
suka tinggal di rumah yang terbuat dari bata.

Dia beranggapan, tinggal dalam rumah berbatu bata


serasa tinggal dalam ruang penjara, bisa
mendatangkan perasaan tertekan, tidak bebas dan
susah napas.

Berbeda bila tinggal di rumah bambu, selain tembus


angin, bermanfaat pula bagi kesehatan badan.

Cu Liok masih ingat, dulu sebelum fajar menyingsing,


biasanya Cu Hay-jing sudah mempersiapkan
peralatanya, siap naik ke gunung untuk mencari daun
obat.
Kini langit belum terang, pintu rumah bambu pun
masih tertutup rapat, mungkinkah penghuninya belum
bangun dari tidurnya?

Cu Liong mendekati pintu bambu, lalu serunya keras


keras, �Tabib Cu, tabib Cu!�

Seperminum teh kemudian baru kedengaran ada


orang bangun dari tidurnya.

�Siapa disitu? Kenapa datang pagi-pagi? Apakah


terserang angin duduk?�

�Piauko, aku yang datang! Cu Liok!�

Pintu bambu terbuka dan muncul seorang lelaki


setengah umur yang masih terkantuk-kantuk, sambil
mengucak matanya dia awasi Cu Liok sekejap,
kemudian dengan wajah berseri ia baru berseru, �Cu
Liok?�

�Benar aku,� sahut Cu Liok gembira, �Piauko, sudah


lama kita tidak bersua!�

Masih untung cawan yang ada di rumah piauko


bukan terbuat dari bambu, Cu Liok mengangkat
cawannya dan meneguk satu tegukan teh panas.

�Piaute, kedengarannya hidupmu dalam berapa


tahun terakhir bertambah makmur?�

�Aaah, siapa bilang?� sahut Cu Liok sambil menatap


sekejap wajah kakak misannya, �Tidak seperti kau, Cu
Hay-jing, tabib Cu, anak kecil berusia tiga tahun pun
pasti tahu!�

�Hahahaha... sudah tua...� Cu Hay-jing tertawa


tergelak, �eeh.. ada urusan apa sepagi ini kau datang
mencari aku?�

�Aaah, hanya satu urusan kecil!�

�Ada apa?�

�Dua hari lalu iparmu merasa kepala pusing dan


tubuh lemas, akupun datang ke toko obat It-sim-tong
untuk beli obat, tapi setelah minum obat tersebut
keadaannya bertambah parah.�

�Panasnya lebih tinggi?�

�Bukan, dia malah berak-berak!� jawab Cu Liok


cepat, �Tentu saja akupun minta pertanggungan jawab
dengan pihak kamar obat, tapi mereka ngotot bilang
resep obat itu untuk pusing kepala, padahal aku sama
sekali tidak paham soal obat obatan, dalam jengkelnya
tiba-tiba aku teringat dengan piauko.�

�Mana obatnya?�

Dari dalam saku Cu Liok segera mengeluarkan


bungkusan obat yang diserahkan Tay Thian kepadanya
itu.
Cu Hay-jing menerima bungkusan itu, membukanya
dan mengendus sebentar, kemudian dia ambil sebutir
obat, setelah diremas hancur, dicicipinya diujung lidah.

�Aaah, ini mah campuran daun Ok-put-si-cau


dengan Kau-kan-cay ditambah sedikit rumput
pencegah angin yang dicampur sedikit madu,� kata Cu
Hay-jing menjelaskan, �Biasanya dipakai untuk
mengobati tulang retak, tapi ada kasiatnya juga untuk
mengobati sakit kepala atau turunkan panas.�

�Sungguh? Tapi kenapa berak terus? Atau... mungkin


obat itu ada racunnya?�

�Semua orang yang tahu tentang obat-obatan pasti


bisa membeli bahan obat semacam ini di rumah obat.�

�Berarti sakit perutnya iparmu bukan lantaran obatobatan


ini?�

�Bukan.�

�Waah, kalau begitu aku telah salah menuduh


orang.�

Cu Hay-jing tertawa, dia bungkus kembali obat itu


dan diserahkan kepada Cu Liok.

Buru buru Cu Liok menyimpan bungkusan obat tadi,


berpamitan dan perlahan lahan meninggalkan lorong.

Waktu itu fajar baru menyingsing, terlihat ada berapa


orang penduduk kota mulai berlalu lalang. Tanpa
membuang waktu lagi Cu Liok melompat naik ke atas
kudanya, karena terburu-buru dia baru teringat
tangan kirinya masih memegangi bungkusan obat itu,
sambil tertawa dia segera masukkan bungkusan itu ke
dalam saku kemudian baru melarikan kudanya
meninggalkan tempat itu.

Belum berapa kaki dia pergi, mendadak dia seperti


teringat akan sesuatu, tubuhnya kontan jadi kaku,
wajahnya berubah sangat hebat, diawasinya tangan kiri
sendiri dengan tertegun.

Tangan kiri.

Sejak kecil Cu Hay-jing sudah gemar memanjat


pohon, suatu hari ketika berusia sepuluh tahun, dia
terjatuh dari atas pohon hingga patah tangan
kanannya.

Sejak itu dia hanya bisa melakukan kegiatan sehari


harinya dengan tangan kiri, bahkan sewaktu makan pun
dia harus menggunakan tangan kirinya.

Tapi Cu Liok masih ingat, orang itu mengerjakan


semua hal dengan tangan kanannya, menerima
bungkusan obat, membuka bungkusan, meremuk obat,
semuanya menggunakan tangan kanan.

Mana mungkin Cu Hay-jing bisa melakukan semua


pekerjaannya dengan tangan kanan?

Apakah tangan kanannya sudah sembuh?


Tanpa terasa Cu Liok berpaling dan sekali lagi
menengok ke arah bangunan bambu dalam lorong.

Ketika Cu Liok masuk kembali ke rumah bambu itu,


dia benar benar dibuat bodoh, bukan saja terperangah,
bahkan sorot matanya mengawasi sekeliling ruangan
dengan pandangan orang tolol.

Kursi bambu yang baru saja diduduki, kini hilang tidak


berbekas, yang tersedia kini adalah sebuah bangku
yang terbuat dari kayu.

Cawan air teh yang sebelum meninggalkan ruangan


masih tergeletak di meja, sekarang ditempat yang sama
terletak sebuah vas bunga seruni yang besar.

Bukan Cuma itu saja, pada hakekatnya semua


perabot, semua dekorasi yang ada dalam ruangan itu
sudah berubah sama sekali.

Jangan-jangan dia salah masuk ke rumah orang, atau


sedang bermimpi buruk? Cu Liok dengan perasaan tidak
percaya mencoba meraba bangku kayu itu, dengan
perasaan ragu ragu ia mencoba untuk mendudukinya.

Mana mungkin bisa terjadi hal seperti ini?

Mengapa hanya di dalam waktu singkat, segala


sesuatu yang ada disini telah berubah?

Ke mana perginya Cu Hay-jing?

Sudah kabur ke mana orang itu?


Jangan jangan dia sudah dicelakai orang?

Berpikir sampai disitu, dengan perasaan terkesiap Cu


Liok segera menerjang masuk ke ruang dalam, tapi
kembali dia dibuat tertegun.

Dari dalam kamar muncul seorang gadis muda,


sebetulnya si nona sedang berjalan keluar dengan
wajah berseri, tapi begitu melihat kehadiran Cu Liok,
rasa gembiranya segera berubah jadi ketakutan.

Dengan penuh ketakutan gadis itu mengawasinya,


serunya gemetar, �Si... siapa kau Kenna... kenapa bisa
berada di kamarku? Mau.... mau apa kau?�

�Aku...� dalam keadaan begini Cu Liok tidak tahu


mesti bicara apa, dia hanya berdiri bodoh ditempat,
mengawasi nona itu dengan pandangan goblok.

Agaknya tampang Cu Liok tidak mirip orang jahat,


sesaat kemudian si nona sudah tidak setakut tadi lagi,
agak ragu tegurnya, �Apakah kau.....kau tidak salah
masuk rumah orang?�

�Tampaknya memang begitu,� jawab Cu Liok sambil


tertawa getir.

Yaa, dalam keadaan begini dia memang hanya bisa


tertawa getir.

Bayangkan saja, jika anda yang mengalami kejadian


seperti ini, kecuali tertawa getir, apa lagi yang bisa kau
perbuat?
Tiba tiba gadis itu tertawa cekikikan.
�Tadi, kusangka kau adalah perampok!� serunya.
�Mana ada perampok yang begitu goblok macam

aku?�
�Memang tidak ada,� sahut si nona sambil tertawa,

�Apakah kau datang mencari seseorang?�


�Benar, bukankah rumah ini milik tabib Cu?�
�Tabib Cu? Apakah Cu Hay-jing yang kau maksud?�

�Benar,� sahut Cu Liok, �Apakah dia ada dirumah?�


�Tentu saja ada di rumah.�
�Boleh aku bertemu dengannya?�
�Kalau itu mah aku tidak bisa berbuat apa-apa!�
�Kenapa?�
�Dia memang ada di rumah, tapi aku tidak tahu di
mana rumahnya,� jawab nona itu sambil tertawa, �Kalau
aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya, mana
mungkin bisa kuundang dia keluar?�

�Apa? Dia.... dia tidak tinggal di sini?� seru Cu Liok


tertegun.

�Dulu disini, tapi sekarang tidak!�

�Sekarang tidak disini?� gumam Cu Liok.


�Benar.�

�Kau tinggal disini dengan siapa? Sudah berapa lama


kalian pindah kemari?�

�Hampir lima tahun, aku tinggal bersama nenekku.�

�Semalam kalian tidak pernah meninggalkan tempat


ini?�

�Jangan lagi semalam, sejak lima tahun berselang


kami tidak pernah meninggalkan tempat ini.�

�Pagi tadi jam berapa kalian bangun dari tidurmu?�

�Pagi sekali, karena hari ini adalah ulang tahun


nenekku, maka aku bangun lebih awal.�

�Dan selama ini tidak pernah meninggalkan rumah?�

�Benar.�

�Wah, kalau begitu aku benar benar telah salah


masuk,� kata Cu Liok sambil tertawa getir.

�Terkadang setiap, orang bisa melakukan kesalahan


yang tidak disengaja, kau tidak perlu bersedih hati,�
hibur gadis itu sambil tertawa, �Setelah sampai disini,
bagaimana kalau makan dulu sebelum pergi, hari ini aku
memotong seekor ayam.�

�Tidak usah, terima kasih banyak atas penawaranmu,


aku masih banyak urusan, lain kali saja akan berkunjung
kembali.�
Selesai berkata dia membalikkan badan siap beranjak
pergi, mendadak ujung matanya menemukan sesuatu
benda yang terasa amat dikenalnya, benda itu berada
diatas meja bambu.

Dengan satu gerakan cepat dia lari ke depan meja,


menjepit benda yang tergeletidak disitu kemudian
tertawa. Dia tertawa sangan riang.

Benda yang ditemukan Cu Liok dari meja bambu itu


tidak lain adalah bubuk obat yang diremukkan Cu Hayjing
tadi.

�Semestinya kau sudah berada dalam perjalanan


menuju ke rumahmu,� kata nona itu kemudian sambil
menatap wajah Cu Liok.

�Rasanya memang seharusnya begitu.�

�Sebenarnya kesalahan apa yang telah kami perbuat


hingga kau bisa menaruh curiga?�

�Kesalahan kalian hanya terletak tidak terlampau


paham akan diri Cu Hay-jing,� Cu Liok menerangkan,
�Aku tidak tahu darimana kau bisa tahu kalau aku akan
datang kemari, semua yang kalian atur disini meski
cermat dan bagus, sayang kurang sempurna, aku tidak
menyangka orang yang menyamar sebagai Cu Hay-jing
pun mirip sekali dengan Cu Hay-jing.�

Ditatapnya gadis itu sekejap, kemudian lanjutnya,


�Bukan hanya gerak-geriknya, cara berbicara maupun
gayanya memang mirip dengan Cu Hay-jing, nyaris aku
berhasil kalian kelabuhi. Tapi sayang, kalian telah teledor
memperhatikan satu gerakan Cu Hay-jing yang �normal�
baginya tapi tidak normal bagi orang pada umumnya.�

�Apa itu?�

�Waktu kecil piaukoku pernah patah tangan


kanannya, meskipun telah diobati namun belum sembuh
seratus persen, oleh sebab itu dalam melakukan
pekerjaan apa pun, dia selalu menggunakan tangan
kirinya.�

Gadis itu balas menatap Cu Liok, ujarnya tiba tiba,


�Keteledoran kami akan menjadi kesialan bagimu!�

Mimik muka Nyoo Cing sama sekali tidak


memperlihatkan perubahan apapun. Benar-benar tidak
menunjukkan perubahan apapun. Dia hanya berbaring
diatas ranjang, sementara sorot matanya mengawasi
Tay Thian dengan termangu.

�Jenasahnya dijumpai sore tadi di lembah Hui-yasan,�


ujar Tay Thian dengan wajah tanpa perasaan,
�Kudanya si arak tua, tergeletak pula disamping
tubuhnya.�

�Arak tua� adalah nama kuda, seekor kuda jempolan,


seekor kuda yang mampu berlari cepat.

�Dengan kekuatan larinya, sebelum tengah hari


seharusnya dia sudah tiba di rumah?� tanya Nyoo Cing
hambar.
�Benar!�

�Walaupun bukit Hui-ya-san amat curam dan


berbahaya, sudah beribu kali Cu Liok melewati tempat
itu, mengapa dia bisa terpeleset hingga jatuh ke dalam
jurang?�

�Semalam dia berangkat dengan menunggang si


arak tua, menjelang fajar sudah tiba di tempat tujuan,�
kata Tay Thian, �Tapi satu jam kemudian, ada orang
melihat dia bersama seorang lelaki dan dua orang
wanita minum arak di dalam kedainya janda Ciu.�

�Kemudian?�

�Menurut janda Ciu, mereka berempat minum hampir


satu jam lamanya, kemudian setelah membayar
rekening mereka pun berangkat menuju ke timur.�

�Menuju ke timur?� seru Nyoo Cing, �Bukankah arah


itu menuju ke desa Hohan?�

�Benar, setibanya di desa Hohan, mereka berdua


masing-masing membawa seorang wanita masuk ke
dalam kamar losmen.�

�Kemudian?�

�Kemudian? Sudah tidak ada lagi!�

�Tidak ada?�
�Sejak masuk ke dalam losmen hingga jenasahnya
ditemukan di dasar jurang, tidak seorangpun tahu kabar
beritanya lagi.�

Kalau Tay Thian sudah mengatakan tidak seorangpun,


berarti dalam kenyataan tidak mungkin ada orang tahu
jejaknya lagi.

�Bagaimana dengan bungkusan obat itu?�

�Masih berada didalam sakunya, hanya salah satu


obatnya sudah diremuk orang.�

�Apa mungkin dia kebanyakan minum arak hingga


susah mengendalikan diri dan terpeleset jatuh ke dalam
jurang?�

�Kalau ditinjau dari situasi yang ada, semestinya


memang begitu ceritanya, apa perlu kukirim bungkusan
obat itu ke tempat lain......�

�Tidak perlu,� tidak menunggu Tay Thian


menyelesaikan perkataannya Nyoo Cing telah menukas,
�Aku berani jamin, obat yang berada dalam bungkusan
itu pasti hanya berisi obat penambah darah.�

Kemudian dia bertanya lagi, �Apakah Cu Hay-jing


masih hidup?�

�Entahlah, tapi yang pasti dia sudah tidak tinggal di


rumah bambu lagi, sudah pindah sejak lima tahun
berselang, tidak seorangpun yang tahu ia sudah pindah
ke mana!�
Nyoo Cing kembali menarik batang hidungnya
dengan tangan kiri.

Tay Thian tahu, lagi lagi ia sedang memikirkan


persoalan itu, setiap kali Nyoo Cing sedang menarik
hidungnya, lebih baik kau jangan mengusik ketenangan
hatinya.

Lama, lama kemudian, akhirnya Nyoo Cing


menghentikan juga perbuatannya.

�Bagaimana dengan si arak tua? Apakah mati juga


karena terpeleset?� tanya Nyoo Cing.

�Benar, kuda itu mati disamping Cu Liok.�

�Berapa selisih jarak antara mereka berdua?�

�Tidak tercantum dalam laporan.�

Tapi begitu perkataan itu diucapkan, sepasang mata


Tay Thian segera berbinar, serunya lagi, �Sekarang juga
aku akan ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan.�

�Soal ini penting sekali.�

�Aku tahu.�

Semula Tay Thian memang tidak terlalu perhatian, tapi


sekarang dia sadar kalau hal tersebut merupakan
sebuah keteledoran.

Bila dia bisa memperhitungkan jarak antara bangkai


kuda dengan jenasah Cu Liok, kemudian ditambah
dengan jarak ketinggian tebing maka denga cepat bisa
diketahui apakah mereka terpeleset sendiri ataukah
memang sengaja dilemparkan orang ke dalam jurang.

�Moga-moga saja masih sempat,� Nyoo Cing


menghela napas panjang.

�Sekarang juga akan kulaksanakan.�

�Tidak ada gunanya berangkat ditengah malam


buta, perkiraanmu bisa meleset.�

�Kalau begitu aku segera akan berangkat setelah


terang tanah nanti...�

�Yang betul berangkat ditengah malam dan tiba


disitu persis disaat fajar telah menyingsing,� Nyoo Cing
menambahkan.

�Baik.�

�Apa yang akan kau lakukan dengan bangkai si

arak tua dan jenasah Cu Liok?�

�Silahkan memberi perintah,� Nyoo Cing tertawa.

�Kalau tidak ada orang lain, kau tidak usah bersikap

resmi,� katanya.

�Baik.�

�Kalau begitu serahkan saja kepada Siau tua!�

�Aaah, cocok dengan jalan pikiranku.�


BAB 3.

Jarum Pembetot sukma Langit dan Bumi.

Tahun ini lo-Siau atau si Siau tua telah berusia tujuh


puluh tiga tahun.

Orang tua yang dihari hari biasa mirip seorang kakek


rentan yang hampir masuk peti mati, begitu ada
pekerjaan yang harus dilakukan, Dia sama sekali
berubah, berubah jadi lebih bersemangat, bahkan
gerak-geriknya mirip seorang lelaki yang baru berusia
empat puluh tahunan, berubah menjadi seorang ahli.

Lo-Siau bernama Siau Pek-cau, dia adalah seorang


yang sangat ahli melakukan pembedahan jenasah.

Ia tinggal disebuah rumah yang berjarak dua gang


dari penjara besar, tempat tinggalnya merupakan juga
tempatnya bekerja. Pekerjaan utamanya adalah
membedah jenasah. Oleh sebab itu tempat tinggalnya
tidak banyak dikunjungi orang luar.

Di siang hari saja jarang ada yang singgah, apalagi


ketika malam telah menjelang tiba, yang tersisa hanya
deruan angin yang berhembus kencang.

Kini malam sudah menjelang tiba, angin malam


berhembus sangat kencang. Kecuali suara angin,
suasana amat hening, sepi, tidak kedengaran sedikit
suara pun.

Jenasah Cu Liok sudah tiba di rumah lo-Siau,


diletakkan diatas meja altar berbentuk panjang.

Wajah lo-Siau yang semula nampak kelelahan,


murung dan kesepian, dengan cepat berubah jadi lebih
bersemangat, dia sedang mengawasi jenasah Cu Liok
yang tergeletidak dihadapannya.

�Dia adalah seorang yang sangat baik,� kata lo-Siau


dengan suara yang berduka, �seringkali dia membawa
arak ditengah malam dan datang mencariku, aku
sangat tahu maksud kedatangannya, dia bukan
mencari aku untuk menemaninya minum, tapi dia
memang khusus datang untuk menemani aku.�

Tay Thian mendengarkan, dia hanya mendengarkan.

�Tahukah kau, setelah orang seusia ku, apa yang


paling ditakuti?�

Tidak menanti Tay Thian memberi jawaban, Dia sudah


menjawab duluan.

�Kesepian,� kata lo-Siau lebih jauh sambil tertawa


getir, �biasanya yang menemani kami hanya kesepian.
Seakan akan setiap orang yang sudah menjadi tua
hanya sebuah barang pajangan.�

..... Kesepian, memang merupakan sebuah ketidak


berdayaan didalam kehidupan.
�Semakin besar usia seseorang, semakin sedikit teman
yang dimiliki, bahkan aku tidak memiliki walau
seorangpun,� ujar lo-Siau lebih jauh dengan wajah
kesepian, �yaa, bicara sejujurnya, siapa sih yang sudi
bergaul dengan seorang kakek yang setiap saat hanya
bergumul dengan mayat?�

Ini memang sebuah kenyataan, sebuah kesedihan


bagi seseorang yang bertugas sebagai petugas autopsi.

Kesedihan semacam ini merupakan kesedihan yang


merasuk ke dalam tulang, merupakan sebuah
kesepedihan yang menunjukkan ketidak berdayaan.

�Usia makin tua, hidup makin kesepian, semakin hidup


kesepian makin susah untuk tidur malam,� lo-Siau
kembali menatap jenasah Cu Liok, �oleh sebab itu
hanya dia yang sering datang menemani aku, minum
arak hingga fajar, bahkan terkadang aku pun diajak
makan siang bersama, makan di rumah makan.......�

Dia mulai meraba rambut Cu Liok.

�Coba kau lihat, rambutnya masih hitam, tidak seperti


aku, telah beruban semua,� katanya, �Aaai, hidup
manusia memang bagai awan putih yang bergerak di
angkasa...�

Dia bungkukkan tubuh, mengeluarkan sebuah tas kulis


dari bawah altar, lalu dibukanya. Dalam tas itu penuh
berisikan pelbagai peralatan bekerja serta botol-botol
yang berbentuk aneh, dalam botol-botol itu berisikan
aneka ragam bubuk obat.

Kemudian dia mulai membuka kelopak mata Cu Liok


dan memeriksanya sekejap, setelah itu kembali
gumamnya, �Aku tidak menyangka suatu saat bakal
mengautopsi tubuhmu.

�Lo-Siau, kau masih bisa mengendalikan diri?� tegur


Tay Thian kuatir.

�Memang inilah pekerjaanku, tidak nanti aku jadi


begitu lemah sehingga tidak sanggup menggerakkan
pisauku.�

Lo-siau mengambil sebatang pisau yang tipis sekali,


kembali ujarnya, �Terlepas apa penyebab kematianmu,
asal pernah kulihat sebelumnya, aku yakin tabir
kematiannya pasti dapat kusingkap!�

Sebilah pisau yang tipis, harus berada dalam


genggaman sebuah tangan yang mantap. Pisau itu
sangat tajam, dibawah kendali jari tangan yang lincah,
memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata.

Mata pisau mulai membelah, kulit dan daging mulai


teririt, cairan darah mulai meleleh keluar.

Darah berwarna hitam! Meski belum membeku, paling


tidak sudah hampir menggumpal. Tempat yang diiris lo-
Siau dengan pisaunya adalah kaki Cu Liok yang patah.
Tidak lama kemudian tulang kakinya yang remuk pun
kelihatan.

Sekalipun disekeliling ruangan penuh disinari cahaya


terang, tidak urung Tay Thian merasakan seram juga, dia
merasa udara didalam ruangan itu dipenuhi bau busuk
mayat yang mulai menyengat dicampur bau harumnya
pelbagai obat obatan, campuran bau itu menciptakan
sejenis bau yang tidak terlukiskan dengan kata.

Jika bukan seseorang yang sudah terbiasa dengan


suasana macam begini, mungkin dia akan dibuat
�ngeri� oleh bau aneh yang menyelimuti tempat
tersebut.

Bau �ngeri� semacam ini baru pertama kali dirasakan


Tay Thian, membedah tubuh mayat pun baru pertama
kali ini dia saksikan, perasaan ngeri dan muak membuat
dia sudah berpaling ke arah lain.

Satu jam sudah lewat, duajam sudah lewat.


Walaupun malam itu adalah malam di akhir musim
gugur, walaupun udara terasa sangat dingin, butiran
keringat telah membasahi jidat Tay Thian.

Pakaian yang dikenakan lo-siau pun sudah basah


kuyup oleh keringat. Maka udara dalam ruangan pun
bertambah lagi dengan sejenis bau, bau busuk keringat!

Kalau boleh, ingin sekali Tay Thian keluar dari ruangan


itu untuk menghirup udara segar diluaran sana. Tapi dia
tidak berani melakukan hal terseut, diapun tidak bisa.
Kini, masalahnya sudah mencapai taraf yang paling
penting, sedikit saja melakukan kesalahan bisa berakibat
semua urusan jadi berantakan, dia tidak ingin terjadi hal
seperti ini, bagaimana caranya dia memberi
pertanggungan jawab kepada Nyoo Cing nanti?

Kebetulan lo-Siau telah menghentikan pekerjaannya


waktu itu.

�Sudah ditemukan penyebab kematiannya?� buru


buru Tay Thian bertanya.

�Dia sudah tewas sebelum terpeleset jatuh ke dalam

jurang,� kata lo-Siau dengan wajah lusuh.


�Itu berarti jenasahnya dilempar orang ke dalam
jurang?�
�Benar,� lo-Siau manggut-manggut, �Dia mati karena
keracunan!�
�Terkena racun apa?�

�Tidak tahu.�

�Tidak tahu?�

�Tenggorokannya tidak menunjukkan gejala yang


aneh, ini berarti racun tersebut bukan masuk melalui
kerongkongannya.�

�Kalau bukan masuk melalui kerongkongan, berarti


disambit dengan senjata rahasia,� kata Tay Thian,
�Apakah sudah ditemukan mulut luka yang lain?�
�Belum, kecuali luka tulang patah akibat terlempar ke
dalam jurang, tidak ditemukan mulut luka lainnya.�

�Mungkin tidak masuk melalui pori pori kulit tubuh?�


mendadak Tay Thian teringat dengan gejala kematian
yang ditemukan di tubuh Tu Bu-heng.

�Tidak mungkin!� sahut lo-Siau pasti, �Bila racun itu


masuk melalui pori-pori kulit tubuh, maka diatas
permukaan tubuhnya akan ditemukan pertanda yang
jelas.�

�Berarti kau tidak berhasil menemukan penyebab

kematiannya?�
�Pasti bisa ditemukan, toch aku belum membedah isi
perutnya.�
�Kau akan mengeluarkan isi perutnya?�
�Benar, bahkan harus, jika dalam isi perutnya tidak
ditemukan gejala yang mencurigakan, aku akan
membedah otaknya.�

Bila dalam otak pun tidak ditemukan sesuatu hasil,


tempat mana lagi yang akan dibedah? Lo-Siau kembali
berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

Usus, lambung, hati, jantung, paru paru sudah


dikeluarkan semua dari rongga badan dan dikumpulkan
jadi satu, saat ini lo-siau sedang memeriksa bagian usus.
Setelah semua isi perut dibongkar dan dikeluarkan
dari rongga tubuhnya, sanggupkah lo-Siau untuk
mengembalikan lagi seperti keadaan semula?

Bukan setiap manusia mempunyai kesempatan untuk


melihat isi perut seseorang, bagi Tay Thian, kejadian ini
terhitung sebuah keberuntungan.

Tapi, siapakah yang mengharapkan keberuntungan


macam begini?

Dalam waktu singkat seluruh isi perut sudah selesai


diperiksa, tapi jawabannya tetap nihil. Maka lo-Siau pun
mulai membedah tengkorak kepala Cu Liok dan
mengeluarkan isi otaknya.

Pemandangan yang terpapar dihadapannya


sekarang jauh lebih mengerikan, jauh lebih memuakkan,
Tay Thian semakin tidak berani mengikutinya jalannya
pembedahan, bahkan nyaris ayam ca mete yang
disantapnya malam tadi menyembur keluar saking
muaknya.

Dia benar benar merasa kagum dengan kemampuan


Siau Pek-cau, membedah mayat manusia macam
menggorok seekor ayam saja, apalagi korban yang
harus dia kerjakan malam ini adalah sahabat karibnya,
andaikata dia yang harus melakukan pekerjaan
tersebut, Tay Thian sadar, dia tidak nanti sanggup
melakukannya.
Waktu berlalu tanpa terasa, akhirnya lo-Siau
menghembuskan napas lega, dia letakkan kembali
pisau bedahnya, peluh telah membasahi seluruh
tubuhnya, wajah yang kelihatan sangat penat membuat
punggungnya nampak semakin membengkok...
bagaimana pun dia memang seseorang yang sudah
tua.

Dengan pandangan mata yang luruh ditatapnya


wajah Tay Thian sekejap, kemudian ujarnya, �Aku telah
menemukan tiga buah lubang jarum yang sangat kecil
diatas tempurung kepalanya.�

�Seberapa kecil?�

�Lebih kecil dari jarum jahit,� ujar lo-Siau sambil duduk,


�Aku harus memeriksa sebanyak tiga kali sebelum
berhasil menemukan ketiga mulut jarum itu.�

�Lebih kecil dari jarum jahit?� Tay Thian termenung


sejenak, �Senjata rahasia apa itu?�

�Tidak ditemukan racun pada senjata rahasia


tersebut, jarum-jarum itu menembusi ubun-ubun cu Liok
dan langsung menembusi otak besarnya,� Lo-Siau
menerangkan, �Waktu itu Cu Liok pasti mati seketika,
mati tanpa terasakan penderitaan sedikitpun.�

�Kalau ada mulut jarumnya, berarti pasti ada senjata


rahasianya, di mana senjata rahasianya?�

�Ini dia, disini!� kata lo-Siau sambil merentangkan


tangan kirinya.
Benar juga, ternyata jarum itu sangat lembut lagi kecil,
ketiga batang jarum itu semuanya memancarkan sinar
kebiru biruan yang sangat tawar.

�Tidak mungkin senjata rahasia selembut ini


dilancarkan dengan tangan.�

�Benar, jarum-jarum itu pasti disambit dengan


menggunakan semacam alat.�

Tay Thian telah pergi, pergi sambil membawaketiga


batangjarum lembut itu.

Isi perut Cu Liok sudah dimasukkan kembali ke tempat


asalnya, mulut luka pun sudah dijahit kembali. Siau Pekcau
duduk seorang diri sambil mengawasi j enasah Cu
Liok yang masih berbaring diatas meja altar.

�Jarum selembut itu dilepaskan dengan alat apa?


bagaimana bisa menembusi kulit tengkorak yang
keras?�

Diantara bayangan yang bergerak diluar jendela,


tiba-tiba terdengar seseorang menyahut dengan nada
dingin, �Disambit dengan kotak pembetot nyawa, ketiga
batang jarum itu adalah jarum pembetot nyawa langit
dan bumi!�

Saat itu langit sudah hampir terang tanah, namun


belum seratus persen terang.

Kabut masih menyelimuti seluruh udara, kabut yang


sangat tebal.
Kabut membuat langit serasa membeku, udara terasa
dingin menggigilkan tubuh.

Kabut menyelimuti pula pepohonan, tanah rumput


dan jalanan kecil, membasahi juga rambut, alis mata
dan pakaian yang dikenakan Cong Hoa.

Saat itu Cong Hoa sedang duduk diatas tanah, duduk


persis dihadapan kuburan Lo Kay-sian. Tempat itu
adalah belakang bukit Pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-ie-khek, yaitu taman yang khusus disiapkan
pesanggrahan pengobatan sebagai tempat pekuburan.

Sebelum fajar menyingsing, Cong Hoa telah


membawa arak datang ke situ, kemudian diapun minum
arak didepan kuburan Lo Kay-sian. Setiap kali meneguk
satu cawan, dia pun menyiram kuburan Lo Kay-sian
dengan secawan arak juga.

Waktu berlalu detik demi detik, arak yang disiramkan


keata permukaan tanah telah menguap, semangat
yang berada dalam rongga dada Cong Hoa pun
semakin berkobar.

Tidak lama kemudian, tiga botol arak yang


dibawanya telah habis diteguk, setengahnya masuk ke
dalam perut Cong Hoa, dan setengahnya lagi dituang
diatas tanah pekuburan.

Cong Hoa telah bangkit berdiri, selesai membersihkan


pasir yang melekat ditubuhnya, dia berpaling ke arah
batu nisan yang bertuliskan: �Disini disemayankan Lo
Kay-sian�, kemudian ujarnya sambil tertawa, �Lo Kaysian,
hari ini kita minum sampai disini dulu, masih ada
urusan penting yang harus kuselesaikan, lain waktu akan
kutemani dirimu lagi.�

Batu nisan tidak menjawab, pun tidak bersuara, tapi


dari alam yang luas kedengaran ada suara. Suara itu
datang dari jalan bukit nun jauh didepan sana.

Suara nyanyian orang, membawakan lagu rakyat


yang jenaka, paling tidak ada dua orang sedang nyanyi
bersama.

Siapa yang sepagi ini membawakan lagu rakyat keras


keras? Apakah mereka pun membawa perasaan yang
sama seperti apa yang dirasakan Cong Hoa sekarang?

Di situ merupakan tanah pekuburan, tempat orang


mengenang kembali sanak keluarganya yang telah
tiada, mengapa mereka malah membawakan lagu
rakyat yang bertema jenaka?

Dengan cepat pertanyaan itu diperoleh jawabannya.

Ada empat orang lelaki dengan riangnya


menggotong sebuah peti mati baru dan berjalan
menuju ke bawah bukit, sambil berjalan mereka
membawakan lagu dengan riangnya.

Ternyata mereka adalah para petugas penggotong


peti mati, tidak heran kalau lagu yang mereka nyanyikan
begitu riang.
Cong Hoa tertawa sendiri, maklum kalau mereka
masih berselera untuk menyanyi, ternyata yang mereka
gotong bukan peti mati sanak keluarganya, bahkan
sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka.

�Selamat pagi teman teman, sepagi ini sudah mulai


bekerja?� sapa Cong Hoa sambil tertawa.

�Yaa selamat pagi, agar cepat masuk liang, biar


segera bisa dititiskan kembali,� sahut para kuli sambil
menurunkan peti mati itu di sebuah liang kosong dan
mulai mengambil peralatannya untuk menggali.

�Siapa yang kalian kubur kali ini?� tanya Cong Hoa


keheranan.
�Seorang nona, konon cantik sekali.�
�Yaa, katanya dia adalah pengurus kebun di istana
raja muda, datang dari negeri Hu-siang.�
Aaah! Rupanya Siau-tiap! Sambil tertawa Cong Hoa
mengawasi peti mati yang berada dihadapannya.
Terlepas semasa hidupnya dulu dia adalah seorang
mata-mata atau seorang enghiong hohan, setelah mati,
tubuhnya tidak lebih hanya seonggok tanah liat.

Memang inilah yang dinamakan kehidupan! Cong


Hoa gelengkan kepalanya berulang kali dan mulai
meninggalkan tempat itu.

Jalanan bukit itu sangat sempit lagi curam, aneh,


kenapa jalanan menuju ke tanah pekuburan itu tidak
dibikin lebih lebar dan lebih datar sehingga lebih
mempermudah para kuli penggotong peti mati
menyelesaikan tugasnya?

Sambil berpikir Cong Hoa melanjutkan perjalanannya.

Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu dan


segera menghentikan langkahnya. Para penggotong
peti mati? Jalanan yang sempit dan curam? Cong Hoa
segera berpaling kembali ke arah tanah pekuburan.

Aneh, sungguh aneh, sewaktu menggotong peti mati


mendaki ke jalanan yang curam tadi, mengapa ke
empat orang itu tidak nampak kepayahan? Mungkinkah
lantaran mereka sudah terbiasa menggotong barang
berat? Tapi, paling tidak j enasah manusia akan lebih
berat setelah menjadi jenasah bukan? Jangan jangan...

Cong Hoa mengawasi tanah pekuburan itu dengan


paras muka semakin serius.

�Aaaah, ini mah jarum pembetot sukma langit dan


bumi,� ujar Nyoo Cing sambil mengawasi ketiga
batangjarum lembut itu.

�Jarum pembetot sukma langit dan bumi?� ulang Tay


Thian dengan wajah terkesiap, �Maksudmu raja dari
segala macam senjata rahasia, begitu disambit segera
mencabut nyawa?�

�Benar!�
�Aku dengar jarum pembetot sukma langit dan bumi
diciptakan oleh seseorang yang sama sekali tidak
mengerti ilmu silat?�

�Di dunia terdapat enam macam benda yang paling


menakutkan, jarum pembetot sukma adalah satu
diantaranya,� Nyoo Cing menerangkan, �Orang yang
menciptakan senjata rahasia ini sesungguhnya masih
termasuk keturunan dari seorang tokoh persilatan, dia
bernama Ciu Sie-bin, waktu itu ayahnya termashur
sebagai Lam-ouw-siang-kiam (sepasang pedang dari
telaga selatan)!�

�Tapi menurut apa yang kuketahui, orang yang


menciptakan senjata rahasia itu sama sekali tidak
pandai bersilat,� kata Tay Thian, �Sebagai putra dari
sepasang pedang Lam-ouw-siang-kiam, mana mungkin
dia tidak pandai bersilat?�

�Apa yang saudara Tay dengar memang tidak


salah,� ujar Nyoo Cing sambil tertawa, �Ciu Sie-bin
memang tidak pandai bersilat, ini disebabkan sejak kecil
dia sudah menderita sebuah penyakit aneh, tulangnya
lemas hingga jangan lagi belajar silat, untuk bangkit
berdiri pun tidak mampu.�

Tay Thian mendengarkan dengan seksama, dia sama


sekali tidak menimbrung.

�Keluarga mereka terdiri dari lima bersaudara, Ciu Siebin


menempati urutan ketiga, tapi kecerdasan otaknya
jauh melebihi saudara saudara lainnya,� Nyoo Cing
berkata lebih lanjut, �Tapi sayang dia cacad badan,
ketika melihat saudara lainnya berhasil memperoleh
nama besar dalam dunia persilatan, otomatis diapun
merasa sangat bersedih hati, maka diam-diam dia
bersumpah akan melakukan suatu karya yang bisa
menggetarkan seluruh kolong langit, agar tidak kalah
dengan kemampuan saudara-saudara lainnya.�

�Apakah ke empat bersaudara itu yang terkenal


dalam dunia persilatan sebagai Kanglam-su-gie (empat
persaudaraan dari Kanglam)?�

�Benar! Ciu Sie-bin yang cacad badan sepanjang


tahun hanya bisa membaca buku, tapi dasar otaknya
memang amat cerdas lagipula dia memiliki sepasang
tangan yang trampil, maka tidak heran kalau di setiap
sudut ruangan tidurnya dilengkapi dengan pelbagai alat
jebakan yang luar biasa.�

�Waah, ruangan itu pasti sangat menarik hati!� seru


Tay Thian tertawa, �Coba kalau tokoh sakti ini masih
hidup, aku pasti akan berkunjung ke situ.�

�Suatu tahun, dengan sebatang kayu dia


menciptakan sebuah kotak rahasia, dia minta saudarasaudaranya
untuk mencarikan seorang pandai besi
yang bisa membuatkan sebuah kotak yang sama seperti
contohnya. Waktu itu saudara saudaranya mengira dia
sedang membuat mainan higga tidak terlalu
diperhatikan, maka diundanglah seorang pandai besi
yang ternama untuk datang ke rumah, tukang besi itu
bernama 'Kiau Jiu-song'�
Setelah berhenti sejenak, kembali Nyoo Cing
melanjutkan, �Hampir dua tahun lamanya Kiau-jiu-song
berdiam di rumah Ciu Sie-bin, tidak banyak yang tahu
apa yang sedang mereka kerjakan di dalam rumah, tapi
setiap bulan Ciu sie-bin selalu mengutus orang untuk
mengirim sejumlah uang kepada istri tukang besi itu,
tidak heran kalau keluarga Kiau Jiu-song sama sekali
tidak kuatir.�

�Tampaknya bini Kiau Jiu-song tidak sadar kalau uang


yang diterimanya itu sebetulnya adalah biaya untuk
membeli nyawa suaminya,� ujar Tay Thian sambil
menghela napas.

�Benar, dua tahun kemudian begitu Kiau Jiu-song


meninggalkan gedung itu, diapun roboh untuk tidak
bangun kembali, konon mati lantaran kelelahan. Tapi
bagaimana kejadian yang sesungguhnya tidak banyak
diketahui orang. Apalagi nama besar keluarga Ciu
dalam dunia persilatan waktu itu sangat tersohor, oleh
sebab itu keluarga pandai besi itupun tidak berani
melakukan penyelidikan.�

�Si pandai besi Kiau Jiu-song menguasai tehnik


pembuatan alat penembak senjata rahasia tersebut,
untuk menjaga kerahasiaan alat tersebut tentu saja Ciu
Sie-bin tidak akan membiarkan dia hidup terus,� kata Tay
Thian, �Mungkin dialah orang pertama yang tewas
terhajar jarum pembetot sukma langit dan bumi.�

�Setelah lewat setengah bulan kemudian, tiba-tiba


Ciu Sie-bin menyebar undangan dengan mengundang
semua jago senjata rahasia yang paling tersohor saat
itu,� kata Nyoo Cing kemudian, �Waktu pertemuan
adalah hari Tiong-ciu, saat bulan sedang purnama.
Banyak orang persilatan yang terpaksa datang
memenuhi undangan karena memandang wajah
Kanglam Su-gie, tidak sedikit yang hadir saat itu.

�Setelah arak dihidangkan, secara tiba-tiba Ciu Siebin


meminta kepada Ho Lam-hui untuk beradu senjata
rahasia melawannya.�

�Ho Lam-hui?� kata Tay Thian, �Apakah jagoan yang


disebut orang Pat-pit-sin-wan (monyet sakti berlengan
delapan) Ho Lam-hui?�

�Betul, bukan saja dari seluruh tubuhnya dapat


memancarkan senjata rahasia, konon pada saat yang
bersamaan dia sanggup melepaskan dua belas jenis
senjata rahasia secara bersamaan, bahkan
kemampuannya dalam melepaskan amgi sudah
mencapai tingkatan yang luar biasa. Orang ini boleh
dibilang merupakan jago kelas satu dalam dunia
persilatan.�

Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, �Sebagai


jagoan terkemuka, mana mungkin dia mau bertanding
senjata rahasia melawan seorang cacad, apalagi
diapun sahabat karib dari Kanglam Su-gie.�

�Yaa, biar menangpun, bukan sebuah kemenangan


yang terhormat.�
�Semua orang mengira Ciu Sie-bin hanya bergurau,
siapa sangka Ciu Sie-bin bersikeras memaksa Ho Lam-hui
untuk beradu kepandaian, bahkan sempat melontarkan
perkataan yang menyakitkan hati, hal mana memaksa
Ho Lam-hui kehilangan muka dan akhirnya tidak
sanggup mengendalikan diri.�

�Kemudian?�

�Akhirnya Ho Lam-hui tewas diujung jarum pembetot


sukma langit dan bumi, bahkan ada berapa orang jago
am-gi yang kehilangan nyawanya juga waktu itu,� kata
Nyoo Cing, �Sekalipun semua orang tahu kalau senjata
rahasia itu dibidikkan melalui sebuah kotak besi yang
berada di tangan Ciu Sie-bin, apa lacur tidak seorang
jago pun yang sanggup menghindarkan diri.�

�Sungguh keji perbuatan Ciu Sie-bin!� seru Tay Thian


kemudian, �Sejak kecil dia sudah cacad, mungkin
karena itu wataknya jadi aneh, tapi masa sepasang
pedang dari telaga selatan maupun empat jagoan dari
Kanglam tidak berusaha mencegah?�

�Waktu itu Lam-ouw siang-kiam sudah lama


meninggal, sementara Kanglam Su-gie nampaknya
mempunyai tujuan lain!�

�Apa tujuan mereka?�

�Menyaksikan senjata rahasia yang dimiliki saudara


sendiri begitu lihay, rupanya mereka ingin
memanfaatkan kesempatan itu untuk semakin
mempopulerkan nama besar keluarga Ciu,� kata Nyoo
Cing, �Mimpi pun mereka tidak menyangka, gara-gara
kejadian ini, banyak orang persilatan yang mulai
memusuhi keluarga Ciu, siapa pun tidak ingin
membiarkan senjata rahasia yang maha dahsyat itu
tetap berada di tangan keluarga Ciu, karena mereka
kuatir, suatu saat nanti senjata rahasia itu bakal
dipergunakan untuk menghadapi diri mereka.�

�Yaa, apalagi mereka yang sejak semula sudah


bermusuhan dengan keluarga Ciu,� kata Tay Thian,
�Mereka pasti sadar, suatu saat mereka pun akan
menjadi korban berikut.�

�Oleh sebab itu semua orang berebut untuk turun


tangan terlebih dulu, dengan pelbagai cara mereka
singkirkan Kanglam su-gie satu per satu, kemudian
mereka bakar perkampungan keluarga Ciu sehingga
Ciu Sie-bin pun ikut tewas dalam kebakaran dahsyat itu.�

�Dia memang pantas mati!� umpat Tay Thian tanpa


sadar, kemudian tambahnya, �Setelah peristiwa itu,
jarum pembetot sukma langit dan bumi itu jatuh ke
tangan siapa?�

�Tidak ada yang tahu senjata rahasia itu jatuh ke


tangan siapa, sebab siapa pun yang berhasil
mendapatkan senjata tersebut, tidak seorangpun mau
mengakuinya,� kata Nyoo Cing, �Tapi setiap tiga sampai
lima bulan, selalu ada jagoan persilatan yang tewas oleh
jarum thian-te-soh-hun-ciam ini, sebaliknya orang yang
berhasil memiliki senjata maut itupun biasanya tidak
berumur panjang, sebab begitu rahasianya ketahuan,
maka berbondong bondong orang akan datang
mencarinya dan berusaha merebutnya.�

�Waah, kalau begitu bukankah senjata Thian-tee-sohhun-


ciam menjadi benda pembawa sial?�

�Selama puluhan tahun terakhir, entah sudah berapa


ratus kali barang itu berpindah tangan, biasanya orang
yang berhasil mendapatkan benda itu pasti tewas
dalam keadaan mengenaskan, hingga berapa tahun
berselang, tiba tiba senjata rahasia itu lenyap dari
peredaran dunia persilatan, mungkin orang yang
berhasil mendapatkan benda itu belum pernah
mempergunakannya...�

Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, �Itulah


sebabnya walaupun banyak jago yang pernah
mendengar tentang kehebatan senjata rahasia Thiantee-
soh-hun-ciam, bahkan ada banyak orang yang tahu
bagaimana bentuknya serta sampai dimana
kehebatannya, namun belum pernah ada seorang
manusia pun yang benar-benar melihat sendiri benda
itu.�

�Kalau begitu nasib Cu Liok terhitung cukup bagus.�

�Mungkin kali ini pihak perkumpulan naga hijau


bersiap untuk menghadapiku, maka mereka pun
mengusung datang orang yang memiliki senjata rahasia
Thian-tee-soh-hun-ciam itu.�
�Tapi anehnya, kalau memang pihak perkumpulan
Cing Liong Hwee telah bersusah payah mendapatkan
senjata rahasia Thian-tee-soh-hun-ciam, mengapa
secara sembarangan mereka gunakan terhadap Cu
Liok?�

�Mungkin Cu Liok telah menyaksikan sesuatu yang


tidak seharusnya diketahui orang, atau keadaan sangat
mendesak sehingga mau tidak mau terpaksa mereka
harus menggunakannya.�

�Menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya


diketahui orang?� Tay Thian termenung berapa saat,
�Kalau memang telah menyaksikan sesuatu yang tidak
seharusnya diketahui orang, berarti kejadian itu tentu
ada di rumah bambu.�

Nyoo Cing mengangguk membenarkan.

Tiba tiba Tay Thian tidak bicara lagi, dia membuang


pandangan matanya ke luar jendela.

�Sedemikian sempurnanya kotak pembidik senjata


rahasia itu dan sedemikian dahsyatnya kekuatan yang
dipancarkan membuat benda ini tidak malu disebut raja
diantara senjata rahasia!� tiba tiba ujar Nyoo Cing, �Bila
senjata itu dibandingkan dengan berapa macam
senjata rahasia terhebat yang ada saat ini, masalah
kecepatan bahkan masih selisih dua bagian, apalagi
dalam hal ketepatannya mengenai sasaran, boleh
dibilang senjata yang ada sekarang masih ketinggalan
jauh.�
�Bagaimana bila dibandingkan dengan anak panah
kekasih?�

�Kehebatan dari anak panah kekasih bukan terletak


pada kecepatan, melainkan dalam hal kekuatan
tangan, sementara bidikan jarum maut thian-tee-sohhun-
ciam boleh dibilang belum seorang manusia pun
sanggup menghindarinya.�

Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali


tambahnya, �Konon jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam
bisa membidikkan tiga puluh enam batang jarum pada
saat yang bersamaan, sementara Cu Liok hanya
mendapat hadiah tiga batang.�

�Berarti masih ada tiga puluh tiga batang jarum yang


ketinggalan dalam rumah bambu?�

�Benar,� sahut Nyoo Cing sambil menatapnya tajam,


�Untuk menghadapi Cu Liok, tiga batang pun sudah
lebih dari cukup, tapi berbeda untuk menghadapi kau,
mungkin ketiga puluh tiga batang jarum itu harus
digunakan semua.�

�Hahahaha... mungkin malah kurang dari tiga puluh


tiga batang!� seru Tay Thian sambil tertawa tergelak.

�Aku tahu, apa yang telah kau putuskan susah untuk


dicegah lagi, Cuma untuk mengunjungi rumah bambu
itu kau mesti berhati-hati, sebab tempat tersebut pasti
sangat berbahaya!�

�Aku tahu!�
BAB 4.

Kakak tua berdarah.

Sehabis hujan bintang kelihatan jauh lebih bersih, jauh


lebih cemerlang, membuat orang semakin
menyukainya.

Sejak kecil Cong Hoa memang suka akan bintang,


kerapkali dia berkhayal membayangkan masa kecil,
menikmati indahnya impian dimasa dulu, kegembiraan
seorang bocah.

Malam ini bukan saja banyak bintang yang


bertaburan di angkasa, lagipula merupakan bintang
setelah hujan.

Sore tadi telah turun hujan guntur yang amat


kencang, membawa kesegaran dan kebersihan di
seluruh permukaan bumi, namun mendatangkan juga
kemurungan bagi Cong Hoa.

Setelah turun hujan yang begitu deras, jalan setapak


jadi penuh berlumpur dan becek. Di hari biasa saja
sudah sulit dilalui, apalagi setelah hujan. Dengan susah
payah akhirnya berhasil juga Cong Hoa mencapai
puncak bukit di belakang pesanggrahan pengobatan,
kini dia berdiri diatas bukit sambil menarik napas
panjang.
Malam ini, cahaya bintang terasa jauh lebih bening
dan bersinar, cahayanya seolah sempat menyinari
seluruh tanah perbukitan itu. Cong Hoa memperhatikan
sejenak tanah gundukan baru dimana pagi tadi Siautiap
dikubur...empat orang penggotong peti mati itu
berjalan begitu ringan dan santainya mencapai puncak
bukit.

Apa arti dari kesemuanya itu? Mungkin-kah peti mati


itu tanpa jenasah?

Atau ke empat penggotong peti mati itu adalah jago


jago berilmu tinggi?

Untuk peroleh jawaban yang pasti, hanya ada satu


jalan yang bisa ditempuh yakni membongkar tanah
pekuburan itu. Tapi ada satu hal yang pasti, apa pun
yang bakal terjadi, jelas masalah ini ada sangkut
pautnya dengan Pesanggrahan pengobatan Coan-sin-
Ie-khek.

Seandainya kuburan Siau-tiap ada yang tidak beres,


bukankah kuburan Lo Kay-sian pun...?

Tanpa terasa Cong Hoa berpaling ke arah kuburan Lo


Kay-sian, andaikata kuburannya pun ada yang tidak
beres, berarti seluruh tanah pekuburan itu...

Cong Hoa tidak berani berpikir lebih lanjut, dia


gelengkan kepalanya berulang kali, berusaha untuk
membuang jauh jauh semua kecurigaan didalam
hatinya.
Tidak selang seperminum teh kemudian, kuburan itu
sudah dibongkar, peti mati pun sudah nampak.

Inilah detik paling penting untuk menyingkap rahasia


ini, tangan Cong Hoa kelihatan sedikit gemetar, entah
karena takut atau mungkin lantaran udara yang terasa
amat dingin?

Ternyata peti mati itu tidak dalam keadaan terpaku,


Cong Hoa mulai berkerut kening, perlahan-lahan dia
dorong penutup peti mati itu, ternyata dengan sangat
mudah berhasil digeser ke samping.

Dibawah sinar bintang yang menyoroti peti mati


tersebut, tampak pakaian yang dikenakan Siau-tiap.
Hanya pakaian, sama sekali tidak ada jenasah!

Rupanya peti mati itu adalah sebuah peti mati


kosong.

Lalu ke mana larinya jenasah Siau-tiap? Mengapa


pihak pesanggrahan pengobatan hanya mengubur
sebuah peti mati yang kosong?

Cong Hoa mulai berpaling mengawasi kuburan Lo


Kay-sian, moga moga...

Dalam waktu singkat kuburan Lo Kay-sian pun telah


dibongkar.

Kosong!
Ternyata isi peti mati itupun kosong, yang ada hanya
satu stel pakaian. Paras muka Cong Hoa telah berubah
amat serius, dia mulai termenung sambil mengawasi
kedua peti mati yang kosong itu.

Tidak perlu diragukan lagi, seluruh kuburan yang ada


disitu sudah pasti hanya menanam peti mati yang
kosong.

Tapi mengapa?

Mengapa pihak pesanggrahan pengobatan Coansin-


ie-khek hanya mengubur peti mati yang kosong?

Lalu ke mana larinya jenasah mereka yang telah


mati?

Setiap orang yang dikirim ke pesanggrahan


pengobatan Coan-sin-ie-khek, bila akhirnya mati disitu
maka pihak pesanggrahan pasti akan mengurusi
jenasah mereka, konon sebagai ungkapan penyesalan
mereka lantaran tidak berhasil menyembuhkan sakitnya.

Cong Hoa berdiri termangu diatas puncak bukit


sambil mengawasi pesanggrahan Coan-sin-ie-khek yang
bermandikan cahaya lampu di kaki bukit sana.

Mungkinkah di balik cahaya lampu yang terang


benderang itu, tersimpan sebuah rahasia besar yang
luar biasa?

Tapi rahasia besar apakah itu?


Mendadak Cong Hoa teringat kembali akan
pembicaraannya dengan Ing Bu-ok, dulu ketika berada
di rumah makan sebuah kota kecil.

.....Dari sebuah negeri di wilayah Timur nun jauh di


sana, terbawa sebuah rahasia cara serta resep untuk
mengawetkan tubuh manusia yang telah mati.

..... Ketika jenasah itu berhasil diawetkan dengan cara


serta resep rahasia itu, maka mereka akan disebut
�Mummi�.

.....Mummi-mummi itu bisa disimpan suatu jangka

waktu tertentu, suatu hari akan bangkit dan hidup


kembali.
Pelbagai pikiran dan ingatan berkecamuk dalam
benak Cong Hoa, jangan-jangan...
Jangan-jangan pesanggrahan Coan-sin-ie-khek ada
hubungannya dengan lenyapnya Cong Hui-miat?

Mungkinkah tempat ini ada sangkut pautnya dengan


teka-teki serta rahasia yang sudah berlangsung sejak
dua puluh tahun berselang?

Berbinar sepasang mata Cong Hoa, begitu terang


cahaya yang terpancar keluar, seolah lebih terang dari
pantulan sinar yang dipancarkan bintang di langit.

Fajar sudah hampir tiba, inilah saat saat terakhir


kegelapan menyelimuti angkasa.
Ketika kegelapan malam mulai tergeser, setitik
cahaya terang mulai muncul di ufuk sebelah timur.

Kabut melayang diatas permukaan bumi, menyelimuti


seluruh jalan dan lorong di kota kecil itu.

�Rumah bambu� pun terbungkus oleh lapisan kabut


yang tebal.

Ditengah remang remangnya suasana, diantara


tebalnya kabut yang melapisi permukaan tanah,
tampak seseorang berdiri tenang dibalik kegelapan.

Walaupun pakaian yang dikenakan orang itu sudah


dilapisi debu dan pasir, namun tidak menutupi
keangkeran serta kewibawaan yang terpancar dari balik
wajahnya.

..... Keangkeran dari seorang pengurus rumah


tangga!

Dia tidak lain adalah Tay Thian.

Setelah menempuh perjalanan hampir semalaman


suntuk, tibalah dia di depan lorong jalan itu.

Sekarang, Tay Thian sedang mengawasi �rumah


bambu� itu dengan wajah serius.

Ditinjau dari luar, bangunan rumah bambu itu amat


sederhana dan tidak menunjukkan ancaman bahaya
apa pun, tapi justru dibalik ketenangan tersembunyi
ancaman jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam yang
sangat menakutkan, bahkan bisa jadi masih tersimpan
kejadian kejadian lain yang jauh lebih menyeramkan.

Tiada perasaan takut atau jeri yang terlintas diwajah


Tay Thian, dia hanya berharap dari tempat ini dapat
ditemukan ekor dari sang naga, asal ekornya sudah
ditemukan maka tidak sulit untuk mencari di mana
kepala sang naga menyembunyikan diri.

Selangkah demi selangkah dia berjalan mendekati


pintu 'rumah bambu', dia melangkah dengan sangat
hati-hati, penuh kewaspadaan, serangan jarum maut
thian-tee-soh-hun-ciam bukan serangan main main, dia
tidak mau pertaruhkan nyawanya dengan bergurau,
sebab terhajar sebatang jarum saja sudah lebih dari
cukup untuk menghantarnya pulang ke langit barat.

Tidak terjadi apa-apa! Hingga tiba di pintu masuk


'rumah bambu', sama sekali tidak terjadi suatu kejadian
yang luar biasa.

Diam-diam Tay Thian menghembuskan napas lega,


namun berbarengan timbul juga perasaan kecewanya.

.... Mungkinkah peristiwa yang diharapkan t idak akan


terjadi?

Dari balik rumah bambu itu masih tidak nampak reaksi


apapun, yang terlihat hanya setitik cahaya lampu yang
memancar keluar dari sela-sela dinding. Pintu depan
rumah bambu berada dalam keadaan setengah
terbuka.
Dengan sangat hati hati Tay Thian mendorong pintu
itu hingga terbuka, kemudian diapun melangkah masuk
ke dalam. Tapi begitu melangkah masuk, dia pun berdiri
terperangah.

Tay Thian sudah pernah berkunjung ke banyak


tempat, pelbagai tempat aneh pernah dikunjunginya,
dia pun tahu dengan pasti tempat mana yang indah
bagaikan surga dan tempat mana yang menakutkan
bagaikan neraka.

Tapi rumah bambu ini benar-benar sangat indah,


setiap benda yang ada didalam ruangan rata-rata
sangat indah dan menawan, namun dibalik keindahan
terasa pula bagaikan sebuah neraka.

Sebuah neraka yang sangat indah!

Benda pertama yang disaksikan Tay Thian adalah


sebuah lukisan, sebuah lukisan yang tergantung diatas
dinding. Diatas dinding rumah yang panjangnya lima
depa (8 m), dipenuhi pelbagai lukisan bergambar iblis
berkepala siluman.

Iblis berkepala siluman!

Berbagai iblis, berbagai siluman. Ada yang berwajah


manusia bertubuh hewan, ada yang mirip manusia tapi
bukan manusia, ada pula yang hewan tapi justru
memiliki jantung manusia.
Diatas dinding ruangan yang lebarnya mencapai lima
depa itu, selain dipenuhi lukisan siluman, disitu pun
terdapat seekor burung kakak tua.

Kakak tua berdarah!

Dalam genggaman semua iblis siluman itu


memegang sebilah golok melengkung, dari ujung golok
meleleh keluar tetesan darah, tetesan darah yang
mewujudkan seekor kakak tua berdarah.

Burung kakak tua berdarah itu sedang pentang sayap


siap terbang ke arah seorang lelaki setengah umur yang
mengenakan kopiah raja terbuat dari emas putih.
Seorang lelaki setengah umur yang lembut lagi tampan.

Para siluman iblis sedang menyembah ke arahnya,


seakan akan para hamba setia yang sedang
menyembah kaisarnya.

Mungkinkah �dia� adalah iblis diantara siluman iblis?

Apakah lelaki setengah umur yang mirip manusia itu


adalah raja dari kaum iblis?

Burung kakaktua berdarah pun memiliki anak buah.


Tiga belas ekor burung aneh yang sangat cantik sedang
mengelilinginya, terbang di kiri dan kanannya.

Ketiga belas ekor burung aneh itu memiliki bulu seekor


merak, sayap seekor kelelawar, lincah dan gesit seperti
seekor walet dan memiliki jarum beracun seperti seekor
tawon.
Tay Thian terperangah dibuatnya.

Di dalam ruangan itupun tersedia sebuah ranjang


yang sangat besar, ranjang yang membuat orang
langsung membayangkan adegan yang syuur,
disamping ranjang adalah sebuah meja, diatas meja
tersedia enam macam hidangan, enam macam
hidangan yang membuat air liurmu meleleh keluar,
disamping hidangan tersedia juga enam botol arak,
cukup dari botolnya dapat diketahui kalau arak tersebut
adalah arakjempolan.

Ternyata Tay Thian tidak menaruh perhatian pada hal


yang lain, seluruh konsentrasinya hanya tertuju pada
lukisan yang tergantung diatas dinding rumah.
Sedemikian kesemsemnya dengan lukisan itu hingga dia
sama sekali tidak sadar kalau diatas ranjang berbaring
seseorang.

Masih untung pada akhirnya dia mendengar juga


suara dari perempuan itu. Suaranya merdu merayu,
terselip pula suara tertawa yang sedap didengar.

�Kau menyukai lukisan itu?� Tay Thian berpaling dan


terlihatlah seorang perempuan yang selama hidup
belum pernah terlihat olehnya.

Belum pernah terlihat kecantikannya, belum pernah


terlihat keanehan dandanannya. Pakaian yang
dikenakan sangat aneh, pakaian yang hanya separuh
bagian. Yang separuh bagian bukan baju yang di atas,
pun bukan separuh bagian yang ada dibawah.
Pakaian yang disebelah kanan dikenakan sangat rapi
sementara yang disebelah kiri justru telanjang bulat,
telinganya mengenakan anting anting besar, wajahnya
yang separuh berbedak dan bergincu, rambutnya pun
diberi tusuk konde bermutiara.

Tapi semuanya hanya dibagian kanan. Sementara di


bagian kirinya polos dan bugil, persis seperti bayi yang
baru dilahirkan. Tay Thian semakin terperangah.

Lama sekali ia berdiri termangu, kemudian buru


berpaling lagi memandang lukisan diatas dinding,
lukisan dengan tiga belas ekor burung aneh yang amat
cantik. Kali ini dia memperhatikan dengan lebih
seksama.

Akhirnya diapun menemukan hal yang sama atas


burung-burung aneh didalam lukisan itu... separuh
bagian bersayap kelelawar sementara separuh bagian
yang lain bersayap burung elang, separuh bagian
berbulu seperti merak sementara separuh bagian yang
lain berbulu burung hong.

Perempuan itu mulai tertawa.

Ketika tertawa, senyumannya nampak lembut


bagaikan hembusan angin dimusim semi, indah dan
cantik bagai sekuntum bunga, tapi mirip juga dengan
arus air sungai yang lembut dan tenang.
Namun kelopak matanya justru mendelong agak ke
dalam, pandangan matanya lebih dingin dari salju, lebih
tajam dari sembilu.

�Kakak tua berdarah,� suara bisikannya pun indah


bagaikan kicauan burung nuri.

�Kakak tua berdarah?�

�Betul, lantaran dia tercipta oleh tetesan darah


siluman iblis. Tiga belas ekor burung aneh yang terbang
mengelilinginya merupakan budaknya, karena itu
dinamakan Hiat-nu (budak darah)�

�Hiat-nu? Budak darah?� Tay Thian mencoba


menatapnya lebih tajam, �Kenapa kau
menggantungkan begitu banyak lukisan yang
menakutkan diatas dinding rumahmu?�

�Karena aku senang melihat orang ketakutan,� sahut


perempuan itu sambil tertawa merdu, �Ketakutan
merupakan sebuah rangsangan, seringkah' dapat
merangsang kaun lelaki hingga mendekati kalap.�

... Tampaknya dia sangat memahami sifat seorang


lelaki.

�Lantas apa pula yang dimaksud dengan kawanan


siluman iblis itu?�

�Mereka sedang merayakan ulang tahun raja iblis,�


perempuan itu menuding ke arah lelaki setengah umur
yang tampan itu, �dialah raja dari segala siluman iblis!�
�Masa raja iblis berwajah tampan?�

�Bagi pandangan kaum wanita, hanya lelaki yang


paling tampan pantas menjadi raja dari segala siluman
iblis.�

Kerlingan matanya mulai merayu, debar jantung Tay


Thian pun bertambah kencang.

�Seratus ribu siluman iblis dengan seratus ribu tetes


darah iblis menciptakan seekor burung, yaitu kakak tua
berdarah,� suara bisikannya semakin memabukkan,
semakin merangsang napsu, �Karena hanya dibutuhkan
sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh
empat tetes darah untuk mewujudkan kakak tua
berdarah maka sisanya yang seribu tiga ratus tetes
berubah menjadi ketiga belas budak darah itu.�

�Masih ada sisa yang tiga puluh enam tetes?�

�Tiga puluh enam tetes darah yang terakhir telah


berubah menjadi jarum.�

�Jarum?� seru Tay Thian terkesiap, �Jarum apa itu?�

�Jarum berwarna biru, jarum yang mampu membetot


sukma manusia dalam sekejap mata!�

�Jarum berwarna biru? Jarum pembetot sukma thiantee-


soh-hun-ciam?�

�Betul!�
Konon kawanan setan dan iblis yang menghuni
dalam alam baka tidak memiliki darah. Berita tersebut
sesungguhnya kurang tepat. Setan memang tidak
punya darah, tapi iblis mempunyai darah.

Darah iblis!

Konon suatu ketika, demi merayakan ulang tahun ke


seratus ribu tahun dari raja iblis nomor wahid, para iblis
dari langit timur dan kawanan iblis dari langit barat
sama-sama berkumpul di suatu tempat yang disebut �kilong-
ka-ka-bu.�

Tempat macam apakah Kilong kakabu itu? Konon


tempat itu merupakan dunianya kaum iblis, diatas tidak
ada langit, dibawah pun tidak ada bumi, yang ada
hanya angin, kabut, hawa dingin yang membeku dan
bara api yang panas.

Hari itu, para iblis telah merobek ujung jari sendiri,


dengan menggunakan darah iblis mereka yang
menetes keluar menciptakan seekor burung kakak tua,
kakak tua itu mereka persembahkan sebagai kado
ulang tahun.

Seratus ribu iblis dengan seratus ribu tetes darah iblis!

Konon kakak tua berdarah itu bukan saja dapat


menyingkap seluruh rahasia yang ada dilangit maupun
di bumi, lagipula dapat memenuhi tiga permintaan
orang. Asal kau dapat berjumpa dengannya,
menangkapnya, dia akan memenuhi tiga
permintaanmu.

Konon setiap tujuh tahun sekali, kakak tua berdarah


akan datang ke alam semesta, dan sekarang sudah
tujuh tahun lamanya semenjak terakhir kali kakak tua
berdarah itu munculkan diri.

�Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah akan


berkunjung satu kali ke alam semesta?� Tay Thian
meneguk secawan arak, �Konon dia pun akan
memenuhi tiga permintaanmu?�

�Benar, asal kau dapat berjumpa dengannya maka


dia pun akan memenuhi tiga buah permintaanmu.�

�Apa permintaan apa pun pasti akan terkabul?�

�Benar, semua permintaannya pasti akan terkabul.�

�Aku tidak percaya.�

�Kau tidak percaya?�

�Betul, itu mah Cuma dongeng, tidak mungkin ada


orang yang benar benar dapat bertemu.�

�Coba pandanganlah aku!� mendadak perempuan


itu berkata.

Memandangnya? Siapa takut? �Siapakah aku?�


�Kau? Tentu saja seorang wanita,� sahut Tay Thian
sambil tertawa, �Seorang wanita yang sangat cantik
dan menawan hati.�

�Coba perhatikan sekali lagi, perhatikan lebih


seksama, siapakah aku?� dari balik matanya yang
bening seolah memancar keluar jilatan api yang panas
membara, jilatan api yang memikat.

Ternyata Tay Thian sangat penurut, dia menghampiri


perempuan itu dan memandangnya dengan lebih
seksama.

�Siapakah aku?�
Tay Thian menghela napas panjang, �Aaai,
bagaimana pun kupandang, rasanya kau tetap seorang
wanita.�
�Benarkah?�
Tiba-tiba pandangan sinar api yang membara itu
padam seketika, yang muncul kini adalah kesenduan
dan kesedihan, semacam kesedihan yang tidak bisa
diungkap dengan ucapan.

.....Kesedihan yang tidak terungkap, bukankah jauh


lebih menggetarkan hati?

�Benarkah?� kembali perempuan itu mengulang


pertanyaannya hingga tiga kali, sementara air mata
tiba-tiba berlinang membasahi pipinya.
Tay Thian merasa hatinya jadi lemah.

.....Dari dulu hingga sekarang, lelaki mana yang bisa


tahan menyaksikan wanita melelehkan air mata?

Tay Thian kembali menghela napas, ditatapnya air


mata yang berlinang itu dengan termangu. Perempuan
itu tidak bicara lagi, hanya sepasang matanya masih
berkaca-kaca. Pandangan yang sendu, air mata yang
bening. Tay Thian merasa hatinya seolah-olah hampir
remuk, diapun hampir terbuai karena mabuk.

Biarpun air matanya meleleh, sorot matanya sama


sekali tidak berubah, matanya tidak berkedip, kelopak
matanya tidak bergerak, seakan semuanya sudah
berubah jadi kaku dan membeku. Ditengah pandangan
mata yang membeku, diantara air mata yang
menyilaukan, sekonyong-konyong muncul seseorang.

Yaa, seseorang!

Selama ini Tay Thian selalu mengawasi matanya, tentu


saja diapun dapat menyaksikan munculnya seseorang
dari balik biji matanya yang bening.

.....Seberapa besar matanya? Seberapa besar biji


matanya?

.....Seberapa besar pula manusia yang muncul dibalik


matanya yang bening? Yang ada dibalik matanya yang
bening sebetulnya hanya bayangan tubuh sendiri, tapi
sekarang, setelah kemunculan orang itu, bayangan
tubuh sendiri justru hilang entah ke mana.
Dengan ketajaman mata Tay Thian, dia pun tidak bisa
melihat jelas bayangan sendiri yang terpantul dibalik
matanya, tapi kemunculan orang tersebut justru dapat
terlihat olehnya dengan sangat jelas.

Wajah yang tampan dan lembut, kopiah putih


bagaikan kemala, dia memandang Tay Thian sambil
tersenyum.

Bukankah orang itu adalah lelaki setengah umur yang


berada pada lukisan diatas dinding?

Bukankah dia adalah lelaki yang sedang disembah


seratus ribu setan iblis, yang dikitari kakak tua berdarah?

Bukankah dia adalah raja diraja dari segenap setan


iblis yang ada di jagat ini? Raja iblis!

�Raja iblis!� Tay Thian berpekik kaget.

Bagaimana mungkin raja iblis itu bisa berjalan keluar


dari balik matanya yang sendu? Bagaimana mungkin
bisa terjadi peristiwa semacam ini?

Tay Thian tertegun, terperangah. Orang itu persis


sama seperti orang yang berada dalam lukisan dinding.
Raut muka wanita itu kembali berubah, berubah
bagaikan asap, berubah bagaikan kabut.

Orang yang muncul dari balik matanya pun seakan


ikut berubah...
Kini asap telah hilang, kabut pun telah buyar, ternyata
wanita itupun ikut lenyap dari pandangan mata.
Sementara �lelaki tampan itu� justru duduk di tempat
dimana perempuan itu duduk tadi. Akhirnya Tay Thian
dapat melihat jelas �diri� nya.

�Dia� berwajah putih bagai pualam, tangannya pun


sama putihnya, kini �dia� sedang tertawa, senyumannya
lembut tapi anggun.

�Raja iblis!� pekik Tay Thian gembira.

Berapa banyak manusia di dunia ini yang pernah


bertemu dengan raja iblis?

Tidak disangkal, dapat bertemu dengan raja iblis pun


merupakan semacam kebanggaan. Raja iblis sedang
tertawa.

Tay Thian menatapnya lekat-lekat, dia ingin


mengucapkan sesuatu tapi segera diurungkan, dia ingin
bertanya kepada raja iblis itu, �Kilong Kakabu
sebenarnya terletak dimana? Konon bila dapat bertemu
dengan kakak tua berdarah maka dia bisa mengajukan
tiga permintaan?

�Tim tahu, banyak pertanyaan yang ingin kau ajukan


kepadaku,� tampaknya raja iblis benar-benar dapat
membaca suara hatinya, dia berkata dengan suara
yang lembut bagai seorang wanita, tapi bernada keren
penuh kewibawaan.

Tanpa sadar Tay Thian mengangguk.


�Bukankah kau ingin mengetahui rahasia dari kakak
tua berdarah?� kembali raja iblis berkata sambil tertawa,
�Bukankah kaupun ingin tahu Kilongkakabu terletidak di
mana?�

�Benar.�

�Sekarang berdirilah, ikuti aku!� kata raja iblis sambil


bangkit berdiri.

Tanpa sadar Tay Thian bangkit berdiri.

Raja iblis membalikkan tubuh, berjalan menuju ke


lukisan diatas dinding. Terpaksa Tay Thian mengikutinya.

Selangkah demi selangkah akhirnya sampailah


didepan lukisan diatas dinding, namun raja iblis sama
sekali tidak menghentikan langkahnya, dia berjalan terus
menuju ke lukisan diatas dinding.

Tay Thian berdiri bodoh, berdiri mematung didepan


lukisan diatas dinding, dia bukan siluman iblis, juga bukan
raja iblis, mana mungkin bisa memasuki lukisan diatas
dinding?

�Mengapa kau tidak mengikuti tim masuk kemari?�


ternyata suara itu muncul dari balik lukisan diatas
dinding.

�Tapi... tapi disitu kan dinding tembok?�

�Kalau tim suruh kau masuk, kau masuk saja!�

�Baik!�
Terpaksa Tay Thian bulatkan hati dengan melangkah
masuk ke dalam dinding itu, ternyata kakinya dengan
gampang melangkah masuk ke balik dinding. Tay Thian
merasa girang bercampur tercengang, bagaimana
mungkin seluruh tubuhnya dapat memasuki dinding itu?

Kini seluruh tubuhnya sudah masuk ke dalam lukisan,


mula-mula dia merasa gelap kemudian terlihatlah
secercah cahaya, cahaya yang kabur, cahaya yang
redup, tidak diketahui bersumber dari mana?

Ada angin berhembus lewat, angin menggoyangkan


ujung baju Tay Thian. Angin yang sangat dingin, begitu
dingin sehingga terasa menyeramkan, tapi aneh,
tubuhnya sama sekali tidak merasa kedinginan.

Ada kabut, kabut yang putih dan tebal melayang


disekeliling tubuh Tay Thian, namun tebalnya kabut
ternyata sama sekali tidak menghalangi pandangan
matanya. Kembali Tay Thian melangkah maju ke depan.
Kini dia menyaksikan cahaya yang amat menyilaukan
mata. Cahaya api!

Jilatan api yang melayang datang, bagaikan


gulungan ombak muncul dari sisi kanan tubuhnya.
Tergopoh gopoh dia menyingkir ke samping kiri. Jilatan
api segera lenyap dari pandangan mata, kini yang
muncul adalah hawa dingin. Hawa dingin yang
membeku, hawa dingin yang menggulung bagaikan
ombak, menerjang ke arah tubuhnya.
Jilatan api berhenti ditengah ruangan, gulungan
hawa dinginpun berhenti ditengah ruangan, kini yang
tersisa hanya jalan selebar setengah depa. Melalui
jalanan seluas setengah depa itulah Tay Thian berjalan,
tanpa terasa dia tundukkan kepalanya memandang ke
arah bawah.

Dibawah pijakan kakinya ternyata tidak ada tanah,


tidak ada bumi. Tay Thian terkejut setengah mati, nyaris
dia terperosok jatuh ke bawah.

Apa akibatnya bila dia terperosok ke bawah? Tidak


terlukiskan dengan kata. Kini mati hidupnya hanya
bertumpu pada sepasang kakinya. Yang aneh, ternyata
dia tidak sampai terperosok ke bawah.

Diantara angin dan kabut, ditengah kobaran api dan


hawa dingin, ternyata muncul sebuah jalanan yang
tidak berwujud, dan sekarang dia sedang berjalan
menelusuri jalanan tidak berwujud itu.

Tay Thian menghembuskan napas dinding, dia


mendongakkan kepalanya, mencoba memperhatikan
bagian atas. Diatas tidak nampak langit, hanya hawa
dingin yang menggulung, jilatan api sedang terbang
menari, angin sedang menderu dan kabut menyelimuti
semua tempat.

Di manakah letak langit?

Di mana pula terletak bumi?


Di atas kepala tidak ada langit, dibawah kaki tidak
ada bumi, yang ada hanya angin dan kabut, hawa
dingin dan jilatan api.

Jangan-jangan tempat inilah yang disebut dunianya


kaum setan iblis? Jangan-jangan disinilah ke seratus ribu
iblis meneteskan darahnya untuk menciptakan seekor
burung kakak tua berdarah?

Jangan-jangan tempat inilah yang disebut Kilongkakabu?

Benarkah tempat ini adalah Kilong-kakabu? Tay Thian


berpekik didalam hati, tidak sepatah katapun sanggup
diucapkan keluar, pandangan matanya penuh
pancaran sinar gembira, tapi terselip juga pandangan
ngeri dan seram.

Baru pertama kali ini dia mendengar tentang kota


iblis, sebetulnya dia tidak percaya kalau dalam jagad ini
benar-benar terdapat sebuah tempat yang disebut
Kilongkakabu, tapi sekarang dia sudah hadir ditempat
tersebut, mau tidak percaya pun tidak mungkin.

Dengan penuh keheranan, tidak percaya, rasa ingin


tahu, dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu.

�Bluuup!� tiba-tiba segumpal kobaran api terjatuh


persis dihadapannya, jilatan api bagaikan bunga teratai
yang sedang mekar, dari balik jilatan api bagaikan
teratai yang sedang mekar itu mendadak berdiri
seseorang.
Bukan manusia, pun bukan hewan.

Tay Thian tidak dapat mengenali �manusia� yang


muncul dari balik kobaran api itu sebenarnya makhluk
apa. Seluruh tubuhnya bening tembus pandang, namun
tidak memiliki wujud yang pasti.

Kemudian dia mulai melihat dengan jelas tulang demi


tulang muncul dihadapan matanya, tulang rusuk, tulang
dada, setelah itu dari dada disebelah kiri muncul sebuah
jantung merah sebesar kepalan tangan.

Jantung manusia!

Jantung itu merah bagaikan tetesan darah, namun


tidak ada darah yang meleleh, seluruh tubuhnya dari
atas hingga ke bawah tidak nampak setetes darah pun.

Di dalam tubuh itu hanya ada sebuah jantung


manusia.

Baru saja Tay Thian akan periksa raut mukanya, jilatan


api bagai bunga teratai mekar itu sudah menutup
kembali, api itu berubah menjadi segumpal kobaran api
dan meluncur ke sisi kanan dimana lautan api berada.

Dengan cepat Tay Thian mengalihkan


pandangannya ke arah gumpalan api itu, mengikuti
gerakannya hingga mencebur ke lengah lautan api,
mendadak dia jumpai disana bukan hanya ada jilatan
api saja, ditengah api masih terdapat �manusia�,
�manusia� dalam jumlah yang tidak terhitung.
Dalam waktu singkat sekeliling tubuhnya sudah
dipenuhi oleh �manusia�, ada yang melayang mengikuti
hembusan angin, ada yang muncul dari balik kabut,
malah tidak terhitung jumlahnya mereka yang berada
hawa dingin yang menggulung.

Tidak diketahui berasal dari mana kemunculan orang-


orang itu, mereka seakan sudah lama berada disitu,
hanya sekarang baru menampilkan wujudnya.

Tay Thian tidak merasa asing dengan �Orang-orang�


itu, dia sudah pernah menjumpai lukisannya diatas
dinding ruangan dalam rumah bambu itu.

Mereka bukan �manusia�, mereka adalah siluman


iblis, berbagai macam iblis, pelbagai macam siluman.

Ada diantara mereka yang berbentuk setengah


manusia setengah hewan, ada yang bukan manusia
pun bukan hewan, ada yang berbentuk manusia tapi
bukan manusia, ada yang berbentuk hewan tapi justru
memiliki jantung manusia.

Ditengah hembusan angin, dibalik kabut, ditengah


lautan api, didalam bekunya hawa dingin, hampir
semuanya terlihat ada siluman iblis yang bermunculan.

Sebenarnya ada berapa banyak siluman iblis yang


berdatangan kali ini?
Mengapa mereka berkumpul di Kilongka-kabu? Apa
yang hendak mereka lakukan?

Apakah hari inipun hari ulang tahun raja iblis? Hadiah


apa pula yang akan mereka persembahkan kepada
raja iblis?

Ke mana perginya raja iblis?

Sekarang Tay Thian baru teringat akan raja iblis,


sementara kawanan siluman iblis itu telah lenyap dibalik
angin, kabut, panas dan dingin.

Begitu banyak siluman iblis yang tadi berkumpul disitu,


sekarang hampir semuanya telah lenyap, tak tertinggal
setengah pun.

Begitu kawanan siluman iblis itu lenyap tidak


berbekas, Tay Thian pun kembali berjumpa dengan raja
iblis.

Waktu itu raja iblis sedang berdiri didepan sana, ia


sedang menggapai ke arahnya.

Buru buru Tay Thian menyusul ke depan, namun tidak


pernah berhasil menyusulnya, betapa cepatnya dia lari,
iblis itu tetap berada di depannya.

Selama ini dia tidak pernah menyaksikan gerakan kaki


si raja iblis itu. Pada hakekatnya raja iblis itu bukan
bergerak dengan langkah kakinya, tapi melayang
diantara hembusan angin dan lapisan kabut.
Entah sudah berapa lama mereka berlarian, entah
sudah berapa jauh mereka pergi, sepanjang jalan
hanya angin, kabut, api dan hawa dingin yang
menyelimuti sekelilingnya.

Betapapun baiknya sifat sabar yang dimiliki Tay Thian,


tidak urung dia mulai gelisah, baru saja ingin bertanya
masih berapa jauh dan akan pergi ke mana mereka
berdua, mendadak si raja iblis yang berada didepan
sudah lenyap tidak berbekas.

Baru saja dia ingin mencegah kepergian raja iblis itu,


tahu-tahu hawa yang dingin disisi tubuhnya telah
berubah jadi tebing yang tinggi lagi curam.

Kobaran api yang membara pun berubah jadi


dinding api yang sangat tinggi.

Dari balik dinding api dan dinding salju itulah


kawanan siluman iblis kembali menampakkan diri,
berdiri berbanjar dengan wajah serius.

Sebuah bangunan istana yang megah hampir


bersamaan waktu muncul dihadapan mukanya.

Bangunan istana itu seakan melayang turun dari


dunia luar, seakan akan mengambang ditengah angin
dan awan.

Tay Thian berdiri terbelalak, mulutnya melongo, disaat


dia masih dicekam perasaan heran bercampur kaget,
terdengarlah suara rentetan bunyi keleningan yang
merdu.
Suara keleningan itu datang dari tempat yang jauh,
kemudian tampak tiga belas ekor burung aneh terbang
melintasi lautan api dan terbang sambil melayang di
angkasa.

Burung aneh yang sangat indah dengan bulu dari


merak, sayap dari kelelawar, ekor dari burung walet,
jarum beracun dari lebah, separuh bersayap elang,
setengah bersayap kelelawar, setengah berbulu merak
setengahnya lagi berbulu burung hong.

Komposisi warna pun sangat serasi dan segar, sebuah


keindahan yang luar biasa, sebuah keanehan yang luar
biasa.

Pada leher setiap burung tergantung sebuah


keleningan, suara keleningan yang aneh dan khas
seakan ingin membetot sukma semua yang
mendengarnya.

Sukma Tay Thian tidak sampai terbetot oleh suara itu,


tapi keadaannya sekarang tidak beda dengan orang
yang kehilangan nyawa.

Sebenarnya dia tidak percaya ada burung seaneh


itu, karena di dunia ini tidak pernah terdapat burung
sedemikian anehnya, belum pernah dia saksikan burung
semacam ini. Tapi sekarang, mau tidak mau dia harus
mempercayainya.
Dia bahkan mulai curiga dengan mata sendiri, apa
mau dikata sepasang matanya justru tidak pernah
berpenyakitan.

Pada hakekatnya burung seaneh ini tidak mungkin


berasal dari alam dunia.

... Tempat tersebut, pada hakekatnya juga bukan


alam dunia.

Burung aneh itu sebetulnya memang milik istana iblis,


tercipta oleh darah iblis.

..... Seratus ribu iblis sakti, seratus ribu tetes darah iblis,
tercipta seekor kakak tua berdarah, karena dalam
kenyataan hanya membutuhkan sembilan puluh
delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes, maka
sisanya yang seribu tiga ratus tetes terwujud menjadi tiga
belas ekor burung iblis.

Tiga belas ekor burung yang menjadi budaknya kakak


tua berdarah.

Budak darah!

...... Masih ada sisa tiga puluh enam tetes, membeku


dan berubah menjadi tiga puluh enam batang jarum.

Jarum pembetot sukma Thian-tee-soh-hun-ciam!

Tiga belas ekor budak darah beterbangan


dihadapan Tay Thian, sekonyong-konyong mereka
berkumpul jadi satu, dalam waktu singkat...�Ting, tang!�
kembali suara keleningan berbunyi, ketiga belas ekor
burung budak darah itu segera menyebar ke empat
penjuru dan terbang balik ke arah asalnya.

Kobaran api yang dilewati burung burung itu segera


membara dan menjilat makin tinggi, bunga api meletup
dan menyebar kemana-mana.

Bunga api yang meletup memancarkan tujuh warna,


merah bagaikan lelehan darah.

Diseluruh angkasa pun tersebar selapis hujan darah


yang menyeramkan.

Hujan darah itu menyebar kemana-mana, sebagian


ada yang menodai tubuh Tay Thian, tapi begitu
menyebar, hujan darah itupun kembali lenyap tidak
berbekas, anehnya, darah yang menodai pakaiannya
ikut lenyap tidak berbekas.

Tay Thian semakin termangu, semakin berdiri bodoh.

Ditengah ledakan bunga api, tiba-tiba muncul seekor


burung kakak tua, kakak tua berwarna merah darah.

Itulah kakak tua berdarah!

Bulu yang berwarna merah, paruh dan cakar yang


berwarna merah, sepasang mata pun berwarna merah
darah.
Dari sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam
puluh empat tetes darah iblis yang terwujud menjadi
seekor burung kakak tua, burung kakak tua berdarah.

Mengawasi kakak tua berdarah itu, tidak kuasa lagi


Tay Thian mendecak kagum.

Saat itulah dia mulai mendengar suara tertawa, suara


tertawa yang aneh, jelas suara tertawa manusia.

Suara tertawa itu berasal dari arah depan, padahal


disitu tidak ada seorang manusia pun, dihadapannya
hanya ada tiga belas budak darah dan seekor kakak
tua berdarah.

Ternyata suara tertawa itu berasal dari burung kakak


tua berdarah.

Suara tertawa kakaktua berdarah, sama persis seperti


suara tertawa manusia.

Dibalik suara tertawanya, penuh diliputi hawa sesat,


hawa siluman yang sangat aneh.

Tidak kuasa lagi seluruh tubuh Tay Thian berubah jadi


dingin membeku, hawa dingin yang tajam bagai
tusukan jarum timbul dari belakang punggungnya,
menembusi tulang belulangnya, menembus hingga ke
tulang sumsum, menembusi ulu hatinya.

Suatu perasaan ngeri yang membingungkan tiba-tiba


muncul dari dasar hatinya dan menyebar luas kemanamana.
Dia mulai merasakan tubuhnya gemetar, bulu
kuduknya pada bangun berdiri, meski begitu, kakinya
tetap berdiri tegap di posisi semula.

.....Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah selalu


berkunjung satu kali ke alam dunia, setiap kali datang
dia selalu akan meluluskan tiga permintaan.

..... Asal kau adalah orang pertama yang bertemu


dengannya, maka tiga buah permintaanmu pasti akan
terkabulkan.

..... Apa pun permintaanmu, pasti akan terwujud


menjadi kenyataan.

Sekarang dia telah bertemu dengan kakak tua


berdarah, permintaan apa yang akan diajukan?

Permintaan pertama, dia berharap bisa hidup terus


tanpa pernah tua, lalu apa permintaan yang kedua?

Tay Thian tertawa, disaat senyuman mulai muncul dan


menghiasi ujung bibirnya, mendadak suara tertawa
yang sesat itu berhenti seketika.

Kakak tua berdarah dengan matanya yang merah


membara sedang menatap wajahnya. �Tay Thian!�

Ternyata dia mampu mengucapkan perkataan


manusia, ternyata dia sanggup memanggilnya sebagai
�Tay Thian�.
�Kakak tua berdarah?� bisik Tay Thian dengan bibir
gemetar.

Dalam keadaan begini, ternyata dia masih sanggup


berbicara, bahkan dia sendiripun merasa keheranan.

Dia tidak tahu, suara sendiri justru telah berubah jadi


begitu tidak sedap di dengar, boleh dibilang sama sekali
tidak mirip suara manusia.

Sekali lagi kakak tua berdarah itu tertawa. Tay Thian


pun ikut tertawa, tertawa getir.

�Konon kau akan mengabulkan tiga permintaan yang


diajukan?�

�Lantas apa permintaanmu?�

�Permintaanku yang pertama, aku ingin mengetahui


rahasiamu.�

Begitu perkataan itu diucapkan, Tay Thian segera


merasa amat menyesal.

Kembali suara tertawa burung kakak tua berdarah itu


berkumandang, kali ini suara tertawanya lebih tajam
melengking, lebih menusuk pendengaran, dibalik suara
tertawanya penuh terkandung hawa sesat, penuh
mengandung sindiran.

Seratus ribu siluman iblis yang berdiri berjajar diatas


lautan api dan dinding salju seakan ikut tertawa, tertawa
tergelak, tertawa bersama.
Bisa dibayangkan bagaimana suasananya ketika
ada seratus ribu siluman iblis tertawa bersama......

Jangan lagi siluman iblis, suara tertawa seratus ribu


manusia pun sudah cukup menggetarkan seluruh langit
dan bumi.

Disini tidak ada langit, juga tidak ada bumi.

Disaat ke seratus ribu siluman iblis itu mulai tertawa,


tiba-tiba kakak tua berdarah itu lenyap tidak berbekas,
tiga belas budak darah pun ikut lenyap entah ke mana.

Dari balik dinding api dan salju, dari balik angin dan
kabut bermunculan seratus ribu bilah golok iblis, golok
lengkung yang memantulkan cahaya aneh.

Golok itu berada ditangan para siluman iblis.

Mereka menggenggam golok sambil menengadah


ke atas, wajahnya yang aneh tersisip keseriusan yang
luar biasa.

Mengikuti arah yang dipandang, Tay Thian turut


menengadah, lagi-lagi dia melihat kemunculan Raja
iblis.

Raja iblis yang muncul kali ini jauh berbeda dengan


kemunculannya tadi, kini dia berubah jadi tinggi besar,
paling tidak ketinggiannya mencapai tiga meter.

Wajahnya masih tetap tampan seperti tadi, masih


tetap lembut dan ramah.
Serentetan bunyi irama musik yang aneh mendadak
bergema, serentak kawanan siluman iblis yang
menggenggam golok ditangan kanan, mengacungkan
jari tengah tangan kirinya ke depan, wajah mereka
bertambah serius.

Terlihat cahaya golok berkelebat, hujan darah


kembali memercik kemana-mana.

Seratus ribu bilah golok iblis memotong diatas seratus


ribu jari tangan, seratus ribu tetes darah iblis memercik
ditengah cahaya golok dan secepat kilat meluncur ke
arah raja iblis, terhimpun jadi satu persis dihadapannya.

Setetes menggumpal dengan tetesan yang lain, tetes


demi tetes terkumpul jadi satu, sembilan puluh delapan
ribu enam ratus enam puluh empat tetes darah iblis
menggumpal jadi satu dan terwujudlah kakak tua
berdarah.

Seribu dua ratus tetes berubah menjadi tiga belas


budak darah.

Sekali lagi kakak tua berdarah menampakkan diri,


diiringi budak-budak darah disisi kiri kanannya.

..... Beginikah pemandangan yang pernah terjadi di


hari ulang tahun raja iblis waktu itu?

Sekali lagi cahaya golok berkelebat, seratus ribu golok


iblis hilang lenyap di balik kabut yang tebal. Irama musim
yang aneh pun ikut sirna, bersama lenyapnya raja iblis
yang berapa depa tingginya.
Dua belas budak darah masih beterbangan mengitari
tuannya, sementara burung kakak tua berdarah kembali
tertawa, nada sindiran semakin tebal terkandung dalam
suara tertawanya.

�Inilah rahasia ku!�

Walaupun dapat berbicara namun dia tidak


pergunakan kata lain untuk menjabarkan lebih jauh, dia
hanya mengulang kejadian yang berlangsung disaat
raja iblis merayakan ulang tahunnya yang ke seratus
ribu.

Menggunakan kenyataan untuk menjawab


pertanyaan Tay Thian, menggunakan kenyataan untuk
memenuhi permintaan Tay Thian.

Hampir saja Tay Thian menendang diri sendiri


kemudian ditambah dengan seratus ribu tempelengan
diatas wajah sendiri.

Paling tidak rahasia burung kakak tua berdarah


pernah dilihatnya dari lukisan yang tertera di dinding
rumah bambu, sekalipun sebelumnya dia mengira itu
hanya sebuah lukisan biasa, sebuah dongeng.

Sebab dia belum pernah berkunjung ke


Kilongkakabun, diapun belum pernah bersua raja iblis,
tapi sekarang dia pernah berkunjung ke Kilongkakabun,
diapun telah berjumpa dengan raja iblis.

Jelas mereka bukan makhluk manusia yang hidup di


alam semesta. Bila mereka semua terwujud sebagai
sebuah kenyataan, mana mungkin rahasia kakak tua
berdarah hanya cerita isapan jempol?

Dia sudah tahu dengan jelas rahasia dari kakak tua


berdarah, buat apa harus menanyakan lagi rahasia
kakak tua berdarah? Bahkan telah menggunakan
permintaannya yang pertama dari tiga permintaan
yang dimiliki, bukankah perbuatannya sangat
menggelikan?

Bukan Cuma menggelikan, bahkan teramat tolol,


teramat goblok dan boros?

�Apa permintaanmu yang kedua?�

Kali ini dia tidak boleh goblok lagi. Tay Thian mulai
berpikir, walaupun dia masih muda, suatu ketika tentu
akan berangkat tua dan akhirnya mati, kenapa tidak
menggunakan kesempatan ini dia memohon kehidupan
yang kekal dan tidak pernah tua?

Ingatan tersebut segera dihapus kembali oleh Tay


Thian, dia tahu raja iblis pasti berharap bisa
mendatangkan musibah dan bencana bagi umat
manusia, permintaan yang bisa dipenuhi kakak tua
berdarah pun pasti hal hal yang bisa mendatangkan
bencana dan ketidak beruntungan.

Lantas permintaan apa yang harus diajukan?

Perkumpulan Cing Liong Hwee sudah berdiri sejak


ratusan tahun berselang, tapi belum pernah ada
seorang manusia pun yang tahu organisasi macam
apakah itu, juga tidak pernah ada orang yang tahu
siapa pemimpin perkumpulan naga hijau itu.

Perselisihan Nyoo Cing dengan perkumpulan naga


hijau sudah berlangsung hampir dua puluh tahun,
banyak korban telah tewas gara-gara perseteruan itu,
bukankah kedatangannya ke rumah bambu kali ini pun
bertujuan untuk itu?

Tampaknya yang bisa mengungkap rahasia Cing


Liong Hwee saat ini hanya raja iblis dan kakak tua
berdarah.

Dikemudian hari, sudah pasti dia tidak akan


menjumpai kesempatan lagi untuk berkunjung ke
Kilongkakabu, diapun tidak akan mempunyai peluang
untuk bertemu lagi dengan burung kakaktua berdarah.

Sekarang merupakan satu satunya kesempatan


baginya, satu-satunya kesempatan untuk menyingkap
rahasia Cing Liong Hwee.

�Permintaanku yang kedua adalah ingin tahu siapa


pemimpin perkumpulan Cing Liong Hwee? Organisasi
macam apakah itu?�

Baru selesai dia berkata, kali ini yang tertegun justru


burung kakak tua berdarah.

Menyaksikan reaksi yang begitu aneh, Tay Thian


segera menegur, �Bagaimana? Kau tidak bisa
penuhi permintaanku?�
�Bisa!�

�Asal bisa, itu lebih dari cukup, kenapa kau kelihatan


melengak?� kata Tay Thian sambil tertawa.

�Aku hanya merasa keheranan.�

�Apa yang kau herankan?�

�Setiap orang selalu ingin awet muda dan tidak bisa


mati, bisa memiliki uang dan kekayaan yang tidak
pernah habis digunakan, kini kau telah memperoleh
peluang ini, kenapa tidak kau pergunakan?�

�Sebab aku tak ingin satu barisan dengan bencana


dan ketidak beruntungan.�

�Ternyata kau adalah seorang yang pintar.�

�Boleh juga.�
Mendadak kakak tua berdarah tertawa tergelak,
sambil tertawa dia membalikkan tubuh seraya berseru,
�Ikut aku!�

Angin menderu deru, kabut melayang diatas


permukaan, jilatan api mulai membara, dinding salju
yang membeku kembali menjulang tinggi.

Burung kakak tua berdarah langsung terbang menuju


istana iblis, siluman iblis yang berdiri serius di kedua sisi
jalan tiba-tiba hilang tidak berbekas.

Kini Tay Thian sudah berada di muka istana iblis.


Begitu tiba disitu, tiga belas budak darah pun ikut
lenyap, sementara raja iblis entah sudah berada
dimana.

�Kau naiklah hingga ke puncak altar, setelah tiba


disana kau akan menyaksikan sebuah samudra, disisi
samudra terdapat sebuah sampan, sampan itu akan
membawamu pergi.�

�Kenapa aku harus pergi?� tanya Tay Thian.

�Bukan suruh kau pergi, sampan itu hanya akan


menghantarmu ke suatu tempat.�

�Tempat apa?�

�Sebuah tempat yang bisa memenuhi permintaanmu


kedua.�

Begitu selesai bicara, kakak tua berdarah itupun


berubah jadi segumpal bara api dan lenyap dari
pandangan.

Tay Thian segera menaiki anak tangga, tiba dipuncak


altar dia pun menyaksikan sebuah samudra, anehnya air
samudra tidak berwarna biru, juga tidak hijau tapi
berwarna merah, merah bagaikan bara api.

Tay Thian mulai mencari sampan yang dimaksud, tapi


disitu tidak ada sampan, yang ada hanya sebuah rakit
yang terbuat dari kayu.
Apakah rakit kayu ini sanggup membawanya
menyeberangi samudra api? Rakit itu akan
membawanya kemana? Bertemu dengan siapa?

Tay Thian tidak membuang waktu lagi, dia bersiapsiap


melompat ke atas rakit itu.

Apa yang bakal terjadi setelah dia melompat ke atas


rakit? Apakah dia akan tercebur ke dalam luutan api?

Seandainya dia benar benar tercebur ke dalam


lautan api, apa yang kemudian akan terjadi? Apa yang
bakal dialaminya?

BAB 5
Jurus pedang ke lima belas.
Sampan iblis masih mengapung.

Tay Thian tidak ragu ragu lagi, dengan satu lompatan


dia meluncur ke atas rakit itu.

Dia telah melompat dengan menggunakan segenap


tenaga yang dimilikinya.........

Pada saat itulah mendadak Dia mendengar


seseorang berteriak nyaring, suara dari seseorang yang
terasa amat asing, tapi juga seperti amat dikenalnya,
suara itu seolah datang dari tempat yang jauh.
�Bahaya!�

Menyusul kemudian dia melihat datangnya sebuah


cambuk panjang, muncul dari belakang tubuhnya dan
langsung melilit pinggangnya.

Begitu cambuk itu melilit di pinggang, tubuhnya yang


sedang melompat pun berhasil melayang turun diujung
altar.

Menyusul kemudian batok kepalanya serasa


menumbuk sebuah benda secara keras, �duuuk!� dan
dia pun tidak sadarkan diri.

Suasana amat gelap, sejauh mata memandang


hanya kegelapan yang mencekam.

Dari balik kegelapan seolah terdengar ada suara,


seolah ada pula setitik cahaya.

Semua suara, semua cahaya seolah-olah berasal dari


tempat yang sangat jauh, seolah-olah pula berasal dari
sisi telinganya.

Dia mendengar seakan ada suara wanita, diapun


merasa cahaya itu seolah berasal dari bara api yang
menyala.

Suara itu seperti berasal dari atas langit, mengalun


dan menggema mengikuti hembusan angin.

Cahaya api itupun seolah sedang berkedip, seakan


akan sedang meronta-ronta...
Semuanya, segala sesuatunya seakan berasal dari
tempat yang begitu jauh, tapi seolah tampak begitu
jelas dan nyata.

Tay Thian sekuat tenaga gelengkan kepalanya


berulang kali.

Gelengan kepalanya bukan saja tidak berhasil


membuang semua penderitaan dan siksaan karena hal
yang maya, sebaliknya malah menambah kenyataan
yang terpampang didepan mata.

Gema suara yang mendengung terdengar makin


keras, cahaya yang memancar terasa makin menusuk
pandangan mata.

Buru buru Tay Thian pejamkan matanya rapat rapat,


selang berapa saat kemudian dia baru membuka
kembali matanya, membukanya perlahan-lahan.

Begitu dia membuka matanya, lagi-lagi terlihat lautan


api terbentang didepan mata.

Lautan api itu tiada ujung tiada pangkal, lautan api


itu seolah tiada bertepian... tapi aneh, ternyata lautan
itu memiliki ujung akhir.

Ujung akhir dari lautan api itu adalah ranjang, ranjang


yang terletak didekat jendela. Lautan api yang
membara ternyata berada diatas ranjang itu. Bagian
tengah ranjang itu sudah retak terbelah, bara api itu
muncul dari bagian ranjang yang retak.
Tay Thian menjumpai tubuhnya sedang berada diatas
lantai, persis disisi ranjang.

Dia berdiri disudut ranjang, menghadap ke arah


pembaringan, berhadapan langsung dengan lautan api
yang berada ditengah ranjang, sementara sebuah
cambuk panjang melilit dipinggangnya.

Tay Thian segera berpaling.

Begitu berpaling, dia pun menyaksikan kembali


Kilongkakabu, lukisan Kilongkakabu yang tergantung
diatas dinding ruangan.

Didepan lukisan dinding terdapat sebuah meja, meja


yang pernah diduduki sebelum memasuki kerajaan iblis
tadi.

Diatas meja masih ada arak, enam botol arak, ada


pula hidangan sayur, enam macam hidangan sayur.

Disamping meja terlihat pula seseorang. Seorang


gadis yang masih sangat muda!

Gadis itu telanjang disisi kirinya dan berpakaian indah


disisi kanannya, dia tidak lain adalah gadis yang
menerangkan soal burung kakak tua berdarah
kepadanya tadi.

Wajahnya masih tampak cantik, sebuah kecantikan


yang sangat aneh, tapi sekarang rasa takut dan ngeri
sudah menyelimuti wajahnya.
Apa yang dia takuti? Apa yang membuatnya ngeri?

Pandangan matanya bukan tertuju ke wajah Tay


Thian, melainkan terarah ke depan pintu sana. Dengan
perasaan sangsi bercampur ingin tahu Tay Thian
berpaling ke arah pintu. Ternyata seseorang berdiri di
depan pintu.

Seseorang yang berdiri sambil memegang cambuk


panjang, ujung cambuk tidak lain adalah cambuk yang
melilit di pinggang Tay Thian.

Saat itu, orang tersebut sedang tertawa, tertawa


keras.

�Ui sauya?� seakan tidak percaya Tay Thian berseru.

�Rasanya betul!� jawab Ui sauya sambil tertawa,


�Rasanya aku memang Ui sauya.�

�Kenapa kau bisa berada disini?�

�Seharusnya saat seperti ini aku sedang berada di


rumah sambil menikmati arak Li-ji-ang,� ujar Ui sauya
sambil menghela napas, �Tapi ada seseorang justru ingin
terjun ke tengah lautan api, coba bayangkan sendiri,
mana mungkin aku bisa menikmati arak dengan
perasaan lega?�

Tay Thian mengawasi jilatan api ditengah ranjang,


kemudian memandang pula cambuk yang melilit
dipinggangnya, tiba-tiba saja dia tersadar kembali.
Rupanya orang yang hendak terjun ke dalam api
tidak lain adalah dirinya.

Tapi, bukankah dia sedang berada di dalam kerajaan


iblis? Bukankah dia sedang berada di Kilongkakabu?
Kenapa secara tiba- tiba bisa muncul kembali dalam
rumah bambu? Tay Thian berpaling, mengawasi si nona
yang berada disamping meja, kemudian
memperhatikan pula enam botol arak yang tersedia
diatas meja.

�Arak itu memang arak kwalitas bagus!� ujar Ui sauya,


�Lagipula terhitung arak Tiok-yap-cing kelas satu, hanya
sayangnya, dalam arak bagus itu telah dicampur
dengan sedikit bubuk.

�Opium?� tanya Tay Thian.

�Rasanya begitu,� sahut Ui sauya, �Paling tidak bubuk


sebangsa itulah.�

�Aaah! Rupanya begitu...� tiba-tiba saja Tay Thian jadi


paham, paham sekali.

Ternyata apa yang dilihat, apa yang dirasakan, apa


yang diperbuat barusan tidak lebih hanya sebuah ilusi,
semua khayalan yang tercipta dalam benaknya sendiri,
tercipta karena terpengaruh lukisan �setan� yang
terpampang diatas dinding ruangan.

Semuanya yang telah terlihat, raja iblis, burung kakak


tua berdarah, budak darah, tiga permintaan, kerajaan
iblis Kilongkakabu, semuanya hanya ilusi, semuanya
hanya khayalan, semuanya kosong... kosong...

Semua khayalan dan ilusi itu timbul karena dia sudah


meneguk arak �wangi� yang tersedia diatas meja,
karena campuran bubuk opium yang ada dalam arak.

Kobaran api ditengah ranjang benar-benar sangat


besar dan membara.

Seandainya Ui sauya tidak datang tepat waktu,


seandainya dia sudah melompat ke dalam lautan api
itu, bisa dibayangkan apa akibat yang harus dialaminya.

Mati! Mati terbakar!

�Jadi kau adalah budak darah?� Tay Thian menegur.

�Benar!� ternyata gadis itu mengakuinya. �Budak


darah dari burung kakak tua berdarah?�

�Bukan!� ternyata suara itu muncul dari balik lukisan


yang tergantung diatas dinding ruangan.

�Tentu saja dia adalah budak darahmu!� seru Ui


sauya sambil tertawa, �Bila dia menjadi budak darahku,
sudah pasti aku yang tidak tahan, dapat kupastikan,
saat itu topi yang kukenakan pasti tidak akan berwarna
lain kecuali topi warna hijau!�

Gadis itu tidak dapat menahan diri, ternyata dia


tertawa cekikikan, tertawa geli.
�Bagus,� kembali suara dari balik lukisan itu bergema,
�Kau memang tidak malu disebut Ui sauya!�

�Masih untung aku adalah Ui sauya, coba berganti


orang lain, pasti akan dibuat ketakutan setengah mati
oleh sandiwara kalian yang begitu menyeramkan,
tanggung saat itu aku sudah berubah jadi si kura-kura
Ui.�

Bicara sampai disitu kembali dia menggetarkan


tangannya, cambuk itu segera balik kembali ke
tangannya.

Begitu lilitan cambuk dipinggangnya terlepas, Tay


Thian pun segera membenarkan posisi berdirinya.

�Kura-kura selalu menyembunyikan kepalanya, takut


bertemu orang,� kata Ui sauya lagi, �Hey, apakah
kaupun seekor kura-kura?�

Tiada jawaban.

Tiba-tiba persis ditengah lukisan yang terpampang


diatas dinding ruangan itu terbelah jadi dua dan muncul
sebuah pintu rahasia, dari balik ruang rahasia muncul
seseorang.

Senyuman menghiasi wajah orang itu, senyuman


yang angkuh...

Orang itu mengenakan pakaian panjang berwarna


hijau, sepatunya hijau bahkan pita pengikat
rambutnyajuga berwarna hijau.
Tangan kanannya sedang membenahi rambutnya
yang agak kusut, sementara tangan kirinya terkulai lurus
ke bawah, kosong, tidak berisi.

Ternyata dia tidak memiliki tangan kiri, tangan kirinya


kosong...

Rupanya dia adalah seorang berlengan tunggal.

Begitu munculkan diri, orang itu menatap Tay Thian


sambil berkata, �Kau tidak menyangka kalau aku
bukan?�

�Benar,� Tay Thian menghela napas panjang, �Biar


dipukul sampai mampus pun aku tidak akan percaya
kalau yang muncul adalah kau.�

�Padahal sejak hilangnya kait perpisahan disusul


kematian dari Lo Kay-sian, seharusnya kau sudah
teringat akan diriku.�

Tiba-tiba dia terbatuk-batuk, batuk dengan suara


keras, menanti napasnya teratur kembali dia baru
melanjutkan, �Manusia mana yang bisa lolos dari
kematian bila Ti Cing-ling menginginkan kematiannya?�

�Walaupun kau tidak sampai mampus, tapi harga


yang harus kau bayar pun tidak terhitung kecil,� kata
Tay Thian, �Kau harus kehilangan tangan kirimu!�

�Jika ingin menjadi seorang jagoan yang hebat, kau


harus bayar dengan suatu nilai yang pantas, apa artinya
kehilangan sebuah lengan kiri?�
�Kalau memang tidak berarti apa-apa, buat apa
harus kau lakukan?� sela Ui sauya sambil tertawa, �Ing
Bu-ok, kau anggap pengorbanan mu itu sudah pantas?�

Ternyata orang yang barusan muncul dari balik lukisan


dinding itu tidak lain adalah Ing Bu-ok.

�Demi perkumpulan Cing Liong Hwee, tidak ada


perkataan pantas atau tidak,� jawab Ing Bu-ok cepat.

�Bagus! Sungguh beruntung perkumpulan Cing Liong


Hwee memiliki seorang jagoan macam kau, juga tidak
menyesal Ti Cing-ling hanya memotong sebuah

lenganmu.�
Perkataan macam apakah itu? Mungkin hanya Ui
sauya seorang yang berani mengucapkan kata-kata
seperti itu.
Sebuah perkataan yang mengandung maksud
mendalam. Perkataan semacam ini mungkin hanya
manusia segolongan Ing Bu-ok yang memahami artinya.
Jelas perkataan itu mengandung sindiran.

Tentu saja Ing Bu-ok mengerti maksud perkataan itu,


tapi dia tak ambil perduli.

.... Ketika seseorang sudah menjadi budak, sudah


menjadi orang bawahan, kebanyakan mereka sudah
terbiasa menghadapi kata kata sindiran semacam itu.

Mau tak mau mereka harus membiasakan diri,


seseorang yang sudah terbiasa menjadi seorang budak,
sudah terbiasa menjadi kaki tangan orang, mana
mungkin dia akan terbiasa dengan kebiasaan seorang
�manusia�?

Ing Bu-ok mulai tertawa dingin, dia memang hanya


bisa tertawa dingin.

�Jika kepandaian silatmu dapat setajam dan sehebat


perkataanmu, aku pasti akan takluk kepadamu!�
ujarnya ketus.

�Aku tidak berharap kau tunduk kepadaku,� Ui Sauya


tetap tertawa, �Aku hanya ingin mengikatmu diatas
garpu besi kemudian memanggang tubuhmu diatas
kobaran api itu.�

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, �Aku


jadi ingin merasakan bagaimana rasanya panggangan
seseorang yang sudah menjadi anjing kaki tangan orang
lain.�

�Pasti tidak enak rasanya, baunya pun pasti busuk!�


seru Tay Thian segera.

�Aku tahu, tapi aku tetap ingin tahu, terlebih ingin


mendengar kaingan anjing yang sedang dipanggang
diatas api.�

�Seandainya kau datang terlambat selangkah saja,


kujamin kau pasti akan mendengar suara itu,� kata Ing
Bu-ok sambil melirik Tay Thian sekejap, �Kau pasti dapat
menyaksikan adegan tersebut!�
�Waaah lain, sudah pasti lain!� seru Ui sauya lagi,
�Mana mungkin jeritan manusia bisa dibandingkan
dengan kaingan anjing?�

Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya,


�Kalau manusia yang dipanggang, itu kejam namanya,
kelewat sadis, tapi kalau anjing yang dipanggang, aku
mah bilang pantas dan sudah seharusnya!�

Saat itu seharusnya fajar telah menyingsing.

Tapi suasana fajar tidak dapat dirasakan didalam


rumah, sebab semua pintu dan jendela berada dalam

keadaan tertutup rapat, didalam ruangan itu hanya ada


lampu lentera.
Cahaya lentera yang menerangi seluruh ruangan.
Kecuali cahaya lentera, kini pun muncul cahaya
lainnya, cahaya yang menyilaukan mata. Cahaya
pedang!
Sebilah pedang yang panjang lagi sempit, dari ujung
pedang memancarkan cahaya ke biru-biruan.

Tampak cahaya tajam berputar kemudian terbias


bunga pedang yang bergetar, tahu-tahu Ing Bu-ok
sudah melintangkan pedangnya di depan dada.

Cahaya pedang berkilauan, sinar mata Ing Bu-ok pun


ikut berkilauan.

Berkilau seperti cahaya pedang.


�Sudah hampir dua puluh tahun pedang ini tidak
pernah keluar dari sarungnya,� ujar Ing Bu-ok sambil
menatap pedangnya, �Aku berharap hari ini dia dapat
menyantap sebuah hidangan yang teramat lezat.�

�Tidak mungkin hidangan yang lezat,� kata Ui sauya,


�Sejak dulu, daging anjing begundal selalu kecut dan
masam rasanya, terlebih darahnya, pasti teramat
busuk.�

�Aaai!� Ing Bu-ok menghela napas panjang, cahaya


pedang kembali berputar.

�Walaupun lenganku buntung sebelah, tapi dengan


cepat kalian akan tahu dimana letak kelebihan yang
dimiliki si tangan buntung,� ujar Ing Bu-ok sambil
menatap Ui Sauya.

Ketika dua jago lihay saling bertarung, seringkah


menang kalah ditentukan dalam satu gebrakan, tentu
saja satu gebrakan yang dimaksud belum tentu akan
terjadi pada jurus yang pertama, mungkin saja jurus ke
berapa puluh bahkan beratus-ratus gebrakan kemudian.

Sekarang mereka sudah bertarung hampir lima puluh


jurus, Ing Bu-ok melancarkan tiga puluh tujuh jurus
sementara Ui sauya membalas tiga belas jurus.

Dia memang tidak ingin menyelesaikan pertarungan


itu secara terburu-buru, dia ingin tahu sejauh mana
kehebatan jurus pedang yang dimiliki Ing Bu-ok, terlebih
ingin tahu sampai dimana �kelebihan� yang dimiliki
lengan buntungnya.

Tampaknya Ing Bu-ok pun menyadari akan hal ini,


maka dia tidak melancarkan serangan dengan sepenuh
tenaga, dia sendiripun hanya menggunakan jurus
serangan yang sederhana untuk menghadapi ancaman
lawan.

Tay Thian tidak berpeluk tangan, ketika Ing Bu-ok


mulai melancarkan serangan, dia sendiripun sudah
terlibat dalam pertarungan sengit melawan gadis aneh
itu.

Jangan dilihat perawakan tubuh gadis itu lembut,


ramping dan menawan, begitu melancarkan serangan,
Tay Thian mulai keteteran dan sedikit tidak tahan
menghadapi gempurannya.

Sebagaimana diketahui, pakaian yang dikenakan


terbelah setengah, waktu tidak bergerak, keadaan
masih rada mendingan, tapi begitu bergerak, pakaian
yang dikenakan pun ikut tersingkap, bagian-bagian
tubuh yang paling rahasia pun seketika terlihat sangat
jelas.

Asal kau adalah seorang pria, ditanggung pasti tidak


akan tahan setelah menyaksikan bagian rahasianya itu.

Padahal yang dibutuhkan dalam sebuah pertarungan


adalah konsentrasi, mana mungkin pikiran dan
perhatiannya boleh bercabang?
Tidak heran kalau berapa kali Tay Thian terjerumus
dalam keadaan yang sangat berbahaya, buru-buru dia
memperingatkan diri sendiri, jangan tengok bagian
terlarang gadis itu.

Tapi aneh, sepasang matanya seolah bukan miliknya,


matanya selalu berusaha untuk menengok �bagian
terlarang� gadis itu.

Makin bertarung, keringat dingin semakin membasahi


tubuh Tay Thian, sementara suara tertawa gadis itu
makin cabul dan menggoda.

Kalau pertarungan harus dilanjutkan dalam keadaan


begini, mana tahan?

Pertarungan sudah berlangsung berapa ratus


gebrakan tanpa ada yang menang atau kalah, ketika Ui
sauya mulai merasa bosan dengan keadaan tersebut,
tiba-tiba jurus serangan yang dilancarkan Ing Bu-ok
mulai berubah.

Jurus pedangnya yang semula datar tanpa


perubahan mendadak berubah jadi sangat aneh, suara
tajam mendesing dari ujung pedangnya.

Kalau tadinya semua serangan dilancarkan amat


cepat, maka saat ini gerak serangannya justru
melambat.

Malah lambat sekali. Biarpun lambat namun gerak


serangannya berubah terus.
Dalam waktu singkat Ing Bu-ok sudah melancarkan
tujuh buah tusukan, serangan demi serangan
dilancarkan semakin melambat, tapi sinar mata yang
terpancar dari mata Ui sauya justru makin bertambah
cemerlang.

Ketika serangan ketujuh sudah mencapai puncaknya


dan belum sempat tenaga baru tumbuh, Ui sauya
segera manfaatkan kesempatan itu untuk menghimpun
kekuatannya siap menyambut serangan lawan yang ke
delapan, pada saat itulah ujung baju kirinya yang
kosong tiba-tiba menyapu datar ke depan.

Waktu itu seluruh konsentrasi Ui sauya hanya tertuju


untuk menghadapi pedang ditangan Ing Bu-ok,
mimpipun dia tidak menyangka kalau dalam saat seperti
ini dia bisa melancarkan sapuan dengan ujung bajti
kirinya.

�Plaaaak!� pipi kanan Ui sauya segera terhajar hingga


merah membengkak, merah padam bagai pantat babi.

Ternyata lengannya yang kutung memang memiliki


kelebihan yang diluar dugaan.

Ui sauya bersumpah bila lain kali harus bertarung lagi


melawan seorang musuh buntung, dia tidak akan
memusatkan konsentrasi untuk menghadapi pedangnya
saja tanpa menaruh perhatian pada lengannya yang
kutung, dia tidak ingin melakukan kesalahan untuk
kedua kalinya.
Tatkala ujung bajunya menghajar Ui sauya tadi,
serangan ke delapan dari Ing Bu-ok telah dilancarkan.

Walaupun Ui sauya berhasil menghindari serangan


yang ke delapan ini, tidak urung dadanya terbabat juga
hingga muncul sebuah luka yang memanjang. Darah
mulai meleleh keluar dari lukanya itu.

�Sekarang kau pasti sudah mengetahui kelebihan dari


si tangan buntung bukan?� jengek Ing Bu-ok sambil
tertawa dingin.

�Hmmm, hanya orang cacad macam kau yang bisa


memikirkan jurus serangan tidak tahu malu seperti itu.�

Dipihak lain Tay Thian sendiripun bagaikan orang bisu


makan empedu, pahit tapi tidak bisa diutarakan,
terkadang dia merasa yakin dapat meraih kemenangan
dalam tiga gebrakan, tapi setelah bertarung ternyata
dugaannya meleset, bukan lantaran tidak tega untuk
membunuh gadis cantik itu, melainkan karena tidak
mampu melakukan serangan yang merobohkan.

Setiap kali dia akan melancarkan serangan


mematikan, tahu-tahu bagian tubuh yang menjadi
sasaran berubah menjadi bagian yang paling �rahasia�
dari gadis itu, mana mungkin dia boleh menyerang
bagian itu?

Bagian tubuhnya yang boleh diserang hampir


semuanya dilindungi gadis itu secara ketat, sebaliknya
bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh terlihat
oleh lelaki, dia justru pamerkan. Jika Tay Thian adalah
seorang siaujin, pertarungan ini pasti sudah berakhir
sejak tadi.

Seandainya Tay Thian adalah seorang pemogoran,


jangan lagi melakukan pertarungan, mungkin
bertarungan gaya lain sudah berlangsung sedari tadi.

Sayang Tay Thian bukan siaujin, terlebih bukan


pemogoran, maka mau tidak mau dia harus bertarung
dengan perasaan tersiksa.

�Kemudian dengan cara apa kau berhasil


menaklukan gadis itu?� pertanyaan itu diajukan Nyoo
Cing dikemudian hari setelah mendengar penuturan dari
Tay Thian.

�Aku terdesak hebat sehingga tidak tahu harus


berbuat apa, maka satu satunya jalan akupun
melepaskan ikat pinggangku.�

�Jadi kau tidak tahan?�

�Waktu itu, Agaknya gadis itupun berpendapat


demikian,� ujar Tay Thian sambil tertawa, �Begitu aku
mulai melepaskan ikat pinggangku, pipinya kontan
berubah jadi merah dadu.�

�Kalau tidak merah baru aneh namanya.�

�Begitu pipinya berubah jadi merah, tiba-tiba saja


gerak serangannya jadi kacau, sepasang paha yang
seharusnya dipentang lebar mendadak malah
dirapatkan kencang- kencang. Bahkan sepasang
tangannya mulai sibuk menutupi baju dibagian
dadanya.�

�Perempuan memang begitu, semakin kau takut


kepadanya, nyalinya semakin besar!� kata Nyoo Cing
sambil tertawa, �Tapi begitu kau mulai menunjukkan
reaksi, dia malah kabur jauh-jauh.�

�Karena aku tidak bisa memukul dengan tangan,


terpaksa kugunakan ikat pinggang,� dengan bangga
Tay Thian menjelaskan, �Ikat pinggangku segera ku
getarkan dan menotok jalan darah hian-ki-hiat di
perutnya.�

�Dia pasti akan menarik kaki kanannya dan


mengubah tangan kiri menjadi rentangan telapak untuk
melindungi jalan darah hiat-ko-hiat nya,� kata Nyoo
Cing.

�Aku memang mengharapkan dia berbuat begitu!�


seru Tay Thian, �Begitu tangannya digunakan untuk
menangkis, maka ikat pinggangku langsung menotok
jalan darah giok-ji-hiat di payudaranya.�

�Jadi kau benar-benar menotok jalan darah di


payudaranya?�

�Tentu saja, toch aku tidak menggunakan jari


tanganku.�

Nyoo Cing menghela napas panjang.


�Aai, aku benar benar Tidak habis mengerti, kenapa
disaat saat terakhir kau selalu berhasil mendapatkan
cara yang amat jitu, dan cara jitu itu selalu berhasil
mengubah posisimu yang berbahaya menjadi selamat?�

Kemudian setelah menatapnya tajam, tambahnya,


�Sebetulnya hal ini karena kemampuanmu yang hebat,
atau karena nasibmu yang selalu baik?�

Setelah berhasil menaklukkan gadis itu, Tay Thian


berpaling ke arah Ui sauya. Saat itu Ing Bu-ok sedang
melepaskan tusukan pedangnya yang ke sebelas.

�Aku datang membantu!� segera serunya.


Tay Thian mulai bergerak mendekati Ui sauya.
�Hati hati dengan lengan baju kirinya!� Ui sauya
memperingatkan.
�Bagus,� Ing Bu-ok tertawa terbahak-bahak, �Lebih
baik kalian berdua maju bersama, ketimbang aku mesti
membuang waktu lagi.�

Untuk kesekian kalinya cahaya tajam berkelebat di


udara, mata pedang berputar arah, dengan
membentuk sebuah lembayung dia melancarkan
serangan pedangnya yang kedua belas.

Diantara berkelebatnya cahaya aneh, Ui sauya


merasa sinar aneh itu seakan melintas diatas alis
matanya, tapi seolah melayang nun jauh di sana.
Sementara Tay Thian yang menyaksikan serangan
kedua belas dari Ing Bu-ok itu segera mengernyitkan alis
matanya, perasaan sangsi sempat melintas dibalik
matanya, dia merasa jurus serangan itu seakan sangat
dikenalnya, tapi seakan pula sangat asing. Hanya
melintas sekejap, tahu-tahu cahaya aneh itu kembali
hilang lenyap tidak berbekas.

Ui sauya mengernyitkan dahinya, dia dapat melihat


serangan yang ketiga belas diam-diam telah meluncur
tiba, tapi sekali lagi dia dibikin bodoh. Selama hidup
belum pernah dia saksikan gerak serangan yang begitu
bodoh, seperti seorang bocah yang sedang belajar
berjalan, benar-benar kaku dan lamban.

Ui sauya tidak habis mengerti, mengapa Ing Bu-ok


bisa menggunakan jurus serangan semacam ini untuk
melancarkan serangan kepadanya.

Berbeda sekali dengan reaksi dari Tay Thian, belum


selesai Ing Bu-ok melancarkan serangannya yang ketiga
belas, sekonyong-konyong tubuhnya melambung ke
tengah udara, kemudian kakinya menendang Ui sauya
hingga mencelat ke belakang.

Reaksi yang dilakukan Tay Thian boleh dibilang amat


cepat, namun tidak urung bahunya terbabat juga
hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang.

..... Tusukan yang tampak begitu bodoh, mengapa


justru susah bagi Ui sauya untuk menghindarinya? Ui
sauya sendiri pun tidak habis mengerti, dia hanya bisa
berdiri melongo.

Andaikata Tay Thian tidak menendangnya hingga


mencelat ke belakang, mungkin saat ini
tenggorokannya sudah bertambah dengan sebuah
lubang besar. Sambil melompat bangun, Ui sauya
mengawasi Ing Bu-ok dengan wajah tercengang, mata
terbelalak.

�Ilmu pedang apaan itu?� serunya.

Ing Bu-ok tertawa dingin, butiran darah masih


menetes dari ujung pedangnya.

��Jurus itu adalah Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas


jurus ilmu pedang pembetot sukma)� seru Tay Thian,
�Itulah Toh-mia-cap-sa-kiam milik Yan Capsa dulu!�

�Toh-mia-cap-sa-kiam? Sungguh?� seru Ui sauya.

�Apakah pingin dicoba sekali lagi?� jengek Ing Bu-ok


dengan wajah mengejek.

�Baik!� jawab Ui sauya dengan wajah serius, �Tapi aku


ingin melihat jurus pedang yang ke lima belas.�

�Hmmm, pedang ketiga belas pun sudah nyaris


merenggut nyawamu, kau masih ingin menyaksikan
pedang ke lima belas?�

�Benarkah pedang ke lima belas tiada tandingannya


di kolong langit?�
�Belum tentu,� sela Tay Thian, �Di dunia ini tidak akan
ada yang tiada tandingan.�

�Sekalipun tidak sampai tiada tandingan, untuk


membunuh kalian berdua mah lebih dari cukup.�

Ketika menyelesaikan perkataannya itu, dari balik


mata Ing Bu-ok segera terpancar keluar selapis hawa
pembunuhan yang menggidikkan hati.

Selapis hawa pembunuhan yang Cuma bisa


dipancarkan dari seorang tokoh maha sakti setara
dengan Yan Capsa.

Angin berhembus lewat, entah menerobos masuk


melalui celah yang mana, tapi suasana di dalam rumah
bambu itu tiba tiba saja berubah jadi amat dingin. Ing
Bu-ok beserta pedangnya sudah mulai melakukan
gerakan, kembali sebuah gerakan yang sangat lambat
tapi disertai gaya yang teramat indah, gerakan yang
begitu bebas leluasa seperti hembusan angin.

Ketika angin berhembus lewat, siapa yang mampu


membendungnya? Siapa pula yang bisa menduga
datang dari arah manakah hembusan angin itu?
Kelopak mata Ui sauya mulai menyusut kencang.
Gerakan pedang Ing Bu-ok teramat lambat, menusuk ke
muka dengan gerakan yang lambat sekali.

Yang paling tidak masuk diakal arah arah sasaran dari


tusukan itu, sebab disaat tusukan dilancarkan, tiba-tiba
saja terjadi sebuah perubahan yang tidak masuk diakal.
Pada saat itulah mendadak Tay Thian menggaet
sebuah bangku bambu dengan kakinya, kemudian
tangan kanannya mencekal kaki bangku sementara
tangan kirinya membacok, bangku bambu itu segera
hancur hingga tersisa sebatang kaki bangku nya saja.

Dengan bambu sebagai pengganti pedang Tay Thian


melancarkan sebuah tusukan ke depan, menyambar
dari bawah menuju ke atas.

Sebuah tusukan yang sederhana ternyata


menghasilkan sebuah akibat yang luar biasa, tusukan itu
dengan tepat telah menjebol kehebatan dati tusukan ke
empat belas Ing Bu-ok. Kali ini Ing Bu-ok betul betul
terkesiap.

Ternyata gerak serangan yang digunakan Tay Thian


saat ini persis sama seperti gerak serangan yang pernah
digunakan Sam sauya, Cia Siau-hong untuk
mematahkan ketiga belas jurus pedang dari Yan Capsa.

Tapi sayang jurus serangan telah dilancarkan Ing Buok,


dalam keadaan demikian mustahil baginya untuk
mengubah gerak serangannya lagi, tampaknya dia
segera akan tertusuk oleh pedang bambu ditangan Tay
Thian.

Ing Bu-ok tidak mati.

Meskipun jurus serangannya berhasil dipatahkan,


walaupun tusukan lawan jelas ditujukan bagian
tubuhnya yang mematikan, namun setelah tusukan
lawan datang, tiba-tiba saja gerak serangan yang
dilancarkan Ing Bu-ok kembali terjadi perubahan yang
sangat besar.

Semacam perubahan yang bahkan dia sendiripun


tidak menyangka, perubahan yang bahkan dia
sendiripun tidak mungkin bisa ciptakan.

......Perubahan tersebut merupakan perkembangan


dari perubahan yang muncul secara otomatis pada
gerak serangannya itu.

Seperti air terjun yang mengalir dari puncak gunung,


sewaktu air mengalir ke bawah, jelas kau akan melihat
ruang yang kosong, tapi ketika kau masukkan tanganmu
ke balik ruang kosong itu, ternyata air sudah memenuhi
seluruh ruang kosong tersebut.

�Tiing...!� suara dentingan nyaring bergema


memecahkan keheningan.

Pedang bambu itu patah, patah menjadi beribu


kepingan, sementara tubuh Tay Thian terpental mundur
ke belakang.

Perubahan yang muncul rupanya membuat Ing Bu-ok


sendiripun terperanjat, terkesiap bahkan terperangah,
dia seakan sudah lupa kalau disisi tubuhnya masih ada
Ui sauya yang sedang melancarkan serangan.

Tatkala bacokan Ui sauya tepat menghajar diatas


tenggorokannya, tiada rasa sakit yang terlintas diatas
wajahnya, juga tidak nampak rasa ngeri atau takut,
yang tampak hanya semacam hawa dingin yang susah
diurai dengan ucapan.

Semacam hawa dingin yang begitu membeku,


seperti bongkahan salju abadi yang tertanam didasar
bumi yang membeku.

Kemudian, ketika tubuhnya hampir menyentuh


permukaan tanah, tiba-tiba saja wajahnya kembali
terlintas perubahan baru. Semacam perubahan yang
menunjukkan kalau secara tiba-tiba dia berhasil
memahami akan sesuatu.

Menjelang ajalnya, sekulum senyuman masih sempat


menghiasi ujung bibir Ing Bu-ok.

Menjelang ajalnya, Ing Bu-ok baru paham bahwa


pedang ke lima belas dari tiga belas pedang pembetot
sukma milik Yan Capsa sesungguhnya tidak mungkin bisa
dipatahkan oleh siapa pun.

Tidak seorangpun!

Bahkan Sam sauya Cia Siau-hong pun tidak mampu.


Siapa pun yang ingin mematahkan serangan tersebut,
dia harus rela menyerahkan selembar nyawanya.
BAB 6

Rahasia Rumah Perdamaian.

Sejak jaman dulu, orang yang melakukan pekerjaan


sebagai pencuri selalu melakukan aksinya ditengah
malam buta.

Sebab disaat malam, banyak orang sudah


mengendorkan pikirannya, sudah malas untuk berpikir
maupun bereaksi, saat orang terlelap tidur dan saat
kegelapan menyelimuti seluruh angkasa.

Bila kau sudah mengenakan seperangkat baju yaheng-


i, sudah mengenakan sepasang sepatu dengan
sol yang tebal, lalu dengan gerakan enteng tanpa suara
melakukan �kegiatan maksiat�, biasanya tingkat
keberhasilanmu sangat besar.

Tentu saja tingkat keberhasilan yang tinggi hanya


berlaku untuk wilayah yang �biasa�.

Bila kau harus menyatroni sebuah tempat yang


'istimewa', bila kau harus melacak 'rahasia' yang sangat
penting dan bila kau hanya menggunakan cara yang
'biasa', maka hasil yang kau peroleh pun seringkah...
kegagalan!

Bukan hanya kegagalan, bahkan terka- dan g harus


disertai dengan kematian.
Cong Hoa bukan manusia 'biasa', oleh sebab itu dia
tak pernah menggunakan cara yang 'biasa'.

Diwaktu siang hari, Pesanggrahan pengobatan Coansin-


ie-khek amat ramai suasananya dengan suara orang
berbicara dan manusia yang berlalu lalang.

Semakin banyak manusia yang berlalu lalang,


semakin hidup suasananya, Cong Hoa selalu menyukai
suasana seperti ini, berdiri di ruang tengah, dengan
wajah riang dia nikmati pelbagai mimik muka yang
melintas dihadapannya.

Pelbagai macam manusia berkumpul di


pesanggrahan itu, ada yang datang untuk menjenguk
orang sakit, ada yang datang menjenguk teman, ada
yang datang untuk mencari teman kongkouw, ada
yang datang untuk mencari kesempatan menggaet
perempuan, bahkan ada pula yang datang khusus
untuk mempraktekkan kecepatan tangannya
memindah barang milik orang ke dalam saku sendiri.

Entah dia tua, muda, laki, perempuan, orang kaya


maupun pengemis, kedatangan mereka semua karena
punya satu tujuan.

Begitu juga Cong Hoa saat ini, kedatangannya pun


karena punya tujuan.

Tujuannya adalah memasuki rumah perdamaian di


dalam pesanggrahan pengobatan itu.
Rumah perdamaian adalah ruangan tempat
menyimpan orang mati, disitulah dia ingin menyelidiki
apa sebabnya hanya peti mati kosong yang dikubur.

Cong Hoa percaya, bila ingin menyingkap tabir


rahasia tersebut maka dia harus mendatangi rumah
perdamaian.

Dia lebih percaya kalau Pesanggrahan Coan-sin-iekhek


menyimpan sebuah rahasia yang luar biasa dan
penjagaan yang dilakukan diseputar rumah perdamaian
pasti sangat ketat.

Bila dia datang dimalam hari, sama artinya dengan


mencari mati buat diri sendiri.

Hanya disaat siang hari, disaat banyak orang berlalu


lalang maka penjagaan diseputar sana baru sedikit
agak kendor.

..... Siapa yang berani melakukan aksi 'rahasia' disaat


siang hari, disaat banyak orang berlalu lalang?

Banyak orang berlalu lalang berarti sebuah kamuflase


yang hebat, dan siang hari merupakan saat yang
sangat tepat.

Itulah sebabnya Cong Hoa mendatangi


pesanggrahan Coan-sin-ie-khek disiang hari yang ramai.

Dia tahu Nyoo Cing masih menginap disitu, tapi dia


tidak ingin pergi menjumpainya.
�Daripada bertemu, lebih baik tidak usah berjumpa.�

Sebelum kasus hilangnya Cong Hui-miat terungkap,


dia tidak ingin bertemu dengannya., bukannya tidak
ingin, tapi dia merasa sungkan untuk bertemu.

Mengikuti arus manusia Cong Hoa berjalan dari ruang


utama menuju ke beranda samping, kemudian diapun
menelusuri setiap jalan yang dijumpai dengan berlagak
menikmati keindahan disitu.

Masih untung sepanjang perjalanan dia tidak bertemu


dengan orang yang dikenalnya

Cong Hoa memang tidak terburu buru mencapai


tempat tujuannya.

Ketika mendekati rumah perdamaian, arus manusia


bertambah jarang, suara hiruk pikuk pun mulai
berkurang.

Sejauh mata memandang, sekeliling rumah


perdamaian seolah dilapisi oleh suasana yang
menyeramkan, asap hijau tampak mengepul keluar
melalui jendela ruangan dan perlahan lahan menyebar
di udara.

Saat ini waktu menunjukkan tengah hari.

Inilah saat makan siang bagi sebagian besar pegawai


pesanggrahan, orang yang tersisa pun tinggal sedikit
dan kebanyakan sedang berkumpul sambil kongkouw.
Ketika tidak banyak orang yang memperhatikan,
Cong Hoa segera menyelinap masuk ke dalam rumah
perdamaian.

Di dalam rumah perdamaian terdapat tujuh buah


meja altar berbentuk memanjang, tiga diantaranya
sudah berisi jenasah.

Tiga jenasah dengan enam batang hio.

Asap hijau muncul dari ujung hio yang menyala,


menyiarkan bau harum ke seluruh ruangan.

Cong Hoa mulai mengendus bau yang aneh, bau


harumnya hio bercampur dengan hawa �kematian�.

Cong Hoa mencoba untuk memeriksa ketiga jenasah


itu, ternyata tidak seorangpun yang dikenal, dengan
sigap dia segera menengok ke sekeliling tempat itu.

Tidak ada suara, tidak ada orang lain.

Cong Hoa tersenyum puas, dia mulai meggelar


aksinya untuk mencapai tujuan kedatangannya kali ini.

Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak


ditemukan apa-apa!

Rumah perdamaian masih tetap sangat damai, tidak


ditemukan suatu tempat pun yang tidak damai.

Dengan perasaan tidak puas Cong Hoa mulai


memeriksa sekeliling tempat itu.
Tidak mungkin! Rahasia tersebut pasti berada disini!

Cong Hoa yakin, bila ingin menyingkap tabir rahasia


tentang peti mati kosong, dia harus melakukan
penyelidikan di tempat ini, sebab disinilah dia akan
peroleh jawaban.

Tapi aneh, mengapa dia tak berhasil menemukan


apa-apa? Mungkinkah pemeriksaannya kurang teliti?
Mustahil.

Rahasia itu pasti berada disini, untuk kesekian kalinya


Cong Hoa melakukan pelacakan dengan seksama.

Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak


ditemukan hal yang mencurigakan. Kenapa?

Jelas rahasia tersebut berada disini, mengapa justru


tidak berhasil ditemukan?

Dengan sedih Cong Hoa duduk diatas meja altar


yang kosong, apakah dugaannya keliru? Mungkinkah di
tempat ini memang tidak ada rahasia apa-apa?

Kalau memang begitu, apa sebabnya semua peti


mati yang dikubur dipuncak bukit hanya peti mati
kosong? Atau mungkin si penggotong peti mati yang
berulah?

Atau mungkin setelah peti mati itu terkubur, muncul


orang lain yang mencuri mayat-mayat tersebit?

Tapi buat apa mereka curi mayat-mayat itu?


Mendadak pintu dibuka orang...

Disaat pintu belum terbuka, Cong Hoa segera


berjumpalitan menyembunyikan diri di bawah meja
panjang itu.

Pintu segera terbuka dan muncullah seorang kakek


yang sudah rentan.

Dia membawa enam batang hio, setelah


merapatkan kembali pintu ruangan, selangkah demi
selangkah dia mendekati jenasah itu dan masing-masing
menancapkan tiga batang hio dibawah kakinya.

Cong Hoa tidak sempat melihat wajahnya, dia hanya


bisa melihat kakinya.

Orang itu mengenakan sepasang sepatu kain hitam


yang sudah lusuh dan kuno, tidak mengenakan kaus
kaki. Permukaan sol sepatunya dipenuhi lumpur tapi
betisnya terlihat amat bersih dan mulus.

Seorang kakek yang sudah rentan, mengapa bisa


memiliki sepasang betis yang begitu bersih dan mulus?

Biasanya hanya orang kaya yang hidup makmur,


hidup berlebihan dan mengerti merawat diri baru akan
memiliki sepasang betis semulus, sebersih dan seputih itu.

Aneh, mengapa kakek ini memiliki sepasang kaki


semacam itu?
Cong Hoa merasa sangat tertarik, tampaknya dia
memang tidak salah datang.

Kakek rentan itu berdiri cukup lama didepan meja


jenasah, sorot matanya yang semula sayu lambat laun
mulai bersinar tajam, sinar kecerdasan.

Kemudian punggungnya yang semula bungkuk,


potongan tubuhnya yang semula rentan dan lemah kini
berubah jadi segar dan kuat, bahkan sama sekali tidak
ditemukan lagi jej ak ketuaannya.

Senyuman mulai menghiasi wajahnya, tiba-tiba dia


menggerakkan tangan kanannya melakukan gerakan
berputar di udara ke arah diding berukiran
dihadapannya.

Jarak dari tempat dia berdiri hingga dinding


dihadapannya paling tidak mencapai dua depa lebih,
tapi dengan sangat mudahnya dia berhasil memencet
tombol yang berada diujung hidung ukiran tersebut.

Jelas inilah ilmu Li-khong-ta-hiat (memukul jalan darah


dari udara) yang sudah lama punah dari dunia
persilatan.

Belum sempat Cong Hoa berpikir lebih jauh, tiba-tiba


terdengar suara aneh dari bawah tanah menyusul
kemudian permukaan tanah yang diijaknya itu bergerak
tenggelam ke bawah.
Mula mula suasana sangat gelap, tapi setelah suara
aneh itu berhenti, suasana pun berubah jadi terang
benderang.

Setelah yakin tak ada orang lain disekeliling tempat


itu, Cong Hoa baru perlahan lahan menongol keluar,
mula-mula dia saksikan sebuah meja panjang yang
persis seperti meja tempat menyimpan jenasah, meja itu
diberi alas kain putih.

Disampingnya terdapat sebuah meja kecil, diatas


meja terletak berbagai bentuk pisau kecil, berapa
diantaranya pernah disaksikann Cong Hoa dan dia pun
pernah 'mencicipi'nya.

...... Diatas sungai ditengah hutan bunga bwee, diatas


sebuah sampan kecil, seorang kakek dengan tiga belas
bilah pisau kecilnya yang berbentuk aneh pernah
mengobati luka beracunnya.

Pada meja kecil yang lain terletak berapa puluh buah


botol, ada yang berisi cairan ada pula yang berisi
bubuk, tampaknya sebangsa obat obatan.

Cong Hoa mencoba memperhatikan bagian lain, dia


merasa tempat itu semuanya bersih dan teratur, bahkan
terasa dingin, sepi dan dipenuhi bau obat obatan.

Apa kegunaan ruangan ini? Mengapa harus


dibangun dibawah rumah perdamaian? Mengapa disitu
tersimpan pelbagai benda yang aneh? Apa gunanya
benda-benda itu? Siapa pula kakek rentan yang
menjaga rumah perdamaian itu?

Baru saja Cong Hoa akan bangkit berdiri, mendadak


terdengar lagi suara mencicit yang aneh, buru-buru dia
sembunyikan diri lagi.

Tidak lama kemudian dari atas dinding disisi kiri


muncul kembali sebuah pintu rahasia, dari balik pintu
muncul seseorang yang mengenakan jubah panjang
berwarna putih.

Orang itu mengenakan topi yang terbuat dari kain


putih, topi yang membungkus seluruh rambutnya,
bagian hidung dan mulutpun tertutup selapis kain putih
bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang
tembus pandang, satu-satunya yang bisa dilihat Cong
Hoa hanya bagian matanya.

Orang itu mempunyai mata yang sangat besar,


sangat bulat dan amat berkilauan, pancaran sinar
matanya menunjukkan kecerdasan dan kesewenangan,
perawakan tubuhnya tinggi besar mencapai dua meter
lebih, tidak gemuk pun tidak kurus.

Dia memiliki sepasang tangan yang kuat lagi


bertenaga, jari tangannya panjang panjang, jelas dia
sangat memperhatikan soal perawatan kuku. Biasanya
orang yang memiliki jari tangan seperti ini tentu jagoan
dalam melepaskan senjata rahasia.
Gerak-geriknya pun lincah dan cekatan, setiap
langkahnya sama sekali tidak menimbulkan suara, ini
menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pun sangat hebat.

Tanpa mengeluarkan banyak tenaga ia sudah


menggeser jenasah itu diatas meja panjang yang
berlapiskan besi putih, kemudian dengan cepat
melepaskan semua pakaian yang dikenakan.

Dari meja dia mengambil sebuah botol berisi cairan,


menuang sedikit ke perut mayat itu lalu menggosokkan
hingga merata.

Mula-mula dia mengambil sebilah pisau kecil, Cong


Hoa tahu apa kegunaan pisau itu yakni untuk mengerat
kulit tubuh, bentuknya panjang lagi pipih, ukurannya
sembilan inci. Dengan amat cekatan dia mulai
membelah dada dan perut mayat kemudian dengan
menggunakan sebilah pisau berbentuk gergaji, dia
mulai memisahkan ruas tulang belulangnya.

Cong Hoa berusaha menahan napas, dia tidak ingin


suara napasnya sampai kedengaran orang itu, apalagi
suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian
heningnya cenderung menakutkan. Apalagi
pemandangan yang terpampang dihadapannya saat
ini merupakan satu kejadian yang cukup mendirikan
bulu roma.

Begitulah, dengan tenang dia saksikan orang itu


membelah tubuh mayat, mengeluarkan isi perutnya,
memasukkan ke dalam kotak, kemudian menaburkan
sejenis bubuk ke dalam rongga tubuh mayat yang telah
kosong itu.

Ketika menganggap sudah cukup memuaskan, dia


baru mengambil sebatang jarum lalu menjahit luka yang
menganga itu satu per satu, menurut hitungan Cong
Hoa, paling tidak dia butuh tujuh puluh dua jahitan untuk
merapatkan seluruh mulut luka itu.

Selesai dengan pekerjaaannya dia berjalan ke depan


sebuah lentera, memutar tombol rahasia yang ada
disitu, dari balik dinding segera muncul sebuah almari.
Dari dalam almari itu dia mengeluarkan segulung kain
lalu membalut mayat itu dari kaki hingga ke ujung
kepalanya, tidak lama kemudian seluruh tubuh mayat itu
sudah terbalut seperti bacang.

Setelah itu dia masukkan mummi itu ke dalam sebuah


kotak dan diberi tanggal dan kode:

�Tujuh puluh enam, bulan sepuluh tanggal sembilan.�

Setelah memandang kotak berisi mayat itu dengan


perasaan puas, diapun berseru, �Inilah yang disebut
mummi!�

�Dengan siapa dia berbicara?� Pikir Cong Hoa,


�Apakah dia sudah tahu kalau dalam ruangan masih
ada orang lain?�
�Tadi yang kau saksikan adalah cara membuat
mummi,� orang itu berbicara sambil membelakangi
tempat dimana Cong Hoa bersembunyi, �Bagus tidak?�

�Bagus, bagus sekali,� akhirnya Cong Hoa bangkit


berdiri sambil bertepuk tangan dan tertawa, �Caramu
berpraktek sungguh luar biasa!�

�Terima kasih,� perlahan-lahan orang itu membalikkan


tubuhnya, berhadapan dengan Cong Hoa.

�Seandainya kau masuk ke lak-san-bun, dapat


dipastikan akan menjadi opas nomor wahid,� dia
berkata sambil tertawa, �Terbukti tempat yang begini
rahasia pun berhasil kau temukan.�

�Bukan aku yang temukan, tapi kau yang


membawaku kemari!�

�Kenapa kau bisa menaruh curiga kalau persoalan


muncul di rumah kedamaian?�

�Tanah kuburan, kuburan dipuncak bukit sebelah


belakang sana.�

�Maksudmu peti mati kosong?�

�Betul!�

�Aah, tidak nyana peti mati kosong itu malah menjadi


titik terangmu,� dia menghela napas.

�Andaikata kau tambahkan batu cadas didalam peti


mati itu hingga bobotnya bertambah, mungkin tidak
secepat ini kecurigaanku sampai ke alamat
pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek.�

�Kau mengerti tehnik pembuatan mummi, berarti


kaulah pelaku kasus berdarah yang menimpa Cong
Poan-long di kota Say-cu-tin pada dua puluh tahun
berselang?� seru Cong Hoa sambil menatapnya tajam.

�Memangnya orang yang pandai membuat babi


panggang, dia pasti seorang tukang jagal babi?� orang
itu balik bertanya sambil tertawa.

�Dua puluh tahun berselang, Cong Poan-long dengan


membawa rahasia tentang Mummi pergi menghadap
pemerintah, tapi baru melalui perbatasan dan tiba di
kota Say-cu-tin, dia sudah mati dibunuh orang,
pembunuhnya pastilah orang yang telah merampas
rahasia mummi itu.�

�Diapun seorang pengkhianat penjual negara yang


sedang dicari pemerintah,� orang itu menambahkan.

�Darimana kau bisa tahu?�

�Kalau tehnik untuk menciptakan mummi pun sudah


aku kuasai, masa persoalan ini tidak kuketahui?�
jawabnya sambil tertawa.

Dengan tatapan tajam Cong Hoa mengawasi


sepasang matanya yang muncul dari balik kain putih itu.
�Aneh, kenapa aku merasa seperti amat kenal
dengan sepasang matamu itu,� kata Cong Hoa,
�Mungkinkah pernah kujumpai diwajah orang lain?�

Berkilat sepasang mata orang itu, menyusul kemudian


dia sengaja berlagak tertawa keras.

�Semua benda yang ada di alam semesta sumbernya


tetap satu, apa anehnya kalau terjadi kemiripan,�
katanya.

�Aaah salah, bukan mirip,� kata Cong Hoa yakin,


�Aku pasti pernah bersua denganmu, bahkan bersua
dalam setengah bulan terakhir.�

Sekilas perasaan takut melintas dari balik matanya


yang bulat besar. Apa yang dia takutkan, kuatir Cong
Hoa berhasil mengenali identitasnya?

Semua rahasia yang ada dalam ruangan telah


diketahui Cong Hoa, apakah dia akan membiarkan
Cong Hoa pergi meninggalkan tempat itu dalam
keadaan selamat?

Jangan-jangan dia adalah Hong Coan-sin? Tapi kalau


dilihat dari perawakannya, dia tidak mirip Hong Coansin.

Kalau dia bukan Hong Coan-sin, mengapa dalam


ruang rahasia ini terdapat begitu banyak rahasia?
Mengapa ruang rahasia bisa berada disini dan
mengapa dia muncul disitu? Apakah sedang membuat
mummi?
Kalau dia bukan Hong Coan-sin, lalu apa hubungan
antara mereka berdua?

Hari ini dia sengaja muncul disitu, menciptakan


mummi yang diberi kode �tujuh puluh enam�,
tampaknya kesemua ini memang sengaja dia lakukan
untuk diperlihatkan kepada Cong Hoa, lalu apa
alasannya melakukan hal ini?

Kalau dilihat dari gelagatnya, dia seakan tidak berniat


membunuh Cong Hoa, lalu apa alasannya berbuat
begitu?

Dia tidak segan mengorbankan rahasia ini, berarti dia


pasti sedang melindungi rahasia lain yangjauh lebih
besar.

Lalu apakah rahasia yang lebih besar itu?

�Kau pasti dapat melihat bahwa aku tidak mengerti


ilmu silat,� dia berkata sambil menatap Cong Hoa.

�Aku pun dapat mengenali bahwa kau pasti


seseorang yang kukenal,� sambung Cong Hoa,
�Sekalipun kau telah berusaha untuk mengubah logat
suara mu.�

Perasaan takut, ngeri semakin tebal menyelimuti


wajahnya.

�Tentu saja aku pun tahu kalau kau tidak pandai


bersilat,� ujar Cong Hoa lagi hambar, �Itulah sebabnya
aku keheranan, kenapa dia suruh kau melakukan ini
semua, sebenarnya apa tujuannya?�

�Dia? Siapakah dia?�

�Dia adalah orang yang mengajarkan ilmu


pembuatan mummi kepadamu,� Cong Hoa
menatapnya makin tajam, �Dia pula orang yang
menyuruh kau datang kemari untuk membocorkan
rahasia yang ada disini.�

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, �Dia pasti


mempunyai tujuan tertentu, tahukah kau?�

�Dari... darimana aku bisa tahu?�

�Aku percaya kalau kau tidak tahu, tapi mengapa dia


tidak segan mengorbankan rahasia yang ada disini?�
ujar Cong Hoa sambil mengamati sekeliling tempat itu.

Cong Hoa mulai meraba pisau kecil yang dipakai


untuk operasi, kemudian mendekati kotak yang
digunakan untuk menyimpan mummi, dia seakan
sedang melakukan pemeriksaan yang seksama.

Padahal apa yang dia lakukan bukan berniat untuk


mencari tahu, tapi ingin manfaatkan kesempatan itu
untuk mempertim-bangkan pelbagai persoalan.

�Ketika sebuah rahasia sudah tidak mungkin


dirahasiakan lagi, cara terbaik apa yang harus
dilakukan?� tanya Cong Hoa kemudian.
�Dibuka secara umum,� jawab orang itu, �Kalau
memang sudah bukan rahasia lagi, kenapa tidak
diumumkan saja?�

�Caramu memang termasuk salah satu cara, tapi


bukan termasuk yang terbaik.�

�Lalu cara apa yang terbaik?�

�Memusnahkannya!�

�Memusnahkannya?�

�Betul, asal rahasia itu dimusnahkan maka rahasia


tersebut akan tetap menjadi rahasia,� gumam Cong
Hoa, �Persoalannya sekarang, mengapa dia tidak
mendahulu aku datang kemari dan memusnahkan
rahasia ini? Apakah lantaran kedatanganku kelewat
cepat sehingga dia tidak sempat memusnahkannya?
Atau...�

Mendadak paras muka Cong Hoa berubah hebat,


serunya tertahan, �Aduh celaka!�

Dia mendongak keatas lalu melompat dan meraba


dinding diatas ruangan itu.

Orang itu berdiri kebingungan, dia seakan tidak


mengerti mengapa gadis tersebut bertingkah aneh.

Setelah melompat turun kembali, Cong Hoa pun


bertepuk tangan sambil bergumam, �Ooh, rupanya
begitu.�
�Apanya yang begitu?�

�Ditempat ini, kecuali altar panjang yang


membawaku turun ke bawah serta pintu rahasia yang
kau lewati, apakah masih ada jalan keluar lainnya?�

�Tidak ada,� jawab orang itu makin kebingungan,


�Buat apa kau menanyakan soal ini?�

�Cara apa yang paling baik untuk memusnahkan

sebuah rahasia?�

�Dibakar!�

Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka orang

itu kontan berubah hebat.

�Apakah jalan menuju ke atas sudah...�

�Benar, malah kobaran api sudah semakin

membesar.�

Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan lari


menuju ke pintu rahasia diatas dinding.

�Percuma!� seru Cong Hoa segera, �Jalan itu pasti

sudah tersumbat mati!�

Benar saja, pintu rahasia itu sudah tidak bisa dibuka.

Dengan wajah ketakutan orang itu mundur kembali


lalu menengok ke arah Cong Hoa dengan perasaan
gelisah.
�Bagaimana sekarang?� serunya.

�Diberi kecap lalu didinginkan!� sahut Cong Hoa


sambil tertawa getir.

Sekarang dia benar benar berharap bisa


�didinginkan�, seandainya saat ini turun hujan deras,
bisajadi Cong Hoa berdua akan tertolong.

Tapi dia tahu, tidak mungkin nasibnya semujur itu.


Setelah �dia� berniat akan memusnahkan rahasia ini,
sudah pasti api yang dilepas tidak akan secepat itu
padamnya, bisa jadi sebagai bahan bakarnya dia
pergunakan �minyak hitam� yang dihasilkan di wilayah
Biau.

Teringat akan �minyak hitam�, tiba-tiba sekulum


senyuman kembali menghiasi wajah Cong Hoa.

�Dalam keadaan begini kau masih bisa tertawa?�


tegur orang itu.

�Coba tebak, barusan aku teringat dengan siapa?�


tanya Cong Hoa sambil tertawa.

�Sun Go-khong!� sahut orang itu jengkel, �Kecuali Sun


Go-khong yang memiliki ilmu 72 perubahan, siapa yang
bisa menolong kita?�

�Meskipun orang itu tidak memiliki ilmu 72 berubah,


tapi kisah pengalamannya mungkin bisa selamatkan kita
berdua.�
�Siapa? Siapa orang itu? Bagaimana kisahnya?�

�Coh Liu-hiang!�

�Coh Liu-hiang?�

�Benar, ketika Coh Liu-hiang melacak ke pulau


kelelawar, dia pun pernah diserang dengan api sewaktu
berada ditengah lautan.�

Orang itu tidak komentar, dia mendengarkan dengan


seksama.

�Waktu itu semua orang yang ada di kapal sudah


panik, sebab sejauh mata memandang hanya lautan
api yang ada, tidak satu bagian tempat pun yang bisa
digunakan untuk meloloskan diri, saat itulah coh Liuhiang
beritahu kepada semua orang, bila ingin tetap
hidup, melompatlah ke dalam api.�

Setelah tarik napas, kembali lanjutnya, �Semua orang


mengira Coh Liu-hiang sudah edan, tapi menanti dia
sudah terjun ke dalam lautan api, semua orang baru
tahu kalau Coh Liu-hiang memang tidak malu disebut
Coh Liu-hiang!�

�Kenapa?�

�Sebab api hanya membakar diatas permukaan air


sementara dibawahnya tetap air, satu-satunya cara
untuk meloloskan diri waktu itu hanyalah terjun ke dalam
api.�
�Sayang kita saat ini tidak berada di lautan, dibawah
api pun tidak ada air, yang ada hanya kita berdua.�

�Sekalipun dibawah tidak ada air, diatas kita toch


ada api.�

Orang itu tidak mengerti apa maksud dari perkataan


Cong Hoa.

�Dulu dengan beraninya Coh Liu-hiang melompat ke


dalam api, sekarang kita pun harus menirunya,�
katanya.

�Dengan gagah berani kita terjun ke dalam api.�

�Betul, asal terjun ke api ditanggung kita akan


menjadi manusia panggang!�

�Saat ini kobaran api diatas pasti amat besar, tentu


ada banyak orang sedang berusaha untuk
memadamkan api, maka begitu kita muncul diatas,
larilah menuju ke arah kerumunan orang banyak.�

�Andaikata kita gagal mencapai kerumunan orang


banyak?�

�Berarti kita hanya bisa berjumpa dua puluh tahun


kemudian.�

�Tampaknya hanya ada jalan ini saja buat kita.�

�Terletak di mana tombol rahasia untuk


menggerakkan meja altar panjang ini?� tanya Cong
Hoa kemudian.
Dia tidak menjawab dengan perkataan tapi dengan
perbuatan, tangannya segera menarik tombol yang
berada sebuah lampu diatas dinding ruangan.

Diiringi suara gemericit nyaring, meja altar itu mulai


bergerak naik ke atas.

Dengan cepat Cong Hoa melompat ke atas meja


seraya berseru, �Cepat, cepat naik kemari!�

Ketika orang itu berhasil naik keatas meja, altar


panjang itu sudah hampir mencapai atap ruangan.

Semakin mendekati ke atas permukaan tanah, udara


terasa semakin panas.

Tiba-tiba atap bangunan membelah jadi dua, berapa


batang kayu yang membara seketika ambruk dan
longsor ke bawah.

Cong Hoa sudah mulai mengendus bau hangus


bekas terbakar yang sangat tajam.

Benar saja, kobaran api yang membara diatas


permukaan tanah sangat besar, orang yang
berkerumun disekitar tempat itu pun sangat banyak.
Setelah menyaksikan kerumunan orang yang sedang
menolong api, Cong Hoa baru menyadari kalau dia
telah salah memperhitungkan satu hal.

Semakin banyak orang berkerumun, kobaran api di


tempat itu pasti sangat besar, karena orang yang
berusaha memadamkan api pasti akan mulai bekerja
dari titik api yang terbesar, kobaran api begitu besar dan
dahsyat, bagaimana mungkin manusia bisa
melampauinya?

Baru saja Cong Hoa berusaha mencegah orang itu


agar lari menuju ke arah kerumunan orang banyak,
orang itu sudah melompat keluar dan langsung lari
menerjang ke arah tempat dimana api sedang
membakar dengan hebatnya.

�Bahaya!� pekik Cong Hoa keras keras.

Terlambat, orang itu sudah lari menuju ke tengah


jilatan api yang membara.

Orang ini benar-benar sangat penurut, ternyata dia


benar benar lari menuju ke tempat kerumunan orang
paling banyak.

Andaikata orang itu sampai mati terbakar, jelas


kejadian ini merupakan kesalahannya.

Bila dia tidak menganjurkan kepadanya untuk lari


menuju ke arah kerumunan orang banyak, secara naluri,
seharusnya dia akan lari menuju ke tempat dimana
jilatan api paling kecil.

Kesalahan yang Dia lakukan kali ini betul betul


merupakan sebuah kesalahan yang fatal.

Cong Hoa tidak ingin menyaksikan orang itu mati


terbakar, tidak boleh dan tidak harus terjadi, sekonyongkonyong
dia melejit ke tengah udara, kemudian melesat
ke arah tempat dimana jilatan api berkobar paling
besar.

BAGIAN - 4.

Jurus pedang ke lima belas.

BAB 1.

Rahasia Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek.

Cong Hoa memang manusia macam begitu.

Demi melakukan sebuah pekerjaan yang dia anggap


harus dilakukan dan dia rela melakukannya, maka gadis
itu tidak pernah akan memikirkan akibatnya. Sekalipun
ada golok yang dipalangkan diatas tengkuknya, tidak
nanti dia akan berubah pikiran.

Mungkin manusia semacam ini dianggap sedikit


goblok, tapi bisa kah kau mungkir bahwa diapun
terhitung seseorang yang menawan?

Api menjilat dengan dahsyatnya, sekalipun ada


seekor gajah raksasa yang lari masuk pun dalam waktu
singkat akan terbakar hangus, apalagi hanya seorang
manusia?
Dalam hal ini bukannya Cong Hoa tidak memikirkan,
hanya saja dia terlambat berpikir ke situ, karena �orang�
itu begitu penurut dan lari menuju kearah yang
dianjurkan, bagaimana mungkin dia hanya berpeluk
tangan saja?

Kobaran api begitu dahsyat, bisa jadi baru


melangkah masuk, tubuh mereka sudah terbakar jadi
abu, tapi bagaimana pun dia tetap nekad akan
memasukinya.

Menanti kobaran api berhasil dipadamkan, dia tetap


tidak berhasil menemukan �dia� diantara reruntuhan
dan puing yang hangus.

Yang tersisa di tempat kejadian hanya kayu arang


dan abu bekas kebakaran, tidak dijumpai tulang
belulang manusia.

Jangan lagi tulang belulang manusia, bahkan


bangkai semut yang �kecil� pun tidak dijumpai satu pun.

Cong Hoa sudah enam kali melakukan penelusuran,


sudah enam kali membongkar sisa puing yang
berserakan ditempat itu, sekali demi sekali, dia mencari
terus, gagal yang pertama dilanjutkan pencarian yang
kedua.

Hasilnya? Tetap tidak ditemukan apa-apa.

Bagaimana mungkin bisa begitu?


Dengan jelas sekali dia saksikan orang itu lari menuju
ke tengah kobaran api, kenapa tidak berhasil ditemukan
jenasahnya? Sekalipun dia sudah mati terbakar, paling
tidak tentu akan ditemukan sisa-sisa tulang belulangnya.

Tidak ditemukan apa-apa. Sama sekali tidak


ditemukan apa-apa.

Cong Hoa gelengkan kepalanya berulang kali,


mengawasi sisa puing yang berserakan, mimik mukanya
saat ini seperti seseorang yang baru saja melihat setan,
dia hanya mengawasi ke tengah arena dengan
pandangan mendelong.

Kemana larinya orang itu? Dengan mata kepala


sendiri dia saksikan orang itu lari menuju ke tengah
kobaran api, kemudian diapun segera menyusul dari
belakangnya, kenapa tidak dijumpai jenasahnya?

Kenapa bisa muncul kejadian seperti ini? Kemana


kaburnya orang itu? Sebenarnya dia sudah �tiba� di
mana?

Atau mungkin kobaran api yang membara kelewat


dahsyat sehingga tulang belulangnya pun ikut terbakar
hingga jadi abu?

Sewaktu Cong Hoa berhasil lolos dari jilatan api tadi,


pakaian yang dikenakan sudah terbakar hingga tidak
berbentuk, bahkan kulit tubuhnya lamat-lamat terasa
sakit, tentu saja sebagian rambutnya ikut terbakar
hangus.
Tapi orang itu, kenapa dia bisa hilang lenyap tidak
berbekas?

Mungkin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab oleh


siapa pun.

Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan


tersebut mungkin hanya �dia� seorang.

Tapi dimanakah 'ia' sekarang?

Suasana di arena kejadian amat kalut, suara manusia


hiruk pikuk, namun Cong Hoa bagaikan puncak bukit
karang yang bersalju abadi, berdiri tidak bergerak,
walaupun sepasang matanya tertuju ke tengah puing
dan memandangnya tanpa berkedip, namun sorot
matanya justru sedang memandang ke tempat
kejauhan sana.

Sungguh keji perbuatan orang itu, sadar kalau


rahasianya sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kuatir
kalau sudah tidak punya cukup waktu untuk
melaksanakan operasi pemusnahan, ternyata dia tidak
segan untuk mengirim seorang jagoannya untuk
memancing perhatian Cong Hoa, agar dia punya waktu
untuk melepaskan kobaran api.

Bukan saja dia ingin memusnahkan rahasianya,


membantai Cong Hoa, bahkan keselamatan orang
kepercayaannya pun ikut dikorbankan.

Abu bekas kebakaran yang berwarna hitam


meninggalkan jelaga di mana-mana, abu yang
beterbangan terhembus angin melayang di udara
bagaikan asap putih...

Selewat tengah hari terlihat awan tipis mulai


terhimpun jadi gumpalan mega, tampaknya sore nanti
ada kemungkinan turun salju.

Suara hiruk pikuk masih menggema memecahkan


keheningan, masing-masing orang sedang
membanggakan kehebatan sendiri ketika menolong api
tadi, tidak seorangpun yang memperhatikan kehadiran
Cong Hoa di tempat itu.

Tiba-tiba Cong Hoa merasa ada sepasang mata


diantara kerumunan orang banyak sedang mengawasi
tengkukya dengan sorot mata yang setajam sembilu,
dengan cepat dia berpaling, namun tidak berhasil
menemukan pemilik dari sepasang mata yang tajam itu.

Sorot mata yang tajam bagai mata golok, manusia


yang kabur bagai kabut tebal.

Siapakah pemilik sorot mata setajam sembilu itu?


Diakah pelaku pembakaran ini?

Cong Hoa mulai melakukan pelacakan, mulai


melakukan pencarian, dia berharap bisa menemukan
pemilik sorot mata yang tajam itu. Tapi sejauh mata
memandang, hampir sebagian besar yang hadir adalah
pegawai dari pesanggrahan ditambah mereka yang
rasa ingin tahunya besar.
Mungkinkah pemilik sepasang mata tajam itu
bersembunyi dibalik kerumunan orang banyak?

Tidak ada. Cong Hoa yakin orang itu sudah tidak ada.

Mungkin 'dia' sudah pergi dari situ.

Baru saja Cong Hoa akan melakukan pencarian ke


arah lain, mendadak ekor matanya menangkap sesosok
bayangan manusia yang terasa amat dikenalnya.
Dengan cepat dia membalikkan tubuh, lalu dia pun
menyaksikan ada tujuh-delapan orang sedang bersiapsiap
meninggalkan tempat itu.

Ketika dia mencoba memperhatikan dengan lebih


seksama, ternyata dari ke tujuh-delapan orang itu tidak
dijumpai bayangan manusia yang amat dikenalnya itu,
tapi dia dapat merasakan bahwa gerak-gerik berapa
orang itu ada yang tidak benar, hanya saja dia tidak
bisa menjelaskan dimana letak ketidak benaran itu.

Tiga orang yang berada dipaling depan dapat


segera dikenali sebagai pegawai dari pesanggrahan
pengobatan, mereka mengenakan pakaian seragam
berwarna putih, kendatipun wajahnya diliputi
kemurungan, namun tidak bisa menutupi perasaan
hatinya yang gembira karena menyaksikan bencana itu.

Berikutnya adalah seorang kakek berusia setengah


abad lebih, walaupun tubuhnya sedang bergerak
meninggalkan tempat itu namun pikirannya seakan
masih tertinggal di arena kebakaran, berulang kali dia
berpaling untuk menengok ke arah tempat kejadian,
wajahnya nampak sangat murung.

Menyusul dibelakang kakek setengah umur itu adalah


dua orang wanita, mereka mengenakan jubah panjang
berwarna hijau, diantara kerumunan orang banyak,
suara kedua orang inilah yang kedengaran paling besar.

Dibelakangnya lagi adalah seorang lelaki yang


gemuknya bukan kepalang, setiap berjalan satu
langkah, dia segera berhenti sejenak untuk mengatur
napasnya yang ngos-ngosan.

Menurut perkiraan Cong Hoa, paling tidak orang itu


berbobot dua ratusan kati lebih, mana gemuk,
perawakan tubuhnya pendek lagi sehingga sekilas
pandang bentuknya mirip sekali dengan segumpal bola
daging. Caranya berjalan sangat lucu, seperti seekor
gayah yang sedang dilatih berjalan.

Cong Hoa tidak tahan untuk tertawa, tapi dengan


cepat senyumannya membeku, caranya berjalan, betul,
caranya berjalan, dia segera menyadari bahwa hal
yang tidak beres pada ke tujuh delapan orang itu
adalah cara mereka sewaktu berjalan.

Dia merasa bahwa paling tidak ada satu orang


diantara rombongan itu yang caranya berjalan tidak
seperti cara jalan orang pada umumnya, dia
berpendapat, tidak seharusnya dalam keadaan seperti
ini orang tersebut berjalan dengan cara begitu,
semestinya dia berjalan dengan cara berjalan yang
'normal'.

Sekali lagi Cong Hoa memperhatikan rombongan


orang itu. Tiga orang pegawai pesanggrahan
berjalan dengan ringan dan gembiranya. Si kakek
setengah umur berjalan sambil tiada hentinya berpaling.
Lalu kedua orang perempuan yang berjalan sambil
ngoceh tiada habisnya dan terakhir si bola daging yang
berjalan seperti gajah melangkah.

Semuanya normal, semuanya tidak ada yang aneh.

Cong Hoa mulai meraba ujung hidung sendiri, disaat


itulah mendadak dia berhasil menemukan sesuatu hal
yang amat 'normal'.

Ternyata kakek setengah umur yang tiada hentinya


berpaling itu dalam waktu singkat telah berhasil
melampaui tiga orang yang berada didepannya,
bahkan dengan cepat telah berbelok ke sebilah jalan
kecil.

Bagaimana mungkin seorang kakek setengah umur


seperti itu bisa berjalan jauh lebih cepat ketimbang tiga
orang pemuda yang masih kuat? Bahkan berhasil
melampauinya?

Disamping itu, caranya berjalan pun sangat aneh,


kaki kanannya melangkah dulu kemudian kaki kirinya
baru diseret maju ke depan.
Benar, ternyata cara berjalan kakek setengah umur ini
yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak
beres, ketika berjalan masuk ke jalan kecil yang lain
itulah mestinya dia telah menggunakan cara
berjalannya yang 'normal'.

Sebelum hari ini, rasanya dulu dia sudah pernah


menyaksikan cara berjalan seperti ini.

Orang itu tidak lain adalah seseorang yang


mempunyai bekas luka bacokan diantara alis matanya,
orang yang mengajaknya menuju ke kota Say-cu-tin.
Cong Hui-miat!

Cong Hoa mulai tertawa, dia segera melakukan


pengejaran, kali ini dia tidak ingin kehilangan jejaknya
lagi.

Menanti Cong Hoa menyusul sampai dijalan setapak


itu, si kakek setengah baya itu sudah berjalan keluar dari
pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek.

Saat itu dia sudah berjalan ditengah daun kering


yang berguguran di akhir musin gugur.

Cong Hoa segera menjejakkan kakinya dan


melambung ke udara, kemudian dalam berapa kali
lompatan ia sudah menyusul di belakangnya.

Keluar dari pesanggrahan Coan-sin-ie-khek, Cong


Hoa mempercepat gerakan tubuhnya, tidak selang
berapa saat kemudian dari kejauhan dia sudah saksikan
bayangan punggung kakek setengah umur itu.
Ketika berjalan tadi kakek itu nampak sangat bebal
dan lamban, tapi begitu menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya, kecepatan geraknya benarbenar
luar biasa dan tidak malu disebut seorang jago
kelas satu.

Sudah seperminum teh berlalu, namun selisih jarak


diantara mereka berdua masih tetap bertahan pada
posisi semula.

Setelah melewati punggung bukit, jalan semakin


menurun, dibawah kaki bukit itu terdapat sebuah dusun.
Jalanan ditempat itu pasti banyak orang berlalu lalang,
berarti tidak mungkin bagi mereka untuk menggunakan
ilmu meringankan tubuh lagi.

Jarak dengan dusun itu makin mendekat, tidak heran


kalau suasana pun bertambah ramai, kini dikiri kanan
jalan bukan saja banyak orang berlalu lalang bahkan
mulai muncul penjual kaki lima yang mendirikan tenda
disepanjang jalan.

Begitu memasuki dusun, seperti yang diduga Cong


Hoa tadi, kakek setengah umur itu tidak berani berlarian
dengan ilmu meringankan tubuhnya lagi, cara berjalan
yang bebal dan bodoh pun kembali muncul didepan
mata.

Sekarang Cong Hoa berani memastikan kalau kakek


setengah umur itu tidak lain adalah Cong Hui-miat,
walaupun caranya berjalan sangat bodoh dan bebal
namun cepat sekali gerakannya, seandainya Cong Hoa
harus meniru caranya berjalan, mungkin selama hidup
jangan harap bisa menyusulnya, maka terpaksa dia
mulai berlarian.

Sekalipun berlarian ditengah jalan gampang


memancing perhatian orang banyak, paling tidak jauh
lebih mendingan dari pada berlarian dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Ketika dia mulai lari, selisih jarak diantara mereka


berdua pun makin lama semakin bertambah pendek,
ketika hampir saja berhasil menyusul, mendadak kakek
setengah umur itu berpaling seraya berteriak keras,
�Rampok! Rampok! Ada perampok wanita ingin
merampas uang peti matiku!�

Teriakan itu segera menarik perhatian banyak orang,


caci maki segera bergema disana sini, Cong Hoa pun
menjadi pusat perhatian orang banyak, sementara
kakek setengah umur itu segera berlagak gemetaran
dengan muka pucat, malah sudah ada berapa orang
pemuda yang datang memayangnya.

Sekarang, biar Cong Hoa menceburkan diri ke dalam


samudra pun tidak akan bisa mencuci bersih tuduhan
itu, ditengah hari bolong apalagi ditengah jalan raya
ternyata seorang gadis muda ingin merampok uang beli
peti mati milik seorang kakek setengah umur, siapa pun
pasti akan menyingsingkan lengan baju untuk memberi
pertolongan.
Tiba-tiba saja Cong Hoa ingin tertawa, pekerjaan
macam apapun pernah dia kerjakan tapi belum pernah
jadi perampok, apa mau dibilang justru berulang kali dia
dituduh sebagai perampok, pertama dituduh Ui sauya
dan sekarang oleh si kakek celaka, yang jelas adalah
penyaruan dari Cong Hui-miat ini.

�Betul, aku memang akan merampas uangmu!� tibatiba


Cong Hoa berseru lantang, wajahnya menunjukkan
rasa gusar yang luar biasa, �Aku memang ingin
merampas modalmu untuk membeli peti mati, aku ingin
menyaksikan kau mampus tanpa liang kubur. Suamiku
sudah berbaik hati dengan menampungmu dirumah
kami, melihat usiamu yang sudah tua, luntang lantung
tidak punya tempat pemondokan, kau bisa tinggal
dirumah kami secara bebas, tapi kau... siapa tahu kau
manusia berhati binatang, menggunakan kesempatan
disaat suamiku pergi, kau telah melolohku dengan arak,
lalu ketika aku mabuk, kau... kau...�

Bicara sampai disini Cong Hoa pun berlagak


sesenggukan hingga tidak sanggup melanjutkan
perkataannya.

Tidak ampun lagi, caci maki dan kata umpatan


segera berganti sasaran, hampir semua orang yang ada
disitu mulai memaki maki kakek setengah umur itu.

Perbuatan apa lagi yang bisa lebih bejad daripada


usaha seorang kakek hidung belang merogol gadis
muda, kerumunan orang banyak pun selangkah demi
selangkah menghampiri kakek itu.
Diam-diam Cong Hoa melirik sambil tertawa girang,
ingin mencelakai aku? Hmm! Sekarang rasain
pembalasanku!

Selangkah demi selangkah kakek setengah umur itu


mundur ke belakang, sementara kepungan orang
banyak semakin merapat.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang


berseru keras, �Salah sasaran, salah sasaran, semuanya
salah besar, hari itu sewaktu kau mabuk, dia tidak
berbuat kurangajar kepadamu, justru dia datang
mencariku dan minta aku pulang untuk merawatmu,
mana mungkin dia telah melakukan perbuatan tidak
senonoh?�

Desakan semua orang pun seketika berhenti, tanpa


terasa mereka berpaling.

Begitu mendengar teriakan itu, Cong Hoa segera tahu


siapa yang telah datang, diam-diam dia menyumpah
didalam hati, kalau mau datang kenapa justru datang
disaat ini?

Ui sauya dengan wajah penuh senyuman munculkan


diri dari kerumunan orang banyak.

�Aku tahu, kau pasti akan salah paham kepadanya,�


ternyata dia masih bermain sandiwara, �Aaai ....biniku,
kalau ada urusan mari kita bicarakan dirumah saja.�
Kurangajar! Berani amat dia menyebutnya sebagai
'bini', untuk sesaat Cong Hoa tidak tahu haruskah marah
atau tertawa?

Ketika para penonton mendengar kalau urusan


hanya salah paham, merekapun segera membubarkan
diri.

Baru saja Cong Hoa hendak menghalangi kakek itu


agar tidak melarikan diri, tahu-tahu Ui sauya telah
menarik tangannya.

�Lepaskan aku!�

Dengan gelisah Cong Hoa meronta, berusaha


melepaskan diri, siapa tahu Ui sauya memegangnya
kuat kuat, malah sambil tertawa ujarnya, �Biniku, jangan
marah lagi.....�

�Kalau kau tidak lepas tangan, aku benar benar akan


marah!� seru Cong Hoa sambil menarik muka.

�Baik, lepas, lepas......�

Dia benar benar lepas tangan, tapi sewaktu Cong


Hoa berpaling lagi, dia sudah kehilangan jejak kakek
setengah umur itu.

Sinar senja di musim gugur meski tidak secantik sinar


matahari di musim panas, namun memiliki pula sebuah
keindahan yang khas.
Cong Hoa sedang duduk termangu ditepi jendela
sambil memandang cahaya senja dikejauhan sana.

�Menurut kau, orang itu adalah Cong Hui-miat?�


tanya Ui sauya.

�Mungkiin!�

�Kau yakin?� tanya Tay Thian pula.

Diluar jendela ada angin, didalam ruangan ada api,


diatas api terdapat tuingku, diatas tungku terdapat kuali,
di dalam kuali terdapat hidangan Huo-ko yang lezat.

Sambil menghirup kuah, Tay Thian mengamati wajah


Cong Hoa.

Perlahan-lahan dia berpaling, mengambil cawan


dimeja dan meneguk habis isi cawannya, kemudian
baru berkata, �Kemarin pagi aku datang ke kuburan Lo
Kay-sian...�

Secara ringkas Cong Hoa menceritakan semua kisah


yang dialaminya kemarin pagi, ketika menyinggung soal
proses pembuatan mummi yang disaksikan diruang
bawah tanah, tiba-tiba Ui sauya menghela napas
panjang.

�Aaai! Sungguh tidak disangka di dunia ini benarbenar


terdapat kemampuan seperti ini,� katanya setelah
meneguk secawan arak, �Setelah mati dan menjalani
berbagai proses, benarkah suatu ketika nanti mereka
akan hidup kembali?�
�Di dunia ini memang terdapat banyak orang pintar,
ilmu pertabiban pun kian hari kian bertambah maju,
siapa tahu suatu ketika nanti benar benar bisa terwujud
kejadian seperti itu,� kata Tay Thian.

Arak dengan cepat telah habis diteguk, A-kit si


pelayan dari Cin-cun-wan dengan cepat menyuguhkan
kembali dua botol arak Tiok-yap-cing.

Secara ringkas Cong Hoa melanjutkan kembali


kisahnya hingga bagaimana dia lolos dari api kebakaran
yang amat dahsyat itu.

�Aku tidak berhasil menemukan jenasahnya meski


sudah kucari kemana-mana,� demikian dia berkata,
�Sementara aku masih murung dan masgul, tiba-tiba
kujumpai diapun hadir di arena kejadian.�

�Dia? Apakah kau maksudkan si kakek rentan yang


kau kejar itu?� tanya Tay Thian.

�Dan orang itu kau maksud sebagai Cong Hui-miat?�


sambung Ui sauya pula.

�Sebetulnya aku tidak berani terlalu yakin, tapi


caranya berjalan telah meninggalkan kesan yang
kelewat dalam bagiku, kaki kanannya selalu melangkah
lebih dulu kemudian baru disusul kaki kirinya secara
terlahan-lahan.�

�Cara berjalan Cong Hui-miat memang sedikit agak


aneh,� kata Tay Thian kemudian, �Tapi kau tidak bisa
menuduhnya sebagai Cong Hui-miat hanya lantaran
caranya berjalan.�

�Bila tidak ada sesuatu yang tidak beres, kenapa dia


langsung kabur setelah bertemu aku?�

�Mungkin dia benar-benar mengira kau adalah


perampok!� sela Ui sauya sambil tertawa, �Bukankah
barusan dia menuduhmu sebagai rampok perempuan?�

�Aku malah mengira aku adalah seorang Thaykam!�


sela Cong Hoa jengkel.

�Sekalipun tadi aku sempat memanggilmu sebagai


bini, toch tidak perlu kau sumpahi aku jadi seorang
kasim.�

�Coba kalau tidak kau halangi tadi, sekarang kita


sudah tahu malaikat dari manakah dia itu.�

�Belum tentu,� ujar Tay Thian, �Bila dia benar-benar


seperti apa yang kau katakan, hebat ilmu meringankan
tubuhnya, biar Ui sauya tidak munculpun, dia pasti masih
mempunyai cara lain untuk meloloskan diri.�

�Sekalipun dia bukan Cong Hui-miat, paling tidak pasti


ada hubungannya dengan rahasia mummi.�

Tay Thian tidak bicara lagi, dia hanya termenung


sambil putar otak, sementara Ui sauya meneguk arak
tiada hentinya.
Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon
waru yang tumbuh ditepi jalan, berapa lembar daun
berguguran dan terbang melayang dimainkan angin.

Mendadak Tay Thian berkerut kening menyusul


tangan kirinya diayunkan ke depan, �Pryaaang!� sebuah
mangkuk kuah sudah terbanting hancur diatas lantai,
kuah yang tumpah pun mengalir membasahi seluruh
permukaan tanah.

Dengan tertegun Ui sauya mengawasi mangkuk yang


pecah itu, kemudian menengok pula ke arah Tay Thian.

�Hey� tegurnya, �Kalau kau memang jemu melihat


tampangku, aku bisa pindah ke meja lain.�

Cong Hoa pun tidak habis mengerti, dia tidak tahu


mengapa secara tiba-tiba Tay Thian bersikap begitu,
baru saja dia ingin bertanya, tampak peluh dingin telah
bercucuran membasahi wajah Tay Thian, darah meleleh
diujung bibirnya yang digigit kuat-kuat bahkan tubuhnya
mulai gemetar keras.

�Hey, kenapa kau?� serunya.

Tay Thian tidak menjawab, sepasang matanya


mengawasi hidangan yang ada diatas tungku api tanpa
berkedip.

�Dalam kuah ada racunnya?� kembali Cong Hoa


bertanya.

Tay Thian mengangguk kaku.


Berhubung waktu itu udara sangat dingin, begitu
hidangan mulai mendidih, Tay Thian dan Ui sauya segera
menghabiskan dua mangkuk kuah, sementara Cong
Hoa tidak ikut minum kuah itu lantaran sejak kecil dia
memang tidak terbiasa minum panas-panas, maka dia
membiarkan kuah dalam mangkuknya dingin terlebih
dulu.

Tidak disangka justru karena kebiasaan tersebut, hal


ini malah selamatkan dirinya.

Cong Hoa tidak membuang waktu lagi, dengan


cepat dia totok tiga buah jalan darah penting di tubuh
Tay Thian, kemudian menotok pula berapa buah jalan
darah ditubuh Ui sauya.

�Gunakan tenaga dalam untuk mendesak keluar


racun, paling baik lagi kalau bisa disalurkan lewat ujung
jari!� seru Cong Hoa kemudian.

�Percuma, tidak ada gunanya!� suara itu tiba-tiba


muncul dari belakang meja kasir.

Sambil tertawa terkekeh A-kit si pelayan rumah makan


sudah muncul sambil mengunci pintu depan.

Waktu itu adalah saat beristirahat rumah makan itu,


maka dalam ruangan yang luas hanya tinggal Cong
Hoa bertiga.

�Racun itu bernama Sau-li-cing (asmara seorang


gadis), biar tabib Hoa Tuo lahir kembali pun jangan
harap bisa memunahkan pengaruh racunnya,� kata A-
kit lagi.

�Sau-li-cing?�

�Benar, begitu racun itu masuk ke dalam tubuh maka


rasanya seperti berada dalam pelukan sang kekasih,
begitu hangat, lembut dan mesra, siapa pun enggan
untuk melepaskan diri dari keadaan itu.�

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya,


�Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang bisa
melayani pelukan mesra seorang kekasih?�

�Sungguh dahsyat pengaruh dari pelukan kekasih ini,�


keluh Tay Thian sambil tertawa getir, pandangan
matanya memancarkan penderitaan yang hebat.

�Benar, pelukan mesra sang kekasih benar benar bikin


orang tidak tahan,� sambung Ui sauya sambil tertawa
getir pula, �Aku bersumpah tidak akan berani bercinta
lagi dikemudian hari...�

Hingga tahun ini paling tidak usia Ui sauya sudah


melampaui tiga puluhan tahun, walaupun dia sudah
puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan, meski
sudah banyak kejadian besar yang dia lakukan, namun
belum pernah ada seorang manusiapun yang
menyaksikan dia berpacaran atau bercinta.

Cong Hoa memandang ke arahnya dengan wajah


murung, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus
dilakukan. A-kit pun sedang mengawasi mereka, tentu
saja memandang dengan senyuman dikulum, senyum
kebanggaan.

�Racun ini meski tidak sampai mematikan, paling tidak


dalam satu jam mendatang kau tidak akan bisa
menggunakan tenaga dalammu lagi,� suara A-kit
kedengaran semakin bangga.

Cong Hoa mulai tertawa dingin.

�Sekalipun mereka sudah keracunan, tapi aku toch


tidak ikut minum,� katanya.

�Kau? Biarpun kau habiskan sebaskon kuah, racun


tersebut tidak nanti akan berpengaruh bagimu, kapan
kau pernah menyaksikan seorang gadis berbaring
dalam pelukan gadis lain?�

Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, �Aku pun telah


mencampurkan sejenis obat khusus untukmu.�

�Oya?�

�Bahkan obat ini memiliki sebuah ciri khas yang


sangat aneh.�

�Apa keanehannya?�

�Obat itu memang khusus dirancang untuk para setan


arak,� ujar A-kit sambil mengawasi guci arak
dihadapannya, �Jika racun itu dicampurkan ke dalam
benda lain maka sama sekali tidak ada reaksinya, tapi
kalau dicampurkan ke dalam arak, keadaannya akan
berbeda sekali.�

�Bagaimana bedanya?�

�Semakin keras arak itu semakin berkasiat racun


tersebut, karena itu aku menyebutnya sebagai arak
tua.�

�Arak tua? Bagus, bagus sekali!� Cong Hoa tertawa


tergelak, �Justru arak tua yang makin diminum makin
nikmat.�

�Aku senang kalau kaupun bisa menikmati arak tua


itu, sehingga tidak menyia-nyiakan pengorbananku.�

�Apakah arak tua sama dengan arak sau-li-cing?�

�Tentu saja, meski tidak semesra pengaruh arak cinta


seorang gadis, arak tua pun memiliki ke istimewaan yang
berbeda.�

�Dengan susah payah kau carikan dua arak bagus,


memang tujuannya agar kami bisa mencicipi?� peluh
mulai membasahi ujung hidung Cong Hoa.

�Orang bilang kuda jempolan untuk enghiong, arak


wangi untuk jagoan, memangnya aku salah?�

�Aku tidak menyangka caramu menyamar jadi


pelayan sangat hebat,� kata Cong Hoa sambil
gelengkan kepalanya berulang kali.

A-kit tidak marah, dia malah tertawa.


�Aku tidak perlu menyamar, karena sejak dulu aku
memang seorang pelayan, jauh sebelum menjadi
anggota Cing Liong Hwee aku memang sudah pelayan,
justru yang kupelajari sekarang adalah bagaimana
memanfaatkan peranku sebagai seorang pelayan.�

�Ucapan yang bagus, pantas didenda tiga cawan


arak!� seru Ui sauya tiba-tiba sambil meneguk lagi tiga
cawan arak.

�Kalau toh identitasmu sudah tersimpan sangat rapi,


mengapa kau bongkar rahasiamu hari ini?� tanya Tay
Thian pula, �Memangnya kau ingin naik pangkat jadi
seorang ciangkwee?�

�Kau kira aku tidak tahu apa tujuan kedatangan


kalian hari ini?� ujar A-kit hambar, �Ketika pertama kali
Hoa siocia curiga kepadaku, waktu dia takut aku
diperalat orang, takut aku dibunuh orang untuk
menghilangkan saksi, menanti terjadi peristiwa di hutan
bunga bwee, ketika kait perpisahan direbut orang,
kalian tentu mulai curiga pasti ada yang membocorkan
rahasia ini.�

Setelah menatap Tay Thian sekejap, lanjutnya,


�Sewaktu kau mendatangi rumah bambu, tentu saja kau
curiga kalau Ing Bu-ok besar kemungkinan adalah
anggota perkumpulan naga hijau, menanti hal ini
berhasil kau buktikan, kaupun pasti menduga tentu
masih ada orang lain yang bekerja sama dengan Ing Buok,
dan siapakah orang itu?�
Sambil tertawa A-kit mengawasi mereka bertiga.

�Setelah dipertimbangkan berulang kali, akhirnya


hanya aku orang yang paling dicurigai,� kata A-kit
sambil menuding hidung sendiri, �Sekalipun kelihatannya
sejak awal hingga akhir aku sama sekali tidak terlibat,
tapi kalau ditelaah kembali, kelihatannya aku memang
sedikit tersangkut.�

�Kau keliru, seandainya sampai sekarang kau tetap


menyaru jadi cucu kura kura, kami malah sama sekali
tidak menaruh curiga kepadamu,� ujar Cong Hoa.

�Betul!� Ui sauya menambahkan, �Curiga urusan


curiga, kalau tanpa bukti, kami toh tidak mungkin
menuduh orang secara sembarangan.�

�Sebenarnya aku sendiripun kurang setuju untuk


membongkar identitasku pada saat ini, sayang ada
seseorang yang tidak setuju,� kata A-kit tetap tertawa.

�Siapa?�

�Aku!� suara itu muncul dari anak tangga, disusul


suara langkah manusia yang naik ke atas loteng.

Suara langkah yang tetap, mantap dan penuh


bertenaga.

Entah sejak kapan kegelapan malam telah menjelang


tiba.
Seluruh ruangan rumah makan Cong-cun-wan telah
bermandikan cahaya lentera.

Dengan mata terbelalak lebar Cong Hoa, Tay Thian


dan Ui sauya mengawasi orang yang sedang berjalan
naik ke atas loteng.

Mimik muka ketiga orang itu menunjukkan perubahan


yang berbeda, ada yang tercengang, terperangah,
ada pula yang kaget, seakan tidak percaya.

Ternyata orang yang berdiri di mulut tangga tertawa


sangat lebar, tertawa sangat menawan.

�Ternyata kau!� seru Tay Thian sambil menghela


napas.

�Tentu saja aku, kecuali aku, siapa lagi didunia saat ini
yang memiliki begitu banyak resep dari tabib Hua Tuo?�

�Jadi kau juga yang memusnahkan semua rahasia


pembuatan mummi yang berada di ruang bawah
tanah?� tanya Cong Hoa.

�Benar.�

�Siapakah si setan pengganti yang kau utus kemarin?


Apakah diapun ikut mati terbakar?�

�Siapakah dia sudah bukan urusan penting lagi,� kata


orang itu dengan suara yang ramah, �Bukankah aku
yang menjadi incaran kalian semua?�
Ui sauya menghela napas panjang, selanya, �Kau
memiliki kedudukan yang bagus, status yang terhormat,
mengapa rela menurunkan derajat sendiri dengan
menjadi begundal orang lain?�

Orang itu tidak menjawab, terhadap pertanyaan


sebangsa itu dia memang selalu menolak untuk
menjawab, dia hanya tertawa.

�Padahal pesanggrahan Coan-sin-ie-khek sudah


dianggap sebagai tempat keramat, tempat yang
disegani dan dihormati setiap umat persilatan, bahkan
nama besar Hong Coan-sin pun sudah amat termashur
dikolong langit, kenapa kau tidak segan untuk
menghancurkannya?� kata Tay Thian pula.

Ternyata orang itu tidak lain adalah Hong Coan-sin.

Hong Coan-sin hanya tertawa, dengan langkah yang


amat santai dia berjalan ke dalam ruangan, sementara
sorot matanya memandang ke arah Tay Thian.

�Sejak kapan kau mulai curiga kepada-ku?� tanya


dia.

�Sepintar lalu orang mengira kematian Lo Kay-sian


disebabkan terkena kait perpisahan, padahal kau
seharusnya mengerti juga, dia bukan mati karena
terhajar kait perpisahan, dia mati karena terkena sejenis
racun yang membuatnya tidak sanggup mengerahkan
tenaga dalamnya.�

�Yaa, racun Sau-li-cing!�


�Waktu itu aku tidak tahu apa namanya, tapi secara
lamat-lamat bisa kuduga kalau racun itu sebangsa
bubuk Ngo-ma-san yang bisa membuat orang mati
rasa,� kata Tay Thian, �Bila bubuk Ngo-ma-san yang
hebat pun berhasil ditemukan orang, rasanya tidak sulit
untuk membuat racun sebangsa sau-li-cing.�

�Oleh sebab itu kau mulai mencurigai aku?�

�Belum, aku belum menaruh curiga kepadamu,� Tay


Thian menggeleng, �Kemudian aku tiba di rumah
bambu, minum arak yang sudah dicampuri opium
sehingga muncul khayalan tentang burung kakak tua
berdarah, beruntung waktu itu Ui sauya muncul tepat
waktu dan selamatkan jiwaku.�

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, �Tapi yang


membuat aku sangat terkejut adalah ternyata Ing Bu-ok
dapat menggunakan ilmu pedang toh-mia-cap-sakiam.�

�Menunggu kau bertemu dengan Cong Hoa dan


mengetahui masalah peti mati kosong dan ruang
bawah tanah, kemudian bila kalian rangkai semua
persoalan menjadi satu, memangnya saat itu aku bisa
menyangkal lagi?� kata Hong Coan-sin dengan nada
hambar.

�Tahukah kau, selama ini aku selalu


menghormatimu?� kata Tay Thian, �Bukan saja
menghormati kehebatan ilmu pertabibanmu, akupun
menghormati kau sebagai seorang kuncu sejati,
mengapa kau justru melakukan perbuatan terkutuk
macam ini?�

�Bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee


bukan perbuatan yang terkutuk,� kata A-kit sambil
tertawa, �Perkumpulan naga hijau...�

�Hmm, manusia macam kau pun bisa bergabung


dengan perkumpulan Cing Liong Hwee?� tidak tahan
Cong Hoa berseru.

Hong Coan-sin termenung sejenak, lewat berapa saat


kemudian dia baru menghela napas panjang.

�Oleh karena aku adalah manusia semacam ini,


maka baru bergabung dengan perkumpulan mokau,�
sahutnya.

�Berarti kau masuk atas dasar suka rela?� tanya Ui


sauya.

�Benar.�

�Aku benar-benar tidak habis mengerti,� gumam


Cong Hoa seraya menggeleng, �Aku benar-benar tidak
habis mengerti.�

�Mungkin kau tidak mengerti lantaran kau sama sekali


tidak tahu manusia macam apakah dirimu ini.�

Tiada perubahan apapun diatas wajah Hong Coansin,


tapi kelopak matanya justru menyusut kencang,
sekilas perasaan apa boleh buat terlintas di wajahnya.
�Sekalipun begitu, paling tidak aku masih percaya
kalau kau bukan seorang siaujin berhati telengas seperti
anggota perkumpulan Cing Liong Hwee lainnya,� kata
Tay Thian.

Untuk kesekian kalinya Hong Coan-sin termenung,


setelah itu perlahan-lahan dia baru berkata, �Aku
belajar ilmu pertabiban memang bertujuan untuk
menolong orang, sebab aku mendapat tahu, dari
sepuluh orang tabib yang ada didunia ini, sembilan
setengah diantaranya hanya manusia goblok.�

�Ehmm, dalam hal ini aku sangat setuju,� Ui sauya


manggut-manggut.

�Tapi kemudian, aku belajar ilmu pertabiban sudah


bukan untuk menolong orang.�

�Lalu untuk apa?�


�Terakhir aku belajar ilmu pertabiban karena aku
sudah sama sekali keranjingan, kesetanan.�

.... Dalam melakukan pekerjaan apa pun, bila sudah


keranjingan, dia gampang kesetanan.

�Maka kaupun bergabung dengan perkumpulan


Cing Liong Hwee?� tanya Ui sauya.

�Perkumpulan Cing Liong Hwee tidak lebih hanya


sebuah organisasi pembunuh,� kata Cong Hoa, �Aku
tidak habis mengerti, apa hubungannya dengan ilmu
pertabiban?�
�Aku mengerti,� ujar Tay Thian, �Meskipun dalam
perkumpulan Cing Liong Hwee banyak terdapat tehnik
membunuh yang sangat menakutkan, namun terdapat
juga banyak resep rahasia untuk mengobati orang,
seperti misalnya obat campuran opium yang kuteguk di
rumah bambu tempo hari, bila digunakan pada jalan
yang benar, khususnya bila dipakai untuk mengobati
penyakit, seringkali kasiatnya jauh diluar dugaan.�

...Air bisa membuat sampan mengambang, dapat


pula membuat sampan tenggelam.

�Bila kau menggunakan untuk hal yang positip, serbuk


Bi-suang pun bisa menjadi obat penyembuh yang
mustajab,� kata Hong Coan-sin cepat.

�Bi-suang? Bukankah benda itu sangat beracun? Bisa


dipakai untuk mengobati apa?� tanya Cong Hoa tidak
habis mengerti.

�Pernah dengar sistim pengobatan dengan racun


melawan racun?�

�Benar.�

�Nah, itulah kegunaannya.�

Sekujur badan Cong Hoa sudah mulai gemetar tiada


hentinya.

Entah karena udara semakin dingin? Atau karena


reaksi 'arak tua'. Kelopak matannya terasa semakin
berat dan ingin dipejamkan, tapi perasaan hatinya
tetap meronta, dia tetap meronta dan berusaha
membuka matanya kembali, dia seakan melihat Hong
Coan-sin sedang tertawa, diapun seolah mendengar Ui
sauya sedang bertanya, �Berarti kau bergabung dengan
perkumpulan Cing Liong Hwee karena ingin belajar ilmu
pertabiban?�

�Benar.�

�Kalau memang untuk mengobati orang, kenapa


masih membunuh orang?�

�Terkadang untuk membunuh, terkadang untuk


menolong.�

Sewaktu mendengar perkataan itu, kulit mata Cong


Hoa sudah terasa sangat berat, kemudian dia tidak
mendengar suara apa-apa lagi.

Pada saat itulah dia terbayang kembali sorot mata Ui


sauya yang seakan sedang dirundung kekesalan.

Bubur kedele dari Nona hitam.

Ruangan itu dominan berwarna putih, Nyoo Cing


berbaring ditengah warna putih. Dinding yang putih, tirai
jendela yang putih, seprei yang putih, tapi kegelapan
pekat berada diluar jendela. Sedemikian hitamnya
hingga membuat perasaan hati remuk redam.

Walaupun sepasang mata Nyoo Cing sedang


mengawasi kegelapan malam diluar jendela, namun
sinar matanya entah sudah berpetualangan hingga ke
mana?

Nun jauh didepan sana terlihat awan sedang


bergerak, ditengah hembusan angin lamat-lamat
terdengar suara auman anjing yang saling bersahutan.

Malam, mengapa selalu mendatangkan kesepian?


Mendatangkan kesedihan?

Malam ini bintang bertaburan di angkasa, rembulan


bersinar tanpa suara, suasana tercekam dalam
keheningan yang luar biasa. Keheningan yang
membuat perasaan hati orang berbuai mabuk. Sinar
mata masih melayang kian kemari, namun telinga nya
mulai bergerak.

Malam sangat hening, oleh sebab itu suara langkah


kaki yang ringan selalu memancing perhatian khusus.

BAB 2.

Suara langkah itu ringan lagi pendek pendek, jelas


suara langkah kaki seorang wanita.

Belum terdengar suara ketukan pintu, dengan


kemalas-malasan Nyoo Cing telah berseru, �Masuklah!�

Suara langkah kaki itu seketika terhenti, tampaknya si


pendatang merasa amat terkejut. Akhirnya pintu dibuka
orang dan masuklah seorang wanita yang amat cantik,
amat lembut dan amat manis.

�Ayah, kau belum tidur?� ternyata wanita yang


barusan muncul adalah Hoa U-gi.

�Ingin tidur, hanya malam ini kelewat hening,


keheningan membuat aku pingin minum arak,� jawab
Nyoo Cing masih memandang keluar jendela.

�Boleh minum arak?�

�Semua tabib pasti berkata, seorang pasien tidak


boleh minum arak,� Nyoo Cing membalikkan tubuh dan
menyahut sambil tertawa, �Menurutmu, bolehkah aku
minum arak?�

�Kalau ayah ingin minum, siapa yang mampu


menghalangi?� Hoa U-gi turut tertawa.

Mendengar perkataan itu, diatas wajah Nyoo Cing


segera tampil suatu perasaan apa boleh buat yang
sukar dilukiskan dengan kata, ujarnya sambil tertawa
getir,

�Semua orang sukses, seringkali tidak dapat


mendengar kata hati yang sesungguhnya.�

Tentu saja Hoa U-gi mengerti apa maksud


perkataannya itu, namun dia hanya tertawa. Biarpun
wajahnya dipenuhi senyuman namun dibalik matanya
sama sekali tidak ada niat tersenyum, tertawa semacam
ini jauh lebih menggidikkan hati ketimbang sama sekali
tidak tertawa.

Malam semakin hening, angin berhembus makin


dingin, diujung musim gugur, tiada bintang yang
berbicara di udara.

�Aneh, hari ini Tay suya tidak berada disini, juga tidak
balik ke istana, sebenarnya dia pergi kemana?� tanya
Hoa U-gi.

�Kesebuah tempat, sebuah tempat yang amat jauh,


sebuah tempat yang sangat dekat,� jawab Nyoo Cing.

�Sangat jauh? Amat dekat? Apa maksud perkataan


ini?�

�Tempat yang dia kunjungi boleh dibilang sangat


dekat, tapi bisa juga dibilang amat jauh,� kata Nyoo
Cing sambil menatap wajahnya, �Ini mah tergantung
kejadian apa yang sedang dihadapinya?�

..... Bila nasibnya buruk berarti dia mati, kalau mati


berarti pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Bila
bertemu jebakan hingga nasibnya kurang beruntung
dan ditangkap, dia pasti berada dekat dari situ.

Hoa U-gi mengawasi kerutan diatas wajah Nyoo Cing,


tidak berjumpa selama berapa hari, dia merasa kerutan
diwajah ayahnya bertambah banyak, bahkan
bertambah dalam.
�Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Tay
suya, apa yang bisa kuperbuat?� setelah mengawasi
kakinya yang masih dijepit dengan papan, lanjutnya,
�Aku hanya seorang pasien, kakiku sedang diikat
dengan papan yang menyiksaku setengah mati, mau
bergerak pun sama sekali tidak mampu, biarpun berhasil
menemukan dia, apa yang bisa kuperbuat?
Membantunya? Biar punya keinginan berbuat
begitupun tidak punya kekuatan.�

�Ayah sudah memangku jabatan banyak tahun, kau


pasti masih mempunyai orang kepercayaan,� ujar Hoa
U-gi seakan sangat menguatirkan keselamatan Tay
Thian, �Apakah perlu kuberitahu kepada mereka, agar
orang-orang itu pergi mencari Tay suya?�

�Darimana kau bisa tahu kalau aku masih memiliki


orang kepercayaan?� tanya Nyoo Cing sambil
menatapnya tajam.

�Sejak dulu, tidak seorang jenderal pun yang tidak


memiliki orang kepercayaan,� Hoa U-gi tertawa,
�Sekalipun tidak pernah digunakan sepanjang masa
hidupnya, paling tidak pasti sudah mempersiapkan jauh
sebelumnya.�

Nyoo Cing tertawa.

�Biarpun saat ini masih selisih jauh menjelang fajar


menyingsing, namun masa gelap akhirnya pasti akan
berlalu dan hari terang pasti akan muncul juga,� Nyoo
Cing mengalihkan pandangannya ke luar jendela,
�Disaat menjelang fajar, ketika hawa dingin masih
menyelimuti udara pagi, bisa menikmati semangkuk
bubur kedele memang merupakan satu kenikmatan
yang luar biasa.�

�Ayah ingin minum bubuk kelede?�

�Sudah cukup lama aku tidak menikmati bubur


kedele dari nona hitam.�

�Bubur kedele nona hitam?� seru Hoa U-gi, �Maksud


ayah, bubur kedele asin yang dijual di kedai bubur
asin?�

�Benar.�

�Konon resep mereka diwariskan secara turun


menurun?�

�Itulah sebabnya dagangan mereka sangat laris,


biasanya sebelum fajar menyingsing, dagangan mereka
sudah habis terjual.�

�Baik, kalau begitu aku akan ke sana dan


membelikan semangkuk untuk ayah.�

�Bila dia sudah selesai membungkus bubur itu,


terimalah dengan tangan kiri kemudian kembalikan
kepadanya lagi dengan tangan kanan,� kata Nyoo
Cing, �Katakan, kau ingin minum semangkuk dulu disitu.�

Berbinar sepasang mata Hoa U-gi setelah mendengar


perkataan itu.
�Dia pasti akan bertanya kepadamu, mau
menggunakan mangkuk apa,� ujar Nyoo Cing lebih
jauh, �Maka jawab saja sembarang mangkuk asal bukan
mangkuk yang sudah gumpil.�

�Hanya begitu?�

�Benar.�

�Apakah kata-kata itu merupakan kode rahasia untuk


berhubungan? Jadi si nona hitam adalah orang
kepercayaan ayah?� desak Hoa U-gi lebih jauh.

Nyoo Cing mengangguk tanda membenarkan.

�Apakah perlu disampaikan suatu berita?�

�Tidak perlu, tidak usah bicara apapun!�

�Baik, aku tahu!�


Kabut tebal berwarna putih muncul dari tengah hutan
diatas bukit, menguap ke udara dari permukaan tanah
yang lembab, sementara asap putih mengepul dari atas
kuali.

Si nona hitam baru saja membuka penutup kuali dan


mengambil semangkuk bubur kedele, setelah diberi
sedikit bumbu maka semangkuk bubur kedele asin dari
nona hitam sudah dihidangkan didepan tamu yang
antri.
Saat itu fajar belum menyingsing, tapi didalam kedai
nya sudah ada enam tujuh orang tamu yang sedang
antri.

Nona hitam sedikitpun tidak hitam, bukan saja tidak


berwarna hitam, kulit tubuhnya justru kelihatan sangat
merah, semerah gadis perawan yang baru pertama kali
bertemu kekasihnya, warna merah yang menghiasi pipi
mereka.

Usianya seputar dua puluh lima, enam tahunan,


mukanya bulat, alis matanya melengkung bagai bulan,
biji matanya hitam berkilat bagaikan rembulan yang
muncul sehabis hujan deras, hidungnya kecil mancung,
bibirnya bagai buah delima merekah.

Diapun memiliki sepasang kaki yang mulus, ramping


dan halus, ditambah celana hitamnya yang ketat,
membuat nona itu nampak sangat menawan.

Biarpun sepasang tangannya sudah terbiasa bekerja


keras, namun jari jemarinya masih tampak mulus,
ramping dan indah, selembut tahu yang baru diangkat
dari dalam kuali.

Sewaktu Hoa U-gi tiba disitu, tujuh delapan buah meja


yang tersedia dalam kedai sudah ditempati belasan
orang, setiap tamu asyik menikmati bubur kedele dan
seakan saling tidak mengenal.

�Selamat pagi!� sapa nona hitam sambil tertawa,


�Pagi amat nona sudah sampai disini?�
�Katanya kalau datang terlambat, tidak akan
kebagian bubur,� sahut Hoa U-gi sambil tertawa pula.

�Maklumlah, mulai memilih kedele, mencuci,


menumbuk hingga memasak, semuanya kulakukan
sendiri, jadi yaa beginilah...�

�Tapi akibatnya semua pembeli jadi sengsara, sebab


harus datang lebih awal,� Hoa U-gi seakan sedang
mengomel.

Sementara kedua orang itu saling berbincang,


belasan tamu lainnya seakan tidak mendengar, mereka
semua masih asyik menikmati bubur kedelenya sehingga
tidak berminat untuk memperhatikan urusan lain.

�Tolong siapkan dua mangkuk bubur, aku akan


membawanya pulang,� kata Hoa U-gi sambil
menyodorkan mangkuk yang dibawanya.

�Baik.�

Ketika bubur itu telah siap dan diserahkan kepada


Hoa U-gi, gadis itu segera menerimanya dengan tangan
kiri lalu mengem-balikan kepada nona hitam itu dengan
tangan kanannya.

�Lebih baik aku menikmati semangkuk dulu disini.�

�Oya?� berkilat sepasang mata nona hitam, �Mau


memakai mangkuk apa?�

�Sembarang, asal bukan mangkuk yang gumpil.�


Hoa U-gi telah melaksanakan semua tugasnya sesuai
dengan perintah Nyoo Cing. Dan seharusnya persoalan
pun sudah selesai sampai disitu.

Siapa tahu baru saja menerima kembali mangkuk


berisi bubur dari tangan Hoa U-gi, mendadak terlihat
nona hitam mengernyitkan dahinya, mangkuk berisi
bubur panas yang berada ditangannya tahu-tahu
sudah dilemparkan ke arah sebuah meja ditengah
ruangan, meja yang ditempati tiga orang tamu.

Bubur panas itu segera meluncur ke udara dan


menyiram ke wajah tiga orang itu.

Dengan cekatan ketiga orang itu berjumpalitan lalu


menyingkir ke samping, berbarengan dengan gerakan
itu, tiba-tiba sisa tamu yang lain telah melompat
bangun, dalam genggaman mereka pun sudah
bertambah dengan belasan macam senjata tajam.

Pedang, golok, kapak, senjata rahasia, ruyung, poankoan-


pit, hampir semua jenis senjata tajam ditujukan ke
tubuh nona hitam.

Dengan amat cekatan nona hitam menyambar


kualinya kemudian melesat ke atas udara dengan
menjebol atap rumah, kemudian dengan satu gerakan
yang indah dia berdiri diatas wuwungan rumah.

Baru saja tubuhnya berdiri tegak, mendadak dari


hadapan wuwungan rumah meluncur datang sebaris
anak panah, nona hitam segera membungkukkan tubuh
sambil melayang turun ke tengah jalanan.

Seorang pemuda bersenjata sepasang kapak segera


menyongsong kedatangannya, bagaikan putaran roda
pedati sepasang senjatanya membacok tubuh gadis itu
berulang kali.

Dari balik kegelapan terlintas sekilas cahaya darah,


disusul percikan darah segar berhamburan ke mana
mana.

Tahu-tahu pemuda bersenjata kapak itu sudah roboh


terkapar ke tanah, darah masih bercucuran membasahi
wajahnya, perasaan kaget, tercengang, ngeri
bercampur aduk diwajahnya, seakan hingga saat
ajalnya dia masih belum percaya kalau nona hitam bisa
menghabisi nyawanya.

Ditengah hujan darah, kembali ada empat orang


muncul dari balik warung, dengan membagi diri jadi dua
arah, satu rombongan menyerang tubuh bagian atas
nona hitam itu sementara rombongan yang lain
membabat bagian bawah tubuhnya. Orang ke lima
yang kemudian munculkan diri bersenjatakan sebuah
ruyung panjang, senjatanya bagaikan seekor ular
berbisa langsung melilit ke arah pinggangnya.

�Pletakk..!� dengan cepat ruyung itu melilit


dipinggang nona hitam, sementara senjata tajam yang
berada ditangan ke empat orang lainnya sudah berada
tidak sampai satu inci dari tubuh nona itu.
Semua peristiwa berlangsung dalam waktu sekejap,
belum sempat Hoa U-gi melihat jelas apa yang terjadi,
tahu-tahu ruyung itu sudah melilit dipinggang nona
hitam disusul kemudian senjata ditangan ke empat
orang itu sudah dibacokkan ke atas tubuihnya.

BAB 3.

Ti Cing-ling yang berada di rumah batu.

Sebuah rumah batu, sebuah meja batu, dua buah


bangku batu, sebuah lentera, sebuah anglo tembaga,
sepoci arak, sebuah cawan kristal, sebuah mangkuk
kristal, seorang manusia.

Anglo berada diatas meja batu, diatas anglo sedang


memasak semangkuk bubur teratai, bau harum
semerbak memenuhi seluruh ruangan berbatu itu. Si
manusia duduk ditepi lentera.

Dia mengenakan pakaian serba putih, bersih tidak


berdebu, wajahnya pucat, bersih namun selalu
membawa mimik muka senyum tidak senyum yang
dingin menggidikkan hati.

Diatas lantai berlapiskan sebuah permadani bulu


domba yag didatangkan dari negeri Persia.
Ti Cing-ling dengan mengenakan jubah panjang
berwarna putih, bertelanjang kaki, duduk bersila
didepan meja batu, duduk diatas permadani berbulu
domba dan perlahan-lahan menikmati arak anggurnya
yang memenuhi cawan kristal.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang perlahan


bergema dari luar pintu, disusul pintu ruangan dibuka
dan seorang perempuan berbaju putih bagai sesosok
sukma gentayangan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ti Cing-ling sengaja tidak memandang ke arahnya, dia
masih menikmati arak anggurnya dengan santai.

Perempuan berbaju putih itu langsung duduk


dihadapannya, dia menuang sendiri secawan arak
anggur lalu memandang kearah lelaki dihadapannya
dengan tenang.

Lama sekali mereka duduk saling berhadapan, saling


minum arak tanpa berbincang.

Lama, lama kemudian, akhirnya Ti Cing-ling


mendongakkan kepalanya memandang ke arah
perempuan itu.

�Rupanya kau? Kau sudah datang?�

�Tentu saja aku, tentu saja aku yang dating!�

�Tapi seingatku, seharusnya kau sudah datang


semenjak setengah jam berselang?�
��Setengah jam berselang semestinya aku sudah
duduk disini, tapi si kura-kura tua itu bukan manusia
sederhana, aku mesti bertindak lebih hati-hati, berputar
dulu ke tempat lain sebelum datang kemari.�

Ti Cing-ling menatapnya lekat-lekat.

�Sejak kau datang kemari dulu, sampai sekarang


sudah selisih berapa lama?�

�Tiga belas tahun.�

�Tiga belas tahun lewat sembilan bulan tujuh hari!� Ti


Cing-ling segera mengkoreksi, �Ketika kau datang
selamatkan jiwaku, hari itu adalah bulan dua belas
tanggal dua puluh sembilan, sementara hari ini adalah
bulan sepuluh tanggal tujuh.�

Kembali ditatapnya perempuan itu lekat lekat,


terusnya, �Itu berarti sudah lewat tiga belas tahun
sembilan bulan tujuh hari.�

�Sungguh cepat waktu berlalu,� perempuan itu


menghela napas panjang.

�Dalam tiga belas tahun ini, nyamankah hidupmu?�

�Sangat tenang,� sahut perempuan itu setelah


menghirup seteguk araknya.

�Apakah kura-kura tua itu seringkah munculkan diri?�


�Tidak, tapi jauh lebih menakutkan dari pada dia
muncul dihadapanku,� suara perempuan itu
kedengaran agak gemetar.

�Oya?�

�Bila dia munculkan diri, kau akan tahu kalau dia


berada dihadapanmu, tapi kalau tidak muncul, maka
setiap waktu setiap saat kau seolah olah merasa kalau
dia berada disekelilingmu.�

Setelah meneguk secawan arak, lanjutnya,


�Perasaanku waktu itu seperti berada ditengah hutan
lewat, meskipun tidak menjumpai binatang apapun
yang berbahaya, namun setiap mengayunkan langkah,
kau selalu harus waspada, siap menghadapi terkaman
dari binatang buas.�

Dengan tenang Ti Cing-ling menyuap bubur bunga


teratainya, diapun mengambilkan semangkuk untuk
perempuan itu.

�Kapan janjimu dengan kura-kura tua itu?� dia


bertanya.

�Dua puluh tahun lebih satu bulan.�

�Dua puluh tahun lebih satu bulan?� dengan


termangu Ti Cing-ling mengawasi asap yang mengepul
dari kuali, �Mengapa bukan dua puluh tahun, mengapa
bulan dua puluh satu tahun tapi justru dua puluh tahun
lewat satu bulan?�
Setelah menyuap lagi sesendok bubur, lanjutnya,
�Mengapa harus dilampaui selama satu bulan?�

�Mungkin saja dia merasa lebih asyik dengan


ditambah satu bulan.�

�Tidak, pasti ada maksud tertentu,� ujar Ti Cing-ling,


�Aku sangat memahami watak kura-kura tua itu, belum
pernah dia melakukan pekerjaan yang tidak bermakna.�

�Mungkin saja tujuannya agar kita selalu menaruh


perasaan sangsi, curiga dan ragu.�

�Moga moga saja begitu,� kata Ti Cing-ling setelah


berpikir sejenak, �Cara kerja kura-kura tua ini selalu lebih
aneh ketimbang cara kerja Siau gongcu, ilmu silatnya
juga sukar ditebak, betul-betul membuat kepala pusing.�

�Sudah lama dia tidak mencampuri urusan dunia


persilatan lagi, mengapa justru menaruh perhatian yang
berlebihan terhadap Nyoo Cing?�

�Sebab ayahnya Nyoo Cing, Nyoo Heng adalah satusatunya


sobat kental dia,� Ti Cing-ling menerangkan
setelah menghirup seteguk arak anggur.

�Kalau memang ingin membantu Nyoo Cing, kenapa


tidak dilakukan terus terang?�

�Sebab dia tidak berharap Nyoo Cing menjadi


seseorang yang tidak punya pendirian dan selalu
tergantung pada orang lain, dia ingin Nyoo Cing
menjadi Nyoo Heng kedua.�
Ditatapnya perempuan berbaju putih itu sekejap,
kemudian sambil tersenyum kembali Ti Cing-ling
melanjutkan, �Kalau bukan begini, buat apa dia paksa
kau untuk menepati sumpah janjimu selama dua puluh
tahun? Kalau bukan karena begini, kau sudah mati sejak
dua puluh tahun berselang.�

�Dia suruh aku menepati sumpahku bertahan selama


dua puluh tahun lebih satu bulan, bukankah tujuannya
agar Nyoo Cing membunuh aku dengan tangannya
sendiri?� kata perempuan berbaju putih itu hambar.

�Rasanya memang begitu.�

Mendadak dari balik mata perempuan berbaju putih


itu terpancar sebuah perubahan yang tidak terlukis
dengan perkataan, semacam rasa benci, dendam,
murung, kesal, sedih dan perasaan apa boleh buat yang
bercampur aduk.

�Kalau bukan begini, rasanya kau pun sudah mampus


sejak dua puluh tahun berselang?� sindir perempuan
berbaju putih itu sambil tertawa, tertawa dingin.

�Tapi paling tidak alasannya tidak membunuhku


sedikit berbeda dengan alasanmu.�

�Dibagian mana yang berbeda?�

�Dia pasti akan memberi sebuah kesempatan


kepada Nyoo Cing, sebuah kesempatan yang benarbenar
adil, dia menginginkan Nyoo Cing dengan
menggunakan kekuatan sendiri untuk berduel
melawanku.�

Setelah tertawa, kembali terusnya, �Kalau bukan


begitu, ketika tiga belas tahun berselang kau
mengingkar janji dengan secara diam-diam datang
menolongku, bagaimana mungkin kau bisa lolos dari
incaran serta pengamatannya?�

�Dia telah memberi sebuah kesempatan yang adil


kepada Nyoo Cing untuk berduel, bagaimana dengan
kau? Tampaknya kau tidak memberi kesempatan
kepada Nyoo Cing untuk berduel secara adil?� kata
perempuan berbaju putih itu.

�Ada, disaat duel itu berlangsung, aku pasti akan


memberi kesempatan yang adil untuk Nyoo Cing,� kata
Ti Cing-ling sambil tersenyum, �Tapi sebelum duel itu
berlangsung, kita harus tergantung pada kemampuan
masing-masing.�

�Tapi cara kerjamu kelewat keji, kelewat sadis, mulamula


kau hantar putrinya agar bertemu dengannya,
agar tumbuh perasaan kasih diantara mereka berdua,
bila rasa kasih sudah tumbuh, perasaan orang akan
bertambah lembek, kemudian setiap saat kau berusaha
menciptakan ancaman bahaya kepada putrinya, agar
dia merasakan tekanan batin yang berat.�

Ti Cing-ling hanya mendengarkan, sama sekali tidak


komentar.
�Tekanan batin bisa menimbulkan kekosongan pikiran,
pikiran yang kosong akan membuatnya sangat
tergantung pada orang kepercayaannya, saat itulah
kau akan menyingkirkan orang kepercayaannya satu
demi satu, agar dia hidup sendirian lagi.�

Dengan sorot mata yang tajam perempuan berbaju


putih itu mengawasinya lekat-lekat, kemudian katanya
lagi, �Bila keadaan ini dibiarkan berkembang terus,
maka ketika tiba saatnya untuk berduel, kau pun bisa
meraih kemenangan tanpa harus bertarung.�

Ti Cing-ling balas menatapnya.

�Apakah kau tidak berharap aku menang? Apakah


kau berharap aku kalah?� serunya.

Menghadapi pertanyaan ini, untuk sesaat perempuan


berbaju putih itu tidak sanggup menjawab, dia
sendiripun tidak jelas, seharusnya mengharapkan Nyoo
Cing menang atau kalah.

Tapi sejujurnya, dia memang berharap Nyoo Cing


kalah, tapi tidak berharap Nyoo Cing mati.

�Tampaknya posisi Nyoo Cing saat ini sudah sendiri,


apa langkahmu berikut?� tanya perempuan berbaju
putih itu.

�Langkah berikut tentu saja merupakan langkah


terpenting,� kata Ti Cing-ling, �Aku akan membuat
pertahanan terakhirnya ikut runtuh.�
�Pertahanan terakhir?� tanya perempuan berbaju
putih, �Apa pertahanan yang terakhirnya?�

�Perasaan, hubungan kekeluargaan.�

�Perasaan? Hubungan kekeluargaan?�

�Benar, hubungan kekeluargaan, kita bisa


manfaatkan putrinya Hoa U-gi, sementara perasaannya
tentu kita hadapi dengan orang yang paling dicintai.�

Perasaan bangga terpancar dari balik mata Ti Cingling,


sinar penuh kesadisan.

�Aku akan mengirim sebuah benda milik perempuan


yang paling dicintai kepadanya.�

Bagi seorang pasien, pekerjaan yang paling


membuat mereka tidak leluasa adalah kencing dan
buang air, apalagi bagi Nyoo Cing yang patah tulang
kakinya.

Mulai dari pinggang hingga ke bawah tubuhnya


dijepit dengan papan kayu, membuat dia sama sekali
tidak mampu bergerak, jangan lagi untuk membalikkan
tubuh.

Untung sekali bukan saja pesanggrahan pengobatan


Coan-sin-ie-khek memiliki tehnik pengobatan yang
hebat, pelayanan mereka pun terhitung top.
Apalagi untuk seorang tokoh macam Nyoo Cing,
tentu saja ada orang khusus yang melayani semua
kebutuhannya.

Diujung ranjang dekat dinding terdapat seutas tali, tali


itu dihubungkan melalui jendela luar langsung ke ruang
istirahat para petugas pesanggrahan, tali itu
dihubungkan pula dengan sebuah keleningan.

Bila pasien butuh pelayanan, cukup menarik tali itu


maka petugas segera akan muncul untuk memberikan
pelayanannya.

Baru saja Nyoo Cing akan menarik tali, seorang gadis


cantik sudah muncul didalam ruangan sambil bertanya,
�Ongya, ada urusan apa?�

�Aku merasa ruangan ini sumpek, bisa kau buka daun


jendela disebelah sana?�

�Tentu saja,� jawab gadis itu cepat.

Tidak lama sepeninggal gadis itu, Nyoo Cing menarik


napas panjang kemudian berbisik, �Sekarang kau boleh
masuk, sudah seharian aku menunggu kedatanganmu.�

Padahal suasana waktu itu hening, tiada suara


langkah, tiada suara ketukan pintu, darimana dia tahu
kalau ada orang yang datang?

Pintu segera dibuka, kemudian terdengar seseorang


berkata, �Darimana kau tahu kalau aku sudah datang?�
�Sebab bubur kedele buatan nona hitam selalu
harum dan sedap.�

�Ooh, rupanya ayah sudah mengendus baunya!� seru


Hoa U-gi sambil menghampiri pembaringan, �Pagi tadi
sehabis membeli bubur, aku masih ada sedikit urusan
maka baru sekarang datang kemari.�

�Tidak apa-apa,� sahut Nyoo Cing sambil membuka


matanya dan memandang dia sekejap.

�Ayah mau mencicipinya semangkuk?�

�Baik, bubur kedele buatan nona hitam ini pasti


istimewa rasanya.�

Ketika mengucapkan kata �istimewa�, Nyoo Cing


seakan sengaja menandaskannya.

Tapi Hoa U-gi seperti tidak menyadari akan hal itu,


dengan riangnya dia mengambil semangkuk bubur
kemudian dihidangkan didepan Nyoo Cing.

�Mau aku suapi?�

�Tidak usah, biar aku sendiri. Kalau tiduran terus,


tulangku bisa kaku semua.�

Nyoo Cing mencoba setengah terduduk, lalu sambil


menerima mangkuk bubur dari tangan Hoa U-gi,
katanya lagi, �Hmm, baunya memang harum, tidak
heran kalau dagangannya laris sekali, tiap kali ke
sana, semua meja nya nyaris ditempati belasan orang
tamu.�

Hoa U-gi tampak mengernyitkan alis matanya, tapi


Nyoo Cing berlagak tidak melihat, dia hanya
mengawasi bubur dalam genggamannya dengan
termangu.

�Cepat diminum, mumpung masih hangat,� bujuk


Hoa U-gi lagi.

�Baik.�

Dengan penuh riang gembira Nyoo Cing menyuapi


bubur itu dan menghabiskan isi mangkuknya.

�U-gi!� mendadak Nyoo Cing berseru, �Tiba-tiba aku


teringat akan satu hal, boleh minta tolong kepadamu?�

�Tentu saja, urusan apa?�

�Malam ini aku belum minum obat, maukah kau pergi


mengambilkan untukku?�'

�Aku segera pergi.�

Sebelum meninggalkan pintu ruangan, kembali Hoa


U-gi berpesan, �Kau harus minum bubur itu sampai
habis.�

�Jangan kuatir, sewaktu kau datang nanti, tanggung


tidak setetespun yang ketinggalan,� sahut Nyoo Cing
sambil tertawa.
Tapi begitu Hoa U-gi lenyap dari pandangan,
senyuman yang semula menghiasi wajah Nyoo Cing pun
seketika lenyap tidak berbekas, dengan pandangan
serius diawasinya bubur itu.

Angin malam diawal musim dingin terasa


menggigilkan tubuh.

Mendadak Nyoo Cing menekan perutnya kuat-kuat,


kemudian dia pentang mulutnya dan menyemburkan
semua isi perutnya keluar jendela, segulung cairan
yang ternyata bubur yang baru diteguknya, segera
menyembur ke arah kebun.

Berbareng dengan perbuatannya itu, mangkuk


ditangan kanannya segera dilontarkan keluar jendela,
seakan terdapat sepasang tangan tidak berwujud yang
menyunggih mangkuk itu, benda tadi meluncur persis
disamping semburan buburnya tadi.

Dari balik pepohonan tampak seakan ada sesosok


bayangan manusia menyambut mangkuk itu dan
menuang seluruh sisa bubur ke tanah kemudian
melempar balik mangkuk kosong itu ke dalam ruangan

Baru saja Nyoo Cing menyambut kembali mangkuk


kosongnya, dari luar sudah terdengar seseorang
mengetuk pintu.

�Masuk!�

Hoa U-gi muncul didalam ruangan, begitu masuk,


matanya seakan melirik dulu ke arah mangkuk kosong
ditangan Nyoo Cing, setelah itu sambil tertawa baru
ujarnya, �Menurut mereka, bila kau tidak bisa tidur
malam nanti, obat itu baru diminum, kalau tidak, tidak
usah!�

�Oya? Tapi aku rasa malam ini tidurku pasti sangat


nyenyak, apalagi setelah menghabiskan semangkuk
bubur.�

Bicara sampai disitu tiba-tiba Nyoo Cing mulai


menggeliat dan matanya tampak sangat mengantuk.

�Kenapa tiba-tiba kau mengantuk?� kembali Hoa U-gi


menegur.

�Mungkin lantaran capek!�

�Kalau begitu cepat tidurlah,� Hoa U-gi


membantunya berbaring lalu dengan nada riang
bisiknya, �Besok, kau ingin aku bawakan apa?�

�Besok.....bawakan bunga saja......� kelopak mata


Nyoo Cing terlihat bertambah berat.

�Baik.�

Hari itu tanggal lima belas, persis bulan sedang


purnama.

Cahaya rembulan yang lembut bagai belaian tangan


seorang gadis yang sedang mengelus wajah Nyoo Cing.

Semenjak Hoa U-gi meninggalkan tempat itu, dia


tertidur terus tanpa bergerak sedikitpun.
Daun jendela masih dibiarkan terbuka, ditengah
hembusan angin malam yang sejuk terlihat sesosok
bayangan manusia berkelebat lewat.

Sesosok bayangan tubuh yang ramping, lembut tapi


cekatan.

Bayangan itu melesat masuk ke dalam ruangan


melalui jendela yang terbuka, dia mengenakan baju Yaheng-
ie berwarna hitam pekat, berdiri didepan
pembaringan bagai sukma gentayangan, dari balik
sorot matanya yang bening terpancar hawa
pembunuhan yang tebal.

Ketika Nyoo Cing menggerakkan tangannya, dengan


cepat bayangan hitam itu menempekan tubuhnya
rapat-rapat diatas dinding, mengawasi gerak-gerik lelaki
itu sambil menahan napas.

Agaknya dalam tidurnya Nyoo Cing merasa


kedinginan, sebab tangannya yang bergerak hanya
menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dia sama
sekali tidak mendusin, apalagi mengetahui kalau ada
orang sedang menghampirinya bahkan dengan
membawa hawa napsu membunuh.

Perlahan-lahan orang berbaju hitam itu


menghembuskan napas panjang, sekali lagi dia
bergerak menghampiri ranjang, sorot matanya yang
penuh napsu membunuh mengawasi Nyoo Cing tanpa
berkedip.
Tangannya mulai diayunkan ke tengah udara,
tampak jelas sebilah pedang pendek sudah terhunus
keluar.

Sebilah pedang dengan pita merah digagangnya,


sebilah pedang milik seorang wanita.

Mata pedang yang memancarkan sinar kehijauan,


ibarat sorot mata setan iblis yang menyeramkan.

Angin malam berhembus makin dingin, hawa pedang


terasa semakin menggidikkan hati.

Sorot mata manusia berbaju hitam itu kembali


memancarkan hawa pembunuhan yang dingin
membeku...

Mendadak... �Criiing!� pedang pendek itu sudah


dihujamkan ke bawah, menembusi selimut dan menusuk
ke tubuh Nyoo Cing.

�Craaap!� ketika pedang itu menembusi tubuh,


bergema suara yang aneh.

Suara itu mirip suara senjata rahasia yang menembusi


balok kayu, suara benturan yang tidak semestinya
bergema pada keadaan seperti ini.

Dengan perasaan tercengang orang berbaju hitam


itu menatap ke arah Nyoo Cing, tampak lelaki itu sudah
membuka matanya kembali, bahkan sedang
mengawasinya sambil tertawa, tidak nampak
penderitaan yang melintas diwajahnya karena tertusuk
pedang.

Manusia berbaju hitam itu mengernyitkan dahinya,


baru saja akan mencabut pedangnya, sekonyongkonyong
Nyoo Cing berkata, �Jangan keras-keras, kau
bisa merobek selimutku!�

Ternyata Nyoo Cing membantu orang berbaju hitam


itu untuk mencabut keluar pedangnya.

Diujung pedang tidak nampak noda darah, dengan


terperangah orang berbaju hitam itu mengawasi ke
arah lawannya.

�Sasaran yang kau tusuk tadi adalah jalan darah sanma-


hiat di lambungku,� ujar Nyoo Cing kemudian, �Bila
jalan darah ini sampai tertusuk, maka sama seperti
tertusuk tepat di jantung, aku pasti akan mampus
seketika, bukan begitu?�

�Memangnya kau sudah menguasai ilmu


mengalihkan posisi jalan darah?� tanya orang berbaju
hitam itu keheranan.

�Sebenarnya aku ingin mempelajari ilmu tersebut,


sayang hingga hari ini aku belum berhasil menemukan
kitab rahasianya.�

�Tapi tusukanku tadi...� perasaan tercengang semakin


terpancar dari wajah orang itu.
�Kau merasa heran bukan, kenapa aku belum mati
walaupun jalan darah san-ma-hiat ku sudah tertusuk?�
tanya Nyoo Cing sambil tertawa.

Orang berbaju hitam itu mengangguk, dia


mengawasi lubang diatas selimut itu tanpa berkedip.

�Bila keheranan, kenapa tidak kau periksa sendiri?


Singkap selimut itu, kau akan menjadi jelas dengan
sendirinya.�

Orang berbaju hitam itu sudah menggerakkan


tangannya tapi dengan cepat ditarik kembali, seakan
takut dibalik selimut ada ular berbisanya, dia mundur
selangkah kemudian menyingkap selimut itu dengan
ujung pedang.

Begitu selimut tersingkap, orang berbaju hitam itu


makin terperangah. Ternyata bagian tubuh Nyoo Cing
sebatas dada ke bawah sama sekali tidak tampak,
begitu selimut terbuka maka terlihatlah sebatang kayu
balok tergeletak disitu, sementara tubuh bagian perut
dan kaki Nyoo Cing tidak terlihat.

Bagaimana mungkin bisa begini? Ke mana larinya


separuh badan lelaki itu?

Tanpa separuh bagian tubuhnya, mana mungkin ia


bisa hidup?

Tiba-tiba Nyoo Cing tertawa tergelak.


�Apa yang terlihat di depan mata belum tentu
semuanya benar, mengerti kata-kata ini?� ujarnya.

�Tapi tubuh bagian bawahmu?� suara orang berbaju


hitam itu mulai gemetar.

�Kenapa kau tidak berjongkok untuk melihat bagian


bawah ranjang ini?' kata Nyoo Cing sambil menuding ke
bawah.

Orang itu sedikit agak ragu, tapi akhirnya dia


berjongkok juga. Apa yang kemudian terlihat
membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

Nyoo Cing ikut tertawa, kedua orang itu tertawa amat


keras, seakan sedang amat gembira.

Ternyata separuh tubuh Nyoo Cing yang tidak terlihat


itu berada dibawah ranjang.

Separuh tubuh bagian atas tetap diatas ranjang,


sedang separuh tubuh bagian bawah berada dibawah
ranjang, tidak heran kalau tubuhnya sama sekali tidak
nampak.

�Nyoo Cing memang tidak malu disebut Nyoo Cing!�


akhirnya orang berbaju hitam itu berseru.

Nyoo Cing tidak bicara apa-apa, dia hanya


menghela napas panjang.

Orang berbaju hitam itu masih tertawa.


Dia sangat kagum atas kecerdikan Nyoo Cing, tidak
disangka dengan cara yang unik dia berhasil
menghindari usaha pembunuhan yang dilakukan orang.

Kini Nyoo Cing sudah duduk kembali diatas ranjang,


duduk bersila diujung pembaringan.

Menyaksikan gerakan yang dilakukan Nyoo Cing,


orang berbaju hitam itu segera menghentikan gelak
tertawanya, dengan pandangan terkejut dia awasi
sepasang kaki lawan tanpa berkedip.

�Bu...bukankah kakimu sudah terluka? Bukankah


kakimu diikat dengan papan? Kenapa bisa bergerak
bebas sekarang?� tanyanya.

�Orang mengira tulangku masih patah, padahal


pada hari ke empat setelah diobati, kakiku sudah sama
sekali sembuh, bahkan secara diam diam aku sudah
mulai melatih kembali kekuatan kakiku ini.�

�Tidak nyana Coan Hong-sin pun berhasil kau


kelabui!�

�Tentu saja, sebab sesuai dengan metode


penyembuhannya, paling tidak butuh seratus hari untuk
pulih kembali seperti sedia kala.�

�Tampaknya tidak ada yang mengira kalau kau


sudah sembuh secepat itu.�

�Bukan sembuh lebih cepat, melainkan luka di kakiku


memang tidak terlampau parah.�
�Masa Coan Hong-sin tidak bisa melihat serius
tidaknya luka mu?'

�Dia toch tidak membelah tulang kakiku, darimana


bisa tahu kalau lukaku parah atau tidak?� Nyoo Cing
tertawa, �Makanya jangan terlalu percaya dengan apa
yang terlihat didepan mata, sebab tidak ada yang tahu
bagaimana keadaan didalam yang sebenarnya.�

�Aku pasti akan mengingat terus perkataanmu ini!�


tiba-tiba orang berbaju hitam itu tertawa dingin,
�Akupun perlu memberitahukan satu hal kepadamu, bila
ada orang ingin membokongmu, janganlah banyak
bicara dengannya, apalagi kalau sampai membiarkan
dia tahu akan rahasiamu.�

Pedangnya digetarkan dan seketika menciptakan


tujuh kuntum bunga pedang yang menyebar ke empat
penjuru dan mengancam tujuh buah jalan darah
kematian di tubuh Nyoo Cing.

Menghadapi datangnya ancaman, Nyoo Cing sama


sekali tidak bergerak.

Tidak berhenti sampai disitu, kembali orang berbaju


hitam itu memutar tubuhnya bagai gangsingan, semakin
berputar semakin cepat, bahkan menimbulkan suara
pekikan yang amat menu suk pendengaran.

Rupanya dibalik suara pekikan yang dipancarkan


melalui perputaran tubuhnya itu, terkandung
gelombang suara pembunuh yang amat menakutkan.
Ilmu gelombang suara pembunuh manusia termasuk
salah satu ilmu andalan kaum ninja dari negeri Hu-siang.

Disaat suara pekikan itu mulai mendengung, Nyoo


Cing telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi gendang telinga, tidak heran bila ilmu
gelombang suara pembunuh ini sama sekali tidak
berpengaruh terhadapnya.

Disaat kertas kertas daun jendela mulai retak


kemudian hancur berkeping, dari tengah pusaran yang
kencang mendadak berkelebat keluar berapa titik
cahaya tajam berwarna hijau tua.

Dibawah cahaya bintang yang redup, sinar hijau itu


sangat lemah dan tidak mencolok, sekalipun
diperhatikan dengan seksama pun tidak gampang
untuk menjumpainya, apalagi bagi Nyoo Cing dalam
keadaan begitu.

Cahaya tajam berkelebat lalu lenyap.

.....Biasanya, hilangnya cahaya menandakan sebuah


kematian.

Itulah cahaya pembunuh, sebuah ilmu ninja yang


menakutkan dari negeri Hu-siang.

Yang mematikan dari cahaya pembunuh bukan


terletak pada sinarnya, melainkan pada senjata rahasia
yang dilancarkan berbareng kilauan cahaya itu.
Tatkala kau menyadari ada cahaya berkelebat lewat,
biasanya senjata rahasia sudah menghujam ke dalam
tubuhmu, menanti kau merasakan datangnya hawa
kematian, cahaya itupun hilang lenyap tidak berbekas.

Nyoo Cing bukan jagoan kemarin sore, begitu


cahaya tersebut berkelebat, dia sudah menyambar kain
selimutnya untuk menghadang didepan tubuh.

Cahaya tajam telah lenyap, senjata rahasia pun


sudah musnah dibalik tebalnya kain selimut.

Dengan lenyapnya cahaya hijau itu, pusaran tubuh


pun ikut berhenti, untuk kesekian kalinya orang berbaju
hitam itu memandang lawannya dengan perasaan
terkesiap.

Nyoo Cing sendiri seharusnya gembira karena berhasil


mematahkan ilmu mematikan yang diandalkan kaum
ninja, tapi dia sama sekali tidak nampak senang, bahkan
mimik muka yang tidak seharusnya tampil diwajahnya,
kini terlintas diatas wajahnya.

Mimik muka itu penuh dengan perasaan murung,


sedih, ketidak berdayaan dan masgul.

Sepasang matanya seakan berkaca-kaca, menahan


air mata yang nyaris jatuh berlinang.

Nyoo Cing yang dihari biasa selalu tampil tegar dan


penuh wibawa, saat ini hanya duduk mematung
bagaikan sebuah arca tanah liat.
�Belum pernah terlintas dalam benakku untuk
membunuhmu,� ujar Nyoo Cing sedih.

�Tapi aku.... aku harus membunuhmu!� nada suara


orang berbaju hitam itupun kedengaran amat pedih.

�Aku tahu,� Nyoo Cing manggut-manggut, �Sebab


sejak lahir di dunia ini, kau sudah ditakdirkan untuk
memainkan peranan ini!�

�Peranan apa?�

�Memerankan seseorang yang harus membunuhku,


wajib membunuhku tapi tidak tega untuk
melakukannya,� ujar Nyoo Cing sambil menatapnya
tajam, �Karena kau memang tidak pernah berpikir ingin
membunuh aku.�

Sekilas perasaan sedih melintas di wajah orang


berbaju hitam itu, tubuhnya mulai gemetar keras.

�Kena... kenapa aku tidak ingin membunuhmu?�

�Buat apa aku mesti menerangkannya lebih jauh?�


kata Nyoo Cing sambil menghela napas panjang,
�Padahal kaupun sudah tahu kalau aku telah
mengetahui identitasmu, buat apa mesti bertanya lagi?�

Siapakah dia sebenarnya?

Permulaan musim dingin, rembulan bersinar


terang, bintang bertaburan di angkasa, tapi aneh,
dalam cuaca seindah ini mengapa suasananya justru
memedihkan hati?

�Siapakah aku?� sepasang mata orang berbaju hitam


itu mulai kabur.

�Aku tahu, sudah sejak dulu aku tahu siapakah kau,�


kata Nyoo Cing makin sedih.

�Katakanlah, siapakah aku? Sebenarnya siapakah


aku?�

�Hoa U-gi!� suara Nyoo Cing berubah sangat tenang,


�Kau adalah putri kesayanganku, Hoa U-gi!�

BAB 4.
Perasaan kasih dari Hoa U-gi.
Suasana diluar jendela sangat tenang, sedemikian
tenangnya hingga suara serangga yang seharusnya
mulai berbunyi, saat ini seolah ikut bungkam, ikut
menikmati keheningan yang mencekam.

Tubuh orang berbaju hitam yang semula gemetar, kini


sudah mulai tenang kembali, pancaran sinar matanya
pun tidak seemosi tadi.

�Benar, aku adalah Hoa U-gi!�


Dia melepaskan kain penutup wajahnya dan
memperlihatkan raut mukanya yang cantik.

Dengan mata yang sembab merah, Hoa U-gi


mengawasi Nyoo Cing lekat lekat, kemudian dengan
suara yang aneh ujarnya, �Rupanya kau sudah tahu
identitasku yang sebenarnya sejak bertemu pertama kali
dulu di rumah kayu kecil.�

�Benar.�

�Mengapa kau tidak membongkar kedokku?�

�Apa gunanya membongkar kedokmu? Bila kau


gagal, tentu ada orang lain yang akan menggantikan
posisimu, bila rencana yang satu gagal tentu akan
muncul rencana yang lain.�

Setelah menghela napas, lanjutnya, �Demi


melaksanakan tugas ini, berapa banyak sudah yang
menjadi korban.�

.....�Kenapa aku harus mengorbankan pula dirimu?�


meski ucapan tersebut tidak sampai diutarakan Nyoo
Cing, tapi Dia percaya gadis tersebut tentu mengerti.

�Kalau sudah mengetahui identitasku, apakah kau


tidak kuatir aku akan membunuhmu?�

�Kalau belum tiba saatnya, tidak nanti kau akan turun


tangan, apalagi tujuan utama dari Ti Cing-ling dengan
menempatkan dirimu disisiku bukan lantaran ingin
membunuhku.�
�Lalu karena apa?�

�Dia berharap agar perasaan hatiku jadi lembek,


agar tumbuh perasaan kasihku kepadamu,� ujar Nyoo
Cing sambil tertawa getir.

�Tapi sejak awal kau sudah mengetahui identitasku,


berarti rencananya sudah gagal semenjak dulu.�

�Tidak, dia tidak gagal.�

�Tidak gagal? Kenapa dia tidak gagal?� tanya Hoa Ugi.

�Meskipun kau bukan putri kandungku, namun raut


wajahmu mirip sekali dengannya.�

�Dia� yang dimaksud adalah Lu Siok-bun.

�Setiap kali berjumpa denganmu, akupun teringat


akan dirinya, lebih banyak memandangmu sama seperti
lebih banyak merindukan dirinya, semakin merindukan
dia, perasaanku makin kalut, karena semakin kalut maka
hatiku pun semakin tersiksa.�

Dengan termangu Hoa U-gi mengawasi lelaki


dihadapannya, orang ini adalah target yang harus
dibunuh, tapi sekarang dia sadar ternyata dia tidak
sanggup untuk melakukannya. Kendatipun dia bukan
putri kandungnya, juga bukan orang yang dirindukan
olehnya, mengapa dia tidak tega untuk turun tangan?

Yaa, kenapa?
Hoa U-gi sendiripun tidak tahu, dia sendiripun tidak
sanggup menjawab pertanyaan ini, apakah lantaran
dia sudah jatuh hati kepada lelaki itu? Atau perasaan
hatinya sudah tersentuh, sudah dibuat terenyuh oleh
sikap lelaki itu?

�Cinta tumbuh karena pergaulan yang rutin,�


ternyata ungkapan ini memang tidak keliru.

Mereka berdua boleh dibilang selalu bersua tiap hari,


tidak bisa dijamin tidak ada perasaan cinta atau sayang
yang tumbuh diantara mereka berdua, apalagi urusan
ini menyangkut urusan antara lelaki dan wanita, siapa
yang bisa menjamin, siapa yang bisa menduga kalau
hal ini tidak mungkin terjadi?

Tahun ini Nyoo Cing sudah berusia empat puluh


delapan tahun, sementara Hoa U-gi baru dua puluh
tahunan, biarpun selisih usia mereka berdua sangat
banyak, bukan berarti tiada cinta yang bisa tumbuh
dalam hati mereka berdua.

Hoa U-gi mulai termangu, dengan sorot mata yang


memancarkan rasa cinta, rasa sayang, dia mulai
mengawasi wajah lelaki itu.

Nyoo Cing berusaha menghindar dari pandangan


mesra itu, buru-buru dia membuang pandangan
matanya ke luar jendela.

�Rupanya hari ini kau mendapat perintah untuk


membunuhku?� dia berkata.
�Benar.�

�Kau gagal dalam melaksanakan tugas, bagaimana


pertanggungan jawabmu nanti?�

�Aku tidak perlu memberikan pertanggungan


jawab.�

�Kenapa?�

�Seperti yang kau ungkap tadi, bila aku gagal, akan


muncul orang lain untuk melanjutkan tugasku,� kini
pancaran sinar matanya sudah tidak selembut tadi lagi,
�Gerakan pembunuhan yang datang gelombang demi
gelombang, apakah tidak membuatmu ketakutan?�

�Takut!� jawab Nyoo Cing, �Tapi apa yang bisa


kuperbuat?�

�Apakah kau tidak berusaha untuk pergi


mencarinya?�

�Mencarinya? Siapa dia? Perkumpulan Cing Liong


Hwee? Atau Ti Cing-ling?�

�Semua perencanaan dan semua perbu-atan diatur


dan diperintahkan oleh Ti Cing-ling,� ujar Hoa U-gi, �Asal
kau berhasil menemukan Ti Cing-ling maka semua
persoalan dapat segera diselesaikan.�

�Aku rasa persoalan yang sebenarnya tidak


sesederhana apa yang kau bayangkan.�
�Menurut apa yang kuketahui, untuk mendukung
rencana dari Ti Cing-ling ini, pihak perkumpulan Cing
Liong Hwee hanya mengu-tus dua orang Tongcu, ini
membuktikan kalau perkumpulan Cing Liong Hwee
sebenarnya tidak bermaksud untuk menghadapi dirimu,�
nada suara Hoa U-gi kedengaran makin lembut dan
menawan hati, �Aku bersedia membantumu untuk
menemukan Ti Cing-ling.�

Akhirnya Nyoo Cing berpaling, menatap wajahnya.

�Mengapa kau harus berbuat begini? Tindakan yang


kau lakukan bisa mendatangkan nasib tragis untukmu,
tahukah kau bahwa perbuatan semacam ini tidak boleh
kau lakukan?� serunya.

Tentu saja Hoa U-gi tahu, bahkan mengetahui


dengan amat jelas. Akhir bagi seseorang yang berani
mengkhianati perkumpulan Cing Liong Hwee biasanya
merupakan akhir yang tragis, semacam kematian yang
amat mengenaskan.

Gadis itu mulai tertawa, sekulum senyuman yang


penuh dengan perasaan apa boleh buat.

�Masa kau belum pernah melakukan sesuatu


perbuatan yang jelas tahu kalau itu tidak boleh
dilakukan?� dia balik bertanya.

Nyoo Cing segera terbungkam.


Tentu saja dia pernah melakukannya. Bukan saja
pernah, sekarangpun sedang dia lakukan dan
dikemudian hari pun tetap akan dia lakukan.

.....Ada sementara persoalan, walaupun kau tahu


tidak patut dilakukan, tapi kau tetap nekad untuk
melakukannya, sebab terkadang diri sendiripun tidak
sanggup untuk mengendalikannya.

Ada sementara persoalan, seakan mempunyai daya


tarik yang sukar dilawan, �perasaan kasih� termasuk
salah satu diantaranya.

.....Ada pula sementara persoalan yang mau tidak


mau harus kau lakukan, karena kau sudah didesak oleh
keadaan, kau sudah terjepit sehingga ingin menghindar
pun tidak mungkin bisa dihindari.

�Masa kau masih belum tahu mengapa aku berbuat


begini?� dari balik pandangan mata Hoa U-gi seakan
terpancar nada teguran.

Nyoo Cing masih tetap membungkam.

Tentu saja dia sangat paham dengan niat gadis itu,


tapi bagaimana mungkin dia dapat menerimanya?

Sebagai seorang lelaki dewasa tentu saja Nyoo Cing


mengerti apa sebabnya gadis itu berbuat begini, diapun
sangat memahami perasaan hatinya.

Orang tua adalah manusia, orang muda juga


manusia, orang jahat manusia, orang baikpun manusia,
selama dia adalah manusia maka dia mempunyai hak
untuk mencintai orang lain.

Perasaan terharu, terima kasih terpancar dari balik


mata Nyoo Cing, namun terselip juga perasaan sedih
dan ketidak berdayaan.

�Aku mengerti maksudmu, akupun mengerti


mengapa kau berbuat begini,� kata Nyoo Cing,

�Tapi sayang...... tapi sayang perjumpaan kita terlalu


lambat.�

�Tapi sayang perjumpaan kita terlalu lambat!�

Dari dulu hingga sekarang, entah berapa banyak


manusia yang pernah mengucapkan perkataan itu,
entah berapa banyak manusia yang pernah
mendengar perkataan itu.

Tapi kecuali kau sendiri pernah mengucapkan, kau


sendiri pernah mendengarnya, tidak nanti kau bisa
meresapi betapa pedih dan tersayatnya perasaan
hatimu waktu itu.

Mengawasi Nyoo Cing yang penuh


ketidakberdayaan, mendengar ucapan yang begitu
memilukan hati, Hoa U-gi hanya merasakan seluruh
tubuhnya menjadi ringan, pikirannya kosong,
perasaannya hampa.

Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya,


mengawasi bayangan tubuh sendiri, dalam keadaan
seperti ini Hoa U-gi tidak tahu apa yang mesti diperbuat,
tidak tahu apa yang meski diucapkan.

�Aneh, kenapa kabut ini datang secara aneh?�


mendadak terdengar Nyoo Cing berseru sambil
mengamati kabut tipis yang mulai menyelimuti ruangan
mereka.

�Kabut?�

Mendadak Hoa U-gi tersentak kaget, menyaksikan


kabut tipis yang mulai mengalir masuk ke dalam
ruangan, paras mukanya berubah hebat, serunya
tertahan, �Kabut itu beracun, cepat tutup pernapasan!�

Belum selesai berkata, gadis itu sudah menerjang ke


depan Nyoo Cing.

Saat itu paras muka Nyoo Cing telah berubah,


berubah bukan lantaran dalam kabut mengandung
racun, wajahnya berubah karena melihat Hoa U-gi
menubruk ke arahnya.

�Jangan mendekat, berbahaya!� segera jeritnya.

Begitu berteriak, diapun melompat ke depan dan


menubruk ke arah gadis itu.

Menyaksikan Nyoo Cing menubruk ke arahnya,


sekulum senyuman manis segera menghiasi ujung bibir
Hoa U-gi, tapi sayang belum selesai senyuman itu
berkembang, tubuhnya sudah menjadi kaku.
Saat itulah Nyoo Cing sudah tiba disisi tubuhnya,
menyambar pinggangnya dan memeluk tubuhnya yang
mulai roboh terjungkal.

Ketika kabur tipis mulai mengalir masuk ke dalam


ruangan, ketika Hoa U-gi berteriak memberi peringatan,
tiba-tiba Nyoo Cing menyaksikan berkelebatnya dua titik
cahaya hitam dan merah dari luar jendela, tapi ketika
dia berusaha menarik untuk Hoa U-gi untuk menghindari
serangan tersebut, sayang kedua titik cahaya tadi sudah
menghujam masuk melalui punggungnya.

Kini Nyoo Cing hanya bisa memeluk tubuh Hoa U-gi


yang terkulai lemas.

�Kabut itu beracun!� gadis itu masih berusaha


memperingatkan dengan suara yang lemah.

�Aku tahu,� jawab Nyoo Cing lembut, �Permainan


busuk macam itu tidak nanti bisa mengelabuhi aku, tidak
nanti bisa meracuni aku.�

�Ku... kukira kau tidak tahu,� bisik Hoa U-gi semakin


lemah, pancaran sinar matanya bertambah lembut dan
mesrah.

�Lo Kay-sian, Tu Bu-heng, Un-hwee, mereka semua


tewas oleh kabut tersebut, justru yang aku kuatirkan
adalah kau...�

�Mereka pun tahu, kabut beracun semacam ini tidak


nanti bisa membunuhku, senjata sesungguhnya yang
mematikan adalah sepasang Cing-jin-ciam (panah
kekasih) berwarna hitam dan merah dibalik kabut itu...�

... Yang hitam bagaikan sepasang mata kekasih, yang


merah bagaikan darah kekasih.

�Cing-jin..cing-jin-ciam? (panah kekasih)?�

Gadis itu mulai tertawa, tapi tertawa semacam ini


jauh lebih memedihkan hati, jauh lebih menyayat hati
ketimbang kematian itu sendiri.

�Tidak mungkin aku... tidak mungkin aku menjadi


kekasihmu lagi, tapi aku... aku dapat merasakan
bagaimana disayang seorang... seorang kekasih...�
suara Hoa U-gi semakin lirih, �Kini aku... aku sudah puas...
puas sekali...�

Dia berpaling, memandang keluar jendela sana.

Apa yang sedang dia lihat? Diluar jendela hanya ada


kegelapan? Apakah dia masih berharap bisa melihat
cahaya matahari di hari esok? Tapi... sekalipun bisa
melihat, apa gunanya?

�Pergilah...� kembali Hoa U-gi berbisik, �Aku sadar,


tidak mungkin lagi aku tetap hidup... kau.... kau tidak
usah menemani aku.�

�Tidak, aku harus menemanimu, menungguimu


hingga sembuh kembali,� bisik Nyoo Cing sambil
menggenggam tangannya erat-erat, �Aku tahu, kau
pasti akan hidup terus.�
Hoa U-gi menggeleng, menggeleng sambil tertawa
pedih.

..... Bila seseorang sudah kehilangan keyakinan


untuk hidup terus, siapa yang bisa selamatkan dirinya?

�Bila kau benar-benar mati, maka kau telah menyakiti


hatiku,� bisiknya.

�Kenapa?�

�Karena... karena aku sudah siap meminangmu....aku


sudah siap mengawinimu...�

Wajah Hoa U-gi yang pucat terlintas warna semu


merah karena jengah.

�Sungguh?� bisiknya.

�Tentu saja sungguh!� tegas Nyoo Cing sambil


berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir,
�Setiap saat kita bisa menikah.�

Lagi-lagi sebuah perkataan bohong yang selamanya


tidak mungkin bisa terwujud. Pipi Hoa U-gi semakin
memerah, sorot matanya pun seakan memancarkan
bara api asmara yang kuat.

�Aku selalu berharap bisa menikmati suasana seperti


hari ini...� dia mulai memejamkan sepasang matanya,
�Pergilah, kau cepat pergi...�

�Kenapa aku harus pergi?�


�Karena aku... aku tidak ingin kau menyaksikan saat
kematianku,� sekujur tubuhnya mulai mengejang, �Maka
kau harus pergi...�

�Tidak, aku tidak akan pergi, aku tidak bakal pergi!�


teriak Nyoo Cing tiba-tiba.

Dengan penuh keharuan dia genggam sepasang


tangannya, dia seakan kuatir gadis itu meninggalkan
dirinya secara tiba-tiba.

�Sekalipun kau harus mati, kau harus mati dalam


pelukanku.�

Nyoo Cing tidak kuasa membendung air matanya


lagi, butiran air mata meleleh mebasahi pipinya,
menetes ke bawah, membasahi mata gadis itu.

Tapi Hoa U-gi tidak berkedip lagi, dia tidak sanggup


membuka matanya kembali, namun ketika air mata
membasahi matanya, tiba-tiba sekulum senyuman yang
tenang, penuh rasa puas tersungging diujung bibirnya.

Maut datang bagaikan sambaran kilat.

Gadis itu tidak sanggup melawan datangnya maut.


Memang tidak seorang pun bisa melawan datangnya
maut.

Lilin sudah padam, air mata belum juga mengering.


Nyoo Cing masih memeluk tubuh Hoa U-gi erat-erat,
sementara air mata meleleh terus bagaikan bendungan
yang jebol.

Fajar sudah mulai menyingsing diufuk timur, malam


yang gelap akhirnya berlalu.

Kini lilin sudah lumer, air mata pun sudah mengering.

Bekas air mata sudah tidak nampak lagi tapi bekas


noda darah masih meninggalkan jejaknya, noda yang
hanya bisa dicuci bersih dengan air mata darah.

�Gigitan dibalas gigitan, darah dibalas darah.�

Selama ini Nyoo Cing selalu menggunakan


pengampunan untuk menggantikan pembalasan
dendam, goloknya tidak pernah digunakan untuk
membunuh manusia, tapi sekarang, perasaan hatinya
penuh diliputi hawa amarah, benci dan dendam.

Matahari sudah memancarkan sinarnya, langit pun


sudah terang benderang.

Nyoo Cing membaringkan tubuh Hoa U-gi diatas


ranjangnya, menutupi dengan selimut lalu dia sendiri
duduk disampingnya, sorot mata yang sayu mengawasi
luar jendela, mengikuti gerakan cahaya matahari yang
kian lama kian meninggi.

Dia mengawasi ke luar jendela karena dari situ dia


mendengar suara petikan rebab bersenar tiga.
Irama rebab yang memilukan seolah menyebar
bersama melayangnya kabut pagi.

Menyusul kemudian dari balik pepohonan diluar


taman, tampak sesosok bayangan tubuh munculkan diri.

Begitu mendengar suara rebab, Nyoo Cing kontan


tertawa dingin, raut mukanya nampak semakin murung
dan penuh perasaan dendam.

�Hmm, orang bilang bila irama rebab bergema, usus


akan putus hati akan hancur, hmmm, tiga senar yang
tidak berguna!�

Irama rebab seketika berhenti, tampak orang itu


berjalan semakin mendekat.

�Kau tahu siapakah aku?� dia menegur.

�Tiga puluh tahun berselang, banyak gadis terpikat


oleh irama rebab bersenar tiga, berapa banyak nyawa
harus hilang dengan percuma, kenapa aku tidak tahu?�

�Siapa menang dia adalah raja, siapa kalah dia


adalah penyamun, dari dulu hingga sekarang teori itu
tidak pernah berubah,� kata kakek itu hambar.

�Jadi kedatanganmu hari ini adalah untuk


melaksanakan perintah, membunuhku?� ejek Nyoo Cing
sambil tertawa dingin.
Ketika mengucapkan �Melaksanakan perintah�, kata
itu sengaja ditekan keras-keras dan penuh dengan nada
penuh penghinaan.

Tentu saja Bu Sam-sian si kakek rebab bersenar tiga


dapat menangkap nada menghina itu, tapi dia tidak
menggubris pun tidak menanggapi, dia hanya tertawa.

�Konon kait perpisahanku sudah terjatuh ke


tanganmu?�

�Benar.�

�Hari ini kau akan menggunakan kait perpisahan


untuk menghadapiku?�

�Mana mungkin?� sahut Bu Sam-sian tertawa, �Kapan


kau pernah melihat orang menimpuk anjing dengan
menggunakan bakpao?�

�Perumpamaan macam apa itu?�

�Untuk menghadapi manusia macam kau, tentu saja


aku harus menggunakan rebab bersenar tiga.�

Irama rebab kembali bergema, ditengah alunan


suara tampak tiga titik cahaya berkelebat lewat.

Cahaya tajam dengan tujuh warna. Begitu irama


rebab berkumandang, Nyoo Cing sudah menyambar
vas bunga yang ada dimeja dan menimpuknya ke
depan.
Ketiga titik cahaya terang itu segera menyongsong
datangnya vas bunga itu, �Blaaaam!� terjadi ledakan di
udara menyusul meletupnya tiga kuntum bunga cahaya
yang menyilaukan mata.

Kilauan cahaya berwarna warni. Vas bunga itu


hancur berkeping dan berhamburan ke mana-mana.

Ditengah kilatan cahaya warna warni, Nyoo Cing


sudah melejit ke udara dan melesat keluar melalui
jendela, langsung menerkam ke balik pepohonan.

Belum lagi tubuhnya mencapai sasaran, angin


pukulan sudah meluncur keluar, langsung menghantam
keatas rebab bersenar tiga itu.

Bu Sam-sian segera berkelit ke samping kemudian


berjumpalitan di utara, mengikuti gerakan tersebut dia
melepaskan sebuah pukulan ke punggung Nyoo Cing.

Dibawah sinar matahari pagi, terlihat sekilas cahaya


biru berkilauan diantara jari tengahnya, ternyata dia
sudah selipkan sebatang jarum beracun diantara jari
tangannya.

Ketika tubuh Nyoo Cing sudah berada tiga inci dari


ujung jarum, mendadak dia terperosok ke bawah,
seakan-akan sebuah batu cadas yang tiba-tiba tercebur
ke dalam jurang.

Gagal dengan pukulannya Bu Sam-sian seketika


membalikkan tubuh, dari balik rebabnya tahu-tahu dia
meloloskan sebilah pedang yang tajam, tipis lagi sempit,
kemudian secara beruntun melancarkan tiga tusukan.

Dari balik tiga tusukan tercipta enam kuntum bunga


pedang.

�Sreet, sreet, sreeet!� tiga desingan tajam bergema di


udara, dada kiri Nyoo Cing sudah tersambar hingga
muncul tiga buah luka memanjang.

Tahu-tahu Bu Sam-sian sudah menarik balik


pedangnya disusul melancarkan sebuah serangan lagi.
Semua gerakan nyaris dilakukan hampir bersamaan
waktu.

Lagi-lagi sebuah serangan pedang, tiga tusukan,


enam kuntum bunga pedang, yang ditusuk pun dada
sebelah kiri Nyoo Cing.

Kali ini Nyoo Cing sudah membuat persiapan, kaki


kanannya sedikit menekuk, tubuhnya mengigos dari
samping kanan sementara tangan kirinya diangkat
melakukan tangkapan ke udara. Ternyata dia berusaha
merebut pedang itu dengan tangan kosong.

Begitu jari tangannya menggenggam, darah pun


bercucuran melalui sela jari tangannya dan menetes
dari ujung pedang.

Bu Sam-sian nampak sangat terkesiap, dia tidak


menyangka ada manusia semacam ini dikolong langit,
merampas pedang tajam dengan tangan kosong?
Ketika tangan kirinya mencengkeram pedang, tinju di
tangan kanannya sudah disodokkan ke muka.

Belum sempat Bu Sam-sian melakukan reaksi, tiba-tiba


terdengar suara tulang yang hancur terkena bogem
mentah.

Suara tulang retak itu berasal dari tulang hidungnya.


Menyusul kemudian diapun menyaksikan cucuran darah
segar menyembur keluar dari bawah matanya dan
memercik ke empat penjuru.

Akhirnya dia merasakan juga bagaimana rasanya


darah segar, darah yang bercucuran dari tubuh sendiri.

Tulang hidungnya telah hancur, meski tidak sampai


mencabut nyawanya namun dia sudah tidak sanggup
bangkit berdiri lagi.

Bukan saja bogem mentah itu sudah menghancurkan


tulang hidungnya, menghancurkan pula rasa percaya
diri serta semangat tempurnya yang semula berkobar
kobar.

Matahari sudah bersinar terang, hawa hangat telah


menyelimuti udara, namun Bu Sam-sian merasa sangat
kedinginan, dia merasa hawa dingin telah merasuk
hingga ke tulang sumsumnya.

Berhasil dengan serangan pertamanya, Nyoo Cing


tidak melanjutkan dengan serangan berikut, dia hanya
mengawasi Bu Sam-sian dengan pandangan dingin.
�Pulang dan beritahu Ti Cing-ling, tidak perlu
menunggu satu tahun lagi, setiap saat aku sudah
menantikan kedatangannya.�

Tempat pertemuan adalah rumah kayu diluar hutan


Bwee.

Walaupun rumah itu sudah dibangun kembali, namun


kenangan masa lalu telah musnah.

Kepala pusing.

Kepala yang amat pening menyadarkan Cong Hoa


dari pingsannya, dia seakan baru sadar dari mabuk
berat, kepalanya terasa pening, mulutnya kering dan
lidahnya seperti terbakar.

Dia mencoba meraba kepalanya, tapi segera sadar


kalau tubuhnya sudah diikat orang, terikat diatas sebuah
bangku.

Dia mencoba mengerdipkan matanya sambil


memperhatikan sekeliling tempat itu, segera dijumpai
ada dua orang lain mengalami nasib yang sama seperti
dirinya, terikat diatas bangku.

Bangku itu terbuat dari bambu, bahkan dinding


rumah pun terbuat dari batang bambu.

Berada di manakah dia?


Baru saja Cong Hoa hendak bertanya, tiba-tiba
terdengar seseorang berkata/Tempat inilah rumah
bambu!�

Kedengaran jelas, suara itu berasal dari Tay Thian.

Cong Hoa pun menengok ke arah Tay Thian yang

terikat di bangku sebelah kanan.

�Darimana kau tahu?� serunya.

�Karena hampir saja dia mampus disini!�

Suara itu berasal dari Ui sauya yang berada disisi

kirinya.

�Jadi kalian sudah sadar semua?�

Tay Thian dan Ui sauya mengalami nasib sama seperti

Cong Hoa, terikat diatas bangku bambu.

Di dalam rumah bambu itu hanya ada mereka


bertiga.

�Kelihatannya kita dikirim kemari pada saat tidak


sadarkan diri,� kata Cong Hoa.

�Kemana perginya Hong Coan-sin?� tanya ui sauya,


�Kenapa dia mengirim kita ke tempat ini?�

�Kenapa lagi? Tentu saja akan memberi pelayanan


sebaik-baiknya kepada kita semua!� seru Cong Hoa
tertawa.
�Tepat sekali!� berbareng dengan bergemanya
ucapan tersebut tampak seseorang munculkan diri.

Dia masih mengenakan pakaian yang sama, dia


masih memiliki kecantikan yang sama, dia pun masih
bertingkah laku aneh, mengenakan pakaian yang
terbelah dua, satu sisi berpakaian, sisi yang lain telanjang
bulat.

Budak darah dengan membawa suara tertawanya


yang merdu bagai keleningan berjalan masuk ke dalam
ruangan.

Menyaksikan dandanan yang dikenakan perempuan


itu, tidak kuasa Cong Hoa menghela napas panjang.

�Kalau di musim dingin pun kau mengenakan pakaian


cara begini, bagaimana kalau di musim panas?�

�Kalau musim panas tentu saja telanjang bulat,�


sambung Ui sauya sambil tertawa, �Selain sejuk juga irit,
sekali raih mendapat dua.�

�Biasanya aku tidak berpakaian bila berada dalam


satu keadaan,� ujar budak darah.

�Keadaan apa?�

�Diatas ranjang,� jawab budak darah genit, �Lagipula


biasanya disaat sedang berduaan.�

�Sewaktu diatas ranjang, biasanya aku pun suka


telanjang bulat,� kata Ui sauya cepat, �Tapi kalau
sedang berduaan, bukan saja aku akan berpakaian
bahkan akan mengenakan pakaian lebih banyak
banyak dan lebih rapi.�

�Itulah sebabnya sampai hari ini masih belum ada


perempuan yang mau denganmu,� tukas budak darah
sambil menghela napas panjang.

Ucapan tersebut bagaikan sebatang jarum tajam


yang menusuk hati Ui sauya.

Tapi hanya sejenak dia tertegun menyusul kemudian


dia pun tertawa terbahak-bahak, bukan saja suara
tertawanya tidak sedap didengar, bahkan jauh lebih
mengenaskan daripada suara tangisan.

�Kemana perginya Hong Coan-sin?� agaknya Tay


Thian pun mengetahui keadaan Ui sauya yang sedang
dibikin malu, buru-buru dia mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, �Kenapa dia tidak berani
datang menjumpai kami?�

�Dia sedang mempersiapkan peralatan untuk


menjamu kalian dengan sebaik-baiknya, tanggung
jamuan yang bakal dia berikan akan sulit dilupakan
untuk selamanya, bahkan setelah itu kalian bertiga pun
tidak pernah akan berpisah lagi.�

�Tidak pernah akan berpisah lagi? Apa maksudmu?�


tanya Cong Hoa.

�Asal sudah menyaksikan benda yang kutunjukkan,


kalian pasti mengerti!�
Budak darah tertawa makin jalang, tiba-tiba dia
bertepuk tangan tiga kali.

Tidak lama kemudian, Cong Hoa sekalian pun


menyaksikan seseorang berjalan masuk ke dalam
ruangan. Tapi begitu menyaksikan orang itu, mereka
semua segera terbelalak dengan perasaan tertegun.

Orang itu mempunyai sepasang mata yang besar,


wajahnya menampilkan kekerasan hatinya yang kuat,
hidungnya mancung dan bibir mulutnya tebal. Ternyata
orang itu adalah Nyoo Cing.

Tidak tepat, seharusnya dibilang mirip Nyoo Cing,


khususnya Nyoo Cing pada dua puluh tahun berselang.

Begitu menyaksikan wajah orang itu, Cong Hoa


segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar bulu
romanya pada bangkit berdiri.

Rupanya raut wajah orang itu dipenuhi dengan bekas


jahitan yang malang melintang, jahitannya tidak
berbeda dengan bekas jahitan diatas pakaian.

Aneh sekali, kenapa wajah orang itu bisa muncul


begitu banyak bekas jahitan?

Mengapa orang ini bisa memiliki wajah yang mirip


sekali dengan Nyoo Cing?

�Kalian terperanjat bukan?� ujar budak darah sambil


tertawa terkekeh.
�Si.... siapa orang ini?� tanya Cong Hoa.

�Dia bukan satu, melainkan lima orang,� budak darah


menjelaskan.

�Lima orang?�

�Benar, dia terbentuk dari penggabungan lima


orang.�

�Penggabungan lima orang?� gumam Tay Thian.

�Tepat sekali, dari tubuh lima orang diambil bagian


tubuh yang berbeda, kemudian setelah melalui
semacam tehnik yang canggih digabungkan kembali di
tubuh orang ini, maka terbentuklah sebuah wujud
manusia yang berbeda.�

Setelah berhenti sejenak, sambil menatap ketiga


orang itu kembali budak darah melanjutkan, �Dia baru
contoh produk kami yang pertama!�

�Contoh produk?� tanya Ui sauya.

�Ehmm!� budak darah mengangguk.

�Berarti benda yang di produk sesungguhnya lebih


mirip.... lebih mirip dengan Nyoo Cing?� tanya Tay Thian.

�Bukan mirip lagi, boleh dibilang bagai pinang


dibelah dua.�

Mendadak Tay Thian teringat akan satu peristiwa


yang menyeramkan, meski penampilannya masih tetap
biasa dan berusaha tenang, namun suaranya sudah
kedengaran agak gemetar.

�Apakah kalian akan suruh dia untuk.....untuk


menggantikan Nyoo Cing?�

�Bukan menggantikan, tapi dialah Nyoo Cing,� ujar


budak darah dengan bangganya.

�Lantas bagaimana dengan Nyoo Cing yang asli?�


tanya Ui sauya.

�Lenyap.�

�Lenyap? Apa maksudnya lenyap?�

�Lenyap itu artinya sudah tidak ada lagi, setelah Nyoo


Cing produk baru diciptakan, tentu saja Nyoo Cing yang
asli harus dimusnahkan.�

�Hmm, aku rasa tidak segampang itu untuk


memusnahkan dirinya,� sela Cong Hoa.

Budak darah hanya tertawa dingin.

Kadangkala tertawa dingin menandakan kalau


pandangannya berbeda.

�Walaupun kalian dapat menciptakan seorang Nyoo


Cing yang persis bagai pinang dibelah dua, sayang
tetap masih ada satu kelemahan,� kata Tay Thian,
�Bagaimana dengan ilmu silatnya? Masa dia pun bisa
menguasai jurus maut kait perpisahan yang tidak pernah
diwariskan kepada siapa pun?�
�Jika dikolong langit terdapat seseorang yang sang.it
memahami Nyoo Cing, bisa ditebak siapakah dia?�
tanya budak darah.

.....Musuh bebuyutan.

Hanya musuh bebuyutan yang berusaha untuk


memahami dan mendalami segala sesuatu yang dimiliki
lawannya.

Hampir pada saat yang bersamaan Cong Hoa, Tay


Thian serta Ui sauya teringat akan seseorang.

�Ti Cing-ling?� serunya serentak.

�Benar, meskipun dia tidak menguasai jurus kait


perpisahan sepenuhnya, namun baginya sudah melebihi
dari cukup,� ujar budak darah sambil tertawa,
�Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang tidak
jemu-jemunya pergi mencari Nyoo Cing dan
mengajaknya berduel tanpa sebab yang jelas?�

Angin dingin berhembus lewat, mengalir masuk


melalui celah celah bambu dan meniup ditubuh Cong
Hoa bertiga.

Tanpa terasa mereka semua bergidik, bulu roma


pada bangkit berdiri.

�Tadi kau bilang akan membuat kami bertiga tidak


pernah berpisah lagi, apakah akan kau gunakan bagian
tubuh kami untuk dilebur ke dalam tubuh tuan Nyoo
Cing tersebut?� tanya Cong Hoa.
�Bukan.�

�Lalu kami bertiga akan dilebur menjadi siapa?�

�Tay Thian!� jawab budak darah sambil berpaling ke


arah Tay Thian.

�Tay Thian?� Cong Hoa merasa sedikit terkejut, �Disini


sudah hadir Tay Thian yang asli, buat apa kalian
membentuk lagi Tay Thian baru?�

�Sebab Tay Thian yang ini tidak mau menuruti


perintah kami, bukan begitu?� kata budak darah,
�Sekalipun kami menguasai tehnik membentuk produk
baru, tapi kemampuan kami baru terbatas pada
penampilan, sementara pikiran dan tingkah lakunya
masih belum berhasil kami kuasai.�

�Oleh sebab itu kalian harus mencari seseorang yang


dapat dikendalikan untuk menjadi bonekamu semua?�

�Benar.�

�Siapa yang menjadi bonekanya Nyoo Cing?�

�Biar kusebut namanya, kalian juga tidak kenal!�

�Lalu siapa yang menjadi bonekanya Tay Thian?�

�Sahabat karib kalian semua.�

�Sahabat karib?� Cong Hoa tertawa, �Masa kami


mempunyai sahabat karib yang begitu tidak tahu
malu?�
Sekali lagi budak darah tertawa dingin, kadangkala
tertawa dingin pun melambangkan pengakuan, dia
bertepuk tangan perlahan.

Ketika menyaksikan orang yang muncul kali ini, mau


tidak mau Cong Hoa harus merasa amat terperanjat,
diawasinya orang itu dengan mata terbelalak lebar.

�Ternyata kau?� serunya.

�Betul, memang aku,� orang itu tertawa, namun dari


kerutan bekas lukanya yang melintang diatas alis mata,
dia kelihatan sedang tertawa dingin.

Bertemu dengan orang itu, Tay Thian sama sekali tidak


menampilkan mimik muka kaget, dia hanya mendengus
dengan nada menghina.

Sebaliknya Ui sauya langsung berteriak keras,


andaikata kaki dan tangannya bisa bergerak bebas,
mungkin dia sudah menyerbu ke hadapan orang itu,
menempelengnya berulang kali kemudian membanting
tubuhnya didepan Cong Hoa, memaksanya berlutut
dan minta maaf kepadanya.

�Gara-gara kau, nyaris Cong Hoa tidak bisa


mempertanggung jawabkan diri kepada Nyoo Cing,
gara-garamu, dia tidak segan bermusuhan dengan
perkumpulan Cing Liong Hwee, demi kau, dia sempat
sedih karena mengira kau sudah mampus, siapa sangka
bukan saja kau masih hidup segar bugar, bahkan malah
bergabung dengan perkumpulan naga hijau!� umpat Ui
sauya gusar.

�Dia memang anggota perkumpulan Cing Liong


Hwee!� sela Tay Thian.

�Apa? Kalau dia memang anggota perkumpulan


Cing Liong Hwee, kenapa masih meminta Cong Hoa
untuk membawanya pergi?�

�Walaupun kita jelas mengetahui kalau dia adalah


anggota Cing Liong Hwee, namun sama sekali tidak
punya bukti, lagipula masa tahanannya juga segera
akan berakhir,� kata Tay Thian, �Oleh sebab itu kita
berlagak seolah-olah masuk perangkap dengan
membiarkan Cong Hoa membawanya pergi,
maksudnya menggunakan kesempatan ini kita mencari
tahu markas perkumpulan Cing Liong Hwee, siapa
tahu...�

�Siapa tahu setibanya di kota Say-cu-tin mendadak


dia lenyap,� sela Cong Hoa sedikit agak mendongkol.

�Yaa, kami tidak menyangka kalau perkumpulan Cing


Liong Hwee akan memainkan sandiwara tersebut di kota
Say-cu-tin,� tiada nada menyesal dibalik perkataan Tay
Thian.

�Masih banyak urusan yang kalian tidak duga!� seru


Cong Hoa, �Tahukah kau, gara-gara perbuatan kalian,
nyaris aku ikut kehilangan nyawa. Hmm, coba aku tidak
dilibatkan dalam urusan ini, mungkin saat ini aku sedang
berbaring sambil minum arak.�

�Atau mungkin juga kau sudah terperosok dalam


keadaan berbahaya lainnya,� sambung Ui sauya.

Apa yang diucapkan memang ada benarnya juga,


Cong Hoa bukan orang yang bisa duduk tenang, dia usil
dan suka mencampuri urusan orang lain, kalau disuruh
berdiam diri didalam rumah, belum sampai tiga hari
mungkin dia sudah gila.

Maka setelah mendengar perkataan Ui sauya itu,


perasaan hatinya terasa agak tenang kembali.

Ternyata orang yang munculkan diri itu tidak lain


adalah Cong Hui-miat.

Dengan penuh rasa bangga dia awasi Cong Hoa


ribut dengan Tay Thian berdua, apalagi pokok persoalan
yang sedang diributkan adalah masalah yang
menyangkut dia.

Menyaksikan rasa bangga yang ditampilkan Cong


Hui-miat, tanpa terasa Cong Hoa teringat kembali
dengan Lo Kay-sian, terbayang pula akan Cong Poanlong
beserta rahasia manusia mummi nya.

�Cong Hui-miat adalah anggota perkumpulan Cing


Liong Hwee, lantas bagaimana dengan ayahnya, Cong
Poan-long?� tanya Cong Hoa.

Kali ini yang menjawab ternyata bukan Tay Thian.


�Bila dia tidak keras kepala dan tidak tahu diri, tidak
nanti nasibnya akan begitu tragis,� ujar Cong Hui-miat
tawar.

�Jadi kau yang membunuhnya dan membawa lari


rahasia tentang manusia mummi?� dengan perasaan
terkejut Cong Hoa menatap ke arahnya.

Yang menjawab kali ini ternyata bukan Cong Huimiat.

�Bukan dia, tapi aku!� sambil menjawab Hong Coansin


munculkan diri dari balik ruangan.

Berjumpa dengan pembunuh orang tuanya ternyata


Cong Hui-miat tidak menunjukan sikap apapun, Cong
Hoa mulai menaruh curiga terhadap orang ini,
sebetulnya dia masih terhitung manusia atau bukan?

�Dia adalah pembunuh ayahmu, masa kau sama


sekali tidak bereaksi?� tegur Cong Hoa.

�Dalam organisasi Cing Liong Hwee, yang berlaku


hanya perintah, sama sekali tidak mengenal perasaan,�
Cong Hui-miat bicara tanpa emosi.

�Waah mending jadi seekor anjing ketimbang jadi


kaki tangan organisasi Cing Liong Hwee, paling tidak bila
anjingnya mampus, majikannya akan berusaha untuk
menguburnya.�

Tampaknya Cong Hoa sudah mulai muak


menyaksikan wajah orang ini, dia berpaling
memandang kearah Hong Coan-sin, kemudian ujarnya
lebih lanjut, �Jadi kau berencana melebur tubuh kami
bertiga ke dalam tubuh orang... orang itu?�

Tampaknya sedemikian muak Cong Hoa terhadap


orang itu sehingga untuk menyebutkan namanya saja
segan.

�Benar.�

�Aku boleh memohon satu hal?�

�Soal apa?�

�Lebih baik bunuhlah aku kemudian buang mayatku


ke hutan biar dimakan anjing!�

�Jadi kau lebih ikhlas tubuhmu dimakan anjing liar


daripada membiarkan bagian tubuhmu menempel
diatas tubuhnya?�

�Benar.�

Hong Coan-sin segera tertawa terbahak-bahak,


sambil tertawa dia menepuk bahu Cong Hui-miat
berulang kali.

�Tampaknya kau memang tidak malu menjadi


Tongcu cap-ji-gwee dari perkumpulan Cing Liong
Hwee!� serunya.

�Dia adalah Tongcu bulan dua belas?� tanya Ui


Sauya.
�Benar.�

�Dalam perkumpulan Cing Liong Hwee terdapat dua


belas orang tongcu, tongcu cia-gwee bertanggung
jawab mencari target, tongcu ji-gwee bertugas
penyusupan, tongcu sa-gwee..�

�Tongcu sa-gwee bertanggung jawab


menyampaikan berita, Si-gwee bertanggung jawab
masalah sumber dana, Go-gwee bertanggung jawab
soal hukuman, Lak-gwee bertanggung jawab soal
pelatihan, jit-gwee soal perencanaan, peh-gwee, kaugwee,
cap-gwee bertanggung jawab dalam aksi, cap-it
gwee bertanggung jawab soal pembersihan, siapa yang
berkhianat dialah yang harus melakukan pembersihan,
sedang cap-ji gwee bertanggung jawab soal
pembokongan, jika ada target yang tidak boleh
diumumkan secara terbuka, cap-ji gweelah yang
bertanggung jawab melenyapkannya secara diamdiam.�

�Waah, kalau begitu tongcu cap-ji gwee adakan


tongcu tukang membokong?�

�Benar,� kali ini yang menjawab adalah budak darah,


�Bukan saja dia adalah tongcu cap-ji gwee, diapun
menjabat sebagai tongcu lakgwee yang bertanggung
jawab soal pelatihan.�

�Kalau begitu dia satu orang merangkap dua


jabatan? Imbalannya tentu dobel juga?�
�Benar, Cing Liong Hwee tidak pernah pelit soal
imbalan.�

�Dia telah membunuh ayahnya sendiri Cong Poanlong,


untuk jasanya itu apakah diapun mendapat
imbalan?� tanya Ui sauya sambil melirik sinis ke arah
Cong Hui-miat.

Dia sama sekali tidak menjadi gusar, malah senyuman


masih menghiasi wajahnya.

Cong Hoa mau tidak mau harus kagum juga


terhadap orang ini, sekalipun sedang berhadapan muka
dengan pembunuh ayahnya, dia masih bisa
menghadapinya sambil tertawa.

�Sebenarnya aku ingin menjamu kalian secara baikbaik,


sayang waktunya sudah tidak sempat lagi!�
terdengar Hong Coan-sin berkata.

�Kalau begitu kami sudah tidak disukai disini? Kalian


ingin cepat cepat suruh kami gelinding pergi?�

Terhadap sindiran semacam ini, Hong Coan-sin sama


sekali tidak menanggapi, dari meja dia menuang tiga
cawan arak.

�Satu jam sebelum melakukan pembedahan, perut


harus dibiarkan kosong,� kata Hong Coan-sin lagi, �Tapi
untuk menghindari perut kalian keroncongan dan
gelisah dalam penantian, maka sudah kusiapkan sejenis
arak yang bisa membuat kalian tertidur sangat pulas.�
�Arak yang barusan kau tuang ke dalam tiga cawan
itu?� tanya Tay Thian.

�Benar.�

�Setelah meneguknya, kami tidak pernah akan


mendusin lagi?� tanya Ui sauya.

�Ooh tidak, aku pasti akan memberi kesempatan


kepada kalian untuk menyaksikan dengan mata kepala
sendiri bagaimana aku melebur tubuh kalian bertiga
kedalam tubuhnya.�

bertanya.

Tentu saja tidak boleh. Maka mereka bertiga pun


terpaksa harus meneguk habis isi ketiga cawan arak itu.

Kini arak sudah mengalir ke dalam perut, mungkinkah

saat kematian sudah semakin mendekat?

Lagi-lagi kasih yang tidak berdaya.

Berjalan menuju ke tengah hutan, perasaan kecut

dan sedih kembali mencekam perasaan Nyoo Cing.

�Menyaksikan bagian tubuh kami dipisah lalu dilebur


ke dalam tubuh Cong Hui-miat?� tanya Cong Hoa.
�Benar.�
�Aku boleh menolak untuk minum?� tiba-tiba Ui sauya
Bunga bwee harum semerbak, cahaya matahari
memancar masuk melalui sela sela dedaunan, cahaya
yang terang menyinari permukaan tanah yang becek.

Bangunan rumah kayu itu sudah dibangun kembali,


tapi perasaan sedih tidak pernah sirna dari dalam
hatinya.

Dia mendorong pintu dan berjalan masuk, tirai


jendela dibuka lebar, membiarkan angin dan cahaya
matahari menyusup masuk ke balik ruangannya yang
lembab.

Nyoo Cing sudah cukup lama duduk ditepi meja,


duduk sambil melamunkan si �dia� yang entah berada
dimana.

Lama kemudian, akhirnya dia berpaling mengawasi


selembar papan yang tergeletak disudut ruangan.

..... Dibawah papan, tertanam sebuah peti besi yang


telah berkarat.

Dia berjalan menghampiri, perlahan-lahan


berjongkok. Meskipun dia tahu dibawah tanah mustahil
akan muncul lagi sebuah peti besi yang berkarat,
namun tidak tahan dibukanya juga papan kayu itu.
BAB 5.

Ketika papan disingkap, Nyoo Cing segera


menjumpai sebuah peti besi yang telah berkarat
tertanam disana.

Peti besi itu sangat dikenalnya, karena memang


miliknya.

..... Mengapa peti besi itu bisa muncul dari situ?


Apakah didalamnya masih berisi kait perpisahan?

Didalam peti besi itu tidak ada kait perpisahan, yang


ada hanya seikat rambut manusia.

Rambut itu hanya rambut yang sangat biasa,


berwarna hitam, panjang, tidak harum pun tidak bau,
sama persis seperti rambut manusia pada umumnya.

Tapi Nyoo Cing memandang rambut itu dengan


termangu.

..... Sebenarnya apa keistimewaan rambut itu?

Tidak terlihat, siapa pun tidak dapat membedakan.

Wajah Nyoo Cing bertambah berat, sepasang


matanya mulai memerah.

Selama hidup belum pernah dia bersikap demikian,


biar sedang mabuk beratpun sepasang matanya tetap
memancarkan sinar tajam.
�Rambut itu panjang sekali, pasti rambut seorang
wanita.�

Kesimpulan ini tentu saja betul dan Nyoo Cing yakin


analisanya tidak bakal keliru, sebab rambut seorang pria
jarang yang dipelihara sepanjang itu.

�Bagaimana pun, benda itu tidak lebih hanya berapa


ikat rambut, apa istimewanya?�

Suara itu muncul secara tiba-tiba dari belakang Nyoo


Cing, jelas suara seorang wanita.

Nyoo Cing sama sekali tidak kaget, seakan dia sudah


tahu siapakah perempuan itu dan mengapa dia bisa
sampai di tempat tersebut.

�Ada keistimewaannya,� dia menjawab tanpa


berpaling.

�Apa keistimewaannya?�

�Aneh, bahkan sangat aneh,� ujar Nyoo Cing masih


mengawasi rambut itu.

�Bagian mana yang aneh?�

�Banyak sekali, umpama kenapa rambut itu bisa


berada dalam peti besiku, kenapa peti besi itu bisa
muncul lagi disini? Siapa yang meletakkannya disitu?
Apa maksud tujuannya berbuat begitu?�

Agaknya perempuan itu sempat tertegun, akhirnya


tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berjalan
menuju ke hadapan Nyoo Cing dan duduk, sementara
sorot matanya yang bening mengawasi lelaki itu lekat
lekat. Ternyata gadis itu tidak lain adalah si nona hitam,
Hek-niu.

Nona hitam ikut memperhatikan ikatan rambut diatas


meja, sekali lagi dia menghela napas panjang.

�Bila tebakanku tidak meleset, seharusnya benda ini


adalah hasil karya Ti Cing-ling,� tiba-tiba Nyoo Cing
mendongakkan kepalanya dan memandang nona itu.

�Ti Cing-ling? Mengapa dia berbuat begitu?�

�Tujuannya agar aku melihat rambut tersebut.�

�Tapi apa istimewanya rambut itu? Biar sudah


dilihatpun tidak akan bereaksi apa-apa? Tindakannya ini
bukan sangat lucu dan menggelikan?�

Meskipun bicara begitu namun dalam hatinya sudah


timbul perasaan tidak beres, dia tahu persoalan tidak
mungkin sesederhana itu.

Manusia macam Ti Cing-ling tidak nanti akan


melakukan perbuatan yang menggelikan.

�Aku melepaskan Bu Sam-sian dalam keadaan hidup,


tujuannya adalah agar Ti Cing-ling tahu kalau aku
sedang menunggunya disini,� ujar Nyoo Cing, �Sekalipun
Bu Sam-sian tidak menyampaikan berita ini kepadanya,
diapun pasti sudah menduga kalau aku bakal datang
kemari, itulah sebabnya dia siapkan dulu peti besi ini
dibawah papan kayu.�

Nona hitam mengawasi Nyoo Cing berapa saat,


mendadak seperti teringat akan sesuatu, tanyanya
dengan suara gemetar, �Berarti kau sudah tahu rambut
siapakah itu?�

Nyoo Cing termenung, lama kemudian dia baru


menghela napas panjang.

�Yaa, aku tahu.�

�Apakah kau yakin?�

�Aku...�
�Kau tidak yakin bukan?� seru nona hitam.
Kemudian tanpa menanti Nyoo Cing buka suara, dia
berkata lebih jauh, �Ti Cing-ling sengaja berbuat begitu
karena dia ingin kau mengira rambut itu adalah rambut
milik Lu Siok-bun, dia berharap kau mengira Lu Siok-bun
sudah terjatuh ke tangannya, agar perasaanmu tidak
tenang, agar dia memiliki kesempatan untuk
membunuhmu.�

Nada suara nona hitam agak emosi, dia menatap


lelaki itu tanpa berkedip.

Setelah berhenti sejenak, katanya lagi, �Kenapa kau


mesti tertipu? Seandainya nona Lu benar-benar terjatuh
ke tangannya, kenapa dia tidak langsung tunjukkan
dihadapanmu kemudian memaksa kau untuk menuruti
kehendaknya?�

�Mungkin orang lain akan berbuat begitu, tapi dia


tidak akan,� kata Nyoo Cing sambil menghela napas,
�Sebab dia tidak boleh berbuat begitu.�

�Kenapa dia tidak boleh berbuat begitu?�

�Karena dia adalah Ti Cing-ling!�

Bila umat persilatan mengetahui kalau Ti Cing-ling


menggunakan cara semacam itu untuk meraih
kemenangan, mungkin dia akan dipermalukan oleh
seluruh manusia di dunia ini.

�Tapi sekarang dia tidak mengatakan apa pun, dia


tidak lebih hanya memperlihatkan seutas rambut saja,�
kata nona hitam.

�Justru disinilah letak kehebatan dan kelicikannya.�

�Bisa saja rambut itu bukan miliknya.�

�Bisa bukan, bisa benar,� Nyoo Cing mencoba


menerawang angkasa diluar jendela sana, �Siapa pun
tidak bisa meyakini mana yang benar.�

�Bila kau tidak menggubrisnya sama sekali, bila kau


tidak menganggapnya sebagai sebuah persoalan dan
bila kau berlagak seolah-olah tidak melihat, maka jerih
payahnya akan mengalami gagal total.�

�Tapi sayang aku telah melihatnya.�


�Justru karena dia tidak mengatakan apa-apa maka
kau jadi curiga, sebab dia sudah memperhitungkan
secara tepat kalau kau bakal curiga, maka dari itu dia
berbuat begini!� seru nona hitam, �Kaupun sudah
mengetahui dengan jelas maksud tujuannya, tapi
mengapa kau tetap nekad untuk masuk ke dalam
perangkapnya?�

�Begitulah kejadian di dunia ini,� Nyoo Cing tertawa


hambar, �Ada sementara persoalan, walaupun sadar
sudah tertipu namun kau tetap melakukannya.�

�Sekarang kau sudah curiga kalau rambut itu milik


nona Lu, itulah sebabnya pikiranmu kalut, bila saat ini
harus bertarung melawan seseorang, biar kungfu
musuhmu lebih rendah pun, kau tetap akan kalah
ditangannya.�

Sekalipun harus kalah, apa yang bisa dia lakukan?

Tujuan Ti Cing-ling memang ingin membuat pikiran


Nyoo Cing kalut, terlepas dia mau percaya atau tidak,
selama Nyoo Cing mulai memikirkan persoalan itu maka
tujuan Ti Cing-ling boleh dianggap sudah tercapai.

Bagaimana mungkin Nyoo Cing tidak memikirkannya?

Perempuan itu memang merupakan sosok bayangan


yang diimpikan siang malam, bagaimana mungkin dia
dapat melupakannya?
Sekalipun dia tahu dengan pasti bahwa rambut itu
bukan miliknya, tidak urung pikiran dan perasaannya
kalut juga dibuatnya.

Karena Ti Cing-ling telah berhasil mencongkel keluar


perasaan hati Nyoo Cing yang sebenarnya, sebab Ti
Cing-ling telah membuatnya teringat dan terbayang
kembali perempuan impiannya itu.

Sebuah bilik batu, sebuah meja batu, seorang Ti Cingling


dan seorang wanita berbaju putih.

Diatas meja batu tersedia arak.

Perlahan-lahan Ti Cing-ling menghirup satu tegukan


arak, kemudian sambil menga-wasi perempuan berbaju
putih itu, ujarnya perlahan, �Persoalannya bukan terletak
pada rambut siapakah itu, melainkan pada Nyoo Cing
adalah manusia macam apa?�

Perempuan berbaju putih itu tetap membungkam.

�Siasat ini memang khusus dirancang untuk


menghadapi Nyoo Cing,� kembali Ti Cing-ling berkata
sambil tertawa, �Seandainya digunakan pada orang
lain, mungkin siasat tersebut sama sekali tidak ada
gunanya, sebab orang lain tidak bakal berpikir terlalu
banyak, terlalu jauh.�

Ditatapnya perempuan itu dalam dalam, kemudian


terusnya, �Sebab orang lain tidak akan romantis macam
dia.�
Nyoo Cing masih duduk dengan tenang, sorot
matanya mulai bergeser dari rambut diatas meja ke luar
jendela sana.

�Kau pasti sedang merindukannya?� nona hitam


berbisik.

Nyoo Cing tetap tidak menjawab, terkadang tidak


menjawab itu berarti sedang menjawab.

�Tentu saja kau harus memikirkannya,� nona hitam


mewakilinya menjawab, �sebab kalau tidak
memikirkannya, kau akan lebih sedih, lebih tersiksa
ketimbang memikirkannya.�

Ditatapnya wajah lelaki itu lekat lekat, kemudian


tambahnya, �Sebab kau kelewat romantis!� Kadangkala
orang yang kelewat romantis, kelewat perasaan pun
merupakan orang yang tak berperasaan, sebab bila
rasa cinta sudah mencapai pada puncaknya maka
perasaan itu akan berubah jadi tak berperasaan.

Tampaknya Ti Cing-ling sudah melupakan akan hal ini,


tapi dengan kecerdasannya dia pasti akan mengetahui
kesalahannya itu, mungkin bukan hari ini, bukan hari
esok, bukankah masih ada hari lusa dan hari yang lebih
lama lagi?

�Satu hari dia tidak muncul, pikiranmu akan kalut


selama satu hari, sepuluh hari tidak muncul, pikiranmu
akan kalut selama sepuluh hari,� nona hitam menghela
napas panjang, �semakin dia mengulur waktu, pikiranmu
semakin kalut, makin resah, aku lihat siapa menang
siapa kalah dalam pertarungan ini sudah jelas
terpampang.�

Nyoo Cing termenung lama sekali, tapi akhirnya ia


berkata juga, �Tapi ada sementara persoalan, walaupun
kau sadar tak dapat melakukannya, tapi kau toch
melakukannya juga.�

�Memangnya dia teramat penting bagimu?


Sedemikian pentingnya hingga jauh lebih berharga dari
nyawamu sendiri?� tanya nona hitam.

Sepasang mata nona hitam kelihatan mulai basah,


basah oleh air mata.

Tapi aneh, mengapa dia bisa begitu?

�Dalam pikiranmu, apakah tiada orang lain yang bisa


menggantikannya?�

Kembali Nyoo Cing termenung, termenung sampai


lama sekali, kemudian dia baru mendongakkan
kepalanya, menatap tajam perempuan itu.

Tapi buru buru nona hitam menghindari sorot


matanya.

�Aku hanya berharap kau memahami akan satu hal,�


sepatah demi sepatah Nyoo Cing berkata, �seandainya
kau berganti jadi aku, aku yakin kaupun akan berbuat
demikian, bila dia berganti kau, akupun akan bersikap
demikian terhadapmu.�
Nona hitam tidak bergerak, dia seakan sama sekali
tidak mendengar perkataan itu, namun air matanya
telah jatuh bercucuran.

Kedua orang itu saling berhadapan dengan mulut


membungkam, entah berapa lama sudah lewat seolah
sudah melebihi sepuluh tahun, akhirnya nona hitam
buka suara terlebih dulu, katanya, �Ketika berkenalan
denganmu waktu itu, aku masih berumur dua belas
tahun, pertama kali berjumpa dengan kau di tempat ini.
Hari itu sama dinginnya seperti hari ini, aku bersembunyi
dibalik pintu sambil berdiri menggigil, ketika malam
semakin larut, udara semakin dingin, tubuhku makin
lama semakin membeku, namun angin yang menusuk
tulang tanpa perasaan menyusup terus melalui
pakaianku yang tipis, waktu itu aku benar benar
membenci langit dan bumi, membenci semua manusia
yang ada di dunia ini, membenci diriku sendiri, mengapa
hidup sebagai seorang anak yatim piatu, mengapa
musim dingin selalu begitu menggigil...�

Suaranya seolah datang dari balik angkasa yang


membeku, dingin dan menyakitkan.

�Saat itulah kau muncul dihadapanku, muncul


bagaikan pangeran berkuda putih dalam cerita
dongeng,� lanjut nona hitam setengah bergumam, �Kau
mengajakku masuk kemari, melepaskan jubah luarmu
dan kau kenakan ditubuhku yang menggigil, kemudian
kaupun serahkan hidangan malammu yang paling lezat
untuk mengisi perutku yang lapar.....�
Akhirnya gadis itu berpaling, mendongakkan
kepalanya dan menggunakan sorot mata yang penuh
kemesrahan menatap lelaki dihadapannya.

�Sejak saat itu kau selalu muncul dalam impianku,�


gadis itu melanjutkan, �Lima tahun kemudian, suatu hari
kau berkata kepadaku bahwa seorang musuh
tangguhmu telah melarikan diri dari dalam penjara,
kemungkinan besar setiap saat orang itu akan datang
mencarimu untuk menuntut balas, bila dia muncul maka
pertempuran sengit tak terhindarkan, kaupun bertanya
kepadaku, bersediakah melakukan satu tugas
deminya?�

Tentu saja nona hitam menyanggupinya.

�Kau suruh aku meninggalkan tempat itu, minta aku


membuka toko dan menjual sesuatu,� kata si nona lebih
jauh, �Kemudian kaupun memberitahukan sejumlah kata
sandi, bila suatu hari ada orang mengucapkan kata
sandi tersebut maka kau suruh aku membunuh orang
tersebut seketika, kemudian datang kemari untuk
menunggu kau, sebab saat itu pasti menyangkut soal
mati hidupmu.�

Pancaran sinar minta maaf mencorong keluar dari


balik mata Nyoo Cing.

�Setiap malam aku selalu berdoa, minta kepada


Thian agar hari semacam ini jangan pernah datang!�
bekas air mata belum mengering dari wajah nona hitam,
�Kemarin, sewaktu gadis itu datang ke tempatku, waktu
itu aku benar-benar amat cemas, ingin sekali aku segera
menyusul kemari untuk membantumu, setelah
menunggumu seharian, tidak disangka akhirnya yang
kusaksikan adalah sikapmu seperti saat ini.�

Nyoo Cing tidak berbicara, dia memang tidak tahu


harus bicara apa, berhadapan dengan nona hitam,
berhadapan dengan cinta kasihnya yang tulus, dia
merasa pikirannya semakin kalut.

Bila seorang wanita betul-betul mencintai seorang


lelaki, dia selalu berharap dirinya menjadi satusatunya
wanita yang berada dalam benaknya, dia tidak
akan mengijinkan pihak ketiga menyusul masuk ke
dalam kehidupannya.

Tapi sayang dalam pikiran dan perasaan Nyoo Cing,


dia hanya ada Lu Siok-bun seorang.

Dengan termangu-mangu nona hitam


mengawasinya, entah bagaimana perasaan hatinya
waktu itu? Kecut? Getir? Manis? Atau ketidak
berdayaan?

�Tiba-tiba aku sadar kalau diriku adalah seorang tolol,


kau sudah kenal dengannya jauh sebelum bertemu aku,
sebelum kehadiranku, diantara kalian sudah terjalin
banyak persoalan dan kejadian, aku baru muncul
belakangan, maka tidak seharusnya aku marah
kepadamu, yang salah sebetulnya adalah aku.�
Tiba-tiba dia tertawa, meski senyumannya penuh
kegetiran, kepahitan dan ketidak berdayaan, namun
senyuman tetap senyuman.

�Bila kau anggap perbuatan ini merupakan


perbuatan yang ingin kau lakukan dan harus kau
lakukan, pergilah untuk melakukan!� katanya tajam,
�Tapi ada satu hal perlu kusampaikan kepadamu, ada
satu hal akupun harus dan tetap akan kulakukan.�

�Apa yang hendak kau lakukan?�

�Kau memikirkan dia disini dan aku memikirkan kau


disini!�

Selapis kabut tebal seolah melintas dan menyelimuti


mata Nyoo Cing. Kabut itu bagai kabut tebal dimusim
gugur, dingin, sepi dan tidak berdaya.

�Cinta� mengapa selalu membuat seseorang jadi


tidak berdaya?

Angin masih berhembus kencang diluar jendela, daun


kering mulai berguguran memenuhi permukaan, kini
matahari senja sudah condong di langit barat.

�Ada satu hal aku selalu merasa keheranan!� tiba tiba


nona hitam mengalihkan pokok pembicaraan, �Yang
mengetahui tempat dimana Ti Cing-ling disekap hanya
berapa orang, selain jalan darahnya sudah tertotok,
diapun sudah diborgol dengan besi baja yang terbuat
dari inti baja hasil tambang bukit Hong-san, borgol itu
bukan setiap orang sanggup membukanya, rahasia
inipun paling banter hanya lima orang yang tahu, tapi
anehnya kenapa ada orang tetap berhasil
menyelamatkan dirinya?�

Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya


mendengarkan dengan serius.

�Menurut hasil analisa yang dilakukan kemudian,


konon seorang wanita yang telah menyelamatkan Ti
Cing-ling dari penjara, siapa sih wanita itu? Kenapa dia
bisa mengetahui rahasia ini?

Siapa yang mampu menjawab pertanyaan pelik ini?

�Pada mulanya aku sangka perempuan itu adalah


Siau-tiap, tapi kenyataan membuktikan kalau bukan
hasil perbuatannya, jadi aku simpulkan perempuan yang
berhasil menolongnya tentu sangat memahami tentang
dirimu, atau bisa jadi dia adalah orang yang sangat kau
percaya.�

�Orang yang memenuhi seluruh syarat tersebut


rasanya hanya kau seorang,� ujar Nyoo Cing sambil
tertawa.

�Betul, kalau melihat semua fakta yang ada, memang


aku seorang yang paling mencurigakan,� kata nona
hitam sambil menatapnya tajam, �Tapi aku percaya kau
pasti tidak akan mencurigai diriku.�

Nyoo Cing hanya tertawa tanpa menjawab. Apa


pula arti dari senyuman itu? Percaya? Atau tidak?
�Kalau bukan aku, lantas siapa?� katanya lagi.

�Mungkin saja orang yang menyelamatkan Ti Cingling


bukan seorang wanita.�

�Laki laki maksudmu?�

�Mungkin saja.�

�Bila kita dapat selidiki siapakah orang itu maka tidak


sulit untuk melacak tempat persembunyian Ti Cing-ling
saat ini,� kata nona hitam lagi, �Dengan begitu kita pun
tidak usah menanti kedatangannya di tempat ini, kita
bisa langsung pergi mencarinya.�

�Kenapa?�

�Sebab dia telah melupakan satu hal!�

�Soal apa?�

�Dia lupa, meskipun pikiran dan perasaanku sekarang


amat kalut, namun dia sendiripun tidak pernah akan
tenang karena pikirannya dipenuhi dengan prasangka
dan keraguan.�

�Tidak perlu!�
�Apa arti tidak perlu?�
�Tidak perlu artinya walau kita mengeta-hui tempat
persembunyiannya pun tidak usah pergi mencarinya.�
�Maksudmu, diapun sedang menduga-duga
bagaimana reaksimu sekarang?�

�Benar.�

....Bila kau berharap orang lain menunggu


kedatanganmu, bukankah kau sendiripun berada dalam
kondisi menanti?

Banyak kejadian didunia ini sebenarnya merupakan


pedang bermata dua, disaat kau sedang mencelakai
orang lain, terkadang kau sendiripun mengalami
keadaan yang sama bahkan seringkali penderitaan
yang kau peroleh justru jauh lebih parah dan berat.

Bila seseorang sudah terbiasa hidup menyendiri, hidup


kesepian, maka baginya penantian sudah bukan
merupakan sebuah penderitaan lagi.

Nona hitam menghembuskan napas panjang,


akhirnya dia berhasil mengetahui titik kelemahan yang
dimiliki Ti Cing-ling dalam rencana kejinya. Ini berarti
dalam pertarungan tersebut, sesungguhnya Ti Cing-ling
tidak berhasil peroleh keuntungan apa pun, atau
dengan perkataan lain belum tentu Nyoo Cing akan
menderita kekalahan dalam pertarungan ini.

Ruang batu itu tidak berjendela, oleh sebab itu sulit


bagimu untuk mengetahui bagaimana cuaca saat itu,
apakah di siang hari atau sudah menjelang tengah
malam.
Diatas anglo tembaga terlihat sebaskom bubur bunga
teratai yang masih hangat, uap putih masih mengepul
dari balik hidangan tersebut.

Ditengah kabut yang tipis, Ti Cing-ling seakan sudah


tertidur pulas, wanita berbaju putih itu masih
mengawasinya dengan seksama.

Sudah banyak tahun dia kenal dengan orang ini,


sudah banyak tahun mereka bekerja sama menggalang
suatu perencanaan besar, namun hingga kini dia masih
belum dapat menebak manusia macam apakah dirinya
itu.

Jelas kepandaian silatnya sangat tangguh, latar


belakang keluarganya sangat terhormat bahkan diapun
terhitung seorang bangsawan kelas satu yang kaya
raya, tapi justru dengan status sosialnya yang terhormat,
dia senang terlibat dalam pertikaian dunia persilatan.

Apakah kesemuanya ini merupakan masalah


kejiwaan baginya?

Wanita berbaju putih itu menuang secawan arak,


baru saja akan diteguk, mendadak terdengar suara Ti
Cing-ling berkata, �Aku selalu keheranan dengan satu
hal.�

�Soal apa?�

�Siau-tiap bukan saja merupakan sagwee Tongcu dari


perkumpulan Cing Liong Hwee kalian, diapun seorang
gadis berbakat hebat, mengapa pihak Cing Liong Hwee
menghabisi nyawanya?�

Wanita berbaju putih itu tidak menjawab, dia hanya


meneguk araknya.

�Apakah dia berkhianat?�

Wanita itu menggeleng.

�Apakah lantaran identitasnya sudah tersingkap?�

�Juga bukan.�

�Atau karena dia sudah tidak berharga lagi untuk


dipergunakan?� Ti Cing-ling menatap tajam wajah
wanita berbaju putih itu, �Atau mungkin dia sudah
mengetahui sebuah rahasia yang tidak seharusnya dia
ketahui?�

�Kenapa secara tiba-tiba kau punya pikiran


semacam itu?� bukan menjawab wanita berbaju putih
itu malah balik bertanya.

�Bukannya tiba-tiba, tapi persoalan tersebut selalu


membelenggu jalan pikiranku,� katanya cepat,
�Sekalipun identitas Siau-tiap sudah tersingkap, namun
dengan kepandaian silat serta kecerdasan otaknya,
bukan masalah sulit baginya untuk lolos dari ancaman
bahaya, seandainya dia tidak mampu pun, bagi Cing
Liong Hwee, menolong seseorang bukanlah satu
perbuatan yang sulit dilakukan.�
Sambil menatap wanita itu tajam tajam, sepatah
demi sepatah kata tanyanya, �Mengapa Cing Liong
Hwee tidak menolongnya? Mengapa harus
membunuhnya? Apa arti dan makna dari ucapan Siautiap
menjelang ajalnya?�

�Menjelang ajalnya? Apa yang dia katakan?� tanya


wanita itu keheranan.

�Dia bilang, semua gerakan dan rencana yang kita


lakukan sesungguhnya tidak lebih hanya sebiji bidak
dalam papan catur orang lain, apa maksud dari
perkataannya itu?�

Wanita berbaju putih itu termenung sambil berpikir,


kelihatannya dia pun seakan tidak mengerti apa
maksud dari perkataan Siau-tiap itu.

�Aku tidak mengerti,� tiba-tiba wanita itu berkata.

�Kau tidak mengerti? Kau pun tidak memahami arti


dari perkataannya itu?�

�Aku tidak mengerti kenapa atasan harus


membunuhnya, dulu belum pernah terjadi peristiwa
semacam ini, seperti apa yang telah kau katakan, Siautiap
merupakan seorang gadis berbakat yang sangat
pintar, akupun tidak mengerti mengapa atasan harus
membunuhnya?�

Sebetulnya Ti Cing-ling ingin mencari jawaban dari


pertanyaan tersebut dari mulut wanita berbaju putih itu,
siapa sangka bukan saja tidak peroleh apa-apa, malah
sebaliknya wanita itu yang bertanya kepadanya.

Ti Cing-ling pun tertawa getir, dia memang hanya bisa


tertawa getir.

�Pertanyaan ini seharusnya aku yang bertanya


kepadamu, sekarang malah kau yang bertanya
kepadaku.�

�Karena aku sama seperti kau, tidak mengerti kenapa


atasan harus membunuh Siau-tiap,� kata wanita berbaju
putih itu, �Mengenai berapa patah kata yang dia

ucapkan menjelang ajalnya, aku rasa hanya atasan saja


yang memahami.�
Jawaban tersebut jelas jawaban gombal, sama
artinya tidak diucapkan.
Tapi Ti Cing-ling seolah bisa menerima perkataan dari
wanita berbaju putih itu, dengan riang dia mengangguk.

�Kait perpisahan milik Nyoo Cing adalah demi bisa


berkumpul kembali dengan wanita kecintaannya, oleh
sebab itu disebut kait perpisahan, lalu bagaimana
dengan golok tipismu itu, apa pula nama golok milikmu
itu?�

Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibir Ti


Cing-ling, tangan yang semula menggenggam cawan,
tiba-tiba saja berubah jadi sebilah golok.
Sebilah golok yang tipis sekali, cahaya kebiru-biruan
terpancar keluar dari tubuh golok itu.

�Ada bayangan tidak berwujud, ada bentuk tidak


bisa diraba, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut,�
kata Ti Cing-ling sambil memandang golok andalannya,
�Karena golok ini lebih tipis dari kertas maka kuberi nama
sebagai golok kelembutan.�

�Golok kelembutan?� gumam wanita berbaju putih


itu sambil menatap golok tersebut berapa kejap, �Golok
yang biasa digunakan untuk membunuh orangpun kau
sebut sebagai golok kelembutan?�

�Benar, sebab disaat golok itu merenggut nyawa


manusia, keadaannya persis seperti seorang kekasih
yang sedang memeluk cintanya, bukan saja lembut
bahkan amat romantis.�

�Konon golok ini bersama kait perpisahan milik Nyoo


Cing merupakan hasil tempaan dari empu Siau Gongcu?�

�Benar.�

�Kau masih memiliki golokmu sementara kait


perpisahan sudah tidak berada ditangan Nyoo Cing
lagi, sekarang kau dapat menggunakan golok
kelembutan maupun kait perpisahan, siapa yang bisa
menandingimu lagi dikolong langit saat ini?�
Tangan kiri Ti Cing-ling yang semula kosong, kini sudah
bertambah dengan sebuah senjata kaitan, kait
perpisahan.

Setelah meneliti sekejap bentuk aneh dari senjata itu,


dengan senyuman makin melebar katanya, �Tahukah
kau, apa sebabnya kait milik Nyoo Cing ini bisa menebar
begitu banyak perpisahan di dunia ini?�

�Karena semua jurus serangan yang tercipta untuk


senjata tersebut merupakan jurus perpisahan, konon
kitab yang digunakan Nyoo Heng untuk mempelajari
jurus maut tersebut berasal dari sejilid kitab pusaka yang
sudah cacad dan tidak utuh?�

�Tapi bukan itu penyebabnya.�

�Bukan? Lalu lantaran apa?�

�Meskipun jurus serangan yang digunakan kait


perpisahan berasal dari sejilid kitab yang tidak utuh,
namun yang paling menakutkan justru kecepatan Nyoo
Cing.�

�Kecepatan?�

�Benar, inilah yang paling menakutkan, biarpun dia


menyerang belakangan namun serangannya selalu
mencapai sasaran jauh melebihi orang lain, ketika
tenaga serangan musuh belum sempat mencapai pada
puncaknya, kait milik Nyoo Cing seringkah sudah
menghabisi dulu nyawa lawannya.�
�Dan musuhnya pun segera berpisah dengan dunia
ini?�

�Benar.�

�Bila kait perpisahan jatuh ke tangan orang lain,


dapatkah orang lain melakukan hal yang sama?�

�Tidak dapat.�

�Kenapa?�

�Sekalipun kungfu yang dimiliki orang lain jauh lebih


hebat pun tidak mungkin dia sanggup menggunakan
kelebihan yang dimiliki senjata kait perpisahan ini.�

�Aku mengerti maksudmu, kecuali Nyoo Cing sendiri,


rasanya tidak ada orang lain yang bisa memanfaatkan
setiap peluang yang muncul.�

�Kelihatannya ilmu silatmu sudah bertambah maju.�

Wanita berbaju putih itu tertawa.

Tidak diketahui apa makna dari tertawanya itu,

namun Ti Cing-ling ikut tertawa, senyumannya jelas


senyuman gembira.

�Ada keinginan untuk mencoba kecepatan Nyoo


Cing?�

�Tidak!�
�Jadi kau tahu kalau kemampuanmu masih bukan
tandingannya?�

�Menurut apa yang kuketahui, di dunia saat ini


mungkin hanya ada tiga sampai lima orang yang
sanggup menandinginya.�

�Salah satu diantaranya adalah Liongtau lotoa dari


perkumpulan Cing Liong Hwee?�

�Benar.�

�Satunya lagi tentu aku?�

�Benar.�

�Keliru besar,� perlahan-lahan Ti Cing-ling berkata,


�Tidak ada orang yang bisa mengendalikan dia, akupun
paling banter hanya bisa menghabisi nyawanya.�

.....Sebab manusia yang bernama Nyoo Cing persis


seperti senjata kait perpisahannya, kau bisa
mematahkannya namun tidak akan mampu
membuatnya bengkok.

�Tapi sekarang aku masih belum ingin


membunuhnya.�

..... �Karena kau masih sangsi untuk menghadapi


kemampuannya!�

Perkataan ini hanya melintas dalam benak wanita


berbaju putih itu, tentu saja tak sampai diutarakan.
�Sekarang aku hanya ingin agar dia pergi membunuh
orang,� kata Ti Cing-ling, �Makin banyak yang dibunuh
semakin baik.�

..... �Agar dia pergi membunuh? Sampai kapan


pembunuhan itu baru berhenti? Membunuh hingga
semua orang ingin membunuhnya? Membunuh sampai
dia jadi kalap?�

Dengan sorot mata yang tajam wanita berbaju putih


itu mengawasinya.

�Siapa saja yang telah kau persiapkan agar dibunuh


olehnya?� dia bertanya.

�Tentu saja orang-orang yang paling menarik,


sekarang aku sudah teringat akan seseorang yang
paling menarik itu...�

Malam bersalju yang sangat dingin. Semakin larut


malam, salju turun semakin deras.

Nyoo Cing masih duduk bersandar didepan jendela


sambil mengawasi bunga bwee dikebun muka.

Bunga salju beterbangan dari angkasa, berhamburan


ke mana mana, melapisi bunga bwee yang ada di
ranting.

Ranting yang menerima beban berat segera


melengkung, makin tebal salju yang melapisi, makin
melengkung ranting itu tapi dia tidak pernah patah
karena beban salju yang berat.
Sebagai manusia, kau harus belajar dari sifat ranting
pohon, makin besar tekanan yang kau hadapi, semakin
ulet kau menghadapi, jangan hanya disebabkan sedikit
tekanan, kau sudah kehilangan rasa percaya diri serta
semangat untuk bertempur.

Nyoo Cing sudah berjalan keluar dari rumah kayu,


seorang diri duduk ditepi sungai yang mulai membeku,
duduk sambil mengawasi bunga bwee disekelilingnya.

Salju yang tebal membuat seluruh permukaan


berubah jadi putih keperak-perakan, air yang mengalir
ditengah malam bergerak perlahan tanpa menimbulkan
suara.

Aliran air disungai bagaikan napas seorang yang


sekarat, air tetap akan mengalir untuk selamanya tapi
napas manusia setiap saat kemungkinan akan berhenti.

Mati sebetulnya bukan sesuatu yang menakutkan,


juga bukan sesuatu yang menyedihkan.

Yang menakutkan justru kepedihan hati.

Angin kembali berhembus menggoyangkan ranting


pepohonan.

Bunga salju beterbangan ke bawah, sebagian


menodai tubuh Nyoo Cing.

Dalam suasana begitulah dari ujung sungai terlihat


ada sebuah sampan, sebuah tungku, seorang kakek
kesepian pelan-pelan bergerak mendekat.
Kakek itu masih duduk bersila diujung perahu, bertopi
lebar, mengenakan jas hujan dari jerami dan rambutnya
telah beruban semua.

Air dalam teko diatas tungku sudah lama mendidih,


bau harum semerbak terendus makin kental, sekental
darah segar.

�Air teh? Atau obat?�

�Air teh, juga obat.�

�Perduli teh atau obat, aku sudah tidak ingin


mencicipinya.�

�Aku pun tidak akan membiarkan kau untuk


mencicipinya,� kakek itu berpaling, memandang Nyoo
Cing yang ada di daratan dan tiba-tiba tertawa.

�Orang yang memasak teh belum tentu akan menjadi


peminum teh, aku bukan orang yang membuat teh,
akupun tidak ingin minum air teh itu,� kata Nyoo Cing
sambil tertawa pula.

�Manusia macam apa yang akan minum air tehku?�

�Seseorang yang hampir mampus, termasuk juga


sejenis manusia.�

�Sejenis manusia?�

�Orang yang datang menagih hutang.�


Air teh masih panas sekali, tapi cawannya sudah lama
dingin membeku.

Kakek itu menuang air teh di cawannya, kemudian


meneguknya sendiri.

�Teh ini teh ampas!� kakek itu berkata.

�Aku tahu.�

�Kau tahu?�

�Walaupun kau bisa meracik bubuk ngo-ma-san,


namun bahan untuk membuat obat tersebut susah
diperoleh,� kata Nyoo Cing sambil tertawa, �Apalagi hari
ini tidak ada orang yang hampir mati ditempat ini, apa
gunanya disediakan bubuk ngo-ma-san?�

Tiba-tiba kakek itu tidak bicara lagi, dengan sepasang


mata tuanya dia awasi Nyoo Cing dengan tenang,
lewat lama, lama kemudian dia baru membungkukkan
tubuh dan meloloskan sebilah pedang hitam pekat dari
samping tungku.

Sarung pedangnya berwarna hitam, gagang pedang


pun berwarna hitam pekat.

Sedemikian hitamnya hingga menyerupai lapisan


kegelapan yang menyelimuti ujung langit nun jauh
disana.
�Selamat bersua kembali!� Nyoo Cing pun sedang
mengawasi pedang hitam itu, tiba-tiba dia
mengucapkan perkataan tersebut kepada benda itu.

�Sudah berapa lama kau tidak pernah bertemu


dengannya?� tanya kakek itu.

�Delapan tahun,� Nyoo Cing menghela napas


panjang, �Delapan tahun delapan bulan delapan hari.�

�Ditambah delapan jam,� kakek itu menambahkan,


�Waktu itu baru menjelang senja dan sekarang sudah
lewat tengah malam.�

�Kelihatannya daya ingat mu sangat bagus.�

Kakek itu tertawa ewa.

�Hampir setiap menit, setiap detik, setiap jam, setiap

hari, setiap bulan, setiap tahun aku selalu mendoakan


agar kau bisa tidur dengan nyenyak.�

�Tampaknya doamu sudah dikabulkan, sebab setiap


hari aku dapat tidur dengan sangat nyenyak.�

�Aku telah berhutang kepadamu.....�

�Aku rasa hutang itu sudah impas!�

�Sudah impas?�

�Benar.�
Akhirnya kakek itu mendongakkan kepalanya,
mengawasi Nyoo Cing dengan wajah tanpa perasaan,
sinar matanya kelihatan sangat aneh, entah sorot mata
kegembiraan ataukah sorot mata kesedihan.

Nyoo Cing pun balas menatapnya, sorot matanya


pun memancarkan sinar yang tidak terurai dengan
perkataan.

�Aku telah dating!� tiba-tiba kakek itu berkata.

�Aku tahu kau pasti akan datang.�

�Tentu saja aku akan datang dan tentu saja kau pasti
tahu,� kata kakek itu sambil menatapnya makin tajam,
�Kalau tidak, mengapa kau biarkan aku pergi pada
delapan tahun berselang?�

Sekali lagi Nyoo Cing memandang pedang hitam


yang berada ditangan kakek itu, lewat sesaat kemudian
dia baru menghembuskan napas panjang.

BAB 6.

Pedang hitam bagai kegelapan malam.

Pedang itu melebur jadi satu dengan kegelapan


malam, karena sama-sama hitamnya.
Mengawasi pedang hitam yang berada dalam
genggamannya, kakek itupun menghela napas
panjang.

�Delapan tahun berselang, aku kalah diujung kait


perpisahan.�

�Mungkin tidak seharusnya kau kalah,� kata Nyoo


Cing hambar, �Tapi sayang meski usiamu belum tua, ilmu
pedangmu justru sudah kelewat tua.�

Kakek itu termenung seolah sedang mencoba untuk


mencerna apa yang barusan dia dengar, lewat lama
kemudian baru perlahan-lahan tanya nya, �Menurut
pandanganmu, berapa usiaku sekarang?�

Kakek itu rambutnya sudah beruban, wajahnya


penuh keriput dan kelihatan sudah amat lelah, lemah
dan tua, jauh lebih tua dibandingkan sewaktu Nyoo
Cing bertemu untuk pertama kalinya dulu.

�Aku sudah termashur ketika berusia tujuh-delapan


belas tahun, ketika bertemu delapan tahun berselang,
usiaku tidak lebih baru tiga puluh enam tahun, dan
tahun ini aku baru berusia empat puluh enam tahun.�

Dengan wajah terperangah Nyoo Cing


mengawasi kakek itu, delapan tahun berselang, rambut
kakek itu sudah mulai memutih, menurut taksirannya
waktu itu, meski belum mencapai usia enam puluh,
paling tidak sudah mencapai lima puluh tujuh, delapan
tahunan.
�Aku tahu, tampangku memang mirip orang tua,
sejak delapan tahun berselang rambutku sudah mulai
beruban,� ujar kakek itu sambil tertawa.

Nyoo Cing menghela napas panjang.

�Akupun tidak menyangka kalau delapan tahun


berselang Liong Ngo dari Kwang-tong baru berusia tiga
puluh enam tahun.�

Kakek itu tertawa pedih.

�Ini semua disebabkan aku terlalu memusatkan


konsentrasi dan kekuatan tubuhku untuk melatih diri,
kendatipun dengan mengandalkan pedang ini aku
berhasil meraih nama besar dan reputasi, namun
pedang tersebut telah menghisap seluruh darah dan
sumsum dalam tubuhku.�

Nyoo Cing cukup memahami maksud perkataannya,


bila seseorang kelewat kesemsem dalam satu bidang
tertentu, maka keadaan itu ibarat sudah melakukan
transaksi dengan setan iblis.

�Kaupun terhitung seseorang yang pernah belajar


ilmu pedang, bila kau mengalami keadaan seperti aku,
setelah mengorbankan segala sesuatunya demi ilmu
pedang, tahu-tahu suatu saat kau dirobohkan dalam
sekali gebrakan saja, bagaimana perasaanmu waktu
itu?�

Nyoo Cing tidak menjawab.


�Tentu saja kau tidak akan memahami perasaanku
waktu itu,� kata si kakek lagi sambil menghela napas,
�Sebab kau belum pernah dikalahkan orang!�

Nyoo Cing pingin tertawa, tertawa keras, tentu saja


dia tidak sanggup tertawa.

..... Tak pernah kalah? Dua puluh tahun berselang dia


pernah kalah, kalah oleh nasib. Tapi, siapa yang
mengetahui akan hal ini? Kalau dia tidak pernah
mengatakannya siapa yang akan tahu?

Meja batu yang besar dan lebar bersih tanpa debu, Ti

Cing-ling pun selalu bersih tanpa sedikit debu pun yang


menempel ditubuhnya.
�Siapakah manusia menarik yang kau maksudkan?�
tanya wanita berbaju putih itu.
�Liong Ngo dari Kwang-tong.�
�Liong Ngo si pedang hitam?� wanita itu sedikit
terperanjat, �Liong Ngo inikah yang kau maksud?�
�Benar.�
�Kenapa dia ingin membunuh Nyoo Cing?�
�Sebab dia berhutang kepada Nyoo Cing.�
�Hutang apa?�
�Hutang pedang,� jawab Ti Cing-ling hambar,
�Delapan tahun berselang, Liong Ngo dari Kwangtong
ibarat matahari ditengah hari, dengan sebilah pedang
hitamnya dia malang melintang tanpa lawan, suatu hari
tiba-tiba dia bertemu Nyoo Cing...�

.... Senjata kaitan termasuk jenis pedang, sebab Liong


Ngo hanya mau bertanding dengan orang yang
menggunakan pedang, dia telah memasukkan senjata
kaitan milik Nyoo Cing sebagai salah satu jenis senjata
pedang.

Dua orang itu bertempur lama sekali, dari tengah hari


hingga menjelang senja, disaat matahari mulai
terbenam itulah Nyoo Cing berhasil menggaet pedang
hitam milik Liong Ngo hingga berpisah.

�Padahal sejak pertarungan dimulai, Nyoo Cing


seharusnya sudah menang,� kata Ti Cing-ling,
�Sebagaimana diketahui, Nyoo Cing adalah seseorang
yang sangat mengagumi bakat alam, dia tidak tega
membuat Liong Ngo menderita kekalahan secara
mengenaskan, oleh sebab itu pertarungan dibiarkan
berlangsung hingga senja.�

�Kalah berarti mati, kalau memang Liong Ngo sudah


kalah, mengapa dia tidak mati?� tanya wanita berbaju
putih itu.

�Nyoo Cing tidak membunuhnya sudah dapat diduga


sejak awal, tapi dengan status dan posisi Liong Ngo
dalam dunia persilatan, mana sanggup dia
menanggung rasa malu dan terhina?�
�Sebelum pertarungan dimulai, Nyoo Cing sudah
memberi pernyataan lebih dahulu kalau pertarungan ini
bukan pertarungan antara mati dan hidup,� ujar Ti Cingling,
�Siapa yang kalah anggap saja berhutang budi
satu kali, dan dia harus membayar kapan saja dan
dalam masalah apa saja, pokoknya yang kalah tidak
boleh menampik.�

�Oleh sebab itu Liong Ngo berhutang budi kepada


Nyoo Cing?�

�Benar.�

�Sudah terbayar?�

�Belum lama hutang itu terbayar,� kata Ti Cing-ling


sambil tertawa, �Sewaktu Cong Hoa pergi mengambil
kait perpisahan, dia bertemu ninja dalam hutan bunga
bwee dan terkena ilmu Bu-hwee-sut, seandainya tidak
ada Liong Ngo, mungkin nyawanya sudah lama
melayang dan sekarang dia tidak perlu lagi hidup
tersiksa ditangan Hong Coan-sin.�

�Jadi Liong Ngo mengerti ilmu pertabiban?�

�Kau jangan lupa, marga asli dari Liong Ngo adalah


Toan.�

�Toan capsa?�

�Benar.�

�Jadi dia adalah putra Toan Capsa?�


�Bukan, dia hanya keponakannya,� Ti Cing-ling
menjelaskan, �Bukan saja dia telah pelajari ilmu
pertabiban milik Toan Capsa, bahkan dia pun berhasil
menguasahi ilmu pedang ke lima belas.�

�Ilmu pedang ke lima belas?� wanita berbaju putih itu


terperanjat, � Ilmu pedang ke lima belas dari tiga belas
ilmu pedang pembetot sukma milik Yan Capsa?�

�Benar.�

�Jadi Toan Capsa sesungguhnya adalah Yan


Capsa?�

�Konon begitu.�
�Kenyataannya keliru?�
Ti Cing-ling manggut manggut.
�Demi mengalahkan Sam sauya, Yan Capsa tidak
segan membarter ilmu pedang tiga belas jurus
pembetot sukmanya dengan ilmu pertabiban milik Toan
Capsa.�

�Resep Ngo-ma-san?�

�Betul!� sekali lagi Ti Cing-ling mengangguk, �Yan


Capsa sengaja menolong Sam sauya bukan lantaran
menghendaki balas jasa dari Sam sauya, tapi demi
kelangsungan pertarungannya melawan orang itu, bila
dia tidak dapat mengobati racunnya, bagaimana
mungkin bisa melangsungkan pertarungan
melawannya?�

�Lantas kenapa dia tidak langsung suruh Toan capsa


yang pergi menolong? Kenapa dia mesti menukar ilmu
tersebut dengan tiga belas jurus ilmu pedang pembetot
sukmanya?�

�Sebab saat itu Toan Capsa sudah sakit parah dan


hampir mati.�

�Yan Capsa telah mempelajari resep Ngo-ma-san


dan ilmu pertabiban dari Toan Capsa, berarti Toan
Capsa tentu sudah mempelajari pula ketiga belas jurus
ilmu pedang pembetot sukmanya?�

�Justru lantaran dia sudah hampir mati, maka Yan


Capsa baru bersedia menukarnya dengan ilmu
pedang?�

�Yan Capsa mengira Toan Capsa segera akan mati,


biar mendapatkan tiga belas jurus ilmu pedang
pembetot sukma pun tidak ada gunanya,� kata Ti Cingling
sambil tersenyum lebar, �Tidak disangka ternyata
Toan Capsa telah mewariskan simhoat dari tiga belas
ilmu pedang pembetot sukma itu kepada Toan In-seng.�

�Toan In-seng? Apakah dia adalah Liong Ngo dari


Kwangtong?�

�Benar.�
Wanita berbaju putih itupun termenung, termenung
sambil meneguk araknya.

�Kalau memang Liong Ngo sudah mewarisi tiga belas


jurus ilmu pedang pembetot sukma, mengapa dia masih
bisa dikalahkan oleh Nyoo Cing? Bahkan Sam sauya
sendiripun sulit untuk menghindari serangan ke lima
belas, kenapa Nyoo Cing malah mampu
menghadapinya?�

�Yan Capsa harus mengalami banyak kegagalan dan


kekalahan sebelum akhirnya berhasil menguasahi jurus
yang ke lima belas, sementara Toan In-seng masih
muda, belum pernah menderita, belum pernah kalah,
bagaimana mungkin dia bisa menyelami dan
memahami inti sari dari jurus ke lima belas?�

�Oleh sebab itu delapan tahun berselang dia kalah?�

Ti Cing-ling manggut-manggut.

�Oleh karena dia sudah merasakan menderita dan


tersiksanya karena kekalahan, maka dalam delapan
tahun terakhir ia berhasil menyelami inti dari jurus ke lima
belas?�

�Benar.�

�Kalau begitu, pertarungan kali ini bukankah menjadi


milik Liong Ngo?�

�Menurut kau?�
Tangan yang pucat telah meloloskan pedang yang
hitam, dibawah cahaya rembulan, pedang itu nampak
jauh lebih hitam dan gelap.

Berbinar sepasang mata Toan In-seng, bisiknya tibatiba,


�Aku telah membayar hutangku kepadamu.�

�Benar, hutang sudah terbayar.�

�Tapi pertarungan pada delapan tahun berselang


belum tuntas,� kata Toan In-seng hambar, �kau tentu
tahu bukan, kepandaian yang kugunakan adalah tiga
belas jurus ilmu pedang pembetot sukma?�

�Aku tahu.�

�Dulu, sebenarnya aku sangat membencimu karena


kau telah memaksaku merasakan menderita dan
tersiksanya sebuah kekalahan,� ujar Toan In-seng sambil
mengulumkan senyuman, �Tapi setelah lewat delapan
tahun, aku sudah tidak membencimu lagi.�

Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing menyusut


kencang, dia seakan agak takut untuk menengok ke
arah lawannya.

..... Kekalahan pada delapan tahun berselang,


penderitaan selama delapan tahun, apakah
kesemuanya ini justru membuat dia dapat menyelami
jurus ke lima belas?

Dari balik sinar ngeri yang terpancar dari wajah Nyoo


Cing, terselip juga sekilas perasaan gembira. Seandainya
Toan In-seng berhasil menyelami inti sari dari jurus ke lima
belas, kejadian ini memang pantas digembirakan.

Cahaya pedang berkelebat, pedang itu lagi lagi


disarungkan ke dalam sarungnya yang gelap.

�Bila pedang sudah terhunus dan disarungkan


kembali sebelum mencium darah, ini pertanda tidak
mujur.�

Mengapa Toan In-seng menyarungkan kembali


pedangnya?

Nyoo Cing ikut tertegun, dia tidak habis mengerti


kenapa orang itu melakukan tindakan tersebut.

�Ketika bertarung delapan tahun berselang, belum


sampai lima puluh gebrakan aku seharusnya sudah
kalah,� kata Toan In-seng hambar, �Tapi kau telah
menemani aku bertempur hingga senja, dan hari ini kau
tidak memegang senjata kaitan, sama seperti waktu itu
dihatiku pun tidak ada pedang.�

Tiba tiba ia melemparkan pedangnya ke arah Nyoo


Cing sambil berseru, �Sambut pedang itu!�

Nyoo Cing sama sekali tidak tercengang sebab dia


memahami maksud lawannya, namun dengan sorot
mata tidak berdaya ditatapnya orang itu sekejap sambil
ujarnya, �Pedang digunakan untuk membunuh, bukan
untuk ditonton, pedang ini tak ingin bertemu orang, dia
hanya ingin melihat darah.�
�Pedang tajam yang pernah dipakai untuk
membunuh, pasti ingin membunuh lagi bila diloloskan
dari sarungnya, terkadang si pemiliknya sendiripun tidak
mampu menguasahi, aku yakin perasaan semacam itu
pasti pernah kau rasakan.�

�Benar, memang begitu rasanya,� kata Nyoo Cing


sambil mengawasi pedang itu.

�Pedang tajam berjiwa, begitu juga orang yang


pandai menggunakan pedang, jika tubuh dan pedang
telah bersatu, bila perasaan dan pedang telah terpadu,
saat itulah kau bisa menggunakannya sekehendak hati.�

�Aku mengerti.�

�Oleh sebab itu bila pedang tersebut sudah memiliki


hawa membunuh, otomatis orang yang memegang
senjata itupun akan tergerak hawa pembunuhannya,�
kata Toan In-seng, �Bila hawa pembunuhan telah
bangkit, setiap serangan yang dilancarkan pasti tak
akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk
tetap hidup.�

�Aku tahu.�

Perlahan-lahan Toan In-seng berdiri tegak, tubuhnya


masih berada disampan, seakan sama sekali tidak
bergerak, tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berada
ditengah hutan pohon bwee, mematahkan sebatang
ranting dan ranting itupun seakan berubah begitu
berada dalam genggamannya.
Dengan ibu jari, jari manis dan jari kelingkingnya dia
membentuk satu gerakan melingkar, sementara ranting
pohon itu ditarik ke belakang hingga sejajar dengan
kepala, tampaknya ia sudah mempersiapkan sebuah
serangan dahsyat ke arah Nyoo Cing.

Nyoo Cing tak berani berayal, dia pegang gagang


pedang kuat kuat, mimik mukanya memancarkan
perubahan aneh, siapa pun tak bisa menebak apakah
dia sedang gembira, sedih atau tidak berdaya.

Begitu memegang gagang pedang, tubuhnya ikut


bangkit berdiri dan �Criiing!� pedang itu sudah diloloskan
dari sarungnya.

Kini Nyoo Cing sudah meluruskan tubuhnya, sama


sekali telah berdiri, ujung pedangnya masih menuding ke
bawah tapi seluruh tubuhnya seakan telah berubah.

Toan In-seng berdiri disisi sungai, mengawasi lawannya


tanpa berkedip, ranting dalam genggamannya telah
berubah jadi pedang, dengan satu gerakan ringan dia
lancarkan sebuah tusukan ke muka.

Hampir pada saat bersamaan Nyoo Cing


melancarkan serangan juga, tidak ada yang tahu
bagaimana dia menggerakkan pedangnya, tahu-tahu
senjata itu sudah melesat ke depan dengan kecepatan
bagaikan petir.
�Criiing!� benturan keras terjadi, cahaya kilat
berhamburan ke empat penjuru, mendadak cahaya
pedang lenyap, gerak seranganpun seakan terhenti.

Toan In-seng memeriksa sekejap batang rantingnya,


bara api seakan memancar dari matanya, walaupun
pedang masih berada dalam genggaman namun dia
telah melakukan pelbagai perubahan yang tidak
terhingga.

Pedang hitam ditangan Nyoo Cing masih tertuju ke


arah ranting lawan, bila ranting Toan In-seng bagai
seekor ular berbisa maka pedang ditangan Nyoo Cing
bagai sebatang paku. Paku yang telah memantek
diatas tujuh inci dari kepala sang ular, membuat ular
berbisa itu mati kutu.

Pertarungan yang seharusnya telah berakhir itu


mendadak kembali terjadi perubahan, suatu perubahan
yang aneh.

Daun yang semula beterbangan di udara tiba tiba


saja rontok semua ke tanah, bumi yang semula bergetar
tiba-tiba berubah jadi hening dan sepi.

Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing berkerut kencang,


sekilas rasa ngeri dan seram melintas diwajahnya, dia
merasa pedangnya seakan sudah tidak mampu
bergerak lagi, seakan setiap saat serangan lawan akan
menembusi dada dan tenggorokannya, seolah tiada
kekuatan lagi di dunia ini yang dapat membendung
datangnya serangan lawan.
Ancaman itu seolah datangnya kematian, tatkala
maut datang menjemput, kekuatan apa di dunia ini
yang sanggup mencegahnya? Tidak ada, kecuali
kematian itu sendiri.

Inilah jurus ke lima belas dari tiga belas jurus ilmu


pedang pembetot sukma. Dulu, Sam sauya yang sangat
ampuh pun sulit untuk menghindarkan diri, apalagi Nyoo
Cing!

�Jadi itulah jurus ke lima belas dari Toh-mia-capsakiam


milik Yan Capsa yang tidak bisa dipatahkan Sam
sauya tempo dulu?� tanya wanita berbaju putih itu
sambil menatap wajah Ti Cing-ling, Bagaimana dengan
Nyoo Cing? Mampukah dia menghindari serangan maut
itu?�

�Tidak mungkin!� Ti Cing-ling menggeleng, �Menurut


apa yang kuketahui, belum ada seorang manusia pun di
dunia ini yang mampu menghindari serangan dari jurus
ke lima belas.�

�Kalau begitu Nyoo Cing pasti mati kali ini?�

Ti Cing-ling tertawa, sorot matanya lembut, selembut


cahaya yang memancar dari lampu kristal asal Persia,
ujarnya, �Tujuh tahun, yaaa.....sudah tujuh tahun,
tahukah kau bagaimana aku melewatkan hidupku
dalam tujuh tahun itu?�

Wanita berbaju putih itu tidak menjawab.


�Selama tujuh, tahun, yang kuminum adalah air yang
mengalir keluar dari celah batu, yang ku makan adalah
serangga yang lewat dihadapanku, jika kebetulan
nasibku lagi beruntung, ada bajing yang lewat
dihadapanku, tapi dalam setahun paling hanya terjadi
satu kali.�

Siapa pun orangnya, bila dia harus melewatkan


hidupnya selama tujuh tahun dalam kondisi se tragis itu,
tidak kejam pun pasti akan berubah jadi buas dan jahat.

�Bila hanya menginginkan kematian Nyoo Cing, buat


apa aku mesti membuang banyak tenaga dan pikiran?�
kembali Ti Cing-ling berkata sambil tertawa sinis.

�Kalau memang tidak menginginkan kematiannya,


kenapa kau biarkan Toan In-seng pergi
membunuhnya?� tanya perempuan berbaju putih itu,
�kalau sampai sam sauya pun tak sanggup menghindari
serangan tersebut, mana mungkin dia bisa lolos dari
kematian?�

�Ada sebangsa orang, dia selalu ditakdirkan


beruntung, setiap kali sedang bertemu musibah seberat
apapun, pasti akan muncul tuan penolong yang
menyelesaikan masalahnya.�

�Apakah Nyoo Cing adalah manusia semacam itu?�

�Benar.�

�Siapa tuan penolongnya kali ini?�


�Menurut kau?�

Bunga bwee telah berguguran ke tanah, daun pun


sudah berguguran bagaikan hamparan permadani
hijau, seluruh langit dan bumi serasa dicekam dalam
suasana kematian.

Air sungai seakan berhenti mengalir, salju dan kabut


pun seolah membeku semua.

Menyaksikan jurus ke lima belas yang penuh diliputi


�kematian�, pancaran mata Nyoo Cing mulai
memperlihatkan rasa ngeri yang luar biasa, bahkan jauh
lebih ngeri ketimbang yang diperlihatkan Sam sauya
tempo hari.

Yang membuatnya merasa ngeri bukan kematian,


tapi dia seakan menyaksikan bagaimana jurus serangan
itu mendatangkan bencana demi bencana, musibah
demi musibah dalam dunia persilatan.

Bila jurus serangan ini dibiarkan berkembang terus,


maka masa depan dunia persilatan pasti suram,
sekarang dia baru mengerti kenapa Yan Capsa waktu
itu tidak membunuh Sam sauya melainkan justru
menggorok leher sendiri.

Rupanya disaat terakhir, Yan Capsa telah


menemukan ancaman bahaya maut, kemusnahan dan
kematian yang dibawa jurus serangan tersebut, dia tidak
ingin jurus mematikan itu diwariskan ke generasi berikut,
dia tak ingin menjadi manusia paling berdosa bagi umat
persilatan.

Dibalik kegelapan, hanya sorot mata Toan In-seng


yang memancarkan cahaya tajam, itulah cahaya yang
mendekati kekalapan.

Dalam pandangannya sudah tak ada yang lain, yang


tersisa hanya kemusnahan dan kematian. Hanya
kemusnahan dan kematian yang bisa memadamkan
api kekalapannya.

Serangan berikut langsung diarahkan ke ulu hati Nyoo


Cing, langsung menusuk ke jalan kematian.

Disaat kematian hampir menjelang tiba, mendadak


dari balik rumah kayu berkelebat lewat sesosok
bayangan manusia, bayangan itu langsung menerkam
ke tengah badai kematian.

Tusukan itu langsung menghujam ke tubuh bayangan


itu, darah pun menyembur keluar membasahi seluruh
permukaan.

Seluruh wajah Nyoo Cing basah kuyup oleh semburan


darah, namun secara lamat-lamat dia masih dapat
melihat penderitaan dan siksaan yang tercermin
diwajah orang itu, wajah sekarat.

Seluruh wajah Toan In-seng ternoda pula oleh


semburan darah, ketika pedangnya berhasil menghujam
di dada lawan, disaat darah segar mulai menyembur
keluar, dia pun mulai tertawa, tertawa keras, tertawa
seperti orang kalap.

Darah yang meleleh diwajah Nyoo Cing makin lama


makin bertambah banyak, hawa amarah yang
menyelimuti wajahnya pun makin lama semakin
menebal, dengan tangan kanan memegang pedang,
tangan kirinya merangkul tubuh seseorang.

Ternyata tusukan pedang dari Toan In-seng bukan


menghujam di dada Nyoo Cing, tapi menembusi dada si
nona hitam yang pada detik terakhir melesat keluar dari
dalam rumah.

Ranting pohon itu masih menancap di dada nona


hitam, darah segar masih menyembur keluar tiada
hentinya.

Kini Toan In-seng baru sadar kalau sasaran yang


tertusuk bukan Nyoo Cing, dia pun sempat melihat
pancaran hawa amarah yang mencorong dari mata
lawannya.

Dalam keadaan begini, buru-buru dia ingin mencabut


keluar ranting pohon itu, tapi dengan sekuat tenaga
nona hitam memeganginya.

Bersamaan waktunya, Nyoo Cing mengayunkan pula


pedang hitamnya, langsung menusuk ke balik
kegelapan, menusuk ke sumber cahaya kebrutalan.

Setelah itu Nyoo Cing tidak bergerak lagi, dia hanya


mengawasi tubuh nona hitam yang berada dalam
pelukannya, mimpi pun dia tak menyangka semalam
orang yang masih menyatakan kasih kepadanya, kini
harus mati dalam pelukannya.

Tapi, mau tidak mau dia harus percaya, karena nona


hitam memang terbukti sudah mati, denyut nadi nona
hitam telah berhenti, tangan dan kakinya telah
membeku.

Yang seharusnya mati adalah Nyoo Cing, bukan dia.

Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah nona


hitam yang menampilkan kepuasan, rasa sedih yang
tidak terhingga seketika menyelimuti seluruh
perasaannya.

Akhirnya dia melepaskan jubah yang dikenakan dan


ditutupkan diatas tubuh nona hitam, kemudian dengan
penuh kasih dibelainya rambutnya yang halus.

Lama, lama kemudian, dengan membopong tubuh


nona hitam, selangkah demi selangkah Nyoo Cing
berjalan meninggalkan arena pertarungan, perlahanlahan
dia balik kembali ke rumahnya, rumah kayu kecil.
BAGIAN - 5.

Pedang amarah, musim semipun marah.

BAB 1.

Kejadian di rumah bambu.

Matahari bersinar cerah diluar rumah, namun lentera


masih menerangi ruangan dalam, satu satunya pintu
yang tembus ke dunia luar berada dalam keadaan
tertutup.

Tampaknya Ti Cing-ling mempunyai bakat untuk


meramal perubahan cuaca, sambil memandang
cahaya lentera, ujarnya perlahan, �Hari ini, cuaca diluar
pasti amat cerah, sedemikian cerahnya hingga
membuat perasaan orang gampang gembira.�

Kelihatannya wanita berbaju putih itu tidak terlalu


memperhatikan soal cuaca, yang ingin dia ketahui
segera adalah bagaimana akhir dari pertarungan Nyoo
Cing.

�Sekarang pagi hari sudah lewat, semestinya


pertarungan itupun telah berakhir,� kata perempuan itu
sambil menatap lawannya, �apakah si nona hitam bakal
mati? Apakah Nyoo Cing berhasil lolos dari musibah kali
ini?�
Ti Cing-ling tidak segera menjawab, dia memenuhi
cawannya dulu dengan arak anggur, setelah itu baru
ujarnya, �Ada dua jenis lelaki yang selalu menarik
perhatian kaum wanita, yang pertama adalah lelaki
muda yang banyak duit.�

�Contohnya seperti kau!�

Dalam hal ini Ti Cing-ling selamanya tidak pernah


menyangkal, bukan saja dia banyak duit, wajahnya
terhitung tampan, perawakan tubuhnya tinggi besar
dan pandai merayu wanita, perempuan mana di dunia
ini yang bisa lolos dari cengkeramannya?

�Lelaki jenis kedua adalah lelaki yang kelewat serius


dalam bercinta, bila dia sudah mencintai seorang
wanita maka tidak nanti dia mau menerima cinta kedua
dari wanita lain, tapi apa mau dikata justru banyak
wanita yang tergila-gila terhadap lelaki macam begini,�
kata Ti Cing-ling sembari melirik sekejap ke arah wanita
berbaju putih itu, sekilas rasa iri sempat melintas
diwajahnya.

�Mereka bilang lelaki semacam inilah baru


merupakan lelaki sejati,� dia menambahkan.

�Contohnya Nyoo Cing?�

�Benar,� Ti Cing-ling tertawa, �Bukan saja perempuan


menyukai lelaki semacam ini, ada kalanya terhadap
sesama lelaki pun banyak yang merasa tidak tega untuk
membunuhnya.�
�Bukannya tidak tega, semestinya lebih tepat kalau
dikatakan banyak lelaki yang tidak menginginkan dia
mati kelewat gampang,� sela wanita berbaju putih itu.

Ternyata didalam hal inipun Ti Cing-ling tidak


menyangkal, perlahan dia meneguk habis isi cawannya,
membiarkan arak memenuhi mulutnya kemudian baru
sedikit demi sedikit menelan arak itu ke dalam perut.

�Akibat yang dihasilkan jurus ke lima belas dari Tohmia-


cap-sa-kiam hanya kemusnahan dan kematian,
hanya ada satu cara untuk mematahkan serangan
tersebut yaitu dengan kematian,� kata Ti Cing-ling,
�Dengan kematian mematahkan kematian, atau
dengan perkataan lain hanya kematian saja yang
dapat memunahkan kekuatan dari hawa serangan
tersebut.�

�Seandainya nona hitam yang mati, bukankah Nyoo


Cing masih tetap hidup?�

�Betul, dan kuduga pasti demikian yang bakal


terjadi,� kata Ti Cing-ling sambil mengangguk, �Dengan
matinya nona hitam, maka Nyoo Cing pun terbebas dari
ancaman kematian itu. Tapi dia pun akan hidup
sendirian, tidak ada yang menunjang, tidak ada yang
mendukungnya lagi.�

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, �Semangat dan


pikirannya akan terjerumus dalam situasi yang pelik, dia
akan hidup dalam kesendirian, tiada bala bantuan,
tiada harapan.�
�Jangan lupa, dia masih mempunyai seorang kurakura
tua.�

�Kura-kura itu hanya bisa membantu Nyoo Cing


mengemukakan usul atau saran, tidak nanti dia akan
turun tangan membantunya,� kata Ti Cing-ling lagi
sambil tertawa, �Sejak tiga puluh tahun berselang, dia
sudah bersumpah untuk mundur dari keramaian dunia
persilatan.�

Empat buah meja panjang berlapis besi putih berjajar


jadi satu, tiga diantaranya berisi tiga sosok tubuh
manusia.

Dalam ruangan itu tergantung tujuh buah lentera


kristal, cahaya yang terang hampir menyinari setiap
sudut ruangan itu.

Disisi meja panjang terdapat berapa buah meja


pendek, diatas meja tersebut tersedia pelbagai bentuk
pisau kecil, ketika tersorot cahaya lentera segera
memantulkan sinar hijau yang menggidikkan.

Bila ditinjau dari susunan dekorasi yang ada dalam


ruangan itu, tidak disangkal tempat ini merupakan
sebuah ruangan yang khusus dipakai untuk pembuatan
manusia mummi.

Tidak disangkal pula, tiga sosok tubuh manusia yang


berbaring diatas meja panjang pun tidak lain adalah
Cong Hoa, Tay Thian serta Ui sauya.
Sejak minum ketiga cawan arak itu hingga kini, satu
jam sudah lewat tanpa terasa, tapi kalau dilihat dari
keadaan ketiga orang itu, tampaknya mereka belum
menunjukkan gejala mendusin.

Ruangan yang semula tenang mendadak


dipecahkan oleh suara pintu yang dibuka orang,
menyusul kemudian terlihat Budak darah berjalan
menghampiri meja panjang itu, memandang sekejap
ketiga orang yang berbaring disana dan tiba-tiba
tertawa tergelak.

�Bila kalian anggap tidur semacam ini sangat


nyenyak dan nikmat, aku bersedia memberi tiga cawan
arak lagi untuk kalian bertiga, kujamin kalian pasti akan
tertidur untuk selamanya!�

Tiga orang manusia yang tampaknya seakan belum


mendusin itu seketika ada yang menghela napas setelah
mendengar perkataan dari budak darah.

�Aaai! Setelah terjatuh ke tangan kalian, rasanya


pingin tidur sedikit lebih lama pun susah,� gumam Ui
sauya sembari membuka matanya dan menatap budak
darah.

�Aku tidak ingin tidur lagi,� ujar Cong Hoa pula sambil
membuka matanya, �Saat ini aku hanya pingin makan
sekenyang-kenyangnya, kemudian menenggak empat
puluh cawan arak.�
�Kalau aku mah tidak senapsu itu, paling hanya ingin
minum dua puluh cawan arak,� sambung Tay Thian,
kemudian sambil berpaling ke arah budak darah,
ujarnya lagi, �Setiap narapidana yang sudah di vonis
hukuman mati, mereka punya kesempatan untuk
menikmati hidangannya yang terakhir menjelang
dilaksanakannya eksekusi, entah fasilitas semacam itu
berlaku tidak untuk kami bertiga?�

�Kalau arak mah tidak masalah,� jawab budak darah


tertawa, �Tapi soal makanan, aku rasa lebih baik kalian
nikmati setelah menitis kembali jadi manusia dalam
penghidupan berikut.�

�Belum tentu!� tiba-tiba Hong Coan-sin sudah muncul


di depan pintu.

�Belum tentu?� tanya Cong Hoa, �Maksudmu kita


masih punya kesempatan untuk menikmati hidangan
yang diinginkan?�

�Bukan kita tapi kalian, salah seorang diantara


kalian.�

�Ooh, aku mengerti sekarang, rupanya ada satu


tugas yang harus dilakukan oleh salah satu diantara
kami bertiga, sebagai imbalannya kami dapat hidup
terus?� seru Cong Hoa.

�Benar!�

�Kalau kami tidak ingin hidup terus?�


�Tidak masalah,� jawab Hong Coan-sin sambil
tertawa, �Aku yakin pasti ada orang yang bersedia
melakukannya.�

�Tugas apa yang harus kami lakukan?� mendadak


Tay Thian bertanya.

�Cap kerajaan,� kata Hong Coan-sin, �Asal bersedia


memberitahukan kepada kami dimana cap kerajaan
dari Raja muda Lam-kun-ong disimpan, kalian bisa hidup
terus dengan riang gembira.�

Tiba-tiba Cong Hoa tertawa keras, tertawa sangat


gembira.

�Bukankah kalian punya kemampuan hebat untuk


menciptakan seorang Nyoo Cing baru? Kenapa tidak
mampu menciptakan sebuah cap palsu?� Cong Hoa
tertawa tergelak, �Tentu saja kalian tidak sanggup,
sebab setiap kerajaan, setiap raja muda, cap
kekuasaannya tentu punya gambar rahasia yang unik
dan rumit, kode rahasia itu tidak mudah ditiru apalagi
dipalsukan, tujuannya adalah agar tidak setiap orang
bisa menurunkan perintah palsu.�

�Kau memang sangat cerdik,� ujar budak darah,


�Sayangnya, orang pintar selalu mampus lebih cepat.�

�Siapa tahu orang yang pintar itu mendadak berubah


jadi bodoh, saking bodohnya sehingga secara tiba-tiba
memberitahukan letak penyimpanan cap tersebut?�
�Kujamin asal kau lakukan hal itu maka keinginanmu
untuk makan besar dan menghabiskan empat puluh
cawan arak segera akan terkabulkan!�

�Tapi sayangnya begitu berjumpa dengan kau, aku


malah susah jadi bodoh,� kata Cong Hoa sambil
menatap si budak darah, �Siapa tahu secara tiba-tiba
aku malah melompat bangun dan menggigitmu.�

�Biar mau digigit sepuluh kalipun aku tidak bakal


takut!� tertawa si budak darah sangat nyaring, �Kalian
sama sekali tidak mampu bergerak, aku sendiri yang
telah menotok jalan darah di kaki kalian bertiga.�

�Yaa, siapa tahu...� Cong Hoa ikut tertawa tergelak,


�Siapa tahu kaki kami bisa bergerak secara tiba-tiba,
siapa tahu kau lupa menotok jalan darah kakiku, siapa
tahu barusan ada orang yang masuk kemari dan
membebaskan jalan darahku yang tertotok.....�

Budak darah yang semula masih tertawa riang


seketika terbungkam dalam seribu bahasa,
senyumannya ikut membeku, apa yang dikatakan Cong
Hoa bukannya tidak mungkin terjadi, mendadak dia
maju mendekat dan memeriksa jalan darah di kaki
ketiga orang itu.

�Tidak usah diperiksa lagi, kujamin mereka bertiga


tidak mampu bergerak,� kata Hong Coan-sin cepat,
�Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya agar
pikiranmu gugup dan kalut.�
�Rupanya jahe makin tua memang semakin pedas!�
sindir Ui sauya sambil tertawa, �Beda dengan manusia
yang suka telanjang ini, tidak kuasa menahan napsu...�

Budak darah mencak-mencak saking gusarnya,


dengan wajah merah padam dia segera menghampiri
Ui sauya kemudian menempelengnya keras-keras.

�Aneh, kenapa kaum wanita sukanya hanya


tempeleng orang,� kembali Ui sauya menghela napas,
�Kecuali berbuat begitu, sebenarnya apa lagi yang bisa
kau lakukan?�

�Aku pintar naik ranjang dengan lelaki, mau gaya


model apapun aku bisa,� budak darah tertawa cabul,
�Eei aku dengar kau masih jejaka tulen, betul tidak?�

Dengan matanya yang jalang budak darah


mengawasi tubuh Ui sauya dari atas hingga ke bawah,
kemudian sambil gelengkan kepalanya berulang kali
katanya lagi, �Belum sempat merasakan surga dunia,
masa kau bisa mati dengan mata merem?�

Bicara sampai disitu, tangannya mulai meraba benda


paling sensitip yang dimiliki Ui Sauya diantara dua
pahanya, bukan hanya meraba, tangannya mulai
merogoh ke dalam celana dan meremasnya.

Tidak terlukiskan rasa gusar dan kaget Ui sauya


menghadapi kejadian seperti ini, sayang seluruh
tubuhnya tidak mampu berkutik sehingga gelisah pun
tidak ada gunanya.
�Apa gunanya kau hanya meraba dengan cara
begitu, kurang mantap!� seru Cong Hoa sambil tertawa,
�Kalau ingin yang lebih hot, lebih baik langsung saja
�menunggang kuda maju perang�, kujamin kau pasti
akan menikmati barang baru.�

Ternyata dia telah samakan Ui sauya sebagai


barang baru.

Tay Thian tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia


tertawa terbahak-bahak.

�Lelaki sudah pernah dilukiskan sebagai apa saja, tapi


belum pernah diibaratkan barang baru.

�Hahaha�. baru pertama kali ini aku


mendengarnya. Sayang, barang baru pun tidak akan
bertahan lagi.�

Waktu itu seluruh wajah Ui sauya sudah merah padam


karena jengah, bahkan benda miliknya sudah mulai
bereaksi dan makin membengkak besar. Untunglah
disaat itu Hong Coan-sin sudah berseru, �Cukup!�

Tampaknya budak darah sangat taat dengan


perkataan Hong Coan-sin, dia segera menghentikan
ulahnya dan mengundurkan diri.

Akhirnya Ui sauya dapat lolos dari bahaya, tidak


tahan dia menghembuskan napas panjang.

�Bagaimana dengan apa yang barusan kuusulkan?


Apakah kalian bertiga berminat?� kembali Hong Coan
sin bertanya sambil tertawa, �Asal menganggukkan
kepala maka kalian boleh pergi ke mana saja yang
disuka.�

�Aaai! Dulu, kenapa aku tidak bertanya kepada Nyoo


Cing dimana dia simpan cap kekuasaannya,� gumam
Cong Hoa dengan wajah seperti menyesal, �Kalau tidak
sekarang aku bisa pergi bebas ke ujung dunia.�

�Apalagi aku, selama hidup paling takut berurusan


dengan orang pangkat,� kata Ui sauya sambil tertawa
getir, �Jangan lagi cap kekuasaan, memasuki rumah
pejabat pun takutnya setengah mati.�

Tay Thian tidak bicara apa-apa, ketika sorot mata


semua orang tertuju ke wajahnya, dengan santai diapun
balas memandang setiap orang, setelah itu baru
ujarnya, �Tentu saja aku mengetahui tempat
penyimpanan cap kekuasaan itu, tapi sayang aku jadi
orang paling takut hidup sendirian, kalau disuruh
melanglang dunia seorang diri, tanggung belum sampai
dua hari aku sudah mati kesepian.�

Dia memandang Hong Coan-sin sekejap, kemudian


lanjutnya, �Daripada mati kesepian, lebih baik mati
sekarang juga, paling tidak dalam perjalanan menuju ke
alam baka aku masih mempunyai teman untuk
mengobrol.�

�Bagus, ternyata kalian bertiga sama-sama setia


kawan, tidak takut mati, kalau memang begitu biarlah
aku kabulkan permintaan kalian semua.�
Jubah panjang berwarna putih terletak diatas meja
pendek, Hong Coan-sin segera mengambil dan
mengenakannya dengan cepat, setelah itu diapun
mengenakan penutup kepala berwarna putih.

Ketika semuanya sudah siap, Hong Coan-sin baru


mengenakan sarung tangan dan mengambil sebilah
pisau kecil yang amat tipis.

Mata pisau yang tajam memantulkan cahaya perak


kebiru biruan.

�Apakah kau akan segera melakukan


pembedahan?� tanya Cong Hoa.

�Benar.�

�Apakah meja panjang yang kosong itu kau


persiapkan untuk menampung potongan tubuh kami
sebelum dilebur menjadi satu?�

�Benar.�

�Kenapa tidak melihat dia berbaring disitu?�

�Sekarang dia sedang mandi, menanti aku selesai


membedah tubuh kalian bertiga, diapun kebetulan
sudah selesai membersihkan tubuh.�

�Dengan susah payah membuang banyak pikiran


dan tenaga, apakah tujuannya hanya akan
menciptakan seorang Nyoo Cing dan Tay Thian yang
baru?� mendadak Tay Thian bertanya.
�Kesemuanya ini baru sebuah permulaan.�

�Sebuah permulaan? Permulaan apa?�

Hong Coan-sin memandang Tay Thian sekejap, lewat


berapa saat kemudian dia baru berkata, �Cong Poanlong
telah menanggung nama busuk sebagai
pengkhianat negara, tentu saja kami tidak bisa
membiarkan nama ini tercatat terus dalam sejarah
kerajaan, oleh sebab itu dia harus segera dimusnahkan
dari muka bumi, kemudian kami pun berhasil
mendapatkan rahasia cara pembuatan mummi,
dengan mengandalkan resep rahasia ini maka sebuah
rencana besar pun segera dibuat.�

�Maksudmu... kalian., kalian akan menciptakan


seorang kaisar baru?' tanya Tay Thian dengan suara
agak gemetar.

�Betul, untuk mewujudkan rencana besar ini, kami


telah melakukan percobaan demi percobaan selama
dua puluh tahun lamanya, dan inilah hasil jerih payah
kami.�

�Maka kau pun menggunakan Nyoo Cing dan aku


sebagai kelinci percobaan, bila berhasil maka rencana
berikut adalah menciptakan seorang kaisar baru?�

�Benar.�

�Kalau begitu Liongtau lotoa dari perkumpulan Cing


Liong Hwee adalah orang yang suruh Cong Poan-long
datang ke daratan Tionggoan?�
Pertanyaan ini tidak ditanggapi Hong Coan-sin, dia
hanya tertawa.

�Kenapa tidak dijawab? Apakah lantaran


perkataanku sudah mendekati kebenaran?�

�Benar atau salah, setibanya di akhirat nanti kalian


pasti akan tahu.�

Dengan membawa pisau kecil dan mengawasi Cong


Hoa, selangkah demi selangkah Hong Coan-sin
mendekati gadis itu, wajahnya segera menampilkan
kecabulan yang luar biasa.

�Mau.... mau apa kau?� teriakan Cong Hoa


kedengaran agak gemetar.

�Mula-mula aku akan membuka pakaianmu dengan


pisau ini, kemudian...� suara tertawa Hong Coan-sin
kedengaran makin cabul, makin sesat.

�Kenapa kau.... kau tidak membedah mereka


duluan?�

�Semestinya perempuan harus didahulukan.�

�Tidak usah sungkan, biar yang laki-laki duluan,� Cong


Hoa mulai kelihatan ketakutan.

Sorot mata Hong Coan-sin yang cabul ibarat sebuah


tangan tidak berwujud, bergeser terus diseputar dada
Cong Hoa, dengus napasnya makin lama makin
bertambah berat, setiap kali menghembuskan napas,
hanya hawa panas yang dihembuskan, dia sudah mulai
menggeser sorot matanya dari atas dada turun ke perut,
turun ke bagian terlarang dan berputar terus disekitar
situ.

Bulu kuduk mulai bangun berdiri, hawa dingin serasa


menusuk ke dalam ulu hati, Cong Hoa benar-benar
bergidik, rasa ngeri bercampur malu menyelimuti
wajahnya...

Tangan kiri Hong Coan-sin sudah mulai diletakkan


diatas dada gadis itu sementara pisau ditangan
kanannya mulai ditempelkan diatas pakaiannya,
kelihatannya sebentar lagi dia akan mulai menelanjangi
gadis tersebut.

�Kalau kau tidak segera keluar, aku akan berteriak!�


mendadak Cong Hoa berseru keras.

Hong Coan-sin melengak, dia tidak habis mengerti


apa maksud dan makna gadis itu meneriakkan ucapan
tersebut.

Dia boleh melengak dan tidak mengerti, ternyata ada


orang lain yang mengerti, maka terdengarlah seseorang
menghela napas panjang.

Dengan sigap Hong Coan-sin berpaling, menengok


ke arah sumber suara itu.

�Aku tahu, wanita memang selalu tidak mampu


menahan diri,� kata orang itu.
�Siapa?� bentak Hong Coan-sin.

�Aku!� jawab orang itu, �Masa kau tidak mengenali


suaraku?�

Tiba-tiba paras muka Hong Coan-sin berubah hebat,


berubah jadi amat tidak sedap dipandang, berubah
seakan akan tidak percaya dengan pandangan mata
sendiri.

�Rupanya kau?� serunya tertahan.

�Tentu saja aku, kecuali aku siapa lagi yang bisa


membuat tabib sakti kita begitu terperanjat?�

Bersama dengan selesainya perkataan itu, seseorang


telah melangkah masuk ke dalam ruangan.

Begitu berjumpa dengan orang itu, Cong Hoa segera


menghembuskan napas lega, kalau tadinya jengah
maka lambat laun paras mukanya berubah jadi normal
kembali.

�Seandainya kau bisa sedikit menahan diri lagi,


kujamin semakin banyak rahasia yang dapat kau
dengar,� kata orang itu.

�Akupun berpendapat begitu,� sahut Cong Hoa,


�Sayangnya aku adalah seorang wanita.�

�Darimana kau tahu kalau ada orang akan datang


menolongmu?�
�Karena aku kelewat memahami watak manusia,�
akhirnya Cong Hoa mulai tertawa, �Tidak ada seorang
manusia pun yang dapat bersikap tenang sewaktu
menghadapi maut.�

Setelah memandang Tay Thian sekejap, ujarnya lebih


jauh, �Tapi sejak awal hingga akhir, Tay sauya kita ini
tidak menunjukkan perasaan takut bahkan sikap tidak
tenang pun tidak terlihat, maka akupun mulai bertanyatanya,
kenapa dia bisa begitu? Kenapa dia sama sekali
tidak merasa takut? Kalau dia orang normal, mustahil
reaksinya begitu aneh dan lain daripada yang lain.�

Kemudian setelah memandang kembali ke arah Hong


Coan-sin, lanjutnya, �Maka aku pun mulai menduga, dia
pasti sudah mempersiapkan rencana besar, dia pasti
sudah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna,
dia pasti sudah menyiapkan jurus terakhir yang luar
biasa.�

�Dan kenyataan, segala sesuatunya sesuai dengan


apa yang kau bayangkan?�

�Memang paling baik jika persis sama seperti apa


yang kubayangkan.�

Sejak kemunculan orang itu, Hong Coan-sin hanya


berdiri mematung ditempat semula, sama sekali tidak
bergerak.
�Heran dengan orang ini, kenapa mendadak dia
tidak bergerak lagi?� gumam Cong Hoa, �Memangnya
kau telah membuatnya tertegun karena ketakutan?�

�Bukan kehadiranku yang membuatnya tertegun, tapi


sarung tangan yang dia kenakan.�

�Sarung tangan? Kenapa dengan sarung


tangannya?�

�Kenapa tidak kau tanyakan langsung kepadanya?�

Tidak menunggu Cong Hoa mengajukan pertanyaan,


Hong Coan-sin sudah menjawab duluan.

�Aku sama sekali tidak menyangka kalau dalam


perkumpulan Cing Liong Hwee ternyata terdapat
pengkhianat, dan lebih tidak kusangka kalau
pengkhianat tersebut ternyata adalah kau.�

�Sepantasnya kau bisa menduga akan hal ini, jika kau


masih memiliki sedikit saja sifat manusia, sudah
sepantasnya kau menduga ke situ.�

�Kelihatannya perkumpulan Cing Liong Hwee masih


belum cukup mendalam memahami tentang kau, kalau
tidak, tidak mungkin akan terjadi peristiwa semacam ini.�

�Rupanya kedatanganmu hari ini adalah untuk


membalas dendam bagi kematian ayahmu?� kata
Hong Coan-sin kemudian sambil menatap tajam orang
itu.
�Siapa bilang bukan? Sudah belasan tahun dia
menunggu kesempatan baik ini,� sela Cong Hoa riang.

�Darimana kau bisa tahu kalau bakal ada yang


datang menolong kalian?� tanya Hong Coan-sin,
�Darimana kau tahu kalau orang yang bakal menolong
kalian adalah dia? Cong Hui-miat?�

..... Ternyata orang itu tidak lain adalah Cong Huimiat!

Bagaimana mungkin? Bukankah dia adalah seorang


Tongcu dalam perkumpulan Cing Liong Hwee?

Bukankah dia yang akan menggantikan posisi Tay


Thian?

Bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang


pengkhianat?

�Aku tidak tahu,� dengan bangga Cong Hoa berkata,


�Tapi ada satu hal aku tahu dengan pasti, manusia
macam Tay Thian tidak mungkin bisa bersikap tenang
apalagi disaat menghadapi maut jika dia tidak
mempersiapkan sesuatu sebelumnya, aku yakin dia pasti
sudah mempunyai rencana lain.�

Kemudian sambil berpaling ke arah Tay Thian,


katanya lagi sambil tertawa, �Kalau ditanya persiapan
apa yang telah dia lakukan? Aku pun tidak tahu, aku
hanya yakin asal berteriak pasti ada orang yang akan
memberi tanggapan dan pertolongan.�
�Aaai... ternyata wanita memang tidak bisa diajak
melakukan karya besar,� keluh Tay Thian sambil
menghela napas.

�Bukan Cuma tidak bisa diajak melakukan karya


besar, kalau punya rahasia lebih baik jangan sampai
mereka ketahui, kalau tidak.....�

�Kalau tidak kenapa?� teriak Cong Hoa sambil


melotot ke arah Cong Hui-miat.

�Sebetulnya juga tidak apa-apa, hanya biasanya


mereka tidak tahan kalau mendengar kelewat banyak,�
kata Cong Hui-miat hambar.

�Aku tidak menyangka kalau kau sudah


mempoleskan racun di dalam sarung tanganku!� tegur
Hong Coan-sin sambil melotot gusar ke arah Cong Huimiat.

�Kalau bukan dipoleskan ke dalam sarung tangan,


mana mungkin aku bisa meracuni?�

�Apakah kau tidak takut dengan pembalasan dari


perkumpulan Cing Liong Hwee?�

�Aku masuk menjadi anggota Cing Liong Hwee


karena aku memang ingin menghancurkan
perkumpulan ini,� kata Cong Hui-miat hambar,
�mengenai pembalasan dari mereka...? hmm, tentu saja
aku sangat mengerti, kalau ingin membalas, silahkan
saja dilakukan.�
�Kau sudah membuang banyak pikiran dan tenaga
untuk menyusup masuk ke pusat perkumpulan Cing
Liong Hwee, mengapa tidak menunggu sedikit hari lagi?
Kenapa kau tidak menunggu sampai bisa menyusup ke
markas besar dan bertemu dengan Liongtau lotoa
sebelum membongkar identitasmu?�

�Sebetulnya aku ingin berbuat begitu, tapi sayang


waktu sudah tidak mengijinkan lagi,� kata Cong Huimiat,
�Aku tidak bisa berpeluk tangan membiarkan
nyawa mereka bertiga diujung tanduk, apalagi Nyoo
Cing pun sudah dipojokkan hingga ke posisi mati.�

�Posisi mati? Apakah Nyoo Cing berbahaya?� tanya


Cong Hoa.

�Hingga detik ini mah belum,� kata Tay Thian,


�Sekarang Ti Cing-ling baru berperan sebagai si kucing
yang menangkap tikus, dia pasti akan mempermainkan
Nyoo Cing habis-habisan sebelum membunuhnya.�

�Dia berada di mana sekarang?�

�Dalam rumah kayu kecil.�

�Dari mana kau tahu kalau dia pasti berada di rumah


kayu kecil itu?�

�Jauh sebelumnya diantara kami berdua sudah ada


perjanjian.�

�Sebelumnya? Sejauh mana itu?�


�Tiga belas tahun berselang.�

�Berakhir pada saat tahun pertama Ti Cing-ling kabur


dari penjara?�

�Betul.�

�Kalau begitu aku adalah salah satu boneka yang


berada dalam perencanaan kalian?� teriak Cong Hoa
sambil menatap wajah Tay Thian.

�Bukan boneka, kau malah salah satu pemeran


utamanya,� Tay Thian berkilah, �Tanpa kau, semua
rencana kami tidak mungkin bisa terwujud seperti
sekarang.�

Cong Hoa tertawa, sekarang dia berpaling ke arah


Cong-Hui-miat.

�Orang tua yang muncul di tempat kebakaran tempo


hari apa benar kau?� tanyanya.

�Betul!� Cong Hui-miat mengangguk.

�Tidak heran sewaktu hampir tertangkap tangan di


dusun itu, tahu-tahu Ui sauya munculkan diri untuk
menyelamatkan dirimu.�

�Kalau aku tidak munculkan diri hari itu, mungkin dia


sudah kau paksa untuk unjukkan diri,� kata Ui sauya.

�Kenapa tidak beritahu kepadaku terlebih dulu?�


�Kadangkala tidak mengetahui satu persoalan malah
menguntungkan bagimu, paling tidak mengurangi resiko
terjebak dalam ancaman bahaya,� Cong Hui-miat
menerangkan.

Totokan jalan darah sudah dibebaskan, Cong Hoa


pun melompat turun dari altar panjang, dia pun
meluruskan tulang belulangnya yang kaku, maklum tidur
terlalu lama membuat tulangnya malah sakit dan linu.

Hong Coan-sin masih berdiri ditempat, sama sekali


tidak bergerak. Racun telah merambat naik dari jari
tangan menuju ke bahunya, butiran keringat sebesar
kacang kedele jatuh bercucuran membasahi jidatnya,
mengalir melalui pipinya dan menetes diatas pakaian.

�Hey, kemana kaburnya budak darah?� mendadak


Cong Hoa berteriak keras.

�Dia berada di belakang, dikurung bersama yang


lain!� kata Cong Hui-miat.

�Pada akhirnya kita berhasil juga menjebol markas


penting dari Cing Liong Hwee di tempat ini.�

�Belum, kita masih belum berhasil,� kata Tay Thian.

�Belum?� tanya Cong Hoa tercengang, �Masa


tempat ini bukan markas penting dari perkumpulan Cing
Liong Hwee?�
�Baik tempat ini maupun Pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-Ie-khek, kedua-duanya hanya merupakan
kantor ranting.�

�Apa bedanya kantor cabang dengan kantor


ranting?�

�Jelas beda, setiap kantor cabang memiliki tiga


ranting, setiap tiga kantor cabang tergabung dalam
satu kantor yang disebut kantor musim.�

�Kantor musim? Apa itu kantor musim?� tanya Cong


Hoa.

�Ciagwe, jigwee, sagwee tergabung dalam kantor


musim semi, sigwee, gogwee, lakgwee tergabung
dalam kantor musim panas.�

�Berarti jitgwee, pehgwee, kaugwee tergabung


dalam kantor musim gugur?�

�Benar.�

�Lantas kantor musim apa yang diutus perkumpulan


Cing Liong Hwee untuk mengurusi tempat ini?�

�Kantor musim semi.�

�Itu berarti ciagwee, jigwee dan sagwee, siapa sih


Tongcu mereka?� tanya Cong Hoa lagi.

�Tongcu dari sagwee adalah Siau-tiap, tongcu dari


ciagwe adalah pemilik pesanggrahan pengobatan ini,�
kata Cong Hui-miat sambil berpaling kearah Hong Coansin.

�Lalu siapakah Tongcu jigwee?�

�Hoa U-gi!�

�Apa? Hoa U-gi?� sekali lagi Cong Hoa terkesiap,


�Bukankah dia adalah putri kesayangan Nyoo Cing?�

�Bukan!� sahut Tay Thian, �Dia hanyalah seorang


mata-mata yang sengaja disusupkan ke dalam istana
raja muda.�

�Waah, Cing Liong Hwee benar-benar hebat,


manusia berbakat macam apa pun berhasil mereka
rekrut, tapi ada tidak yang sengaja diutus untuk
dijadikan bini peliharaannya?� gurau Cong Hoa sambil
tertawa.

Setelah tertawa terkekeh, kembali lanjutnya,


�Ciagwee, jigwee dan sagwee sudah jebol, apakah
sudah diketahui siapa yang menjabat ketua kantor
musim semi?�

�Belum tahu,� jawab Cong Hui-miat, �Aku belum


terlalu lama bergabung dengan perkumpulan Cing
Liong Hwee, kecuali pernah bersua dengan para tongcu
dari ciagwee, jigwee dan sagwee, yang lain aku tidak
tahu apa-apa, jangan lagi siapa yang menduduki posisi
ketua kantor musim.�
�Waah, kalau begitu kita hanya berhasil menangkap
ikan kecil sementara para ikan kakapnya masih
berenang dengan bebas.�

�Justru perkumpulan Cing Liong Hwee menakutkan


lantaran hal ini,� kata Tay Thian, �Membuat orang lain
selamanya tidak pernah tahu siapa saja yang menjadi
anggota perkumpulan naga hijau.�

Tiba tiba Cong Hoa berpaling ke arah Hong Coan-sin,


serunya, �Mungkin kita bisa mengorek beberapa rahasia
dari mulutnya?�

�Percuma, sesama anggota Cing Liong Hwee selalu


berhubungan dengan menggunakan kata sandi,
lagipula menggunakan cara yang khas dalam
berhubungan, kecuali diri sendiri, siapa pun tidak akan
tahu siapa pihak lawanmu.�

�Bagaimana kalau sampai terjadi gontok-gontokan


diantara sesama anggota?�

�Mustahil, sistim kerja mereka berdasarkan satu garis


kebijaksanaan yang ketat, tidak nanti bisa terjadi
peristiwa semacam ini.�

�Tapi terkadang kejadian yang tidak mungkinpun bisa


saja terjadi.�

Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah


Hong Coan-sin, begitu selesai bicara, dia segera
mengayunkan tangan kanannya, cahaya pisau segera
berkelebat lewat.
Sinar tajam itu langsung menghujam ke tubuh Cong
Hoa.

Selisih jarak diantara mereka berdua amat dekat, biar


Cong Hoa ingin menghindarpun tidak sempat lagi,
tampaknya pisau tipis itu segera akan menembusi
tenggorokannya.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring bergema di


udara, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan
manusia berkelebat lewat, langsung menghadang
dihadapan Cong Hoa.

Cahaya kilat berkelebat lalu lenyap, percikan darah


segar pun berhamburan kemana-mana, membasahi
rambut Cong Hoa, menodai pakaiannya, mengotori
seluruh badannya.

Ternyata orang yang menghadang didepan Cong


Hoa adalah Ui sauya.

Ketika Hong Coan-sin menyelesaikan perkataannya


tadi dan belum sempat menggerakkan tangan
kanannya, Ui sauya sudah merasa kalau gelagat tidak
beres, maka disaat pisau tipis itu baru meluncur keluar,
dia sudah menyelinap ke depan menyongsong
datangnya sambaran cahaya itu.

Selesai melemparkan pisaunya, Hong Coan-sin segera


melejit ke udara, melewati pintu sempit dan lenyap
diluar ruangan.
Tay Thian dan Cong Hui-miat membentak gusar,
serentak mereka melakukan pengejaran.

Semburan darah masih memancar dengan derasnya,


darah itu menyembur keluar dari dada kiri Ui sauya,
diantara tulang rusuk ketiga dan ke empat, pisau tipis
itupun masih tertinggal disana.

Paras muka Ui sauya telah berubah jadi pucat pias,


peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran,
kendatipun kulit mukanya mengejang keras lantaran
menahan sakit namun mimik wajahnya masih tampilkan
perasaan gembira.

Sepasang matanya yang mengejang menatap terus


wajah Cong Hoa, seolah dia mempunyai beribu patah
kata yang hendak disampaikan kepada gadis itu.

�Kenapa kau... kau harus...�

Cong Hoa sudah tidak sanggup melanjutkan


perkataannya lagi, sekuat tenaga dia gigit bibir sendiri
sementara air mata bercucuran bagai bendungan yang
jebol.

�Hanya dengan cara begini... kau baru bisa selamat.�

Napas Ui sauya mulai tersengkal-sengkal, wajahnya


makin lama semakin memucat, darah yang mengalirpun
makin deras, rasa kesal dan murung sekali lagi melintas
dibalik matanya.
�Ketika kalian sedang berbicara lagi, aku... aku selalu
mem... memperhatikannya,� dengan bibir gemetar Ui
sauya berkata, �Aku berpendapat manusia macam...
macam Hong Coan-sin tidak.... tidak semestinya
keracunan de... dengan begitu gampang.�

Dia tertawa getir, setelah berhenti sejenak lanjutnya,


�Ternyata... ternyata dugaanku benar, dia... dia
pasti......pasti telah meletakkan obat...obat pemanahnya
dibali sela gigi...�

Cong Hoa manggut-manggut.

�Masih.... masih untung tidak.... tidak sampai


melukaimu...�
..... Tapi sekarang kau yang terluka, bagaimana
dengan aku?
Cong Hoa tidak sampai mengucapkan perkataan itu,
bukannya lantaran dia tidak ingin mengatakan tapi dia
tahu meski tidak usah diucapkan pun Ui sauya pasti
mengerti maksud hatinya.

Memandang tangan Cong Hoa yang sedang


memeluknya, Ui sauya tertawa pedih.

... Sekalipun tertawa pedih, namun terselip pula


perasaan manis dan mesranya.

�Sampai se tua ini aku... aku... baru pertama kali ini


aku... aku dipeluk perempuan.�
Air mata Cong Hoa sudah tidak terbendung lagi, dia
tahu luapan perasaan Ui sauya saat ini boleh dibilang
luapan perasaan yang paling tulus dan suci.

Sayang masalah �Cinta� tidak bisa dipaksakan,


karena itu Cong Hoa hanya bisa memandangnya tanpa
bicara.

Dia memandang, memandang terus...

......terus sampai mati.

Mati dalam kedamaian, kepuasan dan luapan rasa


gembira.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cong Hoa


memeluk tubuh Ui sauya, walaupun air mata masih
meleleh namun sudah tidak mengalir lagi, bibirnya yang
digigit kuat meninggalkan bekas luka yang berdarah.

Andaikata Ui sauya tidak menghadang tusukan


tersebut, apakah dia masih hidup?

Mengapa dia rela menerima tusukan tersebut?

Apakah karena...?

Begitu mengayunkan pisau, tanpa berpaling Hong


Coan-sin segera kabur melalui pintu sempit, dia tahu
lemparan pisaunya pasti akan mengenai sasaran,
masalah siapa yang terkena sudah bukan masalah lagi
baginya.
Asal ada yang terkena lemparan pisau itu, suasana
disitu pasti kalut, Hong Coan-sin memang hanya
membutuhkan sedikit waktu untuk melarikan diri.

Menurut perhitungannya, kekalutan itu akan


menyedot perhatian mereka dan diapun akan
manfaatkan kesempatan itu untuk kabur jauh jauh dari
situ.

Cuaca diluar rumah sangat cerah, setelah melalui


lorong sempit, Hong Coan-sin kabur menuju ke arah
jalan raya.

Dalam cuaca yang begini cerah, banyak orang


berlalu lalang di jalan raya, gerombolan manusia itu
merupakan penghambat yang baik bagi para pengejar.

Saat ini melarikan diri merupakan hal yang paling


penting, maka Hong Coan-sin tidak ambil perduli
bagaimana orang banyak memandangnya dengan
keheranan, dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya dia berlarian menelusuri jalan raya.

Dalam berapa lompatan lagi dia segera akan


meninggalkan pintu kota, tiba-tiba Hong Coan-sin
merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu dua
sosok bayangan manusia telah melayang turun dari atas
tembok kota.

Sewaktu diperhatikan, ternyata kedua sosok


bayangan manusia itu adalah Tay Thian dan Cong Huimiat.
Satu dari depan yang lain dari belakang kedua orang
itu langsung menghadang jalan mundurnya, melihat
tidak ada jalan lagi untuk kabur, Hong Coan-sin pun
tertawa tergelak.

�Sungguh tidak kusangka ilmu meringankan tubuh


yang kalian miliki sangat hebat,� katanya.

�Masih banyak persoalan yang tidak kau duga,� kata


Tay Thian, �Pernahkah kau bayangkan, tidak sampai
sepuluh gebrakan aku mampu mencabut nyawa
anjingmu?�

�Tidak perlu sepuluh jurus, tujuh jurus pun sudah lebih


dari cukup,� Cong Hui-miat menambahkan.

Menonton keramaian merupakan ciri khas dari umat


manusia.

Ketika melihat ada orang berlarian dengan


menggunakan ilmu meringankan tubuhpun sudah
merupakan sesuatu yang menarik, apalagi ketika ada
orang mau berduel, tentu saja semakin banyak orang
datang berkerumun untuk melihat keramaian.

Tidak selang berapa saat kemudian kerumunan orang


banyak sudah makin mendekat, mereka mulai
menuding ke sana kemari sambil berbisik bisik.

Hong Coan-sin masih tertawa tergelak bahkan sama


sekali tidak menunjukkan rasa takut atau kuatir,
perlahan-lahan dia melepaskan jubah putih nya
kemudian sambil menyeringai dan mengejek dia tatap
wajah Tay Thian serta Cong Hui-miat.

�Tampaknya pertarungan diantara kita tidak bisa


dihindari lagi hari ini,� kata Hong Coan-sin kemudian,
�Aku percaya orang-orang itu pasti ingin menonton
keramaian.�

Begitu melihat kawanan penonton berjalan semakin


mendekat, Tay Thian sebenarnya ingin membujuk
mereka agar lebih menjauh karena dia kuatir Hong
Coan-sin menggunakan siasat dengan menjadikan
mereka sebagai perisai hidup, jika sampai demikian
keadaannya, bisa jadi dia hanya bisa mengawasi orang
itu kabur tanpa dapat berbuat apa-apa.

Baru saja dia bersiap membujuk, mendadak


dijumpainya satu hal yang sangat aneh, ternyata
walaupun para penonton itu tersebar disekitar sana
namun hampir semuanya telah menghadang jalan
mundur Tay Thian berdua, bahkan posisi mereka justru
merupakan posisi strategis.

Tampaknya Cong Hui-miat merasakan juga gelagat


tidak menguntungkan, dia segera memberi tanda
kepada Tay Thian dan mereka berdua pun manggutmanggut
dengan penuh pengertian.

Tampaknya kawanan penonton itu bukan penonton


biasa, delapan sampai sembilan puluh persen rupanya
adalah kawanan jago dari perkumpulan Cing Liong
Hwee, bahkan bisa jadi mereka merupakan para
pembunuh kelas satu yang sudah lama mendapat
latihan dan pendidikan ketat.

Sekilas meski mereka kelihatan kalut, namun dalam


kenyataan gerak-gerik mereka sangat beraturan dan
tinggi disiplinnya, bahkan sorot mata mereka nyaris
merupakan sorot mata binatang yang buas dan tajam,
siap menerkam mangsanya.

�Tidak kusangka ternyata penduduk kota ini hampir


semuanya merupakan jago-jago berilmu tinggi,� ujar Tay
Thian sambil tertawa.

Perasaan bangga mulai memancar keluar dari wajah


Hong Coan-sin.

�Tajam amat matamu,� pujinya sambil tertawa,


kemudian sambil berpaling ke arah Cong Hui-miat
terusnya, �Kau sudah cukup lama bercokol dalam
perkumpulan Cing Liong Hwee, masa belum pernah
mendengar tentang kawanan manusia ini?�

�Aku tahu pihak kantor pusat sedang melatih


sekelompok orang yang disebut �serat�, kelompok ini
khusus untuk mengatasi pelbagai kejadian yang diluar
dugaan, aku hanya tidak tahu siapakah kelompok itu
dan biasanya berada dimana?�

�Padahal, sekalipun sudah bertemu dengan orang-


orang itupun belum tentu akan kau sangka kalau
mereka adalah kelompok serat, sebab pada dasarnya
mereka hanya kaum rakyat biasa.�
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, �Di
waktu biasa, mereka hidup disekelilingmu sebagai
layaknya rakyat biasa, penghidupan mereka, kebiasaan
mereka tidak jauh berbeda dengan kehidupan pada
umumnya.�

�Serat?� gumam Tay Thian tercengang, �Maksudmu


serat sutera?�

�Benar,� Cong Hui-miat mengangguk.

�Kenapa mereka disebut serat?�

�Sebab mereka direkrut secara khusus, harus melalui


seleksi yang ketat dan sejak kecil sudah mendapat
latihan dan pendidikan yang ketat dan keras mengenai
pelbagai cara pembunuhan yang sadis dan keji,� ujar
Hong Coan-sin, �Mereka harus mampu memanfaatkan
setiap kesempatan yang ada dalam suasana dan
kondisi yang paling tidak tepat, mereka pun harus
memiliki cara paling cepat untuk membunuh lawan
bahkan bisa mundur dengan selamat selesai melakukan
pembunuhan.�

�Apakah ada yang tidak lulus seleksi?� �Tentu saja,


ada yang tidak lulus seleksi dan terpaksa disingkirkan.�

�Maksudmu disingkirkan? Dibunuh?�

�Benar, setelah dilakukan seleksi yang ketat setiap


tahunnya, jumlah yang tersisa sudah tidak terlalu
banyak. Kawanan manusia itu hampir semuanya dingin,
sadis, tidak berperasaan, mereka rata rata licik bagai
rase, buas bagai serigala, sabar bagai unta bahkan
hampir semuanya menguasahi ilmu penyusut tulang,
ilmu berganti wajah, sergapan, bokongan, pembunuhan
gelap.�

Setelah berhenti sebentar, terusnya, �Kelompok yang


tersisa bukan secara otomatis lulus pendidikan,
mereka semua harus menjalani pendidikan lagi di
lembah Giho-kok yang terletak di negeri Hu-siang dan
menjalani latihan sebagai ninja selama tiga tahun.�

Kemudian jelasnya lebih jauh, �Setelah menjalani


pendidikan yang ketat, sadis dan buas sebagai seorang
ninja, gerak-gerik mereka semua ibarat seekor ular
berbisa yang pandai menyesuaikan diri dengan
lingkungan, mereka pandai bersembunyi ditempat
tempat persembunyian yang tidak mungkin bisa
ditemukan orang lain, ketika suatu saat kemampuan
mereka dibutuhkan maka orang-orang itu akan muncul
secara tiba-tiba, melakukan penyergapan dan
pembunuhan kemudian menghilang kembali.�

�Oya?�

�Terkadang mereka sanggup tidak makan tidak


minum, tidak tidur tidak bergerak, mereka mampu
menyelinap ke dalam sebuah lubang yang kecil lagi
sempit, hidup tanpa bergerak selama dua tiga hari, tapi
begitu mulai bergerak, biasanya pihak lawan bakal mati
secara mengenaskan,� kata Hong Coan-sin lagi sambil
tertawa, �Mereka pun sangat menguasahi medan, tahu
semua seluk beluk diwilayah sini, kemampuan mereka
yang tangguh bisa diibaratkan seekor ular serat bambu
yang merupakan ulat paling beracun di dunia ini.�

�Kenapa mereka tidak disebut saja sebagai kelompok


ular serat bambu hijau?�

�Sebab kamuflase yang mereka gunakan tidak selalu


berwarna hijau, bentuk mereka pun tidak mirip seekor
ular.�

Tay Thian segera tertawa, pujinya, �Ehmm masuk


diakal, sangat masuk diakal, serat tetap serat, mana
mungkin ada nama lain yang jauh lebih bagus daripada
sebutan ini?�

..... Biasanya analisa yang dilakukan Tay Thian, suya


dari istana raja muda selatan ini sangat canggih dan
akurat, mungkin dalam hal ini jarang ada yang
menyangkalnya.

�Kalau ada serat, seharusnya ada juga jalan serat


sutera,� Tay Thian seakan mulai tertarik dengan masalah
ini.

�Benar,� ternyata dengan sabar Hong Coan-sin


menyahut.

�Apakah jalan sutera yang inipun sama seperti jalan


sutera jaman kuno, menghubungkan kota Tiang-an
melalui kota Tun Huang menuju ke barat?�

Hong Coan-sin menggeleng, �Bukan?� tanya Tay


Thian lagi, �Jalan sutera ada dua, berarti jalan yang lain
adalah dari kota Tiang-an menuju ke utara, setelah
keluar perbatasan baru berbelok ke barat?�

Sekali lagi Hong Coan-sin menggeleng.

�Yang inipun tidak benar, lalu jalan sutera mana yang


digunakan?� desak Tay Thian lebih jauh.

�Semuanya bukan, jalan sutera ini bukan sebuah rute


jalan melainkan nama dari seorang manusia.�

�Seorang manusia? Aneh, masa manusia bernama


jalan sutera?�

�Sebab orang ini selalu menganggap nyawa sendiri


bagaikan jalur serat sutera yang tipis tapi rapat, dia
sudah menganggap dirinya bukan manusia lagi
melainkan sebuah jalanan, karena tanpa kehadiran
orang ini, kawanan 'serat' itu pun tak punya jalan untuk
ditempuh.�

�Oleh sebab itu orang tersebut dinamakan jalan


sutera?�

�Benar.�

�Bagus, bagus sekali,� sekali lagi Tay Thian memuji,


�serat, jalan sutera, nama yang luar biasa, mungkin biar
ada pedang yang mengancam tenggorokanku pun aku
tak akan bisa menemukan nama lain yang jauh lebih
bagus.�
�Jalan sutera sesungguhnya belum tentu merupakan
seorang manusia, dia bisa berwujud sebuah jalanan,
jalan kematian!� tiba tiba Cong Hui-miat menyela.

�Jalan kematian?�

�Betul!� sekali lagi Cong Hui-miat tertawa, �Meskipun


kawanan serat itu beranggapan tanpa dia maka tidak
ada jalan, kalau ada dia pun sebenarnya tetap todak
ada jalanan, kalau semisal dibilang ada, aku lihat
jalanan itu tidak lebih hanya sebuah jalan kematian.�

Berubah hebat paras muka Hong Coan-sin, berubah


menjadi sangat tidak sedap dipandang.

Terlebih kawanan manusia yang disebut 'serat' itu,


paras muka mereka berubah menjadi amat tidak sedap,
bukan Cuma tidak sedap bahkan terkenan rasa kaget
dan tercengang yang luar biasa, agaknya mereka tidak
menyangka kalau ada orang berani
memperbincangkan tentang mereka secara begitu
santai bahkan bernada mengejek dan menghina.

Berapa diantara mereka sudah mulai


mengggenggam senjata andalannya, asal perintah
diturunkan, mereka segera akan menyerbu ke depan
dan mencincang tubuh kedua orang itu hingga hancur
berkeping.

Cong Hui-miat seolah tidak menyadari akan


kemarahan kawanan manusia itu, kembali ujarnya, �Dari
kelompok 'serat' tersebut, kini sudah muncul dua puluh
tujuh orang, ditambah kau berarti berjumlah dua puluh
delapan orang.� Setelah melirik Hong Coan-sin sekejap,
lanjutnya, �Sementara kami hanya berdua saja,
kelihatannya hari ini kami bakal mati.�

�Dalam kenyataan agaknya memang seperti itu,�


sambung Tay Thian cepat.

�Kelompok serat ini merupakan kelompok manusia


yang sudah terlatih untuk membunuh, tapi bila kuhitung
sampai angka ketiga, mereka semua pasti akan
mampus, percaya tidak?� tanya Cong Hui-miat lagi.

�Menghitung sampai angka ketiga? Aku tidak


percaya,� Tay Thian menggeleng, �Dihitung sampai
angka tiga ratus pun aku tetap tidak percaya!�

�Kau benar benar tidak percaya?�

�Tidak percaya?�

�Bagaimana kalau kita bertaruh?�

�Baik.�

Cong Hui-miat pun berpaling ke arah Hong Coan-sin,


tanyanya pula, �Bagaimana dengan kau? Percaya
tidak? Berani bertaruh?�

Kelihatannya orang ini sudah mabuk, apakah dia


sedang mengigau dalam mabuknya?
Dua orang berhadapan dengan dua puluh delapan
orang, dalam hitungan ketiga dia mengatakan semua
'serat' itu bakal mati, mana mungkin?

Tentu saja Hong Coan-sin tidak percaya, tentu saja


diapun bersedia untuk bertaruh. �Baik, aku ikut
bertaruh.�

BAB 2.

Kasus berdarah disiang hari bolong.

Pertaruhan sudah diputuskan, berarti pertarungan


segera akan dimulai.
Bagaimana dengan barang taruhan? Apa Yang
dipertaruhan?
Berada dalam keadaan seperti ini, menurut anda apa

yang mereka pertaruhkan?


Kecuali kematian, apa lagi yang bisa dipertaruhkan?
Sang pemenang akan hidup, sedang pihak yang

kalah jangan harap punya kesempatan untuk merebut


kembali kemenangan.
Lalu siapa yang menang dan siapa yang kalah?
Hong Coan-sin yang menang? Atau Cong Hui-miat?
Cahaya matahari yang cerah menyinari permukaan
bumi, menyoroti wajah setiap orang.

Suasana dijalan raya seketika berubah jadi hening,


setiap wajah menampilkan perasaan tercengang dan
tidak percaya, sementara senyuman Cong Hui-miat
begitu wajar, begitu leluasa seakan dialah yang akan
menjadi pemenang dalam pertaruhan ini.

Tay Thian ikut tertawa, bukan hanya bibirnya yang


tertawa, bahkan hidung pun seakan ikut tertawa,
dengan sorot mata yang penuh dengan senyuman dia
pandang wajah Hong Coan-sin.

Tentu saja Hong Coan-sin pun sedang tertawa, tapi


tertawanya jauh lebih jelek daripada menangis, bocah
umur tiga tahun pun dapat melihat kalau senyuman
tersebut kelewat dipaksakan.

Tertawanya memang kelewat dipaksakan, biarpun


dia berusaha untuk bersikap sewajar mungkin namun
kulit dan otot wajahnya seolah sudah membeku, sudah
menjadi kaku, dia tidak habis mengerti kenapa dalam
kondisi jumlah yang lebih kecil dan kemampuan silat
yang lebih lemah, Cong Hui-miat berani bicara begitu
meyakinkan? Dia benar benar pingin segera tahu apa
akibat yang terjadi setelah orang itu selesai menghitung
angka ketiga.

Untuk menghitung dari angka satu ke angka tiga


hanya dibutuhkan waktu yang amat singkat, bahkan
perhitungan segera telah dimulai.
Ketika perhitungan angka satu mulai diteriakkan,
Hong Coan-sin baru menyadari bahwa orang yang
melakukan perhitungan bukan Cong Hui-miat juga
bukan Tay Thian, melainkah Cong Hoa yang entah
sedari kapan sudah nongkrong diatas tembok kota.

Cong Hoa berada jauh diatas tembok kota, dia


sedang membopong seseorang dan orang itu tidak lain
adalah Ui sauya.

Begitu melihat kemunculan Cong Hoa, Hong Coan-sin


kagetnya setengah mati, tapi kejadian berikut membuat
dia semakin terbelalak dengan mulut melongo.

Ketika Cong Hoa mulai menghitung angka 'satu',


peristiwa yang tidak mungkin terjadi telah berlangsung di
depan mata.

Hong Coan-sin menyaksikan dinding kota mendadak


merekah dan terbelah dua, pasir dan batu berguguran
ke mana mana, menyusul berhamburnya debu dan
pasir dia saksikan munculnya satu baris manusia diatas
tembok kota itu, berdiri sambil mementangkan busur
dan anak panah.

Busur telah dipentang, diujung anak panah pun telah


disulut api, ketika terpantul cahaya matahari
terperciklah sinar kehijau hijauan.

�Sreeet, sreeet.....� desingan angin tajam membelah


seluruh angkasa, busur telah dilepas, anak panah pun
berhamburan ke bawah.
Lima puluh empat batang anak panah menghujam
ditubuh dua puluh tujuh orang, setiap orang 'serat'
mendapat jatah dua batang anak panah.

Tatkala dinding kota mulai merekah, kelompok 'serat'


sebetulnya sudah mulai bergerak, reaksi yang mereka
tunjukkan sebetulnya sangat cepat dan terhitung nomor
satu.

Tapi sayangnya baru saja tubuh mereka bereaksi, dua


puluh enam batang anak panah sudah melesat
membelah bumi dan menyongsong tubuh mereka.

Buru buru mereka berjumpalitan di tengah udara,


kemudian bagaikan batu cadas yang terguling ke dasar
jurang secepat kilat kedua puluh tujuh orang itu
melayang turun ke bawah.

Reaksi mereka pun terhitung luar biasa, apa mau


dikata baru saja tubuh mereka meluncur turun, kembali
ada dua puluh enam batang anak panah yang
membawa api meluncur tiba bahkan bagaikan
rangkusan cewek cantik, langsung menggulung ke
tubuh mereka semua.

Api itu langsung membakar pakaian yang dikenakan


orang-orang itu, ada yang seketika tewas setelah
terbidik panah, ada yang berusaha lari sambil
membawa api yang masih berkobar, ada pula yang
berusaha bergulingan diatas tanah.
Jeritan ngeri yang menyayat hati berkumandang silih
berganti, ada sebagian orang yang segera terbakar
hingga tubuhnya melingkar bagaikan ebi, ada pula
yang masih bergulingan di tanah sambil menjerit
kesakitan.

Hanya dalam waktu singkat dua puluh tujuh orang


'serat' yang lebih beracun dari ular berbisa, kini berubah
jadi tikus 'mampus'.

Bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri


maka sulit untuk membayangkan betapa ngerinya suara
jeritan kedua puluh enam orang itu, suara jeritan mereka
kedengaran begitu mengerikan, begitu mengenaskan
dan begitu mengecutkan hati siapa pun yang
mendengarnya.

Paras muka Hong Coan-sin mengejang keras, entah


karena merasa ngeri? Atau sedih? Dibawah cerahnya
sinar matahari, tubuhnya nampak gemetar keras.

Entah sejak kapan Cong Hoa sudah melayang turun


ke bawah, dia berdiri disisi barat Hong Coan-sin,
tangannya masih membopong tubuh Ui sauya.

Dengan pandangan mata tanpa perasaan, dengan


nada ucapan tanpa perasaan dia berkata, �Orang ini
tewas diujung pisaumu yang kau lempar seenaknya,
sekarang kau masih meninggalkan pisau tipismu didalam
dadanya.�
Hong coansin mengalihkan sorot matanya ke atas
pisau yang masih menghujam di dada Ui sauya, darah di
seputar mulut luka telah membeku, warnanya telah
berubah jadi merah kehitam-hitaman, namun mata
pisau memancarkan sinar kehijau-hijauan.

�Kau kalah!� ujar Cong Hui-miat kemudian.

�Yaa, aku kalah,� sahut Tay Thian sambil menghela


napas, �Aku memang kalah, tapi aku benar-benar kalah
dengan perasaan puas.�

Berbicara sampai disitu dia berpaling memandang


Hong Coan-sin yang masih melengak, kemudian
lanjutnya, �Bagaimana dengan kau? Apakah mengaku
kalah? Apakah kalah dengan puas?�

Hong Coan-sin tidak langsung menjawab, dia masih


berdiri ditempat tanpa bergerak, seakan sebongkah
batu cadas, entah berapa lama sudah lewat, dia baru
berkata, �Takluk!�

Akhirnya sekulum senyuman menghiasi bibirnya,


senyuman getir, �Bukan Cuma takluk, akupun mengaku
kalah!�

Perlahan dia mengalihkan pandangan matanya


mengawasi Cong Hoa bertiga, memandangnya dari
atas hingga ke bawah, dari kiri ke kanan dan akhirnya
dia menghembuskan napas panjang.

�Sekarang aku baru tahu, ternyata butuh waktu yang


sangat lama untuk menghitung angka satu hingga ke
angka tiga, sedemikian lamanya sehingga lebih dari
cukup untuk menghabisi nyawa dua puluh enam orang
pria jagoan. Hari ini, semestinya merupakan hari yang
terpanjang dalam sejarah hidupku.�

Kembali ia tertawa, tetap tertawa getir.

�Tumbuh hingga hari ini, pada hakekatnya aku tidak


tahu di tahun berapa? Bulan ke berapa? Dan pada hari
apa adalah saatku untuk mendusin?�

�Betul. Demikian juga dengan orang yang berbaring


didalam boponganku sekarang, dia pun tidak tahu
pada tahun berapa, bulan berapa dan hari apa baru
akan mendusin kembali,� sambung Cong Hoa, �Sebab
hari inipun merupakan hari terpanjang yang harus
dialaminya dalam sejarah kehidupannya.�

Angin berhembus kencang, membawa suara


desingan bagaikan jeritan setan, bikin hati orang
bergidik, membuat tamu yang kebetulan lewat merasa
ketakutan.

Masih untung ditempat itu tidak ada kaum wanita


lemah, pun tidak ada tamu yang kebetulan lewat.

Disana memang tidak ada apa-apa kecuali empat


manusia, namun orang yang mati jauh lebih banyak
daripada orang hidup.

Suasana amat hening, sepi bagai di tanah


pekuburan.
Entah sedari kapan, tiba-tiba angin tidak berhembus
lagi, suasana dijalan raya hening dan sepi, hanya
seekor anjing putih yang berjalan menelusuri jalan raya
sambil mengendus ke sana kemari.

Darah sudah lama mengering, tapi wajah Hong


Coan-sin kuning bagaikan tanah liat, dia masih berdiri
termangu sambil mengawasi kabut tipis yang tiba-tiba
muncul dari kejauhan sana.

Ketika kabut itu kian mendekat, mendadak sorot


matanya memancarkan perasaan ngeri dan takut yang
luar biasa.

Cong Hui-miat tidak melihat datangnya kabut, dia


sedang mengawasi anjing putih itu, anjing putih yang
sedang mengendus disudut jalan raya.

Dengan cepat kabut itu menyelimuti seluruh tubuh


anjing putih itu.

Mendadak anjing itu membelalakkan matanya lebar


lebar sambil mengawasi mereka yang berada ditepi
pintu kota, sewaktu kabut itu melayang lewat, kakinya
nampak seolah mengejang keras, disusul kemudian
kepalanya terkulai lemas dan tidak bergerak lagi.

Perasaan ngeri seketika melintas dibalik mata Cong


Hui-miat, teriaknya tiba-tiba, �Mundur, cepat mundur ke
atas tembok kota!�

Rupanya Tay Thian dan Cong Hoa pun sempat


menyaksikan perubahan yang dialami anjing putih itu,
maka begitu Cong Hui-miat berteriak memberi
peringatan, serentak mereka melejit ke udara dan kabur
ke atas dinding kota.

Hong Coan-sin sama sekali tidak bergerak, paras


mukanya yang semula tegang, ngeri dan ketakutan, kini
telah berubah jadi wajah pasrah dan ketidak
berdayaan, tanpa bergerak sedikitpun dia membiarkan
kabut itu menyelimuti tubuhnya.

�Aneh benar kemunculan kabut itu,� kata Cong Hoa


kemudian, �Setiap kali identitas seorang anggota Cing
Liong Hwee terungkap, pada pada detik yang terakhir
akan muncul kabut semacam itu.�

�Bila kabut itu muncul, berarti ada orang bakal


mampus!� kata Tay Thian, �Bahkan biasanya orang yang
mampus pastilah anggota perkumpulan Cing Liong
Hwee.�

�Ini namanya membunuh orang menghilangkan


saksi,� Cong Hui-miat menimpali sambil mengawasi
kabut yang menyelimuti kaki dinding kota.

�Kalau sudah tahu setiap kemunculan kabut itu bakal


mencabut nyawa seseorang, mengapa mereka tidak
berusaha untuk melarikan diri?� kembali Cong Hoa
bertanya.

�Hari ini mungkin kau berhasil lolos, tapi jangan harap


bisa lolos selamanya,� kata Cong Hui-miat,
�Perkumpulan Cing Liong Hwee paling benci terhadap
anggotanya yang melarikan diri, orang semacam itu
biasanya akan diganjar dengan hukuman yang amat
keji dan telengas.�

�Anehnya bagaimana mungkin kabut itu bisa


membunuh orang?�

�Dibalik kabut terkandung semacam racun keji yang


sangat mematikan, racun jenis ini tidak perlu menyusup
masuk melalui lubang hidung tapi bisa langsung
menyusup melalui pori pori di kulit tubuh manusia.�

�Kabut semacam ini pasti ada yang melepaskan,


mengapa tidak pernah menjumpai orang yang
melepaskan kabut itu?�

�Sudah cukup lama aku selidiki persoalan ini, hingga


sekarang pun aku tetap belum tahu siapa yang
melepaskan kabut itu,� kata Cong Hui-miat.

�Apa mungkin dilakukan oleh Liongtau perkumpulan


Cing Liong Hwee?�

�Tidak mungkin!� Tay Thian menggeleng, �Manusia


semacam dia tidak nanti akan turun tangan sendiri.�

Cong Hui-miat manggut-manggut, dia sangat setuju


dengan pendapat itu.

Tidak selang berapa saat kemudian, kabut yang


semula menyelimuti jalan raya itu kini sudah buyar dan
hilang lenyap.
Kabut itu datang dengan cepat, waktu buyar pun
sama cepatnya.

Angin barat masih berhembus kencang, Hong Coansin


masih berdiri tegak ditempat semula, bergerak
sedikitpun tidak.

�Kenapa dia belum roboh?� tanya Cong Hoa


keheranan, �Jangan-jangan kabut tadi tidak beracun?
Atau mungkin dia sudah menelan obat penawar
racunnya?�

�Semuanya bukan,� tukas Cong Hui-miat, �Aku jamin


dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sudah mati,
hanya saja dia mati dengan tidak ikhlas, oleh sebab itu
rasa gusar dan tidak puasnya membuat tubuhnya tetap
bertahan pada posisi semula, dia seolah ingin
menunjukkan bahwa kematiannya dalam posisi berdiri
merupakan protes atas ketidak puasannya.�

�Darimana kau tahu kalau dia sudah mati? Bukankah


sewaktu berada di rumah bambu pun dia pernah
keracunan, tapi racun itu berhasil dia punahkan sendiri, j
angan j angan...�

�Aku rasa dia memang sudah mati!� tiba-tiba Tay


Thian menyela, �Coba kau perhatikan tangannya!�

Cong Hoa segera mengalihkan perhatiannya ke


tangan Hong Coan-sin, betul juga, jari tangannya sudah
menghitam semua, pertanda kalau dia sudah
keracunan hebat.
Kakek pengasah pisau.

Senja telah tiba, matahari sudah condong ke langit


barat, kegelapan malam pun sudah mulai menurunkan
tirainya.

Guguran bunga bwee masih berserakan di


permukaan hutan, meninggalkan bau lembab yang
tajam di seputar tempat itu.

Kabut amat tipis.

Nyoo Cing masih duduk di depan kuburan,


pandangan matanya masih kosong, hampa.

Mendadak muncul sesosok bayangan dari balik


kabut, ketika semakin mendekat, terlihatlah kalau dia
adalah seorang kakek.

Seorang kakek yang berperawakan tubuh pendek.

Orang itu mengenakan jubah pendek warna putih


yang terbuat dari bahan kain kasar, ikat pinggangnya
berwarna hitam dan sepatu kain yang dikenakan
dipenuhi noda lumpur.

Wajahnya sudah penuh keriput, tangannya


menggembol sebuah buntalan kuno sementara
dipinggangnya terselip dua bilah pedang.

Ketika tiba ditepi kuburan, kakek itu menurunkan


buntalannya dan perlahan lahan membukanya, dari
dalam buntalan tersebut dia mengeluarkan sebuah batu
untuk mengasah pisau.

Setelah meletakkannya ke tanah, dia pun meloloskan


dua bilah pedang yang tersoren dipinggangnya.

�Criiing!� ketika mata pedang tertimpa cahaya


matahari senja, segera terbiaslah cahaya berwarna
kuning yang amat menyilaukan mata.

Dengan ujung jarinya kakek itu memeriksa sejenak


mata pedangnya, kemudian gelengkan kepalanya
berulang kali dengan wajah tidak puas.

Setelah membasahi batu pengasahnya dengan air,


kakek itu berjongkok dan mulai mengasah pedangnya
dengan khusuk.

Sejak kakek itu munculkan diri, melepaskan pedang,


mengasah senjata, Nyoo Cing seolah tidak melihatnya,
dia masih belum bergerak, sorot matanya masih
memandang ke tempat kejauhan.

Kakek itupun sama sekali tidak menaruh perhatian,


dia hanya mengasah pedangnya dengan serius, seolaholah
kedatangannya hanya untuk mengasah pedang
sementara urusan lain bukan urusannya.

Matahari lambat laun makin meninggi, kabut pun


makin lama makin menipis.
Butiran keringat mulai membasahi jidat kakek itu,
keringat yang bercucuran karena dia telah
menggunakan tenaganya untuk mengasah pedang.

Ketika pedang pertama selesai diasah, dia pun mulai


mengasah pedang yang kedua.

Pedang yang selesai diasah diletakkan disamping,


ketika sinar matahari menimpa ditubuh pedang,
terbiaslah cahaya terang yang berkilauan.

Akhirnya kedua bilah pedang itu telah selesai diasah.

Kakek itupun menghembuskan napas lega, dengan


ujung bajunya ia mulai menyeka keringat yang
membasahi jidatnya.

Bila tujuan kedatangannya adalah untuk mengasah


pedang, sudah saatnya untuk pergi dari situ.

Tapi kakek itu seolah tidak ada niatan untuk pergi


meninggalkan tempat itu.

Nyoo Cing sendiripun sepertinya enggan mengusik


kakek itu, masih sama seperti sebelum kedatangan
kakek itu, dia duduk tanpa bergeser sedikitpun.

Akhirnya kakek pengasah pedang itu bangkit berdiri,


tangannya menggenggam pedang yang baru saja
diasahnya kemudian membalikkan badan dan duduk
membelakangi Nyoo Cing.
Sisa cahaya senja menyinari wajah kakek itu,
membuat kerutan wajahnya nampak lebih tegas dan
jelas.

Tiba-tiba dia tertawa, tangan kirinya diayunkan dan


pedang yang berada dalam genggamannya sudah
meluncur ke tangan Nyoo Cing.

Pedang itu meluncur tepat ke tangan kanan Nyoo


Cing, seakan-akan ada orang yang menyodorkan
senjata itu dengan dua belah tangan.

Pedang diterima, digetarkan dan bunga pedang pun

cahaya senja, membiarkan pantulan cahayanya


berkilauan.

Kini kakek pengasah pedang sudah mulai bergerak,


tiba-tiba dia melancarkan sebuah tusukan ke arah Nyoo
Cing, gerakannya sangat mendadak, jurus serangannya
ganas dan buas.

Nyoo Cing mengangkat pedangnya menangkis


kemudian tubuhnya mengigos ke samping.

�Traaang!� ditengah bentrokan nyaring, terlihat


percikan bunga api memancar ke empat penjuru,

memancar ke udara.
Diantara kilauan cahaya tajam, tubuhnya ikut
melompat bangun.
Sambil mengawasi pedang dalam genggamannya,
Nyoo Cing menghadapkan mata pedang ke arah
namun hanya sekejap kemudian sudah lenyap tak
berbekas.

Semua jurus serangan yang digunakan kakek itu


ganas, buas dan telengas, tapi satu demi satu berhasil
dipunahkan Nyoo Cing secara manis.

Tusukan dibalas dengan tusukan, babatan dibalas


dengan babatan, dalam waktu singkat kedua orang itu
sudah saling menyerang sebanyak enam puluh empat
jurus.

Akhirnya terlihat garis kerutan diwajah kakek itu makin


lama semakin bertambah jelas, tiba tiba dia menghela
napas dan mengucapkan perkataan yang tidak
terduga oleh siapa pun, �Putra Nyoo Heng memang
tidak malu menjadi putra Nyoo Heng.�

Nyoo Cing membalikkan tubuhnya, kepada kakek


pengasah pedang itu sahutnya singkat, �Terima kasih
banyak.�

�Tampang dan lagakmu saat ini sama persis seperti


saat aku berjumpa dengannya dulu, bahkan termasuk
wataknya pun persis sama.�

�Benarkah begitu?�

�Benar.�

Tampaknya kakek pengasah pedang itu sudah


terjerumus dalam kenangan lamanya.
�Peristiwa ini sudah berlangsung lama, lama sekali,
waktu itu usianya jauh lebih muda ketimbang usiamu
sekarang, dia masih dalam taraf belajar pedang, belajar
menggunakan pedang, diapun sedang melatih
pedang. Meskipun gurunya, Siau Gong-cu tidak terlalu
bagus ilmu pedangnya, namun kemampuannya dalam
menempa pedang terhitung nomor wahid dilkolong
langit.�

Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, �Sayang


cita cita dan konsentrasi ayahmu hanya tertumpu pada
ilmu pedang, itulah sebabnya kemampuan gurunya
dalam menempa senjata pun jadi punah.�

�Ayahku sudah meninggal lama, semasa hidupnya


dulu diapun sering merasa menyesal karena persoalan
ini,� kata Nyoo Cing, �Dia sering berkata kepadaku,
seandainya yang dia pelajari bukan ilmu pedang
melainkan kepandaian menempa senjata, mungkin
penghidupannya saat itu jauh lebih senang dan
bahagia.�

Kakek pengasah pedang kelihatan semakin murung


dan sedih.

�Kehidupan manusia sudah ditentukan oleh takdir,


setiap orangpun mempunyai cita-cita sendiri, hal
semacam ini memang tidak bisa dipaksakan,� kata
kakek itu sambil memandang pedang dalam
genggamannya, �Seperti contohnya pedang ini.�
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, �Pedang
pun mempunyai garis takdirnya, sama persis seperti
manusia, ada saat beruntung ada pula saat sial, ketika
aku mengunjungi Siau Gong-cu waktu itu, tujuanku
sebenarnya hanya ingin meramalkan nasib dari pedang
tajam yang baru berhasil ditempanya, pedang Lenggong.�

�Pedang Leng-gong?� tanya Nyoo Cing.

�Benar, pedang tersebut adalah pedang pembawa


sial, siapa yang membawanya bakal tidak selamat
bahkan terancam keluarga bubar manusianya mampus,
oleh sebab itu Siau gong-cu memusnahkan pedang itu,
kemudian dengan sisa tubuh yang ada dia menempa
lagi sebilah pisau baru, pisau yang lebih tipis dari kertas.�

�Golok kelembutan?�

�Betul, golok tipis itu dinamakan kelembutan, akhirnya


senjata itu jatuh ke tangan Ing Bu-ok setelah
menukarnya dengan sebilah kitab pusaka kuno yang
tidak utuh.�

Tiba-tiba paras muka Nyoo Cing berubah, dia seolah


terbayang kembali semua peristiwa tragis yang dialami
ayahnya dulu.

�Konon separuh bagian buku yang sebelah kiri sudah


terbakar hangus sehingga setiap jurus serangan yang
tercantum dalam kitab itu hanya tersisa setengah jurus,
pada hakekatnya tidak mungkin bisa terlatih menjadi
sebuah ilmu pedang yang hebat,� ujar kakek itu lagi.

�Aku tahu.�

�Kemudian Nyoo Heng dengan mengandalkan


senjata kaitan malang melintang dalam dunia
persilatan, ada pun jurus serangan yang dia pergunakan
tidak lain adalah hasil latihannya dari kitab pusaka tidak
utuh itu.�

�Justru karena jurus serangan yang tercantum dalam


kitab itu tidak utuh, bila digunakan untuk berlatih ilmu
pedang jelas tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi
ketika digunakan untuk berlatih dengan senjata pedang
yang sudah berubah bentuk jadi kaitan, terciptakan
serangkaian ilmu silat yang luar biasa hebatnya, setiap
jurus serangan bertentangan dengan jurus pada
umumnya bahkan selalu mengancam datang dari arah
yang sama sekali tidak terduga, itulah sebabnya jarang
ada orang yang sanggup menghadapinya,� Nyoo Cing
menjelaskan.

�Pedang yang berubah bentuk tidak lain adalah kait


perpisahan, itulah pedang yang dipesan Lan Toa
sianseng untuk ditempa namun gagal menjadi sebilah
pedang.�

�Benar.�

�Inilah yang disebut kehendak Thian,� kata kakek itu


lagi, �Dengan tidak utuh melengkapi tidak utuh,
seandainya ada kitab tidak ada senjata, atau ada
senjata tidak ada kitab, mustahil akan tercipta sebuah
ilmu yang luar biasa ampuhnya.�

Mendadak terpancar sinar yang sangat aneh dari


balik mata kakek itu, tambahnya, �Atau jangan jangan
ini bukan kehendak Thian, melainkan niat dari Siau
Gong-cu sendiri?�

Nyoo Cing membungkam, dia sama sekali tidak


menanggapi.

�Oleh karena dia sudah memiliki kitab kiam-boh yang


tidak utuh maka dengan sengaja dibuatlah sebilah
pedang yang tidak utuh, tujuannya agar bisa diwariskan
kepada anak muridnya,� kakek itu menghela napas
panjang, �Dia sadar kalau ilmu pedangnya kurang
bagus, kalau bisa membuat anak muridnya menjadi
seorang jago pedang kenamaan, jelas hal ini
merupakan satu kebanggaan tersendiri baginya.�

Nyoo Cing merasa bergidik, hawa dingin serasa


merasuk hingga ke tulang sumsumnya, lewat lama
kemudian dia baru berkata, �Golok kelembutan saat ini
sudah terjatuh ke tangan satu satunya murid tunggal Ing
Bu-ok, sang bangsawan kelas satu Ti Cing-ling!�

�Bila membunuh orang dengan menggunakan golok


kelembutan, mulut luka diluar pasti tidak terlihat, tidak
ada darah yang mengalir keluar, tapi orang yang
tertusuk pasti akan mengalami pendarahan hebat
didalam rongga badannya hingga menyebabkan
kematian.�

�Ada bayangan tanpa wujud, ada bentuk tanpa


rupa, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut,� kata
Nyoo Cing, �Ayahku pernah memberitahukan
kepadaku, lebih baik sepanjang hidup jangan bertemu
dengan golok kelembutan.�

�Lembut bisa menaklukkan keras,� ujar kakek itu


perlahan, kemudian sambil menatapnya tajam katanya
lagi,

�Mungkin kau masih belum mengerti kenapa aku


membiarkan kait perpisahan terjatuh ke tangan Ti Cingling.�

�Benar, aku memang tidak habis mengerti mengapa


kau suruh aku berbuat begitu, sebenarnya apa
alasannya?�

�Ketika terjadi pertarungan pada dua puluh tahun


berselang, yang kalah seharusnya kau. Ti Cing-ling bisa
kalah karena dia kalah oleh kesombongan sendiri, kalah
karena kelewat pandang remeh dirimu, kelewat
pandang enteng kemampuan kait perpisahan, dia
selalu tak percaya kalau kelembutannya tidak mampu
mengungguli kait perpisahan.�

�Jadi kau beranggapan golok kelembutan pasti


dapat mengatasi kait perpisahan?�
�Benar, kait perpisahan ibarat sekeping baja, keras,
alot dan kuat, hanya manusia macam ayahmu yang
pantas dan cocok menggunakan senjata macam kait
perpisahan.�

Setelah menelan air liurnya kakek itu berkata lebih


jauh, �Seperti misalnya golok kelembutan yang lemah
gemulai bagai kasih seorang gadis, benda itu tidak
mungkin cocok digunakan oleh manusia sebangsa Ing
Bu-ok, itulah sebabnya dia serahkan senjata tersebut
kepada Ti Cing-ling. Kelembutan hanya diberikan untuk
sang kekasih, hanya kelembutan yang bisa merontokkan
iman banyak manusia, bila Ti Cing-ling dapat
memahami bagaimana mengendalikan kelembutan,
maka ibarat harimau memiliki sayap, dia akan manusia
tidak tertandingi di kolong langit.�

Nyoo Cing tidak berbicara, dia hanya membungkam.

�Dua puluh tahun berselang dia sudah kalah, dua


puluh tahun kemudian dia pasti akan menggunakan
golok kelembutan untuk menghadapi kait perpisahan.�

�Dan kait perpisahan pasti tidak akan mampu


menghadapi golok kelembutan?� tanya Nyoo Cing.

�Pasti!� jawab kakek itu meyakinkan, �Bila kait


perpisahan masih berada ditanganmu, maka dalam
pertarungan nanti yang kalah pasti kau, yang mati pun
pasti kau.�
�Tanpa kait perpisahan, memangnya aku mampu
mengunggulinya?�

�Tidak dapat! Tidak mungkin ada seorang manusia


pun yang mampu menghadapi golok kelembutan
dengan tangan kosong.�

�Berarti aku pasti akan kalah dalam pertarunga ini?�

�Belum tentu.�

Nyoo Cing tidak mengerti apa maksud perkataannya,


maka dia mengawasinya dengan mata terbelalak lebar.

Kakek itu menengadah memandang sekejap ke


ujung langit, tiba-tiba perubahan aneh terlintas
diwajahnya, dengan nada suara yang aneh dia
berkata, �Setelah muncul golok kelembutan dan kait
perpisahan, berarti pasti akan muncul pula senjata yang
ketiga.�

�Senjata ketiga?�

�Benar.�

�Apa namanya? Kenapa belum pernah ada yang


mendengar tentang hal ini?�

�Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan,


katanya siau gong-cu bunuh diri karena gagal
menempakan sebilah pedang untuk Lan toa sianseng,
padahal berita tersebut keliru besar, Siau Gong-cu bisa
tewas karena dia mengorbankan diri demi pedang yang
ketiga ini.�

�Kenapa?�

�Setelah golok kelembutan dan kait perpisahan


beredar dalam dunia persilatan, Siau Gong-cu
mendapat wangsit yang memintanya untuk melebur sisa
bahan pembuat golok kelembutan dan kait perpisahan
menjadi satu, dari bahan bahan yang tersisa itulah dia
menciptakan senjata yang ketiga.�

�Dalam bentuk apa senjata yang ketiga itu?�

�Pedang, sebilah pedang,� jawab kakek itu sambil


menatapnya tajam.

�Pedang? Apa namanya?�

�Pedang amarah!�

�Pedang amarah?�

�Benar,� mendadak mencorong sinar tajam dari balik


mata kakek itu.

�Disaat pedang ketiga selesai ditempa, garis yang


muncul pada tubuh pedang itu kacau bagai serat
sutera, ujung pedang pun memancarkan cahaya merah
bagai bara api,� kata kakek itu, bahkan ketika pedang
tersebut selesai ditempa, cuaca tiba-tiba berubah, iklim
pun jadi kacau, musim hujan datang setengah bulan
lebih dini dari jadwalnya.�
�Begitu pedang itu selesai ditempa, musim hujan
datang lebih dini?�

�Benar, oleh sebab itu pedang tersebut disebut


pedang amarah, disebut juga musim semi yang marah!�

�Musim semi yang marah?� kembali Nyoo Cing


bertanya, �Saat ini pedang tersebut berada di mana?�

�Sebenarnya pedang ini merupakan benda


pembawa bencana, seperti orang yang lahir cacad,
sejak dilahirkan sudah membawa hawa sesat yang
menakutkan, oleh sebab itu begitu pedang tersebut

selesai ditempa, Siau suhu pun tidak segan


menggunakan nyawanya untuk menemani pedang
ketiga itu terkubur bersama.�
�Dikubur di mana?�
�Sebuah tempat yang sangat menakutkan!�
Pedang ketiga.

�Sebuah tempat yang sangat menakutkan?�

Tempat manakah di dunia ini yang pantas disebut


tempat yang sangat menakutkan?

Apakah tanah pekuburan menakutkan? Apakah


pembunuh menakutkan? Apakah setan iblis
menakutkan? Apakah ayam yang sudah mati berapa
hari dan mulai dikerubuti belatung disebut menakutkan?

Apa yang disebut menakutkan?


�Menurut kau, apa yang paling menakutkan?� tanya
kakek pengasah pisau sambil menatap tajam Nyoo
Cing.

Nyoo Cing termenung sambil berpikir, lama kemudian


dia baru menjawab, �Sahabat, sahabat yang paling
menakutkan.�

�Kenapa?�

�Sebab hanya teman yang bisa sangat memahami


tentang dirimu, hanya teman yang bisa memperoleh
kesempatan untuk mendekatimu, hanya teman yang
membuat kau sama sekali tidak waspada,� kata Nyoo
Cing, �Tapi seringkah justru mereka yang
mengkhianatimu, justru mereka yang membuat kau
sengsara dan menderita, oleh sebab itu sahabat yang
paling kau percaya, sahabat yang paling akrab
denganmu justru perlu diwaspadai terus.�

BAB 4.

Kemudian sambil menatap kakek itu, dia


menambahkan, �Dan lantaran sahabatmu telah
berkhianat kepadamu, maka hidupmu jadi sengsara,
menderita dan penuh siksaan.�

�Berarti musuh yang paling menakutkan sebetulnya


bukan musuh besarmu melainkan sahabat karibmu?�
�Benar, hanya serangan telak yang dilancarkan
seorang sahabat yang bisa merenggut nyawa kita.�

Sebab bila seorang sahabat yang berkhianat


kepadamu, serangannya pasti mematikan, mereka pasti
akan menyerang titik kelemahanmu, serangannya pasti
diarahkan ke bagianmu yang paling lemah, paling tidak
kau waspadai dan seringkah sangat mematikan.

Tiba-tiba kakek pengasah pedang itu mendongakkan


kepalanya dan menghela napas panjang.

�Sahabat... wahai sahabat... kata �Bong� sahabat


terdiri dari dua huruf gwee (rembulan), mana mungkin di
dunia ini terdapat dua buah rembulan?� katanya,
�Itulah sebabnya sejak jaman dulu orang sudah tahu
kalau sahabat adalah barang yang paling menakutkan,
karena itu pula sahabat diciptakan dari perpaduan dua
huruf yang tidak mungkin bisa terjadi, yakni dua
rembulan.�

Setelah menghela napas panjang, kembali lanjutnya,


�Di dunia ini mustahil bisa terdapat dua rembulan, berarti
di dunia inipun mustahil terdapat sahabat yang benarbenar
sejati.�

�Makna yang menakutkan seringkah tumbuh dari


pemikiran seseorang,� kembali gumamnya, �Seperti
misalnya ada seseorang yang takut dengan ular, dia
pasti menganggap sarang ular merupakan tempat yang
paling menakutkan, padahal bila sejak kecil kau sudah
terbiasa bermain ular, biarpun harus memasuki sarang
ular pun, tempat itu akan kau anggap seperti di rumah
sendiri.�

Kembali kakek itu menjelaskan, �Ada orang


mengatakan minum arak adalah kejadian yang paling
menakutkan, padahal sementara orang yang lain justru
menganggap minum arak merupakan kejadian yang
paling menyenangkan.�

�Kalau begitu jika ada seribu orang manusia, berarti


ada seribu tempat kemungkinan berbeda yang
dianggap paling menakutkan?� kata Nyoo Cing cepat,
�Berarti pedang ketiga ada kemungkinan
disembunyikan di seribu tempat yang berbeda, atau
dengan perkataan lain terdapat seribu bilah pedang
ketiga yang disembunyikan di seribu tempat
menakutkan yang berbeda?�

�Betul!� kakek itu mengangguk, �Seribu orang


kemungkinan terdapat seribu tempat paling
menakutkan yang beda, tapi kemungkinan juga hanya
ada satu tempat sama yang mereka anggap sebagai
tempat yang paling menakutkan.�

�Kalau begitu ada kemungkinan pedang ketiga


hanya disembunyikan di sebuah tempat yang paling
menakutkan?�

�Rasanya mah begitu,� dengan wajah senyum tidak


senyum kakek pengasah pedang mengawasi Nyoo
Cing.
Malam hari dengan cepat telah menjelang tiba.

Cahaya rembulan yang memantul di permukaan air


menimbulkan kilauan sinar yang gemerlapan.

Nyoo Cing sedang duduk di tepi sungai, mengawasi


cahaya berkilauan yang memantul di permukaan.
Sampai lama kemudian sepasang matanya baru
berbinar terang.

Tiba-tiba dia berpaling, berpaling memandang kakek


pengasah pedang itu, kemudian serunya dengan nada
yang gembira, �Jika dalam hati seseorang tiada rasa
takut atau ngeri, maka baginya tidak akan terdapat
tempat yang paling menakutkan, atau dengan
perkataan lain tidak ada tempat paling menakutkan
baginya, itu berarti pedang ketiga pun tidak pernah
ada.�

Kakek itu tidak menanggapi tapi hanya mengawasi


Nyoo Cing tanpa berkedip, memandangnya dengan
penuh rasa kagum.

�Kalau toh tiada tempat yang menakutkan di dalam


hati, maka tidak akan pernah ada pedang ketiga,� ujar
Nyoo Cing lebih lanjut, �Sebab tempat yang paling
menakutkan ditentukan oleh pikiran seseorang, maka
tempat yang paling menakutkan justru berada dalam
pikiran setiap orang, itu berarti pula bahwa pedang
ketiga sesungguhnya disembunyikan dalam pikiran
seseorang.�
Ditatapnya kakek itu sekejap, kemudian lanjutnya,
�Siau suhu telah mengubur pedang amarah di tempat
yang paling menakutkan, bukankah tempat paling
menakutkan yang ada di dunia ini sesungguhnya
berada dalam pikiran manusia?�

Cahaya gembira bercampur kagum semakin kental


mencorong dari balik mata kakek itu.

�Bukankah pedang ketiga telah dia kubur didalam


pikiran manusia?� Nyoo Cing menambahkan.

Baru selesai dia mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba


menyambar lewat sekilas halilintar ditengah udara,
disusul suara guntur yang menggelegar membelah bumi.

Ditengah alam yang begitu tenang, mengapa secara


tiba-tiba muncul kilatan halilintar? Mengapa secara tibatiba
menggelegar suara guntur yang memekik telinga?

Langit mengalami perubahan secara tiba-tiba,


apakah dikarenakan umat manusia berhasil
membongkar rahasia alam? Apakah perubahan terjadi
karena alam menjadi gusar?

Sekali lagi halilintar membelah angkasa dan berakhir


ditengah hutan bwee, disusul suara guntur yang
menggelegar menyambar pepohonan tertinggi di hutan
itu.

Nyoo Cing sama sekali tidak bergerak, tapi sorot


matanya semakin berbinar, tiada luapan emosi atau
perasaan gembira yang melintas di wajahnya, yang ada
hanya perasaan tenang dan tenteram yang luar biasa.

Mendadak terdengar kakek pengasah pedang itu


bergumam, �Bodhi sesungguhnya tidak berpohon,
cermin sesungguhnya tidak berpegangan, dunia tiada
benda, debu pun segera sirna. Tiada aku, tiada
pikiran, tiada pedang, ada aku, ada pikiran namun
tiada pedang...�

Nyoo Cing hanya termenung sambil konsentrasi, dia


pasang telinga baik baik untuk mendengarkan setiap
perkataan yang diucapkan kakek pengasah pedang.

Terdengar kakek itu menghela napas panjang,


katanya lagi, �Bila Bodhi pun tidak berpohon, dalam
pikiran kita pun tidak berpedang, bila tidak berpedang
maka tiada tempat yang menakutkan lagi di dunia ini.�

�Benar,� mendadak Nyoo Cing menanggapi, �Cermin


memang tidak perlu pegangan, kalau dunia tidak ada
apa-apanya, darimana datangnya debu?�

Kemudian katanya lagi, �Ada aku tiada pikiran ada


pedang, tiada aku ada pikiran ada pula pedang, tiada
aku tiada pikiran namun pedang tetap ada.�

�Ada dimana?� tanya si kakek.

�Alam semesta amat luas tidak bertepian,


didalamnya terdapat aneka benda, tiada wujud, tiada
berbentuk, melayang di mana-mana.�
�Kenapa tidak berada dalam pikiranmu?�

�Kalau pikiran kita tidak terkendali oleh ketakutan,


apa gunanya sebilah pedang?�

�Kalau memang tiada rasa takut, buat apa ada alam


semesta? buat apa ada benda? Buat apa melayang
tanpa wujud?�

�Mana ada pedang di alam semesta? Buat apa dia


melayang tidak berwujud, pedang sebetulnya tidak ada
di alam semesta, tidak ada dimana-mana dan tidak
perlu melayang tanpa wujud.�

�Lalu berada di mana pedangmu?�


�Pedang berada ditanganku.�
�Berarti ditanganmu ada pedang?�
�Benar.�
�Kenapa tidak terlihat?�

�Kenapa harus terlihat?�

Sebuah jawaban yang mengandung arti sangat


mendalam, tapi kakek pengasah pedang itu seakan
mengerti maksudnya, maka diapun pejamkan matanya
sambil menghela napas panjang.

�Takdir!� gumamnya.
Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya mengawasi
kakek itu.

�Bila takdir menghendaki demikian, kau boleh


menerima dengan perasaan tenteram,� kata kakek
pengasah pedang sambil sekali lagi membuka matanya
mengawasi Nyoo Cing.

�Sekarang pergilah, kemana pun kau akan pergi,


perbuatan apa pun yang hendak kau lakukan, siapa
pun yang hendak kau hadapi, tidak nanti kau akan
gagal.�

Ucapan kakek itu seolah mengandung daya


pengaruh yang misterius, dia berdoa bagi kesuksesan
Nyoo Cing, diapun mengutuk terhadap musuh Nyoo
Cing.

Ti Cing-ling yang berada dalam ruang batunya,


berapa ratus li dari tempat itu seakan akan merasakan
juga firasat yang jelek, pada saat yang bersamaan
secara tiba-tiba dia merasa sangat gelisah dan tidak
tenang.
BAB 5.

Pedang ditangan, nasib di tangan.

Pohon bwee yang tersambar halilintar telah roboh,


api pun telah padam, bunga api yang memercik bagai
taburan bintang ikut lenyap dibalik kegelapan.

Alam semesta pulih kembali dalam keheningan yang


luar biasa.

Sinar tajam sudah lenyap dari mata kakek pengasah


pisau itu, kini yang tersisa hanya keletihan yang luar
biasa serta kemurungan yang amat kental.

Perlahan-lahan dia menyimpan kembali batu


asahannya, perlahan-lahan memasukkan kedalam
buntalan kemudian mengikatnya kuat-kuat.

.....Baru saja dia membebaskan sebuah tali simpul


yang membelenggu jagad, tapi sekarang dia telah
membuat tali simpul lain bagi dirinya sendiri, sebuah
simpul mati yang selamanya tidak mungkin bisa diurai.

Nyoo Cing hanya memandang, mengawasi semua


gerak-gerik yang dilakukan kakek itu, dia seakan sedang
menonton seorang ahli silat sedang mempraktekkan
jurus serangannya.

Tali simpul telah terbentuk, sudah saatnya kakek itu


untuk berlalu.
Kakek pengasah pisau telah bangkit berdiri, tapi
punggungnya serasa bungkuk, seolah terdapat beban
beribu kati beratnya yang menindih tubuhnya, membuat
dia tidak sanggup berdiri tegak.

.....Padahal setiap orang pasti sedang memikul


buntalan di punggungnya, setiap orang yang hidup
pasti memikul beban berat di pundaknya.

Siapa yang bisa bebas dari buntalan seperti ini?

Nyoo Cing mengawasi buntalan di punggung kakek


itu sekejap, mendadak dia bertanya, �Baik-baikkah
dia?�

�Pergilah, setiap persoalan pasti ada saatnya untuk


berakhir, dia pasti akan menanti kedatanganmu di
tempat yang kalian janjikan!�

Suara langkah makin lama semakin jauh dan akhirnya


lenyap dari pendengaran.

Manusia pada akhirnya harus pergi juga, sama seperti


kegelapan malam pada akhirnya pasti akan lewat juga.

Ketika malam sudah berlalu, pagi hari yang cerah pun


segera akan muncul, karena dia sudah berada tidak
jauh dari sana.
BAGIAN - 6.

Duel.

BAB 1.

Penantian di luar rumah batu.

Sebuah bukit tinggi, sebuah rumah batu, sebatang


pohon siong, sebuah sungai yang bening.

Walaupun diluar hujan turun dengan derasnya,


suasana didalam ruang batu amat kering dan bersih,
karena rumah batu itu tidak berjendela, hanya ada
sebuah pintu, pintu yang selalu dalam keadaan tertutup,
cahaya matahari selamanya tidak pernah menyorot
masuk, tentu saja hujan pun tidak pernah mampir disitu.

Kini, dalam ruangan batu itu hadir dua orang


manusia.

Yang seorang berpakaian putih bersih tidak berdebu,


dia mempunyai wajah yang bersih namun sikapnya
selalu dingin dengan bibir yang senyum tidak senyum,
dia bukan lain adalah Ti Cing-ling.

Masih seperti waktu waktu yang lewat, dia sedang


duduk bersila diatas permadani bulu domba nya yang
berwarna putih bersih.
Seorang yang lain sedang berdiri didepan meja batu,
berdiri saling berhadapan dengan Ti Cing-ling, wajahnya
yang sudah berkeriput tidak menampilkan perasaan
apapun, namun bibirnya menunjukkan sikap hatinya
yang teguh, ulet dan pantang mundur. Dia berdiri kokoh
bagaikan sebuah bukit karang.

Dengan sangat tenang dia berdiri disitu, memandang


ke arah Ti Cing-ling tanpa bergerak sedikitpun.

Ti Cing-ling pun sedang memandangnya,


memandang dengan sorot mata yang sangat aneh.

�Silahkan duduk.�

Dia tidak duduk tapi ujarnya tiba-tiba, �Jadi inilah


tempat tinggalmu sekarang?�

�Kau merasa tidak puas dengan tempat ini?� tanya Ti


Cing-ling.

Lama sekali orang itu termenung, tapi akhirnya


tertawa juga.

�Paling tidak tempat ini sangat kering.�

�Yaa, memang sangat kering, kujamin tidak akan kau


jumpai setetes air pun,� jawab Ti Cing-ling.

Kemudian lanjutnya dengan suara hambar,


�Ditempat ini tidak pernah ada teh, tidak ada air, belum
pernah ada yang melelehkan air mata di sini.�
Mendadak dia tertawa tergelak, tambahnya,
�Ditempat ini hanya ada arak, pelbagai jenis arak.�

�Bagaimana dengan darah?� orang itu bertanya,


�Pernahkah seseorang mengucurkan darah di tempat
ini?�

�Tidak pernah ada. Sekalipun ada orang ingin mati di


sini, sebelum dia mampu melangkah masuk ke tempat
ini, darah sudah berceceran diluar sana,� ujar Ti Cing-ling
sambil tertawa, �Bila aku tidak menghendaki dia masuk
kemari, mau hidup mau mati jangan harap dia bisa
melangkahkan kakinya di tempat ini.�

�Terus terang, walaupun hidup ditempat ini sangat tak


nyaman, tapi lumayan juga bisa mati ditempat ini,�
orang itu tertawa.

�Oya?�

�Tempat ini mirip sekali dengan kuburan.�

�Kalau kau memang menyukai tempat ini, tidak ada


salahnya akan kukubur dirimu di tempat ini.�

Dari balik mata Ti Cing-ling terlintas secerca senyuman


yang sadis, sambil menuding tanah dibawah alas
duduknya, kembali dia melanjutkan, �Biar kukubur
tubuhmu disini, dengan begitu setiap kali aku sedang
duduk ditempat ini maka akan terbayang olehku bahwa
si kait perpisahan Nyoo Cing berada dibawah kakku,
mungkin cara kerja ku juga akan semakin jernih dan
lancar.�
.....Rupanya orang yang berdiri dihadapan Ti Cing-ling
tidak lain adalah Nyoo Cing.

�Semakin jernih dan lancar?� Nyoo Cing


mengernyitkan dahinya.

�Sebab bila aku tidak selalu menjaga kejernihan


pikiranku, tidak selalu lancar dalam mengolah otak,
suatu ketika toch kakiku bakal diinjak orang,� ujar Ti Cingling
sambil menatap tajam ,lawannya, �Setiap kali
teringat akan dirimu, tentu saja aku selalu mengingatkan
diri sendiri agar bersikap lebih waspada.�

�Tapi bila saat berpikiran jernih terlalu panjang,


seringkah hal tersebut malah mendatangkan
penderitaan dan siksaan.�

�Aku tidak bakal tersiksa, tidak bakal menderita,


selamanya tidak pernah.�

�Itu disebabkan karena kau tidak pernah merasakan


apa yang dinamakan kegembiraan!� jengek Nyoo Cing
cepat.

Ujung mata Ti Cing-ling seakan sedikit bergetar, tapi


seakan juga tidak pernah bergerak.

Sebuah sungai kecil, dibawah sebatang pohon siong,


ada tiga manusia berdiri disitu.

Walaupun hujan dimusim dingin telah membasahi


seluruh pakaian yang dikenakan, namun tidak bisa
mengusir perasaan ngeri dan takut yang mencekam
perasaan mereka bertiga.

Tiga orang manusia, enam buah mata, hampir


semuanya tertuju ke pintu batu dihadapannya.

Pintu batu itu dalam keadaan tertutup, pintu batu


yang sangat tebal.

Pintu itu berada dalam keadaan tertutup, seakan


seluruh penghidupan yang ada di dunia ini sudah
dikurung dibalik pintu itu.

Apa yang tersisa dibalik pintu itu?

Apakah hanya kematian yang tersisa di balik pintu


batu itu?

Tapi siapa yang mati? Nyoo Cing? Atau Ti Cing-ling?

�Dulu, walaupun pertempuran mereka sempat


menggetarkan langit dan bumi, sayang tidak
seorangpun yang ikut menyaksikan,� ujar Cong Hui-miat,
�Sekarang, sekali lagi mereka melangsungkan
pertarungan yang mengerikan, tapi tetap sama seperti
dulu, tidak seorangpun dapat menyaksikan.�

Cong Hoa membiarkan air hujan membasahi


wajahnya, membasahi bibirnya, dalam keadaan seperti
ini diapun hanya merasakan ketidak berdayaan, yaa,
apa lagi yang bisa mereka lakukan kecuali menanti?
Pertarungan dimasa lalu, meski tidak sempat dia
saksikan sendiri namun sudah banyak yang didengar
dari pemberitaan orang lain.

Bahkan Nyoo Cing sendiripun pernah mengakui


bahwa ilmu silat yang dimiliki Ti Cing-ling memang jauh
lebih hebat dari kemampuannya, bahkan dia memiliki
banyak kesempatan untuk menghabisi nyawa sendiri,
yang lebih mengerikan lagi, dia bahkan bisa
membuatnya tidak berdaya untuk membela diri, apalagi
melancarkan serangan balasan.

Ti Cing-ling dengan sengaja melepaskan semua


kesempatan itu dengan begitu saja karena dia kelewat
sombong, dia selalu ingin membuktikan, benarkah dia
mampu menghindarkan diri dari kait perpisahan milik
Nyoo Cing yang amat tersohor itu.

Kali ini, tentu saja Ti Cing-ling tidak ingin melakukan


kesalahan yang sama, apalagi kait perpisahan sudah
tidak berada ditangan Nyoo Cing sementara golok
kelembutan masih berada ditangannya.

Kali ini dia bertekad akan menggunakan golok


kelembutan untuk menghadapi Nyoo Cing.

Dengan tenang Nyoo Cing mengawasi wajah Ti


Cing-ling, setelah itu ujarnya, �Mungkin saja ada
sementara orang hidup dalam penderitaan dan siksaan,
tapi masih ada orang lain yang penghidupannya jauh
lebih mengenaskan ketimbang mereka, sebab mereka
hidup tanpa mengetahui karena apa mereka hidup dan
mau apa mereka hidup, mereka kehilangan arah,
mereka tidak tahu apa tujuannya mempertahankan
hidup.�

�Bagiku, mungkin masalah tersebut tidak penting,


mungkin aku memang tidak ingin mengetahuinya.�

�Kau tidak ingin mengetahuinya?�

�Tidak, sama sekali tidak ingin!� tiba-tiba Ti Cing-ling


tertawa kembali, �Karena aku tahu, hari ini kau pasti
akan mampus.�

Dia tertawa sangat gembira, bahkan ujung alis


matapun seolah turut tertawa, lanjutnya, �Sebab bukan
saja kau sudah tidak memiliki kait perpisahan, bahkan
secuwil senjata pun tidak kau bawa, sementara aku?
Bukan saja golok kelembutan masih berada ditanganku,
kait perpisahan pun berada ditanganku.�

Diantara kilauan cahaya biru, tahu-tahu dalam


genggaman tangan kanan Ti Cing-ling telah bertambah
dengan sebilah golok pendek yang amat tipis.

Menyusul kemudian sekali lagi terlihat cahaya


berkilauan, ditangan kirinya telah bertambah pula
dengan sebilah senjata kaitan yang aneh bentuknya,
kait perpisahan.

Dengan tenang Nyoo Cing memandang, bukan


golok kelembutan yang dipandang, bukan pula kait
perpisahan, dia justru sedang memandang sorot mata Ti
Cing-ling yang terbesit senyuman sadis.
Hujan turun makin lama semakin deras, hawa dingin
yang merasuk bagai sayatan golok semakin menembusi
tulang belulang.

Ketiga orang itu diluar pintu rumah masih menunggu,


mereka memang hanya bisa menunggu.

Tidak seorangpun sanggup membuka pintu batu


tebal yang berada dihadapan mereka, kecuali pintu itu
dibuka dari sebelah dalam.

Tapi siapa yang akan membuka pintu itu?

Ti Cing-ling? Atau Nyoo Cing?

Atau bahkan selamanya pintu itu tidak pernah akan


terbuka kembali?

Cong Hoa sudah terbungkuk-bungkuk, dia nyaris


memuntahkan seluruh isi perutnya, penantian yang
mendebarkan membuatnya nyaris runtuh, nyaris ambruk
karena tidak kuasa menahan diri.

Yang lebih mengenaskan lagi adalah gadis itu sama


sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya dia nantikan?

Siapakah orang yang berada dalam ruang batu itu?


Sanak keluarganya? Sahabatnya? Atau kekasihnya?

Mungkin saja yang dia nantikan hanya sebuah


kematian.

Terbayang kembali kelicikan dan kebusukan hati Ti


Cing-ling, terbayang pula golok kelembutan beserta
kehebatan ilmu silatnya, Cong Hoa sama sekali tidak
tahu sebenarnya Nyoo Cing masih punya peluang
berapa persen untuk bisa keluar dari ruangan itu dalam
keadaan selamat.

�Jika Ti Cing-ling tahu kalau kita masih menunggu di


tempat ini, dia pasti senangnya setengah mati!� tibatiba
Tay Thian berkata.

�Kalau begitu biarkan saja dia bersenang hati!� kata


Cong Hoa sambil menggertak gigi, �Di dunia ini hanya
orang baik yang selalu hidup menderita, sementara
yang senang, yang gembira selalu orang berhati busuk.�

�Kau keliru.�

Tiba-tiba terdengar suara orang ke empat


berkumandang memecahkan keheningan.

Pintu batu yang tebal itu meski beratnya bukan


kepalang, namun ketika dibuka, sama sekali tidak
kedengaran sedikit suara pun.

Entah sedari kapan pintu batu itu sudah terbuka lebar.

Dari balik pintu perlahan-lahan berjalan keluar


seseorang, dia adalah Nyoo Cing.

Walaupun wajahnya tampak sangat letih, namun dia


masih dalam keadaan hidup.

.....Tetap hidup merupakan hal yang paling penting


dibandingkan lainnya.
Cong Hoa, Tay Thian, Cong Hui-miat serentak
berpaling, ketika menyaksikan Nyoo Cing berjalan keluar
dari balik pintu, air mata perlahan-lahan meleleh keluar
membasahi wajah mereka bertiga.

Tentu saja air mata itu air mata kegirangan.

Disaat orang gembira sebetulnya keadaan itu tidak


berbeda dengan disaat orang bersedih hati, sebab
kecuali lelehan air mata, tidak sepotong perkataan pun
bisa diucapkan, tidak sebuah perbuatan pun bisa
dilakukan, bahkan terkadang untuk bergerak pun susah
rasanya.

Sekilas terlihat sepasang mata Nyoo Cing pun seolah


berkaca kaca, namun senyuman masih menghiasi ujung
bibirnya.

�Kau keliru, orang baik di dunia ini selamanya tidak


pernah akan menderita,� ujarnya perlahan, �Sebab saat
gembira bagi orang jahat selalu lebih sedikit
dibandingkan saat-saat mereka menderita.�

Tiba-tiba Cong Hoa buang muka ke arah lain, kini dia


sudah tidak mampu menahan diri lagi, air mata sudah
mengalir keluar bagaikan bendungan yang runtuh.

Inilah air mata kegembiraan!

Lewat lama kemudian dia baru menghembuskan


napas panjang sambil berpaling, ditatapnya wajah
Nyoo Cing.
�Mana Ti Cing-ling?� dia bertanya.

�Aku yakin dia sangat menderita,� sahut Nyoo Cing


hambar, �Sebab bagaimana pun juga dia kembali
melakukan satu kesalahan yang fatal.�

�Melakukan kesalahan yang fatal?�

�Kali ini, sebetulnya dia memiliki banyak kesempatan


emas untuk membunuhku, bahkan dia sanggup
membuatku mampus tanpa sempat melakukan
perlawanan, tapi semua kesempatan emas itu sudah dia
lewatkan dengan begitu saja.�

..... Manusia semacam Ti Cing-ling, bagaimana


mungkin bisa melakukan kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya?

�Kenapa begitu?� tanya Cong Hoa tanpa terasa.

Pertanyaan inipun ingin diajukan oleh Tay thian


maupun Cong Hui-miat.

�Sebab dia ingin bertaruh lagi didalam hati,� kata


Nyoo Cing tertawa.

�Bertaruh? Apa yang dipertaruhkan?�

�Apakah kali ini dia ingin bertaruh, mampukah kau


membunuhnya dengan tangan kosong?�

�Bukan, kali ini yang dia pertaruhkan adalah pedang


yang ada ditanganku.�
�Pedang yang ada ditanganmu? Kau memiliki
pedang itu?� tanya Cong Hoa.

�Betul!� kembali Nyoo Cing tertawa,

�Ditanganku terdapat pedang ketiga!�

�Pedang ketiga?� tanya Tay Thian pula, �Apakah


pedang amarah yang tersiar dalam dunia persilatan
itu?�

�Benar,� Nyoo Cing mengangguk.

Cong Hoa segera menengok ke tangan Nyoo Cing,


tapi tangan itu kosong.
�Tanpa pedang?� berbinar sepasang mata Cong

�Tapi aku tidak melihat pedang milikmu itu!� serunya


kemudian.

�Sebenarnya memang tanpa pedang.�


Hoa, dia pun tertawa, diapun segera mengerti apa yang
dimaksud.

�Jadi dia mempertaruhkan pedang ditanganmu itu?�


tanyanya lagi.

�Benar.�

�Tentu saja hasilnya dia yang kalah!�

�Tidak, dia menang!�

�Dia yang menang?� Cong Hoa melengak.


�Benar, dia yang menang!� sekali lagi Nyoo Cing
menandaskan.

�Ditanganmu jelas tidak berpedang, bagaimana


mungkin dia yang menang?�

�Siapa bilang ditanganku tidak berpedang? Pedang


itu memang selalu berada ditanganku,� sekali lagi Nyoo
Cing tertawa.

Kali ini senyuman Cong Hoa makin riang, sebab dia


sudah mengerti.

�Benar, ditanganmu memang selamanya terdapat


pedang, maka dialah yang menang, tapi dia juga yang
kalah!� serunya.

�Yaa, dia sudah kalah!�

Menang kalah memang selalu terjadi dalam sekejap


mata.

Walaupun hanya sekejap, namun bisa dibayangkan


betapa tegang, betapa merangsangnya situasi waktu
itu.

Cong Hoa hanya menyesal mengapa tidak punya


kesempatan untuk menyaksikan �Romantika nya sebilah
pedang,� dia menyesal mengapa tidak sempat
menyaksikan kejadian yang sesaat itu.

Sekalipun tidak dapat menyaksikan dengan mata


kepala sendiri, namun setiap kali membayangkan
adegan tersebut, dia selalu merasa napas sendiri jadi
sesak.

BAB 2

Romantika sebilah pedang.

Pintu sudah terbuka.

Tidak seorang manusia pun yang bisa mengurung diri


untuk selamanya didalam lingkungan yang sempit, tidak
mungkin dia bisa memutuskan hubungan dengan dunia
luar.

Tay Thian sudah melangkah masuk ke dalam ruang


batu itu.

Pemandangan pertama yang ditangkap oleh


matanya adalah sebilah golok yang tipis, tipis sekali,
sebilah golok pembunuh.

Golok Kelembutan!

Golok itu masih tergenggam ditangan Ti Cing-ling,


mata golok mengarah ke depan pintu.

Tubuh golok pun masih memancarkan cahaya kebiru


biruan, cahaya yang mendatangkan perasaan bergidik.

Golok adalah tetap golok.


Biar ditangan manusia hidup atau pun ditangan
orang mati, golok tetap adalah golok.

Kematian pun tetap merupakan kematian.

Kematian seorang enghiong tetap mati, kematian


orang miskin pun tentu saja tetap mati.

Kehidupan sesungguhnya adalah sama rata, apalagi


bila kematian sudah menjelang tiba, setiap orang
mempunyai taraf yang tidak berbeda.

Tapi sayang, ada sementara orang justru tidak mau


mengerti akan hal ini, justru mereka baru mau mengerti
ketika saat ajal sudah hampir merenggutnya.

Paras muka Ti Cing-ling penuh dicekam perasaan


kaget, ngeri, ragu dan tidak percaya.

Apa yang membuatnya tidak percaya?

Apa tidak percaya kalau ditangan Nyoo Cing benarbenar


terdapat sebilah pedang?

Apa tidak percaya kalau pedang itu benar-benar


mampu membunuhnya?

Ketika ajal merenggut nyawa tokoh luar biasa ini,


keadaannya tidak jauh berbeda dengan keadaan yang
dialami orang-orang yang dipandang rendah, orang-
orang yang dipandang hina olehnya, sama-sama
gugup, sama-sama ngeri dan sama-sama merasa
seram.
Luka mematikan berada di tenggorokan Ti Cing-ling,
sebuah luka pedang.

Luka itu sempit tapi sangat dalam, persis seperti bekas


luka yang ditinggalkan Tionggoan It-tiam-hong (setitik
merah dari daratan tiongoan).

Tay Thian benar-benar sukar untuk percaya dengan


kenyataan itu, bahkan dia tidak habis mengerti
bagaimana tusukan pedang itu bisa merenggut
nyawanya.

Benarkah di dunia ini terdapat pedang ketiga?

Tangan kiri Ti Cing-ling menggenggam kencang,


seakan-akan dia ingin mencengkeram sesuatu,
mungkinkah dia masih enggan menyerah kalah?

Sayangnya, sekarang dia sudah tidak mampu


mencengkeram apa pun, tidak sanggup memegang
apa pun.

Mendadak Tay Thian merasa amat letih, tiba-tiba


timbul perasaan simpatiknya terhadap �orang yang
dikalahkan� itu.

Mengapa bisa begitu? Bahkan dia sendiripun tidak


tahu kenapa.

Mungkin bukan Ti Cing-ling yang membuatnya


simpatik, mungkin dia sedang merasa simpatik terhadap
diri sendiri.
Sebab dia manusia, Ti Cing-ling pun manusia. Semua
manusia mempunyai perasaan sedih yang sama,
penderitaan yang sama.

Biarpun dalam perjalanan hidupnya Tay Thian belum


pernah kalah, tapi apa pula yang berhasil dia peroleh
selama ini? Apa yang berhasil diraihnya?

Hujan masih turun sangat deras, orang-orang itu masih


berdiri di bawah pohon siong.

Empat manusia, semuanya kehujanan hingga basah


kuyup, walaupun dihadapan mereka terdapat sebuah
rumah batu yang bisa digunakan untuk berteduh, tapi
mereka lebih suka berdiri kehujanan diluar ketimbang
menunggu di situ.

Hal ini bukan disebabkan dalam ruangan terdapat


sesosok mayat, tapi mereka ingin menggunakan air
hujan itu untuk membersihkan semua debu dan kotoran
yang menempel ditubuh mereka.

...... Kotoran ditubuh bisa dicuci sampai bersih,


bagaimana pula dengan kotoran yang menempel
dalam pikiran?

Sebagai manusia, mengapa yang diperhatikan selalu


penampilan? Mengapa mereka lupa atau
mengabaikan kebersihan didalam?

�Ketika seseorang berhasil meraih sebuah


kemenangan, biasanya dia akan merasa amat letih,
amat kesepian,� tiba-tiba Cong Hoa berkata sambil
tertawa.

�Kenapa?� tanya Nyoo Cing. �Karena kau telah


meraih kemenangan mutlak, karena kau telah sukses
besar, sudah tidak ada persoalan lain yang membuatmu
harus berjuang lagi.�

�Berarti kemenangan itu tidak enak?�

�Meski membuat perasaan tidak enak, paling tidak


jauh lebih nyaman dari pada merasakan kekalahan,�
timbrung Cong Hui-miat.

Tiba-tiba Nyoo Cing terbungkam, walaupun dia masih


berada ditempat itu, namun pikiran dan perasaannya
sudah berpindah entah ke mana.

...... Dia seakan menyaksikan ada seseorang sedang


menunggunya ditepi sungai, diantara pepohonan....

Kemenangan dan kesuksesan belum tentu


mendatangkan kepuasan bagimu, belum tentu
mendatangkan kegembiraan bagimu.

Kegembiraan yang sesungguhnya justru terletak


disaat kau memperjuangkannya, berjuang untuk maju,
berjuang untuk berhasil.

Nyoo Cing masih termenung, sorot matanya seakan


sedang memandang ke suatu tempat di kejauhan sana.
.....Di situ dia seakan menyaksikan sesosok bayangan
ramping sedang menantikan kedatangannya.

Tay Thian memandang rekannya sekejap, mendadak


sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya.

�Aku harus pergi dari sini,� setelah lama termenung


akhirnya Nyoo Cing berbisik.

Pergi? Mau pergi ke mana?

�Kau akan pergi?� tanya Cong Hoa, �Kenapa harus


pergi?�

�Sebab dia harus pergi!� tiba-tiba Tay Thian


mewakilinya untuk menjawab, �Walaupun Ti Cing-ling
sudah mati namun perkumpulan Cing-liong Hwee belum
runtuh, paling tidak pemeran utama yang diutus
Perkumpulan Cing-liong-hwee dalam menangani kasus
ini belum....belum dikalahkan.�

Sebenarnya dia ingin menyebut kata �mati�, namun


setelah memandang Nyoo Cing sekejap, tiba-tiba kata
mati diubahnya menjadi kata kalah.

Mungkinkah pemeran utama dari perkumpulan Cingliong-


hwee mempunyai sesuatu hubungan khusus
dengan Nyoo Cing? Sebenarnya siapakah �dia� (laki)
atau �dia� (wanita)?

Tampaknya Tay Thian sudah mengetahui siapakah


orang itu, karenanya perasaan sedih melintas
diwajahnya, namun sekali lagi, dia hanya bisa
memandang dengan ketidak berdayaan.

�Bagaimana pun juga manusia akhirnya harus pergi,


persoalan pun akhirnya akan beres,� Nyoo Cing tertawa
getir, �Sepahit apa pun, segetir apa pun, kenyataan
tetap harus kita hadapi!�

�Betul, hanya manusia bangsa kurcaci yang berusaha


kabur dari kenyataan,� Tay Thian menimpali.

Nyoo Cing mendongakkan kepalanya, mengawasi


hujan yang masih turun dengan derasnya.

Sampai lama kemudian dia baru menghembuskan


napas panjang, perlahan-lahan sorot matanya dialihkan
kembali ke wajah Tay thian.

Tay thian pun balas menatap Nyoo Cing, begitulah,


kedua orang itu hanya saling bertatapan muka tanpa
bicara.

Lama kemudian akhirnya Tay Thian baru menghela


napas panjang, perlahan-lahan dia pejamkan matanya
sambil berbisik, �Aku pasti bisa!�

Mendengar perkataan itu Nyoo Cing baru


menghembuskan napas lega. Kemudian dia pun
berjalan menembusi hujan yang deras, berjalan menuju
ke depan sana.
Ketika meninggalkan tempat itu dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun, bahkan memandang
Cong Hoa sekejap pun tidak.

Dia pergi dengan begitu saja.

Sebenarnya Cong Hoa ingin memanggilnya, tapi


segera dicegah Tay Thian.

�Dia bersikeras akan pergi, maka biarlah dia pergi!


Kalau tidak, selama hidup dia akan tersiksa di sini.�

Mengawasi bayangan tubuhnya yang semakin


menjauh, tiba-tiba Cong Hoa ikut menghela napas.

�Sekalipun dia sudah pergi, memangnya semua


penderitaan dan siksaan bisa dia tinggalkan disini?�
gumamnya.

Tampaknya Cong Hoa pun tahu kemana Nyoo Cing


akan pergi, dan siapa yang akan dijumpai.

Sesungguhnya hanya orang itu yang bisa mengusir


semua penderitaan dan siksaan batinnya, dan hanya

orang itu yang bisa memaksanya harus pergi dari situ.

Tapi siapakah orang itu?

Dia (laki)? Atau dia (wanita)?

Kalau dia (laki), siapakah dia?

Kalau dia (wanita), siapa pula dia?


�Dia� yang akan dijumpai Nyoo Cing, apakah akan
menanti kedatangannya?

Kepergiannya kali ini akan membuatnya tetap hidup?


Atau mati?

Tidak seorang pun yang tahu.

Tapi hal ini memang tidak penting lagi karena paling


tidak dia pernah datang, pernah hidup dan pernah
mencintai. Asal pernah datang dalam hidupnya, pernah
hidup mendampinginya, pernah mencintai dirinya, itu
sudah lebih dari cukup.

Dan dia sudah seharusnya merasa puas!


TAMAT

Anda mungkin juga menyukai