Anda di halaman 1dari 18

MENILIK KEADILAN PADA KASUS NENEK MINAH PENCURI 3 BUAH KAKAO

TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM


Oleh: TRI AGUSTINA RAHAYU PROGRAM MAGISTER HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA 2013

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .................................................................................................... 1 DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3 1.1 LATAR BELAKANG MASALAHAAN ................................................... 3 1.2 RUMUSAN PERMASALAHAAN ............................................................ 4 1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................................. 4 1.4 SISTEMATIKA PENULISAN ................................................................... 4 BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................. 6 2.1 TEORI KEADILAN ARISTOTELES ........................................................ 6 2.2 TEORI KEADILAN JOHN RAWLS ......................................................... 7 2.3 TEORI KEADILAN HANS KELSEN ....................................................... 8 2.4 TEORI KEADILAN PLATO ..................................................................... 8 BAB III PEMBAHASAN MASALAH .................................................................. 11 BAB IV PENUTUP ................................................................................................ 16 4.1 KESIMPULAN ......................................................................................... 16 4.2 SARAN ..................................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG MASALAH Setiap manusia pasti menginginkan keadilan di dalam kehidupannya, baik secara ekonomi, sosial maupun hukum. Namun keadilan sendiri juga mengalami perdebatan. Perdebatan tentang keadilan seakan tidak kunjung berakhir. Perdebatan ini sudah dimulai sejak zaman yunani kuno bahkan sampai sekarang. Belum ada kesamaan perumusan dari para pakar tentang keadilan. Sehingga keadilan itu dianggap relative. Adil menurut seorang belum tentu adil menurut orang lain. Perdebatan yang sama terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini banyak kasus hukum yang mengganggu rasa keadilan masyarakat. Kasus Nenek Minah yang dituduk mencuri 2 buah kakao, kasus pencurian semangka, kasus seorang buruh pabrik yang dituduh mencuri sandal jepit, kasus seorang anak yang mencuri pulsa. Kasus-kasus ini dianggap sangat merugikan atau merusak rasa keadilan dalam masyarakat Indonesia. Perilaku aparat penegak hukum yang membawa kasus nenek minah yang miskin ke meja hijau menyulut kemarahan publik. Publik pantas marah mengingat banyak koruptor yang mencuri uang rakyat tapi dibiarkan berkeliaran bebas. Di sinilah letak keadilan masyarakat. Keadilan menurut masyarakat ini sangat subtantif. Namun bagi orang yang berpahan procedural dan positifil, tuntutan masyarakat ini tidak adil. Kalau orang terbukti mencuri harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Apabila ini yang terjadi, maka inilah yang oleh kaum posistivis sebagai keadilan. Akan tetapi, bukankah keadilan yang subtantif ini yang lebih penting?. Tujuan hukum adalah agar terciptanya keadilan dalam masyarakat. Keadilan itu sendiri harus memenuhi dua syarat yaitu asas kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dalam makalah ini, penulis tertarik untuk menganalisis sisi keadilan dari kisah Nenek minah. 1.2. RUMUSAN PERMASALAHAN Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai keadilan dalam kasus Nenek Minah pencuri 3 buah kakao. Bagaimana keadilan kasus Nenek Minah jika dilihat dari sisi tujuan hukum (keadikan), dilihat dari sisi hakim sekaligus pengambil keputusan, dan terakhir dilihat dari sisi moralitas. 1.3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Makalah ini memiliki manfaat untuk dapat dijadikan referensi ilmiah mengenai teori keadilan menurut para ahli. Tujuan makalah ini sendiri adalah untuk melihat sisi keadilan dibalik kasus Nenek Minah pencuri 3 buah kakao. 1.4. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, rumusan permasalahan, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi data hasil tinjauan kepustakaan dan literatur yang terkait teori keadilan antara lain teori keadilan menurut Aristoteles, John Rawls, Hans Kelsen, dan Pluto serta asas dari keadilan itu sendiri. BAB III PEMBAHASAN MASALAH Bab ini berisi pembahasan kasus Nenek Minah pencuri 3 buah kakao dan menganalisis sisi keadilan dari kasus tersebut. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah dilakukan sehingga diharapkan hasil pembahasan dapat

memberikan saran bagi kasus-kasus serupa yang ada di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Banyak sekali pendapat dari para ahli tentang teori keadilan. Namun dalam bab ini, penulis hanya akan menjabarkan mengenai teori keadilan menurut Aristoteles, John Rawls, Plato dan Hans Kelsen. 2.1. TEORI KEADILAN ARISTOTELES Berdasarkan filsafat hukumnya, Aristoteles berpendapat bahwa Hukum hanya dapat ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Aristoteles berpendapat bahwa keadilan harus dipahami dalam pengertian kesamaan. Kesamaan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kesamaan numerik Kesamaan ini mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan ini juga dianut oleh Negara Indonesia yaitu terdapat dalam pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2. Kesamaan proporsional Kesamaan ini memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Keadilan distributif Keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut prestasinya. 2. Keadilan komutatif Keadilan yang memberikan sama banyaknya tanpa membedakan prestasinya. Keadilan ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Contoh dari keadilan ini adalah sistem barter yang diterapkan pada jaman dulu.

2.2.

TEORI KEADILAN JOHN RAWLS John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan sebuah aturan sehingga menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi jika dua syarat dipenuhi, yaitu: 1. Situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. 2. Ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. John Rawls juga mengemukakan bahwa penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: 1. Memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. 2. Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Setiap keadilan pasti ada tujuannya. John Rawls mendeskripsikan bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal:

1. Melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. 2. Setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah. 2.3. TEORI KEADILAN HANS KELSEN Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya. Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilainilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan keadilan yang bersifat subyektif. 2.4. TEORI KEADILAN PLATO Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu: 1. Pemilihan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia. 2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.

Tugas untuk mewujudkan keadilan masyarakat adalah tugas Negara. Keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan Negara. Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara seharusnya manusia super yaitu the king of philosopher. Dari pendapat para ahli diatas dapat diambil benang merah bahwa keadilan itu bersifat relatif. Dalam hal ini, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa yang artinya manusia tidak akan bisa memberikan keadilan bagi semua orang karena adil menurut sebagian orang belum tentu adil bagi sebagian orang lainnya. Namun Aristoteles, John Rawls, Hans Kelsen, dan Plato sependapat bahwa keadilan harus ditegakan untuk memenuhi kebahagiaan didalamnya. Keadilan erat kaitannya dengan keuntungan dimana keuntungan itu sendiri erat kaitannya dengan manfaat ekonomis, mengacu pada prinsip the difference principle oleh John Rawls yaitu keadilan harus memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Prinsip the difference principle ini juga berkaitan dengan keadilan substantif yaitu keadilan yang melihat kepada rasa keadilan masyarakat. Dalam perkembangan hukum Indonesian, hakim seharusnya tidak sepenuhnya berpegangan pada keadilan prosedural yang melihat keadilan menurut pasal dalam Undang-undang melainkan juga harus melihat keadilan secara substantif karena keadilan itu sendiri dapat terjadi jika memenuhi dua syarat yaitu kepastian hukum yang terdapat dalam keadilan prosedural dan kemanfaatan yang terdapat dalam keadilan substantif. Azas kemanfaatan dalam suatu keadilan dapat melihat pendapat J. Bentham yaitu By utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness, (all this in the present case comes to the same thing) or (what comes again to the same thing) to prevent the happening of mischief, pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is considered: if that party be the community in general, then the happiness of the community: if a particular individual, then the happiness of that individual yang berarti Utilitas berarti apapun yang ada pada sebuah object, di maksudkan untuk

menghasilkan manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan, dan kebahagiaan, serta untuk mencegah terjadinya ketidakmanfaatan, kerugian, kejahatan, dan kerugian secara komunitas/masyarakat ataupun perseorangan. Jadi, keadilan dalam hukum bukan hanya untuk menegakan hukum itu sendiri atau untuk mencari kepastian hukum melainkan juga harus memperhatikan azas kemanfaatan yaitu keadilan yang memberikan manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan, dan kebahagiaan, serta untuk mencegah terjadinya ketidakmanfaatan, kerugian, kejahatan, dan kerugian secara komunitas/masyarakat ataupun perseorangan.

10

BAB III PEMBAHASAN MASALAH

Pada tahun 2009 ada kasus yang cukup menarik perhatian masyarakat yaitu kasus pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang dilakukan oleh Nenek Minah yang berusia 55 tahun. Kejadian ini bermula Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Muslih Bambang Luqmono SH menjatuhi hukuman 1 bulan 15 hari penjara untuk kasus Minah tersebut. Muslih selaku pimpinan majelis hakim pun merasa agak ragu terhadap putusan yang diambil dan dia merasa bahwa kasus ini sudah melukai banyak orang. Dari kasus ini, penulis melakukan analisis dengan melihat kasus tersebut dari sisi keadilan, penulis membagi menjadi tiga, yaitu: 1. Dilihat dari tujuan hukum itu sendiri Hukum itu bukan hanya dilihat dari pasal per pasal, namun juga harus dipahami tujuan dari hukum itu sendiri. Salah satu tujuan hukum adalah menegakan keadilan. Keadilan dapat terjadi jika memenuhi dua syarat yaitu

11

kepastian hukum dan kesebandingan/ kemanfaatan. Berdasarkan tinjauan yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.

247/PID.B/2009/PN.PWT terhadap kasus Nenek Minah, putusan tersebut diambil berdasarkan 3 norma: a. Normatif Secara normatif, terdakwa secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 362 KUHP yaitu melakukan tindak pidana pencurian berupa 3 buah kakao yang nilainya secara relatif sangat kecil. b. Sosiologis Secara sosiologis, terdakwa sudah lanjut usia dan termasuk orang miskin. Terdakwa mengambil 3 buah kakao dengan maksud untuk dijadikan benih untuk ditanam. Selain itu terdakwah kooperatif dalam persidangan dan menghadiri persidangan berkali-kali dari awal hingga akhir c. Filosofis Secara filosofis, tidak tepat seumuran terdakwa harus menjalani pidana penjara di lembaga permasyarakatan dan secara kerugiannya tidak sebanding dengan kerugian atas perbuatannya. Dari putusan tersebut, majelis hakim telah mengambil putusan yang cukup bijak baik bagi terdakwa maupun pelapor. Namun membawa kasus Nenek Minah ke proses hukum dan penjatuhan sanksi seperti putusan pengadilan sangat tidak adil. Seperti diketahui, Nenek minah diproses hukum layaknya seorang penjahat kelas berat, seperti koruptor, pengedar narkoba, dll. Secara leterlek, Nenek minah memang terbukti melakukan pencurian. Apabila melakukan pencurian ya tentu dihukum. Namun, ada pertimbangan keadilan di sini. Usia lansia, kondisi ekonomi (lihat teori-teori diatas), dan jumlah kerugian akibat perbuatan Nenek minah. Penyidik dan Jaksa Penentun Umum (PU) dalam kasus ini menerapkan UU secara kaku. Pasal 364 KUHP memberikan batasan mengenai tindak pidana ringan apabila barang yang dicuri nilainya tidak lebih dari Rp 250. Kalau melihat angka rupiah dalam pasal ini, pencurian yang dilakukan Nenek minah memang tidak termasuk

12

dalam pencurian ringan, sehingga dikenakan Pasal Pencurian dalam Pasal 362 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun. Dengan pasal kaku ini, penyidik dan PU memproses kasus Nenek Minah di depan majelis hakim. Sekali lagi, ini tidak adil dan aparat penegak hukum sangat kaku dan positivis. Angka Rp 250 sudah disesuaikan oleh pemerintah melalui Peraturan perundang-undangan Nomor 16 dan Nomor 18 Tahun 1960. Kedua perpu tersebut (yang kemudian disahkan menjadi UU) mewajibkan aparat penegak hukum menyesuaikan kembali jumlah-jumlah uang yang ada dalam KUHP dengan nilai mata uang sesuai dengan perkembangan zaman, baik karena inflasi, deflasi, atau karena hal lain. Apabila disesuaikan dengan nilai yang sekarang, maka seharusnya kasus Nenek minah ini termasuk tindak pidana ringan. Untuk kasus tindak pidana ringan ini KUHAP menyediakan hukum acara yang berbeda yang sederhana dan cepat yang menguntungkan negara dan pelaku. Hal ini diatur dalam Bab XVI bagian keenam Paragraf kesatu KUHAP, pasal 205 sampai dengan pasal 2010. Dengan acara cepat tersebut sidang dapat dilakukan tanpa JPU, persidangan dilakukan dengan hakim tunggal, dan putusan tidak harus dibuat cukup dicatatkan dalam data perkara. Inti ketidakadilan dalam konteks ini, kasus Nenek minah tidak diproses secara cepat, tetapi malah diproses secara biasa layaknya mengadili penjahat kelas berat seperti koruptor, pengedar narkoba, dan pembunuh. Hal inilah yang dimaksudkan kesamaan yang proporsional menurut Aristoteles. Menurut Aristoteles, setiap orang harus diberi apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Proses hukum terhadap kasus Nenek Minah harus diterapkan secara proporsional. Nenek Minak tidak bisa disamakan dengan para koruptor, pengedar narkoba, dan penjahat lainnya. Kasus nenek minah seharusnya ditangani dengan cara cepat seperti yang dijelaskan dalam makalah ini.

13

2. Dilihat dari sisi hakim sebagai pengambil keputusan Dalam kasus tersebut sebenarnya majelis hakim agak ragu dengan putusan yang diberikan kepada Nenek Minah. Untuk menghilangkan keraguraguannya, hakim dapat berpegangan pada dua hal yaitu: a. Azas In Dubio Pro Reo yaitu azas yang menyatakan apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa. b. Restorative justice merupakan langkah hukum progresif yang dilakukan aparat hukum khususnya hakim dalam rangka menyeimbangkan penerapan undang-undang (kepastian hukum) dengan kepentingan masyarakat (keadilan dan kemanfaatan) dan bukan untuk menghukum masyarakat. 3. Dilihat dari sisis moral Dari kasus ini, tidak salah jika kita berpendapat bahwa Negara ini adalah Negara yang berorientasi pada uang dan kekuasaan dimana sesorang yang memiliki uang atau kekuasaan dapat mendapatkan previllage dalam hukum. Mari kita lihat kasus yang belakangan ini terjadi yaitu kasus Rasyid Rajasa. Dalam kasus tersebut hakim, korban, dan terdakwa memilih menggunakan Restorative justice atau menggunakan cara damai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mengapa dalam kasus Nenek Minah, sang korban dan hakim tidak mau menggunakan Restorative justice? Apakah karena Restorative justice hanya untuk orang-orang yang mempunyai uang/ kekuasaan? Dalam hal ini, penulis menyerahkan pendapat kepada para pembaca. Dilihat dari sisi moralnya juga, seharusnya Nenek Minah yang berumur 55 tahun tidak perlu menempuh jarak sejauh 30 km untuk sampai ke tempat sidang jika permasalahan ini dapat diselesaikan secara damai/ Restorative justice. Dalam agama islam, ada cerita yang cukup terkenal dan cerita ini juga berkaitan dengan restorative justice yaitu cerita Khalifah Umar bin Khattab. Dahulu Khalifah Umar bin Khattab mengadili pencuri yang akan dipotong

14

tangannya, lalu beliau bertanya, 'Kenapa Anda mencuri?' Si pencuri beralasan karena untuk makan. Lalu, Umar membebaskan si pencuri itu. Bahkan, si pencuri dibekali sesuatu agar dia tetap bisa makan. Dalam masa kekhalifahan Umar mungkin belum ada Restorative justice, namun dengan menggunakan hati nurani dan logika Khalifah Umar bin Khattab mengambil keputusan ini. Perbuatan Khalifah Umar bin Khattab dapat menjadi contoh bagi penegak hukum di Indonesia untuk mengambil suatu putusan dan juga tentu dengan melihat peraturan-peraturan yang berlaku. Dari kasus ini akan menambah rasa kepercayaan masyarakat bahwa keadilan bukan milik rakyat kecil melainkan orang-orang besar yang memiliki harta dan kekuasaan. Paradigm ini akan membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap penegakan hukum yang ada Indonesia.

15

BAB IV PENUTUP

4.1.

Kesimpulan Putusan dalam kasus Nenek Minah dirasa sudah memenuhi asas kepastian hukum dan kemanfaatan, karena walau nenek minah dihukum selama 1 bulan 15 hari namun Nenek Minah tidak perlu dipenjara. Namun tetap saja ada solusi yang terbaik bagi kasus ini yaitu dengan menerapkan restorative justice yaitu penyelesaian secara damai tanpa harus pergi ke meja hijau. Selain itu hukuman yang diberikan oleh Nenek Minah tidak memenuhi asas kemanfaatan seperti yang diungkapkan J. Bentham yaitu By utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness, (all this in the present case comes to the same thing) or (what comes again to the same thing) to prevent the happening of mischief, pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is considered: if that party be the community in general, then the happiness of the community: if a particular individual, then the happiness of that individual. Prinsip ini dapat dijadikan pedoman bagi majelis hakim bahwa untuk menciptakan keadilan melalui hukum harus memenuhi asas kemanfaatan ini pula, sehingga keadilan dapat tercipta terutama untuk orang yang kurang beruntung seperti Nenek Minah.

4.2.

Saran Hakim sebagai penentu hukum dalam suatu pengambilan haruslah bersikap bijak agar tidak luput dari hak-hak para korban maupun tersangka. Semakin berkembangnya hukum Indonesia, seharusnya hakim tidak hanya melihat keadilan sebagai keadilan prosedural melainkan juga

16

melihat keadilan sebagai keadilan substantif sehingga asas kepastian hukum dan kemanfaatan dalam keadilan dapat tercapai keduanya. Hakim haruslah membuat keputusan secara adil. Oleh karena itu, hakim haruslah menggunakan asas-asas dibawah ini: 1. Unus Testis Nullus Testis yaitu hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi. Atau juga, keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus, tidak dapat dinilai sebagai saksi. 2. Audit et Atteram Partem yaitu hakim haruslah mendengarkan para pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusannya. 3. Azas In Dubio Pro Reo yaitu azas yang menyatakan apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa.

17

DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Ahmad Zaenal. 2008. Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Program Doktor Ilmu Hukum, UII Yogyakarta. Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia. Kelsen, Hans. 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media. Rawls, John. 2011. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://news.detik.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3buah-kakao-Nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari diakses tanggal 2 April 2013 pukul 09.35

http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/kasus-sandal-jepit-dan-buahkakao-ketidakadilan-bagi-masyarakat-kecil-425813.html diakses tanggal 3 April 2013 pukul 14.33

18

Anda mungkin juga menyukai