PENDAHULUAN1,2 Dinamakan cedera kranioserebral karena cedera ini melukai baik bagian kranium (tengkorak) maupun serebrum (otak). Cedera tersebut dapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra- maupun ekstraserebral, dan kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya. Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat. DEFINISI1,2 Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu neurotraumatologi, yang mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik pada masa akut maupun sesudahnya. Akibat trauma dapat terjadi pada masa akut (kerusakan primer) dan sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena itu manajemen segera dan intervensi lanjut harus sudah dilaksanakan sejak saat awal kejadian guna mencegah/meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien. KLASIFIKASI1,2 Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terda-
pat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau tertutup. Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH), bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan subaraknoid (SAH). Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran Skala Koma Glasgow (tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala Koma Glasgow Skening Otak Normal
Tabel 2 Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan lama amnesia pascacedera Lama Amnesia Pascacedera Kurang dari 5 menit 5 60 menit 1 24 jam 1 7 hari 1 4 minggu Lebih dari 4 minggu Beratnya Trauma Kranioserebral sangat ringan ringan sedang berat sangat berat ekstrem berat
Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu 1. Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan medis maupun paramedis (standar jelas) (Tabel 3), Kategori dan prognosis pasien cedera kranioserebral dapat diperkirakan dengan melihat nilai SKG yang meskipun diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.
Kategori
SKG
Gambaran Klinik
2.
CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6 Abnormal jam, defisit neurologik (+) CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal
Tabel 3 Penilaian Skala Koma Glasgow untuk anak lebih dari 5 tahun dan dewasa
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio.
Skala
Nilai 4 3 2 1 5 4 3 2 1
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam Jennett & Teasdale4 (tabel 2). Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis SKG.
Jawaban kacau Kata-kata tak-patut (inappropriate) Bunyi/suara tak-berarti (incomprehensible) Tidak bersuara
327
5/3/2012 11:42:39 AM
M(otor) response
Sesuai perintah Lokalisasi perintah Reaksi atas nyeri Fleksi (dekortikasi) Ekstensi (deserebrasi) Tidak ada respons (diam)
6 5 4 3 2 1
B.
C.
PATOLOGI & GEJALA KLINIS2,3 Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH) Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. Hematoma Subdural (SDH) Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural. Edema Serebri Traumatik Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk: 1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial 2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik) 3. Minimalisasi kerusakan sekunder 4. Mengobati simptom akibat trauma otak 5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus: 1. Cedera kranioserebral tertutup Fraktur impresi (depressed fracture) Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi 2. Pada cedera kranioserebral terbuka Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari Pneumoencephali Corpus alienum Luka tembak
328
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 328
5/3/2012 11:42:39 AM
PASIEN DENGAN KESADARAN MENURUN 1. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)1-6 Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika: a. orientasi (waktu dan tempat) baik b. tidak ada gejala fokal neurologik c. tidak ada muntah atau sakit kepala d. tidak ada fraktur tulang kepala e. tempat tinggal dalam kota f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
329
5/3/2012 11:42:41 AM
b.
6. Nutrisi11 Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 1030 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, riboflavin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk
330
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 330
5/3/2012 11:42:44 AM
subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki memori. Dari beberapa percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor yang diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih diragukan kegunaannya. Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan melakukan pencegahan efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi intervensi non-farmasi (terapi gizi). Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat proteksi serebral berdasarkan patofisiologi mekanisme kerja yang spesifik menjanjikan perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral. KONTROVERSI MANAJEMEN Steroid2 Pemberian kortikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih kontroversial. Ada yang mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang mengatakan boleh saja diberikan. Efek yang jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus
cedera spinal. Terapi kortikosteroid yang menjanjikan di masa datang adalah 21 aminosteroid (lazaroid) yang masih diteliti. PREDIKSI LUARAN7,12 Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa sistem penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik). Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam (pemeriksaan GOAT), fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan pemeriksaan MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari rumah sakit, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas.
331
5/3/2012 11:42:45 AM