Anda di halaman 1dari 87

PENGARUH STIMULASI KUTANEUS : SLOW-STROKE BACK MASSAGE TERHADAP INTENSITAS NYERI OSTEOARTRITIS PADA LANSIA DI PANTI WERDHA GRIYA

ASIH LAWANG TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keperawatan

Oleh : XNUXER RIGHT BACK NIM. 085658008099

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2008 HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR PENGARUH STIMULASI KUTANEUS: SLOW-STROKE BACK MASSAGE TERHADAP INTENSITAS NYERI OSTEOARTRITIS PADA LANSIA DI PANTI WERDHA GRIYA ASIH LAWANG

OLEH : XNUXER RIGHT BACK NIM. 085658008099

Telah diuji pada Hari : Jumat Tanggal : 25 Januari 2008

dan dinyatakan lulus oleh : Penguji I

Kumboyono, SKp. M.Kep NIP. 132296277

Penguji II

Penguji III

DR.dr.Loeki Enggar Fitri, M.Kes, Sp.Park NIP. 131967344

Yulian Wiji Utami, SKp.M.Kes NIP. 132300040

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Pemilihan topik ini didasari oleh fakta banyaknya penyakit osteoartritis yang muncul pada masyarakat terutama usia lanjut, dimana keluhan utamanya adalah nyeri. Adapun salah satu upaya untuk menangani nyeri adalah stimulasi kutaneus. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah ada pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia. Dengan terselesaikannya Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. DR. dr. Samsul Islam Sp.MK, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 2. Dr. Soebandi, M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 3. DR. dr. Loeki Enggar Fitri, M.Kes, Sp. Park selaku dosen pembimbing I atas kebaikan hati, kesabaran, dan keramahan yang selalu diberikan dalam setiap konsultasi. Sungguh takkan terlupakan. 4. Yulian Wiji Utami, SKp.M.Kes, selaku dosen pembimbing II atas segala kebaikan hati, kesabaran, dan keramahan yang selalu diberikan dalam setiap konsultasi. Semoga Tuhan membalas kebaikan ibu.

5. Kumboyono, SKp.M.Kep, selaku dosen penguji I atas masukan dan kritik yang diberikan. 6. Ibu Sri Redjeki, selaku Kepala Panti Werdha Griya Asih Lawang, dan Oma-oma yang tercinta atas keramahan, bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penelitian. 7. Seluruh tim pengelola tugas akhir Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang: Ibu Dr. Sri Winarsih, Ibu Titin Andri Wihastuti, Mbak Bety, Pak Alex atas kesabaran dan keramahannya. 8. Keluarga tercinta: Made Aryawan dan Putu Arjun Prasanna yang telah rela berpisah demi sebuah asa; ibu dan ayah yang selalu memberikan doa dan dukungan tak henti-hentinya. 9. Rekan-rekan mahasiswa PSIK B tahun 2006 atas dorongan semangat dan bantuan yang diberikan. 10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis telah berusaha untuk menyusun Tugas Akhir ini dengan sebaikbaiknya. Namun demikian, sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, demi kesempurnaan, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak. Akhir kata, penulis meminta maaf bila dalam penyusunan Tugas Akhir ini ada hal-hal yang tidak berkenan. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya, dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya. Malang, 25 Januari 2008 Penulis

ABSTRAK

Sumartini, Ni Putu. 2008. Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang. Tugas Akhir, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya Malang. Pembimbing: (1) DR.dr.Loeki Enggar Fitri, Sp.ParK (2) Yulian Wiji Utami, SKp.M.Kes. Penyakit osteoartritis adalah hasil dari peristiwa mekanik dan biologik yang mengakibatkan tidak stabilnya degradasi dan sintesis kondrosit kartilago artikuler serta matriks ekstraseluler. Salah satu faktor resiko yang memicu ketidakstabilan ini adalah proses penuaan. Penuaan mendorong terbentuknya tonjolan-tonjolan tulang (osteofit) dan degradasi kartilago sehingga timbul gejala klinis primer berupa nyeri sendi. Salah satu cara non farmakologi untuk mengatasi nyeri ini adalah dengan pemberian stimulasi kulit dengan tehnik slowstroke back massage. Mekanisme kerja stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage dalam menurunkan intensitas nyeri menggunakan prinsip teori gate control dan teori endorphin. Penelitian pra eksperimen ini dirancang untuk mengetahui pengaruh pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis. Untuk keperluan tersebut, maka desain yang digunakan adalah pra eksperimental dengan pendekatan one group pre test-post test. Subyek penelitian adalah lansia yang berusia 55 tahun ke atas di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, didapatkan subyek penelitian sebanyak 10 orang yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 15 Desember 2007 sampai 5 Januari 2008. Tehnik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi. Berdasarkan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan = 0,05 didapatkan p value < (0,011 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang. Kata-kata kunci: Slow-Stroke Back Massage, Intensitas Nyeri, Osteoartritis, Lansia

ABSTRACT

Sumartini, Ni Putu. 2008. The Effect of Cutaneus Stimulation: Slow-Stroke Back Massage on Intensity of Osteoartritiss Pain Of Old People in Panti Werdha Griya Asih Lawang. Final Assignment, Nursing Science Department, Medical Faculty. Brawijaya University of Malang. Advisors: (1) DR.dr.Loeki Enggar Fitri, Sp.ParK (2) Yulian Wiji Utami, SKp.M.Kes. Osteoarthritis disease is a result of mechanical and biological process which come to unstable degradation and synthesis of condrozyte cartilage and extracellular matrix. One of the risk factor that lead to this unstability is aging process. This aging process stimulates osteophytes formation and degradation of cartilage, and emerged pain as primary clinical symptom. One of the non pharmacological way to cope with this pain is by applying cutaneus stimulation through slow-stroke back massage method. The mechanism of cutaneus stimulation: slow-stroke back massage in reducing the osteoarthritiss pain intensity use the principle of gate control and endorphin theory. This experimental research was conducted to observed the effect of applying cutaneus stimulation with slow-stroke back massage method to osteoartritiss pain intensity. For this purpose, the researcher used pra experimental design with one group pre testpost test approach. The subject of this study were old people above 55 years old living in Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 10 participants were collected using purposive sampling technique. This study began on December 15 th, 2007 until January 4th, 2008. The data were collected by interview and observation. According to the result of Wilcoxon Signed Rank Test with = 0,05, p value < (0,011 < 0,05). It was revealed that the massage intervention significantly affect the old peoples level of osteoartritis pain in Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang. Keywords: Slow-Stroke Back Massage, Pain Intensity, Osteoartritis, Old People

DAFTAR ISI Halaman JUDUL ............................................................................. LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................. ABSTRAK ............................................................................. ABSTRACT ............................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR DIAGRAM ............................................................................. DAFTAR TABEL ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian i ii iii v vi vii ix x xi xii

...................................................... ...................................................... ...................................................... ......................................................

1 4 4 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia ..................................................... 6 2.1.1 Definisi ...................................................... 6 2.1.2 Teori Penuaan ...................................................... 6 2.1.3 Perubahan-Perubahan Pada Lansia............................... 8 2.2 Osteoartritis ...................................................... 11 2.2.1 Definisi ...................................................... 11 2.2.2 Faktor Resiko ...................................................... 12 2.2.3 Patofisiologi ...................................................... 13 2.2.4 Klasifikasi ...................................................... 15 2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik................................................. 16 2.2.6 Penatalaksanaan ...................................................... 18 2.3 Nyeri ...................................................... 19 2.3.1 Definisi ...................................................... 19 2.3.2 Fisiologi Nyeri ...................................................... 20 2.3.3 Klasifikasi Nyeri ...................................................... 25 2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri.......... 27 2.3.5 Pengukuran Intensitas Nyeri .......................................... 29 2.3.6 Mekanisme Penurunan Nyeri ......................................... 30 2.4 Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage .................... 33 2.4.1 Definisi ...................................................... 33 2.4.2 Pengaruh ...................................................... 34 2.4.3 Petunjuk ...................................................... 34 2.4.4 Metode ...................................................... 35 2.4.5 Prosedur Pelaksanaan ................................................... 35 2.5 Stimulasi Kutaneus dalam Menurunkan Nyeri Osteoartritis .... 36

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep ...................................................... 37 3.2 Hipotesis ...................................................... 38 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ...................................................... 4.2 Populasi dan Sampel ...................................................... 4.3 Variabel Penelitian ...................................................... 4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian ............................................. 4.6 Definisi Operasional ...................................................... 4.7 Prosedur Penelitian ..................................................... 4.8 Tehnik Pengolahan dan Analisa Data ..................................... 4.9 Etika Dalam Penelitian ...................................................... 39 39 40 40 41 41 43 45 46

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA 5.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 47 5.1.1 Pelaksanaan Penelitian ............................................... 47 5.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian ................................... 47 5.1.3 Hasil Pengukuran Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Sebelum Dilakukan Stimulasi Kutaneus: SlowStroke Back Massage ................................................. 50 5.1.4 Hasil Pengukuran Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Setelah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: SlowStroke Back Massage ................................................. 51 5.1.5 Perubahan Intensitas Nyeri Pada Lansia Sebelum dan Setelah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage ............................................................. 52 5.2 Analisa Data ........................................................................... 53 BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Nyeri Osteoartritis Sebelum Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage .................................................... 6.2 Nyeri Osteoartritis Setelah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage .................................................... 6.3 Pengaruh Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia ............................................................................ 6.4 Keterbatasan Penelitian ..........................................................

54 55 58 59

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ............................................................................ 61 7.2 Saran ............................................................................ 62 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 63 LAMPIRAN ........................................................................................... 65

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Fisiologi Nyeri ........................................................................... 25 Gambar 2.2 Ilustrasi Skematik Teori Pengendalian Gerbang ....................... 31 Gambar 4.1 Skema Prosedur Pengambilan Data .......................................... 41

DAFTAR DIAGRAM Halaman Diagram 5.1.2.2 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ...............................................................48 Diagram 5.1.2.3 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Suku ..............................................................48 Diagram 5.1.2.4 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Riwayat Pendidikan .......................................49 Diagram 5.1.2.5 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Riwayat Pekerjaan .........................................49 Diagram 5.1.2.6 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Lokasi Nyeri ...................................................50

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Osteoartritis ........................... 18

Tabel 2.2 Perbedaan Fungsi Serabut Saraf A delta dan C ........................... 21 Tabel 2.3 Sistem Interaksi Persepsi Nyeri ........................... 23

Tabel 2.4 Perbedaan Karakteristik Nyeri Akut dan Kronik ........................... 26 Tabel 4.1 Format Definisi Operasional Tabel 4.2 Rencana Tabulasi Data ........................... 42 ........................... 46

Tabel 5.1.3.1 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Masage ........................... 50 Tabel 5.1.3.2 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Intensitas Nyeri Setelah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Masage selama 10 menit ..........................51 Tabel 5.1.3.3 Perubahan Intensitas Nyeri Subyek Penelitian Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage ...........................52

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Pernyataan Keaslian Tulisan .................................................. 65 Lampiran 2: Pengantar Pengumpulan Data .............................................. 66 Lampiran 3: Surat Persetujuan Menjadi Subyek Penelitian ....................... 67 Lampiran 4: Pernyataan Telah Melaksanakan Informed Consent .............. 68 Lampiran 5: Lembar Wawancara Lampiran 6: Lembar Observasi ............................................................ 69 ............................................................ 70

Lampiran 7: Tabel Induk Karakteristik Subyek Penelitian .......................... 71 Lampiran 8: Tabel Beda Rata-Rata Pre Test dan Post Test ...................... 72 Lampiran 9: Uji Wilcoxon Sign Rank Test .................................................. 73 Lampiran 10: Surat Permohonan Ijin Pengambilan Data Awal ................... 74 Lampiran 11: Surat Permohonan Ijin Penelitian dan Pengambilan Data .... 75 Lampiran 12: Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian................ 76 Lampiran 13: Ethical Clearance ................................................................. 77 Lampiran 14: Lembar Konsultasi ............................................................ 78

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah penduduk usia lanjut secara dramatis pada abad 21 nanti. Berdasarkan data proyeksi penduduk tahun 1990-2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000, jumlah penduduk usia lanjut mencapai 7,29 % (sekitar 15,2 juta jiwa) dari total jumlah penduduk Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlahnya bertambah menjadi 11,34% (Darmojo, 2006). Peningkatan jumlah lansia yang tinggi tersebut berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun kesehatan (Nugroho, 2000). Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh. Berdasarkan informasi data yang dikutip dari buku ajar geriatri, penyakit yang paling tinggi prosentasenya adalah osteoartritis, yaitu mencapai 49% (Kuntaraf, 1992). Osteoartritis adalah penyakit pada sendi-sendi penahan berat tubuh yang bersifat progresif, non inflamasi, nonsistemik, dan recurrent (Reeves, 1999). Prevalensi osteoartritis lebih banyak terjadi pada usia di atas 35 tahun, terutama wanita di atas 55 tahun (Reeves, 1999). Dalam suatu survey radiografi pada wanita di bawah usia 40 tahun hanya 2% yang mengalami osteoartritis, pada usia 45-60 tahun mencapai 30% sementara pada usia di atas 61 tahun lebih dari 65% (Noer, 1996). Dari hasil observasi di Poli Dalam Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang pada tanggal 19 September 2007 ditemukan bahwa osteoartritis lebih banyak menyerang wanita. Berdasarkan hasil studi

pendahuluan di Panti Werdha Griya Asih Lawang didapatkan bahwa jumlah lanjut usia di panti adalah 23 orang dan semuanya berjenis kelamin perempuan serta banyak diantaranya yang menderita osteoartritis. Pada osteoartritis, nyeri sendi adalah gejala yang paling menonjol dan merupakan alasan yang paling sering bagi seorang penderita osteoarthritis untuk mencari pertolongan dokter (Koopman, 1997). Adanya nyeri sendi membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktifitas sehari-harinya dan dapat menurunkan produktifitasnya. Di samping itu, dengan mengalami nyeri, sudah cukup membuat pasien frustasi dalam menjalani hidupnya sehari-hari sehingga dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Karenanya, terapi utama diarahkan untuk menangani nyeri ini (Potter & Perry, 1997). Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi dengan menggunakan siklooksigenase inhibitor (COX inhibitor) sering menimbulkan efek samping yaitu gangguan gastrointestinal misalnya heartburn (Kozier, 2004). Selain itu, penggunaan jangka panjangnya dapat mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna, tukak peptik, perforasi dan gangguan ginjal (Daniel, 2006). Penelitian tentang osteoartritis juga telah menemukan bahwa biaya terbesar yang berhubungan dengan pengobatan osteoartritis berasal dari mengobati efek samping obatnya (Reeves, 1999). Dengan demikian, terapi non farmakologi kiranya patut menjadi salah satu alternatif lain. Hasil penelitian pada pasien osteoartritis menunjukkan pentingnya sistem nyeri medial (yang memproses aspek emosional dari nyeri seperti ketakutan dan stres), dibandingkan sistem lateral yang memproses sensasi fisik seperti

intensitas, durasi, dan lokasi nyeri, selama episode nyeri. Selain itu disarankan bahwa manajemen sistem nyeri medial sebaiknya dijadikan target baru baik untuk intervensi farmakologi maupun non farmakologi (Kulkarni et al, 2007). Stimulasi kutaneus, distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing dan hipnosis adalah contoh intervensi non farmakologis yang sering digunakan dalam keperawatan untuk mengelola nyeri. Pada osteoartritis, umumnya pengelolaan nyeri dilakukan dengan stimulasi kutaneus: terapi panas/dingin, latihan/aktifitas fisik dan distraksi (Reeves, 1999; Koopman, 1997). Sementara itu, beberapa modalitas fisik lain seperti masase, terapi yoga, akupresure, akupuntur, dan terapi spa masih belum terbukti nilainya. Masase dan sentuhan, merupakan tehnik integrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas sistem saraf otonom (Meek, 1993 dalam Potter & Perry, 1997). Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk relaks, kemudian akan muncul respon relaksasi. Relaksasi sangat penting dalam membantu klien untuk meningkatkan kenyamanan dan membebaskan diri dari ketakutan serta stres akibat penyakit yang dialami dan nyeri yang tak berkesudahan (Potter & Perry, 1997). Salah satu tehnik memberikan masase adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan (Slow-Stroke Back Massage). Usapan dengan lotion/balsem memberikan sensasi hangat dengan mengakibatkan dilatasi pada pembuluh darah lokal (Kenworthy et al, 2002). Vasodilatasi pembuluh darah akan meningkatkan peredaran darah pada area yang diusap sehingga aktivitas sel meningkat dan akan mengurangi rasa sakit serta menunjang proses penyembuhan luka (Kusyati E, 2006; Stevens, 1999). Sensasi hangat juga dapat meningkatkan rasa nyaman (Reeves, 1999). Nilai terapeutik

yang lain dari masase punggung termasuk mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis (Kusyati E, 2006). Beberapa penelitian juga telah mengidentifikasi manfaat dari slow-stroke massage ini. Salah satunya adalah penurunan secara bermakna pada intensitas nyeri dan kecemasan serta perubahan positif pada denyut jantung dan tekanan darah, yang mengindikasikan relaksasi pada pasien lansia dengan stroke (Mok, E et al, 2004). Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang. 1.2 Rumusan Masalah Nyeri merupakan kondisi yang sangat mengganggu kenyamanan dan aktifitas penderita osteoarthritis. Berbagai intervensi dapat dilakukan untuk menangani nyeri ini, salah satunya adalah dengan stimulasi kutaneus : slowstroke back massage. Dari pernyataan ini maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempengaruhi intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang.

1.3.2

Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi intensitas nyeri osteoartritis sebelum pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang. b. Mengidentifikasi intensitas nyeri osteoartritis setelah pemberian

stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang. c. Menganalisa pengaruh pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Mendapatkan informasi/pengetahuan berdasarkan kebenaran ilmiah tentang pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia. b. Sebagai wacana untuk pengembangan penelitian lebih lanjut di bidang keperawatan khususnya pemberian stimulasi kutaneus: slowstroke back massage terhadap intensitas nyeri. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Sebagai dasar pertimbangan melakukan intervensi keperawatan dalam manajemen nyeri osteoartritis pada lansia. b. Sebagai dasar dalam menetapkan protap penatalaksanaan nyeri pada lansia dengan osteoartritis. c. Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia 2.1.1 Definisi Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang definisi lanjut usia , yaitu: 1. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase prasenium yaitu lansia yang berusia antara 5565 tahun, dan fase senium yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Jos Masdami dalam Nugroho, 2000). 2. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13 tahun 1998). Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah berumur lebih dari 55 tahun. 2.1.2 Teori Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Darmojo, 2006). Terjadinya proses penuaan dijelaskan dalam beberapa teori penuaan antara lain: 2.1.2.1 Teori Biologi Teori ini mengungkapkan adanya berbagai perubahan pada tingkat seluler yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi biologis tubuh.

Teori penuaan secara biologis dijelaskan dalam teori-teori berikut: 1. Teori Genetic Clock Menurut teori ini, penuaan telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Di dalam nuklei (inti sel) tiap spesies memiliki suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu dan jika habis putarannya maka proses replikasi sel akan berhenti (Darmojo, 2006). 2. Teori Error Castastrophe (Mutasi Somatik) Menurut hipotesis ini, penuaan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun dalam proses transkripsi maupun translasi sepanjang kehidupan dalam waktu yang cukup lama. Kesalahan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah, dengan demikian mengurangi fungsional sel (Darmojo, 2006). Kesalahan dalam proses translasi akan menyebabkan katastrop (Suhana, 1994; Constanstinides, 1994 dalam Darmojo, 2006). 3. Rusaknya Sistem Imun Tubuh Menurut teori ini, mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya (Darmojo, 2006). 4. Teori Penuaan akibat Metabolisme Menurut teori ini perpanjangan umur berhubungan dengan tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan umur antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel (Darmojo, 2006).

5.

Kerusakan akibat Radikal Bebas Radikal bebas dapat merusak karena sangat reaktif serta dapat bereaksi

dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Walaupun tubuh memiliki penangkal, sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia, makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses perusakan terus terjadi, kerusakan organel sel semakin banyak dan akhirnya sel akan mati (Darmojo, 2006). 2.1.2.2 Teori Psikologi Keadaan psikologi sangat mempengaruhi fungsi dan aktivitas

neurohormonal dan seluler. Teori tersebut antara lain: 1. Teori Kebutuhan Maslow Tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan yang tertinggi. Kondisi ini sekaligus menyebabkan adanya perbedaan tingkat stress pada manusia yang selanjutnya berakibat pada perbedaan proses penuaannya (Lueckkeenotte, 1996). 2. Course of Human Life Seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan ada tingkat

maksimumnya sehingga pengalaman yang diperoleh dalam hidup sangat berbeda dan selanjutnya berpengaruh terhadap kemampuan antisipasinya menghadapi stresor hidup (Lueckkeenotte, 1996). 2.1.3 Perubahan-Perubahan Pada Lansia 2.1.3.1 Perubahan Fisik Berbagai perubahan fisik pada sistem organ terjadi pada individu akibat proses penuaan, perubahan-perubahan itu adalah:

1. Sistem Kardiovaskuler Katub jantung menjadi lebih tebal dan kaku, serta elastisitas jantung dan arteri menurun. Vena menjadi sangat berbelok-belok, dinding arteri penuh dengan timbunan kalsium dan lemak (Smeltzer & Bare, 1996). 2. Sistem Pernafasan Otot-otot pernafasan menjadi kaku dan kehilangan kekuatan, aktivitas silia menurun, elastisitas paru-paru menurun, volum residu meningkat, alveoli melebar dan jumlahnya berkurang, tekanan oksigen arteri menurun menjadi 75 mmHg serta terjadi penurunan kemampuan batuk (Nugroho, 2000). 3. Sistem Integumen Epidermis dan dermis menjadi lebih tipis, serat elastik berkurang jumlahnya, kolagen menjadi lebih kaku, dan lemak subkutan berkurang terutama pada bagian ekstrimitas (Smeltzer & Bare, 1996). 4. Sistem Reproduksi Pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan pengecilan ukuran dan hilangnya elastisitas, penurunan sekresi vagina, atropi uterus dan ovarium, serta penurunan tonus muskulus pubokoksigeus. Pada pria, penis dan testis menurun ukurannya dan kadar androgen berkurang (Smeltzer & Bare, 1996). 5. Sistem Muskuloskeletal Tulang kehilangan densitasnya dan makin rapuh. Hal ini menyebabkan terjadinya osteoporosis bahkan dapat terjadi fraktur terutama pada Vertebrae, Humerus, Radius, Femur dan Tibia. Terjadi penurunan tinggi badan akibat menipis dan menjadi pendeknya Discus Intervertebralis. Tendon mengalami pengerutan dan sklerosis, begitu juga dengan serabut otot yang mengalami atrofi (Nugroho, 2000). Sendi menjadi kurang dapat digerakkan (Potter & Perry, 1997).

6. Sistem Genitourinarius Kapasitas kandung kemih menurun dan individu lanjut usia tidak mampu lagi mengosongkan kandung kemihnya dengan sempurna. Pada wanita lanjut usia biasanya mengalami penurunan tonus otot perineal yang mengakibatkan stres inkontinensia dan urgensi. Hiperplasia Prostat Benigna merupakan temuan yang sering pada pria lanjut usia (Smeltzer & Bare, 1996). 7. Sistem Gastrointestinal Penurunan saliva, kesulitan menelan makanan, perlambatan,

pengosongan esofagus dan lambung, serta penurunan motilitas gastrointestinal (Smeltzer & Bare, 1996). 8. Sistem Saraf Penurunan kecepatan konduksi saraf, cepat bingung saat sakit fisik dan kehilangan orientasi lingkungan dan penurunan sirkulasi serebral (pingsan, kehilangan keseimbangan) (Smeltzer & Bare, 1996). 9. Sistem Indra Khusus Pada indera penglihatan, kemampuan memusatkan pada benda dekat berkurang, ketidakmampuan menerima cahaya yang menyilaukan, serta penurunan kemampuan membedakan warna. Pada indera pendengaran, kemampuan untuk mendengar suara dengan frekuensi tinggi menurun. Sedangkan pada indera pengecap dan penghidu, terjadi penurunan kemampuan terhadap pengecapan dan penciuman (Smeltzer & Bare, 1996). 2.1.3.2 Perubahan Psikososial Perubahan psikososial menyebabkan rasa cemas, takut, merasa penyakit selalu mengancam, sering bingung, panas, dan depresif. Hal ini disebabkan

antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi (Kompas, 1999 dalam Hutapea, 2006). Ketergantungan sosial finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan prestise, hubungan sosial, kewibawaan dan sebagainya. Banyak di antara orangtua tidak dapat menyesuaikan diri bahkan tidak dapat menerima kenyataan ini (Hutapea, 2006). 2.1.3.3 Perubahan Mental Pada usia lanjut jarang terjadi perubahan kepribadian yang drastis. Beberapa perubahan terjadi pada memori jangka pendek dan jangka panjang, baik berupa memori berjam-jam yang lalu, bahkan sampai berhari-hari yang lalu. Tingkat Intellegentia Quantion (IQ) pada lanjut usia tidak berubah untuk informasi matematika dan perkataan verbal, tetapi untuk penampilan, persepsi, dan ketrampilan psikomotor mengalami penurunan. Terjadi perubahan daya

membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu (Nugroho, 2000). 2.1.3.4 Perubahan Spiritual 1. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. 2. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler (1978): universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan keadilan (Nugroho, 2000). 2.2 Osteoartritis 2.2.1 Definisi Osteoartritis merupakan penyakit pada sendi-sendi penahan berat tubuh yang progresif, non-inflamasi, nonsistemik dan kronis (Reeves, 1999).

Osteoartritis merupakan suatu gangguan kronik, tidak meradang dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan. Sel-sel dan matriks tulang rawan mengalami degenerasi, disertai pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi (Price, 1995). Batasan konsensus saat ini : penyakit osteoartritis adalah hasil dari peristiwa mekanik dan biologik yang mengakibatkan tidak stabilnya perangkai normal dari degradasi dan sintesis kondrosit kartilago artikuler dan matriks ekstraseluler, dan tulang subkondral, meskipun keadaan tersebut diawali oleh berbagai faktor, termasuk genetik, pertumbuhan, metabolik, dan traumatik (Leena Sharma, 2001 dalam Darmojo 2006). 2.2.2 Faktor Resiko Faktor resiko individual dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme patogenetiknya. Terdapat faktor yang mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap osteoartritis (susceptibility factors) dan faktor yang menyebabkan biomekanisme abnormal (mechanical factor) pada area sendi spesifik (Kaufman et al, 1996) sebagai berikut: 2.2.2.1 Susceptibility Factors 1. Usia. Usia adalah faktor resiko yang paling kuat ke arah osteoartritis. Mekanisme dari hubungan ini belum sepenuhnya dimengerti, namun mungkin akibat refleksi perubahan kimia dari kartilago artikuler seiring dengan usia. 2. Obesitas Obesitas umumnya berhubungan dengan osteoartritis tumit, sedikit berhubungan dengan osteoartritis lutut dan mungkin tidak berhubungan dengan osteoartritis tangan. Mekanismenya lebih kepada faktor metabolik daripada beban mekanik yang berlebihan. Penelitian menunjukkan osteoartritis pinggul

dan osteoartritis lutut jarang pada osteoartritis yang berhubungan dengan kegemukan. 3. Faktor Herediter Faktor herediter penting, khususnya pada poliartikuler osteoartritis. Faktor ini tampaknya poligenik dan diturunkan sebagai gen autosomal dominan pada perempuan dan gen autosomal resesif pada laki-laki. 4. Perempuan Dominasi osteoartritis oleh perempuan, khususnya pada poliartikuler osteoartritis dan peningkatan prevalensi pada perempuan post menopause, menjadikan adanya asumsi bahwa hormon perempuan mungkin punya peranan pada penyakit ini. 2.2.2.2 Faktor Mekanis Trauma, khususnya yang berhubungan dengan injuri olahraga, adalah penyebab umum dari monoartikuler osteoartritis. Lutut adalah area yang sering terkena osteoartritis-berhubungan dengan trauma. Bentuk sendi yang berubah dapat mengarah pada perkembangan osteoartritis. Hal ini terekam dengan baik pada gangguan pinggul pada anak-anak, seperti Perthes Disease, Slipped Capital Epiphysis dan Congenital Dislocation of the Hip. Penggunaan kelompok sendi khusus secara berulang juga dihubungkan dengan osteoartritis. 2.2.3 Patofisiologi Penyakit utama menyebabkan kesalahan dalam pembentukan jaringan ikat sendi, degenerasi, dan hipertrofi tulang atau pertumbuhan tulang berlebih dalam bentuk taji/tonjolan tulang. Bagian-bagian tonjolan-tonjolan tulang ini atau kartilago yang remuk masuk ke dalam cairan sinovial dan menyebabkan nyeri.

Kartilago artikuler akan terus memburuk, ujung tulang akan saling bergesekan satu sama lain sehingga menyebabkan rasa sakit dan membengkak menjadi gejala yang lebih banyak dialami oleh pasien (Reeves, 1999). Terdapat 2 perubahan morfologi utama yang mewarnai osteoartritis yaitu kerusakan fokal tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang rawan baru pada dasar lesi tulang rawan sendi dan tepi sendi (osteofit). Keadaan ini diawali oleh perubahan-perubahan metabolik tulang rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi seperti proteoglikan dan kolagen yang menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi (Noer, 1996). Pada pasien osteoartritis, sintesis proteoglikan dan kolagen oleh kondrosit meningkat tajam, tetapi substansi ini juga dihancurkan dengan kecepatan yang lebih tinggi sehingga pembentukan tidak seimbang dengan kebutuhan. Sejumlah kecil serat kolagen tipe I diganti tipe II, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi dari serat kolagen yang merubah biomekanik dari tulang rawan. Hal ini menyebabkan tulang rawan kehilangan sifat kompresibilitinya. Peningkatan usia mempunyai hubungan dengan perubahan-perubahan dalam fungsi kondrosit, meningkatkan perubahan pada komposisi tulang rawan sendi yang mengarah pada osteoartritis (Price, 1995). Hormon estrogen juga berperan dalam proses terjadinya osteoartritis. Estrogen mengatur keseimbangan antara proses pembentukan tulang dan proses penyerapan kalsium dari tulang oleh osteoklas. Penurunan estrogen pada menopause menyebabkan aktifitas osteoklas meningkat sehingga tulang

kehilangan kalsium dan menjadi keropos. Proses ini juga terjadi di tulang rawan (Hartono, 2000). 2.2.4 Klasifikasi Secara umum dibagi 2 yaitu osteoartritis primer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan osteoartritis sekunder yang diakibatkan karena peristiwaperistiwa tertentu misalnya cedera sendi, deformitas kongenital dan penyakit radang sendi lain termasuk Rheumatoid Artritis. Klasifikasi osteoartritis sebagai berikut (Solomon, 1997 & Brant, 1997 dalam Darmojo, 2006): 2.2.4.1 Osteoartritis Primer 1. Lokalisata. Osteoartritis hanya terjadi pada lokasi-lokasi tertentu saja dari bagianbagian tubuh, dan pengelompokan didasarkan pada lokasi tadi, yaitu : a. Pinggul-pangkal paha (Superolateral/atas luar , superomedial/atas tengah, inferoposterior/bawah belakang, medial/tengah) b. Lutut (medial/tengah, lateral, patellofemoral) c. Spinal Apophyseal (tulang punggung) d. Tangan (interphalang, pangkal ibu jari) e. Kaki (sendi metatarsal phalangeal, kaki belakang) f. Lain-lain (bahu, siku, pergelangan tangan, pergelangan kaki) 2. Generalisata Osteoartritis terjadi pada beberapa lokasi tubuh, yaitu: a. Tangan (Nodus Herbeden) b. Tangan dan lutut; Spinal Apophyseal

2.2.4.2 Osteoartritis Sekunder 1. Displastik (Chondrodysplasia, Dysplasia Epiphyseal, salah satu sendi yang kongenital, gangguan pertumbuhan: Penyakit Perthes, Epifisiolisis). 2. Pasca trauma (akut, berulang, post operasi) 3. Kegagalan struktur (Osteonekrotic, Osteochondritis) 4. Pasca inflamasi (infeksi, atropati inflamatoar) 5. Endokrin dan metabolik (Hemochromatosis, gangguan timbunan kristal, Akromegali, Okronosis) 6. Jaringan ikat (sindrom hipermobilitas, Mucopolysaccharinedoses) 7. Sebab tak jelas (Penyakit Kashin-Beck) 2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis osteoartritis pada umumnya didasarkan pada manifestasi klinis dan gambaran radiologis. 2.2.5.1 Manifestasi Klinis. 1. Nyeri sendi Rasa nyeri pada sendi merupakan gambaran primer osteoartritis. Nyeri biasanya bertambah dengan kegiatan fisik sedang sampai berat dan sedikit berkurang dengan istirahat (Noer, 1996). Rasa sakit biasanya pada penerima bobot digambarkan sebagai rasa sakit yang berat saat mengangkat atau menahan beban. Rasa sakit ini akan membatasi mobilitas pasien (Price, 1995). 2. Hambatan gerak sendi Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoartritis yang masih dini. Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan menjadi kontraktur (Noer, 1996). Mungkin

ini disengaja karena rasa nyeri yang dialami atau karena penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi yang bersangkutan (Price, 1995). 3. Kaku pagi Pembengkakan sendi sehingga timbul kekakuan dan hilang gerakan, terutama setelah diistirahatkan. Perasaan kaku yang paling sering dialami pada pagi hari atau sesudah bangun tidur. Biasanya berlangsung kurang dari 30 menit dan akan berkurang setelah sendi-sendi itu digerakkan (Smeltzer & Bare, 1996). 4. Krepitasi Gejala ini lebih berguna untuk pemeriksaan klinis osteoartritis lutut. Gejala ini timbul dikarenakan ada gesekan antara kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan/secara pasif dimanipulasi (Noer, 1996). 5. Pembesaran sendi Pembesaran sendi dapat timbul karena efusi pada sendi/bisa juga disebabkan karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi (Noer, 1996). 6. Perubahan bentuk (deformitas) Ada perubahan bentuk dengan deformitas pada posisi fleksi. Terjadi karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan, dan gaya berdiri (Noer, 1996). 7. Perubahan gaya berjalan Sering berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada lutut, sendi paha dan tulang belakang dengan stenosis spinal (Noer, 1996).

2.2.5.2 Gambaran Radiologis 1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban) yang disebabkan hancurnya tulang rawan artikular, tonjolan/taji tulang/osteoafit pada tepi sendi, kista, dan deformitas atau kelainan bentuk pada persendian. 2. Peningkatan densitas (sklerosis tulang subkondral) (Noer, 1996). Berikut ini kriteria diagnosis osteoartritis (Altman, 1991 dalam Darmojo, 2006): Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Osteoartritis Klinik Lutut 1. Nyeri lutut & 2a. Krepitasi, & 2b. Kekakuan pagi hari < 30 menit, & 2c. Umur > 38 tahun atau 3a. Krepitasi & 3b. Kekakuan pagi < 30 menit, & 4a. Krepitasi (-) & 4b. Pembesaran tulang Pinggul 1. Nyeri pinggul & 2a. Rotasi internal 15, & 3a. Rotasi internal < 15, & 3b. Kekakuan pagi < 60 menit, & 3c. Umur > 50 tahun, dan 3d. Nyeri saat rotasi internal Klinik, Laboratorik, Radiografik 1. Nyeri lutut 2. Osteofit, atau 3a. Cairan sinovial dengan 2 atau 3 Temuan: jernih, viscous, Lekosit PMN < 2000/mm 3b. Kekakuan pagi < 30 menit & 3c. Krepitasi 1. Nyeri pinggul 2a. LED < 20 mm/jam 2b. X-foto : osteofit 2c. X-foto : penyempitan ruang sendi LED: Laju Endap Darah Sumber : Darmojo. 2006. hal.342 2.2.6 Penatalaksanaan Manajemen terapeutik osteoartritis diarahkan pada pengelolaan nyeri beserta perawatan fungsi dan mobilitas persendian (Reeves, 1999). Program terapeutik yang paling efektif adalah pencegahan. Tindakan pencegahan khusus dapat diarahkan untuk mengurangi faktor resiko (Koopman, 1997).

Program terapeutik osteoartritis saat ini diarahkan pada gejala (terutama nyeri), sehingga sering disebut terapi simptomatik. Terapi simptomatik yang

paling efektif adalah menggabungkan beberapa pendekatan yang tersedia, seperti modalitas fisik, obat-obatan, pendekatan psikologis dan intervensi bedah (Koopman, 1997). 2.3 Nyeri 2.3.1 Definisi Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial (Smeltzer & Bare, 1996). Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji nyeri (Clancy & Mc. Vicar, 1992 dalam Potter & Perry, 1997). Nyeri menggambarkan suatu fenomena komplek yang tidak hanya melibatkan respon fisik terhadap kerusakan jaringan aktual tetapi juga reaksi emosional dan intelektual yang timbul pada saat berada dalam bahaya. Nyeri, secara alami adalah pengalaman yang bersifat sangat pribadi/personal (Kenworthy et al, 2002). Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang dikatakan oleh individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya (Mc. Caffery, 1980 dalam Kenworthy et al, 2002 ). Namun, ada pasien yang secara fisik tidak mampu melaporkan nyeri secara verbal, sehingga perawat juga bertanggung jawab terhadap pengamatan perilaku nonverbal yang dapat terjadi bersama dengan nyeri. Dengan demikian, ada 4 atribut pasti dalam pengalaman nyeri, yaitu : nyeri bersifat individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang

mendominasi dan bersifat tidak berkesudahan (Mahon, 1994 dalam Potter & Perry, 1997). 2.3.2 Fisiologi Nyeri Ada 3 komponen untuk memahami fisiologi nyeri, yaitu resepsi, persepsi dan reaksi (Potter & Perry, 1997). Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer, lalu memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abuabu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengetahuan dan pengalaman yang lalu serta kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri. 2.3.2.1 Resepsi Nyeri terjadi karena ada bagian/organ yang menerima stimulus nyeri tersebut, yaitu reseptor nyeri (nosiseptor). Nosiseptor adalah ujung serabut saraf (reseptor) yang memiliki fungsi memberitahukan otak tentang adanya stimulus yang berbahaya (noxious/harmful stimuli) (Kenworthy et al, 2002). Nosiseptor terdapat pada saraf bebas, yang tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala (Guyton & Hall, 1997). Stimulus yang merangsang nyeri sifatnya bisa mekanik, termal, kimiawi atau stimulus listrik. Pemaparan stimulus menyebabkan pelepasan substansi seperti histamin, bradikinin, serotonin, substansi P, prostaglandin, asam,

asetilkolin, ion kalium dan enzim proteolitik yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri (Kenworthy et al, 2002). Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri, kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri (Potter & Perry, 1997). Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di sepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer yang mengkonduksi stimulus nyeri: serabut A-delta dan serabut C (Guyton & Hall, 1997; Kenworthy et al, 2002). Tabel berikut menggambarkan perbedaan fungsi keduanya: Tabel 2.2 Perbedaan Fungsi Serabut Saraf A delta dan C A delta Bermielin: transmisi lebih cepat Lapang reseptif kecil: lokasi tepat Treshold lebih tinggi Tajam, terlokalisasi jelas Unimodal: mekanik atau panas 25% nosiseptor C Tidak bermielin: transmisi lebih lambat. Lapang reseptif luas: not well localized Treshold lebih rendah Nyeri tumpul, gatal, terbakar Polimodal: mekanik, panas, bahan kimia 75% nosiseptor Sumber : Kenworthy, Snowley, Gilling. 2002. hal. 460

Transmisi stimulus nyeri berakhir di bagian kornu dorsalis medula spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 1997), yang memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat. Di traktus ini juga terdapat serabut-serabut saraf yang berakhir di otak tengah, yang menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 1997). Serabut ini disebut sistem nyeri desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi stimulus nyeri.

Impuls nyeri kemudian ditransmisikan dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di otak, talamus dan otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus frontalis dan sistem limbik (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 1997). Ada sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperanan aktif dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri (Potter & Perry, 1997). 2.3.2.2 Persepsi Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri dan terjadilah reaksi yang kompleks. Faktorfaktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Meinhart dan McCaffery menjelaskan 3 sistem interaksi persepsi nyeri sebagai sensori-diskriminatif, motivasi-afektif dan kognitifevaluatif. Penjelasannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Potter & Perry, 1997):

Tabel 2.3 Sistem Interaksi Persepsi Nyeri SENSORI-DISKRIMINATIF Transmisi nyeri terjadi antara talamus dan korteks sensori. Seorang individu mempersepsikan lokasi, keparahan dan karakter nyeri. Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kesadaran (mis. Analgesik, anestetik, penyakit serebral) menurunkan persepsi nyeri. Faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus (mis. Ansietas, gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri. MOTIVASI AFEKTIF Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik menghasilkan persepsi nyeri. Pembentukan retikular menghasilkan respons pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau menghindari stimulus nyeri. Sistem limbik mengontrol respon emosi dan kemampuan yaitu koping nyeri. KOGNITIF-EVALUATIF Pusat kortikal yang lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi. Kebudayaan, pengalaman dengan nyeri, dan emosi, mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman nyeri. Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan. Sumber : Potter & Perry, 1997 hal. 1507 Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi. 2.3.2.3 Reaksi Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. 1. Respon Fisiologis Nyeri dengan intensitas yang ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi flight or fight, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan

respon fisiologis. Bila berlangsung terus-menerus atau menjadi berat, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi (Potter & Perry, 1997). 2. Respon Perilaku Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah atau sering memanggil perawat. Namun kurangnya ekspresi tidak selalu berarti bahwa klien tidak mengalami nyeri. Ada 3 fase pengalaman nyeri (Meinhart & McCaffery, 1983 dalam Potter & Perry, 1997), yaitu antisipasi, sensasi dan akibat (aftermath). Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkannya. Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda, tergantung

toleransinya. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi dan nilai yang diyakini seseorang. Fase akibat terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Klien mungkin masih memerlukan perhatian perawat. Jika klien mengalami

serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respon akibat dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat membantu klien memperoleh kontrol dan harga diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan pengalaman nyeri (Potter & Perry, 1997).

Gambar 2.1 Fisiologi Nyeri (Sumber: Kozier, 2004)

2.3.3 Klasifikasi Nyeri 2.3.3.1 Nyeri secara Umum Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi 2 yaitu: nyeri akut dan nyeri kronik. Klasifikasi ini didasarkan pada waktu/durasi terjadinya nyeri. 1. Nyeri Akut. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu yang singkat, biasanya kurang dari 6 bulan (Kenworthy et al, 2002). Nyeri akut yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yang disebabkannya karena dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan imunologik (Yeager et al, 1987 & Benedetti et al, 1984 dalam Potter & Perry, 1997).

2. Nyeri Kronik. Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan, karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Jadi, nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Guyton & Hall, 1997). Nyeri kronik mengakibatkan supresi

pada fungsi sistem imun yang dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi dan ketidakmampuan. Tabel 2.4 Perbedaan Karakteristik Nyeri Akut dan Nyeri Kronik Karakteristik Tujuan /Keuntungan Awitan Intensitas Durasi Respon Otonom Nyeri Akut Memperingatkan adanya cedera atau masalah Mendadak Ringan s.d berat Singkat Konsisten dengan respon stress simpatis Heart rate meningkat Volume sekuncup meningkat Tensi meningkat Dilatasi pupil meningkat Tegangan otot meningkat Motilitas gastrointestinal menurun Aliran saliva menurun (mulut kering) Ansietas Nyeri Kronik Tidak ada Terus-menerus/intermiten Ringan s.d berat Lama (6 bulan atau lebih) Tidak terdapat respon otonom

Komponen psikologis

Depresi Mudah marah Menarik diri dari minat dunia luar Menarik diri dari persahabatan Respon jenis Tidur terganggu lainnya Nafsu makan menurun Libido menurun Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, neuralgia trigeminal Sumber : Porth CM. Pathofisiology : Conceps of Altered Health State, ed.4. Philadelphia, J.B Lippincot :1995. dalam Kenworthy. 2002

2.3.3.2 Nyeri Berdasarkan Sumber Nyeri Berdasarkan sumber nyerinya, nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif atau neuropatik (Kenworthy et al, 2002): 1. Nyeri Nosiseptif. Nosiseptif berasal dari kata noxious/harmful nature dan dalam hal ini ujung saraf nosiseptor, menerima informasi tentang stimulus yang mampu merusak jaringan. 2. Nyeri Neuropatik. Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di dalam sistem saraf. 2.3.3.3 Nyeri Spesifik Nyeri spesifik terdiri atas beberapa macam, antara lain nyeri somatis, yaitu nyeri yang umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cedera organ viseral ( (Aziz Alimul, 2006). Sedangkan nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ visera dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall, 1997). 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri Beberapa faktor mempengaruhi nyeri yang dialami oleh pasien, termasuk: 1. Pengalaman masa lalu dengan nyeri Peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu mempengaruhi reaksi terhadap nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan cepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri di masa mendatang dan dapat mentoleransi dengan lebih baik. Jika pernah mengalami nyeri tanpa pernah

sembuh maka ansietas dan bahkan rasa takut dapat muncul. Jika klien tidak pernah mengalami nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri (Potter & Perry, 1997). 2. Ansietas dan nyeri Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi pasien tentang nyeri, dan sebaliknya nyeri juga dapat menimbulkan ansietas. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mengalihkan perhatian pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 1997). 3. Budaya dan nyeri Budaya dan etnis mempunyai pengaruh terhadap bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri dan mengekpresikan nyeri. Terdapat variasi yang signifikan dalam ekspresi nyeri pada budaya yang berbeda. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka (Kozier, 2004). 4. Usia dan nyeri Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri khususnya pada lansia dan anak-anak. Pada lansia, cara berespons terhadap nyeri mungkin berbeda, persepsi nyeri mungkin berkurang, kecuali pada lansia yang sehat mungkin tidak berubah (Potter & Perry, 1997). 5. Efek plasebo Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil, bukan karena pengobatan atau tindakan tersebut benar-benar bekerja (Smeltzer & Bare, 1996) .

6. Makna Nyeri Makna seseorang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri (Potter & Perry, 1997). Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan (Potter & Perry, 1997). 7. Gaya Koping. Nyeri dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, jadi gaya koping mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi nyeri. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis dari nyeri. Sumber-sumber koping seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan atau menyanyi klien selama ia mengalami nyeri penting untuk dipahami (Potter & Perry, 1997). 2.3.5 Pengukuran Intensitas Nyeri. Aspekaspek multidimensional yang mempengaruhi nyeri dapat

digunakan oleh perawat untuk mengkaji nyeri sehingga dapat ditentukan manajemen nyeri yang sesuai. Ada beberapa aspek yang perlu dikaji pada nyeri yang biasanya disebut sistem P (Paliatif/Provokatif), Q (Quality), R (Regio), S (Severity), dan T (Time). Namun pembahasan hanya difokuskan pada severity/keparahan. Keparahan atau intesitas nyeri adalah karakteristik paling subjektif pada nyeri. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif daripada deskripsi nyeri pasien. Untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapeutik, maka skala penilaian numerik ( Numerical Rating

Scale) adalah yang paling efektif (Potter & Perry, 1997). Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 poin (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 1997). Pengukuran tingkat nyeri dapat dilakukan dengan wawancara tentang nyeri pada pasien. Perawat bertanya pada pasien tentang bagaimana gawatnya nyeri yang ia rasakan dengan bantuan Skala Bourbonais. Skala Bourbonais :
Nyeri ringan .Nyeri berat

0 Tidak Nyeri

4 5 6 7 Nyeri sedang

10 Sangat nyeri

2.3.6 Mekanisme Penurunan Nyeri 2.3.6.1 Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory) Teori pengendalian gerbang (Melzack & Wall, 1982 dalam Potter & Perry, 1997) menjelaskan mengapa terkadang sistem saraf pusat menerima stimulus berbahaya dan terkadang, meskipun pada kerusakan jaringan hebat,

mengabaikannya. Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan/gerbang ini dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus dan sistem limbik (Clancy & Mc Vicar, 1992 dalam Potter & Perry, 1997). Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

Gambar 2.2 Ilustrasi skematik Teori Pengendalian Gerbang (Sumber: Kozier, 2004)

Transmisi impuls nyeri melalui pintu gerbang sumsum tulang belakang dipengaruhi oleh: 1. Aktifitas serabut sensori. Gerbang akan terbuka dengan adanya perangsangan serabut A delta dan C yang melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme gerbang. Sinyal nyeri ini bisa diblok dengan stimulasi serabut A beta. Serabut saraf A beta adalah serat saraf bermielin yang besar sehingga mengantarkan impuls ke sistem saraf pusat jauh lebih cepat daripada serabut A delta atau serabut C. Serabut ini berespon terhadap masase ringan pada kulit, pergerakan dan stimulasi listrik (Kenworthy et al, 2002). Ketiga hal ini, dalam bahasa non fisiologi, membuat otak tetap sibuk sehingga mencegahnya untuk terlalu

terganggu dengan impuls yang datang dari sumber nyeri. Serabut ini banyak terdapat di kulit sehingga stimulasi kulit dapat menurunkan persepsi nyeri (Guyton & Hall, 1997). Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A beta, maka gerbang akan menutup. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut (Potter & Perry, 1997). 2. Neuroregulator: endorphin Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu dorsalis pada medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi 2 kelompok, yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinaps di antara 2 serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah eksitator dan inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinap (Potter & Perry, 1997). Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu. Endorphin (berasal dari kata endogenous morphin) dan juga enkefalin, serotonin, noradrenalin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah contoh

neuromodulator. Enkefalin dan endorphin diduga dapat menghambat impuls nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis. Kadarnya yang berbeda diantara individu menjelaskan mengapa stimuli nyeri yang sama dirasakan berbeda oleh orang yang berbeda. Kadar ini dikendalikan

oleh gen (Guyton & Hall, 1997; Potter & Perry, 1997). Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 1997). 2.3.6.3 Agen Anastetik dan Analgesik Spesifik Terdapat 3 kelompok obat analgesik (pereda nyeri) yang tersedia untuk menangani nyeri, kelompok pertama adalah non-opioid termasuk paracetamol dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OANS), yang dipertimbangkan untuk diberikan sebelum beralih ke kelompok kedua yaitu opioid, dan kelompok ketiga adalah adjuvan. Analgesik adjuvan adalah obat-obat yang tidak diklasifikasikan sebagai analgesik, tetapi dapat digunakan untuk menangani nyeri pada situasi tertentu, misalnya antidepresan dan antikonvulsan yang biasanya digunakan untuk penanganan nyeri neuropatik. Agens analgesik dapat diberikan dalam berbagai jalan seperti parenteral, oral, rektal, transdermal, dan intraspinal. 2.4 Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage 2.4.1 Definisi Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 1997). Slow-Stroke Back Massage adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 3-10 menit (Potter & Perry, 1997).

2.4.2 Pengaruh Pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage meliputi: a. Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak terpakai akan diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran zat yang lebih baik. Aktifitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit dan akan menunjang proses penyembuhan luka, radang setempat seperti abses, bisul-bisul yang besar dan bernanah, radang empedu, dan juga beberapa radang persendian (Stevens, 1999; Kenworthy, 2002; Kusyati E, 2006). b. Pada otot-otot, memiliki efek mengurangi ketegangan (Kusyati E, 2006). c. d. Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis (Kusyati E, 2006). Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot yang dapat meningkatkan nyeri. e. Penurunan intensitas nyeri, kecemasan, tekanan darah, dan denyut jantung secara bermakna (Mook E, 2003) 2.4.3 Petunjuk (Priharjo, 1993; Potter & Perry, 1997) a. Perawat harus bertanya pertama kali apakah klien menyukai usapan punggung karena beberapa klien tidak menyukai kontak secara fisik. b. Perlu diperhatikan kemungkinan adanya alergi atau kulit mudah terangsang, sebelum memberikan lotion. c. Hindari untuk melakukan masase pada area kemerah-merahan, kecuali bila kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase.

d. Masase punggung dapat merupakan kontraindikasi pada pasien imobilitas tertentu yang dicurigai mempunyai gangguan penggumpalan darah.

Identifikasi juga faktor-faktor atau kondisi seperti fraktur tulang rusuk atau vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka terbuka yang menjadi kontraindikasi untuk masase punggung. Pada klien yang mempunyai riwayat hipertensi atau disritmia, kaji denyut nadi dan tekanan darah. 2.4.4 Metode (Potter & Perry, 1997) Tehnik untuk stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage dilakukan dengan beberapa pendekatan, tetapi salah satu metode yang dilakukan ialah dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan dengan kecepatan 60 kali usapan per menit. Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya 5 cm pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum. Tehnik ini berlangsung selama 3-10 menit. 2.4.5 Prosedur Pelaksanaan (Potter & Perry, 1997) a. Subyek penelitian dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk. b. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan selimut. c. Peneliti mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan losion di telapak

tangan atau tempatkan botol losion ke dalam air hangat. Tuang sedikit losion di tangan. Jelaskan pada responden bahwa losion akan terasa dingin dan basah. Gunakan losion sesuai kebutuhan. d. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan telapak tangan sesuai dengan metode di atas. Jika responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan.

e. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa perawat mengakhiri usapan. i. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung klien dengan handuk mandi. Ikat kembali gaun atau bantu memakai baju/piyama. Bantu klien posisi yang nyaman. j. Letakkan handuk yang kotor pada tempatnya dan cuci tangan.

2.5 Stimulasi Kutaneus dalam Menurunkan Nyeri Osteoartritis Degenerasi pada kartilago artikuler dan hipertrofi tulang atau

pertumbuhan tulang berlebih dalam bentuk taji/tonjolan tulang yang terjadi pada penyakit osteoartritis akan menimbulkan pergesekan yang merangsang nyeri. Sendi adalah salah satu organ yang banyak memiliki reseptor nyeri (Guyton & Hall, 1997). Stimulus nyeri yang mencapai ambang nyeri akan menyebabkan aktivasi reseptor dan terjadi penjalaran impuls nyeri oleh serabut saraf A delta dan C. Adanya impuls ini akan menyebabkan gerbang nyeri di substansia gelatinosa terbuka. Namun dengan pemberian stimulasi kutan berupa usapan punggung, dimana stimulus ini direspons oleh serabut A beta yang lebih besar, maka stimulus ini akan mencapai otak lebih dahulu, dengan demikian akan menutup gerbang nyeri sehingga persepsi nyeri tidak timbul. Di samping itu, sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga persepsi nyeri tidak terjadi.

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA

3.1 Kerangka Konsep. Lansia

Osteoartritis

Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage

Nyeri pada persendian

Intensitas Nyeri: Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Sangat Nyeri

Respon sesudah intervensi: Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Sangat Nyeri

Dipengaruhi oleh: Pengalaman masa lalu Ansietas Budaya Usia Makna nyeri Gaya koping

Keterangan : : diteliti

: tidak diteliti

Penjelasan Kerangka Konsep Lansia mengalami berbagai perubahan akibat proses penuaan.

Perubahan ini mengakibatkan terjadinya gangguan, salah satunya adalah gangguan muskuloskeletal yaitu osteoartritis. Pada penyakit ini, gejala yang paling sering muncul dan menyebabkan lansia mencari perawatan kesehatan adalah nyeri pada persendian. Salah satu aspek yang paling sering dikaji untuk membantu meningkatkan kenyamanan lansia yang mengalami nyeri adalah intensitas nyeri. Intensitas nyeri dan nyeri secara umum dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, ansietas, budaya, usia, efek plasebo, makna nyeri dan gaya koping. Salah satu manajemen nyeri secara nonfarmakologi yaitu stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage, dapat digunakan untuk menurunkan intensitas nyeri pada persendian. Sebelum dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage, intensitas nyeri diukur begitu pula sesudah dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage. 3.2 Hipotesis Hipotesis yang diajukan peneliti adalah terdapat pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia.

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode pra

eksperimental dengan pendekatan one group pretest posttest. Ciri dari tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2003). 4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di Panti Werdha Griya Asih Lawang. 4.2.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di Panti Werdha Griya Asih Lawang yang memenuhi kriteria sampel. 4.2.2.1. Tehnik Pengambilan Sampel/Sampling Tehnik sampling dalam penelitian ini menggunakan tehnik Non

Probability Sampling dengan purposive sampling, yaitu mengambil keseluruhan subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan, yaitu : 1. Lansia yang berusia 55 tahun ke atas.

2. Lansia dengan osteoartritis primer sesuai dengan catatan medik panti. 3. Lansia yang mengalami nyeri di pinggul dan lutut. 4. Tidak sedang menggunakan analgesik. 5. Tidak memiliki kontraindikasi untuk usapan punggung 6. Kesadaran compos mentis dan mampu berkomunikasi dengan baik. 7. Kooperatif. 8. Bersedia menjadi subyek penelitian. 4.2.2.2 Besar Sampel Sampel diambil dari semua lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di Panti Werdha Griya Asih Lawang yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditentukan di atas. 4.3 Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu: 4.3.1 Variabel bebas (Independen) Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah pemberian stimulus kutaneus: slow-stroke back massage pada lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di Panti Werdha Griya Asih Lawang. 4.3.2 Variabel terikat (dependent) Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah intensitas nyeri pada lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di Panti Werdha Griya Asih Lawang. 4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Panti Werdha Griya Asih Lawang. Berdasarkan laporan yang ada, di tempat tersebut belum pernah dilakukan

penelitian mengenai pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia. Alokasi waktu untuk penyusunan proposal penelitian sampai dengan laporan hasil penelitian adalah mulai minggu ke-1 September 2007 sampai minggu ke-4 Desember 2007. Sedangkan waktu untuk pengumpulan dan pengolahan data adalah Bulan November 2007. 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 4.5.1 Bahan dan Instrumen Intervensi Bahan dan instrumen yang digunakan untuk melakukan intervensi dalam penelitian ini adalah: 1. Pelumas: minyak hangat 2. Selimut mandi 3. Handuk mandi 4. Stopwatch 4.5.2 Instrumen Pengumpulan Data Sebagai instrumen untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah lembar wawancara dan lembar observasi berupa Skala Bourbonais untuk mengukur intensitas nyeri saat pre-test dan post-test pada responden yang diteliti. 4.6 Definisi Operasional 1. Osteoartritis pinggul adalah penyakit pada sendi di pinggul yang ditandai dengan manifestasi klinis berupa nyeri pinggul, kekakuan pagi < 60 menit, umur > 50 tahun dan nyeri saat rotasi internal. 2. Untuk variabel penelitian, definisi operasionalnya sebagai berikut:

Tabel 4.1 Format Definisi Operasional N Variabel o 1 Independent: Stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage Definisi Alat Ukur Skala Skor

Dependent: Intensitas nyeri osteoartritis pada lansia

Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage adalah upaya yang dilakukan untuk menurunkan tingkat nyeri dengan cara memberikan usapan pada kulit punggung klien menggunakan tangan secara berirama dengan kecepatan 60 kali usapan per menit selama 10 menit. Usapan akan dilakukan pada pagi hari saat lansia biasanya mengalami nyeri dan akan dilakukan oleh peneliti sendiri. Adalah sensasi subyektif Obserrasa tidak nyaman pada vasi sendi di pinggul dan lutut akibat penyakit osteoartritis yang dirasakan oleh lansia, yang diukur dengan skala nyeri Bourbonais & Ellen. Intensitas nyeri diukur 2 kali yaitu saat mengalami nyeri sebelum dilakukan pemberian stimulasi kutaneus dan langsung setelah pemberian stimulasi kutaneus selama 10 menit. Pengukuran nyeri akan dilakukan oleh seorang pengumpul data.

Ordinal

Pada skala 0-10 dengan kriteria: 0: tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat 10 79: 46: 13:

: sangat nyeri

4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Persiapan 4.7.1.1 Persiapan Responden Penelitian dimulai dengan penentuan sampel yang diambil dari lansia yang mengalami nyeri osteoartritis di daerah pinggul dan lutut sesuai dengan kriteria sampel. Kemudian responden diberi penjelasan mengenai tujuan, manfaat, dan prosedur intervensi penelitian serta dimintai persetujuannya. Setelah mendapat penjelasan, apabila responden bersedia, maka responden mengisi informed consent, selanjutnya persiapan responden untuk prosedur pemberian stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage saat mengalami nyeri di pagi hari.

4.7.1.2 Persiapan Bahan dan Instrumen Stimulasi Kutaneus Persiapan bahan dan instrumen stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage meliputi penyediaan pelumas (lotion/minyak hangat), handuk, selimut mandi dan stopwatch. 4.7.2 Prosedur Pelaksanaan Pemberian Stimulasi Kutaneus Pemberian stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage diberikan saat lansia mengalami nyeri akibat penyakit osteoartritis, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Responden dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk. 2. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan selimut mandi. 3. Peneliti mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan losion di telapak tangan atau tempatkan botol losion ke dalam air hangat. Tuang sedikit losion di tangan. Jelaskan pada responden bahwa losion akan terasa dingin dan basah. Gunakan losion sesuai kebutuhan. 4. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan telapak tangan, secara perlahan dan berirama dengan kecepatan 60 kali usapan per menit. Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya 5 cm pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum. Tehnik ini berlangsung selama 10 menit. Jika responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan. 5. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa perawat mengakhiri usapan.

6. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung klien dengan handuk mandi. Ikat kembali gaun atau bantu memakai baju/piyama. Bantu klien posisi yang nyaman. 7. Letakkan handuk yang kotor pada tempatnya dan cuci tangan. 4.7.3 Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Pengisian lembar observasi dilakukan 2 kali yaitu sebelum diberikan stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage dan langsung setelah diberikan stimulasi kutaneus : slow-stroke back massage.

Secara skematis prosedur pengumpulan data digambarkan sebagai berikut:

Persiapan bahan, alat & responden

Lansia mengalami nyeri osteoartritis sesuai kriteria inklusi

Intensitas nyeri diukur dengan Skala Bourbonais (pre-test)

Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage selama 10 menit

Intensitas nyeri diukur dengan Skala Bourbonais (post-test)

Gambar 4.1 Skema Prosedur Pengumpulan Data

4.8 Tehnik Pengolahan dan Analisa Data Pengukuran tingkat nyeri dalam penelitian ini dilakukan 2 kali yaitu sebelum perlakuan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest). Untuk mengetahui apakah ada perubahan tingkat nyeri pada klien osteoartritis, maka dilakukan tabulasi dan analisis data dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk membandingkan data sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dengan tingkat signifikansi p 0,05 dan tingkat kepercayaan 95%. Bila hasil perhitungan p < 0,05 berarti Ho ditolak.

Tabel 4.2 Rencana Tabulasi Data

No. 1 N

Pre Test Skala Skor

Skala

Post Test Skor

Beda

4.9 Etika dalam penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapat izin dari institusi Panti Werdha Griya Asih Lawang untuk melakukan penelitian. Setelah mendapat izin, barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi : 1. Lembar Persetujuan (Informed Consent) Lembar persetujuan ini diberikan dan dijelaskan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian serta manfaat penelitian dengan tujuan responden dapat mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek. 2. Tanpa Nama (Anonymity) Peneliti tidak akan mencantumkan nama subjek pada lembar

pengumpulan data yang diisi subjek, tetapi hanya diberikan kode tertentu, demi menjaga kerahasiaan identitas subyek. 3. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu, mulai tanggal 15 Desember 2007 sampai dengan tanggal 5 Januari 2008 di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang. Panti Werdha Griya Asih Lawang ini dipilih karena masih dalam wilayah Kota Malang dan sebelumnya sudah ada kerja sama dengan Jurusan Keperawatan Universitas Brawijaya, situasi dan kondisi lingkungannya nyaman dan tenang dan yang paling penting adalah jumlah sampel memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Subyek penelitian yang diambil adalah seluruh lansia berusia 55 tahun ke atas yang mengalami nyeri osteoartritis. Berdasarkan kriteria inklusi didapatkan 10 subyek penelitian yang dimasukkan ke dalam 1 kelompok perlakuan. 5.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian Berikut ini akan ditampilkan data karakteristik subyek penelitian: 5.1.2.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan karakteristik jenis kelamin subyek penelitian didapatkan hasil bahwa seluruh subyek penelitian (100%) berjenis kelamin perempuan karena Panti Werdha Griya Asih Lawang hanya menerima lansia perempuan.

5.1.2.2 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Usia

0% 20%

55-69 70-89 >90

80%

Diagram 5.1.2.2 Diagram Lingkaran Usia Subyek Penelitian di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 15 Desember 2007 5 Januari 2008

Berdasarkan karakteristik usia subyek penelitian dari diagram di atas didapatkan hasil sebagai berikut, kelompok usia 55-69 tahun 20 %, kelompok usia 70-89 tahun 80%, dan kelompok usia > 90 tahun 0%. 5.1.2.3 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Suku

20%

Jaw a 50% Cina Batak

30%

Diagram 5.1.2.3 Diagram Lingkaran Suku Subyek Penelitian di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 15 Desember 2007 5 Januari 2008

Berdasarkan karakteristik suku pada diagram di atas dapat dilihat bahwa subyek penelitian yang berasal dari Suku Jawa 50%, suku Cina 30% dan Suku Batak 20%. 5.1.2.4 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Riwayat Pendidikan

10% 10% 30% Tidak Sekolah SD SMP SMU

50%

Diagram 5.1.2.4 Diagram Lingkaran Riwayat Pendidikan Subyek Penelitian di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 15 Desember 2007 5 Januari 2008

Berdasarkan riwayat pendidikan pada diagram di atas dapat dilihat bahwa subyek penelitian yang tidak sekolah 30%, SD 50%, SMP 10%, dan SMU 10%. 5.1.2.5 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Riwayat Pekerjaan

10% 30% 20% Tidak Bekerja Pembantu Wiraswasta Pegawai

40%

Diagram 5.1.2.5 Diagram Lingkaran Riwayat Pekerjaan Subyek Penelitian di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 15 Desember 2007 5 Januari 2008

Berdasarkan riwayat pekerjaan pada diagram di atas dapat dilihat bahwa subyek penelitian yang tidak bekerja 30%, pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga 40%, wiraswasta 20%, dan pegawai 10%. 5.1.2.6 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Lokasi Nyeri

20%

Pinggul Lutut

80%

Diagram 5.1.2.6 Diagram Lingkaran Lokasi Nyeri Subyek Penelitian di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, 15 Desember 2007 5 Januari 2008

Berdasarkan lokasi nyeri yang dirasakan subyek penelitian pada diagram di atas dapat dilihat bahwa subyek penelitian yang mengalami nyeri di bagian pinggul 80% dan sisanya mengalami nyeri di bagian lutut 30%. 5.1.3 Hasil Pengukuran Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia

Sebelum Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Berdasarkan hasil pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 dari Bourbonais didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 5.1.3 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Intensitas Nyeri Frekuensi Prosentase (%) Tidak Nyeri 0 0 Nyeri Ringan 0 0 Nyeri Sedang 10 100 Nyeri Berat 0 0 Nyeri Sangat Berat 0 0 Jumlah 10 100 Dari tabel 5.1.3 di atas dapat diketahui bahwa intensitas nyeri yang dirasakan oleh semua subyek penelitian sebelum dilakukan stimulasi kutaneus:

slow-stroke back massage adalah nyeri sedang. Data ini menunjukkan bahwa nyeri sedang adalah yang paling sering muncul (100%). 5.1.4 Hasil Pengukuran Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia

Sesudah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Setelah subyek penelitian diberikan stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage selama 10 menit, segera dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 dan didapatkan hasil: Tabel 5.1.4 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Intensitas Nyeri Sesudah Dilakukan Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Intensitas Nyeri Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri Sangat Berat Jumlah Frekuensi 0 6 4 0 0 10 Prosentase (%) 0 60 40 0 0 100

Dari tabel 5.1.4 di atas dapat diketahui bahwa intensitas nyeri yang dirasakan oleh subyek penelitian sesudah dilakukan stimulasi kutaneus: slowstroke back massage adalah subyek penelitian yang mengalami nyeri sedang menurun, dan yang mengalami nyeri ringan meningkat.

5.1.5

Perubahan Intensitas Nyeri Subyek Penelitian Sebagai Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage

7 6 5 Intensitas Nyeri 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Subyek Penelitian

Pre test Post test

Diagram 5.1.5 Perubahan Intensitas Nyeri Subyek Penelitian Sebelum dan Sesudah Dilakukan Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage

Dari diagram di atas dapat dilihat distribusi penurunan intensitas nyeri pada subyek penelitian, yaitu: Turun Tetap Meningkat : 60% : 40% : 0%

Berdasarkan hasil tabel pada lampiran 8 diketahui bahwa setelah dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage, subyek penelitian yang mengalami nyeri sedang dengan nilai 4-6 mengalami penurunan menjadi nyeri ringan dengan nilai 2-3. Selain itu terdapat subyek penelitian yang tetap merasakan nyeri sedang dengan nilai 4-5.

5.2 Analisa Data Data dianalisa dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) menggunakan bantuan

software SPSS for Windows versi 11.0. Berdasarkan hasil uji ini, didapatkan nilai p adalah 0,011 dengan demikian p value < (0,011 < 0,05), maka Ho ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang.

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Nyeri Osteoartritis Sebelum Dilakukan Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Sebelum dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage pada nyeri osteoartritis untuk melihat pengaruhnya terhadap intensitas nyeri, dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Bourbonais 0-10 pada seluruh subyek penelitian. Pada penyakit osteoartritis terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang rawan baru pada dasar lesi tulang rawan sendi dan tepi sendi (osteofit) (Noer, 1996). Selanjutnya, bagian-bagian tonjolantonjolan tulang ini atau kartilago yang remuk masuk ke dalam cairan sinovial dan akhirnya menyebabkan timbulnya persepsi nyeri (Reeves, 1999). Dari tabel 5.1.3 terlihat bahwa 100% subyek penelitian merasakan nyeri sedang dengan nilai skala nyeri yang berbeda-beda dari 4-6, berarti ada perbedaan persepsi nyeri meskipun stimulusnya sama. Hal ini dimungkinkan karena secara alami, nyeri adalah pengalaman yang bersifat sangat pribadi/personal (Kenworthy et al, 2002) sehingga masing-masing individu akan mempersepsikan nyerinya dengan berbeda pula tergantung pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi nyeri. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor

neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri, diantaranya pengalaman masa lalu dengan nyeri, usia, budaya, ansietas, makna nyeri dan gaya koping (Potter & Perry, 1997). Berdasarkan tabel 5.1.3 juga terlihat bahwa seluruh subyek penelitian mengalami nyeri sedang. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan tipe nyeri osteoartritis tersebut termasuk nyeri kronis dimana klien sudah pernah merasakan nyeri sebelumnya dan berlangsung selama lebih dari 6 bulan. Nyeri

kronik ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Guyton & Hall, 1997) yang memang terjadi pada osteoartritis berupa kerusakan fokal pada kartilago sendi. Adanya pengalaman nyeri sebelumnya mempengaruhi sistem kognitifevaluatif klien yang kemudian membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan pada saat nyeri berikutnya (Potter & Perry, 1997). Karenanya nyeri sebagian besar berada pada tingkat sedang, bukan akut atau berat. Melihat hasil penelitian pada diagram 5.1.2.2 mengenai karakteristik usia subyek penelitian, dapat disimpulkan bahwa kejadian nyeri osteoartritis meningkat seiring dengan peningkatan usia. Usia merupakan salah satu faktor resiko untuk penyakit osteoartritis. Hal ini berhubungan dengan refleksi perubahan kimia dari kartilago artikuler seiring dengan usia (Kaufman et al, 1996), antara lain perubahan-perubahan dalam fungsi kondrosit, meningkatkan perubahan pada komposisi tulang rawan sendi yang mengarah pada perkembangan osteoartritis (Price, 1995). 6.2 Nyeri Osteoartritis Sesudah Dilakukan Pemberian Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage selama 10 menit pada subyek penelitian memperlihatkan hasil seperti yang tercantum pada tabel 5.1.4, dimana terdapat 40% subyek penelitian mengalami nyeri sedang yang sebelumnya mengalami nyeri sedang dengan nilai lebih tinggi dan 60% subyek penelitian mengalami nyeri ringan yang sebelumnya mengalami nyeri sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa penurunan nilai intensitas nyeri setiap individu berbeda-beda walaupun stimulus yang menyebabkan nyeri dan perlakuan yang diberikan sama. Hal ini berhubungan dengan salah satu atribut

pasti dalam pengalaman nyeri yaitu bahwa nyeri bersifat individu (Mahon, 1994 dalam Potter & Perry, 1997) sehingga respon yang terjadi setelah perlakuan tidak dapat disamakan dengan orang lain. Pada diagram 5.1.5 terdapat 4 subyek penelitian yang tetap mengalami nyeri sedang, yaitu 2 subyek dengan nilai dari 6 dan 5 menjadi 4 dan 2 subyek dengan nilai skala yang tetap yaitu 4 dan 5. Hal ini karena nyeri seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengalaman masa lalu, ansietas, budaya, usia, dan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 1996) serta makna nyeri dan gaya koping(Potter & Perry, 1997). Peredaan nyeri yang adekuat atau tidak di masa lalu akan mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri (Potter & Perry, 1997). Jadi jika nyerinya teratasi dengan cepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri di masa mendatang dan dapat mentoleransi nyeri dengan lebih baik. Namun jika individu pernah mengalami nyeri tanpa pernah sembuh maka ansietas dan bahkan rasa takut dapat muncul yang dapat menguatkan persepsi terhadap nyeri. Akibatnya dengan tindakan tertentu untuk mengurangi nyeri kadang sulit berhasil, intensitas nyeri yang dirasakan cenderung tetap (tidak terjadi penurunan). Faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus (misalnya ansietas dan gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri. Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien tentang nyeri (Potter & Perry, 1997). Jadi jika ketika dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage subyek penelitian sedang mengalami cemas atau gangguan tidur, maka dapat mempengaruhi intensitas nyeri sehingga nyeri yang dirasakan menjadi tetap. Gaya koping juga dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi nyeri karena nyeri dapat menyebabkan seseorang merasa

kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis dari nyeri seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan atau menyanyi (Potter & Perry, 1997). Jadi klien dengan sumber koping dan gaya koping yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kemampuannya mengatasi nyeri berkurang sehingga persepsi nyeri yang dirasakannya cenderung tetap. Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap subyek penelitian yang dapat dilihat pada lampiran 8 didapatkan hasil bahwa 20% subyek penelitian tidak mengalami penurunan nilai skala nyeri, 30% subyek penelitian mengalami penurunan intensitas nyeri sebanyak 1 nilai, 30% subyek penelitian mengalami penurunan intensitas nyeri sebanyak 2 nilai dan 20% subyek penelitian mengalami penurunan intensitas nyeri sebanyak 3 nilai. Penurunan nyeri sebanyak 1 nilai terjadi dari intensitas nyeri sedang menjadi ringan yaitu dari nilai 4 menjadi nilai 3 sebanyak 2 subyek penelitian dan dari nilai 5 menjadi nilai 4. Penurunan nyeri sebanyak 2 nilai terjadi dari tingkat nyeri sedang menjadi nyeri ringan yaitu dari nilai 4 menjadi 2, dan tetap pada tingkat nyeri sedang, hanya nilainya saja yang berubah yaitu dari nilai 6 menjadi 4. Subyek penelitian yang mengalami penurunan nyeri sebanyak 3 nilai yaitu pada tingkat nyeri sedang dengan nilai 6 dan 5 menjadi tingkat nyeri sedang dengan nilai 3 dan 2. Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate control, yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan dengan memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate), dan teori endorphin, yaitu menurunnya intensitas nyeri dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan

pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage, dapat merangsang

serabut A beta yang banyak terdapat di kulit dan berespon terhadap masase ringan pada kulit sehingga impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebri untuk diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 1996). Di samping itu, sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi nyeri dan persepsi nyeri tidak terjadi (Potter & Perry, 1997). Jadi intensitas nyeri yang dirasakan dapat mengalami penurunan. 6.3 Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Berdasarkan tabel 5.1.3, sebelum dilakukan pemberian stimulasi

kutaneus: slow-stroke back massage, semua subyek penelitian (100%) mengalami nyeri sedang, yang diakibatkan oleh bagian-bagian tonjolan-tonjolan tulang atau kartilago yang remuk yang kemudian masuk ke dalam cairan sinovial dan akhirnya merangsang nosiseptor yang terdapat pada sendi dan periosteum (Reeves, 1999; Guyton & Hall, 1997). Osteoartritis adalah nyeri yang bersifat recurrent, dengan demikian pengalaman nyeri sebelumnya membantu individu untuk dapat melakukan tindakan pada saat nyeri berikutnya sehingga nyeri yang dirasakan cenderung berada pada tingkat sedang. Setelah dilakukan stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage, maka serabut saraf A beta yang banyak terdapat di kulit akan terangsang sehingga pintu gerbang tertutup dan stimulus nyeri tidak diteruskan ke otak. Di samping itu, endorphin juga dilepaskan sehingga kadarnya meningkat. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan intensitas dan nilai skala nyeri yang dirasakan oleh subyek penelitian.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.5, dimana 80% subyek penelitian mengalami penurunan intensitas nyeri. Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan = 0,05 didapatkan p value = 0,011. Dengan demikian p value < (0,011 < 0,05, maka Ho ditolak. Dari hasil analisa di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage memiliki pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia. Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri lansia dengan nyeri osteoartritis. Dengan demikian pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk menurunkan intensitas nyeri osteoartritis pada lansia secara non farmakologis yang relatif tidak menimbulkan efek samping. 6.4 Keterbatasan Penelitian Peneliti menghadapi beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan

penelitian ini, antara lain: 1. Tehnik sampling yang menggunakan Non Probability Sampling dengan purposive sampling sehingga tidak ada kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel dan jumlah sampel yang kemungkinan sedikit sehingga kurang representatif dan tidak dapat digeneralisasi. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri antara lain pengalaman masa lalu, ansietas, makna nyeri dan gaya koping tidak dapat dikontrol sepenuhnya dalam kriteria inklusi, karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. 3. Pemeriksaan rontgen pada sendi yang sakit untuk menegakkan secara pasti diagnosis osteoartritis tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu, tenaga kesehatan, biaya, fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Panti.

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan Skala Bourbonais 0-10 pada subyek penelitian sebelum dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage diperoleh hasil bahwa seluruh subyek penelitian mengalami nyeri sedang (100%). 2. Hasil pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan Skala

Bourbonais 0-10 setelah dilakukan pemberian stimulasi kutaneus: slowstroke back massage diperoleh sebagian besar subyek penelitian mengalami penurunan nyeri (80%) dan sebagian kecil tidak mengalami penurunan nyeri (20%). 3. Setelah dilakukan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh hasil p value < (0,011 < 0,05) maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempengaruhi intensitas nyeri orteoartritis pada lansia. 7.2 Saran 1. Stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terbukti memiliki pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia sehingga perawat dapat memberikan stimulasi kutaneus dengan tehnik slow-stroke back massage sebagai salah satu alternatif intervensi keperawatan secara non farmakologis untuk membantu klien dengan nyeri osteoartritis. 2. Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terbukti memiliki pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia disamping memerlukan juga merupakan alat tindakan dan biaya yang mudah, aman, tidak dapat

banyak

sehingga

perawat

mensosialisasikan cara melakukan stimulasi kutaneus ini kepada keluarga dan masyarakat luas khususnya lansia. 3. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada penelitian ini, maka penelitian berikutnya sebaiknya menggunakan sampel yang lebih representatif dan lebih banyak, diambil secara acak, menggunakan kelompok kontrol dan persiapan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta

Billings, Diane Mc. Govern; Lillian Gatlin Stokes. 1982. Medical Surgical Nursing, The C.V Mosby Company, Toronto Daniel. 2006. OAINS Konvensional Masih Jadi Pilihan, http://www.majalahfarmacia.com/default.asp, Diakses tanggal 25 September 2007 Darmojo, B. 1999. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Pustaka FKUI, Jakarta Darmojo, B. 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3, Balai Pustaka FKUI, Jakarta Ellen, Martha Keene. 2000. Nursing Intervention & Clinical Skill , 2rd edition, Mosby, USA Guyton, Arthur C; Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9, EGC, Jakarta Hartono, M. 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis, Puspa Swara, Surakarta Hidayat, A.Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Salemba Medika, Jakarta Hutapea, R. 2005. Sehat dan Ceria di Usia Senja, Rineka Cipta, Jakarta Ignativicius, D.D. 1991. Medical Surgical Nursing, Saunders Company, USA Kaufman, CE; Patrick A. McKee. 1996. Essentials of Pathofisiology, Little Brown & Company, USA Kenworthy, Snowley, Gilling. 2002. Common Foundation Studies in Nursing, Third Edition, Churchill Livingstone, USA Koopman, WJ. 1997. Arthritis and Allied Conditions: A Rheumatology, William & Wilkins A Waverly Company, USA Textbook of

Kozier, Barbara; Glenora Erb; Audrey Berman; Shirlee J. Snyder. 2004. Fundamental Nursing: Concept and Procedures. 8th edition. Pearson Prentice Hall, USA Kulkarni, B; Bentley DE; R. Elliot. 2007. Arthritic Pain Is Processed in Brain Areas Concern With Emotions and Fear. http://www.interscience.com/journal/artritis, Diakses 6 Juni 2007 Kuntaraf, J. 1992. Olahraga Sumber Kesehatan, Advent Indonesia, Bandung Kusyati, E. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar, EGC, Jakarta

Long, B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah I, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung Lueckkeenotte, S.G. 1996. Gerontology Nursing, Mosby, Philadephia Mok, E; Chin Pang Woo. 2004. The Effects of Slow-Stroke Back Massage on Anxiety and Shoulder Pain In Elderly Stroke Patients , http://www.sciencedirect.com/science, Diakses 30 October 2007 Noer, M. Sjaifoellah. 1996. Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta Notoatmojo, Soekidjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Nugroho, W. 2000. Keperawatan Lanjut Usia, EGC, Jakarta Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta Potter, Patricia A; Anne Griffin Perry. 1997. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2 , Renata Komalasari (penterjemah), 2005, EGC, Jakarta Price, Silvia A. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinik dan Proses-Proses Penyakit , EGC, Jakarta Priharjo, R. 1993. Perawatan Nyeri : Pemenuhan Aktivitas Istirahat Pasien, EGC, Jakarta Reeves, Charlene J; Gayle Roux, Robin Lockhart. 1999. Medical Surgical Nursing, Mc. Graw-Hill. Companies Inc, USA Smeltzer SC, Bare B.G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 1. Agung Waluyo (penterjemah), 2001, EGC, Jakarta Smeltzer SC, Bare B.G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3. Agung Waluyo (penterjemah), 2001, EGC, Jakarta Stevens, P.J.M. 1999. Ilmu Keperawatan Jilid 1 Edisi 2. Ed. Monica Ester., EGC, Jakarta. Sugiyono. 1998. Statistik Untuk Penelitian, Alva Beta, Bandung Lampiran 1

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi : Xnuxer Right Back : 085658008099 : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benarbenar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Malang, 16 Januari 2008 Yang membuat pernyataan

NI PUTU SUMARTINI NIM. 0610722041

Lampiran 2

PENGANTAR PENGUMPULAN DATA


(LEMBAR OBSERVASI)

Judul Penelitian

: Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang. : XNUXER RIGHT BACK (Nomor telepon yang dapat pertanyaan 08123737417) dihubungi bila ada

Peneliti

Pembimbing

: I. DR. dr. Loeki Enggar Fitri, M.Kes, Sp. Park. II. Yulian Wiji Utami, SKp.M.Kes.

Para Responden Yang Terhormat, Saya adalah mahasiswa semester III pada Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Dalam rangka untuk menyelesaikan Tugas Akhir, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang dimana saya akan memberi perlakuan berupa usapan pada punggung secara perlahan. Saya berkeyakinan bahwa penelitian ini memiliki manfaat yang luas, baik untuk institusi pelayanan kesehatan khususnya panti werdha dalam manajemen nyeri maupun bagi profesi keperawatan sendiri dalam upaya meningkatkan khasanah pengetahuan ilmu keperawatan. Apabila Bapak/Ibu/Sdr(i) bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian saya ini, saya persilahkan Bapak/Ibu/Sdr(i) menandatangani persetujuan menjadi subjek penelitian. Atas kesediaan dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Mengetahui Pembimbing I Malang, ................................ Peneliti

DR.dr.Loeki Enggar Fitri, M.Kes, Sp.Park NIP. 131967344 Lampiran 2 Lampiran 3

Ni Putu Sumartini NIM. 0610722041

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN SUBYEK PENELITIAN

Saya telah mendapat penjelasan dengan baik mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang berjudul Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang. Saya mengerti bahwa saya akan ditanya mengenai keparahan nyeri yang saya alami dan akan diberikan usapan punggung secara perlahan saat mengalami nyeri, kemudian ditanya kembali mengenai keparahan nyeri setelah diberi usapan. Saya mengerti bahwa resiko yang akan terjadi dari penelitian ini tidak ada. Apabila ada perlakuan atau tindakan yang menimbulkan respons emosional, maka penelitian akan dihentikan dan peneliti akan memberi dukungan. Saya mengerti bahwa catatan mengenai data penelitian ini akan dirahasiakan, dan kerahasiaan akan terjamin. Informasi mengenai indentitas saya tidak akan ditulis pada intrumen penelitian dan akan disimpan secara terpisah ditempat yang aman. Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk berperan serta dalam penelitian ini atau mengundurkan diri dari penelitian setiap saat tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak-hak saya. Saya telah diberi kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini atau mengenai peran serta saya dalam penelitian ini, dan telah dijawab serta dijelaskan secara memuaskan. Saya secara sukarela dan sadar bersedia berperan serta dalam penelitian ini dengan menandatangani Surat Persetujuan Menjadi Responden/ subyek Penelitian. Peneliti Lawang, . Responden,

Ni Putu Sumartini NIM. 0610722041

Saksi 1

Saksi 2

Lampiran 4

PERNYATAAN TELAH MELAKUKAN INFORMED CONSENT

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi : Xnuxer Right Back : 085658008099 : Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya menyatakan bahwa saya telah melaksanakan proses pengambilan data penelitian sesuai dengan yang disetujui pembimbing dan telah memperoleh pernyataan kesediaan dan persetujuan dari responden sebagai sumber data.

Malang, Desember 2007 Yang membuat pernyataan

Xnuxer Right Back NIM. 085658008099 Mengetahui Pembimbing I

DR.dr.Loeki Enggar Fitri, M.Kes, Sp.Park NIP. 131967344

Menyetujui, Tim Etika Penelitian FKUB

Titin Andri Wihastuti, SKp, M.Kes NIP. 132 304 628 Lampiran 5

LEMBAR WAWANCARA
JUDUL : Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang.

No. Responden Inisial Umur

: : : 1 2 60-70 thn 70-90 thn Jawa Madura Tidak Sekolah SD 3 4 3 4 5 Cina Lain............. SMP SMU Sarjana Wiraswasta Lain ............. 3 > 90 thn

Suku

1 2 1 2

Riwayat Pendidikan

Riwayat Pekerjaan Pertanyaan:

1 2

Pekerja Kasar Pegawai

3 4

1. Apakah anda suka mendapatkan usapan perlahan pada punggung? Ya Tidak 1 2 2. Selama dirawat di panti werdha, pernahkan anda diusap punggungnya? 1 Ya 2 Tidak

3. Pernahkan anda diusap punggung untuk mengatasi nyeri? Ya Tidak 1 2 4. Bagaimanakah sifat nyeri yang anda rasakan? 1 2 Berdenyut Tajam 3 4 Tajam Kram 5 6 7 Terus-menerus Hilang timbul Lain-lain............

Lampiran 6

LEMBAR OBSERVASI
JUDUL : Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang.

No. Responden Inisial

: :

PRE EKSPERIMEN Skala Bourbonais :


Nyeri ringan .Nyeri berat

0 Tidak Nyeri

4 5 6 7 Nyeri sedang

10 Sangat nyeri

POST EKSPERIMEN Skala Bourbonais :


Nyeri ringan .Nyeri berat

0 Tidak Nyeri

4 5 6 7 Nyeri sedang

10 Sangat nyeri

Petunjuk:

Lingkarilah nomor/skala yang sesuai dengan nyeri yang dirasakan dengan patokan 0 untuk tidak nyeri dan 10 untuk nyeri yang sangat berat. Kriteria Penilaian: Lampiran 7 Tidak ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Sangat nyeri :0 : 1-3 : 4-6 : 7-9 : 10

TABEL INDUK KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN


No. Umur Jenis Subyek (Thn) Kelamin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 82 80 87 85 70 67 78 81 69 85 P P P P P P P P P P Suku Riwayat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Sekolah SD SMU SD SD SMP Tidak Sekolah SD SD Riwayat Pekerjaan Pembantu Pembantu Tidak Bekerja Wiraswasta Pembantu Tidak Bekerja Pegawai Pembantu Tidak Bekerja Wiraswasta Lokasi Nyeri Pinggul Pinggul Pinggul Pinggul Lutut Pinggul Pinggul Lutut Pinggul Pinggul

Jawa Cina Batak Jawa Jawa Cina Batak Jawa Jawa Cina

Lampiran 8

Tabel Beda Rata-Rata Pre Test dan Post Test

No. Subyek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pre Test Skala Skor Sedang 6 Sedang 5 Sedang 5 Sedang 4 Sedang 4 Sedang 4 Sedang 6 Sedang 5 Sedang 4 Sedang 5

Post Test Skala Skor Ringan 3 Ringan 2 Sedang 5 Ringan 2 Ringan 3 Sedang 4 Sedang 4 Sedang 4 Ringan 3 Ringan 3

Beda 3 3 0 2 1 0 2 1 1 2

Penurunan 1 nilai Penurunan 2 nilai Penurunan 3 nilai Tetap

: 3 subyek penelitian : 3 subyek penelitian : 2 subyek penelitian : 2 subyek penelitian

30 30 20 20

% % % %

Lampiran 9

Hasil test Wilcoxon Program SPSS For Windows versi 11.0 Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoarthritis Pada Lansia

NPar Tests
Descriptive Statistics N Pre test Post test 10 10 Mean 4,80 3,30 Std. Deviation ,789 ,949 Minimum 4 2 Maximum 6 5

Wilcoxon Signed Ranks Test


Ranks N Post test - Pre test Negative Ranks Positive Ranks Ties Total a. Post test < Pre test b. Post test > Pre test c. Post test = Pre test
b Test Statistics

8a 0b 2c 10

Mean Rank 4,50 ,00

Sum of Ranks 36,00 ,00

Post test Pre test Z -2,549 a Asymp. Sig. (2-tailed) ,011 a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Anda mungkin juga menyukai