Anda di halaman 1dari 4

Peran Malaysia Dalam Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina Dengan Moro National Liberation Front (MNLF)

I.

Alasan Pemilihan Judul

Konflik di selatan Filipina telah berlangsung sejak lama. Konflik ini merupakan konflik yang pada awalnya berkaitan dengan agama dan tanah. Namun lama kelamaan, konflik ini berkaitan dengan geografi, sejarah dan juga factor kepentingan. Hanya saja konflik ini mengalami pasang surut. Sejarah Filipina mengatakan bahwa bangsa Spanyol yang datang pada abad ke 16, mula-mula mereka hanya berusaha untuk menguasai kawasan Luzon dan kepulauan utara yang lain yang dikenal sebagai Filipina. Setelah kawasan ini berhasil dikuasai, maka Spanyol mulai meleburkan wilayah jajahannya dengan mengalihkan perhatiannya kepada Mindanau dan Sulu, tetapi kesultanan dibagian selatan ini selalu berhasil mengusir Spanyol dari wilayahnya selama lebih dari 300 tahun. Ketika Spanyol berkuasa, Spanyol melakukan misi pengkristenan atas wilayah-wilayah di Filipina bagian utara, sehingga ini menyebabkan semua orang Muslim lari menuju ke selatan Filipina. Pada akhirnya Spanyol berhasil menguasai Moro dengan melakukan migrasi penduduk Kristen di Filipina Utara secara besar-besaran ke wilayah Moro yang berada di selatan. Adanya Perjanjian Paris pada Desember 1898 antara Spanyol dengan Amerika Serikat telah menyebabkan Spanyol menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya di Filipina kepada Amerika Serikat termasuk kawasan Mindanao dan Sulu, yang bukan separuhnya di bawah pengaruh Spanyol. Konflik ini dari hari ke hari semakin bertambah buruk saja, terdapatnya jurang ekonomi antara yang Kristen dengan yang islam sebagai akibat dari migrasi telah menyebabkan bangsa Moro menjadi bangkit untuk melawan ketidakadilan dengan melalui MNLF (Moro National Front Liberation). Usaha yang dilakukan oleh MNLF tidak hanya pada peperangan saja tapi ia juga melakukan jalan diplomasi dengan meminta pengakuan dari OIC (organization of Islamic Conference). MNLF meminta kepada OIC agar diakui sebagai perwakilan muslim dari Filipina (Aceh Development International Conference, 2011).

Pendahuluan Istilah Moro atau Bangsamoro (bangsa disini memiliki arti yang sama dengan bangsa dalam bahasa Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah Spanyol (Spaniards). Sama halnya dengan sebutan etnis lain di Filipina seperti Indio dan Filipino. Kata Moro sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau Mauritania di Afrika yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di Afrika Utara dan juga kepada kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol berabad-abad silam. Maka, istilah Moro akhirnya tidak merujuk kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu, namun lebih merujuk kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam. Konflik yang terjadi di kawasan Selatan Filipina sudah lama rentan terhadap keterlibatan dalam pergelutan untuk merebut kekuasaan secara regional maupun global. Istilah Moro untuk pertama kalinya diperuntukkan bagi penduduk muslim pada kepulauan tersebut oleh orang Spanyol yang mulai melakukan kolonialisasi terhadap bagian utara dan tengah gugusan pulau itu pada tahun 1565. Masalah utama Bangsa Moro kini adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (Right To Self-Determination). Selanjutnya mungkin adalah kemiskinan, ketinggalan pembangunan, rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, dan juga stigma sebagai teroris.(http://www.voaislam.com). Moro National Liberation Front (MNLF) merekrut anggotanya dari kelompok-kelompok etnis Tausung, Samal, dan Yakan. Para anggota pertamanya adalah para anak-anak muda atau para pemuda yang disebut oleh tradisi kepemimpinan Islam untuk latihan militer di Malaysia. Seperti Nur Misuari, pemimpin MNLF, anakanak muda ini pada umunya berlatar belakang pendidikan sekuler dan beberapa orang diantaranya pernah terlibat dalam gerakan politik mahasiswa beraliran kiri. Ketika MNLF didirikan, tujuannya adalah untuk menciptakan independensi kampong halaman bangsa Moro. Indonesia sejak awal telah berperan aktif dalam kegiatankegiatan Organisasi Konferensi Islam (OKI) terkait pembahasan isu Filipina Selatan dimaksud antara lain selaku anggota Komite-

6 OKI yang terbentuk pada KTM OKI ke-20 di Istanbul, Turki, pada tanggal 4-8 Agustus 1991. Komite-6 pada perkembangannya menjadi Komite-8 dimana Indonesia mendapat kepercayaan untuk menjadi ketua Komite-8 (http://www.kemlu.go.id) Sejak tahun 1991 Indonesia telah berperan aktif dalam proses perdamaian di Filipina Selatan dalam kerangka OIC dan tahun 1993 memimpin komite-6 yang sekarang bernama OIC-PCSP. Indonesia menempatkan stabilitas keamanan di Filipina Selatan sebagai hal yang sangat penting demi menjaga stabilitas keamanan di Asia Tenggara. Dalam perannya sebagai ketua komite perdamaian organisasi konferensi islam untuk Filipina Selatan (OIC-PCSP) pada tanggal 19-22 Juni 2011, Indonesia memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Filipina (GPH) dan Moro National Liberation Front (MNLF) yang menghasilkan kemajuan yang sebelumnya sulit diselesaikan.(http://www.kemlu.go.id).

Anda mungkin juga menyukai